Anda di halaman 1dari 4

HUKUM PERKAWINAN INDONESIA

AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN

DOSEN PENGAMPU:
DWIYANA ACHMAD HARTANTO, SH, SHI, MH,

DISUSUN OLEH:
1. DWI INDAH SETYANINGRUM (202120038)
2. ALINA INZA CHAURINA (202120039)
3. MIRNAWATI ADITYA (202120041)
4. MARIZKA DEVI AMANDA PUTRI (202120043)

UNIVERSITAS MURIA KUDUS


FAKULTAS HUKUM
Jl. Lkr. Utara, Kayuapu Kulon. Gondangmanis, Kec. Bae, Kabupaten
Kudus, Jawa Tengah
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN

A. Akibat Putusnya Perkawinan


Masalah putusnya perkawinan serta akibatnya di atur di dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dalam Bab VIII pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Di dalam Pasal 38
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Berbunyi:
“Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan”.
Putusnya Perkawinan karena kematian maksudnya adalah apabila salah seorang dari
suami istri meninggal dunia, maka perkawinannya putus karena adanya kematian.
Sementara putusnya perkawinan karena perceraian antara suami dan isteri maksudnya
apabila suami isteri itu bercerai karena suatu alasan dalam rumah tangga yang di
jalaninya selama pernikahan. Perceraian ini dapat terjadi langsung atau dengan tempo
dengan menggunakan kata talaq atau kata lain yang senada. Sedangkan putusnya
perkawinan karena putusan pengadilan terjadi karena pembatalan perkawinan, dengan
demikian itu harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 6 dan 7 Undang-Undang No.
1 Tahun 1974. Syarat-syarat yang tidak dapat dipenuhi dalam suatu perkawinan, maka
perkawinannya di batalkan.
Dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (HKI) dijelaskan mengenai penyebab
putusnya perkawinan, antara lain sebagai berikut:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabu pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang susah dimaafkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau diluar kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang telah
membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
6) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7) Suami melanggar taklik talaq
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
B. Akibat Hukum Putusnya Perkawinan
Adapun dari akibat putusnya perkawinan, maka mempunyai akibat hukum sebagai
berikut:
a. Akibat Putusnya Perkawinan Dalam Undang-Undang
Menurut Pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
disebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
1) Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
Pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa, baik ibu atau bapak
tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak. Jika suatu saat terjadi perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, maka diselesaikan melalui putusan pengadilan.

C. Akibat Putusnya Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam


Menurut Hukum Islam setelah terjadinya suatu perceraian, maka akan menimbulkan
akibat hukum tertentu. Kompilasi Hukum Islam Pasal 156, akibat putusnya
perkawinna karena perceraian ialah:
1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan
oleh wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu, ayah, wanita-wanita dalam garis
lurus keatas dari ayah, saudara perempuan dari anak yang bersangkutan,
wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu, wanita-wanita
kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. Anak yang sudah mumayyiz
berhak meimilih untuk mendapatkan hadhanah sari ayah atau ibunya.
2) Apabila penegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi,
maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan Agama dapat
memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain ynag mempunyai hak
hadhanah pula.
3) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat
mengurus diri sendiri (21 tahun).
4) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusan, pengadilan dapat pula dengan
mengingat kemampuanayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan
dan Pendidikan anak yang tidak turut padanya.
Adapun di dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, bilamana perkawinan putus
karena talak, maka mantan suami wajib:
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada mantan isterinya, baik berupa uang
atau benda, kecuali mantan isteri sudah qobla al dukhul.
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah ke mantan isteri selama dalam iddah,
kecuali mantan isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nisyuz dalam keadaan tidak
hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qobla al
dukhul
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anak yang belum mencapai umur 21
tahun.

Anda mungkin juga menyukai