Anda di halaman 1dari 21

Hubungan Trauma Pada Masa Kanak-Kanak Dengan Gangguan Mood

BAB I

PENDAHULUAN

Anak-anak merupakan buah hati dari orang tua yang seharusnya dijaga dan dirawat
selama anak-anak masih belum bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Namun pada
kenyataannya sekarang cukup banyak kekerasan yang terjadi pada masa kanak-kanak. Bahkan
kekerasan lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan pada orang dewasa.
Kekerasan pada masa kanak-kanak merupakan salah satu masalah sosial yang dapat
mengakibatkan permasalahan-permasalahan kesehatan fisik dan mental yang paling berat, baik
anak sebagai korban langsung dari kekerasan tersebut, maupun sebagai saksi mata (yang
menyaksikan). Tindakan ini dapat menjadi trauma pada masa kanak. Tindakan ini secara
signifikan mempengaruhi kesehatan mental seseorang tidak hanya pada masa kanak-kanak
tetapi juga pada masa dewasa di kemudian hari.1 Hal ini dapat menyebabkan seseorang
menderita gangguan mental seperti gangguan perasaan (mood), gangguan kecemasan, dan
ketergantungan alkohol pada masa dewasa.2 Oleh karena itu pada referat ini akan dibahas
mengenai hubungan antara trauma masa kanak dengan gangguan perasaan (mood).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Trauma Masa Kanak

Menurut pakar dari Institute of Recovery from Childhood Trauma (IRCT), trauma
didefinisikan sebagai serangkaian peristiwa seperti pelecehan, penganiayaan penelantaran,
atau tragedi yang menyebabkan pengalaman mendalam tentang ketidakberdayaan yang
mengarah pada teror. Trauma menghancurkan rasa aman, stabilitas, kepercayaan dan
kepolosan seseorang. Trauma merupakan stres toksik. Stres toksik terjadi ketika trauma terjadi
berkepanjangan di mana anak tidak berdaya dan tidak dapat mengubah pengalaman
menakutkan yang terus-menerus. Hal ini dapat berdampak langsung pada anak dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.3

Beberapa masalah pada anak yang potensial timbulnya dipengaruhi akibat trauma
seperti perilaku kurang baik, depresi, anxietas, kurangnya konsentrasi, kehilangan minat, sikap
masa bodo atau tidak peduli, mudah marah, sering berkelahi, membolos sekolah, tindakan
kekerasan, tindakan kriminal, dan tindakan bunuh diri. Trauma mungkin bukan merupakan
satu-satunya alasan yang menyebabkan masalah-masalah tersebut pada anak-anak, namu
trauma dapat menemukan titik kelemahan pada seorang anak. Trauma merupakan stresor yang
sangat kuat yang dapat mengakibatkan masalah baru maupun memperburuk masalah yang
telah ada.4

Etiologi Trauma Masa Kanak

Penyebab paling universal dari trauma yang terjadi pada masa kanak meliputi
kecelakaan, prosedur medik atau operasi yang invasif, tindakan kekerasan, kehilangan orang
terdekat, dan stresor lingkungan. Trauma akibat kejadian kecelakaan dapat berupa akibat
terjatuh (dari tangga, kasur, kursi yang tinggi), cedera karena olahraga, kecelakaan saat berada
dalam kendaraan, hampir tenggelam, dan lain-lain. Trauma akibat prosedur medik atau operasi
dapat berupa trauma terhadap jarum, pemasangan infus, pemeriksaan oleh dokter, penyakit
yang mengancam jiwa, demam tinggi, keracunan, imobilisasi yang lama, dan lain-lain. Trauma
akibat tindakan kekerasan dapat berupa akibat dari bullying (sekolah, lingkungan rumah,
saudara), penyerangan oleh binatang, kekerasan dalam rumah tangga, menyaksikan kekerasan
(secara langsung maupun dari video game atau televisi), kekerasan fisik dan seksual,
penelantaran, perang, penyerangan teroris, dan penculikan. Trauma akibat kehilangan orang

2
terdekat yang dapat disebabkan oleh perceraian, kematian orang terdekat atau hewan
peliharaan tersayang, terpisah, hilang (di mall atau di tempat umum), dan lain-lain. trauma juga
dapat disebabkan oleh stresor lingkungan yang berupa paparan dari suhu yang ekstrim, bencana
alam (seperti kebakaran, gempa bumi, banjir, tornado, tsunami), dan suara keras yang tiba-tiba
untuk bayi dan anak-anak kecil (suara pertengkaran, petir – terutama saat mereka sendiri).5

Epidemiologi Trauma Masa Kanak

Dari sebuah survei yang dilakukan pada 21 negara termasuk Belgia, Jepang, AS, Afrika
Selatan, dan China oleh World Mental Health (WMH), didapatkan bahwa dari total 51.945
sampel orang dewasa (18 tahun keatas), hampir 40% dari populasi tersebut pernah mengalami
trauma masa kanak. Trauma masa kanak yang dialami meliputi paparan stres lingkungan kronis
seperti kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan anak (pelecehan emosional, fisik, atau
seksual, dll) dan kehilangan interpersonal (memiliki orang tua dengan penyakit mental,
perceraian orang tua, atau kematian orang tua) pada anak usia 17 tahun ke bawah.6

Berdasarkan data dari The National Child Traumatic Stress Network (NCTSN) oleh
Substance Abuse and Mental Health Services Administration (SAMHSA) nilai rata-rata korban
penganiayaan/kekerasan (abuse) dan penelantaran (neglect) pada anak-anak di Amerika
Serikat tahun 2013 sebanyak 679,000 anak atau setara dengan 9.1 dari 1000 anak-anak. Lebih
dari 2/3 anak-anak dilaporkan mengalami paling sedikit 1 kejadian trauma (traumatic event)
pada usia 16 tahun ke bawah. Kemungkinan kejadian traumatik yang berpotensial terjadi yaitu
meliputi kekerasan psikologi, fisik, dan seksual, kekerasan dalam komunitas atau di sekolah,
menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga, bencana alam atau kejadian
terorisme, eksploitasi seksual komersial, kehilangan kerabat terdekat, pengalaman perang,
stresor keluarga militer (penugasan di luar, kematian atau cedera orang tua), penyerangan fisik
atau pemerkosaan, penelantaran, kecelakaan atau penyakit yang mengancam jiwa.7

Berdasarkan data dari The National Survei of Children’s Exposure to Violence


(NatSVEC) pada tahun 2014 di Amerika Serikat, sebanyak 37.3% (pada 2014) dan 51.4%
(semasa hidupnya) anak-anak pernah mengalami kekerasan fisik. Sebanyak 5% (pada tahun
2014) dan 8.4% (semasa hidupnya) dari anak-anak pernah mengalami pelecehan seksual.
Secara keseluruhan 15.2% (pada tahun 2014) dan 24.9% (semasa hidupnya) dari anak anak
dan remaja pernah mengalami berbagai penganiayaan. Sebanyak 24.5% (pada tahun 2014) dan
38.3% (semasa hidupnya) anak-anak pernah menyaksikan kekerasan. Sebanyak 8.4% (pada
tahun 2014) dan 19.5% (semasa hidupnya) dari anak-anak pernah menyaksikan kekerasan

3
dalam rumah tangga. Sebanyak 18.4% (pada tahun 2014) dan 27.7% (semasa hidupnya) dari
anak-anak pernah menyaksikan kekerasan di lingkungannya.8

Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) regional office for Europe,
prevalensi kekerasan pada anak di Eropa cukup tinggi, dimana prevalensi kekerasan fisik
sebesar 22.9%, kekerasan emosional sebesar 29.1%, pelecehan seksual pada perempuan 13.4%
dan pada laki-laki 5.7%. Selain itu prevalensi pada penelantaran anak juga cukup tinggi dimana
prevalensi penelataran fisik sebesar 16.3% dan penelantaran emosional sebesar 18.4%.9

Pada sebuah penelitian yang dilakukan pada sebagian negara di Asia yaitu Bangladesh,
Kambodia, China, Indonesia, Papua Nugini dan Sri Lanka didapatkan pada sampel laki-laki
sewaktu kanak-kanak 32.4% pernah mengalami penganiayaan atau penelantaran secara
emosional, 25.5% pernah mengalami hanya kekerasan fisik, 8.7% pernah mengalami hanya
pelecehan seksual, 9% pernah mengalami kekerasan fisik bersama dengan pelecehan seksual,
25.8% pernah menyaksikan kekerasan yang dilakukan terhadap ibunya, dan 77.3% pernah
mengalami trauma masa kanak lainnya. Pada sampel perempuan sewaktu kanak-kanak
didapatkan 28.1% pernah mengalami penganiayaan atau penelantaran secara emosional, 26.5%
pernah mengalami hanya kekerasan fisik, 3.3% pernah mengalami hanya pelecehan seksual,
3.9% pernah mengalami kekerasan fisik bersama dengan pelecehan seksual, 27.8% pernah
menyaksikan kekerasan yang dilakukan terhadap ibunya, dan 65.4% pernah mengalami trauma
masa kanak lainnya.10

Di Indonesia sendiri pada tahun 2013 prevalensi kekerasan (paling tidak salah satu dari
tindakan kekerasan seksual, fisik, atau emosional) yang diterima anak pada usia dibawah 18
tahun sebesar 50.08% pada laki-laki dan 16.40% pada perempuan. Prevalensi kekerasan
seksual sebesar 6.36% pada laki-laki dan 6.28% pada perempuan. Prevalensi kekerasan fisik
sebesar 40.57% pada laki-laki dan 7.63% pada perempuan. Prevalensi kekerasan emosional
sebesar 13.35% pada laki-laki dan 3.76% pada perempuan.11

Tanda dan Gejala Trauma pada Anak

Tanda dan gejala trauma pada anak mungkin berbeda pada setiap anak sesuai dengan
usianya. Berikut merupakan tanda dan gejala trauma pada anak:7

 Pada Balita
- Ketakutan bila dipisahkan dari orang tua atau pengasuhnya
- Sering menangis atau berteriak
- Nafsu makan menurun atau berat badan menurun

4
- Sering mimpi buruk saat malam hari
 Pada anak di tingkat sekolah dasar
- Menjadi lebih sering cemas dan ketakutan
- Merasa bersalah atau malu
- Sulit untuk berkonsentrasi
- Sulit untuk tidur
 Pada anak di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas
- Merasa depresi dan sendiri
- Timbul gangguan makan atau perilaku menyakiti diri sendiri (self-harming)
- Mulai mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang
- Menjadi terlibat dalam perilaku seksual berisiko

Dampak Trauma Masa Kanak

Trauma masa kanak dapat memiliki dampak yang panjang, bukan hanya saat anak itu
masih kecil, tetapi dapat kualitas hidupnya saat dewasa. Berdasarkan data dari Internasional
Society for Traumatic Stress Studies (ISTSS), trauma masa kanak dapat berefek pada
kesheatan emosional, mental dan fisik seseorang.12

 Kesehatan emosional (Emotional Health)


Orang yang pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak sering merasakan
perasaan cemas, malu, merasa bersalah, tidak berdaya, putus asa, kesedihan, dan
kemarahan.
 Kesehatan mental (Mental Health)
Orang yang pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak memiliki hubungan yang
cukup tinggi dengan kejadian gangguan cemas, depresi, bunuh diri dan menyakiti diri
sendiri (self harm), PTSD, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, dan kesulitan dalam
hubungan.
 Kesehatan fisik (Physical Health)
Anak-anak yang terekspos dengan kekerasam dan trauma dapat mengembangkan apa yang
disebut dengan respon stres yang meningkta, dimana hal ini dapat mempengaruhi
kemampuan mereka untuk mengatur emosi mereka, menyebabkan sulit tidur, menurunkan
fungsi kekebalan tubuh, dan meningkatkan risiko sejumlah penyakit fisik sepanjang masa
dewasa.

5
Data dari WHO berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan juga didapatkan
adanya keterkaitan antara kekerasan pada masa kanak dengan masalah kesehatan yang dapat
timbul setelahnya. Berikut merupakan dampak dari kekerasan pada masa kanak (Lihat Tabel
1.).9

Tabel 1. Ringkasan penyakit yang berhubungan dengan kekerasan pada masa kanak.9

Definisi Gangguan Mood

Kelainan fundamental dari kelompok gangguan afektif / “mood” adalah perubahan


suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang

6
menyertainya), atau kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat). Perubahan afek ini
biasanya disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat aktivitas, dan kebanyakan
gejala lainnya adalah sekunder terhadap perubahan itu, atau mudah dipahami hubungannya
dengan perubahan tersebut. Gangguan afektif dapat dibedakan menurut: 13, 14

 Episode tunggal atau multipel


 Tingkat keparahan gejala;
 Mania dengan gejala psikotik  mania tanpa gejala psikotik  hipomania
 Depresi ringan, sedang, berat tanpa gejala psikotik  berat dengan gejala
psikotik
 Dengan atau tanpa gejala somatik

Jenis-Jenis Gangguan Mood

Berdasarkan PPDGJ III, gangguan suasana perasaan (mood [afektif)] terbagi menjadi
beberapa jenis mulai dari episode manik (F30), gangguan afektif bipolar (F31), episode
depresif (F32), gangguan depresif berulang (F33), gangguan suasana perasaan (mood [afektif])
menetap (F34), gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) lainnya (F38), dan gangguan
suasana perasaan (mood [afektif]) yang tak tergolongkan (F39).13, 14

Berdasarkan kriteria dari DSM V, gangguan bipolar terbagi menjadi 2 yaitu gangguan
bipolar I dan gangguan bipolar II. Seorang pasien dikatakan gangguan bipolar I apabila:15

a. Kriteria telah dipenuhi untuk setidaknya satu episode manik.


b. Kejadian episode manik dan depresi berat tidak lebih mengarah kepada gangguan
skizoafektif, skizofrenia, gangguan skizofreniformis, gangguan waham, atau
skizofrenia lainnya yang terinci atau tidak terinci dan gangguan psikotik lainnya.

Seorang pasien dikatakan gangguan bipolar II apabila:15

a. Kriteria telah dipenuhi untuk setidaknya satu episode hipomanik dan satu episode
depresi berat.
b. Tidak pernah ada episode manik
c. Kejadian episode hipomanik dan depresi berat tidak lebih mengarah kepada gangguan
skizoafektif, skizofrenia, gangguan skizofreniformis, gangguan waham, atau
skizofrenia lainnya yang terinci atau tidak terinci dan gangguan psikotik lainnya.

7
d. Gejala-gejala dari depresi atau yang tidak diduga yang diakibatkan oleh pergantian
yang sering antara periode depresi dan hipomanik menyebabkan tekanan atau gangguan
yang signifikan dalam bidang sosial, pekerjaan, atau bidang penting lainnya.

Sistem Biologi yang Berkaitan antara Trauma Masa Kanak dengan Gangguan Mood

Sistem biologis yang relevan yang tampaknya dapat memainkan peran dalam
memediasi dampak trauma masa kanak-kanak pada risiko terjadinya gangguan mood seperti
gangguan bipolar atau bentuk gangguan mood yang lainnya. Beberapa diantaranya seperti
neuroplastisitas, inflamasi, sistem sirkardian, atau Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA)
axis.16

Mekanisme pertama yang menghubungkan trauma masa kanak-kanak dengan


kerentanan terhadap gangguan bipolar bergantung pada mekanisme neuroplastisitas,
khususnya faktor neurotropik turunan otak atau brain-derived neurotrophic factor (BDNF),
yang merupakan neurotropik yang sangat penting untuk pertumbuhan neuron selama
perkembangan otak dan pemeliharaan neuron dalam kehidupan setelah dewasa. Penurunan
kadar serum BDNF atau mRNA telah diamati pada pasien gangguan bipolar yang telah
terpapar kejadian traumatis. Kedua, terlepas dari diagnosa psikiatri, trauma masa kanak-kanak
menginduksi modifikasi jangka panjang dalam proses inflamasi.16, 17 Hal ini dipelajari pada
pasien gangguan bipolar di mana menunjukkan C-Reactive Protein yang abnormal dan
berbagai sitokin seperti reseptor interleukin 2 (IL-2), faktor nekrosis tumor , reseptor faktor
nekrosis tumor tipe 1, IL-6, dan IL-4.16, 18

Penelitian lebih lanjut juga diperlukan mengenai dampak trauma masa kanak-kanak
pada fungsi aksis HPA pada pasien dengan gangguan bipolar. Sebuah studi meta analisis pada
skizofrenia dan gangguan bipolar, menunjukkan adanya tingkat kortisol yang tinggi di pagi
hari pada pasien dengan gangguan bipolar, meskipun faktor-faktor penentu modifikasi tersebut
dan posisi spesifik trauma masa kanak-kanak di antaranya memerlukan penelitian lebih lanjut.
Berdasarkan sebuah meta analisis yang dilakukan dengan mengeksplorasi konsekuensi jangka
panjang dari pelecehan dan penelantaran masa kanak-kanak, tidak hanya menemukan
hubungan dengan psikiatrik saja, tetapi juga dengan gangguan fisik. Melalui konsekuensi
jangka panjang pada perubahan penanda imun-inflamasi dan aksis HPA, trauma anak-anak
mungkin terkait dengan kondisi kesehatan yang buruk.16, 19

8
Hubungan Trauma Masa Kanak dengan Gangguan Mood

Anak-anak yang mengalami penganiayaan berat dan trauma selama masa awal kanak-
kanak memiliki risiko yang lebih tinggi untuk timbulnya gangguan mental awitan dini,
peningkatan perilaku yang membahayakan kesehatan, penyesuaian sosial, fungsional,
edukasional, dan pekerjaan yang lebih buruk sebagai remaja dan orang dewasa. Pada sebuah
studi yang dilakukan terhadap 354 sampel pasien rawat jalan di klinik Institute of Mental
Health (IMH) Singapura, dimana terdapat 137 pasien dengan gangguan mood, dengan
menggunakan Childhood Trauma Questionnaire-Short Form (CTQ-SF), didapatkan 62% dari
populasi pasien dengan gangguan mood (85 sampel) pernah mengalami trauma pada masa
kanak-kanak. Dimana didapatkan 48,2% dari pasien dengan gangguan mood pernah
mengalami penganiayaan fisik pada masa kanak-kanak, 59,1% dari pasien dengan gangguan
mood pernah mengalami kekerasan emosional pada masa kanak-kanak, 25.5% dari pasien
dengan gangguan mood pernah mengalami pelecehan seksual pada masa kanak-kanak, 54%
dari pasien dengan gangguan mood pernah mengalami penelantaran secara fisik (physical
neglect) pada masa kanak-kanak, dan 46% dari pasien dengan gangguan mood pernah
mengalami penelantaran secara emosional (emotional neglect).20

Sebuah penelitian di Rumah Sakit Ilsan Paik di Republik Korea, dilakukan kepada 132
pasien dengan diagnosa gangguan depresi berat tahun 2014 dan 2015 di mana subjek dibagi
menjadi 2 grup yaitu dengan adanya childhood maltreatment (CM) dan tanpa childhood
maltreatment (CM).21 Childhood maltreatment meliputi semua bentuk dari kekerasan pada
anak termasuk kekerasan fisik, kekerasan emosional, pelecehan seksual, penelantaran, dan
eksploitasi anak-anak yang menghasilkan atau berpotensial merusak kesehatan anak,
keberlangsungan hidup, perkembangan dan martabat anak dalam konteks hubungan dengan
tanggung jawab, kepercayaan, dan kekuasaan.22 Pada penelitian ini didapatkan hasil adanya
hubungan antara childhood maltreatment (kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan kekerasan
emosional) dengan peningkatan risiko kejadian bipolar pada pasien gangguan depresi berat.21

Sebuah penelitian lainnya dilakukan di Jepang pada 502 sampel (212 kontrol, 163
pasien dengan gangguan depresi berat, dan 127 pasien dengan gangguan bipolar) dengan
pengukuran untuk trauma masa kanak-kanak menggunakan Child Abuse and Trauma Scale
(CATS). Dari penelitian ini didapatkan hasil adanya hubungan yang bermakna antara trauma
masa kanak dengan kejadian gangguan depresi berat dan gangguan bipolar.23

9
Penelitian lainnya yang dilakukan di Perancis dengan 206 pasien dengan bipolar (155
bipolar tipe I dan 51 bipolar tipe II) dan 94 subjek kontrol untuk meneliti hubungan gangguan
bipolar dengan lima tipe trauma pada anak yang meliputi penelantaran emosional, kekerasan
emosional, penelantaran fisik, kekerasan fisik, dan pelecehan seksual. Dari penelitian ini
didapatkan hasil adanya hubungan yang bermakna antara trauma masa kanak tipe penelantaran
emosional, kekerasan emosional, penelantaran fisik, dan kekerasan fisik dengan kejadian
gangguan bipolan di kemudian hari.24

Sebuah penelitian lainnya di UK (United Kingdom) dilakukan pada 72 pasien dengan


gangguan bipolar, 248 pasien dengan gangguan unipolar, dan 354 pasien kontrol (sehat secara
psikiatri) untuk melihat hubungan dengan trauma masa kanak. Dari penelitian ini didapatkan
adanya hubungan yang bermakna antara kejadian gangguan unipolar dan bipolar dengan
trauma masa kanak antara lain kekerasan fisik, kekerasan emosional, pelecehan seksual,
penelantaran fisik, dan penelantaran emosional. Berikut jumlah dan persentase masing-masing
jenis trauma yang dialami pada ketiga grup dalam sampel penelitian ini (lihat Tabel 2.).25

Tabel 2. Jumlah masing-masing jenis trauma masa kanak pada ketiga grup dalam penelitian.25

Bipolar group Unipolar group Control group


n (%) (n=72) n (%) (n-248) n (%) (n=354)
Any type of child 31 (43) 111 (45) 41 (12)
abuse
Physical abuse 8 (11) 33 (13) 13 (4)
Emotional abuse 20 (28) 88 (36) 23 (7)
Sexual abuse 20 (28) 48 (19) 20 (6)
Any type of child 20 (28) 100 (40) 36 (10)
neglect
Physical neglect 10 (14) 49 (20) 22 (6)
Emotional neglect 19 (26) 91 (37) 28 (8)

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat diberikan kepada pasien yaitu penatalaksanaan untuk


gangguan perasaan (mood) dan trauma masa kanak yang dialami.

10
Gangguan Mood

Pada pasien dengan gangguan perasaan (mood) dapat diberikan baik terapi farmakologi
maupun non-farmakologi. Untuk penatalaksanaan disesuaikan dengan gangguan perasaan
(mood) yang dialami pasien. Berikut penatalaksanaan yang dapat diberikan:26

1. Depresi26
Kombinasi dari terapi farmakologi dan psikososial pada depresi memberikan hasil yang
baik. Untuk kasus yang ringan, terapi psikososial saja juga memberikan hasil yang baik.
 Terapi farmakologi
a. Terapi fase akut

Lama terapi fase akut 2-6 minggu dengan target pengobatan tercapainya respon atau
remisi (lebih baik).

Indikasi pasti untuk perawatan di rumah sakit yaitu:

1. Prosedur diagnostik
2. Risiko bunuh diri atau pembunuhan
3. Kemunduran yang parah dalam kemampuan memenuhi kebutuhan makan dan
perlindungan
4. Cepatnya perburukkan gejala
5. Hilangnya sistem dukungan yang biasa didapatnya

Panduan memilih medikasi:

1. Riwayat respon pengobatan


2. Prediksi respon gejala terapi
3. Adanya gangguan psikiatri/medik lain
4. Keamanan
5. Potensi efek samping

Berikut jenis obat anti depresan yang dapat digunakan beserta dosis dan efek samping
(Lihat Tabel 3.).

11
Tabel 3. Obat Anti Depresan26

Nama Obat Dosis Harian (mg) Efek Samping


SSRI Semua SSRI dapat
menimbulkan insomnia,
Escitalopram 20-60
agitasi, sedasi, gangguan
Fluoxetin 10-40 saluran cerna dan
Sertralin 50-150 disfungsi seksual

Fluvoksamin 150-300

Trisiklik/Tetrasiklik
Amitriptilin 75-300
Maprotilin 100-225 Antikolinergik
Imipramin 75-300

SNRI Mengantuk, BB naik,


hipertensi, gangguan
Duloksetin 40-60
saluran cerna
Venlafaksin 150-375

RIMA Pusing, sakit kepala,


mual, berkeringat, mulut
Moklobemid 150-300
kering, mata kabur

NaSSA
Mirtazapin 15-45 Somnolen, mual

SSRE
Tianeptin 12,5-37,5 Somnolen, mual,
gangguan kardiovaskular

Melatonin Agonis
Agomelatin 25-50 Sakit kepala

b. Terapi fase lanjutan26


Tujuan pengobatan pada fase ini untuk tercapainya remisi dan mencegah relaps.
Dosis obat sama dengan fase akut.

12
c. Terapi fase rumatan26
Tujuan pengobatan pada fase ini untuk mencegah rekurensi. Hal yang perlu
dipertimbangkan adalah risiko rekuren, biaya, dan keuntungan perpanjangan terapi.
Pada pasien yang telah 3 kali atau lebih mengalami episode depresi atau 2 episode
berat, dipertimbangkan terapi pemeliharaan jangka panjang. Antidepresan yang
telah berhasil mencapai remisi dilanjutkan dengan dosis yang sama untuk rumatan.
 Terapi Psikososial26
Pada terapi psikososial dapat diberikan terapi kognitif, terapu interpersonal, terapi
perilaku, terapi orientasi psikoanalitik, dan terapi keluarga.
 Terapi Lainnya26
ECT dapat diberikan pada pasien dengan depresi katatonik, tendensi bunuh diri
berulang, refrakter.
2. Bipolar
 Terapi Farmakologi
a. Terapi gangguan bipolar, agitasi akut26

Injeksi

Lini I

- Injeksi IM Aripiprazol, dosis adalah 9,75 mg/mL injeksi, maksimum adalah


29,25mg/hari (tiga kali injeksi per hari dengan interval dua jam).
- Injeksi IM Olanzapin, dosis 10 mg/injeksi, maksimum adalah 30 mg/hari. Interval
pengulangan injeksi adalah dua jam.

Lini II

- Injeksi IM Haloperidol yaitu 5 mg/kali injeksi. Dapat diulang setelah 30 menit.


Dosis maksimum adalah 15 mg/hari.
- Injeksi IM Diazepam yaitu 10 mg/kali injeksi. Dosis 20-30 mg/hari. Dapat
diberikan bersamaan dengan injeksi haloperidol IM. Jangan dicampur dalam satu
jarum suntik.
-
b. Terapi gangguan bipolar, episode mania akut26

Oral

Lini I

13
- Litium, divalproat, olanzapin, risperidon, quetiapin, quetiapin XR, aripiprazol,
litium atau divalproat + risperidon, litium atau divalproat + quetiapin, litium atau
divalproat + olanzapin, litium atau divalproat + aripiprazole

Lini II


- Karbamazepin, terapi kejang listrik (TKL), litium + divalproat, paliperidon

Lini III


- Haloperidol, klorpromazin, litium atau divalproat + haloperidol, 
 litium +

karbamazepin, klozapin

Tidak direkomendasikan: gabapentin, topiramat, lamotrigin, risperidon +


karbamazepin, olanzapin + karbamazepin

c. Terapi gangguan bipolar, episode depresi akut26

Oral

Lini I


- Litium, lamotrigin, quetiapin, quetiapin XR, litium atau 
 divalproat+SSRI,

olanzapin+SSRI, litium+divalproat

Lini II


- Quetiapin+SSRI, divalproat, litium atau divalproat+ 
 lamotrigin

Lini III 


- Karbamazepin, olanzapin, litium+karbamazepin, litium atau divalproat +


venlafaksin, litium + MAOI, TKL, litium atau divalproat atau AA + TCA, litium

atau divalproat atau karbamazepin + SSRI + lamotrigin, penambahan topiramat. 


Tidak direkomendasikan: gabapentin monoterapi, aripiprazol monoterapi

d. Terapi rumatan gangguan bipolar I26

Lini I 


14
- Litium, lamotrigin monoterapi, divalproat, olanzapin, quetiapin, litium atau
divalproat + quetiapin, Risperidon Injeksi Jangka Panjang (RIJP), penambahan
RIJP, aripiprazol.

Lini II 


- Karbamazepin, litium + divalproat, litium + karbamazepin, litium atau divalproat +


olanzapin, litium + risperidon, litium + lamotrigin, olanzapine + fluoksetin

Lini III 


- Penambahan fenitoin, penambahan olanzapin, penambahan ECT, penambahan

topiramat, penambahan asam lemak omega-3, penambahan okskarbazepin 


Tidak direkomendasikan: gabapentin, topiramat atau antidepresan monoterapi

e. Terapi gangguan bipolar II, episode depresi akut26

Lini I

- Quetiapin

Lini II

- Litium, lamotrigin, divalproat, litium atau divalproat + antidepresan, litium +


divalproat, antipsikotika atipik + antidepresan

Lini III


- Antidepresan monoterapi (terutama untuk pasien yang jarang mengalami


hipomania)
f. Terapi rumatan gangguan bipolar II26

Lini I


- Litium, lamotrigine

Lini II

- Divalproat, litium atau divalproat atau antipsikotika atipik + antidepresan,


kombinasi dua dari: litium, lamotrigin, divalproat, atau antipsikotika atipik

Lini III


15
- Karbamazepin, antipsikotika atipik, ECT.

Tidak direkomendasikan: gabapentin

 Terapi Psikososial26
Terapi psikososial dapat meliputi berbagai pendekatan seperti Cognitive Behavioural
Therapy (CBT), terapi keluarga, terapi interpersonal, terapi kelompok, psikoedukasi,
dan berbagai bentuk terapi psikologi atau psikososial lainnya. Terapi psikososial sangat
diperlukan untuk mempertahankan keadaan remisi.

Trauma Masa Kanak

Penelitian-penelitian di Amerika Serikat menunjukkan beberapa metode berbasis bukti


(evidence based methods) yang dapat digunakan untuk mengobati gejala trauma pada anak-
anak, remaja, dan dewasa. Salah satu pengobatan berbasis bukti yang paling sering diteliti dan
digunakan untuk gejala trauma adalah terapi perilaku kognitif atau cognitive behavioral
therapy (CBT). CBT merupakan terapi bicara yang berfokus untuk mengatasi dan mengurangi
pikiran, perilaku, dan respon emosional yang mengalami disfungsi dengan cara mengajarkan
pasien untuk mengatur perasaan dengan mengubah pikiran dan perilaku mereka.26 Trauma-
Focused CBT (TF-CBT) merupakan pengobatan psikososial yang meliputi pendidikan psikis,
pengembangan keterampilan orang tua, relaksasi, modulasi afektif, proses kognitif, dan
pembuatan narasi trauma. Terapi ini telah di validasi untuk anak-anak dan orang tua. Penelitian
menunjukkan bahwa TF-CBT berhasil menyelesaikan berbagai masalah emosional dan
perilaku yang terkait dengan pengalaman trauma tunggal, multipel, dan kompleks.27, 28

Selain itu, terdapat juga terapi lain yang dapat digunakan untuk trauma yaitu eye
movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR adalam modalitas pengobatan
yang berfokus kepada sistem informasi otak dan menurunkan kepekaan terhadap memori
traumatis melalui stimulasi bilateral (BLS) dan paparan singkat yang dibayangkan. Dalam
pemrosesan EMDR, seluruh dimensi memori termasuk gambar, pikiran, emosi, dan sensasi
tubuh diakses melalui BLS. BLS, dengan gerakan mata, nada pendengaran, ketukan atau musik
mengaktifkan belahan otak kanan dan otak kiri untuk mengakses memori traumatis. Perhatian
ganda yang diperlukan selama EMDR memfasilitasi koneksi hemisfer kiri dan kanan dan
mengganggu jaringan memori traumatis.27 CBT, TF-CBT, dan EMDR selain digunakan di

16
Amerika Serikat, juga banyak digunakan di negara lain seperti Australia, Georgia, German
Polandia, Belanda, Switzerland, Lithuania, dan Turki.29, 30

Banyak negara termasuk salah satunya Australia merujuk kepada prinsip penanganan
trauma menurut Substance Abuse and Mental Health Services Administration (SAMHSA),
dimana menggunakan metode ‘trauma informed care’ (TIC). TIC dapat didefinisikan sebagai
kerangka kerja untuk pemberian layanan manusia yang didasarkan kepada pengetahuan dan
pemahaman mengenai bagaimana trauma mempengaruhi kehidupan seseorang dan layanan
yang mereka butuhkan.hal ini membutuhkan pertimbangan lingkungan seseorang tersebut dan
bagaimana gejala mereka dapat dilihat sebagai adaptasi dari trauma dan bukan sebagai
patologi. Secara luas, TIC berarti layanan memiliki kesadaran dan sensitivitas terhadap cara
di mana kebutuhan layanan klien dapat dipahami dalam konteks riwayat trauma mereka.
Terdapat 6 prinsip dasar dari TIC, yaitu:30

 Safety (keamanan)
Staf dan orang-orang yang dilayani merasa aman secara fisik dan psikologis.
 Trustworthiness and transparency (kepercayaan dan transparansi)
Keputusan dan operasi dari organisasi bersifat transparan dan membangun
kepercayaan.
 Peer support (dukungan rekan)
Peer merupakan terminologi yang digunakan SAMHSA untuk individu dengan
pengalaman trauma atau pengasuh mereka. Peers dikenal juga dengan “trauma
survivor”
 Collaboration and mutuality (kolaborasi dan kebersamaan)
Prinsip ini adalah tentang meratakan perbedaan kekuatan antara staf dan klien dan di
antara staf organisasi untuk memastikan pendekatan kolaboratif untuk penyembuhan.
 Empowerment, voice, and choice (pemberdayaan, suara, dan pilihan)
Prinsip ini menekankan sifat perawatan berbasis trauma yang berdasarkan kekuatan.
Organisasi dan idealnya seluruh sistem pemberian layanan mendorong pemulihan dan
penyembuhan.
 Cultural, historical, and gender issues (masalah budaya, sejarah, dan gender)
Sebuah pendekatan trauma yang menggabungkan proses yang bergerak melewati
stereotip budaya dan bias dan menggabungkan kebijakan, protokol, dan proses yang
responsif terhadap kebutuhan budaya klien.

17
BAB III

KESIMPULAN

Kekerasan pada masa kanak-kanak dapat menimbulkan trauma masa kanak pada
seseorang. Trauma masa kanak dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang tidak hanya
pada masa kanak-kanak tetapi juga pada masa dewasa di kemudian hari. Salah satu masalah
mental yang dapat terjadi akibat trauma masa kanak yaitu gangguan perasaan (mood). Dari
beberapa penelitian yang telah dilakukan di berbagai negara ditemukan adanya hubungan yang
bermakna antara trauma masa kanak dengan kejadian gangguan perasaan (mood) seperti
gangguan depresi berat dan gangguan bipolar.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Norman RE, Byambaa M, De E, Butchart A, Scott J, Vos T. The long-term health


consequences of child physical abuse, emotional abuse, and neglect: a systematic
review and meta-analysis. PLOS Medicine. 2012; 9(11): 1-31.
2. Sachs-Ericsson N, Cromer K, Hernandez A, Kendall-Tackett K. A review of childhood
abuse, health and pain-related problems: the role of psychiatric disorders and current
life stress. Journal of Trauma & Dissociation. 2009; 10: 170-88.
3. Thierry BD. The simple guide to child trauma: what is it and how to help. London:
Jessica Kingsley Publishers; 2017. h. 14-9.
4. Greenwald R. Child trauma handbook: a guide for helping trauma-exposed children
and adolescents. New York: Routledge; 2015. h. 9-10.
5. Levine PA, Kline M. Trauma through a child’s eyes. California: North Atlantic Books;
2010. h. 18-27.
6. Kessier RC, McLaughlin KA, Green JG, Gruber MJ, Sampson NA, Zaslavsky AM, et
all. Childhood adversities and adult psychopathology in the WHO World Mental. Br J
Psychiatry. 2010; 197(5): 378-85.
7. SAMHSA’s National Child Traumatic Stress Initiative (NCSTI). Understanding child
trauma full infographic. 2015 (diakses 4 November 2019) Available from URL:
https://www.samhsa.gov/sites/default/files/programs_campaigns/nctsi/nctsi-
infographic-full.pdf
8. Finkelhor D, Turner HA, Shattuck A, Hamby SL. Prevalence of childhood exposure to
violence, crime, and abuse result from the national survei of children’s exposure to
violence. JAMA Pediatrics. 2015; 169(8): 746-54.
9. World Health Organization. European report on preventing child maltreatment. Europe:
WHO Regional Office for Europe; 2013.
10. Fulu E, Miedema S, Roselli T, McCook S, Chan KL, Haardorfer R, et all. Pathways
between childhood trauma, intimate partner violence, and harsh parenting: findings

19
from the UN multi-country study on men and violence in Asia and the Pacific. The
Lancet. 2017; 5: 512-22.
11. Kurniasari A, Widodo N, Husmiati, Susantyo B, Wismayanti YF, Irmayani. Prevalensi
kekerasan terhadap anak laki-laki dan perempuan di Indonesia. Sosio Konsepsia. 2017;
6(3): 287-300.
12. International Society for Traumatic Stress Studies. Effects of childhood trauma on
adults. (diakses 8 November 2019). Available from URL: http://www.istss.org/public-
resources/what-is-childhood-trauma/effects-of-childhood-trauma.aspx
13. Departemen Kesehatan RI. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di
Indonesia III. Indonesia: Departemen Kesehatan RI; 1993. h.
14. Maslim R. Diagnosis gangguan Jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Unika Atma Jaya; 2013. h. 58-69.
15. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental diorders
DSM-5. Washington: American Psychiatric Publishing; 2013. h. 123-34
16. Aas M, Henry C, Andreassen OA, Bellivier F, Melle I, Etain B. The role of childhood
trauma in bipolar disorders. Internasional Journal of Bipolar Disorders. 2016; 4(2): 1-
10.
17. Aas M, Hauvik UK, Djurovic S, Tesli M, Athanasiu L, Bjella T, et all. Interplay
between childhood trauma and BDNF val66met variants on blood BDNF mRNA levels
and on hippocampus subfields volumes in schizophrenia spectrum and bipolar disorder.
Journal of Psychiatric Research. 2014; 59: 14-21.
18. Munkholm K, Brauner JV, Kessing LV, Vinberg M. Cytokines in bipolar disorder vs
healthy control subjects: a systemic review and meta-analysis. Journal of Psychiatric
Research. 2013; 47: 1119-33.
19. Girshkin L, Matheson SL, Shepherd AM, Green MJ. Morning cortisol levels in
schizophrenia and bipolar disorder: a meta-analysis. Psychoneuroendocrinology. 2014;
49: 187-206.
20. Devi F, Shahwan S, Teh WL, Sambasivam R, Zhang YJ, Lau YW, et all. The
prevalence of childhood trauma in psychiatrics outpatients. Ann Gen Psychiatry. 2019;
18(15): 1-8.
21. Park YM. Relationship between childhood maltreatment, suicidality, and bipolarity: a
retrospective study. Psychiatry Investig. 2017; 14(2): 136-40.

20
22. World Health Organization. Child maltreatment. 2016 (diakses pada 5 November 2019)
Available from URL: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/child-
maltreatment
23. Saito T, Toda H, Inoue T, Koga M, Tanichi M, Takeshita S, et all. Relationship between
the substypes of child abuse and affective temperaments: comparison of depression and
bipolar disorder patients healthy controls using the reclassified child abuse and trauma
scale. Journal of Affective Disorders. 2019; 257: 396-403.
24. Etain B, Mathieu F, Henry C Raust A, Roy I, Germain A. Preferential association
between childhood emotional abuse and bipolar disorder. 2010; 23(3): 376-83.
25. Hosang GM, Fisher HL, Hodgson K, Maughan B, Farmer AE. Childhood maltreatment
and adult medical morbidity in mood disorders: comparison of unipolar depression with
bipolar disorder. The British Journal of Psychiatry. 2018; 213: 645-53.
26. Menteri Kesehatan RI. Keputusan menteri kesehatan RI tentang pedoman nasional
pelayanan kedokteran jiwa (psikiatri). 2015. h. 36-54.
27. Dye H. The impact and long-term effects of childhood trauma. Journal of Human
Behavior in the Social Environment. 2018: 1-12.
28. TF-CBT Therapist Certification Program. Trauma-Focused Cognitive Behavioral
Therapy (TF-CBT). (diakses pada 6 November 2019) Available from URL:
https://tfcbt.org
29. Kazlauskas E, Javakhishvilli J, Meewisse M, Merecz-Kot D, Sar V, Schafer I, et all.
Trauma treatment across Europe: where do we stand now from a perspective of seven
countries. European Journal of Psychotraumatology. 2016; 7: 1-5.
30. Child Family Community Australia. Trauma-informed care in child/family welfare
services. Australian Goverment. 2016; 37: 1-17.

21

Anda mungkin juga menyukai