Anda di halaman 1dari 7

TERMINOLOGI

1. Tim DVI

2. Antemortem

3. Postmortem

4. Trauma psikis

5. Depresi

6. Ansietas

7. Psikotik

8. Tim trauma healing

IDENTIFIKASI MASALAH

1. Bagaimana peran tim DVI dalam kasus bencana di skenario?

2. Bagaimana alur kerja pencarian orang hilang pada kejadian bencana sesuai skenario tersebut?

3. Bagaimana proses pemeriksaan korban meninggal pada bencana tersebut?

Identifikasi Jenazah
Prinsip Identifikasi
 Data antemortem dan data postmortem
 Teridentifikasi jika terdapat minimal 1 identifikasi pimer dan 2 identifikasi sekunder

DVI
Poses DVI yang terdiri dari 5 fase yaitu The Scene, Post Mortem Examination, Ante Mortem
Information Retrieval, Reconciliation dan Debriefing
Post Mortem Examination – Pemeriksaan jenazah
https://www.scribd.com/embeds/208655552/content?
start_page=1&view_mode=scroll&access_key=key-fFexxf7r1bzEfWu3HKwf
Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan
oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI.
Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk
memperoleh dan mencatat data selengkap–lengkapnya mengenai korban.
Kegiatan pada fase 2 sebagai berikut:
 Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP
 Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan
jenazah dan barang‐barang
 Membuat foto jenazah
 Mengambil sidik jari korban dan golongan darah
 Melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang tersedia
 Melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat
 Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk
tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas lukayang ada di
tubuh korban
 Odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap orang; tidak ada
profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda
 Membuat rontgen foto jika perlu
 Mengambil sampel DNA
 Menyimpan jenasah yang sudah diperiksa
 Melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak melekat di mayat yang
ditemukan di TKP
 Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.
Data–data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan data
sekunder sebagai berikut :
1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)
2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi, medis)
4. Bagaimana langkah yang dilakukan tim trauma healing mengatasi trauma psikis korban
bencana?

5. Bagaimana penanganan terhadap korban bencana ibu dan anak?

ANAK

Anak-anak belum menyadari adanya bahaya, tidak mengetahui cara pencegahannya, tak mampu
menanggulangi saat terjadi serta usaha memperbaiki setelah bencana tersebut berlalu.
Ketidakmampuan anak terhadap beberapa tindakan tersebut dapat memicu terjadinya trauma.
Trauma pada anak yang tidak segera ditanggulangi sering menimbulkan kondisi krisis bahkan
gangguan mental.

Pertolongan pada kondisi krisis anak dapat dilakukan dengan menurunkan bahkan menghilangkan
trauma fisik dan psikis. Bentuk pertolongan tersebut dapat berupa konseling (trauma, proses
berduka, krisis, penyelesaian masalah) serta bimbingan antisipasi di Pos pengungsian sebagai bentuk
trauma healing, dapat juga diberikan dalam pelajaran sekolah sebagai tindakan promotif dan
preventif. Bantuan dari orang dewasa terutama tenaga kesehatan sangat dibutuhkan, demi
kelangsungan hidup di masa yang akan datang.

Penanggulangan bencana ini dapat dilakukan dengan dukungan beberapa pihak yaitu orangtua atau
orang terdekat anak, guru, perawat, petugas kesehatan lain dan anak yang bersangkutan

Tindakan pencegahan yang perlu diketahui anak adalah mengetahui tanda bencana dan upaya
penyelamatan diri. Beberapa contoh tindakan bila terjadi gempa : segera berlindung di bawah meja,
lindungi kepala saat berada dalam ruangan.

Hal yang harus dilakukan bila anak stress pasca bencana :


1. Mendukung keluarga/pengasuh dan orang dewasa disekitarnya untuk menyokong anak
seperti : Menghabiskan lebih banyak waktu bersama anakdan tidak membiarkan mereka
sendirian, Memperlakukan anakdengan penuh kasih sayang dan kesabaran karena reaksi
stres adalah sebuah tanda dari anak yang membutuhkan perlindungan.
2. Mendukung anak sehingga mereka dapat melanjutkan kegiatan rutin. melakukan kembali
rutinitasnya, seperti mencuci muka ketika bangun pagi, menggosok gigi setelah makan, pergi
ke sekolah dan belajar, serta bermain dengan teman.
3. Menyediakan lingkungan bermain dan beraktivitas

IBU

Dampak bencana yang sering terjadi adalah abortus dan lahirprematur disebabkan oleh ibu mudah
mengalami stres, baik karena perubahan hormon maupun karena tekanan lingkungan/stres di
sekitarnya. Selain itu, saat bencana ibu hamil bisa saja mengalami benturan dan luka yang
mengakibatkan perdarahan atau pelepasan dini pada plasenta dan rupture uteri. Keadaan ini dapat
mengakibatkan gawat janin dan mengancam kehidupan ibu dan janin.

Ibu hamil harus dipantau terus kondisi ibu dan janinnya agar dapat melahirkan dengan selamat pada
waktunya. Bagi ibu yang sudah melahirkan, fungsi dan tugas ibu merawat bayi harus tetap
dijalankan, baik di tempat pengungsian atau pun di lingkungan keluarga terdekat.

Pemberian ASI harus tetap berjalan bagi ibu yang sedang menyusui, apabila sang ibu meninggal,
pemberian susu formula dapat diberikan, Pemberian Makanan Pendamping ASI(MPASI)

6. Mengapa kondisi pengungsian berisiko kekerasan fisik, pemerkosaan dan pelecehan seksual
pada wanita dan anak penyintas bencana?

Bencana dapat dialami oleh siapapun. Namun, dampaknya akan berbeda sesuai dengan situasi dan
kerentanan setiap orang. Semakin rentan seseorang, maka dampak yang dirasakan semakin besar.
Sudah banyak bukti yang menunjukkan perempuan lebih rentan saat bencana. Studi UNDP (2010)
menunjukkan bahwa perempuan dan anak memiliki risiko kematian saat bencana lebih tinggi 14 kali
daripada laki-laki. Data Oxfam (2005) menunjukkan bahwa sebanyak 77% korban meninggal tsunami
Aceh 2004 di Aceh Utara adalah perempuan, sementara 75% penyintas di Aceh Besar adalah laki-
laki.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Laki-laki dalam kehidupan sehari-hari memiliki peran sosial yang
cenderung mendominasi keluarga, sehingga kapasitas perempuan dikesampingkan. Ketidaksetaraan
gender kemudian menjadikan perempuan sebagai warga kelas dua yang dianggap lebih kompeten
untuk kegiatan domestik (urusan rumah tangga).

Dalam konteks darurat dan pasca bencana, kehilangan wilayah kelola dalam rumah tangga karena
bencana merupakan hal yang sulit untuk perempuan. Kondisi tersebut seringkali mengakibatkan
dampak psikologis dan fisik. Perempuan tak jarang menjadi tidak berdaya dan mulai ketergantungan
kepada orang lain dalam situasi seperti ini karena relasi kuasa dan tidak adanya suara dalam
pengambilan keputusan.

Kekerasan seksual di pengungsian merupakan salah satu bentuk risiko yang menempatkan anak dan
perempuan rentan menjadi korban. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk Kekerasan Berbasis
Gender dan Seksual (KBGS). Jenis KBGS yang ditemukan: Trafficking; Percobaan perkosaan;
Penyerangan seksual; Pelecehan seksual dengan hinaan; Pengucilan dan penganiayaan akibat
stigmatisasi berbasis seksual perempuan; Aborsi paksa; Pemerkosaan; Pernikahan dini; dan
Pengintipan saat mandi.
Berikut ini adalah contoh-contoh KBGS di situasi bencana :

1. Perdagangan manusia (human trafficking) terjadi setelah Tsunami Aceh. Kondisi ini terjadi
karena pada saat bencana banyak orang yang terpisah dengan keluarganya, dan di sisi lain sistem
sosial tidak berjalan dengan baik karena suasana yang kacau. LBH Anak menurut Merdeka (2014)
mendapat laporan terdapat 37 anak yang menghilang setelah tsunami Aceh, dan Kedutaan Besar
Republik Indonesia di Kuala Lumpur menurut BBC (2014) pernah membawa pulang ke Indonesia
beberapa anak perempuan korban tsunami Aceh yang diperdagangkan.

2. KBGS banyak terjadi di fasilitas pengungsian dan penghunian sementara karena


konstruksinya yang tidak aman, seperti kamar mandi yang tidak tertutup rapat, gelap, jauh dari
hunian, dan terisolasi. Tempo (2018) menginformasikan bahwa setelah gempa Lombok 2018,
perempuan ketakutan untuk mengganti pakaian karena tidak memiliki tempat khusus, tinggal
dengan banyak keluarga dalam satu tenda, ataupun sebelumnya juga telah ada laporan percobaan
pemerkosaan. Selain dampak psikologis, kondisi tersebut berdampak ke kesehatan perempuan
seperti gatal-gatal di area vital.

3. KDRT juga banyak terjadi di situasi pasca bencana. Menurut laporan UNFPA (2019), korban
bencana Palu-Sigi Donggala sebanyak 14% responden survei perempuan dewasa mengaku
mengalami KDRT. Peristiwa tersebut dilandaskan oleh banyak hal, contohnya suami yang
menganggap istri tidak setia, mencurigai istri sering pergi dan tidak patuh, dan menolak untuk
melakukan hubungan seksual.

4. Kurangnya pemenuhan kebutuhan dasar bagi penyintas juga meningkatkan terjadinya KBGS.
Perempuan pada kondisi darurat mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya,
namun karena tidak memiliki pilihan lain, sering dimanfaatkan oleh pelaku kekerasan seksual dengan
menjanjikan pemenuhan kebutuhan dasar

7. Bagaimana penanganan kondisi pascabencana agar tidak menimbulkan penyakit diare, ISPA?

- Initial rapid health assessment merupakan kegiatan penting yang perlu dilaksanakan petugas
kesehatan eli lokasi bencana, dapat memetakan kelompok rentan serta masalah kesehatan dan
risiko penyakit akibat bencana. meliputi aspek keadaan umum dan lingkungan, derajat kesehatan,
sarana kesehatan dan bantuan kesehatan

- Permasalahan kecukupan gizi dijumpai pada kelompok penduduk rentan balita dan ihu hamil,
sedangkan kondisi fisik yang memerlukan perhatian terutama dijumpai pada kelompok rentan ibu
baru melahirkan, korban cedera, serta penduduk yang berada dalam kondisi tidak sehat.

Penyakit menular merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian besar, mengingat potensi
munculnya KLB penyakit menular pada periode pasca bencana yang besar sebagai akibat banyaknya
faktor resiko yang memungkinkan terjadinya penularan bahkan KLB penyakit. Upaya pemberantasan
penyakit menular pada umumnya diselenggarakan untuk mencegah KLB penyakit menular pada
periode pasca bencana. Selain itu, upaya tersebut juga bertujuan untuk mengidentifikasi penyakit
menular yang perlu diwaspadai pada kejadian bencana dan pengungsian, melaksanakan langkah-
langkah upaya pemberantasan penyakit menular, dan melaksanakan upaya pencegahan kejadian
yang luar biasa (KLB) penyakit menular

Permasalahan penyakit menular ini terutama disebabkan oleh :

1. Kerusakan lingkungan dan pencemaran.


2. Jumlah pengungsi yang banyak, menempati suatu ruangan yang sempit, sehingga harus
berdesakan.

3. Pada umumnya tempat penampungan pengungsi tidak memenuhi syarat kesehatan.

4. Ketersediaan air bersih yang sering kali tidak mencukupi jumlah maupun kualitasnya.

5. Diantara para pengungsi banyak ditemui orang-orang yang memiliki risiko tinggi, seperti balita, ibu
hamil, berusia lanjut.

6. Pengungsian berada pada daerah endemis penyakit menular,dekat sumber pencemaran, dan lain-
lain.

PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT DIARE

 Penyakit diare merupakan penyakir menular yang sangat potensial terjadi di daerah
pengungsian maupun wilayah yang terkena bencana, yang biasanya sangat terkait erat
dengan kerusakan, keterbatasan penyediaan air bersih dan sanitasi dan diperburuk oleh
perilaku hidup bersih dan sehat yang masih rendah.
 Pencegahan penyakit diare dapat dilakukan sendiri oleh para pengungsi, antara lain :
1. Gunakan air bersih yang memenuhi syarat
2. Semua anggota keluarga buang air besar di jamban
3. Buang tinja bayi dan anak kecil di jamban
4. Cucilah tangan dengan sabun sebelum makan, sebelum menjamah/memasak makanan
dan sesudah buang air besar.
5. Berilah Air Susu Ibu (ASI) saja sampai bayi berusia 6 bulan
6. Berilah makanan pendamping ASI dengan benar setelah bayi berusia 6 bulan dan
pemberian ASI diteruskan sampai bayi berusia 24 bulan.
 Tatalaksana Penderita Bilamana ditemukan adanya penderita diare di loksai bencana atau
penamupngan pengungsi, pertama-tama yang harus dikerjakan pada waktu memeriksa
penderita diare adalah :
1. Menentukan derajat dehidrasi
2. Menentukan pengobatan dehidrasi yang tepat Setiap penderita diare yang mengalami
dehidrasi harus diobati dengan oralit. Seluruh petugas kesehatan harus memiliki
keterampilan dalam menyiapkan oralit dan memberikan dalam jumlah besar. Sesuai
dengan derajat dehidrasinya, penderita diberikan terapi sebagai berikut: ▪ Rencana
Terapi A: untuk mengobati penderita diare tanpa dehidrasi. ▪ Rencana Terapi B: untuk
mengobati penderita diare dengan dehidrasi ringan/sedang. ▪ Rencana Terapi C: untuk
mengobati penderita dengan dehidrasi berat. Bila penderita dengan kedaan dehidrasi
berat rehidarasi harus segera dimulai. Setelah itu pemeriksaan lainnya dapat
dilanjutkan.
3. Mencari masalah lain, seperti, kurang gizi, adanya darah dalam tinja diare lebih dari 14
hari. Selain diperiksa status dehidrasinya harus pula diperiksa gejala lainnya untuk
menentukan adanya penyakit lain seperti adanya darah dalam tinja, panas, kurang gizi
dan lain sebagainya. ▪ Bila tinja penderita mengandung darah berarti penderita
mengalami disentri yang memerlukan pengobatan anti biotik. ▪ Bila penderita diare 14
hari atau lebih berarti menderita diare persisten dan perlu diobati. ▪ Bila penderita panas
(> 380C) dan berumur >2 bulan dapat diberikan obat penurun panas. ▪ Bila di daerah
tersebut endemik malaria dan anak ada riwayat panas sebelumnya dapat diberikan
pengobatan sesuai program malaria. ▪ Keterangan lengkap tentang masalah lain lihat
pada gambar tatalaksana penderita diare

PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT ISPA

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab utama kematian
bayi dan anak balita. Kematian tersebut diakibatkan oleh penyakit Pneumonia berat yang tidak
sempat terdeteksi secara dini dan mendapat pertolongan tepat dari petugas kesehatan.

Penatalaksanaan Penderita Klasifikasi penyakit ISPA pada anak usia 2 bulan sampai <5 tahun

Tanda bahaya yang harus diperhatikan:

- tidak bisa minum

- kejang

- sukar dibangunkan

- stridor waktu tenang

- gizi buruk

Tindakan

Anak yang mempunyai salah satu ’tanda bahaya’, harus segera dirujuk ke Puskesmas/Rumah Sakit
secepat mungkin:

1. Sebelum anak meninggalkan Puskesmas, petugas kesehatan dianjurkan memberi pengobatan


seperlunya (misal atasi demam, kejang, dsb), tulislah surat rujukan ke Rumah Sakit dan anjurkan
pada ibu agar anaknya dibawa ke Rumah Sakit sesegera mungkin.

2. Berikan satu kali dosis antibiotik sebelum anak dirujuk (bila memungkinkan).

Pengobatan Kasus ISPA

ISPA dapat diobati dengan antibiotika. Antibiotika yang dipakai untuk pengobatan pnemonia adalah
tablet kontrimoksasol dengan pemberian selama 5 hari. Antibiotika yang dapat dipakai sebagai
pengganti kontrimoksasol adalah ampisilin, amoksilin, prokain penisilin.

8. Bagaimana alur koordinasi antara tim DVI, tim tanggap bencana, dan Tim Psikis dalam kejadian
bencana?

9. Bagaimana penanganan kondisi pascabencana agar tidak menimbulkan penyakit reproduksi


pada korban bencana?

10. Bagaimana peran pelayanan kesehatan pasca bencana?

Anda mungkin juga menyukai