Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Pendayagunaan Dana ZIS Untuk Korban Bencana Sosial

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Pendayagunaan

Ziswaf

Dosen Pengampu : Usfiyatul Marfu’ah, M.S.I

Disusun Oleh:

Muhamad Iqbal Fahmi 1901036159

Muhammad Naufal aufada 1901036160

Afinda Arba Sekar Muslimah 1901036161

Ahmad Anwar Ibrahim 1901036162

Alfat Dika Ardiana 1901036163

MANAJEMEN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendayagunaan dana zakat adalah bentuk pemanfaatan sumber daya (dana


zakat) secara maksimum sehingga berdayaguna untuk mencapai kemaslahatan bagi
umat. Pendayagunaan dana zakat diarahkan pada tujuan pemberdayaan melalui
berbagai program yang berdampak positif (maslahat) bagi masyarakat khususnya
umat Islam yang kurang beruntung (golongan asnaf). Dengan pemberdayaan ini
diharapkan akan tercipta pemahaman dan kesadaran serta membentuk sikap dan
perilaku hidup individu dan kelompok menuju kemandirian (Khasanah, 2010: 198).

Pendayagunaan zakat harus berdampak positif bagi mustahiq, baik secara


ekonomi maupun sosial. Dari sisi ekonomi, mustahiq dituntut benar-benar dapat
mandiri dan hidup secara layak sedangkan dari sisi sosial, mustahiq dituntut dapat
hidup sejajar dengan masyarakat yang lain. Hal ini berarti, zakat tidak hanya
didistribusikan untuk hal-hal yang konsumtif saja dan hanya bersifat charity tetapi
lebih untuk kepentingan yang produktif dan bersifat edukatif (Ridwan, 2004: 216).

Zakat, salah satu filantropi Islam yang bermakna dukungan dan upaya
saling menolong dan saling bantu. Zakat adalah ibadah sosial, kewajiban
mengeluarkan 2,5% harta yang dimiliki untuk orang lain guna mensucikan harta
yang dimiliki. Bila dikelola dengan baik, maka zakat bisa menjadi jaring pengaman
sosial bagi kelompok duafa, mustadhafin. Apalagi potensi zakat yang tinggi di
Indonesia. Akan tetapi, sayangnya, pemberian zakat belum menyentuh kelompok
perempuan dan anak korban kekerasan seksual, KDRT, ataupun incest. Misalnya
visum at repertum yang berbayar. Atau BPJS yang tidak menanggung biaya
pemulihan para korban karena tidak dianggap sebagai penyakit yang menjadi
kewenangan BPJS.

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis akan mengkaji


mengenai Pendayagunaan Dana ZIS Untuk Korban Bencana Sosial.
BAB II

PEMBAHASA

A. Pengertian Bencana Sosial

Menurut Undang-Undang nomor 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa


atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.1

Selama ini bencana selalu dipahami sebagai sesuatu peristiwa alam seperti
gempa bumi, gunung meletus. Padahal suatu peristiwa yang terjadi akibat perilaku
manusia seperti terorisme, kerusuhan juga suatu bencana. Organisasi kesehatan
dunia WHO mendefinisikan bencana sebagai: ‘An occurrence disruptions of
existence and causing a level of suffering that the capacity of adjustment of the
affected community’ Bencana kata lainnya adalah musibah yaitu merupakan
pengalaman yang dirasakan tidak menyenangkan karena dianggap merugikan oleh
korban yang terkena musibah. Berdasarkan asal katanya, musibah berarti
lemparan (arramyah) yang kemudian digunakan dalam makna bahaya, celaka, atau
bencana dan bala. Menurut Al-Qurtubi, musibah atau bencana adalah apa saja
yang menyakiti dan menimpa diri seseorang atau sesuatu yang berbahaya yang
menyusahkan manusia, betapapun kecilnya. Bencana dapat menimbulkan
penderitaan maupun kesengsaraan bagi korbannya yang terkadang berlangsung
dalam waktu yang panjang atau bahkan seumur hidup, oleh karena itu setiap orang
berusaha menghindar diri dari kemungkinan tertimpa musibah. Kesimpulannya
bencana merupakan suatu kejadian yang menggangu keadaan dalam kondisi
normal dan mengakibatkan penderitaan yang melampui kapasitas penyesuaian
komunitas yang mengalaminya. Bencana sosial merupakan kejadian yang dapat
menyebabkan kerusakan parah pada kehidupan dan harta benda yang diakibatkan
oleh kecerobohan, kelalaian, bahkan kesenjangan manusia untuk menyakiti
manusia yang lain. Misal: kebakaran, terorisme, konflik antar etnis dll.
Berdasarkan

1
Rahman Tanjung, Manajemen Mitigasi Bencana. Bandung. (Bandung: Widina Bhakti Persada, 2020).
beberapa hasil penelitian, dampak terhadap kehidupan akibat bencana sosial
dirasakan lebih mendalam daripada akibat bencana alam pada masyarakat2

B. Jenis Bencana Sosial

Wilayah Indonesia dilihat dari kondisi geografis, geologis, hidrologis dan


demografis termasuk daerah rentan bencana. Bencana menyebabkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak
psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan
nasional. Dikutip dari situs resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB), bencana dapat disebabkan oleh:

a. Faktor alam

b. Faktor non alam

c. Faktor manusia

Jenis-jenis bencana sosial berdasarkan penyebabnya:

a. Konflik sosial

Konflik sosial atau kerusuhan sosial (huru-hara) adalah suatu gerakan


massal yang bersifat merusak tatanan dan tata tertib sosial yang ada.
Konflik sosial dipicu oleh kecemburuan sosial, budaya dan ekonomi yang
biasanya dikemas sebagai pertentangan antara Suku, Agama, Ras dan
Antargolongan (SARA).

b. Aksi teror

Aksi teror adalah aksi yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan
sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Aksi teror
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
atau menimbulkan korban yang bersifat masal. Aksi teror dilakukan
dengan cara merampas kemerdekaan sehingga mengakibatkan hilangnya
nyawa dan harta benda. Juga mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
terhadap

2
Wening Wihartati, “Dakwah Pada Korban Bencana Alam Dan Bencana Sosial”, Jurnal Ilmu Dakwah 34, no. 1
(2014): 279-280.
obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas
publik internasional.

c. Sabotase

Sabotase adalah tindakan yang dilakukan untuk melemahkan musuh


melalui subversi, penghambatan, pengacauan dan atau penghancuran.
Dalam perang, istilah sabotase digunakan untuk mendeskripsikan aktivitas
individu atau grup yang tidak berhubungan dengan militer tetapi dengan
spionase. Sabotase dapat dilakukan terhadap beberapa struktur penting,
seperti infrastruktur, struktur ekonomi dan lain-lain.3

C. Macam-Macam Dan Bentuk Korban Bencana Sosial Berdasarkan


Gender Dan Usia

Kerentanan terhadap bencana sosial merupakan salah satu fokus dari


kajian bencana dengan menggunakan perspektif, gender. Konsep gender pada
dasarnya berkaitan dengan hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-
laki. Hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki ini menjadi semakin
rumit apabila sudah dihubungkan dengan status perkawinan, etnisitas, agama,
status sebagai pengungsi, dan sebagainya. Studi mengenai gender dan bencana
sosial memandang gender sebagai konstruksi sosial yang menekankan
perbedaan kuasa diantara perempuan dan laki-laki, serta merefleksikan
pendekatan kerentanan sosial dalam mengkaji bencana (Enarson dan
Meyreles, nd). Kerentanan merupakan potensi untuk mengalami kerusakan
atau kerugian, yang berkaitan dengan kapasitas untuk mengantisipasi,
mengatasi dan mencegah bahaya, serta memulihkan diri dari dampak bahaya.
Kondisi ini ditentukan baik oleh faktor fisik, lingkungan, sosial, politik dan
juga budaya.

Secara teoritik perhatian terhadap sosok perempuan dalam situasi


bencana sosial banyak memunculkan opini yang memiliki perbedaan
perspektif. Beberapa penulis seperti Enarson, Shrader, Delaney, Byrne dan
Baden sudah membawa muatan gender dalam menganalisa tanggapan dan
mitigasi bencana sosial, dimana beberapa diantaranya menemukan hasil
yang sangat menarik,

3
Pusdiklat PMI Jawa Tengah, Materi Pelatihan Dukungan Psikososial PMI Daerah Jawa Tengah, (Salatiga : PMI
Jawa Tengah,2006),
terutama tentang kerentanan seorang perempuan. Enarson (2000) menyatakan
bahwa gender membentuk dunia sosial di dalamnya, dimana berbagai
peristiwa baik itu peristiwa alam atau sosial terjadi. Perempuan dibuat menjadi
lebih rentan terhadap bencana melalui peran sosial yang mereka bangun.
Perempuan memiliki lebih sedikit akses terhadap sumberdaya, seperti jaringan
sosial, transportasi, informasi, keterampilan, kontrol sumberdaya alam dan
ekonomi, mobilitas individu, jaminan tempat tinggal dan pekerjaan, bebas dari
kekerasan,dan memegang kendali atas pengambilan keputusan. Padahal itu
semua penting dalam kesiapsiagaan mengantisipasi bencana sosial,
mitigasi,dan rehabilitasi paska bencana.

D. Macam dan Bentuk Korban Bencana Sosial Berdasarkan Usia

Bencana sosial memiliki pengaruh terbesar pada kelompok yang paling


rentan terutama adalah kelompok usia anak-anak (Nakamura, 2005). Hal ini
disebabkan karena anak-anak secara langsung mengalami, merasakan, dan
menyaksikan dampak yang ditimbulkan akibat faktor usia yang masih belum
matang secara pertumbuhan psikologis. Berdasarkan keadaan psikologis yang
dialami pada usia anak-anak dan remaja akibat dari dampak bencana sosial
akan berlangsung lama setelah insiden bencana sosial terjadi (Ando et al.,
2011; Fergusson, Horwood, Boden, & Mulder, 2014). Kondisi tersebut akan
semakin memburuk bila tidak ditangani dengan baik dan dideteksi sejak awal
dengan caramelakukan identifikasi masalah pada korban bencana sosial.
Gejala kecemasan klinis yang muncul pada anak korban bencana sozial
mempunyai skor 20-23 yang dinilai dari dalam tiga faktor kecemasan yaitu:
keterasingan sosial, faktor fisik dan ketakutan berlebih. yang dimanifestasikan
dengan merasa sendiri walaupun saat di tempat ramai, khawatir saat akan
tidur, susah untuk tidur malam, bermimpi buruk, mudah marah, tangan
berkeringat, dan sulit berkonsentrasi dengan tugas di sekolah.4

4
Zurriyatun Thoyibah, dkk, Gambaran Dampak Kecemasan Dan Psikologis pada Anak Korban Bencana, journal
of Holistic Nursing amd Health Science, Volume 2, No 1, Juni 2019
Berdasarkan kajian yang dilakukan Oxfam (2006), sebagian besar
korban (60 sampai 70 persen) adalah perempuan, anak-anak dan lanjut usia
(lansia). Gambaran ini terjadi pada bencana alam dan bencana sosial. Dengan
kondisi yang demikian maka penanganan bencana perlu dilakukan secara
holistik dan tidak mengesampingkan perbedaan usia pada semua tahapan
penanganan bencana dari tahap tanggap darurat hingga tahap rekonstruksi
paska bencana. Kerentanan perempuan dalam situasi bencana sosial dapat
dikelompokkan dalam dua tahapan, yaitu pada saat terjadi bencana sosial dan
setelah terjadi bencana sosial atau masa recovery (www.lptp.or.id).Pada saat
terjadi bencana sosial, kondisi perempuan tidak diuntungkan karena posisinya
sebagai perempuan.

Dalam bencana sosial banyak perempuan yang menjadi korban disertai


oleh anak-anak. Perempuan tidak bisa berlari cepat untuk menghindari
bencana sosial tanpa kepastian apakah anak-anaknya sudah selamat atau
belum. Perempuan tidak hanya memikirkan bagaimana dia selamat, tetapi juga
bagaimana dia harus menyelamatkan anak-anak dan keluarganya. Perempuan
tidak kuasa untuk berlari secara cepat karena dia harus menggendong anaknya
atau menggandeng anaknya, sementara bencana sosial bisa kapan saka terjadi
dan begitu cepat melebihi kecepatan seorang ibu berlari. Kerentanan
perempuan pada masa recovery berkaitan erat karena tidak terpenuhinya hak-
hak perempuan. Pemenuhan kebutuhan paska bencana sosial cenderung
menyamaratakan antara kebutuhan perempuan dan laki-laki. Banyak
kebutuhan, khususnya perempuan yang terlewatkan, karena tidak dianggap
sebagai kebutuhan yang mendesak.

E. Prinsip Rehabilitasi dan Rekonstruksi Korban Bencana Sosial


a. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca
bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara
wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana. Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan :
i. perbaikan lingkungan daerah bencana
ii. perbaikan prasarana dan sarana umum
iii. pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat
iv. pemulihan sosial psikologis
v. pelayanan kesehatan
vi. rekonsiliasi dan resolusi konflik
vii. pemulihan sosial ekonomi budaya
viii. pemulihan keamanan dan ketertiban
ix. pemulihan fungsi pemerintahan
x. pemulihan fungsi pelayanan publik.
Kegiatan rehabilitasi harus memperhatikan pengaturan mengenai standar
konstruksi bangunan, kondisi sosial, adat istiadat, budaya dan ekonomi. (Perka BNPB
No 11 Tahun 2008)
Tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana).
Kaitannya dengan rehabilitasi sektor permukiman penduduk, telah diatur lebih jauh
dan teknis dalam pedoman rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut diatas yang
meliputi :
a. Rumah atau rumah tinggal merupakan bangunan yang berfungsi sebagai
tempat penghunian warga masyarakat selama lebih dari satu putaran musim.
Secara fisik rumah terdiri atas komponen bangunan gedung, pekarangan
atau tanah tempat berdirinya, dan utilitasnya (watsan, energi).
b. Rumah masyarakat adalah rumah tinggal yang dipergunakan sebagai
tempat hunian bagi masyarakat umum, meliputi:
i. Rumah individual: rumah tinggal tunggal untuk rumah tangga tunggal
ii. Rumah bersama: rumah tinggal tunggal untuk rumah tangga
majemuk, rumah gandeng/deret/panjang, rumah susun,
apartemen/condominium, rumah sewa. Tidak termasuk rumah
masyarakat adalah rumah dinas, rumah tinggal sementara/akomodasi
(homestay, asrama, tempat kost, wisma tamu/guesthouse, villa dan
bungalow [second home]), rumah gedongan (mansion).
c. Yang dimaksud dengan bantuan adalah segala sumberdaya yang diperlukan
untuk pelaksanaan rehabilitasi rumah masyarakat yang menjadi korban
bencana, meliputi: dana, peralatan, material, sumberdaya manusia (tenaga ahli,
tenaga pendamping, tenaga kerja).
d. Menjadi target pemberian bantuan adalah masyarakat korban bencana yang
rumah/lingkungannya mengalami kerusakan struktural hingga tingkat sedang
akibat bencana, dan masyarakat korban berkehendak untuk tetap tinggal di
tempat semula. Kerusakan tingkat sedang adalah kerusakan fisik bangunan
sebagaimana Pedoman Teknis (Dep PU, 2006) dan/atau kerusakan pada
halaman dan/atau kerusakan pada utilitas, sehingga mengganggu
penyelenggaraan fungsi huniannya. Untuk bangunan rumah rusak berat atau
roboh diarahkan untuk rekonstruksi.
e. Tidak termasuk sasaran pemberian bantuan rehabilitasi
adalah rumah/lingkungan dalam kategori:
i. Pembangunan kembali (masuk dalam rekonstruksi)
ii. Pemukiman kembali (resettlement dan relokasi)
b. Rekontruksi

Menurut KBBI, rekonstruksi diartikan sebagai pengembalian seperti


semula. Sehingga dapat dipahami bahwa rekonstruksi merupakan sebuah
pembentukan kembali atau penyusunan ulang untuk memulihkan hal yang
awalnya tidak benar menjadi benar. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 21 tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana
mendefenisikan rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta
langkahlangkah nyata yang terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk
membangun kembali secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem
kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat, dengan
sasaran utama tumbuh berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan
budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran dan partisipasi
masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di wilayah
pasca bencana. Tujuan penyelenggaraan rekonstruksi adalah membangun
kembali dalam jangka panjang secara permanen sebagian atau seluruh sarana
dan prasarana fisik dan non-fisik, beserta seluruh sistem kelembagaan dan
pelayanan yang rusak akibat bencana, agar kondisinya pulih kembali dan
fungsinya dapat berjalan dengan baik dan masyarakat dapat terlindungi lebih
baik dari berbagai ancaman bencana. Pelaksana Rekonstruksi adalah semua
unit kerja yang 45 terlibat dalam kegiatan rekonstruksi, di bawah koordinasi
pengelola dan penanggungjawab kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca
bencana pada lembaga yang berwenang menyelenggarakan penanggulangan
bencana di tingkat nasional dan daerah. (Peraturan Kepala BNPB No. 11
Tahun 2008 Tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi) Lingkup
pelaksanaan program rekonstruksi fisik lebih jauh diatur dalam Perka BNPB
tersebut. Yang dimaksud dengan rekonstruksi fisik adalah tindakan untuk
memulihkan kondisi fisik melalui pembangunan kembali secara permanen
prasarana dan sarana permukiman, pemerintahan dan pelayanan masyarakat
(kesehatan, pendidikan dll), prasarana dan sarana ekonomi (jaringan
perhubungan, air bersih, sanitasi dan drainase, irigasi, listrik dan
telekomunikasi dll), prasarana dan sarana sosial (ibadah, budaya dll.) yang
rusak akibat bencana, agar kembali ke kondisi semula atau bahkan lebih baik
dari kondisi sebelum bencana. Cakupan kegiatan rekonstruksi fisik
mencakup, tapi tidak terbatas pada, kegiatan membangun kembali sarana dan
prasarana fisik dengan lebih baik dari hal-hal berikut:

i. Prasarana dan sarana

ii. Sarana sosial masyarakat

iii. penerapan rancang bangun dan penggunaan peralatan yang lebih baik
dan tahan bencana.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda dan dampak psikologis. Bencana sosial merupakan kejadian yang dapat
menyebabkan kerusakan parah pada kehidupan dan harta benda yang diakibatkan oleh
kecerobohan, kelalaian, bahkan kesenjangan manusia untuk menyakiti manusia yang
lain. Misal: kebakaran, terorisme, konflik antar etnis dll.

Berbagai gangguan sosial membuat perempuan berada pada posisi yang sangat
lemah dan rentan. Untuk kebutuhan kelompok perempuan sendiri terbagi menjadi
beberapa tingkatan usia, mulai dari kebutuhan kelompok gadis remaja, perempuan
dewasa, ibu hamil, ibu menyusui dan perempuan lanjut usia. Seluruh pembagian
kelompok usia perempuan tersebut memiliki kebutuhan yan berbeda-beda, namun
secara garis besar kelompok-kelompok perempuan akan mengalami pemindahan
akibat asal tempat yang tidak memungkinkan lagi untuk ditinggali, kerugian sosial
dan material, terkena banyak penyakit akibat asupan makanan yang sangat minim
vitamin dan mineral, dan gangguan psikologi.

Dana zakat disalurkan kepada korban bencana menurut peraturan


perundangundangan tentang pengelolaan zakat dan menurut peraturan perundang-
undangan tentang penanggulangan bencana. Dan pasal ini menjadi ujung tombak dan
dasar hukum bagi Badan Amil Zakat yang akan melakukan pemberdayaan zakat
dalam menanggulangi bencana. Untuk kategori korban bencana terabagi menjadi dua
yang
DAFTAR PUSTAKA

Pusdiklat PMI Jawa Tengah, Pusdiklat PMI Jawa Tengah, Materi Pelatihan Dukungan
Psikososial PMI Daerah Jawa Tengah, Materi Pelatihan Dukungan Psikososial PMI Daerah
Jawa Tengah, Salatiga : PMI Jawa Tengah, 2006.

Thoyibah Zurriyatun, , Gambaran Dampak Kecemasan Dan Psikologis pada Anak Korban
Bencana, journal of Holistic Nursing amd Health Science, Volume 2, No 1, 2019.

Tanjung Rahman, Manajemen Mitigasi Bencana. Bandung, Bandung: Widina Bhakti


Persada, 2020.

Wihartati Wening, “Dakwah Pada Korban Bencana Alam Dan Bencana Sosial”, Jurnal
Ilmu Dakwah 34, no. 1, 2014.

Anda mungkin juga menyukai