Anda di halaman 1dari 48

Laporan Kasus

Spondilitis Tuberkulosis

Oleh :

1. Wulan Syafitri, S.Ked NIM. 1830912320114

2. Maulana Malik Ibrahim, S.Ked NIM. 1830912310105

3. Nindy Agustina, S.Ked NIM. 1830912320094

4. Diana Auliadina, S.Ked NIM. 1830912320

Pembimbing :

dr. Meilda Sartika Dewi, Sp.S

dr. Dewiyana, Sp.S

BAGIAN/SMF SYARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD MOCH. ANSARI SALEH

BANJARMASIN

2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I. PENDAHULUAN......................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 3

BAB III. LAPORAN KASUS ..................................................................... 16

BAB III. DISKUSI KASUS ........................................................................ 33

BAB IV. PENUTUP .................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 37

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-paru.

Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ

tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada

pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis. Sehingga

disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Sumber penularan adalah penderita TB

BTA positif pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara

dalam bentuk droplet (percikan dahak).1

Pada tahun 2005, World Health Organizatio (WHO) memperkirakan bahwa

jumlah kasus TB baru terbesar terdapat di Asia Tenggara (34 persen insiden TB

secara global) termasuk Indonesia. Jumlah penderita diperkirakan akan terus

meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penderita acquired immunodefi

ciency syndrome (AIDS) oleh infeksi human immunodefi ciency virus (HIV). Satu

hingga lima persen penderita TB, mengalami TB osteoartikular. Separuh dari TB

osteoartikular adalah Spondilitis TB.2

Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan China sebagai negara

dengan populasi penderita TB terbanyak. Setidaknya hingga 20 persen penderita

TB paru akan mengalami penyebaran TB ekstraparu. TB ekstraparu dapat berupa

TB otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, dan

endometrial. Sebelas persen dari TB ekstraparu adalah TB osteoartikular, dan

1
kurang lebih setengah penderita TB osteoartikular mengalami infeksi TB tulang

belakang.2 Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan

kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000

penduduk.3 Prevalensi nasional Tuberkulosis paru tahun 2007 adalah 0,99%.

Sebanyak 17 provinsi mempunyai prevalensi Tuberkulosis paru di atas prevalensi

nasional dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menduduki peringkat ke-2

dengan prevalensi 2,05% setelah papua barat dengan prevalensi 2,55% sebagai

propinsi dengan prevalensi TB tertinggi di Indonesia. Prevalensi TB cenderung

meningkat sesuai bertambahnya umur, dan prevalensi tertinggi pada usia lebih dari

65 tahun. Prevalensi TB paru 20% lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan

perempuan, tiga kali lebih tinggi di pedesaan dibandingkan perkotaan dan empat

kali lebih tinggi pada pendidikan rendah dibandingkan pendidikan tinggi.4 Di

Provinsi NTT tahun 2007, TB terdeteksi dengan prevalensi 18 per 1000 tersebar di

hampir seluruh kabupaten/kota. Prevalensi kasus TB di kota kupang tahun 2007

adalah 0,2%.5

Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi

terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat

terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight

bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering

terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang

belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang (kurang

lebih 50% kasus)(Gorse et al. 1983), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut

dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang

2
terkena. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan

lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area

ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti

dengan area servikal dan sakral. Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus

pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit

ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik.

Insidensi paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan

anak-anak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi

tuberkulosa pada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat

jarang ditemukan keadaan ini.6

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Spondilitis tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi oleh kuman

Micobacterium tuberculosis yang menyerang tulang belakang. Kuman ini

menyerang terutama di daerah paru yang penderitanya banyak sekali kita temui di

Indonesia. Ternyata dalam perjalanannya, kuman ini tidak hanya menyerang paru,

tetapi juga diketahui menyerang tulang belakang. Spondilitis tuberkulosa dikenal

juga sebagai penyakit Pott, paraplegi Pott. Nama Pott itu merupakan penghargaan

bagi Pervical Pott seorang ahli bedah berkebangsaan Inggris yang pada tahun 1879

menulis dengan tepat tentang penyakit tersebut. Penyakit ini merupakan penyebab

paraplegia (kelumpuhan) terbanyak setelah trauma, dan banyak dijumpai di Negara

berkembang. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3 dan

paling jarang pada vertebra C1 – 2.7

Spondilitis tuberkulosa juga merupakan penyakit kronik dan lambat

berkembang dengan gejala yang telah berlangsung lama.5

B. Anatomi

Tulang belakang (vertebra) dibagi dalam dua bagian. Di bagian ventral

terdiri atas korpus vertebra yang dibatasi satu sama lain oleh discus intervebra dan

ditahan satu sama lain oleh ligamen longitudinal ventral dan dorsal. Pada prosesus

spinosus dan transverses melekat otot-otot yang turut menunjang dan melindungi

kolum vertebra.8

16
Tulang belakang terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang tersusun secara

segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra servikalis), 12 ruas

tulang torakal (vertebra torakalis), 5 ruas tulang lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas

tulang sakral yang menyatu (vertebra sakral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra

koksigea).9

Gambar 1. Anatomi vertebra servikalis.9

Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh karena

adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior.10

Tulang vertebrae merupakan struktur kompleks yang secara garis besar

terbagi atas 2 bagian. Bagian anterior tersusun atas korpus vertebra, diskus

intervertebralis (sebagai artikulasi), dan ditopang oleh ligamentum longitudinale

anterior dan posterior. Sedangkan bagian posterior tersusun atas pedikel, lamina,

kanalis vertebralis, serta prosesus tranversus dan spinosus yang menjadi tempat otot
17
penyokong dan pelindung kolumna vertebrale. Bagian posterior vertebrae antara

satu dan lain dihubungkan dengan sendi apofisial (fascet joint).10

Kolumna vertebralis terbentuk oleh unit-unit fungsional yang terdiri dari

segmen anterior dan posterior.10

a. Segmen anterior, sebagian besar fungsi segmen ini adalah sebagai penyangga

badan. Segmen ini meliputi korpus vertebrata dan diskus intervebralis.

b. Segmen posterior, dibentuk oleh arkus, prosesus transverses dan prosesus

spinosus. Satu dengan lainnya dihubungkan oleh sepasang artikulasi dan

diperkuat oleh ligament serta otot.

Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu komponen

tulang dan komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan tiga

pilar. Pertama yaitu satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas korpus serta

diskus intervertebralis. Kedua dan ketiga yaitu kolom di belakang kanan dan kiri

yang terdiri atas rangkaian sendi intervertebralis lateralis. Secara keseluruhan

tulang belakang dapat diumpamakan sebagai satu gedung bertingkat dengan tiga

tiang utama, satu kolom di depan dan dua kolom di samping belakang, dengan lantai

yang terdiri atas lamina kanan dan kiri, pedikel, prosesus transversus dan prosesus

spinosus.10

C. Klasifikasi

Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul

pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Salah satu defisit neurologis yang

paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal dengan nama Pott’s paraplegia.

18
Sorrel-Dejerine mengklasifikasikan Pott’s paraplegia menjadi(3,7):

1. Early onset paresis

Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit.

2. Late onset paresis

Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit Sementara itu

Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi tiga tipe:

1. Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut

Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan

dihubungkan dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak

permanen).

2. Type II

Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat

permanen bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang.

Penyebab timbulnya paraplegia pada tipe I dan II dapat disebabkan

oleh karena :

a. Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater

Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis,

adanya abses, material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau

karena subluksasi atau dislokasi patologis vertebra. Secara klinis

pasien akan menampakkan kelemahan alat gerak bawah dengan

spastisitas yang bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme otot

involunter dan reflek withdrawal.

19
b. Invasi duramater oleh tuberkulosa

Tampak gambaran meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis

tuberkulosa. Secara klinis pasien tampak mempunyai spastisitas

yang berat dengan spasme otot involunter dan reflek withdrawal.

Prognosis tipe ini buruk dan bervariasi sesuai dengan luasnya

kerusakan korda spinalis. Secara umum dapat terjadi inkontinensia

urin dan feses, gangguan sensoris dan paraplegia

3. Type III / yang berjalan kronis

Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah

dapat membaik. Bisa terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma

epidural, fibrosis meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya

tekanan pada corda spinalis, peningkatan deformitas kifotik ke anterior,

reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler (trombosis pembuluh darah

yang mensuplai corda spinalis).

D. Etiologi

Penyebab Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil

(basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium

tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga

bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum

(penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus,

20
ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV).

Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola

resistensi obat.

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang

bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang

konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya.

Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu.

Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat

membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.

E. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis spondilitis TB biasanya tanpa nyeri (indolen). Pada fase aktif

pasien menunjukkan gejala malaise, penurunan berat badan, keringat malam,

kenaikan suhu di sore hari. Nyeri punggung belakang dan kaku saat bergerak bisa

sebagai keluhan awl penyakit, terutama apabila didapatkan deformitas kifosis yang

terlokalisir dan nyeri bila dilakukan perkusi. Didapatkan juga spasme otot di

paraspinal yang melibatkan otot di sekeliling vertebra. Nyeri ini berkurang saat

istirahat atau tidur, tetapi nyeri dapat muncul karena pergerakan diantara

permukaan yang inflamasi disebut dengan typical night cries. Apabila didapatkan

cold abcess, olahraga dapat mencetus small knuckle kyphosis saat palpasi. Nyeri

saat perubahan posisi sebagai akibat weight-bearing pada sendi sering muncul,

tetapi tidak spesifik. Apabila sudah ditemukan deformitas berupa kifosis, maka

patogenesis TB sudah berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan.

21
Rasa nyeri dan pembengkakan lokal merupakan gejala yang sering

dikeluhkan. Suhu subfebril dan penurunan berat badan muncul pada minoritas

pasien. Fistula pada kulit, abses dan deformitas sendi yang tampak jelas akan

muncul ketika proses penyakit sedang aktif dan berjalan cukup lama. Kelenjar getah

bening, gejala lokal akan lebih menonjol daripada gejala konstitusional sistemik.

Sebuah penelitian retrospektif tentang spinal tuberkulosis menyebutkan bahwa

69,2% mengeluh kelemahan tungkai, gibbus, selain itu juga didapatkan keluhan

nyeri, adanya masa, inkontinensia dan keluhan lain.

Pada fase penyembuhan (healed), pasien tidak tampak sakit ataupun

mengeluh sakit, dengan penurunan berat badan tapi tidak didapatkan peningkatan

suhu pada sore hari. Deformitas yang terjadi pada fase akut dapat saja menetap.

Gejala yang tidak biasa mulai tampak pertama kali berupa defisit neurologis. Abses

atau sinus dapat muncul jauh dari colum vertebrae sepanjang fascia dan melibatkan

bundel neurovaskuler. Spinal disease dapat dikaitkan dengan munculnya defisit

neurologis yang disebabkan oleh kerusakan dari spinal cord, saraf maupun akar

saraf. Defisit yang mungkin antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri

radikular dan atau sindrom kauda equina. Nyeri radikuler menandakan adanya

gangguan pada radiks (radikulopati). Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun

manifestasinya lebih berbahaya karena dapat menyebabkan disfagia dan stridor,

tortikollis, suara serak akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu,

pernapasan terganggu dan timbul sesak napas (disebut juga Millar asthma).

Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku leher atau nyeri leher yang

tidak spesifik. Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik

22
dan sfingter distal dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera

ditangani.

Pasien-pasien dengan penyakit di daerah vertebra torakal akan

menimbulkan paraparesis atau paraplegi yang sering disebut dengan Pott’s

paraplegia. Insiden paraplegia pada spondilitis TB (Pott’s paraplegia), sebagai

komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 –38 persen penderita.

Pott’s paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan

paraplegia onset lambat (late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut,

biasanya dalam dua tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh

kompresi medula spinalis oleh abses atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia

onset lambat terjadi saat penyakit sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda

reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau

tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang sebelumnya. Gejala motorik

biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari anterior, sesuai

dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula spinalis, kecuali jika ada

keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik bisa lebih dahulu

muncul.

F. Patofisiologi

Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen

atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke

tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang.

Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang.

23
Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan

genitourinarius.

Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang

memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian

bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui

pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak

vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus,

penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara

pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra. Berdasarkan lokasi infeksi

awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:

(1) Peridiskal / paradiskal

Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah

ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang

dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak

ditemukan di regio lumbal.

(2) Sentral

Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalah

artikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering

menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga

menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang

bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.

(3) Anterior

24
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan

dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di

bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan

karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral

dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari

suplai darah vertebral.

(4) Bentuk atipikal :

Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat

diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan

keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis

tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus

transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral

posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui

tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.

Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra.

Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam

korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan

dua atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum

longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus intervertebralis.

Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra

yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui

abses paravertebral. Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah

pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang

25
menjadi avascular sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio

torakal. Discus intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap

infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi

paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan

kolapsnya corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi

diskus, sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah

juga akan semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan

tulang menjadi nekrosis. Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan

kolapsnya bagian tersebut akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang

untuk menahan berat badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan

sendi intervertebral dan lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan timbul

deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung

dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah

timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah

meluas.

G. Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis dapat ditanyakan hal yang berhubungan dengan nyerinya.

Pertanyaan itu berupa kapan nyeri terjadi, frekuensi, dan intervalnya; lokasi nyeri;

kualitas dan sifat nyeri; penjalaran nyeri; apa aktivitas yang memprovokasi nyeri;

memperberat nyeri; dan meringankan nyeri. Selain nyerinya, tanyakan pula

pekerjaan, riwayat trauma.

26
Selain itu, yang terpenting adalah mengenai penyakit paru yang diderita pasien

atau orang-orang disekitar pasien, terutama riwayat batuk lama, kehilangan berat

badan, keringat malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore

dan malam hari.

2. Pemeriksaan Fisik

Untuk memastikan bahwa nyeri yang timbul termasuk dalam gangguan saraf,

maka dilakukan pemeriksaan neurologis yang meliputi pemeriksaan sensoris,

motorik, refleks.7,14

a. Pemeriksaan sensoris. Pada pemeriksaan sensoris ini apakah ada gangguan

sensoris, dengan mengetahui dermatom mana yang terkena akan dapat

diketahui radiks mana yang terganggu.

b. Pemeriksaan motorik, apakah ada tanda paresis, atrofi otot.

c. Pemeriksaan refleks, bila ada penurunan atau refleks tendon menghilang, misal

APR menurun atau menghilang berarti menunjukkan segmen S1 terganggu.

Adapun pemeriksaan yang khas untuk diagnosi spondilitis TB adalah:

Palpasi:

1) Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang

menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di

daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan

menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian

torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa

nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien

akan menahan punggungnya menjadi kaku.

27
2) Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki

pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.

3) Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan

kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam

posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital.

Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya

gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher

atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi

leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal

notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor

respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan

menyebabkan tetraparesis. Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang

terjadi dan merupakan salah satu penyebab kompresi cervicomedullary di negara

yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya

serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.

4) Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila

berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya.

Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap

mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test). Jika terdapat abses, maka

abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan

tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses ini

berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan

menyebabkan paralisis.

28
5) Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang

terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui

fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien

tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang

belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot

psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.

6) Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang

belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan

dislokasi.

Palpasi:

Palpasi :

1) Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit

diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan

abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa

iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus),

tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat

bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam

cold abscess.

2) Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.

Perkusi :

1) Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus

vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.


29
3. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium :

1.1 Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari

100mm/jam.

1.2 Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative

(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu

maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan

positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter ³10mm di sekitar

tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada ±

20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang

immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai

penyakit lain)

1.3 Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan

bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru paru yang aktif)

1.4 Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat

relatif.

1.5 Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins,

typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat

kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa

banding.

1.6 Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis

tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan

30
infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil

yang lebih baik

2. Radiologis:

Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.

·Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya

tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).

·Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya

tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8

minggu onset penyakit.

·Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.

·Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior

corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak

penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae

anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area

subligamentous.

·Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau

prosesus spinosus.

· Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya

deformita scoliosis (jarang)

31
·Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang

sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar

dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap

tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi

karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga

vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa

dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat terkena

penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal.

·Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas.

Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan

kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang

mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat

penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh

karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).

3. Computed Tomography – Scan (CT)

Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang

sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel

tampak lebih baik dengan CT Scan.

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif

dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat

untuk :

32
- Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau

operatif.

- Membantu menilai respon terapi.

Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di

abses.

5. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal

mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan

pembacaan histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut)(berhasil

pada 50% kasus).

6. Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral

yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma,

lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea babi.

H. Penatalaksanaan

Obat anti tuberkulosis (OAT) mempunyai peran penting dalam pemulihan dan

respons pasien. Manfaat OAT telah ditunjukkan pada beberapa studi tentang terapi

TB spinal tanpa defisit neurologis, instabilitas dan deformitas tanpa memperhatikan

adanya abses paravertebral. Terapi farmakologi awal adekuat dapat mencegah

komplikasi berat. Penggunaan OAT harus dimonitor ketat untuk mencegah

munculnya strain yang multiresisten.35

American Thoracic Society merekomendasikan 9 bulan untuk terapi dengan

obat pertama yang sama dikonsumsi untuk pada 2 bulan pertama diikuti 7 bulan

terapi isoniazid dan rifampisin pada fase lanjutan, sedangkan Canadian Thoracic

Society merekomendasikan total waktu terapi selama 9–12 bulan.

33
The British Thoracic Society merekomendasikan 6 bulan dari terapi harian

dengan rifampisin dan isoniazid, diberikan pada 2 bulan pertama dengan

pirazinamid dan baik etambutol atau streptomisin (regimen 4 obat selama

6 bulan), tidak berdasarkan umur. Walaupun 6 bulan terapi dipertimbangkan cukup,

banyak ahli lebih memilih durasi selama 12–24 bulan atau sampai bukti regresi dari

penyakit secara patologis atau radiologis. Untuk menghindari komplians yang

buruk, directly observed treatment dan short course regimens telah diberikan. Peran

yang pasti dari kortikosteroid pada TB spinal belum ada kecuali pada kasus spinal

arachnoiditis atau nonosseous spinal tuberculosis.33

Kombinasi OAT untuk 6-9 bulan dan operasi eksisi pada lesi dengan bone

grafting sama efektifnya dengan terapi OAT selama 18 bulan. Wang dkk,

menunjukkan pemberian kemoterapi OAT yang sangat singkat, kurang dari 6 bulan

telah dilaporkan sama efektifnya dengan terapi OAT standart apabila dikombinasi

dengan eksisi parsial anterior dari vertebra patologis, large iliac strut graft, dan

fiksasi instrumental internal anterior atau posterior. Setelah 4-6 minggu terapi,

gejala TB dan nyeri tulang belakang membaik pada hampir keseluruhan pasien.

Selain itu, Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) dan C Reactive Protein (CRP)

juga menurun. ESR dan CRP merupakan parameter yang cocok untuk

mengevaluasi respon terapi dan prognosis dari TB spinal. Terapi medikamentosa

sendiri bahkan dapat memperbaiki defisit neurologis. Jadi, operasi bukan

merupakan pilihan terapi utama pada semua kasus.

I. Komplikasi

34
1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan

ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus

intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga

langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa

(contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon

baik (berbeda dengan kondisiparalisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat

membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan

corda spinalis.

2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam

pleura. dari injeksi steroid bervariasi yaitu sekitar 3%-35% kasus.

J. Prognosis

Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan

kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta

terapi yang diberikan.

a. Mortalitas

Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan

ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan

patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).

b. Relaps

Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen

medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.

c. Kifosis

35
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara

signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau

kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.

d. Defisit neurologis

Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara

spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik

dengan dilakukannya operasi dini.

e. Usia

Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa

f. Fusi

Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan permanen

spondilitis tuberkulosa.

36
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Ny. N

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 65 tahun

Bangsa : Indonesia

Suku : Banjar

Agama : Islam

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Tidak bekerja

Alamat : Pekapuran B Laut, Gg Makmur

Tanggal diperiksa : 17 Desember 2019 (09.00 wita)

Tanggal MRS : 11 Desember 2019

II. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama : Nyeri tulang belakang

2. Keluhan yang berkaitan dengan keluhan utama: Nyeri menjalar sampai ke

kaki

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tulang belakang. Nyeri pada

tulang belakang dirasakan sejak 2 bulan SMRS. Nyeri dirasakan muncul perlahan-

37
lahan, dan memberat 2 minggu SMRS. Nyeri dirasakan menjalar ke bawah ke

bagian kaki. Saat pasien bergerak atau berubah posisi, nyeri terasa memberat, saat

pasien istirahat kadang-kadang nyeri agak berkurang. 2 bulan SMRS awalnya

pasien merasakan nyeri pada tulang belakang, sehingga katanya nyeri pada saat

berjalan sehingga pasien harus berjalan sambil berpegangan, 1 bulan SMRS pasien

mengatakan bahwa nyeri semakin memberat sampai-sampai pasien tidak sanggup

berjalan. Sehingga pasien harus dibopong oleh anak pasien apabila ingin ke kamar

mandi. Pasien sudah tirah baring kurang lebih selama 1 bulan. Pasien juga

mengeluhkan rasa demam ringan, lemas terus menerus, nafsu makan yang

menurun, serta badan yg terasa semakin kurus (baju dirasakan semakin longgar)

dalam 1 bulan terakhir. Batuk lama disangkal, namun pasien pernah batuk selama

1 minggu dan sembuh setelah minum obat batuk. Sesak (-) nyeri dada (-)

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sebelumnya tidak memiliki keluhan yang sama, riwayat stroke

sebelumnya tidak ada.

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak menderita keluhan yang sama, riwayat hipertensi dan

diabetes melitus dalam keluarga disangkal. Namun adik pasien memiliki riwayat

penyakit paru, dan meninggal karena penyakit tersebut (riwayat batuk lama)

6. Faktor Risiko

Pasien sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga yang mengerjakan semua

pekerjaan rumah sendiri, termasuk mengangkat-angkat cucian ke loteng.

7. Intoksikasi

38
Tidak ditemukan riwayat keracunan obat, zat kimia, makanan dan minuman.

8. Keadaan Psikososial

Pasien di rumah tinggal bersama kedua anaknya, ventilasi rumah baik. MCK

berasal dari air ledeng. Air minum dari air galon. Jarak dengan rumah tetangga

dekat. Hubungan dengan tetangga baik.

III. STATUS INTERNA SINGKAT

Keadaan Umum : Keadaan sakit : tampak sakit sedang

Tensi : 140/60 mmHg

Nadi : 71 kali /menit

Respirasi : 16 kali/menit

Suhu : 36,8oC

SpO2 : 99% tanpa sup O2

Kepala/Leher :

- Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ptosis (-/-)

- Mulut : Mukosa bibir basah

- Leher : JVP dalam batas normal, KGB tidak membesar

Thoraks

- Pulmo : Bentuk dan pergerakan simetris, suara napas vesikuler,

wheezing dan ronki tidak ada.

- Cor : BJ I/II teratur, tidak ada bising

Abdomen : Hepar dan lien tidak teraba, perkusi timpani, bising usus

normal

39
Ekstremitas : Edema Plegi Akral hangat
D S D S D S
- - - - + +
- - - - + +

STATUS PSIKIATRI SINGKAT

Emosi dan Afek : eutym

Proses Berfikir : baik

Kecerdasan : baik

Penyerapan : baik

Kemauan : baik

Psikomotor : normoaktif

NEUROLOGIS

A. Kesan Umum:

Kesadaran : Kompos mentis, GCS E4V5M6

Pembicaraan : Disartri : (-)

Monoton : (-)

Scanning : (-)

Afasia : Motorik : (-)

Sensorik : (-)

Anomik : (-)

Konduksi : (-)

Kepala:

Besar : Normal

40
Asimetri : (-)

Sikap paksa : (-)

Tortikolis : (-)

Muka:

Mask/topeng : (-)

Miophatik : (-)

Fullmooon : (-)

B. Pemeriksaan Khusus

1. Rangsangan Selaput Otak

Kaku kuduk : (-)

Kernig : (-)/(-)

Laseque : (-)/(-)

Bruzinski I : (-)/(-)

Bruzinski II : (-)/(-)

2. Saraf Otak

Kanan Kiri

N. Olfaktorius

Hyposmia (-) (-)

Parosmia (-) (-)

Halusinasi (-) (-)

41
N. Optikus Kanan Kiri

Visus 6/6 6/6

Yojana Penglihatan normal normal

Funduskopi tdl tdl

N. Occulomotorius, N. Trochlearis, N. Abducens

Kanan Kiri

Kedudukan bola mata tengah tengah

Pergerakan bola mata ke

Nasal : Normal Normal

Temporal : Normal Normal

Atas : Normal Normal

Bawah : Normal Normal

Temporal bawah : Normal Normal

Eksopthalmus : - -

Celah mata (Ptosis) : - -

Pupil

Bentuk bulat bulat

Lebar 3mm 3mm

Perbedaan lebar isokor isokor

Reaksi cahaya langsung (+) (+)

Reaksi cahaya konsensual (+) (+)

Reaksi akomodasi (+) (+)

Reaksi konvergensi (+) (+)

42
N. Trigeminus

Kanan Kiri

Cabang Motorik

Otot Maseter Normal Normal

Otot Temporal Normal Normal

Otot Pterygoideus Int/Ext Normal Normal

Cabang Sensorik

I. N. Oftalmicus Normal Normal

II. N. Maxillaris Normal Normal

III. N. Mandibularis Normal Normal

Refleks kornea Normal Normal

N. Facialis

Kanan Kiri

Waktu Diam

Kerutan dahi sama tinggi

Tinggi alis sama tinggi

Sudut mata sama tinggi

Lipatan nasolabial sama tinggi

Waktu Gerak

Mengerutkan dahi sama tinggi

Menutup mata (+) (+)

Bersiul normal

Memperlihatkan gigi sama tinggi

43
Pengecapan 2/3 depan lidah normal

Sekresi air mata normal

Hyperakusis (-) (-)

N. Vestibulocochlearis

Vestibuler

Vertigo : (-)

Nystagmus : (-)

Tinitus aureum : Kanan: (-) Kiri : (-)

Cochlearis

Mendengar suara bisikan normal normal

Tes Rinne tdl tdl

Tes Wibber tdl tdl

Tes Swabach tdl tdl

N. Glossopharyngeus dan N. Vagus

Bagian Motorik:

Suara : normal

Menelan : normal

Kedudukan arcus pharynx : normal/normal

Kedudukan uvula : di tengah

Pergerakan arcus pharynx : normal

Detak jantung : normal

44
Bising usus : normal

Bagian Sensorik:

Pengecapan 1/3 belakang lidah : normal

Refleks muntah: (+)

Refleks palatum mole: (+)

N. Accesorius

Kanan Kiri

Mengangkat bahu normal normal

Memalingkan kepala normal normal

N. Hypoglossus

Kedudukan lidah waktu istirahat : ditengah

Kedudukan lidah waktu bergerak : simetris

Atrofi : tidak ada

Kekuatan lidah menekan : kuat/kuat

Fasikulasi/Tremor pipi (kanan/kiri) : -/-

3. Sistem Motorik

Kekuatan Otot

Tubuh : Otot perut : normal

Otot pinggang : normal

Kedudukan diafragma : Gerak : normal

Istirahat : normal

Lengan (Kanan/Kiri)

M. Deltoid : 5/5

45
M. Biceps : 5/5

M. Triceps : 5/5

Fleksi sendi pergelangan tangan : 5/5

Ekstensi sendi pergelangan tangan : 5/5

Membuka jari-jari tangan : 5/5

Menutup jari-jari tangan : 5/5

Tungkai (Kanan/Kiri)

Fleksi artikulasio coxae : 5/5

Ekstensi artikulatio coxae : 5/5

Fleksi sendi lutut : 5/5

Ekstensi sendi lutut : 5/5

Fleksi plantar kaki : 5/5

Ekstensi dorsal kaki : 5/5

Gerakan jari-jari kaki : 5/5

Besar Otot :

Atrofi :-

Pseudohypertrofi :-

Respon terhadap perkusi : normal

Palpasi Otot :

Nyeri :-

Kontraktur :-

Konsistensi : Normal

46
Tonus Otot :

Lengan Tungkai

Kanan Kiri Kanan Kiri

Hipotoni - - - -

Spastik - - - -

Rigid - - - -

Rebound - - - -

phenomen

Gerakan Involunter

Tremor : Waktu Istirahat : -/-

Waktu bergerak : -/-

Chorea : -/-

Athetose : -/-

Balismus : -/-

Torsion spasme : -/-

Fasikulasi : -/-

Myokimia : -/-

Koordinasi :

Telunjuk kanan – kiri normal

Telunjuk-hidung normal

Gait dan station tdl

4. Sistem Sensorik

Kanan/kiri

47
Rasa Eksteroseptik

 Rasa nyeri superfisial : parastesia superior dextra

 Rasa suhu : tidak dilakukan

 Rasa raba ringan : normal/normal

Rasa Proprioseptik

 Rasa getar : tdl

 Rasa tekan : normal/normal

 Rasa nyeri tekan : parastesi superior dextra

 Rasa gerak posisi : normal/normal

Rasa Enteroseptik

 Refered pain : lengan bawah-tangan kanan

Fungsi luhur

 Apraxia : Tidak ada

 Alexia : Tidak ada

 Agraphia : Tidak ada

 Fingerognosis : Tidak ada

 Membedakan kanan-kiri : Tidak ada

 Acalculia : Tidak ada

5. Refleks-refleks

Reflek kulit

Refleks kulit dinding perut : Normal

Refleks cremaster : Tidak dilakukan

Refleks gluteal : Tidak dilakukan

48
Refleks anal : Tidak dilakukan

Refleks Tendon/Periosteum (Kanan/Kiri):

 Refleks Biceps : +/++

 Refleks Triceps : +/++

 Refleks Patella : ++/++

 Refleks Achiles : ++/++

Refleks Patologis :

Tungkai

Babinski : -/- Chaddock : -/-

Oppenheim : -/- Gonda : -/-

Gordon : -/- Schaffer : -/-

Lengan

Hoffmann-Tromner : -/-

Reflek Primitif : Grasp (-)

Snout (-)

Sucking (-)

Palmomental (-)

6. Susunan Saraf Otonom

 Miksi : inkontinensi (-)

 Defekasi : konstipasi (-)

 Sekresi keringat : normal

 Salivasi : normal

 Ggn tropik : Kulit, rambut, kuku : (-)

49
7. Columna Vertebralis

Kelainan Lokal

 Skoliosis : tidak ada

 Khypose : tidak ada

 Khyposkloliosis : tidak ada

 Gibbus : tidak ada

Gerakan Servikal Vertebra

 Fleksi : normal

 Ekstensi : normal

 Lateral deviation : normal

 Rotasi : normal

Gerak Tubuh: tidak dapat dilakukan

 Tes kompresi (+)

 Tes distraksi (+)

 Tes Valsava (-)

 Tes Romberg (+) mata tertutup jatuh ke kanan

8. Pemeriksaan Tambahan

Belum dilakukan pemeriksaan tambahan

Kesimpulan : Susp HNP setinggi Vertebra Cervical 6-8

50
RESUME

1. ANAMNESIS:

Keluhan kebas(+) nyeri (+) pada lengan kanan mulai lengan bawah sampai

tangan. Tegang(+) pada kepala kanan sampai pundak kanan.nyeri (+) tangan

kanan. Pusing(+) Riwayat hipertensi (-), stroke (-) diabetes mellitus (-) riwayat

konsumsi alkohol (-), konsumsi narkotika atau obat obatan (-) kebiasaan

membungkuk saat bekerja. RPK: (-)

2. PEMERIKSAAN

Interna

Kesadaran : Delirium, GCS E4 V5 M6

Tekanan darah : 140/60 mmHg

Nadi : 71 kali /menit

Respirasi : 16 kali/menit

Suhu : 36,8oC

Spo2 : 99% (dgn O2 2lpm NRM)

Kepala/Leher : tidak ada kelainan

Thorax : tidak ada kelainan

Abdomen : tidak ada kelainan

Ekstremitas : tidak ada kelainan

Status psikiatri :tidak ada kelainan

Status Neurologis
51
 Kesadaran : Composmentis GCS 4-5-6

 Pupil isokor, diameter 3/3mm refleks cahaya +/+,

 Rangsang selaput otak: tidak normal, kaku kuduk (+)

 Saraf kranialis: tidak ada defisit neurologis

 Motorik: lengan 5/5, tungkai 5/5

 Tonus: Lengan :normal/normal, Tungkai : normal/normal

 Sensorik: Monoparastesia superior dextra

 Reflek fisiologis BPR : +/++, TPR: +/++,

KPR : +/++, APR : +/+

 Refleks patologis : Babinski: -/- Chaddock: -/- Oppenheim : -/- Gonda : -/-

Gordon : -/- Schaffer : -/-

 Susunan saraf otonom :tidak ada kelainan

 Columna Vertebralis : tidak ada kelainan

3. DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis : Monoparastesia superior dextra

Diagnosis Topis : Susp. lesi setinggi vertebra cervical V- Thorakal I

Diagnosis Etiologis : Susp. Hernia Nukleus Palposus

1. PENATALAKSANAAN

Non farmakologi:

Edukasi untuk menghindari menghindari beban berlebih dan hindari

pemakaian bantal tinggi.

Farmakologi :

- Po. Gabapentin 2x100 mg


52
- Po. Ketorolac 3x30 mg

- Po. Mecobalamin 2x1 gr

- Po. Flunarizine 3x5 mg

2. PROGNOSIS

 Death : dubia ad bonam

 Disease : dubia ad malam

 Disability : dubia ad bonam

 Discomfort : dubia ad bonam

 Dissatisfaction : dubia ad bonam

53
BAB IV

DISKUSI KASUS

Telah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan pada pasien di RSUD Ansari

Saleh Banjarmasin atas nama Ny. N, usia 47 tahun, dari anamnesis didapatkan

keluhan kebas pada lengan sampai jari tangan kanan 1 bulan SMRS, disertai rasa

nyeri berdenyut ,tegang terutama pada kepala kanan sampai pundak kanan. Kebas

juga dikeluhkan pada lengan kiri yang muncul sejak 3 hari SMRS. Riwayat trauma

(-) jatuh (-) hipertensi (-), Diabetes Melitus (-) Riwayat stroke (-), pasien merupakan

penanam sayur dengan posisi menanam membungkuk.

Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa penderita dengan kesadaran

compos mentis berada pada tingkat kesadaran (GCS 4-5-6). Dengan keluhan utama

kebas serta nyeri rasa tertusuk dan nyut-nyut yang terjadi perlahan-lahan, kekuatan

motorik 5 di extremitas superior et inferior dextra sinistra dengan rentang bebas,

sensoris menurun pada kedua extremitas superior terutama bagian dextra pars

media sampai distal. Pasien diperiksa nervus kranialis hasilnya tidak ada defisit

neurologis, pemeriksaan reflek fisiologis bisep trisep menurun pada extremitas

superior dextra, tidak ditemukan adanya refleks patologis pada saat pemeriksaan,

rangsang meningeal, pada saat dilakukan pemeriksaan berupa tes kompresi

didapatkan hasil(+), tes distraksi (+), tes valsava (-), dan tes keseimbangan berupa

tes Romberg dengan mata terbuka dan tertutup hasil (+) dan pasien jatuh kea rah

kanan. Pemeriksaan ini dilakukan atas indikasi kecurigaan terhadap adanya

kompresi pada struktur anatomi nukleus tulang belakang. Pada pasien dengan

33
keluhan rasa kebas disertai keluhan nyeri berdenyut curiga adanya suatu gangguan

pada saraf akibat penekanan nukleus palposus yang mengalami herniasi, bila saraf

sensoris kena maka akan memberikan gejala kesemutan atau rasa baal sesuai

dermatomnya.8,12

Beberapa pemicu terjadinya suatu kompresi sehingga menyebabkan

herniasi pada nukleus palposus adalah adanya beberapa faktor, pada pasien ini

resiko terjadinya HNP servikal dapat disebabkan karena kebiasaan postur yang

salah yaitu membungkuk, pada saat membungkuk, maka akan terjadi perubahan

pada struktur Annulus fibrosus sehingga mengalami perubahan akibat digunakan

terus menerus dan posisi postur yang salah. Selain disebabkan oleh kebiasaan

pasien, terdapat faktor yang tidak dapat dimodifikasi yaitu meningkatnya usia

sehingga mulai terjadi perubahan degeneratif yang mengakibatkan kurang lentur

dan tipisnya nukleus pulposus.8,12

Beberapa pengobatan yang diberikan pada pasien ini berupa nonfarmakologi

dan ofarmakologi, pengobatan farmakologi yaitu berupa edukasi berupa

Imobilisasi leher: Pada pasien dengan nyeri leher akut, imobilisasi leher jangka

pendek mungkin bermanfaat selama periode inflamasi akut , selain imobilisasi hal

lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi keluhan adalah dengan traksi yang

diharapkan dapat mengurangi gejala radikuler yang terkait dengan herniasi diskus.

Secara teoritis, traksi akan memperlebar neuroforamen dan menghilangkan tekanan

yang ditempatkan pada saraf yang terkena, yang, pada gilirannya, akan

menghasilkan perbaikan gejala. Terapi ini melibatkan menempatkan sekitar 8

34
hingga 12 lbs traksi pada sudut sekitar 24 derajat fleksi leher selama 15 hingga 20

menit.

Sedangkan beberapa pengonbatan farmakologi berupa pemberian obat-

obatan berupa pereda nyeri, dan vitamin saraf,. Obat yang diberikan adalah Po.

Gabapentin 2x100 mg Po. Ketorolac 3x30 mg, Mecobalamin 2x1 g, Flunarizine

3x5 mg,. Prinsip penanganan dari HNP adalah meringankan gejala berupa

pemberian obat analgesi, dapat smpai dengan pemberian analgesi untuk nyeri

moderat seperti pemberian gabapentin untuk mengobati nyeri neuropatik, dan dapat

memberikan efek analgesik moderat.15,16,17

35
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan seorang pasien yang datang ke poli saraf RS Moch. Ansari

Saleh atas nama Ny. N usia 47 th dengan keluhan kebas dan nyeri pada lengan

kanan dan kebas pada tangan kiri. Setelah dilakukaan anamnesis dan pemeriksaan

fisik mendukung ke arah diagnosis HNP cervical. Pasien mendapatkan terapi non-

farmakologi berupa edukasi dan beberapa terapi farmakologi. Untuk penegakan

diagnosis HNP servikal pada pasien ini maka perlu dilakukan beberapa

pemeriksaan penunjang lanjutan seperti foto polos servikal atau MRI.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Umar Fatimah,dkk.Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis.


Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2005.

2. Raka Janitra, Zuwanda. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis


Tuberkulosis. CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013.

3. Aditama Y. T., Kamao S., Baari C., Surya A. Tuberkulosis dan


Permasalahannya. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2
Cetakan Pertama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 2009; 3.

4. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2007. Badan


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta :
2008; xiii.

5. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan


Rehabilitasi FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr.
Ciptomangunkusumo. 2002.

6. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (Tb). Menteri Kesehatan Republik


Indonesia. Nomor 364/menkes/sk/v/2009.

7. Tandiyo DK, 2010. Pott’s Disease. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas


Sebelas Maret. Diunduh pada tanggal 15 Mei 2015. Tersedia pada:
http://desy.tandiyo.staff.uns.ac.id/files/2010/07/ potts-disease.pdf.

8. Snell, R.S., 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC.

9. Rizzo, D.C., 2001. Delmar’s Fundamental of Anatomy and Physiology. USA:


Thomson learning.

10. Premkumar, K., 2004. Anatomy and Physiology. USA: Lippincott Williams &
Wilkins.
11.

37

Anda mungkin juga menyukai