Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN PEDIATRIK
PADA CHILD ABUSE

OLEH :

OLEH :

NI WAYAN ARI RAHAYUNI (P07120217010)

KADEK INDAH DWIJAYANTI (P07120217011)

PUTU AYU SUADNYANI (P07120217012)

NI PUTU ANGGI WIDYASARI (P07120217013)

LUH MADE MAS SWANDEWI (P07120217014)

GUSTI AGUNG AYU DIVASYA S. (P07120217015)

I GUSTI AYU INTAN SETYARI (P07120217016)

NI WAYAN LITA PERDANI (P07120217017)

LUH GEDE SUMIARI (P07120217018)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATAN PEDIATRIK
PADA CHILD ABUSE

A. Definisi Child Abuse


Secara harfiah kekerasan diartikan sebagai "sifat atau suatu hal yang keras;
kekuatan; paksaan". Sedangkan secara terminologi kekerasan berarti "perbuatan
seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang
lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain." Segala macam
perbuatan yang menimbulkan penderitaan baik itu berupa fisik atau menyebabkan
kerusakan bagi orang lain dapat diartikan sebagai kekerasan.
Menurut WHO (World Health Organization) kekerasan adalah
menggunakan kekuatan fisik atau kekuasaan, ancaman atau perlakuan kasar
dengan mengakibatkan kematian, trauma, meninggalkan kerusakan, menyebabkan
luka, atau pengambilan hak. Kekuatan fisik dan penggunaaan kekuasaan termasuk
kekerasan meliputi penyiksaan fisik, penelantaran, dan seksual.
Child abuse adalah tindakan lisan atau perilaku yang menimbulkan
konsekuensi emosional yang merugikan (Wong, 2013). Child abuse terjadi ketika
orang tua menyuruh anak untuk diam atau jangan menangis. Jika anak mulai
bicara, ibu terus menerus menggunakan kekerasan verbal seperti “kamu bodoh”.
“kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”. Anak akan mengingat itu semua kekerasan
verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu periode (Jallaludin,
2006).
Banyak orangtua menganggap kekerasan (abuse) pada anak adalah hal yang
wajar. Mereka beranggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan
anak. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum.
Dan dari hukuman tersebut, banyak tindakan-tindakan orangtua yang bisa
dimasukkan dalam kategori kekerasan (Jallaludin, 2006).
B. Klasifikasi
Terdapat empat tipe utama yang terdapat dalam CA, yaitu physical abuse
(kekerasan fisik), sexual abuse (kekerasan seksual), emotional abuse (kekerasan
emosional), dan neglect (kelalaian) (Cameron, 1998). Eksploitasi anak atau
mempekerjakan anak di bawah umur untuk tujuan komersil dengan
mengesampingkan perkembangan fisik, mental dan sosial anak merupakan tipe lain
dari CA.
1. Physical Abuse

Physical Abuse merupakan kekerasan yang dilakukan terhadap


anak sehingga anak mengalami luka fisik yang bukan disebabkan oleh
kecelakaan. Luka fisik yang bukan karena kecelakaan antara lain adalah
pukulan, luka bakar, gigitan, cekikan, dan pemanasan yang mengakibatkan
memar, bilur, patah tulang, luka parut dan luka dalam yang serius.
Beberapa tipe spesifik dari physical abuse, yaitu kekerasan oleh saudar
kandung atau tiri, goncangan bayi (shaken baby syndrome), pemberian
obat yang salah (Syddro muchausen) dan penggunaan obat-obatan serta
alkohol selama masa kehamilan dan menyusui.
Physical abuse berbeda dengan physical punishment (hukuman fisik),
tetapi hukuman fisik dapat dengan mudah menjadi tidak terkendali
menjadi kekerasan fisik ). Beberapa indikator fisik yang dapat digunakan
untuk melihat suatu tindakan sebagai physical abuse, yaitu:
1) Tanda gigitan

2) Memar yang tidak biasa karena pukulan, tamparan

3) Laserasi

4) Luka bakar karena rokok, air panas, atau benda-benda panas lainnya

5) Insidensi kecelakaan atau frekuensi luka yang tinggi

6) Luka, bengkak pada muka dan ekstremitas

7) Pewarnaan pada kulit


Tanda-tanda eksternal physical abuse tersebut lebih dari 90% terdapat
pada anak yang mengalami CA.
Anggota keluarga dekat adalah pelaku pada 55% kasus penyiksaan.
Ayah adalah pelaku yang paling sering (21%), ibu 21%, teman kencan ibu
9%, pengasuh bayi 8% dan ayah tiri 25% (Grafik ). Usia rata-rata pelaku
adalah 25 tahun. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mrlihat
keluarga atau orang tua yang beresiko melakukan physical abuse
diantaranya adalah :
1) Masalah pribadi perkawinan

2) Tekanan ekonomi

3) Orang tua yang mengalami kekerasan di masa kecil


4) Nilai moral yang terlalu tinggi

5) Riwayat penggunaan obat-obatan dan alkohol

6) Terisolasi secara sosial

7) Memandang anak sebagai penjahat

8) Bermusuhan, curiga dan takut pada orang lain

9) Toleransi frustasi yang rendah

10) Sedikit atau sama sekali tidak tertarik pada perkembangan anak

11) Tidak merespon kesakitan anak

12) Tidak konsisten dalam memberi penjelasan mengenai luka-luka anak

13) Memikulkan kesalahan anak

14) Membawa anak ke dokter atau Rumah Sakit yang berbeda untuk
setiap luka
2. Sexual Abuse

Sexual abuse adalah setiap aktivitas seksual antara orang dewasa


dan anak. Sexual abuse termasuk oral-genital, genital-genital, genital-
rektal,tangan-genital, tangan-rektal atau kontak tangan-payudara,
pemaparan anatomi seksual, melihat dengan paksa anatomi seksual, dan
menunjukkan pornografi. Tindakan disebut sebagai seksual abuse jika
tindakan tersebut dilakukan oleh anggota keluarga, ayah, ibu, pengasuh,
guru atau orang lain yang berada di lingkungan rumah anak. Jika tindakan
dilakukan oleh orang asing maka disebut penyerangan seksual (sexual
assault).
Tindakan sexual abuse dapat dibagi atas tiga kategori yaitu
perkosaan yang biasa terjadi dengan didahului oleh ancaman pelaku
dengan memperlihatkan kekuatannya pada anak, insesct didefenisikan
sebagai hubungan seksual antara individu yang mempunyai hubungan
dekat, dan eksploitasi meliputi prostitusi dan pornografi. Incest, seksual
abuse antara anggota keluarga (termasuk saudara kandung, angkat dan
tiri) merupakan kasus sexual abuse yang paling banyak dilaporkan.
Sexual abuse harus dipertimbangkan sebagai akibat gejala-gejala atau
perilaku fisik yang menyertai. Gejala-gejala akibat sexual abuse adalah:
1) Nyeri vagina, penis dan rektum, perdarahan

2) Disuria kronik, eneuresis, konstipasi atau gerakan usus yang tidak


disengaja
3) Pubertas prematur pada wanita.

Perilaku spesifik akibat sexual abuse termasuk aktivitas


seksualisasi dengan orang yang sebaya, binatang, atau objek, perilaku dan
keingintahuan seksual yang tidak sesuai umur.

3. Emotional Abuse

Emotional abuse didefenisikan sebagai setiap tindakan atau tingkah


laku yang mengganggu perkembangan mental dan sosial anak. Emotional
abuse sering juga disebut verbal abuse (kekerasan verbal), mental abuse
(kekerasan mental) atau physiological maltreatment. Emotional abuse
hampir selalu terjadi bersamaan dengan bentuk kekerasan yang lain.
Emotional abuse meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan
kotor, memarahi, mengomel, membentak dan memaki anak dengan cara
berlebihan serta merendahkan martabat anak, memperlihatkan buku,
gambar atau film pornografi pada anak.
Hart dan Brassard (Goldman, 2003) membagi emotional abuse menjadi
enam bentuk sebagai berikut :
1) Penolakan

2) Menakuti

3) Mengisolasi

4) Mengeksploitasi

5) Mengingkari respon emosi anak

6) Penelantaran pendidikan, kesehatan, dan mental anak.


C. Tanda-tanda Child Abuse

CA dicurigai bila luka tidak terjelaskan, tidak dapat dijelaskan, atau tidak
masuk akal. Jika luka tidak cocok dengan riwayat yang diberikan atau
perkembangan anak, pelaku harus dilaporkan.
Beberapa tanda atau manifestasi yang dapat digunakan untuk menentukan CA,
yaitu :
1) Cedera kulit merupakan tanda CA yang paling umum dan mudah
ditemukan. Bekas gigitan manusia tampak sebagai daerah lonjong
dengan bekas gigi, tanda hisapan, atau tanda dorongan lidah. Memar
multipel atau memar pada tempat-tempat yang tidak terjangkau
menunjukkan bahwa anak mengalami penganiayaan. Memar kecelakaan
akibat trauma paling mungkin ditemukan pada permukaan utama yang
melapisi tepi permukaan tulang, seperti tulang betis, lengan bawah,
pinggul dan kening. Memar pada pantat, genitalia, punggung dan
punggung tangan kemungkinannya kecil karena kecelakaan. Selain
dipukul atau dilempar, anak juga dapat secara sengaja dibakar, dilukai
atau ditusuk. Bentuk jejas dapat memberi kesan objek yang digunakan
(Gambar) memar berubah warna menurut waktu, warna memar dapat
digunakan untuk memperkirakan waktu terjadinya luka tersebut.
2) Fraktur dan dislokasi yang tidak dapat dijelaskan dapat merupakan tanda
CA. Fraktur paling sering diakibatkan karena luka renggutan atau tarikan
yang mencederai metafisis. Fraktur yang mengakibatkan sudut metafisis
tulang panjang terpecah sampai epifisis dan periosteum merupakan tanda
klasik CA. Fraktur iga posterior dalam berbagai tahap penyembuhan,
fraktur spinal, atau dislokasi karena terpelintirnya ekstremitas merupakan
bukti cidera pada anak yang tidak terjadi secara kebetulan.
3) Kerontokan rambut traumatik terjadi ketika rambut anak ditarik, atau
dipakai untuk menyeret, atau menyentak anak. Akibatnya dapat
memecahkan pembuluh darah di bawah kulit kulit kepala. Adanya
akumulasi darah membantu membedakan antara kerontokan rambut akibat
penganiayaan atau non penganiayaan.
4) Cedera termal disengaja atau diketahui sebabnya. Luka bakar pencelupan
menimbulkan luka bakar terbatas tegas dan sirkular. Luka bakar rokok
menghasilkan lesi sirkuler, menonjol kemerahan. Luka bakar sirkuler
kecil-kecil dan banyak dalam berbagai tahap penyembuhan, luka bakar
setrikaan, luka bakar daerah popok, luka bakar tali memberikan kesan
adanya tindakan kejahatan yang disengaja.
5) Cedera eksternal pada kepala, muka dan mulut. Luka, perdarahan,
kemerahan atau pembengkakan pada kanal telinga luar, bibir pecah-pecah.
Gigi goyang atau patah, laserasi pada lidah dan kedua mata biru tanpa
trauma pada hidung, semuanya mengindikasikan adanya penganiayaan.
6) Sindroma bayi terguncang. Guncangan pada bayi menyebabkan cidera
ekslersi deselerasi pada otak, menyebabkan regangan dan pecahnya
pembuluh darah, hemoragi retina, trauma intrakranial (hemoragi subdural),
dan edema serebral.

7) Jatuh. Jika seorang anak dilaporkan mengalami kejatuhan biasa, namun


yang tampak adalah cidera yang tidak biasa, maka ketidaksesuaian riwayat
dengan trauma yang dialami tersebut menimbulkan kecurigaan terjadinya
CA.
D. Etiologi
Pencetus CA terjadi akibat stres dalam keluarga, yang berasal dari beberapa
permasalahan. Pertama, berasal dari faktor anak, yakni anak dengan mental
retardasi, anak hiperaktif, anak dengan gangguan perilaku, penampilan fisik anak,
anak cacat, kelahiran yang tidak diinginkan, anak adopsi, dan sebagainya. Kedua
adalah faktor orang tua sebagai pencetus, misalnya pencandu alkohol, narkotika,
kelainan kepribadian, depresi, kelainan jiwa seperti skizofrenia, gangguan mental
emosional lainnya, orang tua yang pernah mempunyai pengalaman penganiayaan
di masa kecil, orang tua tunggal, orang tua tiri, faktor pola asuh dan mendidik
anak, nilai-nilai hidup yang dianut orang tua, serta rendahnya pengetahuan
mengenai perkembangan anak.
Ketiga, faktor situasi keluarga, yakni hubungan kurang harmonis, orang tua
tidak bekerja, keluarga banyak anak, anak yang tidak diinginkan orang tua, anak
diasuh baby sitter atau pembantu yang kasar dan pemarah, keterasingan dari
masyarakat, kemiskinan, kepadatan hunian, tekanan hidup akibat masalah sosial
ekonomi, seperti pengangguran, mutasi, bisnis merugi, selingkuh, perceraian,
perpecahan dalam keluarga, masalah interaksi antara lingkungan ibu dan anak,
serta anak terpisah dari orang tua pada perkembangan fase kehidupannya. Terakhir
adalah faktor budaya, yaitu adanya kepercayaan/adat mengenai pola asuh anak, hak
orang tua terhadap anak, dan pengaruh pergeseran budaya. Secara garis besar
tercakup dalam lima faktor penyebab terjadinya CA, yaitu degradasi moral,
rendahnya pendidikan, pola perawatan yang salah, rendahnya tingkat ekonomi dan
media massa.
E. Pathway

Faktor Internal : Faktor Eksternal :

1. Pola Asuh 1. Bullying


2. Permasalahan Keluarga 2. Lingkungan
(Broken Home)

Child Abuse

Fisik Psikologi Sosial

Luka 1. Hubungan orang Menarik Diri


tua- anak tidak
memuaskan.
Perdarahan Harga Diri Rendah
2. Kebutuhan tidak
terpenuhi.

Syok Hipovolemik
Ansietas
F. Patofisiologi
Proses terjadinya child abuse dapat disebabkan karena permasalahan yang ada
di dalam keluarga seperti broken home, pola asuh yang kurang tepat, faktor
lingkungan, pengalaman kekerasan di masa lampau, orang tua yang mungkin
mengalami gangguan kejiwaan yang mengakibatkan orang tua atau seseorang
melakukan child abuse yang nantinya akan mengakibatkan anak tersebut mengalami
gangguan psikologi seperti ansietas, depresi, trauma yang mendalam, menarik diri,
mengalami luka akibat disudut menggunakan rokok yang mengakibatkan kerusakan
jaringan atau pembuluh darah sehingga menimbulkan perdarahan yang nantinya dapat
menyebabkan risiko syok hipovolemik.
G. Manifestasi Klinis
1. Akibat pada fisik anak
a. Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah tulang, perdarahan
retina akibatdari adanya subdural hematom dan adanya kerusakan organ
dalam lainnya
b. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut, kerusakan
saraf,gangguan pendengaran, kerusakan mata dan cacat lainnya.
c. Kematian.
2. Akibat pada tumbuh kembang anak
Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami perlakuan salah, pada
umumnyalebih lambat dari anak yang normal, yaitu:
a. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya
yang tidak mendapat perlakuan salah.
b. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu:
 Kecerdasan
 Berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan
dalam perkembangan kognitif, bahasa, membaca, dan motorik.
 Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala,
jugakarena malnutrisi.
 Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh tidak
adanyastimulasi yang adekuat atau karena gangguan emosi.
 Emosi
 Terdapat gangguan emosi pada: perkembangan kosnep diri
yang positif, atau bermusuh dalam mengatasi sifat agresif,
perkembangan hubungan sosialdengan orang lain, termasuk
kemampuan untuk percaya diri.
 Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau
bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi
menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif,
perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur,
tempretantrum, dsb.
 Konsep diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai,
tidak dikehendaki, muram, dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi
aktifitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
 Agresif
Anak mendapatkan perlakuan yang salah secara badani, lebih agresif
terhadap temansebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru
tindakan orangtua mereka ataumengalihkan perasaan agresif kepada
teman sebayanya sebagai hasil miskinnyakonsep harga diri
 Hubungan social
Pada anak-anak ini sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya
atau dengan orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman dan suka
mengganggu orangdewasa, misalnya dengan melempari batu atau
perbuatan-perbuatan kriminal lainnya.
3. Akibat dari penganiayaan seksual
Tanda-tanda penganiayaan seksual antara lain:
 Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret
vagina, dan perdarahan anus.
 Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis,
enkopresis, anoreksia,atau perubahan tingkah laku.
 Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan
umurnya.Pemeriksaan alat kelamin dilakuak dengan memperhatikan vulva,
himen, dan anus anak.
H. Komplikasi
Dengan pengobatan dan perawatan secara intensif, 80-90% keluarga yang
terlibat dalam penganiayaan serta pengabaian anak dapat direhabilitasi, sehingga
mampu memberikan perawatan yang mencukupi bagi anak mereka. Tetapi, sekitar 10-
15% dari yang dapat distabilisasi, masih membutuhkan pelayanan yang berkelanjutan
sampai anaknya cukup dewasa. Namun demikian, 2-3% kasus hak orang tua untuk
mengasuh anaknya harus diputuskan dan ditempatkan dipanti asuhan.
Intervensi perlu dan harus diputuskan segera, yaitu sewaktu anak akan
dipulangkan ke rumah. Karena, ternyata tanpa intervensi, sebanyak 5% anak
dipulangkan akan terbunuh dan 25% di antaranya akan mengalami penganiayaan yang
lebih berat kembali.
Anak yang berulang kali mengalami kekerasan pada susunan saraf pusatnya, dapat
mengalami:
- Keterlambatan dan keterbelakangan mental
- Kejang-kejang
- Hidrosefalus
- Ataksia
Selanjutnya, keluarga-keluarga yang tidak mendapat pengobatan serta
perawatan yang memadai cenderung akan menghasilkan anak remaja yang nakal dan
menjadi penganiaya anak sendiri pada generasi berikutnya.
Anak yang telah mengalami penganiayaan seksual dapat menyebabkan perubahan
tingkah laku dan emosi anak,antara lain:
- Depresi
- Percobaan bunuh diri
- Gangguan stress post traumatic
- Gangguan makan
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Jika dijumpai luka memar, perlu dilakukan skrining perdarahan. Pada
penganiayaan seksual, dilakukan pemeriksaan:
a. Swab untuk analisa asam fosfatase, spermatozoa dalam 72 jam setelah
penganiayaan seksual.
b. Kultur specimen dari oral, anal dan vaginal untuk gonokokus.
c. Tes untuk sifilis, HIV dan hepatitis B.
d. Analisa rambut pubis.
2. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada anak dibawah usia dua tahun sebaiknya dilakukan
untuk meneliti tulang, sedangkan pada anak di atas 4 -5 tahun hanya perlu
dilakukan bila ada rasa nyeri tulang, keterbatasan dalam pergerakan pada saat
pemeriksaan fisik. Ultrasonografi (USG) digunakan untuk mendiagnosis adanya
lesi visceral. CT scan lebih sensitive dan spesifik untuk lesi serebral akut dan
kronik, hanya diindikasikan pada penganiayaan anak atau seorang bayi yang
mengalami trauma kepala yang berat.
MRI (Magnetic Resonance Imaging) lebih sensitive pada lesi yang subakut.
Pemeriksaan kolposkopi untuk mengevaluasi anak yang mengalami penganiayaan
seksual.
J. Konsep Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Child Abuse
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa
responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada
atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara
dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang
tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang
belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai
terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering
disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson &
Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas? Pada kasus luka bakar kaji jalan pernafasan
apakah terdapat cilia pada saluran pernafasan mengalami kerusakan yang
disebabkan oleh asap atau inhalasi.
b.   Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
  Adanya snoring atau gurgling
  Stridor atau suara napas tidak normal
  Agitasi (hipoksia)
  Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
  Sianosis
c.   Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
  Muntahan
  Perdarahan
  Trauma wajah
d.   Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
e.    Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
f.    Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien
sesuaiin dikasi :
  Chin lift/jaw thrust
  Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask
Airway
  Lakukan intubasi
2) Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas
dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open
chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
a.   Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
  Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada
tanda-tanda sebagai berikut :cyanosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu
pernafasan yang disebabkan karna trauma inhalasi.
  Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
  Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
b.  Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
c.  Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
d.  Penilaian kembali status mental pasien.
e.  Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
f.  Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan oksigenasi:
  Pemberian terapi oksigen
  Bag-Valve Masker
  Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan
yang benar), jika di indikasikan
  Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
g. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.
3) Circulation
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara
lain :
a.   Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b.  CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
c.   Kontrol perdarahan yang dapa tmengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
d.    Palpasi nadi brakialis jika diperlukan:
  Menentukan ada atau tidaknya
  Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
  Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
  Regularity
e.    Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
f.     Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
d. Coma/consclusive
Pengkajian pada ini digunakan untuk melakukan pemeriksaan tingkat kesadaran
pada pasien pediatrik.
b. Pengkajian Sekunder
Pada pengkajian sekunder dilakukan pemeriksaan head to toe pada
pasien. Fokus pengkajian secara keseluruhan untuk menegakkan diagnosa
keperawatan berkaitan dengan child abuse, antara lain:

1. Psikososial
a. Melalaikan diri (neglect), baju dan rambut kotor, bau
b. Gagal tumbuh dengan baik
c. Keterlambatan perkembangan tingkat kognitif, psikomotor, dan
psikososial
d. With drawl (memisahkan diri) dari orang-orang dewasa
2. Muskuloskeletal
a. Fraktur Dislokasi
b. Keseleo (sprain)
3. Genito Urinaria
a. Infeksi saluran kemih
b. per vagina
c. pada vagina/penis
d. Nyeri waktu miksi
e. Laserasi pada organ genetalia eksternal, vagina, dan anus.
4. Integumen
a. Lesi sirkulasi (biasanya pada kasus luka bakar oleh karena rokok)
b. Luka bakar pada kulit, memar dan abrasi
c. Tanda-tanda gigitan manusia yang tidak dapat dijelaskan
d. Bengkak.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko syok (hipovolemia) berhubungan dengan faktor resiko kehilangan
cairan aktif ditandai dengan frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah,
tekanan darah menurun, turgor kulit menurun, membrane mukosa kering, suhu
tubuh meningkat.
2. Ansietas berhubungan dengan hubungan orangtua-anak tidak memuaskan
ditandai dengan merasa bingung, khawatir, sulit berkonsentrasi, gelisah, sulit
tidur, diaphoresis, suara bergetar, muka tampak pucat, tekanan darah, nadi
serta frekuensi nafas meningkat.
3. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan transisi perkembangan
ditandai dengan menilai diri negatif, merasa malu/bersalah, menolak penilaian
diri yang positif, berbicara pelan, menolak berinteraksi dengan orang lain, sulit
berkonsentrasi, kontak mata kurang.
3. Intervensi
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi (SIKI)
(SLKI)
1 Resiko syok (hipovolemia) Setelah dilakukan tindakan SIKI Label : Manajemen
berhubungan dengan faktor keperawatan selama ... x ... jam Hipovolemia
resiko kehilangan cairan diharapkan Resiko hipovolemia 1. Periksa tanda dan
aktif ditandai dengan menurun dengan kriteria hasil : gejala hipovolemia
frekuensi nadi meningkat, (mis. Frekuensi nadi
SLKI Label : Status cairan
nadi teraba lemah, tekanan menigkat, nadi
darah menurun, turgor kulit 1. Kekuatan nadi cukup teraba lemah,
menurun, membrane membaik (70-130 x/ tekanan darah
mukosa kering, suhu tubuh menit) menurun, dll)
meningkat. 2. Turgor kulit cukup 2. Monitor intake dan
meningkat output cairan
3. Tekanan darah cukup 3. Hitung kebutuhan
membaik (120/80 mmHg) cairan
4. Membran mukosa cukup 4. Berikan posisi
membaik modified
trendelenburg
5. Berikan asupan
cairan oral
6. Anjurkan
memperbanyak
asupan cairan oral

2 Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan SIKI Label : Reduksi


dengan hubungan orangtua- keperawatan selama ... x ... jam Ansietas
anak tidak memuaskan diharapkan Ansietas menurun 1. Identifikasi saat
ditandai dengan merasa dengan kriteria hasil : tingkat ansietas
bingung, khawatir, sulit berubah (mis.
SLKI Label : Tingkat Ansietas
berkonsentrasi, gelisah, Kondisi, waktu,
sulit tidur, diaphoresis, 1. Verbalisasi kebingungan stressor)
suara bergetar, muka cukup menurun 2. Monitor tanda-tanda
tampak pucat, tekanan 2. Verbalisasi khawatir ansietas
darah, nadi serta frekuensi akibat kondisi yang 3. Temani pasien untuk
nafas meningkat. dihadapi cukup menurun mengurangi
3. Perilaku gelisah cukup kecemasan, jika
menurun memungkinkan
4. Perilaku tegang cukup 4. Pahami situasi yang
menurun membuat ansietas
5. Gunakan pendekatan
yang tenang dan
meyakinkan
6. Motivasi
mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan
7. Anjurkan keluarga
untuk tetap bersama
pasien, jika perlu
8. Latih kegiatan
pengalihan untuk
mengurangi
ketegangan
9. Latih teknik
relaksasi
3 Harga diri rendah Setelah dilakukan tindakan SIKI Label : Promosi
situasional berhubungan keperawatan selama ... x ... jam harga diri
dengan transisi diharapkan harga diri rendah 1. Monitor verbalisasi
perkembangan ditandai situasional membaik dengan yang merendahkan
dengan menilai diri negatif, kriteria hasil : diri sendiri
merasa malu/bersalah, 2. Motivasi terlibat
SLKI Label : Harga diri
menolak penilaian diri yang dalam verbalisasi
positif, berbicara pelan, 1. Penilaian diri positif cukup positif untuk diri
menolak berinteraksi meningkat sendiri
dengan orang lain, sulit 2. Perasaan memiliki 3. Motivasi menerima
berkonsentrasi, kontak mata kelebihan atau tantangan atau hal
kemampuan positif cukup baru
kurang. meningkat 4. Diskusi kepercayaan
3. Penerimaan penilaian terhadap penilaian
positif terhadap diri sendiri diri
cukup meningkat 5. Berikan umpan balik
4. Minat mencoba hal baru positif atas
cukup meningkat peningkatan
5. Berjalan menampakan mencapai tujuan
wajah cukup meningkat 6. Jelaskan kepada
keluarga pentingnya
dukungan dalam
perkembangan
konsep positif diri
pasien
7. Anjurkan
mempertahankan
kontak mata saat
berkomunikasi
dengan orang lain
8. Latih penyataan /
kemampuan positif
diri

4. Implementasi
Dilaksanakan sesuai intervensi.
5. Evaluasi
a. Evaluasi Formatif : merefleksikan observasi perawat dan analisis terhadap
klien (terhadap respon langsung paa intervensi sikap perawat).
b. Evaluasi sumatif : merefleksikan rekapitulasi dan synopsis observasi dan
ala analisis mengenai status kesehatan klien terhadap waktu. Poer 2012.

DAFTAR PUSTAKA
Cameron, A.2003. Pediatric Dentistry. 2nd Ed. Toronto : Mosby
Huraerah, A. 2012. Child abuse.Bandung: Nuansa.

Mackowlez, J. 2013. Verbal abuse in upbringing as the cause of low self-esteem


in children. Euoropean Scientific Journal.Vol 2.

Mc. Donald, 2004. Dentistry for the Child and Adolescent. 8th Ed. St.Louis,
Missouri.

Pinkham, 1988, Pediatric Dentistry, 4th Ed, St. Louis, Elsevier Saunders.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Anda mungkin juga menyukai