Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KEPERAWATAN BENCANA

LAPORAN PENDAHULUAN PEREMPUAN

Oleh Kelompok :

1. I Made Kresna Dwipayana C1117049


2. I Wayan Gelgel Wiradiana C1117052
3. I Dewa Gede Agung Mahendra Putra C1117058
4. I Komang Gede Bandesa Maha Putra C1117061
5. I Dewa Gede Agung Widiantara C1117065
6. Gede Angga Artha Dinata C1117069
7. I Nyoman Arie Sukadi Nugraha C1117074

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

BINA USADA BALI

TAHUN 2020/2021
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PEREMPUAN

A. Konsep Teori
1. Konsep Bencana
a. Pengertian Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun factor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan,kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (Dan et al., 2007)
Bencana selalu memberikan dampak multi dimensi.Salah satu
aspek yang banyak terkena dampak bencana adalah kesehatan.
Beberapa dampak tersebut diantaranya lumpuhnya pelayanan
kesehatan, korban mati, korban luka, pengungsi, masalah gizi, masalah
kesehatan air bersih, masalah sanitasi lingkungan, penyakit menular,
gangguan kejiwaan dan gangguan pelayanan kesehatan
reproduksi(Oktari & Kurniawan, 2016).Selain masalah kesehatan
kejadian bencana juga menimbulkan situasi yang kacau dan membuat
panik, banyak sarana prasarana yang rusak, hilangnya pekerjaan dan
sumber penghasilan, rusaknya tempat tinggal, dan terpisahnya dengan
keluarga maupun orang terdekat, keadaan ini dapat menyebabkan
masyarakat yang terkena bencana tidak sanggup untuk mengatasi
dirinya (Budi Anna, 2018). Untuk menanggulangi kondisi tersebut
perlu dilakukan penanganan korban bencana secara tepat dan cepat
sehingga dapat memberikan peluang untuk meminimalisasi jumlah
korban akibat keterlambatan tindakan penyelamatan masyarakat,
terutama pada kelompok rentan.
b. Kelompok Rentan Dalam Bencana
Kelompok rentan adalah kelompok masyarakat berisiko tinggi,
karena berada dalam situasi dan kondisi yang kurang memiliki
kemampuan mempersiapkan diri dalam menghadapi risiko bencana
atau ancaman bencana, pada kelompok rentan menanggung dampak
lebih besar dari munculnya risiko bencana atau akan terdampak oleh
sebuah ancaman bencana dibandingkan kelompok masyarakat lainnya,
ini terjadi karena kelompok rentan memiliki keterbatasan sehingga
dalam situasi darurat bencana memerlukan perhatian dan perlakuan
khusus supaya bisa bertahan menghadapi situasi pasca-bencana.
Kondisi pengungsian yang penuh sesak tanpa tenda dan fasilitas
memadai, ditambah rasa trauma dan cuaca buruk, membuat korban
terutama perempuan dan anak-anak mulai terkena penyakit baik secara
fisik maupun secara psikologi yang dapat berdampak buruk bagi
Kesehatan (Teja, 2018). Dalam UU no 24 tahun 2007 kelompok rentan
terdiri dari: bayi, balita, dan anak-anak, ibu yang sedang mengandung
atau menyusui, penyandang cacat, dan orang lanjut usia (Budi Anna,
2018).

c. Masalah Psikologi yang Terjadi Akibat Bencana


Ketidak sanggupan seseorang dalam mengatasi dirinya saat terjadi
bencana dapat menyebabkan terjadinya gangguan psikologis,
gangguan ini dapat terjadi karena adanya stressor secara fisik,
lingkungan dan pikiran yang tibul akibat bencana. Stressor fisik adalah
cidera fisik yang diakibatkan oleh bencana dari tingkat ringan sampai
berat, dan dapat pula mengakibatkan korban meninggal. Stressor
lingkungan adalah rusak dan hilangnya harta benda (rumah, sawah,
lading dll). Stressor pikiran adalah persepsi terhadap kejadian yang
tidak realistic. Kehilangan orang yang dicintai merupakan stressor
yang sangat berat.
Mekane koping yang adaktif sangat diperlukan pada tahap ini,
untuk memudahkan korban untuk melakukan adaptasi dengan kondisi
kehidupan yang berubah. Ansietas dan depresi merupakan respon yang
paling sering ditemukan pada kndisi bencana sejalan dengan proses
kehilangan yang terjadi. Kondisi ini dapat cepat pulih, namun pada
individu tertentu dapat berakibat lebih lanjut. Untuk itu diperlukan
penanganan segera agar ketahanan mental dan pemulihan kondisi
kejiwaan dapat terjadi sehingga masyarakat dapat membangun kembali
kehidupan dengan harapan yang baru. Tanda dan gejala ansietas dapat
dilihat dari konsentarasi yang kurang, sakit kepala, tidak nafsu makan,
tidur yang terganggu, demikian juga tanda dan gejala depresi seperti
sedih yang berkepanjangan, kehilangan minat, merasa Lelah walau
tidak bekerja, ada pikiran untuk mengakhiri kehidupan.

d. Masalah Psikologi yang Dihadapi oleh Perempuan


Kekerasan Berbasis Gender (Gender-Based Violence – GBV)
merupakan konsep payung (umbrella term) dari berbagai tindakan
yang membahayakan fisik, seksual dan psikologi yang dilakukan
dengan paksaan berdasarkan perbedaan gender antara laki-laki dan
perempuan.
Dampak dari kekerasan berbasis gender relatif lebih banyak dirasakan
oleh perempuan dan anak perempuan, daripada laki-laki dan anak laki-
laki. Mayoritas korban dan penyintas kekerasan seksual adalah
perempuan sehingga terminologi kekerasan berbasis gender sering
digunakan untuk menarasikan kekerasan terhadap perempuan. Namun
demikian, perlu digarisbawahi bahwa laki-laki dan anak laki-laki juga
bisa menjadi korban kekerasan berbasis gender, hal ini dimungkinkan
ketika seorang laki-laki berada pada posisi yang lemah (tidak
berkuasa), jika dibandingkan dengan strata laki-laki, maupun
perempuan lain.
tipe-tipe kekerasan berbasis gender, antara lain: (1) kekerasan
seksual – perkosaan, penganiayaan seksual, eksploitasi seksual dan
pemaksaan prostitusi, (2) Kekerasan domestik, (3) Pemaksaan
perkawinan dan perkawinan anak, (4) Praktik-praktik tradisional yang
berbahaya seperti Female Genital Mutilation (sunat perempuan),
honour killings (pembunuhan atas nama martabat keluarga), dan (5)
Trafficking.
Faktor ekonomi ditengarai memperparah tingkat kerentanan korban
bencana, khususnya perempuan. Perempuan kehilangan pendapatan
sehari-harinya karena tempat tinggalnya yang diluluhlantakkan
bencana. Situasi kehilangan pendapatan inilah yang menempatkan
mereka dalam kondisi yang rawan kekerasan. Perempuan yang
kehilangan rumah saat tsunami berisiko mengalami ketergantungan
pada bantuan, donasi, dan tempat tinggal yang disediakan di tenda-
tenda pengungsian. Hal tersebut semakin menambah risiko kekerasan
dalam rumah tangga, dan kekerasan seksual yang dialami perempuan
Tidak hanya berhenti di situ, faktor ekonomi juga turut
menempatkan perempuan pada posisi yang sangat sulit. Pada situasi
pasca-bencana, perempuan dan anak perempuan kerap dipaksa untuk
menjadi pekerja seks, demi mendapatkan makanan sehari-hari. Hal
yang dialami oleh banyak negara pasca bencana tsunami adalah
aktivitas perdagangan perempuan dan anak (trafficking) yang semakin
meluas
Menurut laporan Komnas Perempuan pada tahun 2002, terdapat
beberapa kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi pada situasi
darurat kemanusiaan; di antaranya adalah kasus kekerasan yang terjadi
pada konflik Aceh tahun 1989-1998. Dalam rentang waktu tersebut,
setidaknya terdapat 20 kasus perkosaan dan kekerasan seksual yang
dilakukan oleh personel militer, pasukan keamanan, serta masyarakat
umum. Pada tahun 2006, laporan dari Community Support Center
(CSC) kepada UNFPA Indonesia menunjukkan bahwa selama respon
tsunami di Aceh, terdapat setidaknya 97 kasus Kekerasan Berbasis
Gender. Selain itu, dalam laporan final untuk respon bencana gempa di
Padang tahun 2010, UNFPA Indonesia juga menyatakan bahwa
terdapat 3 kasus perkosaan di tenda pengungsian korban gempa
Padang, Sumatera Barat (KPPPA, 2017).
Konstruksi gender yang timpang juga menempatkan laki-laki
dalam kondisi yang rentan. Kondisi ini, jika tidak ditangani dengan
baik, dapat mendorong laki-laki untuk melakukan kekerasan berbasis
gender. Hal ini mungkin terjadi karena pada situasi bencana, laki-laki
bepotensi untuk mengalami stres pasca-trauma (post-traumatic stress).
Ketika dalam satu keluarga seorang ibu meninggal, berarti sang ayah
berperan sebagai orang tua tunggal. Misalnya, pada bencana tsunami
tahun 2004, banyaknya perempuan yang meninggal menempatkan
laki-laki pada peran domestik yang sebelumnya tidak dianggap lumrah
oleh masyarakat patriarkis; yakni mengurus anak dan memasak.
Penelitian di Bosnia Herzegovina, Malawi, Myanmar, Namibia,
Rumania, dan Samoa menunjukkan bahwa laki-laki lebih cenderung
mengonsumi alkohol yang berlebihan sebagai pelarian dari stres pasca
situasi bencana. Hal ini berbanding lurus dengan semakin banyaknya
kasus kekerasan berbasis gender di negara-negara tersebut.
IFRC juga mencatat bahwa pada kasus Indonesia, kekerasan
berbasis gender juga mengancam kelompok minoritas seksual. Bisa
dibayangkan bahwa pada situasi normal (non-bencana) saja, kekerasan
dan diskriminasi sudah seringkali dialami oleh transgender dan
kelompok minoritas seksual lainnya, apalagi ketika mereka dihadapkan
pada situasi bencana. Misalnya pada erupsi Gunung Merapi tahun
2010 lalu; saat itu, berdasarkan panduan kebijakan resmi pemerintah,
daftar evakuasi hanya mencatat individu yang termasuk ke dalam
kategori laki-laki dan perempuan. Padahal dalam populasi korban
bencana, terdapat individu-individu dengan identitas dan ekspresi
gender selain laki-laki dan perempuan, yaitu transpuan. Sebagai
dampaknya, para transpuan memilih untuk tidak tinggal di tenda-tenda
pengungsian. Mereka memilih untuk mendapatkan pertolongan dari
kawannya karena takut mengalami diskriminasi dan tindak kekerasan
di lokasi pengungsian.
Masalah yang kemudian hadir adalah, meskipun kasus kekerasan
seksual bersifat nyata, dan pada situasi bencana, namun hanya sedikit
layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang tersedia pada situasi
tersebut. Padahal layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang
nondiskriminatif dan peka gender sangat dibutuhkan oleh korban.
Selain itu, masih banyak korban dan penyintas yang belum
mendapatkan dukungan medis, layanan Sexual Gender Based Violence
(SGBV), dan akses kontrasepsi. Ketika layanan medis tersedia,
perempuan kembali lagi dihadapkan pada persoalan klasik dalam
dimensi gender yakni minimnya ruang-ruang privasi yang pada
akhirnya akan menghambat mereka untuk bersuara dan mendapatkan
rasa aman dari kekerasan.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PEREMPUAN

A. Pengkajian
Tanggal pengkajian :
1. Identitas Pasien
Nama :
Usia :
No register :
Agama :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :

2. Identitas Keluarga Pasien


Nama :
Usia :
Agama :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Hubungan :

3. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Kesehatan Saat Ini
Melakukan pengkajian dengan mengajikan pertanyaan perasaannya saat
ini, keluhan yang dirasakan
b. Riwayat Kesehatan Terdahulu
Melakukan pengkajian terkait riwayat kesehatan terdahulu
1) Riwayat pengobatan sekarang
Melakukan pengkajian, terkait obat-obatan yang sedang
dikonsumsi (nama, lama penggunaan, sendiri/resep).
2) Riwayat medis
Melakukan pengkajian, terkait penyakit keturunan yang dimiliki,
riwayat alergi yang dimiliki.
3) Riwayat medis keluarga
Melakukan pengkajian, terkait penyakit keturunan yang dimiliki
oleh keluarga.

4. Pengkajian Psikosial
a. Harapan
Ketika dihadapi dengan bencana biasanya perempuan akan merasakan
ketakutan dan kecemasan dan stress yang berlebihan akan kondisi dan
harapan kehidupannya ini bisa terjadi dikarenakan adanya perasaan
kehilangan hal yang bermakna dalam kehidupannya, kehilangan objek
pelindung dalam kehidupannya akibat insiden bencana yang dialami
serta perempuan rentan mengalami kekerasan. Oleh karena itu perawat
harus melakukan pengkajian, terkait hal apa yang sedang dipikirkan.
b. Sistem pendukung
Ketika sedang dihadapi dengan bencana pada kondisi ini maka
perempuan akan merasakan kecemasan karena hancurnya system
pelayanan kesehatan yang tersedia sebelumnya akibat bencana, belum
lagi jika terpisah dengan keluarga maka mereka akan semakin cemas
akan keadaannnya, oleh karena itu perawat melakukan pengkajian,
terkait akses pelayanan kesehatan yang masih ada di daerah tempat
pengungsian atau tempat tinggal, serta bagaimana dukungan dari
keluarga mauun sumber daya yang tersedia.
c. Kepercayaan, keagamaan, dan praktik budaya
Melakukan pengkajian terkait kepercayaan, keagamaan, dan praktik
kebudayaan yang dianut.
6. Pengkajian Kebutuhan Dasar Manusia
a. Oksigenasi
Melakukan penghitungan frekuensi pernafasan, napas normal orang
dewasa adalah 16-20 kali/menit. Bila mengalami peningkatan frekuensi
napas, mudah lelah atau kemungkinan dicurigai mempunyai penyakit
jantung.
b. Nutrisi
Melakukan pengkajian berapa porsi yang biasanya dihabiskan dalam
sehari.
c. Cairan dan eliminasi
Melakukan pengkajian berapa kali BAB dan BAK dalam sehari
d. Kenyamanan
Melakukan pengkajian apakah mereka mengalami perasaan tidak
nyaman
e. Istirahat dan tidur
Melakukan pengkajian apakah istirahatnya terganggu saat ini.
f. Aktivitas dan latihan
Melakukan pengkajian aktivitas yang sering dilakukan.
g. Interaksi sosial
Melakukan pengkajian hubungan dengan keluarga maupun masyarakat
sekitar.
h. Persepsi kesehatan
Melakukan pengkajian terkait sumber informasi kesehatan.

7. Pemeriksaan Fisik Head Toe Toe


a. Keadaan umum
1) Kesadaran: melakukan pemeriksaan GCS
2) TTV :
a) TD : Tekanan darah normal pada orang dewasa yaitu 90/60
mmHg sampai 120/80 mmHg.
b) Denyut nadi
Jumlah denyut nadi normal adalah sekitar 80 kali/menit.
c) Suhu
Suhu tubuh normal yaitu dari 36,5oC-37,5oC dikatakan demam,
hal ini kemungkinan ada infeksi dalam kehamilan.
b) Pernapasan
Frekuensi napas normal orang dewasa yaitu 16-20 kali/menit.
b. Kepala
Melakukan pemeriksaan pada bentuk kepala, ada benjolan di kepala
atau tidak, lesi, kondisi rambut, dan distribusi rambut.
c. Mata
Melakukan pemeriksaan pada kesimetrisan mata, kondisi pupil, reflek
terhadap cahaya, konjungtiva, dan sclera.
d. Hidung
Melakukan pemeriksaan kesimetrisan hidung, infeksi pengeluaran
darah maupun secret dari hidung
e. Mulut
Melakukan pemeriksaan keadaan mulut, mukosa bibir, gigi, dan
sariawan.
f. Telinga
Melakkan pemeriksaan kesimetrisan antara telinga kanan dan kiri,
pengeluaran darah dan serumen dari lubang telinga
g. Leher
Melakukan pemeriksaan pembesaran kelenjar limfe dan kelenjar tiroid,
dan pembesaran vena jugularis
h. Paru - paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan dan kiri, Palpasi, Perkusi, dan
Auskultasi keadaan paru-paru
i. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak, Palpasi, Perkusi, dan Auskultasi
kondisi jantung
j. Payudara
Mengkaji terjadinya hiperpigmentasi pada areolaamati bentuk, ukuran
dan kesimetrisannya; payudara normal melingkar, agaksimetris, dan
dapat dideskripsikan kecil, sedang, dan besar, puting payudara
menonjol atau masuk ke dalam, adanya kolostrum atau cairan lain,
misalnya ulkus, retraksi akibat adanya lesi, masa atau pembesaran
pembuluh limfe
k. Abdomen
Melakukan pemeriksaan apakah ada benjolan, edema.
l. Ekstrimitas
Ekstrimitas atas : lemas (-/-), edema (-/-), baal (-/-), nyeri (-/-)
Ekstrimitas bawah : lemas (-/-), edema (-/-), baal (-/-), nyeri (-/-)
m. Urogenital
Kebersihan : melakukan pengkajian kebersihan urogenital
Pengeluaran : melakukan pengkajian terhadap pengerluaran darah,
lendir, ataupun cairan keluar dari vagina.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ansietas berhubungan ancaman pada status terkini ditandai dengan gelisah
2. Sindrom pasca trauma berhubungan dengan respon maladaptif berulang
terhadapperistiwa traumatik yang penuh tekanan.
3. Ketidakberdayaan berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
melaksanakan aktifitas sebelumnya.
C. Intervensi
NO DIAGNOSA TUJUAN & KRITERIA INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN HASIL

1 Ansietas berhubungan Setelah dilakukan asuhan NIC LABEL PENGURANGAN 1. Untuk meningkatkan
dengan ancaman pada keperawatan 3x24 jam KECEMASAN kenyamanan pasien dan
status terkini ditandai diharapkan pasien tidan merasa pasien merasa tenang dan
1. Dorong keluarga untuk
dengan gelisah dan khawatir dengan aman serta merasa
mendampingi klien dengan cara
keadaannya saat ini dengan dianggap
- Gelisah yang tepat
kriteria hasil: 2. Untuk memudahkan
- Sangat khawatir 2. Gunakan pendekatan yang
membina hubungan
- Cemas NOC LABEL TINGKAT tenang dan meyakinkan
dengan pasien
KECEMASAN 3. Berikan objek yang menunjukan
3. Untuk meningkatkan
perasaan nyaman
1. Perasaan gelisah kenyamana pasien
4. Dengarkan klien
dipertahankan pada skala 3 4. Untuk mengetahui
ditingkatkan ke skala 5 permasalahan dan
2. Wajah tegang dipertahankan perasaan yang sedang
pada skala 3 ditingkatkan ke dialami oleh pasien
skala 5 1. Untuk meningkatkan
kenyamanan yang
NOC LABEL TANDA – dirasakan pasien pada
TANDA VITAL NIC LABEL TERAPI lingkungan
RELAKSASI 2. Agar pasien merasa
1. Suhu tubuh, tingkat
nyaman dengan posisinya
pernafasan, tekanan darah 1. Ciptakan lingkungan yang
3. Untuk mengurangi rasa
sistolik dan diastolik, tenang dan tanpa distraksi, serta
cemas dan meningkatkan
denyutnadi dipertahankan kondisi lingkungan yang nyaman
ketenangan pada pasien.
pada skala 4 ditingkatkan ke bagi klien
skala 5 2. Drong klien untuk mengambil
1. Untuk mengetahui apaka
posisi yang nyaman
dapat menimbulkan
3. Terapkan relaksasi musik dan
terjadinya perubahan pada
bernafas pada klien.
tanda – tanda vital
2. Untuk mengetahui rentang
NIC LABEL MONITOR TTV nilai tanda- tanda vital
pasien
1. Identifikasi kemungkinan
penyebab perubahan tanda –
tanda vital
2. Monitor tekanan darah, nadi,
suhu dan status pernafasan
dengan tepat
2 Sindrom pasca trauma Setelah dilakukan asuhan NIC LABEL
berhubungan dengan keperawatan 3x24 jam
Konseling : penggunaan proses
respon maladaptif diharapkan pasien klien mampu
bantuan interaktif yang
berulang terhadap merespon adaptif
memfokuskan pada
peristiwa traumatik yang terhadapperistiwa trauma yang ia
kebutuhan,masalah, atau
penuh tekanan. alami.
perasaan pasien dengan orang
NOC : yang berarti bagi pasien
untukmeningkatkan atau
a. Pemulihan dari trauma.
mendukung koping, pnyelesaian
b. Pengendalian impuls:
masalah dan hubunganm
kemampuan untuk
interpersonal.
menahan diri dari perilaku
impulsive. Aktivitas keperawatan:

a. BHSP
b. Tunjukkan empati, kehangatan
dan kesejatian
c. Gunakan teknik refleksi
dan klarifikasi untuk
memfasilitasi pengungkapan
perasaan.
d. Hindari membuat keputusan
pada saat pasien berada dalam
keadaan stress.

3 Ketidakberdayaan Setelah dilakukan asuhan NIC LABEL


berhubungan dengan keperawatan 3x24 jam
Eksplorasi pencapaian keberhasilan
ketidakmampuan untuk diharapkan klien mampu
sebelumnya.
melaksanakan aktifitas melaksanakan aktifitas
sebelumnya. sebelumnya dengan kriteria hasil a. Dukung kekuatan- kekuatan
sebagai berikut : diri yang dapat diidentifikasi
oleh pasien.
NOC : Kepercayaan Kesehatan
b. Sampaikan kepercayaan diri
a. Mengungkapkan dengan terhadap kemampuan pasien
kata-kaa tentang segala untuk menangani keadaan.
perasaan ketidakberdayaan.
b. Mengidentifikasi tindakan
yang berada dalam
kendalinya.
c. Mengungkapkan dengan
kata-kata kemampuan untuk
melakukan tindakan
yangdiperlukan
d. Melaporkan dukungan yang
adekuat dari orang dekat,
teman-teman dan tetangga.
DAFTAR PUSTAKA

Budi Anna, T. M. (2018). Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial.

Dan, P., Saing, D., Lara-subiabre, B. A., Chacón, M., Chacón, A., Díaz Larenas, C.,
Bastías Díaz, C., Reflexiva, I. I., Práctica, D. E. S. U., Sañudo, L., Escobar, N.,
Helena, S., Galindo, C., Esperanza, R., Escobar, Y., Ferra, P., López Calva, M.,
Baz, D., Gonz, L., … La, H. D. E. (2007). UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN
BENCANA. Estudios Pedagógicos (Valdivia), 3(1), 1–17.

Oktari, R. S., & Kurniawan, H. (2016). Framework Ketahanan Puskesmas Dalam


Menghadapi Bencana. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 16(1), 44–52.

Teja, M. (2018). Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Kelompok Rentan Dalam


Menghadapi Bencana Alam Di Lombok. Bidang Kesejahteraan Sosial Info
SIngkat Kajian SIngkat Trhadap Isu Aktual Dan Strategis, X(17), 13–14.

Anda mungkin juga menyukai