Anda di halaman 1dari 36

SOSIOLOGI KEBENCANAAN DAN

PENGURANGAN RISIKO BENCANA


BERBASIS KOMUNITAS

Pidato Pengukuhan
Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si
Sebagai Guru Besar Sosiologi Kebencanaan
Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Jember, April 2015

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN RI


UNIVERSITAS JEMBER
2015
SOSIOLOGI KEBENCANAAN DAN
PENGURANGAN RISIKO BENCANA
BERBASIS KOMUNITAS

Pidato Pengukuhan
Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si
Sebagai Guru Besar Sosiologi Kebencanaan
Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Jember, April 2015

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN RI


UNIVERSITAS JEMBER
2015
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua,

Yang Saya Hormati,


Bapak Rektor Universitas Jember
Ketua Dewan Penyantun Universitas Jember, Para Guru Besar,
Para Dekan, Dosen, Civitas Akademika, serta rekan-rekan di
Universitas Jember yang selalu saya cintai dan banggakan, para
undangan, kerabat, dan sahabat yang tercinta, serta hadirin yang
saya muliakan.

Alhamdulillah, pada kesempatan yang baik dan penuh berkah ini,


marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena
kita masih diberikan kesempatan, kekuatan dan kesehatan, sehingga
kita dapat bersama-sama menghadiri upacara pengukuhan Guru
Besar di lingkungan Universitas Jember ini. Dengan rendah hati,
ijinkan saya menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar
dengan judul :

SOSIOLOGI KEBENCANAAN DAN PENGURANGAN RISIKO


BENCANA BERBASIS KOMUNITAS
Sekitar 10 tahun yang lalu, tepatnya pada 26 Desember 2004,
14 negara di kawasan Samudera India dilanda Tsunami yang
sangat hebat. Mega Tsunami tersebut telah merenggut lebih
dari seperempat juta jiwa terutama di negara-negara seperti
Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar, Bangladesh, Srilanka,
India, Maladewa, Somalia dan Kenya. Indonesia menjadi negara
yang paling parah terdampak, dengan korban tewas mencapai
173.741 jiwa dan 116.368 orang dinyatakan hilang. Kerugian harta
benda yang diderita Rp 42,7 trilyun. Belum lagi kerugian yang tidak
kasat mata seperti trauma, kepiluan (misery), kehilangan profesi,
tercerai berainya organisasi kemasyarakatan, dan lain sebagainya.
Peristiwa tersebut dianggap sebagai wake up call dunia, yang
mengingatkan akan pentingnya upaya untuk melakukan perbaikan
dan menempatkan pada prioritas teratas manajemen bencana
dan pengurangan risiko bencana.

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si | 1


Pada kesempatan ini, perkenankan saya menyampaikan
tinjauan mengenai sebuah pokok bahasan yang dewasa ini
semakin relevan bagi kita di Indonesia. Pokok tersebut adalah
mengenai pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat dari
tinjauan sosiologi khususnya sosiologi kebencanaan. Sosiologi
kebencanaan sebagai subdisiplin dari ilmu sosiologi per definisi
merupakan cabang ilmu yang mencoba mengkaji fenomena sosial
yang berkaitan dengan bencana. Sejak masa Bapak Sosiologi
Modern, Isidore Auguste Comte (1798-1857), sosiologi telah hadir
dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pembentukan, struktur,
dan fungsi masyarakat. Ilmu ini terus berkembang dan bersama
ilmu-ilmu sosial lain berguna untuk membantu kita memahami
diri, komunitas, dan masyarakat. Sosiologi kebencanaan juga
mengemban misi serupa ketika masalah bencana dikaitkan dengan
masyarakat, baik kerentanannya maupun kapasitasnya.

SOSIOLOGI KEBENCANAAN
Kemunculan sub disiplin Sosiologi Kebencanaan masih
menghadapi permasalahan dalam pendefinisian objek studinya,
yakni bencana. Masing-masing ahli memiliki kerangka pikir yang
berbeda untuk melihat bencana. Bahkan ketika masing-masing
individu membuat suatu definisi, maka sejatinya mereka sedang
membuat “pernyataan tentang apa yang akan mereka lakukan
terhadap objek yang mereka definisikan” tersebut (West Gate
dan O’Keefe,1976). Bagi Palang Merah Internasional, misalnya,
mendefinisikan “bencana” sebagai kejadian krisis asupan nutrisi
dan krisis persediaan sandang, papan, dan pangan dalam skala
yang besar. Tentunya definisi tersebut merefleksikan fungsi-fungsi
yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional ketika bencana
datang. Begitu pula hal yang sama dilakukan Kementerian dan
Lembaga, yang masing-masing merasa mempunyai tugas dan
fungsi sesuai dengan apa yang diformulasikan berupa definisi
sektoral tersebut. Dan tentu saja, di lapangan hal ini berpotensi
terjadinya kompetisi bahkan rivalitas yang tidak perlu dalam
penanggulangan bencana. Hal inilah yang sering dicatat
masyarakat sebagai tindakan yang tidak terkoordinasi dengan
baik.

2 | Universitas Jember 2015


Dalam terminologi United Nations of International Strategy
for Disaster Reduction (UNISDR, 2009), bencana adalah suatu
gangguan serius terhadap keberfungsian masyarakat, sehingga
menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari
segi materi, ekonomi atau lingkungan, dan gangguan itu melampaui
kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi
dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri. Bencana yang
sering digambarkan sebagai hasil dari kombinasi paparan bahaya
atau adanya ancaman, dengan kondisi kerentanan dan kapasitas
yang cukup untuk mengurangi atau mengatasi konsekuensi negatif
dampak yang potensial. Dampak bencana dimaksud termasuk
hilangnya nyawa, cedera, penyakit dan efek negatif lainnya pada
fisik manusia, mental dan kesejahteraan sosial, termasuk kerusakan
properti, kerusakan aset, hilangnya layanan, gangguan sosial
dan ekonomi serta degradasi lingkungan. Sedangkan menurut
UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
bencana diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik faktor alam, non alam maupun
manusia, sehingga menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Perbedaan
kedua definisi tersebut adalah adanya gangguan yang melampaui
kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi
dengan menggunakan sumberdaya masyarakat itu sendiri.

Selanjutnya meski tidak terdapat batasan khusus yang dapat


membedakan peristiwa historis lainnya dari peristiwa bencana,
mayoritas ilmuwan sepakat bahwa batasan itu sebenarnya ada.
Beberapa karakter yang membedakan bencana dengan peristiwa
historis lainnya dituliskan dengan jelas oleh Erikson (1976), yaitu,
(1) bencana selalu melibatkan dimensi bahaya fisik dan sosial;
(2) bencana terjadi tiba-tiba atau dapat dirasakan dalam konteks
sosial sebagai kondisi yang telah berada pada tahapan akut; dan
(3) bencana merupakan situasi di mana kita dapat mengambil
langkah mitigasi untuk menurunkan dampak, baik sebelum ataupun
sesudah terjadinya situasi tersebut. Selain itu, Dynes sebagai salah
seorang sosiolog kebencanaan, pada tahun 1974 menawarkan

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si | 3


empat pemaknaan bencana yang kiranya masih relevan pada saat
ini. Empat pemaknaan itu adalah (1) bencana sebagai hal yang
dihasilkan oleh pihak ekstemal; (2) bencana sebagai kerusakan
fisik; (3) bencana sebagai gangguan sosial; dan (4) bencana sebagai
evaluasi negatif.

Sedangkan para ilmuwan sosiologi kontemporer yang lain, telah


merumuskan beberapa kesepakatan implisit tentang bencana,
yaitu : (1) bencana merupakan fenomena sosial; (2) perspektif agen
eksternal harus dihindari dalam studi kebencanaan; (3) gangguan
sosial yang muncul sebagai bagian dari dampak bencana harus
menjadi fokus utama; (4) konsep bencana itu sendiri terkonstruksi
secara sosial; dan (5) fokus riset kebencanaan harus diarahkan
kepada pengembangan respon efektif organisasi sosial. Gilbert
(1995) mengatakan bencana adalah gangguan terhadap bangunan
sosial-kemasyarakatan; bencana merupakan hasil dari kekacauan
dalam hubungan antar-manusia; dan dialami sebagai proses di mana
kegiatan masyarakat melalui struktur konvensionalnya tidak dapat
lagi dilakukan. Berdasarkan asumsi-asumsi itu, Gilbert kemudian
menulis bahwa bencana adalah hilangnya landasan paradigma
bermasyarakat dan munculnya ketidakmampuan untuk memahami
realitas melalui kerangka pikir konvensional.

Secara empiris dapat dicatat bahwa, tidak seluruh angin badai,


pergerakan lempeng bumi, maupun aliran air bah adalah
bencana. Sebuah bencana disebut ‘bencana’ karena dampak yang
ditimbulkannya bagi manusia. Jadi, selama kapal-kapal mampu
menembus badai, selama kota-kota mampu menahan goncangan
gempa, dan selama tanggul-tanggul tidak jebol, maka apapun yang
terjadi tidak dapat disebut sebagai bencana. Banjir di pedalaman
Kalimantan dan erupsi gunungapi di Samudera Pasifik yang tidak
bersinggungan dengan hidup dan kehidupan manusia, bukanlah
bencana (Maarif, 2012).

Peristiwa bencana, menurut Carr (1932), selalu ditandai oleh


runtuhnya proteksi kultural yang memicu bencana. Tidak
ada pembedaan khusus yang harus dibuat antara ‘bencana’

4 | Universitas Jember 2015


dan ‘efek’-nya karena pada dasarnya bencana tidak pemah
menimbulkan efek tertentu. Justru efek itulah yang kita sebut
sebagai bencana. Mengikuti pendapat Carr, bencana dipahami
sebagai hasil dari kegiatan manusia. Manusia adalah satu-satunya
pihak yang harus bertanggung-jawab atas terjadinya bencana.
Carr beranggapan bahwa faktor alam hanyalah tantangan biasa
(precipitating event) yang bisa datang berupa suatu bentuk
yang berbahaya maupun tidak (the preliminary or prodromal
period). Ia menyatakan bahwa dalam setiap bencana selalu ada
masa-masa stabil yang mendahului, dimana pada masa stabil itu
kekuatan yang akan meledak saat bencana sedang berakumulasi.
Bila struktur proteksi budaya tak runtuh saat alam bergeliat,
maka bencana tidak akan terjadi, demikian pula sebaliknya. Hal
lain yang menarik adalah hampir seluruh definisi kebencanaan
kontemporer, selalu berbicara tentang perubahan (Stalling, 1987;
Dynes, 1974; Oliver-Smith, 1999; Rosenthal, 1989).

LINGKUP SOSIOLOGI KEBENCANAAN


Sosiologi kebencanaan merupakan cabang khusus sosiologi,
kajian atau penelitian tentang bidang ini mayoritas dilakukan di
Amerika Serikat, tetapi akhir-akhir ini juga dilakukan di Jerman
dan Italia. Secara teoritis lingkup sosiologi kebencanaan tidak
hanya mencakup bencana di tingkat lokal, tetapi juga bencana
dalam skala besar, lebih penting lagi bidang ini terkait erat
dengan sosiologi lingkungan. Banyak penelitian di bidang
sosiologi kebencanaan berfokus pada keterkaitan antara
solidaritas sosial dan kerentanan akibat bencana. Pengetahuan
di bidang ini juga meliputi pengamatan tentang bagaimana
peristiwa bencana tersebut dapat menghasilkan, baik solidaritas
sosial maupun konflik sosial (Barton, 1969; Drabek, 1986; Dynes,
1970; Taylor, 1977), yang juga penting, sosiologi kebencanaan
akan mengekspos ketidaksetaraan yang ada dalam tatanan sosial
yang secara eksponensial ternyata dapat memperburuk dampak
bencana itu sendiri. Selain itu kajian sosiologi kebencanaan juga
mengungkapkan bahwa bencana merupakan konsekuensi dari
kesalahan adaptasi manusia terhadap lingkungan yang berbahaya
(Tierney, 2007).

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si | 5


Salah satu permasalahan utama yang harus dijelaskan dalam
pembentukan subdisiplin sosiologi kebencanaan adalah proses
konstruksi sosial terhadap makna bencana. Proses ini tidak mudah
dijelaskan sebab konstruksi sosial bencana seringkali berlangsung
tertutup atau telah diterima sebagai bagian dari realita sehari-hari
(taken for granted). Untuk memahaminya, kita harus menganalisis
relasi di antara diskursus, ideologi, dan praktik sosial. Sejauh ini, para
sosiolog telah mendefinisikan bencana sebagai bentuk khusus dari
fenomena masyarakat yang berdasarkan dua hal, yakni pertama,
posisinya sebagai peristiwa dramatis dengan dampak yang besar; dan
kedua, posisinya sebagai peristiwa yang dapat membangkitkan reaksi
kolektif (sebagai katalis sosial). Lingkup bencana sebagai peristiwa
yang meliputi dimensi fisik dan sosial, merupakan tonggak penting
dalam perkembangan studi kebencanaan. Bagi sosiolog, bencana yang
dimaksud merupakan medium untuk menganalisis gangguan yang
terjadi pada unit sosial tertentu. Konseptualisasi bencana dihadirkan
berdasarkan gagasan bahwa bencana harus selalu didefinisikan
secara normatif yang menempatkan komunitas masyarakat sebagai
sumber definitif. Indikator upaya non-konvensional yang digunakan
adalah keterlibatan organisasional masyarakat. Sebab dampak
bencana selalu dikaitkan dengan kapabilitas organisasional komunitas
masyarakat dalam menanggapi bencana.

Sama halnya dengan para sosiolog, masyarakat yang menjadi objek


studi sosiologi juga menggunakan konstruk, konsep, dan definisi sosial
untuk memahami realitas di sekitar mereka. Schutz (1967) mengajukan
diferensiasi antara apa yang ia sebut ‘konstruk akal’ (common-sense
constructs) dengan ‘konstruk ilmiah’ (scientific constructs). Konstruk
akal merupakan kerangka pikir yang digunakan oleh awam untuk
memahami realitas di sekitamya, sedangkan konstruk ilmiah adalah
kerangka pikir yang digunakan ilmuwan untuk memahami fakta sosial.
Konstruk ilmiah disebut juga sebagai konstruk level kedua karena
dibangun di atas konstruksi pertama (konstruk akal) yang sudah ada.

Di sisi lain, McKinney (1969) memberikan label baru bagi terminologi


Schutz, yaitu konstruk eksistensial (existential type) dan konstruk
buatan (constructed type). Konstruk eksistensial adalah tatanan yang

6 | Universitas Jember 2015


dibentuk oleh anggota suatu sistem sosial dan berfungsi sebagai
sumber data utama bagi ilmuwan dalam mempelajari komunitas
masyarakat. Konstruk eksistensial adalah landasan sekaligus medium
reflektif bagi pembentukan konstruk buatan. Dengan merujuk
pengertian ini, peristilahan ‘bencana’ dapat dipandang sebagai
definisi buatan (constructed definition), sedangkan definisi lain
yang digunakan oleh berbagai pihak selain ilmuwan diklasifikasikan
sebagai definisi eksistensial. Penjelasan tersebut mengimplikasikan
bahwa bencana memang berbeda secara sosiologis dari fenomena
sosial lain, meski tak lebih penting darinya. Pemahaman akan prinsip
ini penting untuk mengidentifikasi bencana dari fenomena sosial
lainnya. Di sisi lain, batasan tentang fenomena apa saja yang dapat
diklasifikasikan sebagai bencana memang akan menjadi sangat
beragam, tergantung kepada bagaimana peneliti mendefinisikan
lingkup bahasan studi.

Hal yang penting untuk diingat dalam menentukan konsep mengenai


bencana adalah persepsi dan respon komunitas harus dilibatkan
dalam kerangka organisasional yang terbentuk secara spontan ketika
terjadi bencana. Dengan demikian, permasalahan sosiologis utama
yang harus dijawab oleh sosiolog kebencanaan adalah tentang
bagaimana masyarakat mempertahankan tatanan sosial dalam
ketidakpastian (bencana). Hal-hal apa saja yang dianggap penting
untuk keberlangsungan tatanan sosial; dan konsekuensi apa yang
muncul dari upaya-upaya yang dilakukan untuk mengembalikan
tatanan sosial seperti semula (pasca bencana). Dengan demikian
end to end dari penanggulangan bencana sebetulnya adalah dari
manusia sampai dengan manusia itu sendiri, dan itu termasuk
kepedulian dan adaptasinya terhadap lingkungan dimana manusia
itu tinggal (Maarif, 2012).

Masalah terbesar yang muncul dari terjadinya bencana sebenarnya


bukan hanya dilihat dari munculnya kerugian, penderitaan yang
berkepanjangan, tetapi yang terpenting adalah hilangnya kontrol
terhadap proses pemaknaan masyarakat dalam kehidupan sehari-
hari. Dalam pandangan Hewitt (1983), kurangnya kontrol komunitas
atas diri mereka sendiri, membuat mereka memiliki risiko yang

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si | 7


lebih besar untuk terkena dampak bencana. Selain itu, rendahnya
akuntabilitas publik yang dijalankan oleh pemerintah atau lembaga-
lembaga negara juga memperbesar kerentanan komunitas yang
berada di bawah kewenangannya. Oleh Jabbra dan Dwivedi (1989)
dinyatakan bahwa akuntabilitas publik terdiri dari lima jenis, yaitu : (i)
akuntabilitas administratif; (ii) akuntabilitas legal; (iiii) akuntabilitas
politik; (iv) akuntabilitas profesional; dan (v) akuntabilitas moral.
Dalam hal ini acap kali ditemukan bahwa implementasi sebuah
kebijakan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, lebih
banyak hanya memenuhi akuntabilitas administratif atau legal, yang
mengedepankan pemenuhan akuntabilitas administratif, sebagai
unsur legalitas pertanggungjawaban sebuah program. Dan belum
atau jarang sekali akuntabilitas tersebut menyentuh akuntabilitas
profesional dan moral.

PENGURANGAN RISIKO BENCANA


Pengurangan risiko bencana merupakan kosakata baru dalam
khazanah manajemen bencana, terutama setelah peristiwa tsunami
di Samudera Hindia tahun 2004. Pesan yang terkandung dari istilah ini
adalah bahwa manusia harus dapat menghindari ataupun mengurangi
dampak bencana. Hal ini dilakukan melalui upaya-upaya pengurangan
kerentanan dan peningkatan kapasitas adaptif terhadap potensi
ancaman yang berada di lingkungan dimana masyarakat berada.

Sesuai pengalaman, tercatat bahwa sekitar 80% penanggulangan


bencana dilaksanakan oleh masyarakat setempat yang terkena
bencana. Masyarakat setempat merupakan penanggap pertama
(the first responder) dalam menghadapi bencana tersebut. Bantuan
pemerintah dan lembaga eksternal lainnya selalu datang belakangan.
Itu berarti berbicara mengenai risiko bencana hanya akan terjadi
jika komunitas/masyarakat mendapatkan kapasitas mandirinya. Dari
pandangan ini tergambarkan bahwa dampak bencana dapat dikurangi
dengan terwujudnya kapasitas masyarakat melalui proses sosial yang
berlangsung di lokasi bencana tersebut terjadi.

Secara global dalam beberapa tahun setelah mega Tsunami di Aceh


(2004), kejadian-kejadian yang disebabkan oleh alam maupun non-

8 | Universitas Jember 2015


alam telah memicu terjadinya peningkatan bencana baik dalam
karakteristik maupun tingkat risikonya. Sayangnya hal tersebut lebih
banyak terjadi di negara berkembang yang rentan secara ekonomi
dan sosial. Meningkatnya kerusakan lingkungan sebagai akibat
kegiatan manusia, tanpa kontrol komunitas yang memadai, berupa
peningkatan eksploitasi atas alam, banyak terjadi di negara-negara
tersebut yang mengejar pertumbuhan ekonomi. Hal ini menyebabkan
tingkat kerusakan lingkungan menjadi salah satu faktor penting yang
berpengaruh pada tinggi rendahnya risiko bencana di kawasan,
termasuk di Indonesia.

Saat ini, pada beberapa dekade terakhir, terdapat pergeseran


peradaban dari first modernity ke second modernity yang
menghasilkan peningkatan risk society (Beck, 1992), yakni adanya
pergeseran masyarakat industri ke masyarakat modern akhir (late
modern society). Pergeseran tersebut ditandai dengan pemahaman
masyarakat tentang bencana yang disebabkan oleh kegiatan manusia
sendiri. Kegiatan tersebut mungkin tidak diperhitungkan dan mungkin
tidak diketahui dampaknya sehingga memicu terjadinya krisis saat
bencana.

Langkah-langkah antisipasi menghadapi ancaman bencana dan upaya


pengurangan risiko bencana, saat ini sudah menjadi isu global. Tidak
satupun negara yang terbebas dari ancaman bencana, dan keadaan
ini telah menjadi katalisator kesadaran bahwa kita semua berada
dalam satu planet. Kesadaran itu selanjutnya telah membangkitkan
upaya bersama melampaui batas-batas teritorial dan administratif
sebuah negara untuk mengurangi risiko atau dampak dari bencana.
Merujuk pada hasil The 3rd WCDRR (World Conference of Disaster
Risk Reduction), sebagai tindak lanjut Post HFA (Hyogo Farmework for
Action) yang dilaksanakan pada tanggal 14-18 Maret 2015 di Sendai
– Jepang, dinyatakan bahwa : pengurangan secara substantif risiko
bencana dan kehilangan jiwa, mata pencaharian dan kesehatan secara
ekonomi, fisik, sosial, budaya dan aset-aset lingkungan individu,
urusan bisnis, komunitas, dan negara-negara. Realisasi hasil ini
membutuhkan komitmen yang kuat dan keterlibatan kepemimpinan
politik tiap negara di semua tingkatan.

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si | 9


Selanjutnya, secara prinsip tujuan dari SFA (Sendai Framework for
Action 2015-2030) adalah mencegah dan mengurangi risiko bencana
yang ada melalui penerapan langkah-langkah terpadu. Langkah-
langkah tersebut meliputi ekonomi yang inklusif, struktural, hukum,
sosial, kesehatan, budaya, pendidikan, lingkungan, teknologi, politik
dan kelembagaan yang bertujuan mencegah dan mengurangi
paparan bahaya, mengurangi kerentanan, meningkatkan kesiapan
untuk respondan pemulihan. Pencapaian tujuan ini memerlukan
peningkatan kapasitas pelaksanaan dan kemampuan negara-
negara berkembang, negara kepulauan kecil, negara-negara Afrika,
serta negara-negara berpendapatan menengah untuk menghadapi
tantangan tertentu, termasuk mobilisasi dukungan melalui kerja sama
internasional untuk penyediaan sarana atau media implementasi
kebijakan sesuai dengan prioritas nasional.

Untuk mendukung penilaian kemajuan global dalam mencapai


hasil dan tujuan kerangka SFA ini, 7 target global telah disepakati.
Target ini akan diukur di tingkat global dan akan dilengkapi serta
dikembangkan untuk memperoleh indikator yang tepat. Adapun
7 target SFA tersebut adalah : pertama, secara substansial
mengurangi kematian bencana global pada tahun 2030, yang
bertujuan untuk menurunkan rata-rata per 100.000 kematian
global antara 2020-2030 dibandingkan dengan 2005-2015; kedua,
secara substansial mengurangi jumlah orang yang terkena dampak
bencana secara global pada tahun 2030, yang bertujuan untuk
menurunkan angka rata-rata global per 100.000 antara 2020-2030
dibandingkan dengan 2005-2015; ketiga, mengurangi kerugian
ekonomi akibat bencana secara langsung dalam kaitannya dengan
Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2030; keempat, secara
substansial mengurangi kerusakan bencana untuk infrastruktur
penting/strategis dan gangguan pelayanan dasar, seperti fasilitas
kesehatan dan pendidikan melalui pengembangan ketangguhan
komunitas pada tahun 2030; kelima, secara substansial
meningkatkan jumlah negara dengan strategi pengurangan risiko
bencana pada level nasional dan lokal pada tahun 2020; keenam,
secara substansial meningkatkan kerjasama internasional untuk
negara-negara berkembang melalui dukungan yang memadai

10 | Universitas Jember 2015


dan berkelanjutan untuk melengkapi aksinasional negara-negara
tersebut dalam rangka implementasi kerangka kerja ini pada 2030;
dan ketujuh, secara substansial meningkatkan ketersediaan dan
akses sistem peringatan dini multi-hazard dan informasi risiko
bencana serta assessments to people pada tahun 2030.

Dengan mempertimbangkan pengalaman yang diperoleh melalui


penerapan Kerangka Aksi Hyogo (2005 – 2015) sebelum SFA, dan
dalam upaya mencapai hasil dan tujuan yang diharapkan. Ada
kebutuhan untuk menetapkan fokus atau skala prioritas dalam dan
lintas sektor oleh negara di tingkat lokal, nasional, regional dan
global, yang terdiri dari empat bidang prioritas. Prioritas dimaksud
adalah : (i) memahami risiko bencana; (ii) penguatan tata kelola
pemerintahan untuk mengelola risiko bencana; (iii) investasi
dalam pengurangan risiko bencana untuk ketangguhan (resilience)
komunitas; dan (iv) meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana
demi respon yang efektif, dan untuk “membangun dengan lebih
baik” (build back better) dalam pemulihan, rehabilitasi dan
rekontsruksi.

PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS


Pengertian Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas
(PRBBK) sering dikenal dengan istilah CBDRM (Community-based
Disaster Risk Management), memiliki ragam pengertian. Akarnya
dapat ditarik pada definisi pengelolaan sumber daya alam berbasis
masyarakat yang dipopulerkan beberapa dekade silam (Lassa,
2009). PRBBK merupakan upaya pemberdayaan komunitas agar
dapat mengelola bencana dengan tingkat keterlibatan pihak/
kelompok masyarakat dalam perencanaan dan pemanfaatan
sumber daya lokal dalam kegiatan implementasi oleh masyarakat
sendiri. Menurut Abarquez and Murshed (2004), PRBBK adalah
sebuah proses di mana masyarakat secara aktif terlibat dalam
identifikasi, analisis, pemeliharaan, pemantauan dan evaluasi
risiko bencana untuk mengurangi kerentanan mereka dan
meningkatkan kapasitas mereka. Ini berarti bahwa masyarakat
harus ditempatkan dalam di jantung pengambilan keputusan dan
pelaksanaan kegiatan manajemen risiko bencana.

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si | 11


Pendekatan PRBBK berorientasi pada manusia dan pembangunan.
Pendekatan ini memandang bencana sebagai masalah kerentanan
masyarakat. Pendekatan ini juga merkomendasikan kegiatan
pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi akar penyebab
kerentanan dengan mendorong transformasi atau perubahan pada
struktur sosial, ekonomi dan politik yang menimbulkan ketidakadilan
dan keterbelakangan (Shaw dan Kenji 2004). Pendekatan PRBBK
mencakup pencegahan dan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat
dan pemulihan.

Makna komunitas, pada dasarnya merujuk pada pemahaman


bahwa pekerjaan penanggulangan bencana dilaksanakan oleh dan
bersama dengan komunitas dimana mereka berperan kunci dalam
perencanaan, desain, penyelenggaraan, pengawasan, dan evaluasi.
Disepakati bahwa dalam pendekatan ini komunitas adalah pelaku
utama yang membuat dan melaksanakan keputusan-keputusan
penting sehubungan dengan penanggulangan bencana. Beberapa
komunitas di sejumlah negara seperti Bangladesh dan Afrika atau di
beberapa daerah di Indonesia, seperti Aceh dan Nias, dan sebagainya
sudah lama hidup bersama ancaman baik banjir, kekeringan, tsunami,
atau gempa, yang datang silih berganti. Pengetahuan pengelolaan
bencana yang diolah dari bioindikator atau biodetektor (suara
burung tertentu, fenomena ular turun gunung), geoindikator atau
geodetektor (air surut pertanda tsunami, bunyi gemuruh laut) yang
selanjutnya disebut kearifan lokal yang diturunkan antargenerasi.

Selain itu, karena komunitas bukanlah satuan yang homogen, namun,


ada beberapa kesamaan pengalaman dalam relasi dengan alam
dan fenomena alam, memiliki dan mereproduksi local knowledge
dalam menghadapi ancaman dan atau potensi bencana, maka
konsekuensinya, PRBBK bukanlah konsep tunggal dan tidak bisa
dipaksakan homogen dalam konteks Indonesia yang bhinneka.
Pemaknaan komunitas itu sendiri berdimensi jamak. Secara geografis
bisa berarti “sekelompok rumah tangga”, “sebuah desa kecil”, “sebuah
kota besar”. Secara sektoral dan subsektoral bisa berarti petani,
peternak, pelaut, pebisnis dan lainnya. Berdasarkan pengalaman
aktual, kebersamaan bisa berarti kelompok etnis, profesional

12 | Universitas Jember 2015


tertentu, bahasa, dan umur, atau bermakna sekelompok orang
dengan perasaan senasib sepenanggungan dalam peristiwa ancaman
bencana tertentu.

Oleh Twigg (2006) makna komunitas dalam PRBBK diperluas menjadi 3


(tiga) pemahaman, yakni : (i) adanya partisipasi penuh yang melibatkan
pula partisipasi pihak rentan, seperti anak-anak, kelompok lanjut usia,
orang-orang yang berkebutuhan khusus, ras marjinal, dan sebagainya;
(ii) sinonim dengan bottom-up bukan top-down, partisipasi penuh,
akses dan kontrol, pendekatan inklusif sense of belonging terhadap
sistem penanganan bencana yang sudah, sedang, dan akan dibangun.
Pendekatan top-down pada awal kegiatan memungkinkan untuk
dilakukan, namun seiring dengan waktu, masyarakat disiapkan untuk
dapat mandiri sehingga mekanisme bottom-up dapat lebih dominan;
dan (iii) menggunakan konsep “dari, oleh, dan untuk” masyarakat
dalam keseluruhan proses, di mana masyarakat yang mengontrol
sistem dan bukan dikontrol sistem.

Dengan demikian, maka dapat dinyatakan bahwa karakteristik


dasar PRBBK dicirikan dengan menempatkan kekuasaan tertinggi
pengelolaan risiko dan kesiapsiagaan menghadapi bencana
berada di tangan kelembagaan yang berbasis masyarakat. Hal ini
dimaksudkan untuk melakukan diagnosis akar masalah bencana
secara tepat, strategi mitigasi dan pemulihan dilakukan juga secara
tepat karena partisipasi penuh menjamin representasi kepentingan
nyata masyarakat. Proses pelibatan ini juga mendorong eksistensi
kelembagaan pada komunitas yang memliki peran dan mandat dalam
penanganan bencana dengan intervensi bersifat multisektor, lintas
sektor, dan lintas ancaman. Dalam hal ini meliputi seluruh elemen
perencanaan penanggulangan bencana dengan sumber daya utama
adalah masyarakat sendiri didukung pengetahuan dan kearifan lokal,
serta dengan input eksternal yang minimal, namun hasil pengelolaan
bencana dapat maksimal.

Pesan Sendai Framework for Action 2015-2030 adalah


pengurangan secara substantif risiko bencana dengan pendekatan
melalui PRBBK. Pendekatan PRBBK menekankan mendorong

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si | 13


komunitas akar rumput dalam mengelola risiko bencana di tingkat
lokal. Pendekatan tersebut memerlukan serangkaian upaya yang
meliputi interpretasi diri sendiri atas ancaman dan risiko bencana
yang dihadapinya, melakukan prioritas penanganan bencana yang
dihadapinya, mengurangi serta memantau dan mengevaluasi
kinerja sendiri dalam upaya pengurangan risiko bencana. Pokok dari
PRBBK adalah penyelenggaraan yang secara optimal memobilisasi
sumberdaya yang dimiliki dan dikuasai serta bagian integral dari
kehidupan keseharian komunitas. Pengurangan risiko bencana juga
bukan hanya usaha-usaha yang dilakukan saat potensi bencana
tersebut ada, tetapi justru dimulai saat penentuan kebijakan
pembangunan dilaksanakan. Oleh karena itu, pengurangan risiko
bencana menjadi bagian penting dari peri kehidupan masyarakat
di tingkat komunitas dalam melaksanakan pembangunan. Namun
di sisi lain, hingga kini belum ada pengorganisasian yang cukup
atas praktik-praktik dan alat-alat praktis PRBBK tersebut. Kondisi
ini menjadikan para pemangku kepentingan dalam PRBBK di
semua tingkatan belum dapat dengan mudah mendorong proses
internalisasi dalam ruang lingkup peran yang dapat dilakukan.

Pelaksanaan yang efektif dari PRBBK tergantung pada ruang


yang disediakan dan goodwill oleh aktor-aktor kunci di berbagai
tingkat pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil, dengan
melakukan beberapa hal, antara lain memberikan penekanan
pentingnya pencegahan sebagai investasi, publik dan swasta
dalam pencegahan dan melaksanakan pengurangan risiko
bencana melalui langkah-langkah struktural dan non-struktural.
Tidak hanya di bidang fisik saja, tetapi juga mempertimbangkan
bidang-bidang non fisik berupa : ekonomi, sosial, kesehatan dan
ketahanan budaya komunitas, masyarakat, mempertahankan
aset-aset yang ada, serta lingkungan. Hal ini dapat menjadi
pendorong inovasi, pertumbuhan dan penciptaan lapangan
kerja, yang hancur ketika bencana memporak porandakan segi-
segi kehidupan masyarakat. Langkah-langkah tersebut adalah
cara yang efektif dan berperan untuk menyelamatkan nyawa,
mencegah dan mengurangi kerugian dan memastikan pemulihan
dan rehabilitasi yang efektif.

14 | Universitas Jember 2015


Sejalan dengan target dan prioritas dalam SFA 2015 – 2030, hasil
konferensi Intergovernmental Coordination Group for the Indian
Ocean Tsunami Warning and Mitigation System (ICG/IOTWS-X), di
Muscat, Oman pada tanggal 24-26 Maret 2015 menyatakan bahwa
selama 10 tahun ini fokus kebencanaan hanya pada masalah teknis,
misalnya tentang pembangunan sistem peringanan dini. Namun
untuk sekarang hingga 10 tahun ke depan fokusnya adalah tentang
tsunami risk (risiko tsunami), community awareness and preparedness
(kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat). Hal ini senafas dengan
Twigg (1998) yang mengusulkan pengelolaan bencana melalui
pengembangan masyarakat. Begitu juga Maskrey (1998) menyatakan
bahwa pengelolaan bencana seharusnya tidak hanya terbatas pada
pendekatan fisik yang bersifat sesaat saja, namun harus dilakukan
juga bersama dengan kehidupan sosio ekonomi masyarakat lokal
yang terdampak secara berkelanjutan.

Dengan penjelasan itu nampak bahwa bencana bukan hanya


fenomena alam. Bencana tidak dapat direduksi menjadi sekedar
ancaman alam itu sendiri atau kegagalan teknologi atau hal teknis
lainnya. Bencana juga memiliki kandungan permasalahan sosial
yang kompleks. Sudah saatnya bahwa manusia (baik hubungan
antar manusia maupun hubungan manusia dengan alam) menjadi
epicentrum dari semesta pembicaraan para praktisi maupun ilmuwan
yang mendalami soal kebencanaan. Apa yang baik bagi manusia,
bagaimana menyiasati risiko, bagaimana cara menekan potensi
dampak sosial dan bagaimana meningkatkan ketangguhan masyarakat
terhadap bencana adalah sejumlah tema yang hendaknya dijadikan
sentral bagi pembicaraan kita, tidak lagi hanya menjadi periferi
bahkan marjinal dalam perencanaan kebijakan publik yang terkait.
Pada titik ini, sosiologi kebencanaan dituntut untuk terus memberi
sumbangsih yang besar dalam rangka meningkatkan pemahaman
mengenai bencana, sebab-sebabnya, ancamannya, dampak sosialnya,
manusia dan alam dimana mereka tinggal, hubungan antar manusia
sebelum, pada saat, dan sesudah bencana melanda. Sosiologi sangat
diharapkan mampu mendatangkan pencerahan bagi masyarakat dan
pemerintah terutama pada saat membuat kebijakan pembangunan
yang seharusnya mengarusutamakan pengurangan risiko bencana.

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si | 15


Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan sepanjang sejarahnya telah
terbukti mampu membedah dan menganalisis kejadian atau
fenomena sosial yang hadir dalam kehidupan masyarakat. Sebagai
ilmu pengetahuan, sosiologi tentu mempunyai seperangkat teori
untuk membuka tabir atas realita sosial yang terjadi, misalnya ketika
bencana terjadi dan mempertanyakan mengapa realita sosial bisa
terjadi. Sebagaimana suatu contoh bencana yang baru-baru ini
terjadi yakni tanah longsor yang berulang untuk kesekian kalinya di
Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara. Yang terakhir kali
ini telah menelan korban lebih dari 100 orang dalam waktu kejadian
selama 1 hingga 5 menit saja. Sementara itu dua hari sebelumnya di
desa sebelah yakni di desa Wanayasa telah terjadi longsor serupa yang
hanya menimbulkan 1 orang korban meninggal dunia. Karangkobar
dan Wanayasa berada dalam satu rangkaian bukit dan berjarak sekitar
3 Km. Sosiologi dapat menjelaskan mengapa dalam fenomena yang
sama terdapat akibat yang berbeda.

Pada saat terjadi bencana ahli sosiologi akan bertanya, “Bagaimana


manusia atau kelompok manusia memberikan tanggapan atas suatu
bencana?” Asumsi dasar epistemologi, semua bencana merupakan
peristiwa sejarah yang unik. Kita tidak dapat melakukan generalisasi
pada setiap bencana yang terjadi karena antara satu kejadian bencana
dengan kejadian bencana yang lain, baik ruang dan waktunya selalu
memberikan pelajaran yang berbeda. Untuk itu diperlukan analisis
komparatif yang bertugas merumuskan bagian-bagian yang umum,
seperti pola perilaku individu dan unit sosial mereka. Mulai keluarga,
organisasi sosial kemasyarakatan sampai komunitas. Dalam hal ini
Drabek dan Hoetmer (1991) mengembangkan pendekatan yang
memberikan fokus pada dimensi sosial pada setiap bencana, yakni
mencakup sejumlah hasil studi pasca bencana, kesiapsiagaan dan
mitigasi, faktor penyebab bencana, dan sejumlah assessment pasca
bencana, termasuk studi mengenai kesiapsiagaan masyarakat
menghadapi ancaman alam.

Dengan kata lain, bahwa semua bencana pada hakikatnya adalah akibat
dari tindakan atau ketidakbertindakan manusia. Lebih jauh dianalisis
bahwa sebuah kondisi dapat disebut bencana harus memenuhi syarat

16 | Universitas Jember 2015


yakni ketika masyarakat yang terkena tidak mempunyai kapasitas
untuk menanggulanginya. Sekali lagi kerentanan manusia terhadap
bencana tersebut sebagian besar ditimbulkan oleh manusia itu
sendiri, bahkan menurutnya kekacauan iklim yang dihubungkan
dengan perubahan iklim global sekalipun kalau dirunut juga mengacu
pada ulah manusia sendiri dan sangat merugikan diberbagai sektor
kehidupan.

Di sisi lain, sebenarnya setiap manusia atau kelompok masyarakat


mempunyai pengetahuan dan cara untuk berkompromi dengan
lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Pengetahuan dan cara ini
yang dikenal sebagai local wisdom juga merupakan modal dalam
PRBBK. Sebagai contoh di masyarakat Pulau Simeulue Provinsi Aceh
dikenal local wisdom yang disebut smong. Smong adalah suatu
pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke
generasi untuk bertindak menghadapi tsunami. Mekanisme dalam
menghadapi kejadian (coping mechanism) terbentuk dan lahir dari
pengalaman, pengetahuan, pemahaman dan pemaknaan terhadap
setiap fenomena dan masalah yang terjadi disekitarnya. Mekanisme
tersebut tentu tidak sekali jadi, tetapi lewat proses yang panjang
sehingga menjadi milik masyarakat yang diyakini secara sosial bahkan
menjadi mitos yang diteruskan lewat sosialisasi dari generasi ke
generasi.

Oleh karena itu akhir-akhir ini berkembang perhatian tentang


peran pengetahuan lokal dalam upaya mengurangi risiko bencana.
Dalam studi kebencanaan, sering didefinisikan bahwa pengetahuan
lokal merupakan seperangkat pengetahuan yang ada dan diyakini
masyarakat lokal untuk satu jangka waktu tertentu melalui akumulasi
pengalaman yakni relasi masyarakat dengan alam, praktek dan
institusi masyarakat yang diteruskan antar generasi. Misalnya dalam
kebudayaan Jawa dikenal dengan istilah ‘bersih deso’, ‘rembug
deso’, dan ‘mbangun deso’, yakni masyarakat di desa tersebut secara
bersama-sama memusyawarahkan dan mengambil tindakan untuk
merawat, memelihara sumber-sumber air, sungai, tanggul-tanggul
dan juga pepohonan dengan berbagai ritual agar mereka selamat
atau berdamai atau berkompromi dengan alam sekitar dimana

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si | 17


mereka tinggal. Namun kemudian, sering terjadi kontestasi antara
pengetahuan modern dan pengetahuan tradisional atau lokal.
Ilmu pengetahuan modern sering dijadikan acuan dominan dalam
kehidupan masyarakat modern dan menyingkirkan pengetahuan
lokal. Oleh karena itu, seringkali pengetahuan lokal diabaikan dalam
upaya pengurangan risiko bencana (Dekens, 2007).

Konflik kepentingan dalam kelompok pelaku dan kurangnya kemauan


politik, memberikan sumbangan pada pengabaian pengetahuan lokal
dalam pengurangan risiko bencana (Wisner, 1995). Meski demikian,
dengan semakin meningkatnya kesadaran pengurangan risiko bencana
yang berbasis komunitas dan kesadaran akan kerentanan menghadapi
bencana, telah dikembangkan upaya untuk membangun hubungan
baru dan berkelanjutan berdasarkan kekuatan yang ada di masing-
masing pengetahuan modern dan lokal atau tradisional. Sebagai
contoh, pada bencana letusan Gunung Merapi, menurut Singgih
(2006) local coping mechanism terhadap peristiwa alam ini yakni
meletusnya gunung tersebut telah berlangsung selama bertahun-
tahun di kalangan masyarakat Jawa yang berada di sekitamya. Bahkan
menurut Sindhunata (2010) penduduk telah memahami dan berusaha
merespon fenomena Gunung Merapi. Bagi masyarakat setempat
atau lokal bahkan Gunung Merapi disebut sebagai “Mbah Merapi”.
Mbah Merapi menampakkan dua sisi yang kontradiktif, pada satu sisi
letusan Gunung Merapi dimaknai sebagai ancaman yang mematikan
atau menimbulkan korban manusia, namun disisi lain ia memberikan
kesuburan dan kehidupan bagi manusia yang tinggal di sekitarnya.
Keadaan ini sama dengan keadaan yang berlaku pada masyarakat
yang tinggal di sekitar Gunung Kelud.

Pada waktu mendapatkan ancaman dan musibah, umumnya


masyarakat berpandangan bahwa hal tersebut adalah merupakan
kehendak Tuhan dan mereka menerimanya dengan ikhlas. Mereka
menyadari bahwa akibat letusan gunung dapat menghancurkan
bahkan menimbulkan korban, namun di sisi lain masyarakat merasa
bahwa letusan tersebut akan menjadi berkah bagi masyarakat yang
tinggal di sekitarnya, antara lain secara fisik terlihat sebagai kesuburan
tanahnya, material pasir hasil letusan yang berkualitas tinggi, menjadi

18 | Universitas Jember 2015


obyek kegiatan wisata, serta solidaritas masyarakat yang semakin
kuat. Kearifan lokal yang begitu kuat mengakar dalam masyarakat
tersebut, dapat dipadukan dengan berbagai sistem peringatan dini
yang dimiliki oleh para ilmuwan modern.

Ketika Pos Pengamat Gunung Kelud memperoleh sinyal seismograf


bahwa Gunung Kelud akan meletus, maka tokoh-tokoh tradisional
setempat diberi informasi dan diberikan kesempatan untuk
mengkonfirmasikan informasi tersebut melalui ritual bersama
warga masyarakat, sebelum mereka memutuskan untuk mengungsi.
Kompromi antara ilmu pengetahuan modern dengan local wisdom
merupakan sebuah proteksi kultural yang mampu menyelamatkan
jiwa sebagian besar masyarakat dari letusan Gunung Kelud.

Dari uraian diatas, maka masyarakat perlu didorong kesadaran dan


kapasitasnya untuk menghadapi ancaman alam di sekitarnya, melalui
pendekatan yang bersifat kultural, memanfaatkan local wisdom yang
telah ada. Masyarakat juga perlu diberi kemudahan untuk mendapatkan
akses dalam beradaptasi dengan lingkungan dimana mereka tinggal.
Dalam hal ini, kapasitas yang diharapkan mampu mengatasi semua
ancaman, haruslah didukung pelaksanaan akuntabilitas publik yang
dilakukan oleh pemerintah dan lembaga terkait lainnya. Dalam kasus
Indonesia, hal yang krusial adalah bagaimana pemerintah, baik pusat
dan daerah memberikan ruang tumbuh kembangnya local wisdom
yang dapat digunakan sebagai bagian dari upaya pengurangan risiko
bencana.

PENUTUP
Demikianlah pemaparan saya mengenai Sosiologi Kebencanaan dan
Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas sebagai pidato
pengukuhan guru besar di bidang Sosiologi Kebencanaan.

Pesan moral yang ingin saya sampaikan adalah : bahwa masyarakat


sebenarnya telah mewarisi modal kultural dalam beradaptasi
dengan lingkungannya. Untuk itu masyarakat harus diajak bicara
dalam menentukan keselamatannya. Bekerja untuk dan bersama
masyarakat, dalam pengalaman saya, merupakan kebahagiaan hidup

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si | 19


yang tak ada bandingannya. Pengalaman ini, saya percaya, juga
dirasakan oleh para sosiolog dan pemerhati masalah kebencanaan
ketika membantu menjawab permasalahan yang dialami masyarakat.
Kepada para pengambil kebijakan dan pemerhati yang peduli akan
masalah-masalah kebencanaan inilah, pesan dan ajakan, saya
sampaikan.

Selanjutnya dalam kesempatan yang baik ini, ijinkan saya


menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang
secara langsung atau tidak langsung telah membantu terwujudnya
cita-cita sebagaimana yang dapat tercapai hingga hari ini. Sebagai
anak desa yang hidup dari keluarga tentara angkatan ‘45 yang pas-
pasan tentu merasakan suatu kehormatan tinggi dapat berdiri di
mimbar terhormat ini untuk dikukuhkan sebagai Guru Besar di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Jember.
Tanpa bantuan dan dorongan berbagai pihak, tentu hal tersebut
tidak akan terwujud. Untuk itu, kami mengucapan terima kasih
kepada:

Rektor Universitas Jember, para Senat Dewan Guru Besar, Dekan


Fisip Universitas Jember, dan seluruh Civitas Akademika Universitas
Jember, atas segala bantuan, perjuangan, dan perkenannya.
Terutama saya juga mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman sejawat di Program Studi Sosiologi yang telah menerima
saya sebagai anggota keluarga besar Universitas Jember sebagai
dosen tidak tetap sejak tahun 2009. Semoga Allah SWT memberikan
balasan dan pahala kepada Bapak/Ibu sekalian atas kemurahan
hati dan segala bantuan serta dukungannya.

Kepada Presiden RI ke-6 Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono yang


telah memberikan kesempatan kepada saya untuk ikut serta dalam
pengabdian kepada bangsa dan negara di bidang kebencanaan
selama 8 tahun, sehingga dengan kesempatan tersebut saya dapat
lebih mendalami masalah-masalah kebencanaan, yang akhirnya
menghantarkan saya menjadi Guru Besar Sosiologi Kebencanaan.
Untuk itu saya menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya.

20 | Universitas Jember 2015


Saya juga menyampaikan secara khusus, ucapan terima kasih
kepada Dr. Ir. Tarsicius Sutikto, M.Sc sebagai Rektor Universitas
Jember yang kala itu memberikan kesempatan kepada saya
untuk mengabdi di lingkungan Universitas Jember. Juga kepada
Prof. Dr. Kabul Santoso yang dengan keramahtamahannya telah
memberikan arahan dan bimbingan kepada saya untuk dapat
segera menyesuaikan diri di lingkungan Universitas Jember.

Kemudian saya juga tidak lupa untuk mengenang kembali beberapa


tokoh yang telah mengenalkan saya di bidang ilmu pengetahuan,
yakni guru-guru saya di Sekolah Rakyat di Desa Gurah, Kediri, yang
saya sebut dengan hormat antara lain: Bapak Cipto, Bapak Jufri,
Ibu Sutarti dan guru-guru lain yang memberikan bimbingan selama
saya menjadi siswa Sekolah Rakyat tersebut. Begitu juga kepada
guru-guru saya di SMP Islam Gurah Kediri yang saya sebut dengan
hormat: Bapak Dimhari, Bapak Mamuk, Bapak H. Siroj Bachri,
Bapak H. Lukman, Bapak H. Mastur Utsmani, dan lain-lain yang
juga telah memberikan sentuhan pendidikan yang sangat berarti.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada guru-guru saya di STM


Jurusan Mesin Pare, Kediri, yang saya sebut dengan hormat
nama-nama beliau, yakni: Bapak Suratman, Bapak Adnan, Bapak
Abdullah, Ibu Mindayati, Bapak Hariyono dan lain-lain yang telah
memberikan asuhan dan pendidikan yang sangat berguna bagi
karier pengabdian selama ini. Namun kami tetap mengingat bahwa
beliau-beliau adalah sebagai “Great Teacher” yang menginspirasi.

Selanjutnya dalam pengembaraan keilmuan dan karier saya. Saya


harus menyampaikan hormat yang setinggi-tingginya kepada Jenderal
TNI Sarwo Edhie Wibowo sebagai Gubernur Akabri Darat (1970-1973)
dan Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar, sebagai KASAD (1993-
1995). Kedua tokoh tersebut telah memberikan cakrawala bagi para
Perwira untuk menempuh pendidikan umum yang tinggi, disamping
pendidikan profesional militer.

Kemudian saya juga mengucapkan terima kasih kepada para dosen


pasca sarjana Program Studi Ilmu Sosial di Universitas Airlangga.

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si | 21


Kepada almarhum Prof. Dr. Sutandyo Wignyo Subroto, Prof. Dr.
Ramlan Surbakti, dan dosen-dosen lain yang telah memberikan dasar-
dasar ilmu sosial selama saya mengikuti pendidikan jenjang S2. Beliau
inilah yang sekaligus memberikan dorongan dan menjadi sponsor
saya untuk memasuki jenjang pendidikan S3 Jurusan Sosiologi FISIP
Universitas Indonesia.

Kepada Dosen FISIP Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia yang saya


sebut adalah Prof. Dr. Robert Lawang, Prof. Dr. Gumilar Sumantri, Prof.
Dr. Paulus Wirutomo (sebagai promotor), Dr. Iwan Gardono (sebagai
co-promotor) dan Dr. Fransisca Seda yang juga telah memberikan
berbagai cakrawala ilmu pengetahuan, khususnya sosiologi.

Kepada Rektor ITB, Rektor UGM, dan Rektor Unhan, saya juga
mengucapkan terima kasih atas kerjasamanya dalam mewujudkan
program studi kebencanaan untuk jenjang pendidikan S2, dimana
saya juga dapat ikut serta sebagai dosen tamu dan sebagai penguji
eksternal di Universitas terkenal tersebut. Bahkan di ITB saya juga
diberi kehormatan untuk menjabat sebagai Ketua Tim Advisory Board
di bidang Mitigasi Bencana ITB.

Kepada rekan-rekan IABI (Ikatan Ahli ke-Bencanaan Indonesia)


kami ucapkan terima kasih untuk kerjasamanya di bidang riset,
perekayasaan, dan pendidikan yang berkaitan dengan kebencanaan.

Selanjutnya adalah kepada orang-orang yang terdekat dengan saya


yakni teman-teman sejawat di BNPB dan BPBD yang sangat memberi
dukungan kepada saya di dalam menggeluti masalah-masalah
kebencanaan dan berbagai lesson learn yang sangat berguna bagi
pengembangan bidang yang saya geluti sekarang. Banyak pengalaman
yang memperkaya pengetahuan sehingga saya dapat menghasilkan
beberapa teori substantif kebencanaan dalam perspektif sosiologis.

Tak kalah pentingnya juga saya ucapkan penghargaan setinggi-


tingginya kepada rekan-rekan alumni Akabri Tahun 73 yang
memberikan dukungan dan dorongan kepada saya untuk maju terus
dalam mencapai prestasi yang maksimal di bidang pendidikan ini.

22 | Universitas Jember 2015


Secara khusus saya menyampaikan terima kasih yang sangat tulus
atas dukungan dari keluarga saya, yakni isteri saya Nanik Kadariyani,
dan anak-anak serta cucu yang merelakan hak-haknya atas kehadiran
dan kebersamaan saya di tengah-tengah keluarga tetapi telah tersita
waktu dan kesempatan tersebut untuk saya gunakan dalam berbagai
jenjang pendidikan hingga saat ini. Semoga apa yang saya capai
sekarang setara dengan pengorbanan yang mereka berikan, dan
dapat membuat mereka bangga.

Begitu pula kepada Ayah dan Ibu saya : almarhum H. Imam Suhadi
dan almarhumah Hj. Rusminah, saya persembahkan gelar Guru Besar
saya ini sebagai wujud darma bakti atas jerih payahnya melahirkan
dan mendidik saya, sehingga saya dapat mencapai prestasi yang
terhormat seperti sekarang ini. Saya yakin beliau berdua akan bahagia
di alam sana melihat putranya berhasil mencapai cita-citanya.

Akhir kata, saya sampaikan terima kasih yang tak terhingga atas
kehadiran para hadirin dan mohon maaf apabila ada kata-kata yang
tidak berkenan. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk,
bimbingan, dan perlindungan kepada kita semua. Aamiin ya Robbal
alamiin.

Bilahittaufik wal hidayah.


Wassalamu alaikum warohmatullohi wabarakatuh.

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si | 23


DAFTAR PUSTAKA

Barton A.H. 1969. Communities in Disaster: A Sociological Analysis of


Collective Stress. Garden City, NY: Doubleday.
Beck U, 1992, Risk Society: Toward a New Modernity, London: SAGE.
Carr, 1932, What is a Disaster?: Perspectives on the Question.
Cohen, A. P. 1985. The Symbolic Construction of Community London:
Tavistock.
Dekens, J. (2007), Local Knowlegde For Disaster Preparedness: A
Literature Review International Center for Integrated Mountain
Development Kathmandu.
Drabek T.E. 1986, Human System Responses to Disaster. New York:
Springer-Verlag.
Drabek T.E and G.J Hoetmer (eds), 1991, Emergency Management:
Principles and Practice for Local Government. International City
Management Association : Washington D.C
Dynes R.R. 1970. Organized Behavior in Disaster. Lexington, MA:
Lexington Books.
Dynes, R,.1974. Organized Behavior in Disaster. Disaster Research
Center: University of Delaware.
Dynes, Russell R. 1993. “Disaster Reduction: The Importance of
Adequate Assumptions about Social Organization.” Sociological
Spectrum, Vol. 13.
Erikson, K. 1976, Everything in its Path: Destruction of Buffalo Creek.
Frazer, E. 1999. The Problem of Communitarian Politics: Unity and
Conflict. Oxford: Oxford University Press.
Giddens, A. 2005, The New Egalitarianism, Cambridge.
Giddens, A. 2010, Teori Strukturalisasi, Jogjakarta, Pustaka Pelajar.

24 | Universitas Jember 2015


Gilbert C. 1995, Studying Disaster: A Review of the Main Conceptual
Tools.
Hewitt, K. 1983, Interpretations of Calamity From the Viewpoint of
Human Ecology, Allen & Unwin, Boston.
Imelda Abarquez & Zubair Murshed. 2004. Community-Based Disaster
Risk Management: Field Practitioners’ Handbook. Bangkok:
ADPC.
Jabbra, Dwivedi 1989, Public Service Accountability: A Comparative
Perspective. Kumarian Press, Hartford, CTs.
Lassa, Nakmofa and Ramli. 2007. “Modul CBDRM Training for Aceh
CSOs.” Indosasters’s Modules, 2007.
Lassa, Jonatan. 2008. “The Rise of Risk—Where is the Resilience.”
Makalah disampaikan dalam Mid Term Meeting OGB Prime.
Yogyakarta.
Maarif, S. 2012, Pokok-pokok Pikiran & Gagasan Penanggulangan
Bencana di Indonesia, BNPB, Jakarta.
Maarif, S. 2012. Merapi Menyapa Kehidupan: Hidup Harmonis Di
Lereng Merapi, BNPB. Jakarta.
Maskrey, A. 1998, Disaster Mitigation : Community Based Approach,
London; Oxfam.
McKinney, J. 1969, Typification, typologies and sociologicaltheory.
Social Forces, 48:1–12.
Oliver-Smith. 1999, Disaster in Anthropological Perspective.
Rothman, Erlich, Tropman and Cox Eds. 1995. Strategies of Community
Intervention. Illinois: Peacock, Inc. 5th ed.
Schutz, L. 1967, Collected Papers Volume 1: The Problem of Social
Reality. Hague: Martinus Nijhoff.
Singgih. 2006, Masyarakat Indonesia; Majalah Ilmu-ilmu Sosial, LIPI.

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si | 25


Stalling, Robert. A, 1987. “Organizational Change and The Sociology of
Disaster”. Pp 239-257 in Sociology of Disasters: Contributions of
Sociology to Disaster Research, edited by Russel R. Dynes, Bruna
DeMarchi, and Carlo Pelanda. Milano, Italy : Franco Angeli Press
Taylor, V.A. 1977, Good News About Disasters. Psychol.
Tierney, K. 2007, Conceptualizing and Measuring Resilience: A Key to
Disaster Loss Reduction.
Twigg, J. M. Batt, eds. 1998, Understanding Vulnerability : South Asian
Perspective; London; ITGD.
Uriel Rosenthal, 1989. Coping With Crises: The Management of
Disasters, Riots and Terrorism.
Wisner, 1995. Dynamics of Disaster: Lessons on Risk, Response and
Recovery.
Westgate and O’Keefe, 1976. Geomorphology, Natural Hazards,
Vulnerability and Prevention of Natural Disasters in Developing
Countries.
UNISDR, 2009. Terminology on Disaster Risk Reduction.

26 | Universitas Jember 2015


RINGKASAN RIWAYAT HIDUP
Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si. Pangkat/
Golongan: Pembina Utama/IVe. Jabatan
Fungsional Profesor/Guru Besar bidang
ilmu Sosiologi Kebencanaan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember,
berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 156156/A4.3/KP/2014.
Jabatan struktural Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB).

Dilahirkan di Kauman, Gurah, Kediri, Jawa Timur pada tanggal 27


September 1950, dari pasangan orangtua Bapak H. Imam Suhadi dan
Ibu Hj. Rusminah. Menikah dengan Hj. Nanik Kadaryani dikaruniai
tiga orang anak yaitu Erwin Yudhoprasetyo, Kartika Wulanningrum,
dan Alya Kusumaningrum.

Menamatkan pendidikan SD, SMP, STM di Kediri, kemudian


melanjutkan pendidikan Akademi Militer di Magelang hingga lulus
tahun 1973. Beberapa kursus militer di dalam dan luar negeri diikuti.
Pangkat terakhir di militer adalah Mayor Jenderal TNI AD. Pada
tahun 1997 menyelesaikan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu
Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya. Pada tahun 2007
menyelesaikan pendidikan S3 di Jurusan Sosiologi FISIP Universitas
Indonesia, Jakarta.

Pada tahun 2006 alih status sebagai Pegawai Negeri Sipil dan
menjabat Kepala Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana (Bakornas PB), yang kemudian berganti menjadi BNPB
hingga sekarang. Selama berkarir dalam penanggulangan bencana,
telah beberapa kali menjadi pembicara seminar internasional di
Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Jepang, Swiss, Kanada, Selandia
Baru, Kamboja, Australia, Turki, Spanyol, Belanda, dan Mesir. Selama
tahun 2004-2006 menjadi Ketua Pokja Sosial Ekonomi Kerjasama

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si | 27


Indonesia-Malaysia. Pada tahun 2010, menjadi keynote speaker
pada World Reconstruction Conference di Jenewa, Swiss. Pada tahun
2010, sebagai Ketua Delegasi Pemerintah Indonesia pada 4th Asian
Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction di Incheon, Korea
Selatan. Pada tahun 2011 ditunjuk oleh Presiden RI, sebagai focal
point dan hadir pada 3rd Global Platform for Disaster Risk Reduction
di Jenewa, Swiss sebagai bagian dari delegasi Indonesia. Pada tahun
2011 menjadi Chairman ARF Direx (Asean Regional Forum Disaster
Relief Exercise) di Manado yang diikuti 27 negara. Pada tahun 2012
menjadi Chairman dalam 5th Asian Ministerial Conference on
Disaster Risk Reduction (AMCDRR) di Yogyakarta yang dihadiri 62
negara dan tercatat sebagai ajang AMCDRR terbesar. Pada tahun
2013 menjadi keynote speaker dalam konferensi internasional
the Global Thematic Consultation on Disaster Risk Reduction and
the Post-2015 Development Agenda di Jakarta. Pada tahun 2013
menjadi Ketua Delegasi Pemerintah Indonesia pada The Global
Platform for Disaster Reduction di Geneva, Swiss. Tahun 2014
menjadi Ketua Delegasi Pemerintah Indonesia pada The 6th Asian
Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction di Bangkok,
Thailand. Pada Maret 2015, menjadi moderator dalam Working
Session: Lesson From Mega-Disasters di Third UN World Conference
on Disaster Risk Reduction, Sendai, Jepang. Dalam konferensi dunia
di Sendai tersebut juga menyampaikan statement dalam Ministerial
Roundtable Governing Disaster Risk: Overcomming Challenges, dan
Ministerial Roundtable: Reducing Risk in Urban Setting.

Publikasi ilmiah yang telah banyak dihasilkan, baik jurnal ilmiah


internasional, jurnal ilmiah nasional, buku atau bagian dari buku
yang diterbitkan tingkat nasional, artikel ilmiah populer di media
massa, dan makalah tidak diterbitkan. Banyak keikutsertaan sebagai
pembicara dalam kegiatan ilmiah di tingkat internasional dan di tingkat
nasional. Beberapa buku yang telah diterbitkan antara lain: Militer
Pasca Perang Dingin: Militer Posmo (2010); Militer Dalam Parlemen
1960-2004 (2010); Perilaku Kolektif Dan Gerakan Sosial (2011);
Kapital Sosial (2011); Merapi Menyapa Kehidupan, Hidup Harmonis
di Lereng Merapi (2012); Pikiran dan Gagasan Penanggulangan
Bencana di Indonesia (2012); Lima Tahun BNPB: Tumbuh, Utuh,

28 | Universitas Jember 2015


Tangguh (2013), dan sebagainya. Beberapa jurnal ilmiah yang telah
diterbitkan antara lain: Bencana dan Penanggulangannya, Tinjauan
dari Aspek Sosiologis (2010); Meningkatkan Kapasitas Masyarakat
Dalam Mengatasi Resiko Bencana Kekeringan (2011); Kontestasi
Pengetahuan Dan Pemaknaan Tentang Ancaman Bencana Alam
(Studi Kasus Ancaman Bencana Gunung Merapi) (2012); Initation
Of The Desa Tangguh Bencana Through Stimulus-Response Method
(2012), Sosiologi Bencana (2014), dan sebagainya. Selain itu,
juga telah menyusun beberapa bahan ajar perkuliahan di bidang
Kapital Sosial, Sosiologi Politik, Sosiologi Lingkungan, Sosiologi
Kebencanaan, Manajemen Bencana, Analisis Risiko Bencana, dan
Analisis Statistika Lingkungan dan Kebencanaan.

Di dunia akademik, aktif menjadi dosen tidak tetap di Jurusan


Sosiologi, FISIP, Universitas Jember, dosen tetap di Program
Studi Magister of Disaster Management for National Security,
Universitas Pertahanan (Unhan) Indonesia, dosen Pascasarjana di
Universitas Bung Hatta, Padang, serta dosen tamu di ITB Bandung,
UGM Yogyakarta, Sesko TNI-AD dan Sesko TNI. Banyak melakukan
bimbingan kepada mahasiswa S1, S2,d an S3. Selain itu, juga menjadi
Ketua Dewan Pembina Ikatan Ahli ke-Bencanaan Indonesia (IABI),
Ketua Dewan Pembina Forum Peduli Bencana Indonesia (FPBI),
Ketua Dewan Penasihat Platform Nasional Pengurangan Risiko
Bencana (Planas PRB), dan anggota Advisory Board Pusat Penelitian
Mitigasi Bencana, ITB Bandung.

Beberapa penghargaan yang pernah diperoleh antara lain:


Penganugerahan gelar dari Keraton Surakarta pada 2002 atas jasa
beliau dalam pelestarian budaya, dengan gelar Kanjeng Raden Haryo
Tumenggung (KRHT) sehingga diberi nama KRHT Syamsul Maarif
Martodipuro, yang artinya penjaga negara. Pada 2010 memperoleh
gelar Nusa Reksa Pratama oleh UGM Yogyakarta atas kepedulian
terhadap penanggulangan bencana di Indonesia. Pada tahun 2011
Pemerintah Indonesia memberikan tanda penghormatan Bintang
Mahaputra Utama. Satu tahun berselang, masyarakat adat Sumba
Timur menganugerahi Umbu Ratu Jawa atas kepedulian kepada
masyarakat Nusa Tenggara Timur, khususnya masyarakat Sumba.

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si | 29


Pada 2012, masyarakat adat Minangkabau di Sumatera Barat
memberi gelar Sangsako, Yang Dipatuan Rajo Maulana Paga Alam
di Istana Pagaruyung, Tanah Datar. Pada 2012, Sri Sultan HB X
memberikan penghargaan Duta Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat.
Tahun 2014, Sultan Kutai Kartanegara memberikan gelar Pangeran
Merto Negoro, dan tahun 2014 Pemerintah Indonesia memberikan
tanda penghormatan Bintang Mahaputra Adipradana. Di tahun
2014, juga mendapat penghargaan dari Menteri Koordinator bidang
Kesejahteraan Rakyat yakni Lencana Bhakti Kesra Utama. Pada
tahun 2015, masyarakat Raja Ampat, Papua, memberikan gelar
Snon Soren yang artinya Raja Laut.

30 | Universitas Jember 2015

Anda mungkin juga menyukai