Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH MATA KULIAH KEPERAWATAN ANAK

“PENERAPAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA


ANAK DENGAN CHILD ABUSE”

Disusun Oleh :
Kelompok 3

Dosen Pembimbing :
Hj. Umi Kalsum, S.Pd., M. Kes

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN
KEPERAWATAN TAHUN AJARAN 2021
MAKALAH MATA KULIAH KEPERAWATAN ANAK
“PENERAPAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA
ANAK DENGAN CHILD ABUSE”

Disusun Oleh :
Chindy Isnaini Durand P07220219082

Choirul Afif P07220219083

Echa Amelia P07220219086

Elysa Shabrina Nurviany P07220219088

Hanin Nafi’ P07220219091

Muhammad Reza Anugrah P07220219104

Muhammad Robbani Ritbiyyun P07220219105

Said Ahmad Farid Rahman P07220219117

KEMENTERIAN KESEHATANREPUBLIK INDONESIA


POLTEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN
KEPERAWATAN TAHUN AJARAN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat
dan juga ridhoNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Penerapan Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Child Abuse” yang
sederhana ini dengan tepat waktu. Semoga makalah ini dapat menjadi pemenuh
tanggung jawab atas tugas yang diberikan pada Mata Kuliah Keperawatan Anak,
selain daripada itu penulis juga berharap bahwa makalah ini dapat memberikan
manfaat dalam membantu melengkapi wawasan pembaca.
Makalah ini penulis akui masih banyak menyimpan kekurangan karena
pengalaman yang belum sepenuhnya mendukung. Oleh karena itu, penulis
harapkan kepada para pembaca untuk dapat memberikan masukan yang bersifat
membangun untuk perbaikan makalah penulis.

Samarinda, 27 Februari 2021

Penulis

DAFTAR ISI

JUDUL.....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan .........................................................................................................2
D. Manfaat .......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Child Abuse.........................................................................
1. Definisi child abuse.................................................................................
2. Etiologi child abuse.................................................................................
3. Manifestasi klinis child abuse.................................................................
4. Komplikasi child abuse...........................................................................
5. Mekanisme koping child abuse...............................................................
6. Penatalaksanaan child abuse...................................................................
7. Pemeriksaan penunjang pada child abuse...............................................
B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Child Abuse.............
1. Pengkajian ..............................................................................................
2. Diagnosa keperawatan.............................................................................
3. Intervensi keperawatan...........................................................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan....................................................................................................
B. Saran...............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Berdasarkan data United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada tahun


2012 terdapat kekerasan pada anak yang mengakibatkan kematian sekitar 95.000
anak-anak dan remaja di bawah usia 20. Sekitar 6 dari 10 anak antara usia 2 - 14
tahun di seluruh dunia (hampir satu miliar) mendapatkan hukuman fisik setiap
hari dari pengasuhnya dan 3 dari 10 orang dewasa di seluruh dunia percaya bahwa
hukuman fisik diperlukan dan pantas dalam membangun atau mendidik anak
(UNICEF, 2014)

Hasil pemantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari 2011


sampai 2014 kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahunnya. Tahun 2011
terjadi 2.178 kasus kekerasan, 2012 ada 3.512 kasus, 2013 ada 4.311 kasus dan
2014 ada 5.066 kasus. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9
provinsi menunjukkan bahwa 91 persen anak menjadi korban kekerasan di
lingkungan keluarga, 87.6 persen di lingkungan sekolah dan 17.9% di lingkungan
masyarakat (Nurul, 2015).

Ibu merupakan sekolah paling utama dalam pembentukan kepribadian anak,


serta saran untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan berbagai sifat mulia.
Semenjak lahir dari rahim seorang Ibu, maka ibulah yang banyak mewarnai dan
mempengaruhi perkembangan pribadi, perilaku dan akhlak anak. Sejak lahir, anak
akan mengamati gerak-gerik ibunya. Dari tingkah laku ibunya itulah maka anak
akan senantiasa melihat dan meniru apa yang dilakukan ibunya dan akan
diterapkan dalam kehidupannya (Mutiah, 2014).

Berkembangnya budaya dalam masyarakat kita saat ini menganggap bahwa


proses pembelajaran kepada anak dilakukan dengan kekerasan, agar anak patuh
dan disiplin untuk mencapai skala keberhasilan yang diinginkan orang tua
(Soetjiningsih, 1995). Orang tua berlaku kasar dan memberikan hukuman fisik
dengan dalih untuk memberikan pelajaran pada anak-anak mereka. Padahal
seharusnya setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan. Orang
tua tidak banyak mengetahui bahwa anak juga mempunyai hak dan kewajiban
sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun
2002 pasal 4 sampai dengan pasal 19 (Nasrun, 2015)

Kekerasan merupakan tindakan yang disengaja yang mengakibatkan cidera


fisik atau tekanan mental (Carpenito, 2009). Campbell dan Humphrey
mendefinisikan kekerasan anak sebagai berikut “Setiap tindakan yang
mencelakakan/dapat mencelakakan kesehatan dan kesejahteraan anak yang
dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesehatan dan
kesejahteraan anak tersebut” (Yani, 2008).

Terry E. Lawson, psikiater anak membagi kekerasan anak menjadi 4


(empat) macam, yaitu emotional abuse, Child abuse , physical abuse dan sexual
abuse. Child abuse , terjadi ketika Ibu, mengetahui anaknya meminta perhatian,
menyuruh anak itu untuk “diam” atau “jangan menangis”. Anak mulai berbicara
dan ibu terus menggunakan kekerasan verbal seperti, “kamu bodoh”, “kamu
cerewet”, “kamu kurang ajar”, dan seterusnya (Solihin, 2014).

Child abuse dapat terjadi setiap harinya di rumah. Rumah yang seharusnya
tempat paling aman dan tempat berlindung bagi anak tidak lagi menjadi nyaman.
Adanya pengertian yang salah dalam memandang anak, dimana anak masih saja
dipandang sebagai objek yang wajib menurut kepada orang tua. Padahal belum
tentu orang tua selamanya benar.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk membahas lebih jauh


tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien Child Abuse.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan
masalah yaitu :
1. Bagaimanakah konsep dasar child abuse?
2. Apa pengertian dari child abuse?
3. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada anak dengan child abuse?
C. Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui konsep dasar child abuse
2. Untuk mengetahui pengertian dari child abuse
3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan child abuse

D. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini yaitu dapat mengaplikasikan
dan menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai child abuse serta
kemampuan dalam menerapkan asuhan keperawatan pada anak dengan child
abuse.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Child Abuse


1. Definisi child abuse

Child abuse adalah tindakan lisan atau perilaku yang menimbulkan


konsekuensi emosional yang merugikan (Wong, 2013). Child abuse terjadi
ketika orang tua menyuruh anak untuk diam atau jangan menangis. Jika
anak mulai bicara, ibu terus menerus menggunakan kekerasan verbal seperti
“kamu bodoh”. “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”. Anak akan mengingat
itu semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung
dalam satu periode (Jallaludin, 2006).

Menurut Farida (2013), Kekerasan kata-kata (Child abuse ) adalah


semua bentuk tindakan ucapan yang mempunyai sifat menghina,
membentak, memaki, memarahi dan menakuti dengan mengeluarkan kata-
kata yang tidak pantas.

Sedangkan menurut Khaliq (2014), Child abuse adalah tindakan


secara lisan yang membawa efek kekerasan, baik dengan kata-kata yang
tersurat (surface structure) ataupun kata-kata yang tersirat (deep structure),
dan bisa berakibat sangat merugikan korban, baik fisik maupun mental.

Banyak orangtua menganggap kekerasan (abuse) pada anak adalah hal


yang wajar. Mereka beranggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari
mendisiplinkan anak. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu
dikontrol dan dihukum. Dan dari hukuman tersebut, banyak tindakan-
tindakan orangtua yang bisa dimasukkan dalam kategori kekerasan
(Jallaludin, 2006).

2. Etiologi child abuse

Child abuse atau yang apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa


Indonesia menjadi perlakuan salah terhadap anak, memiliki sifat yang
multidimensional, tetapi ada 3 faktor penting yang berperan dalam
terjadinya perlakuan salah pada anak, yaitu :

a. Karakteristik orangtua dan keluarga


Faktor – faktor yang banyak terjadi dalam keluarga dengan child abuse
antara lain :
- Para orang tua pernah mengalami child abuse. Orangtua yang
mengalami perlakuan salah pada masa kecil akan melakuakan hal
yang sama terhadap orang lain atau anaknya sebagai bentuk
pelampiasan atas kejadian yang pernah dialaminya.
- Orang tua yang agresif dan impulsive
- Keluarga dengan hanya satu orang tua (yatim atau piatu)
- Orang tua yang menikah karena perjodohan
- Salah satu orang tua mengalami kekerasan dalam rumah tangga
- Kemiskinan dan pengangguran, kedua faktor ini merupakan faktor
terkuat yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak, sebab
kedua faktor ini berhubungan kuat dengan kelangsungan hidup.
Sehingga apapun akan dilakukan oleh orangtua terutama demi
mencukupi kebutuhan hidupnya termasuk harus mengorbankan
keluarga.
b. Karakteristik anak yang mengalami perlakuan salah
Beberapa faktor anak yang berisiko tinggi untuk perlakuan salah
adalah :
- Anak yang tidak diinginkan. Hal ini juga akan mengakibatkan
munculnya perilaku kekerasan pada anak, sebab anak tidak sesuai
dengan apa yang diinginkan oleh orangtua, misalnya kekurangan
fisik, lemah mental, dsb.
- Anak yang lahir prematur, terutama yang mengalami komplikasi
neonatal, berakibat adanya keterikatan bayi dan orangtua yang
membutuhkan perawatan yang berkepanjangan
- Anak dengan retardasi mental, orangtua merasa malu
- Anak dengan kelainan tingkah laku seperti hiperaktif mungkin
terlihat nakal.
- Anak normal, tetapi diasuh oleh pengasuh karena orangtua bekerja
- Anak angkat, anak angkat cenderung mendapatkan perlakuan kasar
disebabkan orangtua menganggap bahwa anak angkat bukanlah
buah hati dari hasil perkawinan sendiri, sehingga secara naluriah
tidak ada hubungan emosional yang kuat antara anak angkat dan
orang tua.
c. Beban dari lingkungan
Penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa penyiksaan anak
dilakukan oleh orang tua dari banyak etnis, letak geografis, agama,
tingkat pendidikan, pekerjaan dan social ekonomi.
Kelompok masyarakat yang hidup dalam kemiskinan meningkatkan
laporanpenyiksaan fisik terhadap anak-anak. Hal ini mungkin
disebabkan karena :
- Peningkatan krisis di tempat tinggal mereka (contoh: tidak bekerja
atau hidup yang berdesakan)
- Akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat masa-masa
krisis
- Peningkatan jumlah kekerasan di tempat tinggal mereka
- Mobilitas, isolasi, dan perumahan tidak memadai, ketiga faktor ini
juga berpengaruh besar terhadap terjadinya kekerasan pada anak,
sebab lingkungan sekitarlah yang menjadi faktor terbesar dalam
membentuk kepribadian dan tingkah laku anak.
- Hubungan antara kemiskinan dengan faktor resiko seperti remaja
dan orang tua tunggal (single parent).(Hidayat,2008)

3. Manifestasi klinis child abuse


Adapun manifestasi klinis mengenai child abuse adalah sebagai
berikut :
a. Lecet, hematoma, luka bekas gigitan luka bakar, patah tulang,
perdarahan retina akibat dari adanya subdural hematom dan
adanya kerusakan organ dalam lainnya
b. Cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut, kerusakan
saraf, gangguan pendengaran, kerusakan mata dan cacat lainnya.
c. Perubahan emosi
Terdapat gangguan emosi berupa perkembangan konsep diri yang
negatif, terjadi perubahan perkembangan hubungan sosial dengan
orang lain
d. Terjadi pseudomaturitas emosi
Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan orang
dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik diriataumenjauhi
pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan
belajar, gagal sekolah, sulit tidur, tempretantrum, dsb

4. Komplikasi child abuse


a. Mengalami keterlambatan dan keterbelakangan mental
b. Kenakalan remaja
c. Depresi dan percobaan bunuh diri
d. Gangguan Stress post traumatic
e. Gangguan makan

5. Mekanisme koping child abuse


Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung
dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien untuk melindungi
diri antara lain :
a. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di
mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas
adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b. Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan
sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba
merayu, mencumbunya.
c. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan
masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci
pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran
atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua
merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga
perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
d. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang
berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya
seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kasar.
e. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya
bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang
pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy
berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari
ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain
perang-perangan dengan temannya.

6. Penatalaksanaan child abuse


Pencegahan dan penanggulangan penganiayaan dan kekerasan pada
anak adalah melalui :
a. Pelayanan kesehatan
Pada pelayanan kesehatan, dapat dilakukan berbagai program atau
kegiatan untuk mencegah terjadinya child abuse.
 Prevensi primer
Individu : memberikan pendidikan kehidupan keluarga di sekolah,
tempat ibadah dan masyarakat. Memberikan pendidikan pada anak
tentang cara penyelesaian konflik. Memberikan pendidikan seksual
pada remaja yang beresiko. Memberikan pendidikan perawatan
bayi bagi remaja yang merawat bayi dan memberikan pelayanan
perawatan jiwa

Keluarga : memberikan kelas persiapan menjadi orangtua,


memfasilitasi jalinan kasih sayang pada orangtua baru, dan
memberikan pelayanan sosial untuk keluarga.

Komunitas : memberikan pendidikan kesehatan tentang kekerasan


dalam keluarga, mengurangi membaca/menonton media yang berisi
kekerasan, dan mengembangkan pelayanan dukungan masyarakat.

 Prevensi sekunder
Individu : melakukan pengkajian yang lengkap pada tiap kejadian
kekerasan pada keluarga pada tiap pelayanan kesehatan,
merencanakan penyelamatan diri bagi korban secara adekuat,
memberikan tempat perawatan atau foster home untuk korban.

Keluarga : memberikan pelayanan masyarakat untuk individu dan


keluarga, rujuk pada kelompok pemerhati keluarga sejahtera dan
rujuk pada lembaga/institusi di masyarakat yang memberikan
pelayanan pada korban.

Komunitas : Semua profesi kesehatan terampil memberikan


pelayanan pada korban dengan standar prosedur dalam menolong
korban. Unit gawat darurat dan unit pelayanan 24 jam memberi
respon, melaporkan, pelayanan kasus, koordinasi dengan penegak
hukum/dinas sosial untuk pelayanan segera. Peran serta
pemerintah: polisi, pengadilan, dan pemerintah setempat.
 Prevensi tersier
Individu : Strategi pemulihan kekuatan dan percaya diri bagi
korban dan konseling profesional pada individu.

Keluarga : Reedukasi orangtua dalam pola asuh anak, konseling


profesional bagi keluarga, self-help-group (kelompok peduli).

Komunitas : “Foster home”/tempat perlindungan, peran serta


pemerintah, “follow up” pada kasus penganiayaan dan kekerasan.

b. Pendidikan
Sekolah mempunyai hak istimewa dalam mengajarkan bagian badan
yang sangat pribadi, yaitu penis, vagina, anus, mammae dalam
pelajaran biologi. Perlu ditekankan bahwa bagian tersebut sifatnya
sangat pribadi dan harud dijaga agar tidak diganggu orang lain. Sekolah
juga perlu meningkatkan keamanan anak di sekolah. Sikap atau cara
mendidik anak juga perlu diperhatikan agar tidak terjadi aniaya
emosional. Guru juga dapat membantu mendeteksi tanda-tanda aniaya
fisik dan pengabaian perawatan pada anak.

c. Penegakan hukum dan keamanan


Hendaknya UU no.4 thn 1979, tentang kesejahteraan anak cepat
ditegakkan secara konsekuen. Hal ini akan melindungi anak dari semua
bentuk penganiayaan dan kekerasan. Bab II pasal 2 menyebutkan
bahwa “anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang
dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya secara wajar.
d. Media massa
Pemberitaan penganiayaan dan kekerasan pada anak hendaknya diikuti
oleh artikel-artikel pencegahan dan penanggulangannya. Dampak pada
anak baik jangka pendek maupun jangka panjang diberitakan agar
program pencegahan lebih ditekankan.

7. Pemeriksaan penunjang pada child abuse

Pemeriksaan Radiologi

Ada dua peranan radiologi dalam menegakkan diagnosis perlakuan


salah pada anak, yaitu untuk identifiaksi fokus dari jejas, dokumentasi,

Pemeriksaan radiologi pada anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya


dilakukan untuk meneliti tulang, sedangkan pada anak diatas 4-5 tahun
hanya perlu dilakukan jika ada rasa nyeri tulang, keterbatasan dalam
pergerakan pada saat pemeriksaan fisik. Adanya fraktur multiple dengan
tingkat penyembuhan adanya penyaniayaan fisik.

a. CT-scan lebih sensitif dan spesifik untuk lesi serebral akut dan kronik,
hanya diindikasikan pada pengniayaan anak atau seorang bayi yang
mengalami trauma kepala yang berat.
b. MRI (Magnetik Resonance Imaging) lebih sensitif pada lesi yang
subakut dan kronik seperti perdarahan subdural dan sub arakhnoid.
c. Ultrasonografi digunakan untuk mendiagnosis adanya lesi visceral
d. Pemeriksaan kolposkopi untuk mengevaluasi anak yang mengalami
penganiayaan seksual.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Child Abuse


Konsep Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Perawat seringkali menjadi orang yang pertamakali menemui
adanya tanda adanya kekerasan pada anak (lihat indicator fisik dn
kebiasaan pada macam-macam child abuse di atas). Saat abuse
terjadi, penting bagi perawat untuk mendapatkan seluruh
gambarannya, bicaralah dahulu dengan orang tua tanpa disertai anak,
kemudian menginterview anak.

1. Identifikasi orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan di


rumah orang lain atau saudaranya untuk beberapa waktu.
2. Identifikasi adanya riwayat abuse pada orang tua di masa lalu,
depresi, atau masalah psikiatrik.
3. Identifikasi situasi krisis yang dapat menimbulkan abuse
4. Identifikasi bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan
ketergantungan tinggi (seperti prematur, bayi berat lahir rendah,
intoleransi makanan, ketidakmampuan perkembangan, hiperaktif,
dan gangguan kurang perhatian)
5. Monitor reaksi orang tua observasi adanya rasa jijik, takut atau
kecewa dengan jenis kelamin anak yang dilahirkan.
6. Kaji pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan
perawatan anak.
7. Kaji respon psikologis pada trauma
8. Kaji keadekuatan dan adanya support system
9. Situasi Keluarga.

Fokus pengkajian secara keseluruhan untuk menegakkan


diagnosa keperawatan berkaitan dengan child abuse, antara lain:

1. Psikososial
a. Melalaikan diri (neglect), baju dan rambut kotor, bau
b. Gagal tumbuh dengan baik
c. Keterlambatan perkembangan tingkat kognitif, psikomotor,
dan psikososial
d. With drawl (memisahkan diri) dari orang-orang dewasa
2. Muskuloskeletal
a. FrakturDislokasi
b. Keseleo (sprain)
3. Genito Urinaria
a. Infeksi saluran kemih
b. per vagina
c. pada vagina/penis
d. Nyeri waktu miksi
e. Laserasi pada organ genetalia eksternal, vagina, dan anus.
4. Integumen
a. Lesi sirkulasi (biasanya pada kasus luka bakar oleh karena
rokok)
b. Luka bakar pada kulit, memar dan abrasi
c. tanda2 gigitan manusia yang tidak dapat dijelaskan
d. Bengkak.
A. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kekerasan
2. Isolasi social
3. Koping keluarga inefektif
4. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan

B. Intervensi Keperawatan
1. Perilaku kekerasan

Tujuan.

 Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan


dengan orang lain.

Kriteria hasil:

 Klien dapat membina hubungan saling percaya.


 Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang positif yang
dimiliki.
 Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
 Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai
kemampuan yang dimiliki.
 Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan
kemampuannya.
 Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

Intervensi :

1) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip


komunikasi terapeutik.
Rasional : hubungan saling percaya memungkinkan klien terbuka pada
perawat dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.
2) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
Rasional : mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien.
3) Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif.
Rasional : pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat
klien dalam hidupnya.
4) Utamakan memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek
positif klien.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
5) Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan.
6) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya di
rumah sakit.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan.
7) Berikan pujian.
Rasional : meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan.
8) Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah
sakit.
Rasional : agar klien dapat melakukan kegiatan yang realistis sesuai
kemampuan yang dimiliki.
9) Bantu klien melakukannya jika perlu beri contoh.
Rasional : menuntun klien dalam melakukan kegiatan.
10) Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional : meningkatkan motivasi untuk berbuat lebih baik.
11) Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih.
Rasional : mengidentifikasi klien agar berlatih secara teratur.
12) Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan.
Rasional : tujuan utama dalam penghayatan pasien adalah membuatnya
menggunakan respon koping mal adaptif dengan yang lebih adaptif.
13) Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
14) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan dirumah.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan.
2. Isolasi social

Tujuan

 Klien dapat menerima interaksi social terhadap individu lainya.

Kriteria hasil

 Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.


 Klien dapat berkomunikasi dengan baik atau jelas dan terbuka.
 Klien dapat menggunakan koping yang konstruktif.
 Kecemasan klien telah berkurang.

Intervensi
1) Psikoterapeutik
a. Bina hubungan saling percaya
 Buat kontrak dengan klien : memperkenalkan nama perawat
dan waktu interaksi dan tujuan.
 Ajak klien bercakap-cakap dengan memanggil nama klien,
untuk menunjukkan penghargaan yang tulus.
 Jelaskan kepada klien bahwa informasi tentang pribadi klien
tidak akan diberitahukan kepada orang lain yang tidak
berkepentingan.
 Selalu memperhatikan  kebutuhan klien.
b. Berkomunikasi dengan klien secara jelas dan terbuka
 Bicarakan dengan klien tentang sesuatu yang nyata dan pakai
istilah yang sederhana
 Gunakan komunikasi verbal dan non verbal yang sesuai, jelas
dan teratur.
 Bersama klien menilai manfaat dari pembicaraannya dengan
perawat.
 Tunjukkan sikap empati dan beri kesempatan kepada klien
untuk mengungkapkan perasaanya

c. Kenal dan dukung kelebihan klien


 Tunjukkan cara penyelesaian masalah (koping) yang bisa
digunakan klien, cara menceritakan perasaanya  kepada orang
lain yang terdekat/dipercaya.
 Bahas bersama klien tentang koping yang konstruktif
 Dukung koping klien yang konstruktif
 Anjurkan klien untuk menggunakan koping yang konstruktif.
d. Bantu klien mengurangi cemasnya ketika hubungan interpersonal
 Batasi jumlah orang yang berhubungan dengan klien pada awal
terapi.
 Lakukan interaksi dengan klien  sesering mungkin.
 Temani klien beberapa saat dengan duduk disamping klien.
 Libatkan klien dalam berinteraksi dengan orang lain secara
bertahap, dimulai dari klien dengan perawat, kemudian dengan
dua perawat, kemudian ditambah dengan satu klien dan
seterusnya.
 Libatkan klien dalam aktivitas kelompok.
3. Pendidikan kesehatan
a. Jelaskan kepada klien cara mengungkapkan perasaan selain dengan
kata-kata seperti dengan menulis, menangis, menggambar, berolah-
raga, bermain musik, cara berhubungan dengan orang lain :
keuntungan berhubungan dengan orang lain.
b. Bicarakan dengan klien peristiwa yang menyebabkan menarik diri.
c. Jelaskan dan anjurkan kepada keluarga untuk tetap mengadakan
hubungan dengan klien.
d. Anjurkan pada keluarga agar mengikutsertakan klien dalam
aktivitas dilingkungan masyarakat.
4. Kegiatan hidup sehari-hari
a. Bantu klien dalam melaksanakan kebersihan diri sampai dapat
melaksanakannya sendiri.
b. Bimbing klien berpakaian yang rapi
c. Batasi kesempatan untuk tidur
d. Sediakan sarana informasi dan hiburan seperti : majalah, surat
kabar, radio dan televisi.
e. Buat dan rencanakan jadwal kegiatan bersama-sama klien.
5. Lingkungan Terapeutik
a. Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan klien maupun
orang lain dari ruangan.
b. Cegah  agar klien tidak berada didalam ruangan yang sendiri dalam
jangka waktu yang lama.
c. Beri rangsangan sensori seperti : suara musik, gambar hiasan di
ruangan.
6. Koping keluarga inefektif

Tujuan

 Koping adatif dapat dilakukan dengan optimal.

Kriteria hasil

 Keluarga dapat mengenal masalah dalam keluarga dan


menyelesaikannya dengan tindakan yang tepat.

Intervensi

1) Identifikasi dengan keluarga tentang prilaku maladaptif .

Rasional : Keluarga mengenal dan mengungkapkan serta menerima


perasaannya sehingga mempermudah pemberian asuhan kepada anak
dengan benar.

2) Beri reinforcement positif atas tindakan keluarga yang adaptif.

Rasional : Untuk memotivasi keluarga dalam mengasuh anak secara


baik dan benar tanpa menghakimi dan menyalahkan anak atas keadaan
yang buruk.

3) Diskusikan dengan keluarga tentang tindakan yang semestinya


terhadap anak.

Rasional : Memberikan gambaran tentang tindakan yang semestinya


dapat dilaksanakan keluarga terhadap anak.

4) Diskusikan dengan keluarga tentang pentingnya peran orang tua


sebagai status pendukung dalam proses tumbuh kembang anak.
Rasional : Memberikan kejelasan dan memotivasi keluarga untuk
meningkatkan peran sertanya dalam pengasuhan dan proses tumbuh
kembang anaknya.

5) Kolaborasi dalam pemberian pendidikan keluarga terhadap orang tua.

Rasional :Dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga


(orang tua), tentang pentingnya peran orang tua dalam tumbuh
kembang anak,memiliki pengetahuan tentang metode pengasuhan yang
baik,dan menanamkan kesadaran untuk menerima anaknya dalam
keadaan apapun.

7. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Tujuan.

 Klien tidak mencederai diri / orang lain / lingkungan.

Kriteria hasil:

 Klien dapat membina hubungan saling percaya.


 Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
 Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
 Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekekerasan yang biasa
dilakukan.
 Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
 Klien dapat melakukan cara berespons terhadap kemarahan secara
konstruktif.
 Klien dapat mendemonstrasikan sikap perilaku kekerasan.
 Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.
 Klien dapat menggunakan obat yang benar.
Intervensi :

1) Bina hubungan saling percaya. Salam terapeutik, perkenalan diri,


beritahu tujuan interaksi, kontrak waktu yang tepat, ciptakan
lingkungan yang aman dan tenang, observasi respon verbal dan non
verbal, bersikap empati.
Rasional : Hubungan saling percaya memungkinkan terbuka pada
perawat dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.
2) Beri kesempatan pada klien untuk mengugkapkan perasaannya.
Rasional : Informasi dari klien penting bagi perawat untuk membantu
kien dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif.
3) Bantu untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal
Rasional : pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak
mengancam akan menolong pasien untuk sampai kepada akhir
penyelesaian persoalan.
4) Anjurkan klien mengungkapkan dilema dan dirasakan saat jengkel.
Rasional : Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari
penyelesaian masalah yang konstruktif pula.
5) Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
Rasional : mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga
memudahkan untuk intervensi.
6) Simpulkan bersama tanda-tanda jengkel / kesan yang dialami klien.
Rasional : memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan.
7) Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
Rasional : memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien.
8) Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan.
Rasional : mengetahui bagaimana cara klien melakukannya.
9) Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan
masalahnya selesai.
Rasional : membantu dalam memberikan motivasi untuk
menyelesaikan masalahnya.
10) Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan
klien.
Rasional : mencari metode koping yang tepat dan konstruktif.
11) Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukan.
Rasional : mengerti cara yang benar dalam mengalihkan perasaan
marah.
12) Tanyakan pada klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang
sehat”.
Rasional : menambah pengetahuan klien tentang koping yang
konstruktif.
13) Berikan pujian jika klien mengetahui cara yang sehat.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang positif,
meningkatkan harga diri klien.
14) Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat.
 Secara fisik : tarik nafas dalam / memukul botol / kasur atau
olahraga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.
 Secara verbal : katakan bahwa anda sering jengkel / kesal.
 Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang
sehat, latihan asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan.
 Secara spiritual : anjurkan klien berdua, sembahyang, meminta
pada Tuhan agar diberi kesabaran.
Rasional : dengan cara sehat dapat dengan mudah mengontrol
kemarahan klien.
15) Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
Rasional : memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara
mengontrol perilaku kekerasan.
16) Bantu klien mengidentifikasi manfaat yang telah dipilih.
Rasional : mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan.
17) Bantu klien untuk menstimulasikan cara tersebut.
Rasional : mengetahui kemampuan klien melakukan cara yang sehat.
18) Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara
tersebut.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
19) Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat
jengkel / marah.
Rasional : mengetahui kemajuan klien selama diintervensi.
20) Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa
yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.
Rasional : memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada
klien.
21) Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
Rasional : menambah pengetahuan bahwa keluarga sangat berperan
dalam perubahan perilaku klien.

Anda mungkin juga menyukai