Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

HASIL-HASIL PENELITIAN DAN EVIDENCE BASED PRACTICE


DALAM PELAKSANAAN MASALAH PADA KASUS KRITIS APACHE-II
DAN FAST-HUGS

Disusun Oleh:
Anggi Try Hutami P07220219078
Danis Imfroatul Kusnia P07220219084
Zumrotus Sholikah P07220219124

Dosen Pembimbing :
Ns. Andi Lis Arming Gandini, S. Kep., M. Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES KALIMANTAN TIMUR
PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT karena berkat rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Kritis
mengenai hasil-hasil penelitian dan Evidence Based Practice dalam
penatalaksanaan masalah pada kasus kritis APACHE-II dan FAST-HUGS selesai
ini tepat pada waktunya.
Sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari kesalahan, begitu juga
halnya dengan kami. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, baik dari segi penulisan maupun isi. Kamipun menerima
dengan lapang dada kritikan maupun saran yang sifatnya membangun dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki diri.
Walaupun dengan demikian, kami berharap dengan disusunya makalah ini
dapat memberikan sedikit gambaran mengenai hasil-hasil penelitian dan Evidance
Based Practice dalam penatalaksanaan masalah pada kasus kritis APACHE-II dan
FAST-HUGS Terimakasih.
Wassalamu'alaikum Wr.Wb

Samarinda, 26 Februari 2022

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii


DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan masalah ................................................................................... 3
C. Tujuan ..................................................................................................... 3
D. Manfaat ................................................................................................... 3
E. Sistematika Penulisan ............................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 4
A. APACHE II ............................................................................................. 4
B. FAST-HUGS .......................................................................................... 7
BAB III PEMBAHASAN ............................................................................... 24
A. Hasil Penelitian dan Evidence Based Practice APACHE II dan FAST-
HUGS .................................................................................................... 24
BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 30
A. Kesimpulan ............................................................................................ 30
B. Saran ...................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 31

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut hasil penelitian Manik dalam Yanda, di rumah sakit haji
medan tahun 2010-2012 terdapat 132 penderita ppok dan14 diantaranya
meninggal dunia.4 Kegagalan pernapasan akut sering dikaitkan dengan
infeksi paru, infeksi yang paling umum adalah pneumonia. Angka kematian
di ICU perlu diprediksi dengan baik hal ini dikarenakan dapat menjadi
bantuan dalam hal pemantauan informasi pada pasien itu sendiri yang ada
hubungannya dengan kondisi dan korelasi antara penyakit pasien yang terjadi.
Dalam prediksi kematian bukan prediksi kinerja, evaluasi yang diberikan dan
difokuskan kepada pasien yang mengalami disfungsi organ sangat membantu
dalam hal prognosis penyakit pasien dan penanganan yang cepat dan tepat
terhadap apsien sehingga menurunkan angka disfungsi organ yang lain
kepada pasien, dimana kegagalan organ ada hubungan dengan meningkatnya
mortalitas pasien ICU. Skoring ICU terdapat penialaian seperti APACH dan
sejumlah skor yang lainnya untuk digunakan mengetahui mortalitas pasien
dan juga untuk menilai prognosis pasien. Skoring digunakan untuk membuat
perkiraan terkait perkembangan kesehatan pasien yang sedang dirawat di ICU
baik dalam kondisi sembuh ataupun dalam kondisi pasien meninggal. Skoring
APACHE II juga berfungsi untuk melihat perkembangan pasien terkait
kematian, tingkat keparahan suatu penyakit dan berapa lama perawatan
dilakukan kepada pasien. Sehat karena itu maka skoring APACHE II sangat
diperlukan untuk ruangan kritis seperti ICU. Hal ini akan membuat perawat
dan dokter mudah dalam menentukan prognosa diagnosa terhadap pasien
yang sedang dirawat pada ruangna ICU
Intervensi berbasis FAST-HUGS kesadaran baru-baru ini terbukti
efektif untuk pengobatan nyeri kronis dengan ukuran efek kecil hingga
sedang pada nyeri dan depresi.Veehof dkk., 2011). Terapi berbasis kesadaran,
dan khususnya terapi kognitif berbasis kesadaran (MBCT), juga telah terbukti

1
2

efektif untuk pencegahan kekambuhan pada depresi berulang dan pengobatan


depresi aktif.Hofmann dkk., 2010; Piet dan Hougaard, 2011; Marchand, 2012;
Sipe dan Eisendrath, 2012). Hasil dari uji coba terkontrol acak (RCT)
percontohan baru-baru ini menunjukkan bahwa MBCT mungkin merupakan
intervensi yang efektif untuk pengobatan depresi aktif pada populasi dengan
nyeri kronis.de Jong dkk., sedang diterbitkan).
Intervensi berbasis FAST HUGS kesadaran tampaknya bermanfaat
untuk nyeri kronis dan depresi, muncul pertanyaan bagaimana perhatian
memberikan efeknya. Perhatian penuh memerlukan perhatian pada
pengalaman saat ini, termasuk pikiran, emosi, dan sensasi tubuh. Melatih
kesadaran tubuh adalah komponen penting dari sebagian besar intervensi
berbasis kesadaran, termasuk pemindaian tubuh, di mana individu secara
khusus memperhatikan semua bagian tubuh; dan yoga, yang mengharuskan
memperhatikan gerakan tubuh (Kabat-Zinn, 1990;Segal et al., 2013).
Kesadaran tubuh telah diusulkan sebagai mekanisme potensial untuk efek
terapeutik perhatian dan dianggap sebagai bagian integral dari konstruksi
perhatian (Mehling dkk., 2009; Hölzel dkk., 2011; Farb dkk., 2015). Definisi
kesadaran tubuh menekankan fakta bahwa ini adalah konstruksi multi-
dimensi yang kompleks: “kesadaran sensorik yang berasal dari keadaan
fisiologis tubuh, proses (termasuk rasa sakit dan emosi), dan tindakan
(termasuk gerakan), dan berfungsi sebagai interaksi interaktif. proses yang
mencakup penilaian seseorang dan dibentuk oleh sikap, keyakinan, dan
pengalaman dalam konteks sosial dan budaya mereka” (Mehling dkk., 2012).
Dalam artikel ini, istilah kesadaran tubuh dan kesadaran interoseptif
digunakan secara bergantian. Beberapa penelitian memberikan dukungan
pada gagasan tentang kesadaran tubuh yang ditingkatkan melalui pelatihan
perhatian. Misalnya, para meditator telah dilaporkan menunjukkan koherensi
yang lebih besar antara data fisiologis objektif dan pengalaman subjektif
mereka dalam kaitannya dengan pengalaman emosional (Sze dkk., 2010) dan
sensitivitas daerah tubuh (Fox dkk., 2012).
3

B. Rumusan Masalah
1. Apa Hasil Penelitian dan Evidence Based Practice APACHE II dan FAST
HUGS

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami mengenai hasil-hasil penelitian dan Evidence
Based Practice dalam penatalaksanaan masalah pada kasus kritis
APACHE-II dan FAST-HUGS
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai
a. Hasil Penelitian dan Evidence Based Practice APACH EII dan FAST
HUGS

D. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya pada
penyusun maupun para pembaca yang terdiri dari segi pengetahuan dan
pemahaman tentang hasil-hasil penelitian dan Evidence Based Practice
dalam penatalaksanaan masalah pada kasus kritis APACHE-II dan FAST-
HUGS

E. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari Tiga BAB yang disusun secara sistematik
dengan urutan sebagai berikut :
1. BAB 1 Terdiri dari : Latar belakang, Rumusan masalah, Tujuan, Manfaat,
dan Sistematika penulisan
2. BAB II Tinjauan Pustaka Terdiri dari :
a. APACHE II
b. FAST-HUGS
3. BAB II Pembahasan Terdiri dari :
a. Hasil Penelitian dan Evidence Based Practice APACHE II dan FAST
HUGS
4. BAB III Terdiri dari : Kesimpulan dan Saran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. APACHE II
1. Pengertian
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan ICU di rumah sakit, ICU digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita
penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau
potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia yang diharapkan
masih reversible (Kemenkes RI, 2010). Ruang Perawatan Intensif
(Intensive Care Unit= ICU) adalah bagian dari bangunan rumah sakit
dengan kategori pelayanan kritis, selain instalasi bedah dan instalasi gawat
darurat (Depkes RI 2012). Sistem skoring APACHE II dikembangkan oleh
Knauset et al pada tahun 1985. Sistem skoring ini berkembang dengan
sangat cepat dan banyak digunakan pada pasien ICU di Amerika Serikat.
Sistem skoring APACHE II terdiri dari tiga variabel, yang pertama variabel
fisiologi akut, yang kedua variabel usia, dan yang ketiga variabel penyakit
kronik penyerta (komorbid).
Skor APACHE II pertama kali dikembangkan oleh Knaus dkk.,
pada tahun 1985 dengan menggunakan tiga komponen penilaian; acute
physiological score (APS), komponen terbesar yang diturunkan dari 12
pengukuran klinis yang didapatkan dalam 24 jam perawatan di Instalasi
Rawat Inap. Hasil pengukuran yang paling abnormal dipergunakan untuk
menghasilkan komponen APS untuk skor APACHE II. Jika ada variabel
yang tidak diukur maka dianggap memiliki nilai 0. Penilaian APACHE II
hingga saat ini masih menjadi pilihan sebagai predictor mortalitas pasien
yang dirawat di IRI. Namun, ada beberapa kendala yang ditemukan pada
penilaian APACHE II seperti biaya yang lebih besar akibat banyak variabel
laboratorium yang diperiksa dan waktu untuk mendapatkan hasil yang

4
5

cukup lama. Sistem APACHE II ini dideklarasikan sebagai “gold standard”


untuk evaluasi pasien perawatan intensif, dan merupakan salah satu sistem
penilaian yang sering digunakan pada perawatan intesif seluruh dunia.
Sistem skoring APACHE II merupakan salah satu sistem skoring
yang baik digunakan untuk memprediksi outcome pasien di ICU. Sistem
skoring ini berkembang dengan cepat dan banyak digunakan pada pasien di
ICU di berbagai negara, terutama negara maju. Data didapatkan dengan
cara melihat catatan medik pasien. Skor APACHE-II adalah satu-satunya
yang bisa dihitung segera setelah masuk. Pada tahap awal ini, hampir dua
pertiga dari serangan parah diidentifikasi dengan benar dengan kekhususan
yang dapat diterima. Nilai prediksi positif 46% (lebih dari dua kali lipat
prevalensi serangan parah), menunjukkan bahwa APACHE-II mungkin
berharga untuk cepat stratifikasi dalam uji klinis.

2. Penjelasan

Data acuan yang menggambarkan keakuratan APACHE II score


dalam memprediksi kematian pasien di ICU. hasil dari upaya
penyederhanaan adalah APACHE II, yang didasarkan pada 12 dari
tindakan fisiologis yang paling umum diukur termasuk dalam sistem
APACHE asli. 12 variabel dipilih berdasarkan penilaian klinis untuk
validitas dan spesifisitas ukuran, luasnya cakupan sistem organ vital, dan
objektivitas, reliabilitas dan frekuensi pengukuran. 12 variabel termasuk
tanda-tanda vital (denyut jantung, tekanan darah rata-rata, laju pernapasan,
suhu, dan skor koma glasgow), variabel yang berasal dari tes bloos vena
rutin (hematokrit dan jumlah sel darah putih, kalium serum, natrium
serum, dan kreatinin serum) dan 2 variabel yang berasal dari tes gas darah
arteri (pH serum dan PaO2). Skor APACHE II dapat dibandingkan dan
tolok ukur untuk keefektifan, kemanjuran, dan kualitas dari setiap unit
secara individual. Namun, database sistematis yang memenuhi syarat
yang menunjukkan APACHE Skor II, yaitu diagnosis pasien, kondisi
klinis, parameter ilmiah dan nilai laboratorium hampir tidak mungkin
6

didirikan secara rutin. Khususnya pada pasien bedah saraf yang rapuh,
kondisi klinis dapat berubah dan butuh perawatan khusus segera. Dari
proses penilaian kritis,skor APACHE II dan kinerja prediksi kematian di
ICU subspesialisasi yang memiliki campuran kasus yang berbeda dan
providermix yang berbeda seperti ICU bedah saraf. Ketidakcocokan
antara implikasi prediktif, terutama pada beberapa kondisi penyakit bedah
saraf spesifik yang tidak digeneralisasi dengan yang lain, disebutkan.
Karena itu, studi retrospektif ini dilakukan untuk menyajikan tingkat
keparahan penyakit dengan mengakui APACHE II skor di antara pasien
ICU bedah saraf, untuk memprediksi angka kematian yang mencerminkan
kinerja APACHE II, dan untuk mengevaluasi hubungan parameter skor
APACHE II seolah-olah mereka dapat memperkirakan lama tinggal di
rumah sakit.

3. Metode
7

B. FAST-HUG
FAST HUG adalah mnemonik yang digunakan di unit perawatan
intensif (ICU) untuk membantu para profesional kesehatan di persiapan
putaran pasien, membantu mengidentifikasi dan mencegah kesalahan
pengobatan, meningkatkan keamanan pasien, dan maksimalkan intervensi
terapeutik. FAST HUG adalah daftar periksa mental yang menyoroti aspek -
aspek kunci dalam perawatan umum pada pasien yang sakit kritis. Para
mnemonik menekankan pentingnya hal berikut dalam praktik klinis:
pemberian makan, analgesia, sedasi, profilaksis tromboembolik, kepala
elevasi tempat tidur, profilaksis ulser stress dan kontrol Glyemic. FAST HUG
dapat diterapkan pada semua pasien ICU.
FAST HUG dirancang oleh Jean-Louis Vincent, MD, PHD, FCCM
dan digunakan di berbagai institusi di seluruh negeri untuk membantu
memberikan perawatan yang aman, efisien dan efektif kepada pasien ICU. Ini
memungkinkan anggota tim ICU (yaitu dokter, perawat, apoteker) untuk
8

memprioritaskan sejumlah besar data yang tersedia yang harus dilakukan


dikumpulkan, diatur, dan dianalisis sebelum perawatan pasien.
Digunakan di unit perawatan intensif (ICU) untuk membantu team
medis dalam persiapan untuk evaluasi kondisi pasien, membantu
mengidentifikasi dan mencegah kesalahan pengobatan, meningkatkan
keselamatan pasien, dan memaksimalkan intervensi terapeutik, Setidaknya
minimal dilakukan 1x sehari dan dapat digunakan sebagai informasi yang
berkala untuk setiap team tenaga medis di ICU
1. Feeding

Gagasan bahwa malnutrisi mempengaruhi hasil pada pasien kritis


pertama kali dilaporkan pada tahun 1936 dalam sebah penelitian yang
menunjukkan bahwa pasien dengan gizi buruk yanug menjalani operasi
ulkus memiliki angka kematian 33 persen dibandingkan dengan 3,5 persen
pada individu yang memiliki gizi baik. Sebuah penelitian prospektif
terhadap 500 pasien dirawat di rumah sakit di Inggris menentukan bahwa
40 persen pasien kurang gizi dalam pelaporan,dan rata-rata pasien
kehilangan 5,4 persen dari berat badan mereka selama masa inap di rumah
sakit. Konsekuensi malnutrisi termasuk gangguan fungsi sistem kekebalan
tubuh yang menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi,
penyembuhan luka yang buruk, peningkatan frekuensi ulkus dekubitus,
pertumbuhan bakteri yang berlebihan saluran gastrointestinal, dan
9

kehilangan nutrisi abnormal melalui tinja.


Dianjurkan agar nutrisi dimulai sesegera mungkin pada pasien yang
dirawat di ICU. Ini umumnya terjadi setelah pasien cukup resusitasi dan
stabil secara hemodinamik. Pemberian makanan dimulai dalam 24-72 jam
pertama setelah masuk dikaitkan dengan penurunan permeabilitas usus,
berkurangnya aktivasi dan pelepasan sitokin inflamasi dan sistemik yang
mengurangi endotoksemia, dibandingkan dengan pasien yang diberi makan
setelah 72 jam. Penurunan yang signifikan pada morbiditas infeksi dan
mortalitas telah ditemukan pada pasien yang mendapat nutrisi enteral awal,
seperti dibandingkan dengan makanan yang tertunda.
Biomarker gizi konvensional seperti albumin, prealbumin,
transferrin dan retinol binding protein, mungkin merupakan parameter yang
tidak akurat mengenai status gizi pada pasien yang sakit kritis karena
respon fase akut terjadi pada pasien tersebut. Namun, biomarker ini biasa
digunakan oleh banyak klinisi untuk menentukan respons pasien terhadap
suplementasi gizi. Pre albumin biasa digunakan, karena lebih sensitif
terhadap perubahan status gizi akut.
Persyaratan gizi pasien di ICU dapat ditentukan dengan kalorimetri
tidak langsung atau secara persamaan prediktif. Persamaan prediktif dapat
memberikan ukuran kebutuhan energi yang tidak tepat, namun mungkin
saja lebih layak dilakukan pada pasien kritis. Salah satu formula yang
paling sederhana adalah: 25-30 kcal / kg / hari. Protein kemungkinan
adalah macronutrient terpenting dalam perawatan kritis, karena terlibat
dalam penyembuhan luka, fungsi kekebalan tubuh dan pemeliharaan massa
tubuh tanpa lemak. Kebutuhan protein akan secara proporsional lebih
tinggi pada pasien yang sakit kritis. Formulasi protein modular dapat
ditambahkan pada pasien untuk membantu mencapai kebutuhan protein
1,2-2 g / kg / hari.
Pasien harus dimonitor untuk intoleransi terhadap pemberian makan.
Hal ini bisa dilakukan baik dari keluhan rasa sakit pasien dan / atau
distensi perut, flatus, gerakan usus, dan jika perlu radiograf perut. Residu
10

lambung dapat dipantau namun menahan pemberian nutrisi enteral pada


residu kurang dari 500 mL jika tidak ada tanda-tanda intoleransi lainnya
harus dihindari. Namun, banyak institusi akan menahan pemberian makan
jika residu lebih dari 200 mL.
Beberapa agen prokinetik dapat digunakan untuk membantu
meningkatkan motilitas lambung pada pasien yang sakit kritis yang
menerima nutrisi enteral meliputi:
a. Eritromisin 250 mg IV tiap 8 jam
b. Metoklopramid 5-10 mg IV tiap 6-8 jam
c. Azitromisin 250 mg IV tiap 24 jam
d. Methylnaltrexone 12 mg (berat 62-114 kg) tiap 48 jam PRN (jika
perlu)
Jika pemberian enteral tidak layak atau tidak tersedia dalam 7 hari
pertama masa rawat ICU, dukungan nutrisi dapat ditahan dulu, terutama
pada pasien yang sebelumnya sehat tanpa bukti malnutrisi protein-kalori
Nutrisi parenteral dapat dimulai setelah 7 hari jika perlu untuk membantu
mempertahankan kecukupan status nutrisi. Namun, pada pasien dengan
bukti malnutrisi protein-kalori, jika pemberian makanenteral tidak
memungkinkan, nutrisi parenteral dapat dimulai sesegera mungkin.
Malnutrisi dapat mengakibatkan komplikasi dan dapat pula
memberikan penurunan kondisi pada pasien kritis In general, 20- 25
kcal/kg/day Disarankan Sedini mungkin , (24-48 jam)

Clinical Condition Rekommended Intake (g/kg/day)

Healty adult, normal organ fungtion O,8


Post operative 1,0 – 1,5
Sepsis 1,2 – 1,5
Multiple trauma 1,3 – 1,7
Major burn 1,8 – 2,5
11

2. Analgestic
Analgesia didefinisikan sebagai sensasi tumpul atau tidak adanya
rangsangan nyeri atau radang. Pasien dirawat di ICU umumnya mengalami
sejumlah rangsangan yang bisa menimbulkan rasa sakit, termasuk:
penyakit yang sudah ada sebelumnya, prosedur invasif, luka traumatis, alat
pemantau invasif dan non-invasif, asuhan keperawatan rutin dan imobilitas
berkepanjangan. Rangsangan ini dapat mempengaruhi pemulihan fisiologis
dan psikologis yang mengarah ke aktivitas tidur yang tidak memadai,
disfungsi paru dan respons stres akut yang dapat bermanifestasi sebagai
imunosupresi, hiperkoagulabilitas, katabolisme protein dan peningkatan
konsumsi oksigen miokard. Pada tahun 2002, komisi bersama untuk
Akreditasi Organisasi Kesehatan menekankan pentingnya manajemen nyeri
dengan memasukkan tingkat nyeri sebagai salah satu tanda vital.
Penilaian nyeri harus dilakukan secara sistematis dengan menggunakan
sejumlah nilai yang divalidasi. Skala subjektif ini termasuk, namun tidak
terbatas pada:
Wong-Baker FACES Pain Rating Scale:

Skala Analog Visual:

Skala Penilaian Verbal:


0 = Tidak Sakit, 10 = Rasa sakit terburuk yang pernah ada
12

Tidak semua pasien di ICU bisa mengkomunikasikan rasa sakitnya


melalui skala subjektif. Misalnya, pada pasien dengan ventilasi mekanis
yang sering membutuhkan obat penenang dan / atau analgesik untuk
mempertahankan tingkat kenyamanan, indikator fisiologis seperti fluktuasi
denyut jantung, tekanan darah dan laju pernafasan bermanfaat dalam
penilaian rasa sakit. Namun, indikator obyektif rasa sakit ini relatif tidak
spesifik dan diperlukan penyelidikan lebih lanjut terhadap pasien.
Tidak masalah metode pemantauannya, penilaian ulang nyeri yang
sering dilakukan harus dilakukan oleh seluruh anggota tim ICU. Ini akan
membantu mengurangi efek samping analgesik yang tidak diinginkan
(yaitu oversedasi), sekaligus memaksimalkan efikasi dan mencegah
pengendalian nyeri yang tidak adekuat. Sebagai contoh, modal analgesik
ICU yang umum digunakan seperti opioid harus dipantau untuk
memastikan bahwa tidak terjadi depresi pernapasan dan kompromi
pernapasan berikutnya karena penggunaan yang berlebihan.
Sejumlah strategi pengobatan dan administrasi dapat digunakan
untuk penanganan nyeri pada pasien yang dirawat di ICU. Umumnya, obat
antiinflamasi non steroid (NSAID) atau asetaminofen dapat digunakan
untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang dan dapat mengurangi
kebutuhan opiat. Pasien yang mengalami nyeri parah seringkali
memerlukan analgesik opioid, seperti oksikodon, morfin, hydromorphone
atau fentanyl, untuk mencapai pengendalian nyeri yang memadai. Agen ini
dapat diberikan baik sebagai dosis oral, bolus intravena intermiten (IV)
atau infus IV kontinyu, tergantung pada kebutuhan pengendalian nyeri
pasien.

3. Sedation
Pasien di ICU sering mengalami sejumlah situasi yang
menimbulkan kecemasan. Situasi ini termasuk pada: ketidakmampuan
untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga atau profesional kesehatan,
kebisingan yang berlebihan akibat alarm, pencahayaan prosedural,
13

stimulasi berlebihan yang diperlukan untuk menilai pasien dan tidur yang
kurang. Kecemasan ini dapat berkembang menjadi perkembangan agitasi
yang terjadi setidaknya satu kali pada 71% pasien medis / bedah.
Agitasi didefinisikan sebagai keadaan kegelisahan psikologis atau fisik.
Penyebabnya meliputi kecemasan, delirium, rasa sakit yang tidak terkontrol
dan pengobatan / penarikan obat. Konsekuensi agitasi meliputi disfungsi
ventilator, peningkatan konsumsi oksigen dan pelepsan peralatan dan
kateter yang tidak disengaja. Metode yang paling efektif dalam mengobati
agitasi adalah untuk mengobati dan / atau mencegah penyebab yang
mendasarinya. Di ICU, obat penenang digunakan untuk mengobati
komponen kegelisahan.
Sedasi di ICU dicapai melalui sejumlah obat, dari berbagai kelas
pengobatan. Propofol biasanya digunakan sebagai obat penenang lini
pertama. Ini adalah agen anestesi / hipnotis yang dikenal dengan onset
cepat dan durasi pendeknya. Hipotensi sekunder akibat vasodilatasi perifer
sering terjadi (3-26%) dengan obat ini. Propofol merupakan emulsi oleh
karena itu pasien dengan hipertrigliseridemia dan pankreatitis harus
diaawasi. Sindrom infus terkait Propofol (PRIS) yang ditandai dengan
disritmia, gagal jantung, asidosis metabolik, dan / atau rhabdomyolysis
telah dilaporkan dengan pemberian dosis tinggi (biasanya lebih dari 83 mcg
/ kg / menit).
Benzodiazepin seperti diazepam, lorazepam dan midazolam
digunakan untuk sedasi. Diazepam dan midazolam adalah agen akting
cepat dengan jangka waktu yang singkat. Diazepam dimetabolisme
menjadi produk kerja lama yang terakumulasi dengan cepat dengan dosis
berulang. Disfungsi ginjal dan hati harus dipantau pada pasien yang
menerima midazolam, karena obat ini memiliki metabolit yang bisa
menumpuk. Lorazepam memiliki onset dan durasi yang lebih lama
dibandingkan dengan diazepam dan midazolam. Injeksi Lorazepam juga
mengandung propilen glikol sebagai zat pembawa (vehikulum) dan pasien
harus dipantau untuk pengembangan toksisitas (misalnya asidosis laktat).
14

A-2 agonist clonidine dan dexmedetomidine telah mulai populer


sebagai obat penenang. Umumnya, agen ini adalah obat sedekat 3 atau 4
yang digunakan pada pasien dengan agitasi atau penarikan refraktori. Tidak
seperti obat penenang yang dijelaskan di atas, dexmedetomidine
menyebabkan depresi pernafasan minimal. Namun, hanya disetujui FDA
untuk penggunaan jangka pendek dan dapat menyebabkan bradikardia dan
hipotensi. Sejumlah timbangan telah digunakan untuk menilai sedasi di
ICU. Khususnya, skala Ramsay dan Skala Ringan Sedasi-Agitasi paling
sering digunakan. Skala ini dapat digunakan untuk mengarahkan parameter
titrasi untuk anggota tim ICU dan harus digunakan untuk menilai respons
pasien terhadap obat penenang.
Delirium didefinisikan sebagai gangguan reversibel pada proses
kognitif, biasanya onset mendadak, ditambah dengan disorientasi,
gangguan ingatan jangka pendek, persepsi sensoris yang berubah
(halusinasi), proses berpikir abnormal, dan perilaku yang tidak tepat.
Delirium ditemukan pada 30% pasien rawat inap dan dikaitkan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas, daya tinggal di rumah sakit yang
berkepanjangan, dan penurunan status kognitif berikutnya. Pengobatan
terutama terdiri dari penghilangan obat yang menyinggung (yaitu
benzodiazepin) dan penggunaan antipsikotik seperti haloperidol. Baru-baru
ini, antipsikotik atipikal seperti risperidone, quetiapine, dan olanzapine
telah digunakan untuk mengobati delirium terkait ICU dengan hasil
memuaskan.
15
16

4. Thromboembolic prophylaxis
Tromboemboli vena (VTE) dapat bermanifestasi sebagai trombosis
vena dalam (DVT) atau emboli paru (pulmonary embolism / PE). Faktor
risiko meliputi stasis vena, cedera vaskular dan gangguan hiperkoagulabel.
Sebagian besar pasien ICU memiliki setidaknya satu faktor risiko untuk
VTE; Faktor risiko tambahan dianggap memiliki efek kumulatif. Risiko
spesifik untuk pasien ICU meliputi operasi, trauma, imobilitas, keganasan,
usia, jantung atau kegagalan pernafasan, obesitas, merokok dan kateter
vena sentral.

Tromboemboli vena telah ditemukan pada menjadi salah satu


komplikasi serius yang paling umum terjadi pada populasi pasien ini,
dengan sekitar 10% kematian di rumah sakit dikaitkan dengan emboli
paru. Meskipun kelompok berisiko tinggi ini dapat diidentifikasi dengan
mudah, tidak mungkin untuk memprediksi pasien mana yang akan
mengalami acara tromboemboli. Oleh karena itu, merupakan hal
bijaksana untuk menilai semua pasien rawat inap karena risiko VTE dan
17

menambahkan profilaksis sesuai dengan itu.


Terapi yang digunakan biasanya adalah
a. Heparin 5000 Unit SQ tiap 8 jam
b. Enoxaparin 30 Unit SQ tiap 12 jam (dosis menyesuaikan untuk
gangguan ginjal)
c. Dalteparin 2500 - 5000 Unit SQ tiap 24 jam (tergantung pada populasi
pasien dan stratifikasi risiko, menyesuaikan kerusakan ginjal)
d. Fondaparinux 2,5 mg SQ tiap 24 jam (dosis menyesuaikan dosis
berdasarkan fungsi ginjal)
Keputusan tentang agen farmakologis mana yang akan digunakan dan
bagaimana dosis zat harus didasarkan pada pedoman terbaru untuk
Pencegahan Tromboemboli Vena.
Metode mekanis untuk profilaksis VTE dapat digunakan dalam
bentuk stoking kompresi (GCS), perangkat kompresi pneumatik intermiten
(IPC) dan pompa kaki vena (VFP). Alat ini bekerja dengan meningkatkan
arus keluar vena dari kaki dan mengurangi jumlah stasis vena. Namun,
perangkat ini ternyata kurang berkhasiat daripada profilaksis VTE
farmakologis. Namun, ini mungkin merupakan pilihan yang dapat diterima
pada pasien dengan risiko perdarahan tinggi dan mungkin memiliki khasiat
yang lebih baik bila digunakan dalam kombinasi dengan profilaksis VTE
farmakologis.
18

5. Head- of- bed elevation


Elevasi kepala tempat tidur sampai sudut 30-45 derajat dapat mengurangi
timbulnya refluks gastroesofagus dan pneumonia nosokomial pada pasien
yang mendapat ventilasi mekanis. Pasien yang dirawat pada sudut 45
derajat telah diamati memiliki penurunan aspirasi isi lambung
dibandingkan dengan pasien yang tidak dirawat pada sudut 45 derajat.
Namun, penting diingat bahwa thorax pasien juga harus tetap tinggi, karena
banyak pasien dapat melorot kebawah ketika kepala mereka diangkat ke
posisi ini.

6. Stress Ulcer prevention


Kerusakan mukosa yang berhubungan dengan stres (SRMD)
adalah suatu bentuk gastritis hemoragik yang dapat terjadi pada pasien
yang sakit kritis. Pasien dengan SRMD memiliki tingkat kematian yang
jauh lebih tinggi daripada mereka yang tidak (57% banding 24%).
Patogenesis tidak sepenuhnya dipahami dan kemungkinan multifaktorial
meliputi: hypersekresi asam, pengurangan aliran darah mukosa dan cedera
iskemia-reperfusi. Dua faktor risiko telah terbukti terkait secara independen
dengan SRMD: gagal napas yang memerlukan ventilasi mekanis paling
sedikit 48 jam dan koagulopati didefinisikan sebagai jumlah trombosit
<50.000 / mm3, INR> 1,5 atau waktu tromboplastin parsial> 2 kali lipat
nilai kontrol.
Perdarahan terjadi pada frekuensi 3,7% jika satu atau kedua faktor
ini ada dan 0,1% jika tidak ada faktor yang hadir. Faktor risiko lainnya
meliputi: cedera kepala dengan skala koma Glasgow ≤ 10, cedera termal
19

yang melibatkan> 35% luas permukaan tubuh, hepatectomy parsial,


transplantasi hati atau ginjal, trauma ganda dengan skor keparahan cedera ≥
16, cedera tulang belakang, kegagalan hati, riwayat ulserasi gastrik atau
perdarahan pada tahun sebelumnya, penggunaan obat (kortikosteroid, obat
antiinflamasi non steroid, vasopresor) dan hipotensi.
Beberapa agen telah mempelajari pencegahan SRMD. Agen ini
umumnya memberikan efeknya dengan mengurangi sekresi asam lambung,
menetralkan sekresi asam lambung atau efek perlindungan gastrointestinal
secaraa langsung.
Antagonis H2
a. Cimetidine 300 mg PO atau IV tiap 6-8 jam, 50 mg / jam IV infus
kontinyu (menyesuaikan untuk gangguan ginjal)
b. Famotidin 20 mg PO atau IV tiap 12 jam (menyesuaikan untuk
gangguan ginjal)
c. Ranitidin 150 mg PO tiap 12 jam, 50 mg IV tiap6-8 Jam, 6,25 mg /
jam infus infus terus menerus
Inhibitor Pompa Proton
a. Lansoprazole 30 mg PO dalam 24 jam
b. Omeprazole 20 mg PO dalam 24 jam Pantoprazole 40 mg PO atau
IV dalam 24 jam.
Agen Lain
Sucralfate 1 gram PO tiap 6 jam
Pilihan untuk agen sebagian besar didasarkan pada pendapat dokter
atau status formulasi rumah sakit. Tidak ada agen yang terbukti lebih
manjur untuk pencegahan SRMD. Proton pump inhibitor belum disetujui
oleh FDA untuk indikasi ini, dan umumnya diperuntukkan bagi pasien
yang memerlukan profilaksis yang mengalami GI bersamaan. Dokter juga
harus mempertimbangkan informasi pasien tertentu seperti fungsi ginjal
mereka dan penyakit yang bersamaan saat menentukan terapi yang tepat.
Efek samping yang umum dari pengobatan ini meliputi perubahan status
mental, pneumonia, sakit perut, diare dan sakit kepala.
20

7. Glucose control

Hiperglikemia pada orang yang sakit kritis telah terbukti


meningkatkan tingkat morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan
kesehatan. Oleh karena itu, kontrol glikemik diperlukan pada pasien
yang sakit kritis untuk membantu mengurangi kejadian komplikasi
termasuk penyembuhan luka yang menurun, peningkatan risiko infeksi,
gangguan motilitas GI, gangguan fungsi CV, peningkatan risiko
polineuropati, dan peningkatan risiko gagal ginjal akut.
Rekomendasi saat ini untuk pengendalian glukosa pada pasien
kritis adalah 140-180 mg / dL. Infus insulin kontinu dapat dimulai pada
21

pasien yang mengalami fluktuasi kadar glukosa >180 mg / dL atau pada


pasien yang terus mengalami hiperglikemia walaupun mendapat
pengobatan dengan injeksi insulin short-acting. Regimen insulin atau
rejimen insulin geser biasanya digunakan untuk mempertahankan pasien
pada sasaran atau untuk mewujudkan kebutuhan insulin pasien. Semakin
banyak dokter menggunakan analog insulin kerja yang lebih lama seperti
insulin levemir, determin insulin dan insulin NPH untuk membantu
mensimulasikan kadar insulin basal. Dokter harus menyadari risiko dan
manfaat penggunaan analog yang bekerja lebih lama ini dan menyadari
adanya perubahan status pasien, terutama yang berkaitan dengan asupan
kalori. Selain itu, dokter harus memantau pasien untuk tanda dan gejala
hiperglikemia, seperti: diaforesis, takikardia, kelesuan, gemetar, tremor,
kejang, kejang dan koma.
22

Duty (siang) Duty (siang) Duty (siang)


Feeding □ enteral □ oral □ enteral □ oral □ enteral □ oral
□ tube feeding □ tube feeding □ tube feeding
□ parenteral □ p-TPN ( ) hari □ parenteral □ p-TPN ( ) hari □ parenteral □ p-TPN ( ) hari
□ c-TPN ( ) hari □ c-TPN ( ) hari □ c-TPN ( ) hari
□ Kristaloid ( ) hari □ Kristaloid ( ) hari □ Kristaloid ( ) hari
Analgesia* NRS : ( ) / CPOT : ( ) NRS : ( ) / CPOT : ( ) NRS : ( ) / CPOT : ( )
Obat-obatan : Obat-obatan : Obat-obatan :

□ Tidak dapat terapi analgesik □ Tidak dapat terapi analgesik □ Tidak dapat terapi analgesik
Sedation* RASS Score : ( ) RASS Score : ( ) RASS Score : ( )
Obat-obatan : Obat-obatan : Obat-obatan :

□ Tidak dapat terapi sedasi □ Tidak dapat terapi sedasi □ Tidak dapat terapi sedasi
Thromboembolic □ Iya : □ Antikoagulan □ Iya : □ Antikoagulan □ Iya : □ Antikoagulan
Prophylaxis □ Antiembolic-stocking □ Antiembolic-stocking □ Antiembolic-stocking
□ IPC □ IPC □ IPC
□ Tidak □ Tidak □ Tidak
Head elevation* □ Iya (>30o) □ Tidak □ Iya (>30o) □ Tidak □ Iya (>30o) □ Tidak
Ulcer prevention* □ Iya □ Tidak □ Iya □ Tidak □ Iya □ Tidak
23

Glucose control* Pemeriksaan GDS? □ Iya □ Tidak Pemeriksaan GDS? □ Iya □ Tidak Pemeriksaan GDS? □ Iya □ Tidak
Penatalaksanaan □ Terapi oral Penatalaksanaan □ Terapi oral Penatalaksanaan □ Terapi oral
□ Terapi insulin □ Terapi insulin □ Terapi insulin
GDS < 80 □ Iya □ Tidak GDS < 80 □ Iya □ Tidak GDS < 80 □ Iya □ Tidak
GDS > 180 □ Iya □ Tidak GDS > 180 □ Iya □ Tidak GDS > 180 □ Iya □ Tidak
Rekomendasi/Catatan : Rekomendasi/Catatan : Rekomendasi/Catatan :

Perawat : Perawat : Perawat :


BAB III
PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian dan Evidence Based Practice APACHEII dan FAST


HUGS

REVIEW JOURNAL

Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II Pada Angka


Kematian Pasien Gagal Nafas

Kelompok 9
Judul Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II
Pada Angka Kematian Pasien Gagal Nafas
Journal Jurnal Antara Keperawatan
Volume dan halaman Vol. 4 dan 10 halaman
Tahun 2021
Penulis Bambang Suryadi dan Nurul Ainul Shifa
Reviewer Kelompok 9
Tanggal reviewer 23 Februari 2022
Latar belakang Angka kematian pasien gagal nafas masih menjadi angka kejadian
yang terus terjadi meskipun zaman sudah semakin maju dan
intervensi sudah cukup berkembang.
Permasalahan Angka kematian di ICU perlu diprediksi dengan baik hal ini
dikarenakan dapat menjadi bantuan dalam hal pemantauan
informasi pada pasien itu sendiri yang ada hubungannya dengan
kondisi dan korelasi antara penyakit pasien yang terjadi. Dalam
prediksi kematian bukan prediksi kinerja, evaluasi yang diberikan
dan difokuskan kepada pasien yang mengalami disfungsi organ
sangat membantu dalam hal prognosis penyakit pasien dan

24
25

penanganan yang cepat dan tepat terhadap apsien sehingga


menurunkan angka disfungsi organ yang lain kepada pasien,
dimana kegagalan organ ada hubungan dengan meningkatnya
mortalitas pasien ICU. Skoring ICU terdapat beberapa penialaian
seperti Sequential Organ Failure Assesment (SOFA) dan APACH
serta sejumlah skor yang lainnya untuk digunakan mengetahui
mortalitas pasien dan juga untuk menilai prognosis pasien.
Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan skoring Acute
Physiology And Chronic Health Evaluation (APACHE II)
terhadap angka kematian pada pasien gagal nafas di Ruang ICU
Rumah Sakit PMI Bogor Tahun 2019
Sumber data Data primer :
1. Lembar Checklist APACHE
2. Wawancara
Metode penelitian Rancangan dalam penelitian ini adalah cross sectional.
Objek penelitian
Jumlah sampel yaitu 56 pasien gagal nafas. Intrumen
menggunakan lembar cheklist apache dan uji statistik
menggunakan uji Chi Square.

Hasil penelitian Ada hubungan skoring APACHE II terhadap angka kematian


pasien gagal nafas di Ruang ICU Rumah Sakit PMI Bogor dengan
Pvalue 0,02 dan OR 4,63
Kelebihan penelitian Skoring digunakan untuk membuat perkiraan terkait
perkembangan kesehatan pasien yang sedang dirawat di ICU baik
dalam kondisi sembuh ataupun dalam kondisi pasien meninggal.
Skoring yang memungkinkan untuk dilakukan di ICU adalah
APACHE II dan APACHE III serta SAPS (Simplified Acute
Physiological Score II) serta (Mortality Probability Model II).
Skoring APACHE II juga berfungsi untuk meliaht perkembangan
26

pasien terkait kematian, tingkat keparahan suatu penyakit dan


berapa lama perawatan dilakukan kepada pasien. Sehat karena itu
maka skoring APACHE II sangat diperlukan untuk ruangan kritis
seperti ICU. Hal ini akan membuat perawat dan dokter mudah
dalam menentukan prognosa diagnosa terhadap pasien yang
sedang dirawat pada ruangan ICU
Kekurangan penelitian Tidak ada kekurangan dalam penelitian ini. Hanya saja ada
perbedaan pendapat atau asumsi penelitian Heny dyang yang
meneliti skor APACHE II dan mortalitas di ICU RSUP Dr.
Kariadi dengan penelitian di Pakistan. Dikatakan bahwa penelitian
Heny dyang meneliti skor APACHE II dan mortalitas di ICU
RSUP Dr. Kariadi dengan hasil penelitian membuktikan bahwa
pasien terbanyak yang meninggal dunia di ruang ICU adalah
berjenis kelamin laki-laki sedangkan penelitian di Pakistan
menyatakan bahwa perempuan lebih dominan daripada pria,
penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
juga menyatakan bahwa pasien ICU yang sembuh dan keluar
mayoritas adalah perempuan.
Diskusi Kebutuhan akan skoring untuk memprediksi kematian atau
prognosis pasien yang dirawat di ICU menjadi sebuah kebutuhan
yang penting selain memberikan kemudahan dalam pelayanan dan
intervensi yang akan dilakukan selanjutnya, cost juga akan dapat
ditekan terutama untuk keluarga pasien yang dirawat di ICU, skor
prediksi ini akan dijadikan patokan oleh perawat dan dokter dalam
hal tindakan yang akan dilakukan selanjutnya terkait dengan
kondisi pasien saat itu, selain itu tingkat efisiensi, mutu dan
kualitas pelayananpun akan terjadi peningkatan.
27

REVIEW JOURNAL

Parent’s Perspectives of School-Age Anxiety Responses Get IV Instalation

Kelompok 9
Judul Parent’s Perspectives of School-Age Anxiety Responses Get IV
Instalation
Journal OISAA J. Indonesia. Emas
Volume dan halaman Volume 4 halaman 71-76
Tahun 2021
Penulis Indira Mastura Pulungan dan Nur Asnah Sitohang
Reviewer Kelompok 9
Tanggal Reviewer 24 Februari 2022
Latar Belakang Prosedur pemasangan IV merupakan prosedur invasive yang
ditakuti anak-anak karena penggunaan jarum suntik. Posedur IV
dapat menyebabkan kecemasan bagi anak. Kecemasan anak
ditunjukkan dengan rasa khawatir, cemas, dan keluhan fisik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana respon
kecemasan anak uutuk mendapatkan pemasangan infus
berdasarkan perspektif orang tua.
Permasalahan Pemasangan IV adalah tindakan yang dilakukan untuk
memberikan cairan berupa obat atau vitamin kepada pasien yang
mengalami gangguan cairan atau nutrisi parah. Pemasangan cairan
IV diberikan dalam waktu yang lama dan dilakukan dengan cara
memasukkan alat ke dalam vena antara lain vena sefalika, ven
afemoralis, dan vena temporalis. Prosedure ini dapat menimbulkan
ketidaknyamanan dan kecemasan sebelum melakukan tindakan,
terutama pada anak yang akan dirawat di rumah sakit.
Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecemasan anak
usia sekolah yang pernah dilakukan pemasangan IV dengan jangka
28

waktu maksimal 2 tahun terakhir.

Sumber data Data Primer:


1. Google Form untuk pengisian kuosioner.
2. Wawancara.
Metode penelitian Penelitian deskriptif cross responden.

Objek penelitian Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total
sampling dengan 69 responden, dengan responden dalam
penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak usia sekolah
dengan pengalaman pemasangan IV maksimal 2 tahun terakhir.
Hasil penelitian Hasil penelitian ini memberikan gambaran dan gambaran tentang
respon kecemasan anak usia sekolah mendapatkan pemasangan IV
ditempatkan berdasarkan persepsi orang tua. Hasil penelitian ini
juga akan dideskripsikan karakteristik anak usia sekolah yaitu
berdasarkan jenis kelamin, pengalaman anak, dan usia terakhir
mendapatkan pemasangan IV. Hasil karakteristik responden
didapatkan bahwa sebagian besar anak berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 62% anak, mayoritas anak berusia 6 tahun, 33%
responden dengan pengalaman pemasangan IV mayoritas dialami
oleh anak yang mendapatkan pemasangan IV pertama kali pada
48% responden.
Kelebihan penelitian Penelitian ini menunjkkan hasil dengan data-data yang akurat
disertai dengan presentase sample sehingga pembaca dapat
melihat data yang ada, terutama data untuk kecemasan anak usia
sekolah ketika dilakukan pemasangan IV.
Kekurangan penelitian Di dalam penelitian ini tidak dipaparkan untuk dilakukannya
perbaikan atau tambahan dalam penelitian selanjutkan.
Diskusi Dalam penelitian ini, peneliti menyelidiki kececemasan pada anak
usia sekolah yang pernah mendapatkan pengalaman pemasangan
infus 2 tahun terakhir. Penelitian ini juga dapat mengetahui
29

manfaat dari tindakan pemasangan infus pada anak usia sekolah


terhadap orang tua, yaitu dengan tindakan memegang tangan orang
tua, maka rasa kecemasan anak akan berkurang dan kegiatan
tersebut dapat menumbuhkan rasa kedekatan terhadap orang tua.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
APACHE II dan FAST-HUG merupakan metode atau teknik yang
biasanya digunakan di ruang intensif seperti ICU. Masing-masing
metode ini memiliki tujuan. Tujuan dari metode APACHE II adalah
untuk membuat perkiraan terkait perkembangan kesehatan pasien yang
sedang dirawat di ICU baik dalam kondisi sembuh ataupun dalam
kondisi pasien meninggal. Sedangkan Tujuan dari FAST-HUG adalah
untuk membantu persiapan putaran pasien, membantu mengidentifikasi
dan mencegah kesalahan pengobatan, meningkatkan keamanan pasien,
dan maksimalkan intervensi terapeutik.
Sebenarnya tujuan kedua metode ini sama hanya saja tiap-tiap
metode memiliki kriteria dan pemenuhan atau target yang harus dicapai
untuk memudahkan melaksanakan tindakan keperawatan dan memenuhi
kebutuhan pasien itu sendiri.

B. Saran

Mungkin akan lebih baik lagi jika adanya saran dan kritik yang
sifatnya membangun dari semua pihak demi penyempurnaan makalah ini,
namun sebagai manusia biasa hanya bisa berharap semoga bisa
bermanfaat dan mudah-mudahan memenuhi fungsi sebagaimana
mestinya.

30
DAFTAR PUSTAKA

Direktur Jendral Bina Upaya Kesehatan Nomor. HK 02.04/1/1996/11. Petunjuk


teknis penyelenggaraan pelayanan Intensive Care di unit rumah sakit.2011.

Fox, KC, Zakarauskas, P., Dixon, M., Ellamil, M., Thompson, E., dan Christoff,
K. (2012). Pengalaman meditasi memprediksi akurasi introspektif.PLoS
SATU7:e45370. doi: 10.1371/journal.pone.0045370

Chiavone PA, Sens YA. Evaluation of APACHI II system among intensive care
patiens at teaching hospital. Sao Paulo Med J 2003

Mehling, KAMI, Harga, C., Daubenmier, JJ, Acree, M., Bartmess, E., dan Stewart,
A.(2012). Penilaian multidimensi kesadaran interoseptif (MAIA). PLoS
SATU7:e48230. doi: 10.1371/journal.pone.0048230

31

Anda mungkin juga menyukai