Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Perkawinan adalah ikatan yang suci antara pria dan wanita dalam suatu rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Perkawinan yang diadakan ini diharapkan dapat berlangsung selama-lamanya, sampai ajal memisahkan. Walaupun perkawinan itu ditujukan untuk selama-lamanya, tetapi ada kalanya terjadi hal-hal tertentu yang menyebabkan perkawinan tidak dapat diteruskan, misalnya salah satu pihak berbuat serong dengan orang lain, terjadi pertengkaran terus menerus antara suami istri, suami/istri mendapat hukuman 5 (Lima) tahun penjara atau lebih berat, dan masih banyak lagi alasan-alasan yang menyebabkan perceraian. Tidak ada seorang pun yang ketika melangsungkan perkawinan mengharapkan akan mengalami perceraian. Apalagi jika dalam perkawinan tersebut telah dikaruniai anak. Walaupun demikian ada kalanya sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan lagi sehingga terpaksa harus terjadi perceraian antara suami dan istri. Pengertian perceraian itu sendiri menurut Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian dan atas keputusan keadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi 1

diakui oleh hukum yang berlaku. B. RUMUSAN MASALAH Sebagaimana diuraikan diatas tentang perceraian menginspirasi penulis untuk mengkaji lebih dalam beberapa masalah berikut ini : 1. Apa yang dimaksud dengan perceraian serta akibat-akibat hukum yang terjadi/ timbul di dalamnya ? C. TUJUAN PENULISAN Secara terinci tujuan penulisan dari makalah ini yakni sebagai bahan penambah ilmu pengentahuan tentang Ilmu Hukum Perdata Perceraian.

BAB II PEMBAHASAN

A. PERCERAIAN Pengertian perceraian menurut Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian dan atas keputusan keadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku. Untuk melakukan perceraian pihak yang ingin melakukan perceraian harus mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang Undang No. 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa Pengadilan hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Jadi jika dalam sidang-sidang Pengadilan, Hakim dapat mendamaikan pihak-pihak yang akan bercerai, maka perceraian tidak jadi dilakukan. Dalam hal ini adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, semata-mata ditujukan demi kepastian hukum dari perceraian itu sendiri. Seperti diketahui bahwa putusan yang berasal dari Lembaga Peradilan mempunyai kepastian hukum kuat, tetap dan bersifat mengikat para pihak yang disebutkan dalam putusan itu. Dengan adanya sifat yang mengikat ini, maka para pihak yang tidak mentaati putusan Pengadilan dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku. 3

Sebagai contoh, bekas suami yang tidak mau memberikan biaya hidup yang ditentukan oleh Pengadilan selama istri masih dalam masa iddah atau tidak mau memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan bagi anak yang di wajibkan kepadanya, maka dapat dituntut oleh bekas istri dengan menggunakan dasar putusan Pengadilan yang telah memberikan kewajiban itu kepada bekas suami. Adapun Pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara perceraian ialah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam. B. DASAR HUKUM PERCERAIAN Dasar hukum yang digunakan oleh Hakim dalam memutuskan suatu perkara perceraian yakni berkiblat serta diatur dalam : 1. Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang Undang No. 1 Tahun 1974; 2. Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 199 KUHPerdata; 3. Pasal 113 sampai dengan Pasal 128 Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. C. MACAM-MACAM PUTUSNYA PERKAWINAN Dikarenakan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mempersulit terjadinya perceraian. Ditentukan bahwa perceraian hanya bisa dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Diisyaratkan juga bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, yaitu 4

bahwa antara suami istri tersebut tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Menurut Pasal 38 Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, putusnya perkawinan disebabkan karena 3 (tiga) hal, yaitu : 1. Kematian Putusnya perkawinan karena kematian adalah berakhirnya perkawinan yang disebabkan salah satu pihak yaitu suami atau istri meninggal dunia. 2. Perceraian Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena 2 (dua) hal yaitu : Talak Adalah ikrar suami dihadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Gugatan Perceraian Yaitu perceraian yang disebabkan adanya gugatan dari salah satu pihak, khususnya istri ke Pengadilan. 3. Keputusan Pengadilan Berakhirnya perkawinan yang didasarkan atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. D. ALASAN-ALASAN PERCERAIAN Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan perceraian, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (2) Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan diulang lagi yang sama bunyinya dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan diatur juga dalam Pasal 110 Kompilasi Hukum 5

Islam yang bunyinya adalah sebagai berikut :

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sulit disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (Dua) tahun berturut-berturut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (Lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang


membahayakan pihak lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;

6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

7. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah
tangga. Dengan alasan-alasan tersebut diatas, maka suami atau istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama setempat, yaitu untuk mengajukan cerai talak atau cerai gugat. Cerai talak adalah diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Sedangkan cerai gugat, adalah diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya selain agama Islam dan bagi seorang istri yang melangsungkan 6

perkawinan menurut agama Islam. Kemudian Hakim akan melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kepada pihak suami atau istri setelah diterimanya surat gugatan. Hakim akan menawarkan kepada para pihak untuk menghendaki perdamaian atau tidak. Jika tidak menghendaki perdamaian, maka Hakim akan memutuskan putusan gugatan perceraian tersebut yang dilakukan dalam sidang terbuka yang dapat dihadiri oleh umum, dihitung sejak saat pendaftaran putusan perceraian itu di Kantor Catatan Sipil. E. AKIBAT-AKIBAT HUKUM DARI PERCERAIAN Putusan perkawinan karena perceraian akan menimbulkan akibat hukum bagi : I. Orang Tua atau Anak Akibat putusnya perkawinan terhadap orang tua/ anak karena perceraian berdasar pada Pasal 156 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ialah : a. Anak yang belum mumayyiz/ baligh/ dewasa berhak mendapatkan hadhanah (hak asuh anak) dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :

1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu; 2. Ayah; 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b.

Apabila pemegang hadhanah (hak asuh anak) ternyata tidak dapat menjami keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah tercukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah (hak asuh anak) kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah (hak asuh anak) pula;

c. Anak yang sudah mumayyiz/ baligh/ dewasa berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah (hak asuh anak) dari ayah atau ibunya; d. Semua biaya hadhanah (hak asuh anak) dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 Tahun); e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah (hak asuh anak) dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d); f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. Adapula dalam Pasal 41 Undang Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan 3 (Tiga) akibat putusnya perkawinan karana perceraian terhadap anak-anaknya sebagai berikut :

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan;

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memilkul 8

biaya tersebut;

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya


penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. II. Harta Benda Perkawinan Ketentuan mengenai harta benda perkawinan dalam Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 35, 36, dan 37. Harta benda yang diperoleh selama Perkawinan, menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masingmasing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain ternyata dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Harta bawaan suami atau istri kembali kepada para pihak masing-masing, yang membawa harta benda tersebut ke dalam perkawinan. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang No. 1 Tahun 1974. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud menurut hukumnya masing-masing yaitu menurut Hukum Agama, Hukum Adat, dan Kitab Undang Undang Hukum Perdata (penjelasan Pasal 37 Undang Undang No. 1 Tahun 1974). Hal yang paling sering terjadi pada masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam saat ini adalah setelah terjadinya perceraian, mengenai kedudukan atau pembagian harta bersama antara suami dan istri yang bercerai tersebut, banyak 9

masyarakat yang memilih Pengadilan Agama untuk menyelesaikan pertikaian pembagian harta bersama. Pembagian harta bersama menurut ketentuan Pasal 37 Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ditetapkan secara tegas berapa bagian masing-masing suami atau istri yang bercerai baik cerai hidup maupun cerai mati. Harta bersama ada pada saat perkawinan berlangsung sedangkan harta bawaan diperoleh sebelum berlangsungnya perkawinan, namun kenyataannya dalam keluargakeluarga di Indonesia banyak yang tidak mencatat tentang harta bersama yang mereka miliki. Pada perkawinan yang masih baru pemisahan harta bawaan dan harta bersama itu masih nampak, akan tetapi pada usia perkawinan yang sudah tua, harta bawaan maupun harta bersama itu sudah sulit untuk dijelaskan secara terperinci satu persatu. Selain Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di Indonesia juga berlaku Kompilasi Hukum Islam, yang berkaitan dengan pembagian harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 96 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam tersebut, yang menyebutkan bahwa pembagian harta bersama baik cerai hidup maupun cerai mati ini, masing-masing mendapat setengah dari harta bersama tersebut. Selengkapnya Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam berbunyi :

1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan
yang hidup lebih lama;

2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya
hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian kematiannya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

10

Sedangkan dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menyatakan : Janda atau duda yang cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Pembagian harta kekayaan dalam perkawinan senantiasa merupakan bagian yang krusial dari suatu perceraian. Hal ini dapat kita cermati dari banyaknya kasus yang menarik perhatian publik terhadap pembagian harta perkawinan. Tidak setiap putusan perceraian diikuti dengan pembagian harta bersama berdasarkan beberapa hal :

Mereka tidak bersengketa atau tidak mempermasalahkan harta bersamanya.


Dalam hal ini biasanya kedua belah pihak bersepakat atau untuk membagi harta bersama secara kekeluargaan di luar sidang, cara ini sebetulnya yang paling baik karena ringan biaya, singkat waktu dan tidak ada permusuhan.

Ada pula kedua belah pihak bersepakat agar harta bersama itu tidak dibagi
kepada suami isteri yang bercerai tetapi dengan persetujuan bersama diberikan kepada anak-anaknya.

Ada pula antara para pihak itu yang tidak mempermasalahkan harta bersama
yang penting cerai. Sedangkan faktor-faktor yang melatar belakangi diajukannya permohonan gugatan pembagian harta bersama adalah :

Kedua belah pihak atau salah satunya membutuhkan harta bersama tersebut. Salah satu pihak berniat tidak baik atau menguasai harta bersama atau tidak
membagi kepada pasangannya yang dicerai. 11

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Perceraian menurut Undang Undang No. 1 Tahun 1974 ialah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian dan atas keputusan keadilan. Yang berdasarkan pada Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang Undang No. 1 Tahun 1974; Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975, Pasal 199 KUHPerdata dan Pasal 113 sampai dengan Pasal 128 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kemudian dari suatu perceraian akan menimbulkan akibat-akibat hukum pada orang tua/ anak dan pada harta benda perkawinan. Yang mana akibat-akibat yang timbul terhadap orang tua/ anak diterangkan dan ternyata jelas pada Pasal 156

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dan pada Pasal 41 Undang Undang No. 1 Tahun 1974 dan pada Pasal 36 dan Pasal 37 Undang Undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 96 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam.

12

Anda mungkin juga menyukai