Anda di halaman 1dari 2

Rahmi..

Saudara kita yang sedang berjuang dengan Osteosarkoma

Saudari kita Rahmi yang mana tanggal 28 Agustus 2020 nanti ia genap berusia 15 tahun,
Rahmi yang seharusnya tahun ini dapat menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama,
namun sudah sejak 4 bulan terakhir ini tidak dapat bersekolah lagi karena sakit yang ia derita. Ia
tinggal di Desa Santuun Kecamatan Muara Uya Kabupaten Tabalong bersama kedua orang tua
dan kedua adiknya. Ayahnya bekerja buruh serabutan, bergantung pekerjaan yang ada,
penghasilan yang tak menentu, terkadang ada terkadang tidak. Ibunya adalah seorang ibu rumah
tangga, mengasuh kedua adiknya yang berusia 8 tahun dan 2 tahun.
Rahmi divonis mengidap Osteosarcoma sejak 2 bulan yang lalu setelah diambil sampel
jaringan pada benjolan yang ada dipaha kanannya. Osteosarcoma adalah tumor ganas tulang
primer yang berasal dari sel mesenkimal primitif yang memproduksi tulang dan matriks osteoid.
Isiden osteosarkoma pada semua populasi menurut WHO sekitar 4-5 per 1.000.000 penduduk.
Tumor ini paling sering diderita oleh anak-anak usia dekade ke-2 kehidupan, lebih dari 60%
pada pasien kurang dari 25 tahun. Menurut Fuchs dan Pritchad (2002), osteosarkoma dapat
disebabkan oleh beberapa faktor (senyawa kimia, virus, radiasi, penyakit lain; Paget’s disease,
osteomielitis kronis, osteochondroma, poliostotik displasia fibrosis, eksostosis herediter multiple,
dan genetik).
Menurut Rahmi gejala awal yang ia rasakan adalah sakit didaerah pinggang yang ia
rasakan sekitar 4 bulan yang lalu, seiring berjalannya waktu sakitnya bertambah parah, kemudian
timbul benjolan pada paha sebelah kanan. Rahmi sempat menjalani 2x kemoterapi di RSUD Ulin
Banjarmasin namun sudah 1 bulan terakhir ia tidak meneruskan protokol kemoterapinya. Kondisi
jarak yang jauh menjadi penghambatnya untuk menjalani kemoterapi. Benar saja jika ia dan
kedua orang tuanya merasa jarak ini sangat sulit ia tempuh, antara desa Santuun sendiri dengan
kota Banjarmasin berjarak sekitar 350 km, belum lagi ia harus dibawa menggunakan mobil pick
up tanpa atap yang jika panas dan hujan hanya ia tutupi dengan terpal saja. Kasur kapuk tipis
menjadi alas yang membatasinya dengan rasa panas badan mobil dan meredam hentakan jalan
rusak yang tentu akan menambah nyeri dikaki yang dirasakannya. Belum lagi ia harus membawa
beban benjolan dikakinya yang beratnya saja bahkan sudah lebih berat dari pada berat badannya.
Berdasarkan cerita ayahnya, dokter mengatakan bahwa setelah kemoterapi yang ketiga ia
harus diamputasi. Hati orang tua mana yang tidak hancur mendengarnya. Ditambah lagi cita-cita
Rahmi yang ingin menjadi seorang Polisi Wanita. Suatu cita-cita mulia yang diutarakan gadis
kecil ini. Namun, apabila memang tindakan amputasi harus dilakukan, masih bolehkah mimpi ini
diperjuangkan?
Kondisinya sekarang hanya dapat berbaring, sesekali ia duduk untuk menghilangkan
pegal dipinggangnya karena terlalu lama berbaring. Tubuhnya sudah tak berisi sejak penyakit ini
membersamai hidupnya. Ingin pasrah dengan keadaan namun ia masih memiliki keinginan
sembuh yang tinggi. Ia percaya bahwa akan ada keajaiban setelah ini. Kondisi pandemi pun
memperberat kondisi ekonominya.
Hati mana sebenarnya yang tega untuk membiarkanya. Dalam perjalanan menuju tempat
Rahmi, kami beradu rasa khawatir. Namun, kami merasa sangat tertampar, bahkan terdiam
beberapa saat karena saat menemuinya, ia menyambut kedatangan kami dengan senyum
gembira, seakan-akan tidak terjadi apapun pada dirinya. Wajahnya berkilau, mencoba kuat tapi
sebenarnya saya tahu betapa sakitnya itu semua. Bahkan sepertinya ia yang menyemangati kami,
menjelaskan pada kami bahwa dirinya baik-baik saja…

Anda mungkin juga menyukai