Anda di halaman 1dari 6

Resume Kuliah Tamu

Psikologi Sosial
Psiko

GENDER, BENCANA, DAN


KOMUNITAS YANG MUNCUL
Erriska Nur Aulia (205120301111059)
Program Studi S1 Psikologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang terletak di daerah rawan bencana. Indonesia
sering kali dihadapkan dengan berbagai bencana; tanah longsor, tsunami, gempa bumi
dll. Dampaknya yang begitu besar tentunya membuat berbagai kelompok ataupun
komunitas memiliki pengalaman dan respon yang berbeda. Berbagai masalah akibat dari
bencana alam maupun bencana sosial sangat membutuhkan perhatian khusus. Banyak
aspek yang harus terlibat dalam penanganannya. Terutama dari aspek sumber daya
manusia. Sebab faktor dari terjadinya bencana sosial maupun bencana alam tidak terlepas
dari keberadaan manusia sebagai aktor. Dan nantinya manusia juga yang akan
menanggung segala risiko sebagai akibat dari terjadinya peristiwa bencana. Namun hal
yang tidak bisa dipungkiri adalah, manusia memberikan respon berbeda terhadap bencana
yang melanda. Khususnya antara peran laki-laki dan perempuan atau yang biasa disebut
dengan gender. Respon yang berbeda tersebut perlu dikaji lebih dalam agar terhindar dari
kerentenan sosial. Bencana terjadi ketika terdapat antarmuka antara peristiwa fisik yang
ekstrim dan bahaya dengan populasi sumber daya manusia yang rentan (Susman, 1983).
Saat ini dunia dilanda dengan adanya pandemi Covid-19 yang tentunya berdampak pada
kerentanan sosial. Kerapuhan sosial yang berasal dari suatu wilayah sebagai akibat dari
munculnya bencana dan bahaya, berpotensi menghancurkan serta merugikan dapat
disebut dengan kerentanan sosial (Putri & Muhammad, 2019). Apabila kerentanan sosial
sulit untuk dikendalikan maka akan timbul dampak yang cukup besar saat terjadi bencana
sosial maupun bencana alam.

Adanya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang terkesan menjadi
stratifikasi sosial sangat berpengaruh terhadap respon terjadinya bencana. Respon
tersebut yang nantinya akan membentuk sebuah manajemen bencana. Dalam tulisannya
yang berjudul “Gender Equality, Work, and Disaster Reduction: Making the
Connection” Elaine Enarson menjelaskan bahwa akibat dari terjadinya bencana
mendapatkan respon yang berbeda dalam suatu masyarakat. Menurutnya respon tersebut
sebagai salah satu kerentanan yang kompleks dan dipengaruhi oleh banyak aspek. Salah
satunya merupakan perbedaan sumber daya yang diperlukan guna bertahan hidup maupun
saat recovery pasca-bencana. Akan tetapai, Enarson menggaris bawahi apabila
perempuan bagian dari kelompok masyarakat yang termasuk dalam daftar kelompok
dengan tingkat risiko yang cukup tinggi terhadap bencana (Enarson, 2002). Perempuan
tentunya juga dapat mengambil peran sebagaimana perbedaan gender yang telah
mengakibatkan kerentanan terhadap bencana, maka para perempuan juga dapat mencapai
kapasitas orang untuk bersiap, bertahan, dan pulih kembali. Adanya kesadaran dan
perilaku tanggap bencana sangat dibutuhkan. Tahap emergency dan recovery termasuk
rekontruksi dan rehabilitasi tentunya dapat melibatkan peran laki-laki maupun
perempuan. Gender mainstriming sebagai upaya dalam mencapai pengurangan risiko
bencana mendorong para perempuan agar mendapatkan tempat dalam manajemen,
pengambilan keputusan, dan kepemimpinan saat diadakan program penanganan bencana
sosial maupun bencana alam (Fatimah, 2008). Permasalahan terkait gender bukan hanya
menarik perempuan mengalami situasi yang lebih rentan saat bencana. Permasalahan
tersebut juga memengaruhi kondisi perempuan pasca-bencana, selain dikarenakan status
gender, posisi perempuan dalam masyarakat juga turut andil menjadi faktor yang
meningkatkan kerentanan perempuan saat terjadi dan pasca-bencana.

PEMBAHASAN
Terdapat perbedaan yang mendasar dari kata emergency, disater, dan,
catastrophe. Emergency adalah akibat lokal yang dapat dikelola serta dituntaskan dengan
sumber daya lokal pula. Contohnya seperti kecelakaan, banjir lokal, bangunan runtuh, dll.
Kemudian disaster adalah dampak lokal atau regional, dapat dikelola dengan sumber
daya lokal maupun regional. Sumber daya nasional juga dapat diturut sertakan meskipun
efek merusak tidak sampai bersifat nasional. Selain itu, infrastrutur masyarakat di sekitar
terjadinya peristiwa masih utuh. Lalu, catastrophe merupakan peristiwa yang secara
langsung atau tidak langsung memengaruhi seluruh negara. Diperlukan tanggapan
nasional maupun internasional. Catastrophe dapat mengancam kesejahteraan umat
manusia di dunia dalam jangka waktu yang cukup lama. Contohnya adalah Covid-19
yang terjadi saat ini. Covid-19 cukup menciptakan tingkat kerentanan yang berbeda bagi
kelompok populasi yang berbeda pula. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena terdapat
faktor budaya dan wacana politik yang turut memengaruhi sudut pandang masyarakat
terkait Covid-19. Adapun kerentanan sosial merupakan kondisi rentan disebabkan adanya
tekanan yang beraksi pada individu dan masyarakat pada tingkat mikro dan akan menjadi
makro ketika tekanan berupa struktur dan proses menciptakan kondisi rentan. Biasanya
kerentanan ini berasal dari spektrum proses sejarah dan sosial. Adanya bahaya bencana
ditambah dengan kerentanan tentunya berdampak pada meningkatnya risiko bencana.
Contohnya, saat terdapat perawatan kesehatan yang tidak komperehensif dan
ketidakamanan area perumahan akan berdampak pada meningktnya kerentanan terhadap
Covid-19. Perlu diperhatikan bahwa kapasitas adaptif dan ketahanan sangat berdampak
pada risiko dan kerentanan. Adapun kerentanan sosial juga terjadi dikarenakan beberapa
faktor antara lain; kondisi ekonomi yang tidak mencukupi (mata pencaharian tidak stabil,
tidak terdapat tabungan), alami (ketergantungan pada sumber daya alam yang tidak
memadai), bangunan (desain struktural, lokasi tempat tinggal), dan sosial (masyarakat
tidak terorganisir dengan baik dan terdapat ketidaksetaraan sosial). Dan apabila ditinjau
lebih dalam, terdapat konstruksi sosial yang dibangun seperti hubungan antara kekuasaan
dan konstruksi sosial yang mengakibatkan kerentanan memengaruhi dampak bencana dan
respon masyarakat. Dijelaskan bahwa saat social process view ditambah dengan
interpretative view akan menghasilkan social construction of disaster. Selanjutnya
terdapat konteks yang berpengaruh terhadap hasil. Antara lain, proses sosial, politik,
ekonomi, kelembagaan, dan perubahan, berdampak pada hasil berupa sensitivitas,
eksposur, dampak, bahaya, dan ketahanan. Selain itu terdapat kapasitas adaptif yang
dapat diterapkan yaitu dengan keanekaragaman sumber daya produktivitas kapasitas
koping. Kemudian dengan resiliensi transformatif dengan cara belajar, berubah, adaptif,
fleksibilitas, kemampuan beradaptasi, dan reorganisasi. Dan regenerasi serap berupa
pemulihan dan stabilitas.

Manajemen Bencana erat kaitannya dengan keberhasilan pemulihan dan


stabilitas. Namun, akan sulit diwujudkan apabila terdapat kesenjangan dalam penanganan
bencana sebab perbedaan gender. Hubungan gender dengan adanya bencana alam
dibangun secara sosial berdasarkan kondisi geografis, budaya, politik, ekonomi, dan
kondisi sosial yang berbeda memiliki konsekuensi kompleks bagi peran perempuan dan
laki-laki (Enarson, 2002). Memahami bagaimana semestinya hubungan gender
membentuk kehidupan laki-laki dan perempuan berperan penting dalam penanganan
pengurangan risiko bencana. Karena, perbedaan peran serta tanggung jawab pada laki-
laki dan perempuan memengaruhi bagaimana nantinya mereka akan mengatasi bahaya
serta cara pulih dari bencana. Tentu hal yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan
dan memberdayakan perempuan guna memperkuat ketahanan terhadap risiko bencana.

Terjadinya bencana, melibatkan beberapa komunitas yang muncul, seperti


kelompok warga yang mengorganisir diri mereka sendiri di antara kebutuhan yang tengah
dirasakan atau masalah yang terkait dengan bencana. Kemudian terdapat organisasi yang
belum dilembagakan secara formal atau tidak sengaja diorganisir secara formal sebagai
upaya menciptakan struktur yang kurang hierarki namun lebih dari individu-individu
yang terisolasi berkumpul pada masalah yang sama. Organisasi tersebut tampaknya
menyiratkan bahwa belum terdapat organisasi publik yang meanggapi situasi bencana,
atau organisasi yang telah ada namun tidak bertindak dalam keadaan darurat potensial
atau aktual (stalling and quanranltelli). Menurut George Herbert Mead, kemunculan
terjadi karena proses interaksi generatif, “ketika segala sesuatunya bersatu, maka muncul
sesuatu yang sebelumnya tidak ada.” Adapun kemunculan bergantung pada dua kategori
faktor: "(1) sifat interaksi (interelasi) yang memunculkan kemunculan dan (2) sifat
kondisi yang sudah ada sebelumnya yang mendasari realisasi interaksi (atau
keterkaitan)." Terdapat hubungan antara gender dan komunitas yang muncul antara lain
perempuan menjadi tujuan kerentanan sosial ketika bencana dan meningkatkan
ketegangan keluarga, kergian dari segi ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, adanya
pelecehan di lokasi penampungan, dan kekurangan mobilitas publik. Hal-hal tersebut
berdampak pada peluang risiko dan kematian. Selain itu pemahaman perempuan
mengenai komunitas mungki lebih baik dari laki-laki, sehingga dapat memberikan solusi
kreatif dan jaringan sosial yang lebih luas. Implikasi yang dapat diterapkan antara gender
dari komunitas yang muncul dan gender dan peran sosial adalah asumsi hegemoni
terhadap perempuan sebagai pengasuh dalam suatu keluarga, sebenarnya perempuan juga
dapat muncul sebagai pemimpin guna mengisi kekosongan di dalam suatu komunitas
yang membutuhkan pengasuhan sosial, ekonomi, dan politik. Serta meningkatkan akses
dalam bata-batas peran sosial perempuan. Dalam relaksasi peran sosial, bencana
merupakan kejutan, memungkinkan runtuhnya norma atau peraturan yang dipegang dan
ambiguitas gender. Sehingga, perempuan diberikan kesempatan untuk tampil sebagai
seorang pemimpin di masyarakat guna mencapai kebutuhan situasional mereka.

KESIMPULAN
Berbagai masalah akibat dari bencana sosial maupun alam berdampak besar pada
kehidupan manusia. Faktor tejadinya bencana tidak terlepas dari peran manusia sebagai
aktor. Akan tetapi terdapat perbedaan dalam merespon terjadinya bencana. Khususnya
diantara peran laki-laki dan perempuan atau yang biasa disebut dengan gender. Hubungan
bencana sosial maupun bencana alam dan posisi gender saling berpotongan dengan
stratifikasi sosial. Adapun yang menjadi faktor adalah kerentanan dan ketahanan dalam
sistem sosial yang meliputi kekuasaan serta ketidaksetaraan sosial yang memengaruhi
risiko, serta kapasitas adaptif. Posisi perempuan dalam sistem sosial sangat memengaruhi
kapasitas, risiko, kerentanan, dan kelembagaan dalam menghadapi bencana. Perempuan
dapat muncul sebagai pemimpin guna mengisi kekosongan di dalam suatu komunitas.
Serta meningkatkan akses dalam batas-batas peran sosial perempuan dan diberikan
kesempatan untuk tampil sebagai seorang pemimpin guna mencapai kebutuhan
situasional.
DAFTAR PUSTAKA
Enarson, E. (2002). Gender Equality, Work, and Disaster Reduction: Making the
Connection.
Fatimah, D. (2008). Gender Mainstriming Dalam Pengurangan Risiko Bencana. Circle
Indonesia.
Putri, T. D., & Muhammad, F. (2019). Analisis Kerentanan Sosial Masyarakat dan
Adaptasi Perubahan Iklim Kampung Gemblakan Atas , Kota Yogyakarta Analysis
of Social Vulnerability and Climate Change Adaptation in Gemblakan Atas Village
, Yogyakarta City. Proceeding Biology Education Conference, 16, 256–264.
Susman, P. (1983). Global disasters : A radical interpretation Interpretations Of
Calamity from the viewpoint of human ecology Edited by K . Hewitt Boston : Allen
& Unwin Inc . 1983. January.

Anda mungkin juga menyukai