Anda di halaman 1dari 28

Tinjauan Kepustakaan

Tenggelam

Oleh :

Wulan Syafitri, S.Ked

NIM. 1830912320114

Pembimbing :

dr. Nila Nirmalasari, M.Sc, Sp.F

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN DAN KEHAKIMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

Juli, 2020
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ........................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 6

BAB III PENUTUP......................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................27

ii
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dunia, secara umum sekitar 500.000 orang tenggelam setiap tahunnya.

Kematian terjadi 32,8/100 korban tenggelam.1 Secara global, tenggelam adalah

penyebab utama ketiga cedera kematian yang tidak disengaja dan menyumbang

hampir 4000 kematian per tahun di Amerika Serikat, di mana peringkatnya adalah

jenis kematian paling umum kesepuluh karena cedera.2

Setiap hari, lebih dari 40 orang kehilangan nyawanya akibat tenggelam,

baik itu anak-anak yang tergelincir ke dalam kolam renang tanpa disadari, orang

dewasa yang berenang dibawah pengaruh alkohol atau obat-obatan dan

masyarakat yang dilanda banjir. Lebih dari 90% kematian akibat tenggelam

terjadi di negara dengan pendapatan rendah dan sedang. Kejadian ini terus

meningkat, sehingga kasus tenggelam menjadi salah satu dari 10 penyebab utama

kematian di seluruh dunia. Anak-anak yang berusia dibawah 5 tahun beresiko

tinggi mengalami tenggelam jika tidak mendapatkan pengawasan yang ketat oleh

pendamping mereka. Laki-laki cenderung memiliki resiko tenggelam dua kali

lipat dibanding wanita, dimana rata-rata dari korban berusia dibawah 25 tahun.3

Tenggelam merupakan salah satu jenis asfiksia yang disebabkan masuknya

cairan kedalam saluran pernapasan.4 Kematian akibat tenggelam merupakan salah

satu hal yang sulit di diagnosis dibidang ilmu kedokteran forensik, terutama bila

korban yang ditemukan sudah dalam keadaan membusuk. 5,6 Pada keadaan
4
membusuk pemeriksaan seringkali tidak menunjukkan tanda yang khas. Diagnosis

tenggelam dapat dicapai setelah mempertimbangkan semua hasil pemeriksaan

forensik meliputi pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, dan laboratorium.4,5

Menurut World Health Organization (WHO) 0,7% dari seluruh kematian

didunia atau lebih dari 500.000 kematian setiap tahun disebabkan karena

tenggelam.7 Pada tahun 2004 diseluruh dunia terdapat 388.000 orang meninggal

karena tenggelam, angka ini menempati urutan ke-3 kematian didunia akibat

cedera tidak disengaja dan menurut Global Burden of Disease (GBD) bahwa

angka tersebut sebenarnya lebih kecil dibanding seluruh kematian akibat

tenggelam yang disebabkan oleh banjir, kecelakaan transportasi laut, dan bencana

lainnya.8

Secara umum 90% kasus tenggelam terjadi di air tawar (danau, sungai,

kolam) dan 10% terjadi di air laut. Tenggelam di dalam cairan lain jarang terjadi

dan biasanya merupakan kecelakaan kerja. 9 Anak laki-laki disebutkan 2-4 kali

lebih sering mengalami kejadian tenggelam dibandingkan dengan anak

perempuan.10 Hal ini disebabkan karena laki-laki lebih sering mengalami paparan

dengan air seperti berenang sendiri, mengkonsumsi alkohol sebelum berenang dan

berperahu.8

Tenggelam pada umumnya merupakan kecelakaan, baik kecelakaan secara

langsung maupun tenggelam yang terjadi oleh karena korban dalam keadaan

mabuk, berada di bawah pengaruh obat atau pada mereka yang terserang epilepsi.

Pembunuhan dengan cara menenggelamkan jarang terjadi, korban biasanya bayi

atau anak-anak. Pada orang dewasa dapat terjadi tanpa sengaja, yaitu korban

sebelumnya dianiaya, disangka sudah mati, padahal hanya pingsan. Untuk


5
menghilangkan jejak korban dibuang ke sungai, sehingga mati karena tenggelam.

Bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri juga merupakan peristiwa yang

jarang terjadi. Korban sering memberati dirinya dengan batu atau besi, baru

kemudian terjun ke air.11

Kondisi drowning memiliki banyak tantangan untuk dibuktikan dalam

pendekatan patologi forensik, dalam menentukan sebab, serta cara kematian

jenazah. Dalam menentukan cara kematian diperlukan pertimbangan terkoordinasi

terhadap keadaan-keadaan yang diduga pada kematian, bukti-bukti medis obyektif

yang ada, serta walaupun tidak mutlak spesifik, terdapat beberapa data konfirmatif

yang dapat dicari melalui pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, dan pemeriksaan

TKP yang dapat membantu menemukan cara kematian jenazah korban tenggelam.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Tenggelam umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang mengakibatkan

gangguan pernafasan karena terbenam dalam cairan. Kematian akibat tenggelam

dapat terjadi dalam 24 jam setelah peristiwa akibat asfiksia. WHO (World Health

Organization) menetapkan hasil akhir tenggelam yang diklasifikasikan sebagai

meninggal, morbidititas dan tidak ada morbiditas.12

Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi cairan

ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke dalam

cairan, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan gangguan

fisiologi tubuh akibat tenggelam, tetapi tidak terjadi kematian. 13 Mekanisme lain

menyebutkan karena ketidakseimbangan elektrolit serum yang mempengaruhi

fungsi jantung (refleks kardiak) dan bisa juga disebabkan karena laringospasme

sebagai akibat refleks vagal.14

Tenggelam didefinikan sebagai proses terjadinya penurunan fungsi pernafasan

karena perendaman dalam cairan. Tenggelam diklasifikasikan sebagai tenggelam

dengan kematian, tenggelam dengan morbiditas, atau tenggelam tanpa morbiditas.15


7
B. EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi tenggelam bervariasi secara dramatis di seluruh dunia, tetapi

terutama lebih parah di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah.

Data AS melaporkan 4000 kematian karena tenggelam, 8000 dirawat di rumah sakit

dan 31.000 darurat kunjungan departemen (ED) per tahun untuk anak-anak ˂19

tahun.15

Ekstrapolasi dari data patologi forensik di Western Cape memberikan

perkiraan 4/100 000 tenggelam fatal per tahun, yang mirip dengan perkiraan WHO

untuk negara-negara berpenghasilan rendah di Afrika. Meski hanya diperkirakan 1

dari 4 kasus dilaporkan, Afrika memiliki tingkat tenggelam tertinggi didunia.15

Setiap tahun, sekitar 150.000 kematian di seluruh dunia akibat tenggelam

dilaporkan, dimana kejadian sebenarnya mungkin mendekati 500.000. Di Amerika

Serikat, tenggelam adalah penyebab utama kematian keenam karena kecelakaan

disegala usia dan penyebab utama kematian kedua pada anak-anak usia 1-14 tahun,

setelah kecelakaan kendaraan bermotor. Rata-rata 10 kematian akibat tenggelam

terjadi setiap harinya. Kasus tenggelam umumnya terjadi pada akhir minggu (40%)

saat musim panas antara bulan Mei hingga Agustus. Pada tahun 2005, 30% anak-

anak berusia 1-4 tahun meninggal karena tenggelam.16

C. KLASIFIKASI TENGGELAM

1. Berdasarkan Morfologi Penampakan Paru

Berdasarkan morfologi penampakan paru pada otopsi, tenggelam dibedakan

atas tenggelam kering (dry drowning), tenggelam tipe basah (wet drowning)18
8
a) Tipe kering (dry drowning)

Tenggelam tipe kering paling banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa

yang banyak di bawah pengaruh obat-obatan (hipnotik sedatif) atau alkohol,

dimana mereka tidak memperlihatkan kepanikan atau usaha penyelamatan diri

saat tenggelam. Selain itu, air tidak teraspirasi masuk ke traktus respiratorius

bawah atau ke lambung. Kematian terjadi secara cepat, merupakan akibat dari

refleks vagal yang dapat menyebabkan henti jantungatau akibat darispasme laring

karena masuknya air secara tiba-tiba ke dalam hidung dan traktus respiratorius

bagian atas.18

Beberapa faktor predisposisi kematian akibat dry drowning seperti

intoksikasi alkohol (mendepresi aktivitas kortikal), adanya penyakit yang

sebelumnya (seperti aterosklerosis), kejadian tenggelam/ terbenam secara tak

terduga/ mendadak, ketakutan atau aktivitas fisik berlebih (peningkatan sirkulasi

katekolamin, disertai kekurangan oksigen, dapat menyebabka cardiac arrest).18

b) Tipe basah (wet drowning)

Pada tenggelam tipe basah (wet drowning) terjadi aspirasi cairan. Aspirasi

1-3 ml/kgBB air akan signifikan dengan berkurangnya pertukaran udara. Aspirasi

air sampai paru menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru. Air tawar

bergerak dengan cepat ke membran kapiler alveoli. Surfaktan menjadi rusak

sehingga menyebabkan ninstabilitas alveoli, atelektasis, dan menurunnya

kemampuan paru untuk mengembang.18

Pada wet drowning, yang mana terjadia inhalasi cairan, korban menahan

nafas karena peningkatan CO2 dan penurunan kadar O2 terjadi megap-megap.

Dapat terjadi regurgitasi dan aspirasi isi lambung kemudian adanya laringospasme
9
yang diikuti dengan pemasukan air. Setelah itu, korban kehilangan kesadaran dan

terjadi apneu. Penderita kemudian megap-megap kembali, bisa sampai beberapa

menit diikuti kejang-kejang. Penderita akhirnya mengalami henti nafas dan

jantung.18

2. Berdasarkan Lokasi Tenggelam

Jika ditinjau berdasarkan jenis air tempat terjadinya tenggelam, maka dapat

dibedakan menjadi tenggelam di air tawar dan tenggelam di air asin

a. Air Tawar

Air tawar akan dengan cepat diserap dalam jumlah besar, sehingga terjadi

hemodilusi yang hebat sampai 72% yang berakibat terjadinya hemolisis. Oleh

karena terjadi perubahan biokimiawi yang serius, dimana kalium dalam plasma

meningkatdan natrium berkkurang, juga terjadi anoksiayang hebat pada

miokardium. Hemodilusi menyebabkan cairan dalam oembuluh darah atau

sirkulasi, menjadi berlebihan sehingga terjadi penurunan tekanan sistol dan dalam

waktu beberapa menit terjadi fiberilasi ventrikel. Jantung untuk beberapa saat

masih berdenyut dan lemah, terjadi anoksia serebri yang hebat yang dapat

mejelaskan mengapa kematian terjadi dengan cepat.19

b. Air asin

Pada tenggelam di air laut terjadi pertukaran eletrolit dari air asin ke darah

sehingga mengakibatkan peningkata natirum plasma, air akan ditarik dari sirkulasi

pulmoinal ke dalam jaringan interstitial paru yang akan menimbulkan edema

pulmo yang hebat dalam waktu yang singkat dna peningkatan hematokrit

(hipovolemiia). Peningkatan viskositas darah (hemokonsentrasi) menyebabkan


10
sirkulasi aliran darah menjadi lambat dan anoksia pada miokardium yang

menimbulkan payah jantung dan kematian terjadi kuurang lebih 8-9 menit setelah

tenggelam.20

D. PATOFISIOLOGI

Proses tenggelam diawali ketika jalan nafas berada di bawah permukaan air.

Awalnya, seseorang yang tenggelam akan berusaha untuk menahan nafas, sebagai

usaha proteksi dari aspirasi. Usaha volunter ini biasanya bertahan selama 30 detik

sampai 1 menit dan selanjutnya diikuti oleh inspirasi involunter.21 Hal ini

menyebabkan air masuk jalan nafas yang diikuti dengan laringospasme, kemudian

terjadi hipoksia, yang menyebabkan apnea, penurunan kesadaran, lalu relaksasi

laring dan airpun masuk ke dalam paru-paru dalam jumlah banyak sehingga

terjadi asfiksia dan kematian.

Perubahan hemodinamik pada korban tenggelam diawali pada saat korban

mengalami hipoksia. Pada keadaan penurunan transpor oksigen, terjadi

peningkatan kompensasi ambilan oksigen untuk menyokong metabolisme aerob.

Oleh karena itu, sel harus bekerja secara anaerob untuk menghasilkan ATP

(adenosine triphospate), yang mengakibatkan pembentukan laktat dan H+ , yang

disebut dengan asidosis laktat.24 Pada keadaan hipoksia, denyut nadi dan tekanan

darah meningkat karena jantung memompa lebih kuat untuk mendapatkan lebih

banyak oksigen. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen otot

jantung, sedangkan ketersediaan oksigen selama hipoksia menurun, sehingga

dapat terjadi iskemia jantung dan angina.25


11
Hipotermia juga kerap terjadi pada kasus tenggelam, terutama kasus

tenggelam pada air dingin, yang akan mempercepat proses hipotermia. Setiap

penurunan 10C dari suhu inti tubuh, akan menyebabkan penurunan aliran darah

ke otak hingga 6-7%.24 Keadaan hipoksia, asidosis laktat dan hipotermia akan

menyebabkan disfungsi kardiovaskular, yaitu diantaranya gangguan ritme

jantung, gagal jantung hingga henti jantung.25

Pada korban tenggelam di air dingin, akan terjadi refleks menyelam, yang

ditandai dengan bradikardia, penurunan curah jantung, vasokonstriksi pembuluh

darah, peningkatan tekanan darah dan penurunan aliran darah pada pembuluh

darah perifer. Refleks menyelam adalah pola respirasi, jantung dan respon

vaskuler yang dipicu oleh penahanan nafas saat tenggelam. Respon bradikardia

timbul akibat 5 kondisi apnea dan kontak langsung dari wajah dan seluruh tubuh

dengan air dingin. Respon bradikardia oleh karena kondisi apnea, bervariasi pada

sebagian individu, dimana penurunan nadi umumnya berkisar antara 15% sampai

40%. Bradikardia dapat dicegah dengan premedikasi dengan atropin.24,25

Peningkatan tekanan darah juga bervariasi pada sebagian individu. Refleks

menyelam berpotensi untuk menyimpan oksigen dan memperpanjang onset untuk

terjadinya kerusakan hipoksia yang serius dengan beberapa cara. Vasokonstriksi

pada pembuluh darah dihubungkan dengan proses redistribusi aliran darah, yang

dapat menyimpan oksigen untuk organ vital, seperti jantung dan otak. Bradikardia

dapat menurunkan kebutuhan oksigen pada miokardium dan meningkatkan

perfusi koroner. Oleh karena itu, refleks menyelam dianggap sebagai mekanisme

pertahanan yang penting. Akan tetapi, refleks menyelam juga dapat menimbulkan
12
efek negatif. Pada individu dengan kondisi apnea obstruktif, respon bradikardia

terkadang diikuti dengan henti jantung. Terlebih lagi, peningkatan tekanan darah

yang dihasilkan dari aktivasi sistem simpatis dapat meningkatkan resiko

terjadinya penyakit jantung koroner. Pada orang tua, tenggelam menyebabkan

peningkatan isi sekuncup tanpa peningkatan detak jantung, yang menghasilkan

peningkatan tekanan darah.24,25

E. MEKANISME TENGGELAM

Mekanisme kematian pada korban tenggelam dapat berupa asfiksia akibat

spasme laring, asfiksia karena garggling dan choking, refleks vagal, fibrilasi

ventrikel (air tawar) dan edema pulmoner (dalam air asin)26

1. Refleks vagal

Kematian terjadi sangat cepat dan pada pemeriksaan post mortem tidak

ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia ataupun air di dalam parunya sehingga sering

disebut tenggelam kering (dry drowning).26

2. Spasme laring

Spasme laring disebabkan karena rangsangan air, terutama air dingin, yang

masuk ke laring. Pada pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-tanda

asfiksia, tetapi parunya tidak didapati adanya air atau benda air.18

3. Pengaruh air yang masuk paru

Hipoksia dan asidosis serta efek multiorgan dari proses ini yang menyebabkan

morbiditas dan mortalitas pada tenggelam. Kerusakan sistem saraf pusat dapat terjadi

karena hipoksemia yang terjadi karena tenggelam (kerusakan primer) atau dari
13
27
aritmia, gangguan paru atau disfungsi multiorgan.

F. MANIFESTASI KLINIS

Pada pemeriksaan fisik, kasus tenggelam dengan hipoksia ringan

ditemukan peningkatan nadi, tekanan darah dan laju pernafasan sedangkan pada

kasus tenggelam dengan hipoksia berat, tanda-tanda vital dapat menurun, bahkan

tidak ada. Hipotermia kerap ditemui pada korban tenggelam, khususnya di air

dingin yang ditandai dengan kulit yang dingin, lembab, pucat dan sianosis. Hasil

EKG (elektrokardiografi) sering menunjukkan iskemia, sinus takikardia atau

bradikardia, fibrilasi ventrikel atau asistol. Fibrilasi atrium dapat terlihat pada

keadaan hipotermia. Pada pemeriksaan analisa gas darah dapat ditemui keadaan

asidosis, hipoksia dan hiperkapnia. Bukti adanya hemolisis, rabdomiolisis,

kerusakan organ, seperti gagal ginjal akut, dapat dilihat beberapa jam atau hari

setelah kejadian tenggelam, dengan gejala nyeri pada abdomen, anoreksia,mual

dan poliuria.1

G. PEMERIKSAAN PADA JENAZAH

Pemeriksaan mayat yang dilakukan harus seteliti mungkin agar mekanisme

kematian dapat ditentukan karena seringkali mayat ditemukan sudah membusuk. Hal

yang perlu diperhatikan adalah : 20

1. Menentukan identitas korban

Identitas korban dapat ditentukan dengan memeriksa antara lain:


14
a. Pakaian dan benda-benda milik korban.

b. Warna, distribusi rambut, dan identitas lain.

c. Kelainan atau deformitas dan jaringan parut.

d. Sidik jari.

e. Pemeriksaan gigi.

f. Teknik identifikasi lain.

2. Apakah korban masih hidup sebelum tenggelam

Pada mayat yang masih segar untuk menentukan korban masih hidup atau

sudah meninggal pada saat tenggelam dapat diketahui dari hasil pemeriksaan

a. Metode yang digunakan apakah orang masih hidup saat tenggelam ialah

pemeriksaan diatom. Metode ini bukan tanda pasti karena pada paru seorang

penyelam bisa jadi juga didapatkan diatom dalam parunya. Untuk mendapatkan

diatom pada organ selain paru dibutuhkan proses tengggelam dalam keadaan

hidup dan dalam waktu yang lama.

b. Untuk membantu menentukan diagnosis, dapat dibandingkan kadar elektrolit

magnesium darah dari bilik jantung kiri dan kanan.

c. Benda asing dalam paru dan saluran pernafasan mempunyai nilai yang

menentukan pada mayat yang terbenam selama beberapa waktu dan mulai

membusuk. Demikian pula dengan isi lambung dan usus.

d. Pada mayat yang segar, adanya air dalam lambung dan alveoli yang secara fisik

dan kimia sama dengan air tempat korban tenggelam mempunyai nilai yang

bermakna.

e. Pada beberapa kasus, ditemukan kadar alkohol tinggi dapat menjelaskan bahwa

korban sedang dalam keracunan alkohol pada saat masuk ke dalam air.
15
3. Penyebab kematian yang sebenarnya dan jenis drowning

Pada mayat yang segar, gambaran pasca-mati dapat menunjukkan tipe

drowning dan juga penyebab kematian lain seperti penyakit, keracunan atau

kekerasan lain.

Pada kecelakaan di kolam renang benturan ante-mortem (antemortem impact)

pada tubuh bagian atas, misalnya memar pada muka, perlukaan pada vertebra

servikalis dan medula spinalis dapat ditemukan.

4. Faktor- faktor yang berperan dalam proses kematian

Faktor- faktor yang berperan dalam dalam proses kematian, misalnya

kekerasan, alkohol atau obat-obatan dapat ditemukan pada pemeriksaan luar atau

bedah jenazah.

5. Tempat korban pertama kali tenggelam

Bila kematian korban berhubungan dengan masuknya cairan ke dalam saluran

pernafasan, maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban ditemukan dapat

membantu menentukan apakah korban tenggelam di tempat itu atau di tempat lain.

6. Apakah ada penyulit alamiah lain yang mempercepat kematian.

a. Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup pada masuk ke dalam air.

Maka perlu ditentukan apakah kematian disebabkan karena air masuk ke dalam

saluran pernafasan (tenggelam). Pada kasus immersion, kematian terjadi dengan

cepat, hal ini mungkin disebabkan oleh sudden cardiac arrest yang terjadi pada

waktu cairan melalui saluran napas atas. Beberapa korban yang terjun dengan

kaki terlebih dahulu menyebabkan cairan dengan mudah masuk ke hidung.

Faktor lain adalah keadaan hipersensitivitas dan kadang-kadang keracunan

alkohol.
16
b. Bila tidak ditemukan air dalam paru- paru dan lambung, berarti kematian terjadi

seketika akibat spasme glotis yang menyebabkan cairan tidak dapat masuk.

Korban yang tenggelam akan menelan air dalam jumlah yang makin lama

makin banyak, kemudian menjadi tidak sadar dalam 2-12 menit (fatal period).

Dalam periode ini, apabila korban dikeluarkan dari air, masih ada kemungkinan

dapat hidup bila upaya resusitasi berhasil.Waktu yang diperlukan untuk terbenam

dapat bervariasi tergantung dari keadaan sekeliling korban, keadaan masing-masing

korban, reaksi perorangan yang bersangkutan, keadaan kesehatan, dan jumlah serta

sifat cairan yang dihisap masuk ke dalam saluran pernapasan.

H. PEMERIKSAAN LUAR

Pemeriksaan luar jenazah yang dapat dijadikan petunjuk pada mati tenggelam

di air laut maupun air tawar adalah.28

a. Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur dan benda-

benda asing lain yang terdapat di dalam air, kalau seluruh tubuh terbenam

dalam air.

b. Schaumfilz froth merupakan busa halus pada hidung dan mulut. Teori

intravital menyebutkan Schaumfilz sebagai bagian dari reaksi intravital. Pada

waktu air memasuki trakea, bronkus, dan saluran pernapasan lainnya, maka

terjadi pengeluaran sekret oleh saluran tersebut. Sekret ini akan terdorong

keluar oleh udara pernapasan sehingga berbentuk busa mukosa

c. Mata setengah terbuka atau tertutup. Jarang terjadi perdarahan atau

bendungan.

d. Kutis anserina atau goose flesh merupakan reaksi intravital, jika kedinginan,

maka muskulus erektor pili akan berkontraksi dan pori-pori tampak lebih
17
jelas. Kutis anserina biasanya ditemukan pada kulit anterior tubuh terutama

ekstremitas. Gambaran seperti kutis anserina dapat juga terjadi karena rigor

mortis pada otot tersebut.

e. Washer woman’s hand. Telapak tangan dan kaki berwarna keputihan dan

berkeriput yang disebabkan karena imbibisi cairan ke dalam kutis dan

biasanya membutuhkan waktu yang lama. Tanda ini tidak patognomomik

karena mayat yang lama dibuang ke dalam air akan terjadi keriput juga.

f. Cadaveric spasm, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu korban

berusaha menyelamatkan diri dengan cara memegang apa saja yang terdapat

dalam air.

g. Luka lecet akibat gesekan benda-benda dalam air. Luka lecet biasanya

dijumpai pada bagian menonjol, seperti kening, siku, lutut, punggung kaki

atau tangan. Puncak kepala mungkin terbentur pada dasar ketika terbenam,

tetapi dapat pula terjadi luka post-mortal akibat benda-benda atau binatang

dalam air.

h. Dapat ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia seperti sianosis, Tardieu spot.

Petekie dapat muncul pada kasus tenggelam, tetapi lebih sedikit daripada

gantung diri karena pada tenggelam tidak terjadi kematian secara mendadak

sehingga pecahnya kapiler tidak secara tiba-tiba atau hanya sedikit.

Pada mayat yang sudah membusuk, dapat ditemukan:

a. Mata melotot karena terbentuknya gas pembusukan.

b. Lidah tampak keluar karena gas pembusukan yang mendorong pangkal lidah.

Hal ini juga dapat terjadi pada mayat yang mengalami pembusukan di darat.
18
c. Muka menjadi hitam dan sembab yang disebut tite de negre (kepala orang

negro).

d. Pugilistic attitude

Posisi lutut dan siku sedemikian rupa sehingga kaki dan tangan tampak

membengkok (frog stand). Ini disebabkan cairan dan gas yang terbentuk pada

persendian.

e. Vena tampak jelas berwarna hijau sampai kehitam-hitaman karena terbentuk

FeS. Ini dapat juga terjadi pada orang yang mati di darat.

f. Pada laki-laki tampak skrotum membesar, mungkin terjadi prolaps atau

adanya gas pembusukan. Pada wanita hamil dapat keluar anak yang

dikandung.

Bila lebih membusuk lagi, kulit ari akan mengelupas sehingga warna kulit tidak

jelas, rambut lepas.

I. PEMERIKSAAN DALAM

Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat ditemukan busa halus dan benda

asing, seperti pasir atau tumbuhan air, dalam saluran pernapasan.20

Pada korban tenggelam di air tawar biasanya ditemukan dalam keadaan

besar atau menggelembung tetapi ringan, dan pinggir depan biasanya overlap di

depan hati. Namun, dapat ditemukan paru-paru yang biasa karena cairan tidak

masuk ke dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke aliran darah (melalui proses

imbibisi). Paru berwarna merah jambu pucat dan dapat mengalami emfisema.

Ketika paru tersebut dipindahkan dari dada, paru tetap mempertahankan bentuk

normalnya dan cenderung tidak kolaps. Ketika memotong paru yang mengalami
19
emfisema kering akan terdengar bunyi krepitasi yang mudah dinilai. Setelah

dipotong, masing-masing bagian paru mempertahankan bentuk normalnya seperti

sebelum dipotong dan cenderung berdiri tegak. Ketika jaringan dipotong dan

ditekan antara ibu jari dan keempat jari lainnya terdapat sedikit buih dan tidak ada

cairan dan gas, kecuali jika terdapat edema. Dengan demikian, paru tetap kering

pada kasus tenggelam di air tawar.20

Pada kasus tenggelam di air laut, paru-paru dapat ditemukan membesar

seperti balon, lebih berat, sampai menutupi jantung (Ilmu Kedokteran Forensik,

1997). Pada pengirisan terdapat banyak cairan, beratnya kadang melebihi 2.000

gram. Karena paru sangat edema maka tepi depan paru overlap di depan

mediastinum sehingga berbentuk seperti cetakan iga. Paru berwarna keunguan atau

kebiruan dengan permukaan mengkilap. Paru lembab dan konsistensinya seperti

agar-agar dan hilang dengan penekanan. Ketika paru dipindahkan dari tubuh dan

ditempatkan pada meja pemotongan, paru tidak mempertahankan bentuk normalnya

tapi cenderung datar. Ketika dipotong, tidak ada suara krepitasi yang terdengar dan

bahkan tanpa penekanan jaringan mengeluarkan banyak cairan. Jaringan paru

ditekan maka akan ditemukan paru dipenuhi cairan. Dengan demikian kasus

tenggelam di air laut paru mengalami lembab dan basah.20

Petekie yang sangat sedikit dapat ditemukan karena kapiler terjepit di antara

septum inter alveolar. Dapat ditemukan bercak-bercak perdarahan yang disebut

bercak Paltauf akibat robeknya penyekat alveoli (Polsin). Petekie subpleura dan

bula emfisema jarang ditemukan dan bukan merupakan tanda khas tenggelam,

tetapi sebagai usaha respirasi.20

Sedangkan untuk mengetahui benda-benda air yang masuk ke saluran


20
pernafasan dapat dibuktikan dengan membuka saliran pernafasan dari trakea,

bronkus sampai percabangan bronkus di hilus. Jika dari pemeriksaan ditemukan

benda-benda air seperti pasir, kerikil, lumpur, tumbuhan air dan lain-lain maka

dapat dipastikan bahwa korban masih hidup sebelum tenggelam.20

Organ lain seperti otak, ginjal, hati, dan limpa dapat mengalami

pembendungan. Lambung dan usus halus dapat sangat membesar, berisi air dan

lumpur.20

J. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Pemeriksaan Diatom

Diatom merupakan alga (ganggang) bersel satu dengan dinding sel yang

terbuat dari silikat yang tahan panas dan asam kuat. Diatom dapat ditemukan dalam

air tawar, air laut, air sungai, air sumur, dan udara. Diatom dan elemen plankton lain

masuk ke dalam saluran pernapasan atau pencernaan ketika seseorang tenggelam

menelan air. Kemudian diatom akan masuk ke dalam aliran darah melalui kerusakan

dinding kapiler pada waktu korban masih hidup dan tersebar ke seluruh jaringan. Di

sisi lain, jika sebuah mayat ditenggelamkan dalam air meskipun diatom dapat masuk

ke dalam paru-paru secara pasif, tidak ada aliran sirkulasi darah yang mungkin

terjadi, sehingga (secara teori) tidak mungkin ada diatom yang dapat ditemukan

pada organ-organ dalam yang lebih jauh.20

Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru mayat segar. Bila mayat

telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari jaringan ginjal, otot skelet

atau sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati dan limpa kurang
21
bermakna sebab berasal dari penyerapan abnormal dari saluran pencernaan

terhadap air minum atau makanan.20

Pemeriksaan diatom dengan metode destruksi (digesti asam) pada paru

dilakukan dengan mengambil dari jaringan perifer paru sebanyak 100 gram,

masukkan ke dalam labu Kjeldahl dan tambahkan asam sulfat pekat sampai

jaringan paru terendam, diamkan lebih kurang setengah hari agar jaringan hancur.

Kemudian dipanaskan dalam lemari asam sambil diteteskan asam nitrat pekat

sampai terbentuk cairan jernih, dinginkan dan cairan dipusing dalam centrifuge.20

Sedimen yang terbentuk ditambahkan dengan akuades, pusingkan kembali

dan akhirnya dilihat dengan mikroskop. Pemeriksaan diatom positif bila pada

jaringan paru ditemukan diatom cukup banyak, 4-5/LPB atau per 10-20 per satu

sediaan atau pada sumsum tulang cukup ditemukan hanya satu (Ilmu Kedokteran

Forensik, 1997).

Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan getah paru dengan cara permukaan

paru disiram dengan air bersih, lalu iris bagian perifer, ambil sedikit cairan perasan

dari jaringan perifer paru, taruh pada gelas obyek, tutup dengan kaca penutup dan

lihat dengan mikroskop. Selain diatom dapat pula terlihat ganggang atau tumbuhan

jenis lainnya.20
22

Gambar 1. Prinsip Tes Diatom.29

Menurut Simpson, bahwa tes diatom terkadang negatif, bahkan pada kasus-

kasus yang jelas-jelas tenggelam pada air yang banyak diatom dan telah banyak

hasil positif palsu yang dikatakan terjadi karena alasan teknis dari karena itu tes ini

jadi sangat tidak realibel sehingga teknik ini seharusnya dilakukan dan hasilnya

diinterpretasikan dengan pertimbangan keadaan lain.23

2. Pemeriksaan Elektrolit

Pada tahun 1921 Gettler mengemukakan bahwa penentuan ada tidaknya

klorida pada darah yang berasal dari ruang-ruang jantung adalah salah satu tes

yang baik yang dapat digunakan dalam mendiagnosis kasus tenggelam. Banyak

dari peneliti telah mengemukakan pandangan-pandangan yang berbeda tentang

validitas studi klorida dalam mendiagnosis kasus tenggelam. Pada tahun 1944

Moritz dan mengungkapkan pandangan bahwa perbedaan kadar klorida pada


23
sampel darah yang berasal dari ventrikel jantung kanan dan kiri dapat bernilai

diagnostik hanya jika analisa yang dilakukan adalah segera setelah terjadinya

kematian. Dia menetapkan bahwa perbedaan kadar klorida sekitar 17 mEq/L atau

lebih pada kasus tenggelam di air tawar dapat ditetapkan sebagai pendukung

penegakan diagnosis tenggelam.29

Menurut Gettler, pada kasus tenggelam di air tawar, kadar serum klorida di

darah yang berasal dari jantung kiri lebih rendah dari jantung sebelah kanan.

Sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya.25

Selain itu, tes lain, tes Durlacher juga dapat digunakan untuk menentukan

diagnosis selain tes Gettler. Tes Durlacher digunakan untuk menentukan

perbedaan dari berat jenis plasma dari jantung kanan dan kiri. Bila pada

pemeriksaan ditemukan berat jenis jantung kiri lebih tinggi dibandingkan dengan

jantung kanan, maka dapat diasumsikan bahwa korban meninggal akibat


28
tenggelam. Perbedaan kadar elektrolit lebih dari 10% dapat menyokong

diagnosis, walaupun secara tersendiri kurang bermakna26

Ketika air tawar memasuki paru-paru, natrium plasma turun dan kalium

plasma meningkat, sedangkan pada inhalasi air asin, natrium plasma meningkat

cukup tinggi dan kalium hanya meningkat ringan. Pada tenggelam pada air tawar,

konsentrasi natrium serum dalam darah dari ventrikel kiri lebih rendah

dibandingkan ventrikel kanan. Namun, angka ini dapat bervariasi, ini disebabkan

ketika post mortem dimulai maka difusi cairan dapat mengubah tingkat natrium

dan kalium yang sebenarnya. Oleh karena itu Simpson berpendapat bahwa analisis

dari kadar Na, Cl dan Mg telah dipergunakan, tetapi hasilnya terlalu beragam

untuk digunakan didalam praktek sehari-hari.26


24
K. PROGNOSIS

Kriteria korban tenggelam yang memiliki prognosis baik, yaitu anak-anak

usia 3 tahun, durasi tenggelam < 5 menit atau < 10 menit, tidak terdapat aspirasi,

mendapat bantuan hidup dasar yang efektif dengan durasi < 10 menit, curah

jantung yang kembali spontan, suhu inti tubuh 7,1, gula darah < 11,2 mmol/liter,

GCS (Glasgow Coma Scale) > 6 dan respon pupil (+).12 Sedangkan korban

dengan keadaan koma, memerlukan RJP dan dengan pupil terfiksasi dan dilatasi

cenderung memiliki prognosis yang buruk. Beberapa 8 penelitian menunjukkan

bahwa 35-60% korban yang memerlukan RJP hingga datang ke UGD (Unit

Gawat Darurat) dinyatakan meninggal dan 60-100% dari korban yang berhasil

selamat mengalami gejala sisa neurologis jangka panjang. 30% dari korban

tenggelam anak-anak yang memerlukan perawatan khusus di PICU (Pediatric

Intensive Care Unit) dilaporkan meninggal. Morbiditas dan mortalitas dari kasus

tenggelam disebabkan terutama oleh laringospasme, cedera paru, hipoksemia,

asidosis dan efeknya pada otak serta sistem organ lainnya. Tingkat mortalitas

pada korban dewasa sulit diukur oleh karena sistem pelaporan yang buruk. 35%

kasus tenggelam pada anak-anak bersifat fatal, 33% kasus mengalami gangguan

neurologis dengan 11% menghasilkan gejala sisa neurologis yang berat


BAB III

PENUTUP

Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi

cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke

dalam cairan, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan

gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam, tetapi tidak terjadi kematian.

Mekanisme kematian pada korban tenggelam dapat berupa asfiksia akibat

spasme laring, asfiksia karena gagging dan choking, refleks vagal, fibrilasi

ventrikel (air tawar), dan edema pulmoner (dalam air asin)

Pada peristiwa tenggelam di air tawar, terjadi hemolisis dan hemodilusi

sehingga menyebabkan hiperkalemia. Kematian terjadi karena fibrilasi ventrikel.

Pada peristiwa tenggelam di air asin, karena konsentrasi elektrolit air asin lebih

tinggi daripada plasma,air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan

interstitial paru yang akan menimbulkan edema paru, hemokonsentrasi, dan

hipovolemia.

Berdasarkan morfologi penampakan paru pada otopsi, tenggelam dibedakan

atas tenggelam kering (dry drowning), tenggelam tipe basah (wet drowning). Jika

ditinjau berdasarkan jenis air tempat terjadinya tenggelam, maka dapat dibedakan

menjadi tenggelam di air tawar dan tenggelam di air asin.

Diagnosis kematian akibat tenggelam dapat ditegakkan melalui pemeriksaan

luar, pemeriksaan dalam, pemeriksaan laboratorium berupa histologi jaringan,


destruksi jaringan, dan berat jenis serta kadar elektrolit darah.

Pada pemeriksaan luar, dapat ditemukan Schaumfilz froth, kuntis anserina,

washer woman’s hand, cadaveric spasm, tanda-tanda asfiksia seperti sianosis dan

petekie. Kemudian dapat juga dijumpai luka lecet dan penurunan suhu mayat

Pada pemeriksaan dalam, paru tetap kering pada kasus tenggelam di air tawar. Pada

kasus tenggelam di air laut, paru-paru dapat ditemukan membesar. Petekie juga

dapat dijumpai. Organ lain dapat mengalami pembendungan.


27

DAFTAR PUSTAKA

1. DLH, D. 2011. Hampir Tenggelam (Near Drowning). Bandung :


Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran
2. Armstrong EJ, Erskine KL. Investigation of drowning deaths: a practical
review. Academic forensic pathology. 2018 Mar;8(1):8-43.
3. World Health Organization.2014.Global Report On Drowning.
http://www.who.int/violence_injury_prevention/global_report_drowning/fin
al _report_full_web.pdf. Diakses tanggal 11 Maret 2016.
4. Budiyanto A, Widiatmo W, Sudiono S, Winardi T, Mun’im A Sidhi,
Hertian S, et al. Ilmu kedokteran forensik. Ed I. Jakarta: Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997.
5. Farrugia A, Ludes B. Diagnostic of drowning in forensic medicine. Prof.
Duarte Nuno Vieira, Editor. Forensic Medicine - From Old Problem to New
Challenges; 2011 [cited 2011 sept]. Available from:
http://cdn.intechopen.com/pdfs/19161/I
nTechDiagnostic_of_drowning_in_forensic_ medicine.pdf
6. Shiwei M, Feng F, Dong X, Seese RR, Wang Z. A contributory diagnosis of
drowning in putrefactive corpses using the electric impedance spectroscopy.
Rom J Leg Med [18]. 2010. p 283 – 88.
7. Szpilman D, Bierens JJLM, Handley AJ, Orlowski JP. Drowning. Review
article. n engl j med 366;22. 2012.
8. World Health Organization. Drowning. Fact sheet N*347; 2012 [cited 2012
Oct]. Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsh eets/fs347/en/
9. Shepherd SM. Drowning. Norris RL, Talavera F, Lang ES, Evans BJ,
editors. Medscape reference; 2011 [cited 2011 Aug 23]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/ 772753-overview
10. National Safe Kids Campaign. Drowning. Washinton: NSKC; 2004.
Available from : http://www.preventinjury.org/pdfs/dro wning.pdf.
11. Piette MH, Els A. Drowning: still a difficult autopsy diagnosis. Forensic
science international. 2006 Nov 10;163(1-2):1-9.
12. Senapathi, TGA. 2015. Special Study, Travel Medicine, Drowning.
13. Onyekwelu E. Drowning and Near Drowning. Internet Journal of Health.
2008; 8(2)
14. Idries, Abdul Mun’im. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi
Pertama:Tenggelam. Binarupa Aksara. Hal. 177-190.
28
15. Matthew J, Robertson C, Hofmeyr R. Update on drowning. South African
Medical Journal. 2017;107(7):562-5.
16. Cantweel, GP. 2015. Drowning.
http://emedicine.medscape.com/article/772753-overview#a3. Diakses
tanggal 11 Maret 2016
17. Wilianto, W. 2012. Pemeriksaan Diatom pada Korban Diduga Tenggelam
(Review). Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia. 14(3);39-46
18. Dahlan S.2000. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan
Penengak Hukum, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
19. Idries, Abdul Mun’im. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi
Pertama:Tenggelam. Binarupa Aksara. Hal. 177-190.
20. Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 1997.
21. Schmidt, A, Sempsrott,J. 2015. Drowning in the Adult Population :
Emergency Department Resuscitation and Tratment. Emergency Medicine
Practice. 17(5)
22. Lubis, SM, Lubis, M. 2006. Asidosis Laktat. Majalah Kedokteran
Nusantara.39(1)
23. Febriani, D, Yunus, F, Antariksa, B, Andrianto, H. 2011. Relationship
Between Obstructive Sleep Apnea and Cardiovascular. Jurnal Kardiologi
Indonesia. 32(1); 45-52
24. Frankel, L, Kache, S. Submersion Injury.
http://peds.stanford.edu/Rotations/picu/pdfs/26_submersion_injuries.pdf.
Diakses tanggal 11 Maret 2016
25. Carter, E. Sinclair, R. 2011. Drowning. http://ceaccp.oxfordjournals.org.
Diakses tanggal 13 Maret 2016
26. Shepherd R. 2003. Simpson’s Forensic Medicine, 12nd ed. New York :
Oxford University Press, 104-106.
27. Cantwell PG, Verive MJ,S hoff WH, Norris RL, Talavera F, Lang S, et al.
2013. Drowning. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/772753-overview. (Accessed 21
Februari 2015)
28. Abraham S, Arif Rahman S, Bambang PN, Gatot S, Intarniati, Pranarka K,
et al. 2009. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang : Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 16-24
29. Sauko P, Bernard K.2004 . Knight’s Forensic Pathology, 3nd Ed. London :
Oxford University Press, 393-398.

Anda mungkin juga menyukai