Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media cetak
serta elektronik tentang kasus-kasus kekerasan terhadap anak, dan beberapa di
antaranya harus mengembuskan napasnya yang terakhir. Child abuse (kekerasan
terhadap anak) adalah perlakuan dari orang dewasa yang usianya lebih tua
dengan menggunakan kekuasaan dan otoritasnya terhadap anak yang tidak
berdaya yang seharusnya berada di bawah tanggung jawab dan atau
pengasuhannya, yang dapat menimbulkan penderitaan, kesengsaraan bahkan
cacat.1,2 Menurut data pelanggaran hak anak yang dikumpulkan oleh Komisi
Nasional Perlindungan Anak dari data induk lembaga perlindungan anak yang
ada di 30 provinsi di Indonesia, pada tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak
anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus dan pada tahun 2007 jumlahnya
meningkat menjadi 40.398.625 kasus. Selain itu, Komnas Anak juga melaporkan
bahwa selama periode Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi korban
kekerasan seksual dari orang terdekat mereka seperti orang tua kandung/angkat,
guru, paman, kakek, dan tetangga.
Menurut survei empat provinsi pada tahun 2009 sebagian besar responden
remaja di Aceh, Papua, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur melaporkan
pengalaman kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Nusa Tenggara Timur
mempunyai angka pelaporan yang paling tinggi di antara tiga provinsi lainnya
dalam hal kekerasan seksual dan jenis kekerasan lainnya. Fakta lainnya yang
terjadi adalah berdasarkan data survei pekerja anak di Indonesia pada tahun 2009,

Indonesia memiliki sekitar empat juta anak yang terlibat sebagai pekerja anak,
termasuk dua juta yang bekerja dalam kondisi berbahaya.3
Data statistik tersebut, ditambah dengan data tentang jumlah kasus
penculikan anak, perdagangan anak, anak yang terpapar asap rokok, anak yang
menjadi korban peredaran narkoba, anak yang tidak dapat mengakses penidikan,
anak yang belum tersentuh layanan kesehatan dan anak yang tidak punya akta
kelahiran, memperjelas gambaran muram tentang pemenuhan hak-hak anak
Indonesia.
Kenakalan anak adalah hal yang paling sering menjadi penyebab
kemarahan orang tua, sehingga anak menerima hukuman dan bila disertai emosi
maka orangtua tidak segan untuk memukul atau melakukan kekerasan fisik
terhadap anaknya. Bila hal ini sering dialami oleh anak maka akan menimbulkan
luka yang mendalam pada fisik dan batinnya. Sehingga akan menimbulkan
kebencian pada orangtuanya dan trauma pada anak. Akibat lain dari kekerasan
anak akan merasa rendah harga dirinya karena merasa pantas mendapat hukuman
sehingga menurunkan prestasi anak di sekolah atau hubungan sosial dan
pergaulan

dengan

teman-temannya

menjadi

terganggu,

hal

ini

akan

mempengaruhi rasa percaya diri anak yang seharusnya terbangun sejak kecil. Apa
yang dialaminya akan membuat anak meniru kekerasan dan bertingkah laku
agresif dengan cara memukul atau membentak bila timbul rasa kesal di dalam
dirinya. Akibat lain anak akan selalu cemas, mengalami mimpi buruk, depresi,
atau masalah-masalah di sekolah.
Derivasi kekerasan bukan lagi dominasi jalanan, atau negara penuh
konflik dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Beberapa wilayah Indonesia,
keluarga juga terkadang menjadi pemicu obsesif akan tingkah laku kekerasan
pada anak. Keluarga sebagai tempat teraman semestinya menyediakan perasaan

aman yang paling dasar bagi anak, berubah menjadi tempat dengan ingkaran
kekerasan yang menakutkan. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan
Anak (2008), kekerasan fisik terhadap anak yang dilakukan oleh ibu kandung
mencapai 9,27% atau 19 kasus dari 205 kasus yang ada. Sedangkan kekerasan
terhadap anak yang dilakukan oleh ayah kandung adalah 5,85% atau sebanyak 12
kasus. Ibu tiri (2 kasus atau 0,98%), ayah tiri (2 kasus atau 0,98%) bahkan
berdasarkan riset dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
menyebutkan, perempuan ternyata lebih banyak melakukan kekerasan terhadap
anak dengan persentase sebesar 60% dibandingkan laki-laki. Kondisi ini
menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi kelangsungan generasi penerus bangsa,
sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi kekerasan terhadap
anak.
Kedokteran forensik dan medikolegal berguna unttuk membantu
mengidentifikasi tindak kekerasan terhadap anak. Adanya peran yang maksimal
dari kedokteran forensik dan medikolegal dalam kasus kekerasan terhadap anak
akan membantu dalam penanggulangan kasus kekerasan terhadap anak. Untuk itu
penulis merasa perlu untuk menyajikan makalah yang membahas peran
kedokteran forensik dan aspek medikolegal pada kasus child abuse.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana peran kedokteran forensik dan aspek medikolegal pada kasus
child abuse?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui peran kedokteran forensik dan aspek medikolegal pada kasus
1.3.2

Child Abuse.
Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi child abuse.
b. Mengetahui klasifikasi child abuse.
c. Mengetahui identifikasi kasus child abuse.

d. Mengetahui penanggulangan kasus child abuse.


e. Mengetahui aspek medikolegal child abuse.
f. Mengetahui peran kedokteran forensik pada kasus child abuse.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan makalah ini dibuat dengan metode penulisan tinjauan kepustakaan
yang merujuk pada berbagai literatur.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Child Abuse
Anak adalah bukan orang dewasa kecil. Batasan umur pada child abuse di
sini adalah berusia sampai 18 tahun. Kekerasan pada anak (child abuse) adalah
perlakuan dari orang dewasa yang usianya lebih tua dengan menggunakan
kekuasaan dan otoritasnya, terhadap anak yang tidak berdaya yang seharusnya
berada di bawah tanggung jawab dan atau pengasuhannya, yang dapat
menimbulkan penderitaan, kesengsaraan bahkan cacat.1,4

Namun, sebenarnya terdapat banyak pengertian dari child abuse


(kekerasan pada anak) dilihat dari sudut pandang berbeda. Berikut pengertian
child abuse menurut beberapa ahli:2
- David Gill, 1973, child abuse adalah tindakan yang mempengaruhi
perkembangan anak sehingga tidak optimal lagi.
- Synder, 1983, child abuse adalah perlakuan salah terhadap fisik dan emosi
anak, menelantarkan pendidikan dan kesehatannya, juga penyalahgunaan
seksual.
- Helfer, 1987, child abuse adalah interaksi atau kurangnya interaksi antara
anggota keluarga yang mengakibatkan perlukaan yang disengaja terhadap
kondisi fisik dan emosi anak.

2.2 Klasifikasi Child Abuse


Child abuse diklasifikasikan menjadi:2
1. Kekerasan fisik, non accidental injurymulai ringan bruiser-laserasi
sampai pada trauma neurogenic yang berat dan kematian. Cedera fisik akibat
hukuman badan di luar batas, kekejaman atau pemberian racun.
2. Penelantaran anak atau kelalaian, yaitu kegiatan atau behaviour yang
langsung dapat menyebabkan efek merusak pada kondisi fisik anak dan
perkembangan psikologisnya. Kelalaian dapat berupa:
a.

Pemeliharaan yang kurang memadai

b.

Pengawasan yang kurang memadai

c.

Kelalaian dalam mendapat pengobatan

d.

Kelalaian dalam pendidikan

3. Kekerasan emosional
Ditandai dengan kecaman atau kata-kata yang merendahkan anak, tidak
mengakui sebagai anak. Pada dasarnya anak tidak diberikannya suasana
kasih sayang agar anak dapat belajar tumbuh dan berkembang.
4. Kekerasan seksual
Paksaan terhadap seorang anak untuk mengajak berperilaku atau
mengadakan kegiatan seksual yang nyata, sehingga menggambarkan
kegiatan seperti aktivitas seksual (oral genital, anal atau sodomi).
Pelanggaran seksual tanpa unsur pemaksaan biasanya dilakukan dengan cara
membujuk atau tindakan lain dengan cara mengakali anak dan umumnya
mengakibatkan perlukaan yang ringan.

2.3 Faktor Penyebab Child Abuse


Faktor penyebab child abuse (kekerasan pada anak):1
1. Faktor orang tua:
- Pengalaman penganiayaan di masa kecil
- Pola asuh dan mendidik anak
- Nilai-nilai hidup yang dianut orang tua
- Kurangnya pengertian mengenai perkembangan anak
- Keterlibatan penggunaan narkotika dan zat adiktif, serta yang menderita
gangguan mental emosional

2. Faktor situasi keluarga:


- Keterasingan dari masyarakat
- Kemiskinan
- Kepadatan dunia
- Krisis atau tekanan hidup akibat masalah sosial ekonomi
- Masalah interaksi dengan lingkungan
3. Faktor anak:
- Perilaku atau tabiat anak
- Penampilan fisik anak
- Kegagalan anak memenuhi harapan orang tua
- Anak yang tidak diinginkan
4. Faktor budaya:
- Kepercayaan atau adat istiadat mengenai pola asuh anak
- Kepercayaan atau adat istiadat mengenai hak orang tua terhadap anak
- Pengaruh pergeseran budaya
- Pengaruh media massa
2.4 Aspek Medikolegal pada Kasus Child Abuse
Tenaga profesional kesehatan seringkali menjadi pihak pertama yang
menemukan kasus child abuse, baik pada saat ia melakukan prakteknya di
institusi kesehatan atau di tempat praktek pribadi, atau juga pada saat ia
melakukan kunjungan ke lapangan. Demikian pula tenaga profesional
pendidikan, pengasuh anak, konselor, dan agamawan. Merekalah yang
seharusnya dapat mendeteksi dini dan menangani atau merujuk kasus child abuse
sesuai dengan prosedur dalam sistem perlindungan anak yang berlaku. Namun

demikian fakta menunjukkan bahwa angka kejadian child abuse yang dilaporkan
dan tercatat di Indonesia sangatlah rendah dibandingkan dengan di negara-negara
lain. Hal ini membawa asumsi bahwa kasus child abuse yang tercatat adalah
hanya merupakan ujung atas/ kecil dari gunung es yang sebenarnya ada di dalam
masyarakat (iceberg phenomenon).5
Para ahli pendidikan kedokteran melihat sistem pendidikan kedokteran
dan kesehatan yang diberlakukan saat ini cenderung untuk menghasilkan tenaga
kesehatan yang bersikap hanya melihat sisi medis pasien saja. Padahal pada
bnyak kasus, termasuk kasus child abuse, masalah utamanya bukan masalah
medis, melainkan masalah hukum dan psiko-sosial. Oleh karena itu pendekatan
mutidisipliner harus diterapkan untuk dapat menangani kasus child abuse secara
komprehensif.5
Tenaga kesehatan dituntut untuk memahami juga bidang kerja disiplin
lain yang terkait dengan masalah child abuse, seperti aspek kesehatan masyarakat
dan keluarga, aspek etik dan hukum, aspek psikososial, ataupun aspek budaya.
Pemahaman tentang aspek-aspek lain di luar kesehatan dan kedokteran
diharapkan akan mempererat dan mengefektifkan kerjasama tim yang
multidisipliner tersebut.5
Di Indonesia tanggung jawab pelaku pencederaan pada anak tertera dalam
kitab UU Hukum Pidana (KUHP) yang pasal-pasalnya berkaitan dengan jenis dan
akibat pencederaan anak, yaitu :2
1. Pasal 351 ayat 1, pencederaan pada anak yang bersifat penganiayaan dan
menimbulkan cedera fisik (ancaman hukuman paling lama 2 tahun 8
bulan), ayat 2 bila mengakibatkan luka-luka berat (ancaman hukuman

penjara paling lama 5 tahun), ayat 3 bila mengakibatkan kematian


(ancaman hukuman penjara paling lama 7 tahun).
2. Pasal 356, pencederaan pada anak (fisik) yang dilakukan orang tua,
hukuman ditambah sepertiganya.
3. Pencederaan pada anak berupa penelantaran, pasal 301 (ancaman pidana
penjara paling lama 4 tahun), pasal 304 (ancaman pidana penjara paling
lama 5 tahun 6 bulan), pasal 306 ayat 1 bila mengakibatkan luka (ancaman
pidana penjara paling lama 9 tahun), pasal 307 bagi orang tua sebagai
pelaku dikenakan ancaman pidana pasal 305 dan 306 ditambah dengan
sepertiganya.
4. Pencederaan anak bersifat seksual, pasal 287 (ancaman pidana penjara
paling lama 9 tahun), pasal 290 butir 3 (ancaman pidana penjara paling
lama 7 tahun).
Peran para dokter adalah menemukan kasus kekerasan terhadap anak dan
menolong anak tersebut beserta keluarganya dalam menempuh proses pemulihan.
Untuk mencapai peran tersebut para dokter dan tenaga kesehatan harus
memperoleh pelatihan khusus agar dapat memiliki kemampuan yang dibutuhkan,
serta membentuk tim yang multidisiplin guna menangani child abuse. Dalam hal
ini anak adalah pasiennya, sehingga segala yang terbaik buat si anak adalah
perhatian utama dokter.5
Dalam menemukan kasus child abuse, tindakan dini yang dilakukan dapat
meliputi:5
a. Melaporkan kasus tersebut ke Komisi Perlindungan Anak
b. Merawat inap korban child abuse yang membutuhkan perlindungan pada
tahap evaluasi awal
c. Memberitahukan diagnosis dan diferensial diagnosis anak kepada orang
tua anak secara objektif tanpa bersifat menuduh
Evaluasi medis pada kasus dugaan kekerasan fisik terhadap anak
sebaiknya meliputi:5

a. Riwayat cedera
b. Pemeriksaan fisik
c. Survei radiologis terhadap trauma
d. Pemeriksaan kelainan perdarahan
e. Pemotretan berwarna
f. Pemeriksaan fisik saudara kandungnya
g. Laporan medis tertulis resmi
h. Skrining perilaku
i. Skrining tumbuh kembang pada bayi dan anak pra-sekolah
Disebutkan pula bahwa penanganan medis kasus kekerasan seksual
terhadap anak meliputi 3 hal:5
a. Pengobatan trauma fisik dan psikologis
b. Pengumpulan dan pemrosesan bukti (evidence)
c. Penanganan dan/atau pencegahan kehamilan dan penyakit hubungan
seksual
Profesional kesehatan dalam menangani anak dugaan korban kekerasan
terhadap anak sedapat mungkin mencari bukti fisik (physical evidence) yang
nantinya dapat digunakan dalam upaya pembuktian di pengadilan. Penelitian
dapat dilakuakn dengan melakukan anamnesis yang mendalam, pemeriksaan fisik
yang teliti, pemeriksaaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya, serta
uji psikologis dan psikiatris yang diperlukan.5
Pasal 108 KUHAP memberikan hak kepada setiap orang untuk
melaporkan adanya tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) apabila ia
mengetahuinya sebagai saksi, dan memberikan kewajiban bagi pegawai negeri
yang mengetahui adanya tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) pada
waktu ia menjalankan tugasnya.5
Pasal 78 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan
ancaman pidana bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan
anak dalam situasi darurat (termasuk anak korban kekerasan) padahal anak
tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu.5
Kewajiban moral dan hukum bagi para profesional kesehatan yang
mengetahui adanya korban kekerasan terhadap anak, untuk menindaklanjutinya

10

sesuai prosedur termasuk melaporkannya ke Komisi Perlindungan Anak


setempat.5
2.5 Identifikasi Kasus Child Abuse
Dalam mengidentifikasi kasus child abuse, perlu diperhatikan dua hal:6
1. Pengungkapan Kasus
Pengungkapan kasus child abuse dibedakan menjadi dua:
a. Pengungkapan langsung : anak secara langsung mengungkapkan
bahwa mereka telah mengalami kekerasan atau penelantaran.
b. Pengungkapan tidak langsung : anak tidak mengungkapkan secara
langsung tetapi menceritakan pengalaman mereka secara tidak
langsung melalui tingkah laku, emosi, seni, tulisan, penampilan,
diskusi tentang ketakutan, dan bagaimana hubungan sosialnya.
2. Indikator dari kemungkinan kasus child abuse dapat digolongkan sesuai
dengan jenis child abuse yang terjadi, sebagai berikut:
a. Indikator kemungkinan physical abuse
Indikator fisik
Adanya luka-luka pada bayi yang belum bisa bergerak,
terutama pada kepala/wajah
Adanya luka-luka pada balita atau anak yang sudah lebih tua
yang tidak ada penjelasan, penjelasan tidak cocok dengan luka
yang ada, atau dengan penjelasan yang berubah-ubah.
Luka-luka dengan derajat penyembuhan yang berbeda
Luka-luka dengan pola atau terlihat seperti sebuah onjek
tertentu (seperti: tangan, stik, besi ikat pinggang, dan lain-lain)
Kebiruan pada tempat yang tidak biasa seperti telinga, leher,
tenggorokan, atau bokong.
Indikator perilaku

Ketakutan atau menghindar pulang ke rumah, atau kabur


Memperlihatkan sikap yang tidak biasa, ngamuk, gaduh gelisah
Mudah terkejut ketika disentuh
Perubahan perilaku di sekolah dan kedatangan
Menarik diri dari keluarga, teman-teman, dan aktivitas yang
sebelumnya disenangi

11

Ide atau percobaan bunuh diri atau perilaku merusak diri

sendiri
b. Indikator kemungkinan sexual abuse
Indikator fisik
Nyeri yang menetap dan tidak bisa di jelaskan, keluarnya

darah atau sekret yang tidak biasa dari daerah genital atau anal
Hamil
Penyakit menular seksual

Indikator perilaku

Berperilaku atau mempunyai pengetahuan seksual yang tidak


Mengajak anak lain untuk melakukan aktivitas seksual
Memasukkan benda ke vagna atau rektum
Cenderung tertarik dengan perilaku seksual orang dewasa
Mempunyai hadiah yang tidak diketahui seperti baju baru atau

uang
Perubahan perilaku di sekolah dan jarang masuk sekolah
Merahasiakan teman baru, aktivitas, telfon, dan penggunaan

internet
Terlibat dalam eksploitasi seksual sperti melakukan aktivitas

seksual untuk uang


c. Indikator kemungkinan penelantaran
Indikator fisik
Luka-luka yang terjadi karena tindakan medis karena
penundaan atau pengabaian
Luka-luka yang dihasilkan karena tidak diawasi
Gagal tumbuh
Gizi kurang atau gizi buruk
Kebersihan personal yang jelek
Indikator perilaku
Diam-diam mencuri makanan seperti orang yang tidak

diberikan makanan
Jarang datang ke sekolah
Tidak menuruti apa yang disarankan atau disuruh
tidak bisa berkonsentrasi di sekoah
Afek yang sedih atau datar

12

Takut atau malas pulang ke rumah, lebih suka ditinggal sendiri

di rumah
Terlibat dalam penyalahgunaan alkohol, mencuri, dan lain-lain
Tidak respon dengan perilaku atau stimulasi orang lain
d. Indikator kemungkinan gagal tumbuh
Indikator fisik

Tampak pucat, pipi tirus, penurunan berat badan drastis


Lemak tubuh yang sangat tipis
Kulit yang kering, turgor kulit buruk
Perkembangan yang terlambat (tidak sesuai usia)

Indikator perilaku

Terlihat lemas dan tidak bersemangat


Menunjukkan gerakan yang ambat dan malas
Tidak peka terhadap lingkungan

Secara umum indikator telah terjadinya child abuse adalah sebagai berikut:7
a.

Indikator Fisik
Keluhan-keluhan psikosomatik
Gagal tumbuh tanpa dasar organik yang jelas
b. Indikator Perilaku
Anak mengatakan bahwa dirinya telah dianiaya
Membalik atau menyangkal cerita yang telah diungkapkan

sebelumnya
Ketakutan yang berlebihan terhadap orangtua atau orang dewasa

lainnya
Tidak lari ke orangtua untuk meminta dukungan dan perlindungan
Memperlihatkan tingkah laku yang agresif dan penarikan diri yang

ekstrem
Kesulitan berhubungan dengan orang lain
Penurut dan pasif
Gangguan tidur
Menghindari kontak mata
Memperlihatkan perilaku terlalu dewasa atau terlalu kanak-kanak
Perilaku mencederai diri sendiri
Lari dari rumah

13

Sering mau bunuh diri


2.6 Penanganan Kasus Child Abuse 5
Secara umum, penanganan kasus child abuse akan melibatkan
serangkaian proses yang berawal dari suatu tindakan identifikasi kasus yang
dicurigai sebagai kasus child abuse dan diakhiri dengan penutupan kasus.
Secara skematik, kegiatan penanganan kasus child abuse dapat
digambarkan seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.1 Proses penanganan kasus dalam Sistem Perlindungan Anak5


Proses penanganan kasus dalam Sistem Perlindungan Anak terdiri dari
beberapa tahap yaitu:
1. Identifikasi
Langkah awal sistem respons perlindungan anak adalah adanya proses
identifikasi kemungkinan terjadinya kasus child abuse. Proses ini dapat dilakukan
oleh kalangan profesional medis, pengajar dan pendidik, pengasuh anak,

14

profesional di bidang kesehatan mental, profesional penegak hukum, agamawan,


dan profesional lainnya yang dalam posisi dapat melakukan pengamatan terhadap
anak atau keluarga tertentu.
Luasnya spektrum proses identifikasi ini mengharuskan para profesional
kesehatan untuk dapat mengenali indikator-indikator child abuse, faktor-faktor
risiko terjadinya child abuse serta dampak child abuse bagi anak, keluaga dan
bagi masyarakat.
2. Pelaporan
Pada tahap ini, unsur hukum dalam arti keberadaan peraturan perundangundangan beserta petunjuk pelaksanaannya, sangat bermakna peranannya. Kajian
hukum di bidang child abuse, baik skala lokal, regional, nasional maupun
internasional mutlak dikuasai dan dikaji lebih dalam. Di negara maju, tindakan
pelaporan yang berdasarkan hukum sudah begitu memasyarakat, baik dalam hal
prosedur pelaporan, substansi pelaporan, kepada siapa melaporkan, perlindungan
hukum bagi orang yang melaporkan atas itikad baik, maupun adanya sanksi
hukum bagi orang yang tidak melaporkannya.

3. Masukan/ Intake
Masukan/ intake merupakan tahapan di mana sebuah laporan kecurigaan
kasus child abuse diterima oleh suatu lembaga penyedia CPS (Child Protection
Service) yang telah ditunjuk resmi oleh pemerintah setempat berdasarkan
undang-undang. Di Indonesia, lembaga tersebut mungkin adalah KPAI atau LPA,
baik di tingkat pusat ataupun di daerah.

15

Pada tahap masukan ini harus dibuat dua keputusan primer, yaitu:
1) Apakah laporan atau informasi tersebut memenuhi kriteria sebagaimana dalam
pedoman? Keputusan ini harus diambil setelah melalui 3 langkah penting, yaitu
pengumpulan informasi dari pelapor, evaluasi informasi untuk menetukan
apakah memenuhi peraturan perundang-undangan dan pedoman lembaga
penyedia CPS, dan penilaian atas kredibilitas pelapor.
2) Seberapa darurat (urgent) untuk memperoleh rujukan? Hal ini ditentukan oleh
keparahan cedera dan/atau tingkat risiko mengakibatkan cedera bagi anak.
Apabila kasus dinyatakan berisiko tinggi maka lembaga CPS harus
melaksanakan respons segera.
Di beberapa negara maju, time respons tindakan intake ini untuk kasus
yang tergolong risiko tinggi umumnya tidak lebih dari 24 jam setelah adanay
pelaporan.
4. Penilaian awal dan Penyelidikan (Initial Assessment/ Investigation)
Initial assessment dari sebuah kasus child abuse juga secara umum dapat
dikatakan sebagai proses investigasi. Profesional penegak hukum dan petugas
lembaga CPS akan mengawali tindakan ini, yang secara simultan akan didukung
oleh profesional lain yang bekerja sesuai disiplin bidangnya masing-masing.
Setiap kasus akan bersifat sangat individual meskipun berasal dari suatu
komunitas yang sama dengan kasus lainnya.
Isu penting yang harus dinilai pada tahap ini adalah antara lain:
a.

Apakah anak mengalami child abuse yang memenuhi UU 23 tahun 2002?

b.

Apakah telah terjadi tindak pidana?

c.

Apakah orang tua atau wali bertanggungjawab?

16

d.

Siapakah tersangka pelakunya?

e.

Apakah saksi-saksi yang mendukung ditemukan?

f.

Apakah barang bukti yang mendukung diperoleh dan disimpan?

g.

Apakah terdapat korban lain?

h.

Apakah abuse atau penelantaran masih akan terjadi di kemudian hari?

i.

Apakah terdapat bukti yang cukup untuk menahan tersangka?

j.

Apakah anak dalam keadaan aman sekarang? Bila tidak, perlukah dilakukan
tindakan perlindungan?

k.

Adakah kebutuhan darurat keluarga?

l.

Apakah diperlukan layanan khusus terhadap anak dan keluarga untuk


memastikan tidak terjadinya kejadian serupa atau lanjutan?

5. Penilaian keluarga (Family Assessment)


Apabila adanya unsur child abuse sudah dapat dipastikan, maka proses
selanjutnya adalah memasuki tahapan tindakan pengamanan korban dan tindakan
suportif untuk keluarga maupun komunitas di sekelilingnya. Tujuan dari tahapan
ini adalah mengetahui sebisa mungkin secara lengkap dan jelas proses kejadian
child abuse, dampak dan faktor-faktor yang memberikan kontribusi terhadap
terjadinya child abuse. Dengan demikian tindakan treatment atau intervensi
nantinya menjadi lebih tepat.
Keputusan dan pertimbangan yang diharapkan pada tahap ini adalah:
a.

Apakah sifat, besaran dan penyebab faktor kontribusi dari risiko terjadinya
child abuse?

b.

Apakah dampak child abuse dan apakah penanganan diperlukan bagi semua
anggota keluarga?

17

c.

Apakah kekuatan individu dan keluarga yang dapat dimanfaatkan dalam


proses intervensi keluarga?

d.

Kondisi atau perilaku apakah yang harus diubah untuk menurunkan risiko
child abuse?

e.

Bagaimanakah prognosis bagi perubahan tersebut?


Informasi diperoleh melalui wawancara dan pengamatan atas seluruh

anggota keluarga, menggunakan alat evaluasi lain, dan melihat catatan lembaga
lain (CPS atau sekolah).
6. Case Planning (Perencanaan kasus)
Ini adalah tahapan perencanaan tindakan apa yang harus dilakukan secara
bersama dan simultan setelah mengetahui faktor-faktor yang meringankan dan
memperberat terhadap intervensi atau treatment yang akan dilakukan. Profesional
di bidang kesehatan mental dan atau hukum seringkali menjadi ujung tombak
tahapan ini.
Isu yang harus dipertimbangkan adalah:
a.

Apakah tujuan yang harus dicapai untuk mengurangi risiko child abuse dan
yang sesuai dengan kebutuhan penanganan?

b.

Apakah prioritas di antara sekian tujuan yang ingin dicapai?

c.

Intervensi atau pelayanan apa yang akan digunakan untuk mencapai tujuan?

d.

Langkah-langkah apa yang harus dilalui? Apa tanggung jawab lembaga


CPS? Apa tanggung jawab anggota keluarga? Apa tanggung jawab pemberi
layanan lainnya?

e.

Bagaimana penjadwalannya?

f.

Bagaimana dan kapan kasus ini dievaluasi?

18

7. Penanganan (Treatment)
Tahapan ini merupakan tahapan yang paling kompleks di mana semua
disiplin ilmu dapat mengambil peran. Sejak dahulu penanganan medis terhadap
para korban kekerasan fisik dan atau seksual telah dilakukan oleh para
profesional kesehatan, namun jarang dilakukan penanganan terhadap dampak
psikologisnya. Korban child abuse umumnya merasa marah, curiga, terisolasi,
dan ketakutan. Campuran emosi tersebut akan mengubah perilaku korban.
Kekuatan kerja multidisiplin sangat tergantung adanya komunikasi
terbuka antara korban, keluarga, komunitas dan CPS itu sendiri yang terdiri dari
berbagai profesional disiplin ilmu.
8. Evaluasi kemajuan keluarga (Evaluation of Family Progress)
Tahapan ini berlangsung kontinyu selama tahapan treatment berlangsung.
Tindakan evaluasi ini bertujuan untuk melakukan pengukuran parameter
mengenai keamanan dan keselamatan anak, pencapaian tujuan dan tugas,
penurunan risiko pengulangan kasus dalam keluarga atau komunitas di
sekelilingnya, dan mengembalikan korban dalam kehidupan yang wajar/ normal
dalam lingkungannya sendiri.
9. Penutupan kasus (Case Closure)
Suatu kasus child abuse dianggap dapat ditutup apabila dapat dipastikan
bahwa risiko child abuse telah menurun secara bermakna atau dapat dihilangkan,
sehingga keluarga dapat memenuhi kebutuhan anak dalam proses tumbuh
kembang dan melindungi anak dari child abuse tanpa intervensi masyarakat.
2.7 Pola Perlukaan Pada Penganiayaan Terhadap Anak

19

Akibat suatu kekerasan fisik adalah luka-luka mulai dari derajat yang
ringan sampai dengan berat bahkan kematian.
2.7.1

Perlukaan pada kulit


Perlukaan pada kulit adalah bentuk yang paling sering ditemukan
pada penganiayaan anak. Beberapa bentuk perlukaan yang sering
dikaitkan adalah :8
1. Memar
Memar terdapat pada 90% kasus kekerasan pada anak. Memar muncul
ketika darah keluar dari ruang intravaskuler ke kulit dan jaringan
subkutis. Memar tidak hilang dengan penekanan dan meiliki
karakteristik warna tertentu dapat mirip dengan cat atau tinta, pewarna
baju, tanda lahir.
Bentuk dan warna dapat menyatakan perkiraan usia memar, Waktu
yang diperlukan memar untuk terlihat tergantung pada kedalaman
luka, warna kekuningan akan tampak dalam 3 hari pada memar
superfisial, sementara pada memar yang lebih dalam warna kuning
mungkin memerlukan waktu 7,5 10 hari untuk muncul. Salah satu
penelitian menyatakan bahwa memar kekunigan berusia >18 jam dan
warna lain seperti merah, biru, ungu atau hitam dapat terjadi seja 1
jam sebelumnya sampai proses penyembuhan.
Memar pada anak-anak korban kekerasan sering ditemukan pada :
-

Bokong, punggung, paha luar, sering berkaitan dengan hukuman


Paha dalam dan daerah genitalia, memberi kesan kekerasan
seksual atau adanya hukuman karena tidak melakukan kebiasaan
toilet dengan baik

20

- Penis mungkin tetarik dan kadang-kadang diikat dengan karet


- Kepala dan leher, akibat bekas tamparan atau pukulan
2. Gigitan
Manusia adalah omnivore, dan giginya serupa dalam ukuran, bentuk
dan tonjolan tulang. Memar yang dihasilkan berbentuk bulan sabit dan
bekas gigi dapat diidentifikasi pemiliknya jika luka masih baru.
Bagaimanapun juga, bekas gigitan mungkin mengalami distorsi akibat
kontur area gigitan antara orang dewasa dengan anak <8 tahun harus
diingat bahawa jarak antara kedua gigi taring kiri dan kanan pada
orang dewasa >3cm, sedangkan pada anak-anak usia 8 tahun berjarak
<3 cm.
3. Luka Bakar
Luka bakar sering terjadi pada masa anak-anak baik karena
kecelakaan maupun karena kesengajaan. Kecelakaan sering terjadi
pada usia 18 bulan sampai 5 tahun. Luka bakar pada anak harus
dipikirkan karena adanya kelainan atau kesengajaan untuk menyakiti
anak, Tipe, luas, dalam, dan pola luka bakar dapat menjadi petunjuk
penyebabnya. Luka bakar akibat disundut rokok dicurigai sebagai
bentuk kekerasan jika ditemukan luka bakar multiple pada daerah
yang tidak mudah dijangkau. Luka bakar pada tangan, kaki atau
bokong akibat kontak dengan benda panas, menimbulkan bentuk luka
yang khas sesuai dengan bentuk benda panas yang dipakai.
Hal yang sering dilakukan adalah memasukkan bagian tubuh anak
kedalam air panas, tindakan ini dilakukan dengan memegang paha
atau perut anak dan mencelupkan pantat dan daerah selangkangan
kedalam air panas. Luka bakar akibat merendam tangan dan kaki anak
2.7.2

kedalam air panas data pula ditemukan.


Perlukaan Pada Daerah Wajah9

21

a. Mata
Mata adalah organ yang sensitif, bila anak mendapat pukulan didaerah
rongga mata maka harus dicari kemungkinan perdarahan dalam
rongga bola mata, dislokasi lensa, perdarahan retina atau perdarahan
selaput kelopak mata.
b. Hidung
Hidung yang mengalami pukulan langsung akan menimbulkan
pergeseran sekat hidung atau patahnya tulang rawan. Tanda yang
mudah dilihat adalah pengeluaran darah dari rongga hidung.
c. Mulut
Mulut yang mendapatkan pukulan langsung dapat menimbulkan
lepasnya gigi bahkan patah tulang rahang bawah. Pemberian makanan
yang dipaksakan akan menimbulkan memar pada bibir bahkan
robekan pada dasar lidah.
d. Telinga
Telinga sering mendapatkan

jeweran

yang

berlebihan

dapat

menimbulkan emar. Pukulan yang keras pada telinga dapat


menimbulkan robekan gendang telinga dan perdarahan. Adanya
perdarahan dibelakang gendang telinga atau bercak perdarahan pada
tulang mastoid dapat menunjukkan adanya patah pada dasar
2.7.3

tengkorak.
Perlukaan pada Kepala dan Sistem Saraf Pusat
Traumatik alopecia diakibatkan oleh jambakan atau cakaran pada kulit
kepala. Rambut menjadi spiral dan terdapat ptekie di akar rambut diikuti
kulit kepala yang nyeri. Berbeda dengan alopecia areata yang terjadi pada
anak anak kurang gizi, dengan tidak atau hanya sedikit rambut di perifer,
inflamasi atau kerak pada kulit kepala. Tarikan kuat pada kepala seperti

22

mengangkat anak melalui rambutnya dapat menyebabkan bengkak atau


hematom.8
Guncangan pada bayi menimbulkan cidera ekselerasi pada otak,
menyebabkan regangan dan pecahnya pembuluh darah. Hal ini dapat
menimbulkan cedera berat pada system saraf pusat.2
2.7.4

Perlukaan pada Organ Dalam


Cedera pada organ dalam telah banyak ditemukan pada kasus kekerasan
pada anak. Paling sering ditemukan adalah cedera abdominal yang
mengakibatkan kematian karena haemoperitoneum. Kejadian yang sering
ditimbulkan antara lain :8,9
- Laserasi mesentrium pada usus kecil yang disebabkan oleh pukulan
langsung pada dinding anterior abdomen. Jika kerusakan vaskuler
tidak komplit, end arteri pada sisi cedera mengalami kerusakan
sehingga menyebabkan iskemi pada iusus dengan perforasi lambat

2.7.5

atau timbulnya striktur.


Lengkung usus kecil meregang karena pukulan dengan perforasi akut

atau lambat dan kebocoran isi usus ke dalam rongga intraperitoneal


Kerusakan duodenum dan pancreas
Ruptur hati pada cedera tipe shaking tekanan langsung dapat

menyebabkan robekan
- Ruptur gaster, akibat tekanan pada sisi kiri atau abdomen
Perlukaan Akibat Tindakan Seksual
Adanya robekan, lecet, dan memar pada daerah kelamin atau genital yang
tidak disebabkan oleh kecelakaan mendorong kecurigaan kea rah
pelanggaran seksual. Gejaal yang dapat dilihat adalah peradangan pada
vagina, saluran kencing, atau perlukaan pada penis dan kantong zakar
akibat diputar (twisting injuries). Selain itu anus juga diperiksa terutama

2.7.6

tonus otot sfingter yang menunjukan tindakan seksual berulang-ulang.10,11


Perlukaan pada Tulang

23

Gejala yang tampak pada kekerasan ini adalah kelainan bentuk tulang,
rasa sakit dan bengkak, kelumpuhan serta kesulitan bergerak. Hal ini
dapat terjadi akibat kecelakaan atau kesengajaan. Patah tulang yang patut
dicurigai sebagai suatu bentuk kekerasan antara lain :8
- Anamnesis yang diceritakan orang tua atau pengasuh tidak sesuai
-

dengan pemeriksaaan fisik yang ditemukan


Semua patah tulang yang timbul sebelum usia 18 bulan atau sebelum

1 tahun atau sebelum anak dapat berjalan


Patah tulang dengan luka-luka yang jauh dari lokasi patah tulang
Cidera berulang pada tempat yang sama
Bila didapati patah tulang melingkar atau spiral fraktur pada tungkai

bawah bayi.
Bila anggota gerak ( lengan atau tungkai) anak dengan paksa ditarik
atau ditekan mengakibatkan lepasnya sendi.

BAB 3
PENUTUP
3.1
1.

Kesimpulan
Child abuse adalah perlakuan dari orang dewasa yang usianya lebih tua
dengan menggunakan kekuasaan dan otoritasnya, terhadap anak yang tidak
berdaya yang seharusnya berada di bawah tanggung jawab dan atau
pengasuhannya, yang dapat menimbulkan penderitaan, kesengsaraan bahkan

2.

cacat.
Child abuse dapat muncul dalam bentuk kekerasan fisik, penelantaran,
kekerasan emosional ataupun kekerasan seksual.

24

3.

Penanganan kasus child abuse mengikuti alur sebagai berikut : 1) identifikasi


meliputi pengungkapan dan pengklasifikasian kasus, 2) pelaporan, masukan,
3) penilaian awal dan penyidikan, 4) penilaian keluarga, 5) perencanaan

4.

kasus, 6) penanganan, 7) evaluasi dan 8) penutupan kasus.


Di Indonesia tanggung jawab pelaku pencederaan pada anak tertera dalam
kitab UU Hukum Pidana (KUHP) yang pasal-pasalnya berkaitan dengan

5.

jenis dan akibat pencederaan anak.


Peran kedokteran forensik dan aspek medikolegal dalam kasus kekerasan
terhadap anak adalah menemukan kasus kekerasan terhadap anak dan
menolong anak tersebut beserta keluarganya dalam menempuh proses
pemulihan.

3.2

Saran
Dengan disahkannya UU perlindungan terhadap anak, diharapkan peran

masyarakat, medis, keluarga dan seluruh pihak yang terkait untuk meningkatkan
pengawasan terhadap berbagai kekerasan pada anak.

25

Anda mungkin juga menyukai