Anda di halaman 1dari 9

BAB II

DISKUSI

Gangguan Mental Organik (GMO) adalah gangguan jiwa dengan tanda dan gejala
psikotik maupun non-psikotik yang ada kaitannya dengan faktor organik spesifik
(penyakit/gangguan tubuh sistemik atau gangguan otak). Gangguan mental
organik merupakan gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit/gangguan
sistemik atau otak yang dapat didiagnosis tersendiri. Termasuk gangguan mental
simtomatik, dimana pengaruh terhadap otak merupakan akibat sekunder dari
penyakit/gangguan sistemik di luar otak (extracerebral). Gambaran Utama :1,2
1. Gangguan fungsi kognitif Misalnya, daya ingat (memory), daya pikir
(intellect), daya belajar (learning).
2. Gangguan sensorium Misalnya, gangguan kesadaran (consciousness) dan
perhatian (attention).
3. Sindrom dengan manifestasi yang menonjol di bidang
- Persepsi (halusinasi)
- Isi pikiran (waham/delusi)
- Suasana perasaan dan emosi (depresi,gembira, cemas)

Menurut PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa) III,


GMO dapat ditegakkan diagnosisnya apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Adanya penyakit, kerusakan atau disfungsi otak atau penyakit fisik
sistemik yang memiliki hubungan dengan gejala gangguan mental
2. Adanya hubungan waktu (dapat beberapa minggu atau bulan) antara
penyakit yang mendasarinya dengan sindrom gangguan mental,
3. Adanya perbaikan dari gangguan mentalnya setelah ada perbaikan atau
dihilangkannya penyebab yang mendasarinya,
4. Tidak ada bukti yang mengarahkan pada penyebab lain dari sindroma
gangguan mental tersebut (seperti pengaruh dari genetika atau dicetuskan
oleh distres)3
Menurut PPDGJ III, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut :
F00 Demensia pada penyakit Alzheimer
F00.0 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini
F00.1 Demensia pada penvakit Alzheimer dengan onset lambat.
F00.2 Demensia pada penyakit Alzheimer, tipe tak khas atau tipe
F00.9 Demensia pada penyakit Alzheimer Yang tidak tergolongkan (YTT).

F01 Demensia Vaskular


F01.0 Demensia Vaskular onset akut.
F01.1 Demensia multi-infark
F01.2 Demensia Vaskular subkortikal.
F01.3 Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
F01.8 Demensia Vaskular lainnya
F01.9 Demensia Vaskular YTT

F02 Demensia pada penyakit lain yang diklasifikasikan di tempat lain (YDK)
F02.0 Demensia pada penyakit Pick.
F02.1 Demensia pada penyakit Creutzfeldt – Jakob.
F02.2 Demensia pada penyakit huntington.
F02.3 Demensia pada penyakit Parkinson.
F02.4 Demensia pada penyakit human immunodeciency virus (HIV).
F02.8 Demensia pada penyakit lain yang ditentukan (YDT) dan YDK

F03 Demensia YTT.

F.04 Sindrom amnestik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif
lainnya

F05 Delirium bukan akibat alkohol dan psikoaktif lain nya


F05.0 Delirium, tak bertumpang tindih dengan demensia
F05.1 Delirium, bertumpang tindih dengan demensia
F05.8 Delirium lainya.
F05.9 DeliriumYTT.

F06 Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan
penyakit fisik.
F06.0 Halusinosis organik.
F06.1 Gangguan katatonik organik.
F06.2 Gangguan waham organik (lir-skizofrenia)
F06.3 Gangguan suasana perasaan (mood, afektif) organik.
.30 Gangguan manik organik.
.31 Gangguan bipolar organik.
.32 Gangguan depresif organik.
.33 Gangguan afektif organik campuran.
F06.4 Gangguan anxietas organik
F06.5 Gangguan disosiatif organik.
F06.6 Gangguan astenik organik.
F06.7 Gangguan kopnitif ringan.
F06.8 Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit
fisik
F06.9 Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit
fisik YTT.

F07 Gangguan keperibadian dan prilaku akibat penyakit, kerusakan dan


fungsi otak
F07.0 Gangguan keperibadian organik
F07.1 Sindrom pasca-ensefalitis
F07.2 Sindrom pasca-kontusio
F07.8 Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit,
kerusakan dan disfungsi otak lainnya.
F07.9 Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit,
kerusakan dan disfungsi otak YTT.
F09 Gangguan mental organik atau simtomatik YTT

Menurut DSM IV, klasifikasi gangguan mental organik sebagai berikut:


A. Delirium
1. Delirium karena kondisi medis umum
2. Delirium akibat zat.
3. Delirium yang tidak ditentukan (YTT)
B. Demensia.
1. Demensia tipe Alzheimer
2. Demensia vaskular
3. Demensia karena kondisi umum.
a) Demensia karena penyakit HIV.
b) Demensia karena penyakit trauma kepala.
c) Demensia karena penyakit Parkinson.
d) Demensia karena penyakit Huntington.
e) Demensia karena penyakit Pick
f) Demensia karena penyakit Creutzfeldt – Jakob
4. Demensia menetap akibat zat
5. Demensia karena penyebab multipel
6. Demensia yang tidak ditentukan (YTT)
C. Gangguan amnestik
1. Gangguan amnestik karena kondisi medis umum.
2. Gangguan amnestik menetap akibat zat
3. Gangguan amnestik yang tidak ditentukan ( YTT )
D. Gangguan kognitif yang tidak ditentukan.1
A. Demensia
Demensia merupakan suatu sindrom akibat penyakit atau gangguan
fungsi kognitif yang biasanya bersifat kronis dan progresif dimana
terdapat gangguan fungsi luhur kortikal yang multipel, termasuk
didalamnya daya ingat, daya pikir, orientasi dan daya tangkap, berhitung,
kemampuan belajar.berbahasa dan daya nilai.1,4
Menurut PPDGJ III Pedoman diagnosis demensia antara lain :
a. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, yang sampai
mengganggu kegiatan harian seseorang seperti : mandi, berpakaian,
makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil
b.Tidak ada gangguan kesadaran
c.Gejala dan disabilitas sudah nyata paling sedikit 6 bulan

B. Delirium
Tanda utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, biasanya
terlihat bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara global. Kelainan
mood, persepsi, dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum. Tremor,
asteriksis, nistagmus, inkoordinasi dan inkontinensia urine merupakan gejala
neurologis yang umum. Biasanya, delirium mempunyai onset yang mendadak
(beberapa jam atau hari), perjalanan yang singkat dan berfluktuasi, dan
perbaikan yang cepat jika factor penyebab diidentifikasi dan dihilangkan.
Delirium merupakan suatu sindrom, bukan suatu penyakit. Delirium diketahui
mempunyai banyak sebab, semuanya menyebabkan pola gejala yang sama
yang berhubungan dengan tingkat kesadaran pasien dan gangguan kognitif.
Sebagian besar penyebab delirium terletak di luar system saraf pusat-
sebagian contoh, gagal ginjal atau hati.1,4
C. Gangguan Amnestik
Gangguan amnestic ditandai terutama oleh gejala tunggal suatu gangguan
daya ingat yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau
pekerjaan. Diagnosis dibuat apabila pasien mempunyai tanda lain dari
gangguan kognitif. Gangguan amnestic ini dibedakandari gangguan
dissosiatif. Gangguan amnestic memiliki bnayk penyebab. Berikut penyebab
gangguan amnestic seperti kondisi medis sistemik, defisiensi tiamin,
hipoglikemia, kondisi otak primer, kejang, trauma kepala, tumor serebral,
penyakit serbrovaskular, prosedur bedah pada otak, ensefalitis, hipoksia,
amnesia global transien, trapi elektrokonvulsif, sclerosis multiple dan
penyebab berhubungan dengan zat seperti gangguan penggunaan alcohol,
neurotoksin, benzodiazepine.1

Kategori penyakit yang dapat menimbulkan gejala psikotik antara lain,


Parkinson, Huntington, epilepsi, cerebrovascular attack (CVA), cedera kepala,
gangguan metabolik dan endokrin, gagal ginjal dan penyakit infeksi. Pada kasus
ini dari hasil wawancara psikiatri didapatkan adanya riwayat terjatuh dan kejang
sehingga ditegakkan diagnosis epilepsi.1
Epilepsi adalah kelainan pada otak yang ditandai dengan adanya bangkitan
kejang epilepsi, dapat terus menerus ataupun tidak, memiliki konsekuensi
gangguan neurobiologi, kognitif, psikologis ataupun seksual. Definisi lain
mengisyaratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan kejang epileptik. Bangkitan
epileptik adalah terjadinya atau tanda atau gejala yang bersifat sesaat akibat
aktivitas neurnal yang abnormal dan berlebihan di otak. Penderita epilepsi
memiliki peluang mengalami psikotik enam sampai dua belas kali lebih besar
dibandingkan pada populasi umum. Pada psikotik didapatkan adanya distorsi
dalam penilaian terhadap realita. Tanda dan gejala psikotik dapat berupa adanya
gangguan isi pikir seperti delusi atau waham ataupun gangguan persepsi seperti
halusinasi, ilusi, derealisasi dan depersonalisasi.1,5,6,7
Klasifikasi kejang utama kejang adalah parsial dan umum. Kejang parsial
meliabtkan aktivitas epileptiformis didaerah oatk setempat. Kejang umum
melibatkan keseluruhan otak. Kejang umum tonik klonik umum mempunyai
gejala klasik hilangnya kesadaran, gerakan tonik, klonik umum pada tungkai
menggigit lidah da peristiwa inkontinensia. Masalah psikiatrik yang peling sering
berhubungan denga dengan kejang umum adalah membantu pasien menyesuaikan
gangguan neurologis kronis dan menilai efek kognitif atau perilaku dari obat
antiepileptik.1,4,8
Sedangkan kejang parsial diklasifikasikan sebagai kejang sederhana atau
kompleks. Peristiwa praiktal pada epilepsy parsial kompleksa aalah termasuk
sensaiotonomik, sensasi kognitif, keadaan afektif dan secara klasik automatisme.
Diagnosis epilepsy yang tepat dapat sulit khususnya jika gejala iktal dan interiktal
dari epilepsy merupakan manifestasi berat dari gejala psikiatrik tanpa adanya
perubahan yang bermakna pada kesadaran dan kemampuan kognitif. Diagnosis
banding lain yang dipertimbangkan adalah kejang semu, dimana pasien
mempunyai suatu kontrol kesadaran atas gejala kejang yang mirip.
Pada pasien yang sebelumnya mendapatkan suatu diagnosis epilepsy,
timbulnya gejala psikiatrik harus dianggap sebagai kemungkinan mewakili suatu
evolusi dalam gejala epileptiknya. Jika gejala psikotik tampak pada seorang
pasien yang pernah mempunyai epilepsy yagn telah didiagnosis atau
dipertimbangkan sebagai diagnosis masa lalu, klinisi harus mendapatkan satu atau
lebih pemeriksaan EEG. Pada pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan
diagnosis epilepsy. Empat karakteristik harus menyebabkan seorang klinisi
mencurigai kemungkinan tersebut, yaitu onset psikosis yan gtiba-tiba pada orang
yang sebelumhya dianggap sehat secara psikologis, onset delirium yang tiba-tiba
tanpa penyebab yang diketahui, riwayat episode yang serupa dengan onset yang
mendadak dan pemulihan spontan, dan riwayat terjatuh atau pingsan sebelumnya
yang tidak dapat dijelaskan.9

Penatalaksanaan Pengobatan yang digunakan sebagai obat anti kejang,


diantaranya phenobarbital, phenytoin, dll. Carbamazepine dan asam valproate
mungkin dapat membantu dalam mengendalikan gejala iritabilitas dan
meledaknya agresi, karena dua obat tersebut adalah obat antipsikotik tipikal.1,10
Pemilihan Obat-obatan antipsikotik pada pasien perlu memempertimbangkan
antara lain kemungkinan terjadinya Ekstra Piramidal Sindrom (EPS), penurunkan
ambang kejang serta kepatuhan makan obat. Gangguan psikotik memiliki kaitan
dengan adanya peningkatan aktivitas neurotransmitter dopamine diotak.
Pemilihan obat antipsikotik generasi kedua seperti risperidone, selain obat
tersebut bekerja dengan cara dapat memblokade dopamine pada reseptor paska
sinaps di sistem limbik (D2) dan 5HT2a disistem ekstrapiramidal juga sedikit
memengaruhi jaras N igrostiatal. Sehingga obat ini selain efektif untuk gejala
positif dan negatif juga kecil kemungkinan menimbulkan Ekstra Piramidal
Sindrom (EPS).4
Intervensi psikoterapi sederhana dapat berupa psikoterapi suportif dan
psikoedukasi. Sasaran psikoterapi antara lain perbaikan strategi koping dalam
menghadapi distres sosial dan pekerjaan. Edukasi untuk mengenal tanda dan
gejala-gejala dini serta patuh dalam pengobatan. Psikotik dapat mengubah pikiran,
perasaan dan perilaku individu yang mengalami gangguan tersebut sehingga dapat
merugikan individu itu sendiri dan lingkungannya. Pengobatan pada individu
dengan gangguan psikotik, bukan hanya mengupayakan individu tersebut terbebas
dari tanda dan gejala gangguan psikotik tersebut, namun juga bertujuan
meningkatkan kualitas hidup dari individu tersebut.1

DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott; Ruiz, Pedro. 2017.
Comprehensive textbook of psychiatry 10th Edition. United States of
America: Wolters Kluwer.
2. Bahrudin M. 2017. Neurologi Klinis. Edisi 1. Malang: UMM Press.
3. Anisa Wahyuni, Cahyaningsih FR. 2020. Gangguan Mental Organik e.c.
Epilepsi pada Laki-Laki Usia 17 Tahun: Laporan Kasus. Jurnal Medula.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Vol 9. no 4.
4. Elvira S D, dan Hadisukanto G. 2013. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Persatuan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2014. Pedoman Tatalaksana
Epilepsi. Jakarta: PERDOSSI.
6. Clancy JM, Clarke CM, Connor JD, Cannon M, Cotter RD. 2014. The
Prevalence of Psychosis in Epilepsy : a Systematic Review and Meta-
Analysis. BMC Psychiatry ; 14: 75.
7. Wang Q, Teng P, Luan G. 2017. Schizophrenia-Like Psychosis of Epilepsy:
From Characters to Underlying Mechanisms. Neuropsychiatry (London) S
(1).
8. Maramis. W.F. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University
Press. Surabaya.
9. Maslim, rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosa Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas
Dari PPDGJ – III. Jakarta : Nuh Jaya.
10. Katzung, BG .2007. Farmakologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai