Anda di halaman 1dari 61

MAKALAH DISKUSI TOPIK

CEPHALGIA

Disusun oleh:
Bening Putri Ramadhani Usman
1110103000084

Pembimbing :
dr. Ika Yulieta, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK
SMF NEUROLOGI RSUP FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya kami dapat
menyelesaikan makalah diskusi topik ini yang berjudul Cephalgia.
Makalah presentasi kasus langsung ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di stase Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dalam penyusunan danpenyelesaian makalah ini, terutama kepada :
1. Dr. Ika Yulieta, Sp.S selaku pembimbing diskusi topik ini.
2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah diskusi topik ini masih
banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang
membangun guna penyempurnaan makalah diskusi topik ini sangat kami
harapkan.
Demikian, semoga makalahpresentasikasus ini dapat bermanfaat
bagi kita semua dan bisa membuka wawasan serta ilmu pengetahuan
kita,terutama dalam bidang neurologi.

Jakarta, 15 Agustus 2014

Penyusu
n

BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny.SN

JenisKelamin
Usia

: Perempuan
: 40 tahun

Agama

: Islam

Alamat

Kp.Bojong

Koneng

RT

002/RW

003,

Cikarang Barat, Bekasi


Suku

: Sunda

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan terakhir

: SLTA

Status Pernikahan

: Sudah menikah

No. RM

: 01313313

Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati pada tanggal 7 Agustus 2014.

II. ANAMNESIS
Anamnesis

dilakukan

secara

autoanamnesis

pada

tanggal

12

Agustus 2014.
a. Keluhan Utama
Nyeri kepala sejak 6 bulan SMRS yang memberat sejak 1 bulan
SMRS.
3

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala sejak 6 bulan
SMRS yang memberat sejak 1 bulan SMRS. Nyeri kepala semakin
lama semakin memberat. Nyeri dirasakan seperti dicengkram dan
terkadang seperti ditusuk-tusuk, berlokasi di kepala bagian kanan
hingga pertengahan belakang. Durasi nyeri kepala mulai 5 menit
hingga satu jam. VAS = 6. Nyeri kepala memberat bila pasien dalam
keadaan berbaring. Pada awalnya, nyeri kepala berkurang bila
pasien minum obat panadol. Namun, lama-kelamaan obat sudah
tidak dapat mengurangi nyeri. Nyeri kepala dapat muncul pada pagi,
siang, sore, maupun malam hari. Pasien tidak merasa nyeri kepala
bertambah saat melihat cahaya terang atau ketika mendengar suara
tertentu. Pasien tidak melihat adanya kilatan atau bintik-bintik
cahaya sebelum dan saat nyeri kepala. Nyeri pada sekitar mata,
mata berair, mata merah, hidung tersumbat, hidung berair, dan
berkeringat saat nyeri kepala muncul disangkal. Nyeri atau kaku
pada tengkuk hingga pundak disangkal. Pasien sering merasa mual,
dan terkadang muntah sebanyak 5 hingga 6 kali sehari, berisi
makanan. Pasien tidak mengalami demam, kejang, maupun pingsan.
Penciuman, penglihatan, dan pendengaran normal. Keluhan lain
seperti

sesak

tersedak,

napas,

suara

kesemutan,

serak

pusing

pandangan
atau

berputar,

dobel,

sengau,

gangguan

mulut

kelemahan,

menelan,

mencong,

gangguan

baal,

berjalan,

kesulitan menggenggam, gangguan keseimbangan, dan sering lupa


disangkal. Buang air besar, buang air kecil, dan keringat normal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami hal serupa sebelumnya.
Kepala pasien pernah terbentur dinding sekitar 4 bulan SMRS,
setelah itu pasien tetap sadar penuh dan tidak ada keluhan. Riwayat
darah tinggi, kencing manis, kolesterol, asam urat, stroke, penyakit
jantung, gangguan hati, penyakit paru, tumor, dan riwayat operasi
sebelumnya disangkal.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang sering mengalami nyeri
kepala. Riwayat darah tinggi, kencing manis, kolesterol, asam urat,
4

stroke, penyakit jantung, gangguan hati, dan penyakit paru pada


keluarga disangkal. Tidak ada anggota keluarga yang pernah
didiagnosis tumor atau kanker.
e. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien makan 3 kali sehari, dengan kebiasaan makan makanan
berlemak, gorengan, makanan asin, dan bersantan. Pasien menyukai
minuman manis. Pasien menggunakan KB suntik setiap tiga bulan
sejak 20 tahun yang lalu hingga saat ini. Pasien tidak memiliki
kebiasaan merokok, namun suami pasien merokok sejak SMA. Pasien
tidak mengkonsumsi alkohol, menggunakan obat-obatan terlarang,
atau seks bebas. Pasien jarang berolahraga. Pasien tidak rutin
mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Pasien tidur 6-8 jam setiap
hari. Tidak ada beban pikiran apapun yang sedang mengganggu
pasien. Pasien tidak pernah merasa kelelahan berlebihan. Pasien
merupakan ibu rumah tangga, tinggal di perumahan padat, tidak
ada pabrik industri atau pertambangan di sekitar lingkungan rumah.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik di bangsal Teratai tanggal 12 Agustus 2014.
I.

Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
Tanda Vital
Tekanan darah
Nadi
Napas
Suhu
Berat badan
Tinggi badan
BMI

: Tampak sakit sedang


: Compos mentis
: 120/80 mmHg / 120/80 mmHg
: 96x/menit, regular, kuat angkat, isi cukup
: 18x/menit, regular, kedalaman cukup
: 37oC
: 56 kg
: 158 cm
: 22,4 kg/m2

Mata
- Inspeksi : alis mata cukup, enoftalmus (-)/(-), eksoftalmus (-)/(-),
nistagmus (-)/(-), ptosis (-)/(-), lagoftalmus (-)/(-), edema palpebra
(-)/(-),konjungtiva anemis(-)/(-), sklera ikterik (-)/(-), sekret (-)/(-),
tampak berair, pterigium (-)/(-), ulkus kornea (-)/(-), kekeruhan
-

lensa (-)
Palpasi : tekanan bola mata secara manual normal

Telinga,Hidung,Tenggorokan
5

Hidung :
- Inspeksi : Deformitas (-), kavum nasi lapang, sekret (-)/(-), deviasi
septum (-)/(-), konka nasal hiperemis (-)/(-), edema (-)/(-), NCH (-)/(-)
- Palpasi : Nyeri tekan sinus (-), krepitasi (-)
Telinga :
- Inspeksi :
- Preaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-),
-

skar (-)/(-),
Aurikuler : normotia, hiperemis (-)/(-), cauli flower (-)/(-),

pseudokista (-)/(-),
Postaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-),

skar (-)/(-),
Liang telinga : lapang, serumen (-)/(-), Ottorhea (-)/(-),
membran timpani intak

Tenggorokan dan Rongga mulut :


- Inspeksi :
- Bucal : warna normal, ulkus (-)
- Lidah : massa (-), ulkus (-), plak (-)
- Palatum : penonjolan (-)
- Tonsil : tidak valid dinilai
- Pursed lips breathing(-), karies gigi (+), kandidisasis
oral (+)
Leher
- Inspeksi : bentuk simetris, warna normal, penonjolan vena jugularis
(-), tumor (-), retraksi suprasternal (-), tidak tampak perbesaran
-

KGB
Palpasi : pulsasi arteri carotis normal, perbesaran thyroid (-), posisi

trakea ditengah, KGB tidak teraba membesar


Auskultasi : bruit (-),
Tekanan vena jugularis tidak meningkat, 5+2

Thoraks Depan
- Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), retraksi
sela iga (-/-), bentuk dada normal, barrel chest (-), pectus carinatum
(-)/(-), pectus ekskavatum (-)/(-), pelebaran sela iga
(-)/(-), tumor (-)/(-), skar (-), emfisema subkutis (-)/(-),
spider naevi (-)/(-), pergerakan kedua paru simetris statis dan
-

dinamis, pola pernapasan normal


Palpasi : massa (-)/(-), emfisema subkutis(-)/(-), ekspansi
dada simetris, vocal fremitus sama di kedua lapang paru,

pelebaran sela iga (-)/(-)


Perkusi :
6

Sonor di kedua lapang paru


Batas paru hati : pada garis midklavikula kanan sela iga 6,

peranjakan hati sebesar 2 jari


Batas paru lambung : pada garis aksilaris anterior kiri sela iga

8
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)

Thoraks Belakang
- Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), Retraksi
sela iga (-/-), pelebaran sela iga (-)/(-), tumor (-)/(-),
emfisema subkutis (-)/(-), Pergerakan kedua paru simetris
statis dan

dinamis, pola pernapasan normal, scar (-), luka

operasi (-), massa (-), gibus (-), kelainan tulang


-

belakang (-)
Palpasi : massa (-)/(-), emfisema subkutis(-)/(-), ekspansi

dada simetris,vocal fremitus sama di kedua lapang paru


Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)

Jantung
- Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terihat
- Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba 2 jari medial dari
linea midklavikulasinistra ICS V, thrill (-), heaving (-),
-

lifting (-), tapping (-)


Perkusi : Batas jantung kanan ICS V linea sternalis
dextra, batas jantung kiri ICS V 1 jari medial linea
midklavikula sinistra, Pinggang jantung ICS II linea

parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II reguler normal, murmur (-), gallop(-)

Abdomen
- Inspeksi : simetris, datar, striae (-), skar (-), penonjolan (-), bekas
-

operasi (-), kaput medusa (-)


Auskultasi : BU (+) normal, metalic sound (-), borborigmi (-), bruit
(-)
Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (-), massa (-)
- Hepar dan lien tidak teraba
- Ginjal : Ballotemen (-)/(-),
Perkusi : timpani, shifting dullnes (-), undulasi (-), fenomena papan
catur (-), nyeri ketok CVA (-)/(-),

Ekstremitas
7

Akral teraba hangat, sianosis (-), CRT < 3 detik, edema (-)/(-), jari
tabuh (-), koilonikia (-), hiperemis (-), deformitas (-)

Status neurologis
GCS

: E4M6V5

Tanda Rangsang Meningeal

Kaku kuduk
Lasegue
Kernig
Brudzinski I
Brudzinski II

: : >700 />700
: >1350 />1350
:-/:-/-

Saraf-saraf Kranialis:
N.I (olfaktorius)

: normosmia / normosmia

N.II (optikus)

Acies visus
Visus campus
Lihat warna
Funduskopi

: normal
: normal
: normal
: tidak dilakukan

N.III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducen)

Kedudukan bola mata


Pergerakan bola mata
Exopthalmus
Nystagmus
Palpebra
Pupil:

: ortoposisi + / +
: baik ke segala arah
:-/:-/: ptosis (-/-)

o Bentuk

: bulat, isokor, 3mm/3mm

o Refleks cahaya langsung

: +/+

o Refleks cahaya tidak langsung

: +/+

N.V (Trigeminus)

Cabang Motorik
Cabang sensorik
o Ophtalmikus
o Maksilaris
o Mandibularis
Jaw reflex
Refleks kornea

: normal
:
: normal
: normal
: normal
: (+)
: (+)

N.VII (Fasialis)

Motorik orbitofrontalis
Motorik orbikularis orbita
Motorik orbikulari oris
Pengecapan lidah

: gerakan alis dan kerutan dahi simetris ka=ki


: lagoftalmus (-/-)
: plica nasolabialis simetris ka=ki
: normal

N.VIII (Vestibulocochlearis)

Vestibular : Vertigo

:-

Nistagmus

Koklearis : normal
o Tes Rhinne
o Tes Weber
o Tes Schwabach

:-/-

: (+/+)
: tidak adala lateralisasi
: sama dengan pemeriksa

N.IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)

Arcus faring
Uvula
Refleks muntah

: simetris ka=ki
: simetris ka=ki
: (+)
9

N.XI (Accesorius)

Mengangkat bahu
Menoleh

: normal/normal
: normal/normal

N.XII (Hypoglossus)

Posisi lidah
Pergerakkan lidah
Atrofi
Fasikulasi
Tremor

: di tengah
: pergerakan simetris ka=ki
:::-

Sistem Motorik

Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah

: 5555/5555
: 5555/5555

Gerakkan Involunter

Tremor
Chorea
Miokloni
Tonus

:-/:-/: -/ : baik

Sistem Sensorik

Propioseptif : normal
Eksteroseptif : normal

Fungsi Serebelar

Ataxia
Tes Romberg
Jari-jari
Jari-hidung

: normal
: normal
: normal
: normal
10

Tumit-lutut
Rebound phenomenon
Hipotoni

: normal
: (-/-)
: (-/-)

Fungsi Luhur

Astereognosia
Apraxia
Afasia

: (-)
: (-)
: (-)

Fungsi Otonom

Miksi
Defekasi
Sekresi keringat

: baik
: baik
: baik

Refleks Fisiologis

Biceps
Triceps
Radius
Lutut
Tumit

: +2/+2
: +2/+2
: +2/+2
: +2/+2
: +2/+2

Refleks Patologis

Hoffman Tromer
Babinsky
Chaddock
Oppenheim
Gordon
Gonda
Schaefer
Klonus lutut
Klonus tumit

:-/:-/:-/:-/:-/:-/:-/:-/:-/-

Keadaan Psikis
11

II.

Intelegensia
Tanda regresi
Demensia

: normal
: normal
: (-)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (8 Agustus 2014)
Pemeriksaan

Hasil

Nilai Rujukan

Hemoglobin
Hematokrit

12.8 g/dl
37%

11,7 15,5 g/dl


33 45 %

Lekosit
Trombosit
Hemostasis
APTT
Kontrol APTT
PT
Kontrol PT
INR
Fungsi Hati
SGOT
SGPT
Fungsi Ginjal
Ureum
Kreatinin
Diabetes
GDS
GDP
GD2PP
Lemak
Kolesterol Tot
LDL
HDL
Trigliserida

5.500/ul
254.000/ul

5.000 10.000
150 440 ribu/ul

28,2 detik
31.5 detik
13.9 detik
13.5 detik
1.04

27.4 39.3 detik

18 U/l
34 U/l

0 34 U/l
0 40 U/l

24 mg/dl
0,5 mg/dl

20 40 mg/dl
0,6 1,5 mg/dl

108 mg/dL
85 mg/dl
115 mg/dL

70-140 mg/dL
80 100 mg/dl
80-140 mg/dL

185 mg/dL
111 mg/dL
58 mg/dL
79 mg/dL

<200 mg/dL
<130 mg/dL
40-60 mg/dL
<150 mg/dL

Hematologi

11.3 14.7 detik

12

Elektrolit
Na
K
Cl

139 mmol/L
3.34 mmol/L
107 mmol/L

135 147 mmol/L


3,10 5,10 mmol/L
95 108 mmol/L

Pemeriksaan Radiologi
CT scan kepala tanpa kontras (8 Agustus 2014)

Kesan :

Lesi hipodens fokal di parietal kanan dd/ fokal edema,

ensefalitis, massa
Edema hemisfer serebri
Herniasi subfalcin

13

CT scan kepala dengan kontras (11 Agustus 2014)

14

Kesan :

Massa ekstra aksial berbatas cukup tegas dengan perifokal edema,


menyengat pasca pemberian kontras di posteroparietal kanan dan

menyebabkan herniasi subfalcin ke kiri sugestif meningioma


Edema cerebri

15

Foto toraks (8 Agustus 2014)

Kesan:
o Infiltrat minimal di parakardial kanan
o Cor dalam batas normal

V. RESUME
Ny.SN, 40 tahun, datang dengan keluhan nyeri kepala sejak 6 bulan
SMRS yang memberat sejak 1 bulan SMRS. Nyeri kepala semakin lama
semakin memberat, dengan VAS = 6. Nyeri dirasakan seperti dicengkram
dan ditusuk-tusuk, berlokasi di kepala bagian kanan hingga pertengahan
belakang, durasi 5 menit hingga satu jam, semakin memberat dalam
keadaan berbaring, serta dapat muncul pada pagi, siang, sore, maupun
16

malam hari. Awalnya, nyeri kepala berkurang dengan obat panadol,


namun kini obat sudah tidak berefek. Mual (+), muntah (+) 5-6 kali sehari
berisi makanan. Kepala pasien pernah terbentur dinding sekitar 4 bulan
SMRS. Pasien memiliki kebiasaan makan makanan berlemak, gorengan,
makanan asin, manis, dan bersantan. Riwayat KB suntik (+) setiap 3 bulan
sejak 20 tahun yang lalu. Berdasarkan pemeriksaan fisik, pasien tampak
sakit sedang, compos mentis, TD 120/80 mmHg, frekuensi nadi 96x/menit,
frekuensi napas 18x/menit, suhu 37 oC, BMI 22,4 kg/m2. Status generalis
dalam batas normal. Status neurologis dalam batas normal. Pemeriksaan
laboratorium dalam batas normal. Berdasarkan pemeriksaan CT scan
kepala non kontras (8/8/2014), didapatkan gambaran lesi hipodens fokal di
parietal kanan dd/ fokal edema, ensefalitis, dan massa, serta edema
hemisfer serebri dan herniasi subfalcin. Berdasarkan pemeriksaan CT scan
dengan kontras (11/8/2014), didapatkan kesan massa ekstra aksial berbatas cukup
tegas dengan perifokal edema, menyengat pasca pemberian kontras di posteroparietal kanan
dan menyebabkan herniasi subfalcin ke kiri sugestif meningioma disertai edema cerebri.
Berdasarkan foto toraks (8/8/2014), didapatkan kesan infiltrat minimal di parakardial
kanan.

VI. DIAGNOSIS
-

Diagnosis kerja :
o SOL e.c. meningioma
Diagnosis neurologi
:
o Diagnosis klinis :
Secondary headache
o Diagnosis etiologi : SOL e.c. meningioma
o Diagnosis topis : meningens

VII. Rencana Tata Laksana


a)
Non medika mentosa

Bed rest

Elevasi kepala 30o

Pantau hemodinamik
b)
Medika mentosa

IVFD NaCl 0,9% 500cc/12 jam


17

Tramadol 3 x 1 tab p.o.

Dexamethasone 4 x 5 mg IV

Ranitidin 2 x 50 mg IV

VIII. Rencana Konsultasi

Konsultasi bedah saraf

IX.Prognosis
Ad vitam
Ad fungsionam
Ad sanationam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.2. Cephalgia
II.2.1. Definisi
18

Dapat dikatakan sebagai rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah
atas kepala memanjang dari orbital sampai ke daerah belakang kepala (area oksipital
dan sebagian daerah tengkuk). Nyeri kepala adalah nyeri yang berlokasi di atas garis
orbitomeatal. Pendapat lain mengatakan nyeri atau perasaan tidak enak diantara
daerah orbital dan oksipital yang muncul dari struktur nyeri yang sensitif.
II.2.2. Etiologi
Penyebab yeri kepala bersifat multifaktorial, seperti kelainan emosional,
cedera kepala, migraine, demam, kelainan vaskuler intrakranial otot, massa
intrakranial, penyakit mata, telinga / hidung.
II.2.3. Manifestasi Klinik
a)
Lokasi Nyeri
Nyeri yang berasal dari bangunan intrakranial tidak dirasakan didalam
rongga tengkorak melainkan akan diproyeksikan ke permukaan dan dirasakan
di daerah distribusi saraf yang bersangkutan. Nyeri yang berasal dari dua
pertiga bagian depan kranium, di fosa kranium tengah dan depan, serta di
supratentorium serebeli dirasakan di daerah frontal, parietal di dalam atau
belakang bola mata dan temporal bawah. Nyeri ini disalurkan melalui cabang
pertama nervus Trigeminus.
Nyeri yang berasal dari bangunan di infratentorium serebeli di fosa
posterior (misalnya di serebelum) biasanya diproyeksikan ke belakang telinga,
di atas persendian serviko-oksipital atau dibagian atas kuduk. Nervi kraniales
IX dan X dan saraf spinal C1, C2 dan C3 berperan untuk perasaan di bagian
infratentorial. Bangunan peka nyeri ini terlibat melalui berbagai cara yaitu oleh
peradangan, traksi, kontraksi otot dan dilatasi pembuluh darah.
Nyeri yang berhubungan dengan penyakit mata, telinga & hidung
cenderung di frontal pada permulaannya. Nyeri kepala yang bertambah hebat
menunjukkan kemungkinan massa intrakranial yang membesar (hematoma
b)

subdural, anerysma, tumor otak).


Durasi Nyeri
Lamanya nyeri kepala bervariasi, pada nyeri kepala tekanan (pressure
headache) disebabkan oleh ketegangan emosional dapat berlangsung berharihari atau berminggu-minggu. Pada penderita migraine dirasakan nyeri kepala

c)

paroksismal, singkat & melumpuhkan, berlansung kurang dari 30 menit.


Frekuensi Nyeri
Berulangnya nyeri kepala suatu fenomena yang telah diketahui. Pada
wanita yang menderita migrane akan mendapat serangan berulang ketika
sedang menstruasi. Sedangkan nyeri kepala yang berhubungan dengan

19

gangguan hidung akan berulang apabila sering terjadi infeksi traktus


respiratorius atas yang sering ditemukan.
II.2.4. Patogenesis
Menurut H.G.Wolf terdapat 6 mekanisme dasar yang menimbulkan nyeri kepala
yang berasal dari sumber intracranial, yaitu :
1.

Tarikan pada vena yang berjalan ke sinus venosus dari permukaan otak dan

pergeseran sinus-sinus venosus utama.


2. Tarikan pada A. Meningea media
3. Tarikan pada pembuluh-pembuluh arteri besar di otak atau tarikan pada
cabang-cabangnya.
4. Distensi dan dilatasi pembuluh-pembuluh nadi intrakranial (A. Frontalis,
5.

A. Temporalis, A. Discipitalies)
Inflamasi pada atau sekitar struktur kepala yang peka terhadap nyeri

meliputi kulit kepala, periosteum, (m. frontalis, m. temporalis, m.oksipitalis)


6. Tekanan langsung pada nervus cranialis V, IX, X saraf spinal dan cervikalis
bagian atas yang berisi banyak serabut aferen rasa nyeri.
Daerah yang tidak peka terhadap nyeri adalah : parenkim otak, ependim ventrikel,
pleksus koroideus, sebagian besar duramater, piarachnoid meningen meliputi
konvektivitas otak dan tulang kepala. Tetapi rasa nyeri tersebut dapat dibangkitkan
oleh karena tindakan fisik seperti batuk, mengejan yang meningkatkan tekanan
intrakranial dan dapat memperburuk nyeri kepala berhubungan dengan perdarahan
atau massa intrakranial.
II.2.5. Klasifikasi

Tabel 1. Klasifikasi Nyeri Kepala Berdasarkan Etiologi

Berikut ini klasifikasi nyeri kepala berdasarkan penyebabnya :


1) Nyeri kepala primer
20

Berikut ini beberapa jenis nyeri kepala primer :


a. Migren
b. Tension Type Headache
c. Cluster headache
d. Other primary headaches
2) Nyeri kepala sekunder
Berikut ini beberapa jenis nyeri kepala sekunder :
a.
b.

Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan / atau leher.
Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan vaskuler cranial atau
servikal

c.

Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan non vaskuler intracranial.

d.

Nyeri kepala yang berkaitan dengan substansi atau withdrawalnya.

e.

Nyeri kepala yang berkaitan dengan infeksi.

f. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan hemostasis.


g.

Nyeri kepala atau nyeri vaskuler berkaitan dengan kelainan kranium,


leher, mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut, atau struktur facial
atau kranial lainnya.

h.

Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan psikiatrik.

3) Neuralgia kranial, sentral atau nyeri facial primer dan nyeri kepala lainnya
Terbagi menjadi :
a.
b.

Neuralgia kranial dan penyebab sentral nyeri facial.


Nyeri kepala lainnya, neuralgia kranial, sentral atau nyeri facial
primer.

II.2.6. Nyeri Kepala Primer


A. Migraine

21

Gambar 1. Distribusi Nyeri pada Migraine

Definisi
Migraine adalah nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4 72 jam. Karekteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau
berat, bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan mual
dan/atau fotofobia dan fonofobia.
Etiologi
Penyebab pasti migraine tidak diketahui, namun 70 80 % penderita migraine
memiliki anggota keluarga dekat dengan riwayat migraine juga. Risiko terkena
migraine meningkat 4 kali lipat pada anggota keluarga para penderita migraine
dengan aura. Namun, dalam migraine tanpa aura tidak ada keterkaitan genetik
yang mendasarinya, walaupun secara umum menunjukkan hubungan antara
riwayat migraine dari pihak ibu. Migraine juga meningkat frekuensinya pada
orang-orang dengan kelainan mitokondria seperti MELAS (mitochondrial
myopathy, encephalopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes). Pada pasien
dengan kelainan genetik CADASIL (cerebral autosomal dominant arteriopathy
with subcortical infarcts and leukoencephalopathy) cenderung timbul migrane
dengan aura.
Klasifikasi
Secara umum migraine dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Migraine dengan aura
Migraine dengan aura disebut juga sebagai migraine klasik. Diawali
dengan adanya gangguan pada fungsi saraf, terutama visual, diikuti oleh
nyeri kepala unilateral, mual, dan kadang muntah, kejadian ini terjadi
berurutan dan manifestasi nyeri kepala biasanya tidak lebih dari 60 menit
yaitu sekitar 5-20 menit.
b) Migraine tanpa aura
Migraine tanpa aura disebut juga sebagai migraine umum. Sakit
kepalanya hampir sama dengan migraine dengan aura. Nyerinya pada
salah satu bagian sisi kepala dan bersifat pulsatil dengan disertai mual,
fotofobia dan fonofobia. Nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam.
Patofisiologi
a) Teori vaskular
Vasokontriksi intrakranial di bagian luar korteks berperan dalam
terjadinya migren dengan aura. Pendapat ini diperkuat dengan adanya nyeri
kepala disertai denyut yang sama dengan jantung. Pembuluh darah yang
mengalami konstriksi terutama terletak di perifer otak akibat aktivasi saraf
nosiseptif setempat. Teori ini dicetuskan atas observasi bahwa pembuluh
22

darah ekstrakranial mengalami vasodilatasi sehingga akan teraba denyut


jantung.
b) Teori Neurovaskular dan Neurokimia
Teori vaskular berkembang menjadi teori neurovaskular yang dianut
oleh para neurologist di dunia. Pada saat serangan migraine terjadi, nervus
trigeminus mengeluarkan CGRP (Calcitonin Gene-related Peptide) dalam
jumlah besar. Hal inilah yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah
multipel, sehingga menimbulkan nyeri kepala.
c) Teori cortical spreading depression (CSD)
Patofisiologi migraine dengan aura dikenal dengan teori cortical
spreading depression (CSD). Aura terjadi karena terdapat eksitasi neuron di
substansia nigra yang menyebar dengan kecepatan 2-6 mm/menit.
Penyebaran ini diikuti dengan gelombang supresi neuron dengan pola yang
sama sehingga membentuk irama vasodilatasi yang diikuti dengan
vasokonstriksi. Prinsip neurokimia CSD ialah pelepasan Kalium atau asam
amino eksitatorik seperti glutamat dari jaringan neural sehingga terjadi
depolarisasi dan pelepasan neurotransmiter lagi. CSD pada episode aura
akan menstimulasi nervus trigeminalis nukleus kaudatus, memulai
terjadinya migraine. Pada migraine tanpa aura, kejadian kecil di neuron
juga mungkin merangsang nukleus kaudalis kemudian menginisiasi
migren.
Diagnosis
a. Migraine tanpa aura
1) Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan yang memenuhi kriteria
2-4.
2) Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (tidak diobati
atau tidak berhasil diobati).
3) Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara karakteristik
berikut :
i. Lokasi unilateral
ii. Kualitas berdenyut
iii. Intensitas nyeri sedang atau berat
iv. Keadaan bertambah berat oleh aktifitas fisik atau
penderita menghindari aktivitas fisik rutin (seperti
berjalan atau naik tangga).
4) Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini :
i. Mual dan/atau muntah
ii. Fotofobia dan fonofobia
5) Tidak berkaitan dengan kelainan yang lain.
b. Migraine dengan aura
Kriteria diagnostik :
23

1) Sekurang-kurangnya terjadi 2 serangan yang memenuhi criteria 24.


2) Adanya aura yang terdiri paling sedikit satu dari dibawah ini
tetapi tidak dijumpai kelemahan motorik:
i.
Gangguan visual yang reversibel seperti : positif (cahaya
yang berkedip-kedip, bintik-bintik atau garis-garis) dan
negatif (hilangnya penglihatan).
Gangguan sensoris yang reversible termasuk positif (pins

ii.

and needles), dan/atau negatif (hilang rasa/baal).


iii.
Gangguan bicara disfasia yang reversibel
3) Paling sedikit dua dari dibawah ini:
i.
Gejala visual homonim dan/atau gejala sensoris unilateral
ii.

17
Paling tidak timbul satu macam aura secara gradual > 5

iii.

menit dan /atau jenis aura yang lainnya > 5 menit.


Masing-masing gejala berlangsung > 5 menit dan < 60

menit.
4) Nyeri kepala memenuhi kriteria 2-4
5) Tidak berkaitan dengan kelainan lain.
Tatalaksana
a) Medikamentosa
i. Terapi Abortif
Sumatriptan
- Indikasi: serangan migren akut dengan atau tanpa aura
- Dosis & Cara Pemberian: dapat diberikan secara
subkutan dengan dosis 4-6 mg. Dapat diulang sekali
setelah 2 jam kemudian jika dibutuhkan. Dosis

maksimum 12 mg per 24 jam.


Zolmitriptan
- Indikasi: Untuk mengatasi serangan migraine akut
dengan atau tanpa aura pada dewasa. Tidak ditujukan
untuk terapi profilaksis migren atau untuk tatalaksana
-

migren hemiplegi atau basilar.


Dosis & Cara Pemberian : Pada uji klinis, dosis tunggal
1; 2,5 dan 5 mg efektif mengatasi serangan akut. Pada
perbandingan dosis 2,5 dan 5 mg, hanya terjadi sedikit
penambahan manfaat dari dosis lebih besar, namun efek
samping meningkat. Oleh karena itu, pasien sebaiknya
mulai dengan doss 2,5 atau lebih rendah. Jika sakit

24

terasa lagi, dosis bisa diulang setelah 2 jam, dan tidak

lebih dari 10 mg dalam periode 24 jam.


Eletriptan
- Indikasi: Penanganan migraine akut dengan atau tanpa
-

aura.
Dosis & Cara Pemberian: 2040 mg po saat onset
berlangsung, dapat diulang 2 jam kemudian sebanyak 1

kali. Dosis maksimum tidak melebihi 80 mg/24 jam.


ii. Terapi Profilaktif
Tujuan dari terapi profilaktif adalah untuk mengurangi frekuensi berat
dan lamanya serangan, meningkatkan respon pasien terhadap
pengobatan, serta pengurangan disabilitas. Obat-obatan yang sering
diberikan :
Beta-blocker:
- Propanolol yang dimulai dengan dosis 10-20 mg 2-3x1
dan dapat ditingkatkan secara gradual menjadi 240

mg/hari.
- Atenolol 40-160 mg/hari
- Timolol 20-40 mg/hari
- Metoprolol 100-200 mg/hari
Calcium Channel Blocker:
- Verapamil 320-480 mg/hari
- Nifedipin 90-360 mg/hari
Antidepresan, misalnya amitriptilin 25-125 mg, antidepresan
trisiklik, yang terbukti efektif untuk mencegah timbulnya

migraine.
Antikonvulsan:
- Asam valproat 250 mg 3-4x1
- Topiramat
Methysergid, derivatif ergot 2-6 mg/hari untuk beberapa
minggu sampai bulan efektif untuk mencegah serangan

migraine.
b) Non Medikamentosa
i. Terapi abortif
Para penderita migraine pada umumnya mencari tempat yang
tenang dan gelap pada saat serangan migraine terjadi karena fotofobia
dan fonofobia yang dialaminya. Serangan juga akan sangat berkurang
jika pada saat serangan penderita istirahat atau tidur.
ii. Terapi profilaktif
Pasien harus memperhatikan pencetus dari serangan migraine
yang dialami. Pasien diharapkan dapat menghindari faktor-faktor
pencetus timbulnya serangan migraine. Disamping itu, pasien
25

dianjurkan untuk berolahraga secara teratur untuk memperlancar aliran


darah.

B. Tension Type Headache (TTH)


Definisi
Merupakan sensasi nyeri pada daerah kepala akibat kontraksi terus menerus
otot- otot kepala dan tengkuk ( M.splenius kapitis, M.temporalis, M.maseter,
M.sternokleidomastoid, M.trapezius, M.servikalis posterior, dan M.levator
skapula).
Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH) adalah stress,
depresi, bekerja dalam posisi yang menetap dalam waktu lama, kelelahan mata,
kontraksi

otot

yang

berlebihan,

berkurangnya

aliran

darah,

dan

ketidakseimbangan neurotransmitter seperti dopamin, serotonin, noerpinefrin,


dan enkephalin.
Klasifikasi
Klasifikasi TTH adalah Tension Type Headache episodik dan dan Tension Type
Headache kronik. Tension Type Headache episodik, apabila frekuensi serangan
tidak mencapai 15 hari setiap bulan. Tension Type Headache episodik (ETTH)
dapat berlangsung selama 30 menit 7 hari. Tension Type Headache kronik
(CTTH) apabila frekuensi serangan lebih dari 15 hari setiap bulan dan
berlangsung lebih dari 6 bulan.
Diagnosa
Tension Type Headache harus memenuhi syarat yaitu sekurang kurangnya dua
dari berikut ini : (1) adanya sensasi tertekan/terjepit, (2) intensitas ringan
sedang, (3) lokasi bilateral, (4) tidak diperburuk aktivitas. Selain itu, tidak
dijumpai mual muntah, tidak ada salah satu dari fotofobia dan fonofobia.
Terapi
Relaksasi selalu dapat menyembuhkan TTH. Pasien harus dibimbing untuk
mengetahui arti dari relaksasi yang mana dapat termasuk bed rest, massage, dan
atau latihan biofeedback. Pengobatan farmakologi adalah simpel analgesia dan
atau mucles relaxants. Ibuprofen dan naproxen sodium merupakan obat yang
efektif

untuk

kebanyakan

orang.

Jika

pengobatan

simpel

analgesia

(asetaminofen, aspirin, ibuprofen, dll.) gagal maka dapat ditambah butalbital


dan kafein ( dalam bentuk kombinasi seperti Fiorinal) yang akan menambah
efektifitas pengobatan.
C. Cluster Headache
26

Gambar 2. Lokasi Nyeri pada Cluster Headache

Definisi
Nyeri kepala klaster (cluster headache) merupakan nyeri kepala vaskular yang
juga dikenal sebagai nyeri kepala Horton, sfenopalatina neuralgia, nyeri kepala
histamine, sindrom Bing, erythrosophalgia, neuralgia migrenosa, atau migren
merah (red migraine) karena pada waktu serangan akan tampak merah pada sisi
wajah yang mengalami nyeri.
Etiologi
Etiologi cluster headache adalah sebagai berikut :
Penekanan pada nervus trigeminal (nervus V) akibat dilatasi pembuluh

darah sekitar.
Pembengkakan dinding arteri carotis interna.
Pelepasan histamin.
Letupan paroxysmal parasimpatis.
Abnormalitas hipotalamus.
Penurunan kadar oksigen.
Pengaruh genetik

Diduga faktor pencetus cluster headache antara lain :


Glyceryl trinitrate.
Alkohol.
Terpapar hidrokarbon.
Panas.
Terlalu banyak atau terlalu sedikit tidur.
Stres.
Diagnosis
Diagnosis nyeri kepala klaster menggunakan kriteria oleh International
Headache Society (IHS) adalah sebagai berikut:
a. Paling sedikit 5 kali serangan dengan kriteria seperti di bawah
27

b. Berat atau sangat berat unilateral orbital, supraorbital, dan atau nyeri
temporal selama 15 180 menit bila tidak di tatalaksana.
c. Sakit kepala disertai satu dari kriteria dibawah ini :
1. Injeksi konjungtiva ipsilateral dan atau lakriimasi
2. Kongesti nasal ipsilateral dan atau rhinorrhea
3. Edema kelopak mata ipsilateral
4. Berkeringat pada bagian dahi dan wajah ipsilateral
5. Miosis dan atau ptosis ipsilateral
6. Kesadaran gelisah atau agitasi
d. Serangan mempunyai frekuensi 1 kali hingga 8 kali perhari
e. Tidak berhubungan dengan kelainan yang lain.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis terhadap cluster headache dapat dibagi ke dalam
pengobatan terhadap serangan akut, dan pengobatan preventif, yang bertujuan
untuk menekan serangan. Pengobatan akut dan preventif dimulai secara
bersamaan saat periode awal cluster. Pilihan pengobatan pembedahan yang
terbaru dan neurostimulasi telah menggantikan pendekatan pengobatan yang
bersifat merugikan.
a.

Pengobatan Serangan Akut


Oksigen: inhalasi oksigen, kadar 100% sebanyak 10-12 liter/menit
selama 15 menit sangat efektif, dan merupakan pengobatan yang

aman untuk cluster headache akut.


Triptan: Sumatriptan 6 mg subkutan, sumatriptan 20 mg intranasal,
dan zolmitriptan 5 mg intranasal efektif pada pengobatan akut cluster
headache. Tiga dosis zolmitriptan dalam dua puluh empat jam bisa
diterima. Tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan triptan

oral pada cluster headache.


Dihidroergotamin 1 mg intramuskular efektif dalam menghilangkan
serangan akut cluster headache. Cara intranasal terlihat kurang
efektif, walaupun beberapa pasien bermanfaat menggunakan cara

tersebut.
Lidokain: tetes hidung topikal lidokain dapat digunakan untuk
mengobati serangan akut cluster headache. Pasien tidur telentang
dengan kepala dimiringkan ke belakang ke arah lantai 30 dan beralih
ke sisi sakit kepala. Tetes nasal dapat digunakan dan dosisnya 1 ml

b.

lidokain 4% yang dapat diulang setekah 15 menit.


Preventif
Verapamil, dosis 80 mg tiga kali sehari, dosis harian akan
ditingkatkan secara bertahap dari 80 mg setiap 10-14 hari. Dosis
28

ditingkatkan sampai serangan cluster menghilang, efek samping atau

dosis maksimum sebesar 960 mg perhari.


Kortikosteroid dalam bentuk prednison 1 mg/kgbb sampai 60 mg

selama empat hari yang diturunkan bertahap selama tiga minggu.


Lithium karbonat, dosis lithium sebesar 600 mg sampai 900 per-hari

dalam dosis terbagi.


Topiramat, dosis 100-200 mg perhari.
Melatonin, dosis biasa yang digunakan adalah 9 mg perhari.
Obat-obat pencegahan lainnya termasuk gabapentin (sampai 3600

perhari) dan methysergide (3 sampai 12 mg perhari).


Injeksi pada saraf oksipital: Injeksi metilprednisolon (80 mg) dengan
lidokain ke dalam area sekitar nervus oksipital terbesar ipsilateral

sampai ke lokasi serangan.


Pendekatan Bedah: Pendekatan bedah modern pada cluster headache
didominasi oleh stimulasi otak dalam pada area hipotalamus posterior
grey matter dan stimulasi nervus oksipital.

II.2.7. Nyeri Kepala Sekunder


Sakit kepala sekunder dapat dibagi menjadi sakit kepala yang disebabkan oleh
karena trauma pada kepala dan leher, sakit kepala akibat kelainan vaskular kranial
dan servikal, sakit kepala yang bukan disebabkan kelainan vaskular intrakranial,
sakit kepala akibat adanya zat atau withdrawal, sakit kepala akibat infeksi, sakit
kepala akibat gangguan homeostasis, sakit kepala atau nyeri pada wajah akibat
kelainan kranium, leher, telinga, hidung, gigi, mulut atau struktur lain di kepala dan
wajah, sakit kepala akibat kelainan psikiatri. Sakit kepala sekunder merupakan sakit
kepala yang disebabkan adanya suatu penyakit tertentu (underlying disease). Pada
sakit kepala kelompok ini, rasa nyeri di kepala merupakan tanda dari berbagai
penyakit. Adapun penyakit yang dapat menimbulkan sakit kepala adalah :
1. Infeksi sistemik seperti flu, demam dengue/demam berdarah denggue,
sinusitis, radang tenggorokan dan lain-lain
2. Aneurisma otak
3. Tumor otak
4. Keracunan karbon dioksida
5. Glaukoma
6. Kelainan refraksi mata (mata minus/plus)
7. Cedera kepala
8. Ensefalitis (radang otak)
9. Meningitis (radang selaput otak)
10. Perdarahan otak
11. Stroke
12. Efek samping obat
13. Dan lain-lain
29

Sebagian besar sakit kepala bersifat ringan atau disebabkan penyakit yang ringan.
Namun kita tetap harus waspada karena sakit kepala juga dapat merupakan gejala
dari penyakit yang serius seperti radang otak/selaput otak, perdarahan otak, stroke,
tumor otak, glaukoma, dan lain-lain. Adapun karakteristik sakit kepala yang
menjadi tanda penyakit serius adalah sebagai berikut :
1. Sangat sakit paling sakit ( worst headache ever) : rasa sakit yang dirasakan
2.
3.
4.
5.

sangat sakit, jauh lebih sakit dibandingkan sakit kepala sebelumnya


Sakit kepala berat yang dirasakan pertama kalinya
Sakit kepala yang bertambah berat dalam beberapa hari atau beberapa minggu
Ada gangguan saraf seperti kelumpuhan, kebutaan, dan lain-lain
Sakit kepala disertai demam (yang penyebab demam tidak diketahui dengan

jelas)
6. Muntah yang terjadi mendahului sakit kepala
7. Sakit kepala yang dicetuskan oleh bending, mengangkat beban, dan batuk
8. Sakit kepala timbul segera setelah bangun tidur
9. Usia lebih dari 55 tahun
10. Sakit kepala pada anak

II.3. Space Occupying Lesion (SOL)


II.3.1. Definisi
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder, serta setiap
inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak yang menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial dan menempati ruang di dalam otak. Space occupying lesion
intrakranial meliputi tumor, hematoma, dan abses.
II.3.2. Patofisiologi
Ruang intra kranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Ruang intra kranial dibatasi oleh tuang-tulang kranium sehingga
volume dari ruang tersebut relatif tetap. Kranium mempunyai sebuah lubang keluar
utama yaitu foramen magnum dan memiliki tentorium yang memisahkan hemisfer
serebral dari serebelum. Keseimbangan isi komponen dalam ruang intra kranial
diterangkan dengn konsep Doktrin Monro-Kellie. Timbulnya massa yang baru di
dalam kranium seperti neoplasma, akan menyebabkan isi intrakranial normal akan
menggeser sebagai konsekuensi dari space occupying lesion (SOL).
Dalam keadaan fisiologik, jumlah darah yang mengalir ke otak (CBF =
cerebral blood flow) ialah 50-60 ml per 100 gram jaringan otak permenit. Jadi
jumlah darah untuk seluruh otak, yang kira-kira beratnya antara 1200-1400 gram
adalah 700-840 ml permenit. Dari jumlah darah itu, satu pertiganya disalurkan
melalui susunan vertebrobasilar.
30

Pembuluh

serebral

menyesuaikan

lumennya

pada

ruang

lingkupnya

sedemikian rupa sehingga aliran darah tetap konstan, walaupun tekanan perfusi
berubah-ubah. Pengaturan lumen ini dinamakan autoregulasi. Konstriksi terjadi
apabila tekanan intralumen melonjak dan dilatasi jika tekanan tersebut menurun.
Reaksi dinding pembuluh darah terhadap fluktuasi tekanan intalumental sangat cepat
yaitu dalam beberapa detik.
Setiap bagian pada ruang intrakranial menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal sebesar 50 200 mm H 2O atau 4
15 mm Hg. Ruang intrakranial adalah suatu ruangan baku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g), cairan
serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada
salah satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati
oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie
nenberikan suatu konsep pemahaman peningkatan tekanan intrakranial. Teori ini
menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari
ketiga ruangannya meluas, dua ruangan lainnya harus mengompensasi dengan
mengurangi volumenya.

Gambar 3. Hipotesis Monroe-Kellie

Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial selalu dipertahankan


konstan dengan tekanan intrakranial berkisar 10-15 mmHg. Tekanan abnormal
apabila tekanan diatas 20 mmHg dan diatas 40 mmHg dikategorikan sebagai
peninggian yang parah. Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai
31

peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Peningkatan tekanan intrakranial dapat


disebabkan oleh beberapa faktor yaitu bertambahnya massa dalam tengkorak,
terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan serebrospinal.
Pertumbuhan tumor akan menyebabkan bertambahnya massa karena tumor akan
mendesak ruang yang relatif tetap pada ruangan tengkorak yang kaku. Obstruksi
vena dan edema akibat kerusakan sawar darah otak dapat menimbulkan peningkatan
volume

intrakranial

dan

tekanan

intrakranial.

Obstruksi

sirkulasi

cairan

serebrospinal dari ventrikel lateralis ke ruangan subarakhnoid menimbulkan


hidrosefalus.

Gambar 4. Skema Faktor Peningkatan Tekanan Intrakranial

Selain itu, penyebab peningkatan intrakranial adalah cedera otak yang


diakibatkan trauma kepala. Aneurisma intrakranial yang pecah dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak sehingga mencapai tingkatan
tekanan darah arteri untuk sesaat. Tingginya tekanan intrakranial pasca pecah
aneurisma sering kali diikuti dengan meningkatnya kadar laktat cairan serebrospinal
dan hal ini mengindikasi terjadinya suatu iskhemia serebri. Tumor otak yang makin
membesar akan menyebabkan pergeseran CSS dan darah perlahan-lahan.

32

Gambar 5. Skema Proses Desak Ruang Yang menimbulkan Kompresi Pada Jaringan Otak dan
Pergeseran Struktur Tengah.

Otak yang mengalami kontusio akan cenderung menjadi lebih besar, hal
tersebut dikarenakan pembengkakan sel-sel otak dan edema sekitar kontusio.
Sehingga akan menyebabkan space occypying lesion (lesi desak ruang) intra kranial
yang cukup berarti. Karena wadah yang tetap tetapi terdapat adanya tambahan
massa, maka secara kompensasi akan menyebabkan tekanan intra kranial yang
meningkat. Hal ini akan menyebabkan kompresi pada otak dan penurunan
kesadaran. Waktu terjadinya hal tersebut bervariasi antara 24-48 jam dan
berlangsung sampai hari ke 7-10.
Kenaikan TIK ini secara langsung akan menurunkan TPO (Tekanan Perfusi
Otak), sehingga akan berakibat terjadinya iskemia dan kematian. TIK harus
diturunkan tidak melebihi 20-25 mmHg. Bila TIK 40 mmHg maka dapat terjadi
kematian.

Gambar 6. Hubungan Tekanan Intrakranial, Ruang Intrakranial dan isinya

II.3.3. Etiologi SOL


1. Tumor Otak
Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau proses desak ruang
(space occupying lesion) yang timbul di dalam rongga tengkorak baik di dalam
kompartemen supertentorial maupun infratentorial. Keganasan tumor otak yang
memberikan implikasi pada prognosanya didasari oleh morfologi sitologi tumor
dan konsekuensi klinis yang berkaitan dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat
keganasan tumor otak didasari oleh hasil evaluasi morfologi makroskopis dan
histologis neoplasma, dikelompokkan atas :
33

a. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas, tidak
infiltratif dan hanya mendesak organ-organ sekitar. Selain itu, ditemukan
adanya pembentukan kapsul serta tidak adanya metastasis maupun rekurensi
setelah dilakukan pengangkatan total. Secara histologis, menunjukkan
struktur sel yang reguler, pertumbuhan la,a tanpa mitosis, densitas sel yang
rendah dengan diferensiasi struktur yang jelas parenkhim, stroma yang
tersusun teratur tanpa adanya formasi baru.
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi destruktur tanpa
batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung membentuk metastasis dan
rekurensi pasca pengangkatan total.
Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif.
Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan oleh dua faktor,
yaitu gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan intrakranial. Gangguan fokal
terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak dan infiltrasi atau invasi
langsung pada aprenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Perubahan
suplai darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh menyebabkan nekrosis
jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi
sebagai hilangnya fungsi secara akut dan gangguan serebrovaskular primer.
Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan
dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan otak. Beberapa
tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak sekitar sehingga
memperberat gangguan neurologis fokal.
Berikut ini klasifikasi tumor intracranial menurut WHO :

Jenis Tumor

Kordoma

Tumor sel germ

Asal

Status
Keganasan

Sel saraf dari

Jinak tetapi

kolumna spinalis

invasif

Sel-sel embrionik

Ganas atau

34

Persentase
Dari Semua
Tumor Otak

Yang Sering
Terkena

<>

Dewasa

1%

Anak-anak

jinak

Glioma (glioblastoma
multiformis, astrositoma,
oligodendtrositoma)

Sel-sel penyokong
otak, termasuk

Ganas atau

astrosit &

relatif jinak

65%

Anak-anak &
dewasa

oligodendrosit

Hemangioblastoma

Pembuluh darah

Jinak

Meduloblastoma

Sel-sel embrionik

Ganas

1-2%

Anak-anak &
dewasa

Anak-anak

Sel-sel dari selaput


Meningioma

yg membungkus

Jinak

20%

Dewasa

otak

Osteoma

Tulang tengkorak

Jinak

2&

Osteosarkoma

Tulang tengkorak

Ganas

<>

Jinak

1%

Jinak

2%

Jinak

3%

Pinealoma

Adenoma hipofisa

Sel-sel di kelenjar
pinealis

Sel-sel epitel
hipofisa

Anak-anak &
dewasa

Anak-anak &
dewasa

Anak-anak

Anak-anak &
dewasa

Sel Schwann yg
Schwannoma

membungkus
persarafan

35

Dewasa

Tabel 2. Klasifikasi Tumor Intrakranial (WHO)

Tumor otak merupakan penyakit yang sukar terdiagnosa secara dini, karena
pada awalnya menunjukkan berbagai gejala yang menyesatkan dan meragukan
tapi umumnya berjalan progresif. Baik pada tumor jinak maupun ganas,
gejalanya timbul jika jaringan otak mengalami kerusakan atau otak mendapat
penekanan.
Jika tumor otak merupakan penyebaran dari tumor lain, maka akan timbul
gejala yang berhubungan dengan kanker asalnya. Misalnya batu berlendir dan
berdarah terjadi pada kanker paru-paru, benjolan di payudara bisa terjadi pada
kanker payudara.
Gejala dari tumor otak tergantung kepada ukuran, kecepatan pertumbuhan dan
lokasinya.Tumor di beberapa bagian otak bisa tumbuh sampai mencapai ukuran
yang cukup besar sebelum timbulnya gejala; sedangkan pada bagian otak
lainnya, tumor yang berukuran kecilpun bisa menimbulkan efek yang fatal.
Manifestasi klinis tumor otak dapat berupa:
1) Gejala serebral umum
Dapat berupa perubahan mental yang ringan (Psikomotor asthenia), yang
dapat dirasakan oleh keluarga dekat penderita berupa: mudah
tersinggung, emosi, labil, pelupa, perlambatan aktivitas mental dan
sosial, kehilangan inisiatif dan spontanitas, mungkin diketemukan
ansietas dan depresi. Gejala ini berjalan progresif dan dapat dijumpai
pada 2/3 kasus.
a.
Nyeri Kepala
Diperkirakan 1% penyebab nyeri kepala adalah tumor otak dan
30% gejala awal tumor otak adalah nyeri kepala. Sedangkan gejala
lanjut diketemukan 70% kasus. Sifat nyeri kepala bervariasi dari
ringan dan episodik sampai berat dan berdenyut, umumnya
bertambah berat pada malam hari dan pada saat bangun tidur pagi
serta pada keadaan dimana terjadi peninggian tekanan tinggi
intrakranial. Nyeri kepala terutama terjadi pada waktu bangun tidur,
karena selama tidur PCO2 arteri serebral meningkat, sehingga
mengakibatkan peningkatan dari serebral blood flow dan dengan
demikian mempertinggi lagi tekanan intrakranium. Juga lonjakan
tekanan intrakranium sejenak karena batuk, bersin, coitus dan
mengejan akan memperberat nyeri kepala. Nyeri kepala juga
bertambah berat waktu posisi berbaring, dan berkurang bila duduk.
Adanya nyeri kepala dengan psicomotor asthenia perlu dicurigai
36

tumor otak. Nyeri kepala pada tumor otak, terutama ditemukan


pada orang dewasa dan kurang sering pada anak-anak. Pada anak
kurang dari 10-12 tahun, nyeri kepala dapat hilang sementara dan
biasanya nyeri kepala terasa di daerah bifrontal serta jarang
didaerah yang sesuai dengan lokasi tumor. Pada tumor di daerah
fossa posterior, nyeri kepala terasa dibagian belakang dan
leher.Penyebab nyeri kepala ini diduga akibat tarikan (traksi) pada
pain sensitive structure seperti dura, pembuluh darah atau serabut
saraf. Nyeri kepala merupakan gejala permulaan dari tumor otak
yang berlokasi di daerah lobus oksipitalis.
b.
Muntah
Muntah dijumpai pada 1/3 penderita dengan gejala tumor otak dan
biasanya disertai dengan nyeri kepala. Muntah tersering adalah
akibat tumor di fossa posterior. Muntah tersebut dapat bersifat
proyektil atau tidak dan sering tidak disertai dengan perasaan mual
c.

serta dapat hilang untuk sementara waktu.


Kejang
Bangkitan kejang dapat merupakan gejala awal dari tumor otak
pada 25% kasus, dan lebih dari 35% kasus pada stadium lanjut.
Diperkirakan 2% penyebab bangkitan kejang adalah tumor otak.
Perlu dicurigai penyebab bangkitan kejang adalah tumor otak bila:
- Bangkitan kejang pertama kali pada usia lebih dari 25 tahun
- Mengalami post iktal paralisis
- Mengalami status epilepsi
- Resisten terhadap obat-obat epilepsi
- Bangkitan disertai dengan gejala TTIK lain
Frekwensi kejang akan meningkat sesuai dengan pertumbuhan
tumor. Pada tumor di fossa posterior kejang hanya terlihat pada
stadium

yang

lebih

lanjut.

Schmidt

dan

Wilder

(1968)

mengemukakan bahwa gejala kejang lebih sering pada tumor yang


letaknya dekat korteks serebri dan jarang ditemukan bila tumor
terletak dibagian yang lebih dalam dari himisfer, batang otak dan
difossa posterior. Bangkitan kejang ditemukan pada 70% tumor
otak di korteks, 50% pasien dengan astrositoma, 40% pada pasien
meningioma, dan 25% pada glioblastoma.
2) Gejala Tekanan Tinggi Intrakranial
Berupa keluhan nyeri kepala di daerah frontal dan oksipital yang timbul
pada pagi hari dan malam hari, muntah proyektil dan penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan diketemukan. Keadaan ini perlu tindakan
37

segera karena setiap saat dapat timbul ancaman herniasi. Selain itu dapat
dijumpai parese N.VI akibat teregangnya N.VI oleh TTIK. Tumor-tumor
yang sering memberikan gejala TTIK anpa gejala-gejala fokal maupun
lateralisasi adalah meduloblatoma, spendimoma dari ventrikel III,
haemangioblastoma serebelum dan craniopharingioma.
3) Gejala spesifik tumor otak yang berhubungan dengan lokasi
a. Lobus frontal
Menimbulkan gejala perubahan kepribadian apatis dan masa bodoh
euphoria, tetapi lebih sering ditemukan adalah gabungan dari kedua

tipe tersebut.
Bila tumor menekan

kontralateral, kejang fokal


Bila menekan permukaan media dapat menyebabkan inkontinentia
Bila tumor terletak pada basis frontal menimbulkan sindrom foster-

jaras

motorik

menimbulkan

hemiparese

kennedy
Pada lobus dominan menimbulkan gejala afasia motorik dan disartria.
b. Lobus parietal
Dapat menimbulkan gejala modalitas sensori kortikal hemianopsi

homonymus
Bila terletak dekat area motorik dapat timbul kejang fokal dan pada
gyrus angularis menimbulkan gejala sindrom gerstmanns. Bangkitan
kejang dapat umum atau fokal, hemianopsia homonim, apraksia. Bila
tumor terletak pada lobus yang dominan dapat menyebabkan afasia

sensorik atau afasia sensorik motorik, agrafia dan finger agnosia.


c. Lobus temporal
Akan menimbulkan gejala hemianopsia kontralateral, bangkitan
psikomotor atau kejang yang didahului dengan aura atau halusinasi

(auraolfaktorius)
Bila letak tumor lebih dalam menimbulkan gejala afasia sensorik

motorik atau disfasia serta hemiparese.


Pada tumor yang terletak sekitar basal ganglia dapat diketemukan

gejala choreoathetosis, parkinsonism.


d. Lobus oksipital
Menimbulkan bangkitan kejang yang dahului dengan gangguan
penglihatan (aura berupa kilatan sinar yang tidak berbentuk) dimana

makula masih baik.


Gangguan penglihatan

yang

permulaan

bersifat

berkembang menjadi hemianopsia, objeckagnosia.


e. Tumor di ventrikel ke III
38

quadranopia

Tumor biasanya bertangkai sehingga pada pergerakan kepala


menimbulkan obstruksi dari cairan serebrospinal dan terjadi peninggian
tekanan

intrakranial

mendadak,

pasen

tiba-tiba

nyeri

kepala,

penglihatan kabur, dan penurunan kesadaran.


f. Tumor di cerebello pontin angle
Tersering berasal dari N VIII yaitu acustic neurinoma
Dapat dibedakan dengan tumor jenis lain karena gejala awalnya berupa

gangguan fungsi pendengaran


Gejala lain timbul bila tumor membesar dan keluar dari daerah pontin

angle
g. Tumor Hipotalamus
Menyebabkan gejala TTIK akibat oklusi dari foramen Monroe
Gangguan fungsi hipotalamus menyebabkan gejala: gangguan
perkembangan seksual pada anak-anak, amenorrhoe, dwarfism,
gangguan cairan dan elektrolit, bangkitan
h. Tumor di Cerebellum
Umumnya didapat gangguan berjalan dan gejala TTIK akan cepat

terjadi disertai dengan papil udem


Nyeri kepala khas didaerah oksipital yang menjalar keleher dan spasme

dari otot-otot servikal


Gangguan Gerak Pada Tumor Serebelum

Gangguan
Tremor intensional

Keterangan
Tremor osilasi yang paling jelas pada

Asinergia
Dekomposisi gerakan

akhir gerakan halus


Kurangnya kerjasama antara otot-otot
Gerakan dilakukan secara terpisahpisah bukan sebagai satu gerakan

Dismetria

yang utuh
Kesalahan

Deviasi

gerakan
Salah tujuan gerakan

dari

jalur

dalam

mengarahkan

gerakan
Disdiadokokinesis

Tidak dapat melakukan gerkan yang

Nistagmus

bergantian
Osilasi mata

yang

cepat

saat

memandang atau meilah suatu benda


Tabel 3. Gangguan gerak pada tumor serebelum

2. Hematom Intrakranial
a. Hematom Epidural
39

Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri


meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen spinosum
dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dalam os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural. Desakan dari
hematom akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala
sehingga hematom bertambah besar. Hematom yang meluas di daerah
temporal menyebabkan tertekannya lobus temporalis otek ke arah bawah dan
dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di
bawah tepi tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik.

Gambar 7. Hematom Epidural


Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom epidural, 4. Otak terdorong kesisi lain

b. Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan
robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena
robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Oleh karena hematom
subdural sering disertai cedera otak berat lain, jika dibandingkan dengan
hematom epidural prognosisnya lebih jelek. Hematom subdural dibagi
menjadi subdural akut bila gejala timbul pada hari pertama sampai hari
ketiga, subakut bila timbul antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan
kronik bila timbul sesudah minggu ketiga.
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting
dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma sering
berkaitan dengan trauma otak berat dan memiliki mortalitas yang tinggi.
Hematoma subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat
antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala
minor. Cidera ini seringkali berkaitan dengan cidera deselarasi akibat
kecelakaan kendaraan bermotor. Defisit neurologik progresif disebabkan oleh
40

tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen
magnum yang selanjutnya menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol
atas denyut nadi dan tekanan darah.
Hematom subdural akut dan kronik memberikan gambaran klinis suatu
proses desak ruang (space occupying lesion) yang progresif sehingga tidak
jarang dianggap sebagai neoplasma atau demensia.

Gambar 8. Hematom Subdural


Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom subdural, 4. Otak terdorong kesisi lain

c. Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin
disertai pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural. Kelainan
ini jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput arakhnoid
yang menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke ruang subdural. Gambaran
klinis menunjukkan tanda kenaikan tekanan intrakranial, sering tanpa tanda
fokal.
3. Abses otak
Abses otak adalah kumpulan nanah yang dikelilingi oleh kapsul fibrosa
parenkim otak terutama disebabkan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang
berdekatan atau melalui vaskular. Kebanyakan abses otak terjadi karena
diseminasi hematogen dari peradangan yang jauh, trauma, pembedahan, ekstensi
langsung dari sinusitis.

41

Gambar 9. Abses Otak

Goodman mengemukakan empat sindrom kumpulan gejala untuk abses otak


(Satyanegara, 2010) :
a. Tipe I Masa Fokal Akut
Penderita kelompok ini memiliki gejala dan tanda proses desak ruang dari
suatu lesi massa intrakranial yang progresif dalam beberapa hari bahkan
sampai beberapa jam. Corak gejalanya sesuai dengan lokasi abses seperti abses
di lobus temporal. Gejala-gejala tersebut disertai dengan demam yang tidak
begitu tinggi, kesadaran berkabut, sehingga kadang defisit neurologis yang
masih ringan sulit terdeteksi.
b. Tipe II Hipertensi Intrakranial
Gejala dan tanda gangguan neurologis yang berkaitan dengan peninggian
tekanan intrakranial seperti nyeri kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran,
gangguan daya ingat, dan perubahan personalitas serta papiledema.
c. Tipe III Destruksi Difus
Gejala-gejala yang mengandung komponen destruksi yang progresif
seperti gangguan neurologis yang tak sesuai dengan estimasi klinis dan
keadaan intrakranialnya.
d. Tipe IV Defisit Neurologis Fokal
Gejala yang berkembang sedemikian lambatnya sehingga sering kali
diinterpretasi sebagai suatu neoplasma yang tumbuh lambat.
4. Kontusio serebri
Lesi kontusio bisa terjadi tanpa adanya dampak yang berat. Yang penting untuk
terjadinya lesi kontusio adalah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga
menimbulkan penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang
destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Karena itu otak
membentang batang otak terlampau kuat, sehingga menimbulkan blokade
reversibel terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blokade itu otak
tidak mendapatkan input aferen dan karena itu kesadaran hilang selama blokade
42

reversibel berlangsung. Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanismemekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut, autoregulasi pembuluh
darah serebral terganggu, sehingga terdapat vasoparalisis. Tekanan darah
menajdi rendah dan nadi menjadi lambat. Pusat vegetatif ikut terlibat, maka rasa
mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul.
II.3.4. Diagnosis SOL
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yaitu melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik neurologik yang teliti serta pemeriksaan penunjang. Dari
anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita yang
mungkin sesuai dengan gejala-gejala yang telah diuraikan di atas. Misalnya ada
tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan fisik
neurologik ditemukan adanya gejala seperti edema papil dan deficit lapangan
pandang. Perubahan tanda vital pada kasus space occupying lesion intrakranial,
meliputi:
a. Denyut Nadi
Denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP, terutama
pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi yang mungkin
terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini dikontrol oleh
tekanan pada mekanisme reflex vagal yang terdapat di medulla. Apabila
tekanan ini tidak dihilangkan, maka denut nadi akan menjadi lambat dan
irregular dan akhirnya berhenti.
b. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan daripada
batang otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini normalnya akan
diikuti dengan penurunan level dari kesadaran.Perubahan pada pola pernafasan
adalah hasil dari tekanan langsung pada batang otak. Pada bayi, pernafasan
irregular dan meningkatnya serangan apneu sering terjadiantara gejala-gejala
awal dari peningkatan tekanan intrakranial yang cepat dan dapat berkembang
dengan cepat ke respiratory arrest.
c. Tekanan darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan tekanan intrakranial, terutama pada anak-anak. Dengan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah akan meningkat sebagai
mekanisme kompensasi; Sebagai hasil dari respon Cushing, dengan
meningkatnya tekanan darah, akan terjadi penurunan dari denyut nadi disertai
dengan perubahan pada pola pernafasan. Apabila kondisi ini terus berlangsung,
maka tekanan darah akan mulai turun .
43

d. Suhu tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan tekanan intrakranial
berlangsung, suhu tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi
berubah, peningktan suhu tubuh akan muncul akibta dari disfungsi dari
hipotalamus atau edema pada traktus yang menghubungkannya.
e. Reaksi pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi pupil yang
lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi yang menyebabkan
penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema otak atau lesi pada otak.
Penekanan pada n. Oklulomotorius menyebabkan penekanan ke bawah,
menjepit n.Okkulomotorius di antara tentorium dan herniasi dari lobus
temporal yang mengakibatkan dilatasi pupil yang permanen. N. okulomotorius
(III) berfungsi untuk mengendalikan fungsi pupil. Pupil harus diperiksa
ukuran, bentuk dan kesimetrisannya dimana ketika dibandingkan antara kiri
dan kanan, kedua pupil harus memiliki ukuran yang sama. Normalnya,
konstriksi pupil akan terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis
a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil, bentuknya dan reaksinya terhadap
cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang penglihatan serta pemeriksaan
gerakan bola mata
b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil nervus optikus
atau atrofi papil nervus optikus et causa papil odema tahap lanjut.
c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks fisiologi,
reflek patologis, dan klonus.
d. Pemeriksaan sensibilitas.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis SOL :

Elektroensefalografi (EEG)
Elektroensefalografi (EEG) adalah tehnik untuk merekan aktivitas
elektrik otak melalui tengkorak utuh. Tindakan pemeriksaan ini aman dan sama
sekali tidak menyakiti orang yang diperiksa. Elektroensefalografi dapat
mengungkapkan tanda-tanda gangguan fungsi otak fokal atau global, seperti
disfungsi otak pada penderita epilepsi, tumor serebri, infark, hemoragi,
kontusia serebri, ensefalitis dan berbagai keadaan psikiatrik.

Foto polos kepala


44

Pada Anak:
-

Sutura melebar

Ukuran kepala yang membesar

Craniolacunia

Erosi dorsum sellae

Bertambahnya convolutional marking

Pada dewasa

Erosi dorsum sellae


Pergeseran kelenjar pineal
Kalsifikasi Patologi

Arteriografi
Arteriografi karotis dan vertebralis merupakan metode radiologik
dengan jalan pembuatan foto rontgen pembuluh-pembuluh darah intrakranial
setelah arteri karotis atau arteri vertebralis diisi dengan substansi radio-opak.
Dengan demikian, bentuk dan perjalanan cabang-cabang arteri karotis interna
atau arteri basilaris dapat divisualisasikan pada foto rontgen. Oleh karena
susunan pembuluh darah yang divisualisasikan oleh arteriografi (angiogram)
karotis dan vertebral, maka pemeriksaan ini dikerjakan dengan maksud untuk
mendapatkan informasi yang mengungkapkan kelainan pada susunan vaskular.
Kelainan tersebut dapat bersifat gangguan intraluminal (obstruksi, dilatasi
patologik

seperti

aneurisma,

malformasi

vaskular

atau

gangguan

ekstravaskular yang menggeser, menarik dan menekan suatu pembuluh darah


setempat.

Computerized Tomografi (CT Scan)


CT Scan merupakan pemeriksaan yang aman dan tidak invasif serta
mempunyai ketepatan yang tinggi. Masa tumor menyebabkan kelainan pada
tulang tengkorak yang dapat berupa erosi atau hiperostosis, sedang pada
parenkhim dapat merubah struktur normal ventrikel, dan juga dapat
45

menyebabkan serebral edem yang akan terlihat berupa daerah hipodensiti.


Setelah pemberian kontrast, akan terlihat kontrast enhancement dimana tumor
mungkin terlihat sebagai daerah hiperdens.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI dapat mendeteksi tumor dengan jelas dimana dapat dibedakan antara
tumor dan jaringan sekitarnya. MRI dapat mendeteksi kelainan jaringan
sebelum terjadinya kelainan morfologi.

II.3.5. Tatalaksana SOL


1) Pembedahan
Jika hasil CT-Scan didapati adanya tumor, dapat dilakukan pembedahan. Ada
pembedahan total dan parsial, hal ini tergantung jenis tumornya. Pada kasus
abses seperti loculated abscess, pembesran abses walaupun sudah diberi
antibiotik yang sesuai, ataupun terjadi impending herniation. Sedangkan pada
subdural hematoma, operasi dekompresi harus segera dilakukan jika terdapat
subdural hematoma akut dengan middle shift > 5 mm. Operasi juga
direkomendasikan pada subdural hematoma akut dengan ketebalan lebih dari 1
cm.
2) Radioterapi
Ada beberapa jenis tumor yang sensitif terhadap radioterapi, seperti low grade
glioma. Selain itu radioterapi juga digunakan sebagai lanjutan terapi dari
pembedahan parsial.
3) Kemoterapi
Terapi utama jenis limpoma adalah kemoterapi. Tetapi untuk oligodendroglioma
dan beberapa astrocytoma yang berat, kemoterapi hanya digunakan sebagai
terapi tambahan.
4) Antikolvusan
Mengontrol kejang merupakan bagian terapi yang penting pada pasien dengan
gejala klinis kejang. Pasien SOL sering mengalami peningkatan tekanan
intrakranial, yang salah satu gejala klinis yang sering terjadi adalah kejang .
Phenytoin (300-400mg/kali) adalah yang paling umum digunakan. Selain itu
dapat juga digunakan carbamazepine (600-1000mg/hari), phenobarbital (90150mg/hari) dan asam valproat (750-1500mg/hari).
5) Antibiotik

46

Jika dari hasil pemeriksaan diketahui adanya abses, maka antibiotik merupakan
salah satu terapi yang harus diberikan. Berikan antibiotik intravena, sesuai kultur
ataupun sesuai data empiris yang ada. Antibiotik diberikan 4-6 minggu atau
lebih, hal ini disesuaikan dengan hasil pencitraan, apakah ukuran abses sudah
berkurang atau belum. Carbapenem, fluorokuinolon, aztreonam memiliki
penetrasi yang bagus ke sistem saraf pusat, tetapi harus memperhatikan dosis
yang diberikan (tergantung berat badan dan fungsi ginjal) untuk mencegah
toksisitas.
6) Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema peritumoral dan mengurangu tekana
intrakranial. Efeknya mengurangi sakit kepala dengan cepat. Dexamethasone
adalah kortikosteroid yang dipilh karena aktivitas mineralkortikoid yang
minimal. Dosisnya dapat diberikan mulai dari 16mg/hari, tetapi dosisnya dapat
ditambahkan maupun dikurangi untuk mencapai dosis yang dibutuhkan untuk
mengontrol gejala neurologik.
7) Head up 30-45
Berfungsi untuk mengoptimalkan venous return dari kepala, sehingga akan
membantu mengurangi TIK.
8) Menghindari Terjadinya Hiperkapnia
PaCO2 harus dipertahankan dibawah 40 mmHg, karena hiperkapnia dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke otak sehingga terjadi
peningkatan TIK, dengan cara hiperventilasi ringan disertai dengan analisa gas
darah untuk menghindari global iskemia pada otak.
9) Diuretika Osmosis
Manitol 20% dengan dosis 0,25-1 gr/kgBB diberikan cepat dalam 30-60 menit
untuk membantu mengurangi peningakatan TIK dan dapat mencegah edema
serebri.
II.4. Meningioma
II.4.1. Definisi
Meningioma adalah tumor pada meningen yang merupakan selaput pelindung
yang melindungi otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul pada tempat
manapun di bagian otak maupun medulla spinalis, tetapi, umumnya terjadi di
hemisphere otak di semua lobusnya. Kebanyakan meningioma bersifat jinak
(benign). Meningioma malignant jarang terjadi.
II.4.2. Epidemiologi
Tumor ini mewakili 20% dari semua neoplasma intracranial dan 12 % dari
semua tumor medulla spinalis. Meningioma biasanya jinak, tetapi bisa kambuh
47

setelah diangkat. Tumor ini lebih sering ditemukan pada wanita dan biasanya
muncul pada usia 40-60 tahun, tetapi tidak tertutup kemungkinan muncul pada masa
kanak-kanak atau pada usia yang lebih lanjut.Paling banyak meningioma tergolong
jinak(benign) dan 10 % malignant. Meningioma malignant dapat terjadi pada wanita
dan laki-laki,meningioma benign lebih banyak terjadi pada wanita.
II.4.3. Etiologi
Hingga saat ini diyakini radioterapi merupakan factor resiko utama terjadinya
meningioma. Radiasi dosis rendah seperti pada pengobatan tinea kapitis maupun
dosis tinggi seperti pada penanganan tumor otak lain (misalnya meduloblastoma)
meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Radioterapi dosis tinggi berhubungan
dengan terjadinya meningioma dalam waktu yang relative singkat, antara 5-10
tahun. Sementara radiasi dosis rendah membutuhkan waktu beberapa decade sampai
timbulnya meningioma. Tumor yang timbul akibat radiasi cenderung bersifat
multiple dan secara histology ganas, serta memiliki kecenderungan yang lebih tinggi
untuk timbul kembali. Trauma kepala diduga dapat menyebabkan tumor meningens,
namun sampai saat ini belum ada penelitian lebih lanjut yang dapat membuktikan
hal tersebut. Foto dental standar bukan merupakan factor resiko. Namun beberapa
penelitian epidemiologi menyebutkan terjadi peningkatan insidens meningioma pada
pasien dengan riwayat foto dental.
Rangsangan endogen dan eksogen via hormonal memainkan peran yang cukup
penting juga dalam timbulnya tumor meningens. Estrogen dan progesterone diduga
merupakan salah satu penyebab timbulnya meningioma karena angka prevalensi
yang lebih tinggi pada wanita. Reseptor estrogen ditemukan pada meningioma,
yakni ikatan pada reseptor tipe 2 walaupun tingkat afinitasnya terhadap estrogen
tidak sekuat reseptor yang ditemukan pada kanker payudara. Sebagai perbandingan,
reseptor progesterone diekspresikan pada 80% wanita penderita meningioma dan
40% pada pria. Lokasi ikatan dengan progesterone lebih jarang pada meningioma
yang agresif. Cara kerja reseptor-reseptor ini masih belum diketahui, namun
inhibitor estrogen dan progesterone telah dicoba sebagai terapi walaupun belum ada
bukti keberhasilan.
Infeksi virus seperti SV-40, termasuk dalam pathogenesis meningioma, namun
data yang terkumpul hingga saat ini masih belum meyakinkan. Meningioma diduga
timbul melalui proses bertahap yang melibatkan aktivasi onkogen dan hilangnya gen
supresor tumor. Penelitian genetic molecular telah menunjukan beberapa
penyimpangan, yang paling sering adalah hilangnya 22q pada 80% penderita
48

meningioma sporadic. Hal ini mengakibatkan hilangnya NF-2 gen supresor tumor
yang berlokasi di 22q11 dan berkurangnya produk protein merlin yang bertanggung
jawab terhadap interaksi sel.1 Sel yang memiliki defek pada merlin tidak dapat
mengenali sel sekitarnya dan terus menerus tumbuh. Beberapa kelainan telah
dideteksi pada kromosom lain, dan diduga beberapa onkogen dan gen supresor
tumor terlibat dalam pembentukan meningioma.
Beberapa factor pertumbuhan, termasuk epidermal growth factor, PDGF,
insulin-like growth factors, transforming growth factor I2 dan somatostatin
diekspresikan secara berlebih dan dapat merangsang pertumbuhan meningioma.
Meningioma merupakan tumor yang kaya akan pembuluh darah dan mengandung
VEGF (vascular endothelial growth factor) dalam konsentrasi yang tinggi.
II.4.4. Klasifikasi
Meskipun pada kebanyakan kasus bersifat jinak, meningioma secara
mengejutkan memiliki karakteristik klinis yang sangat luas. Membedakannya secara
histologis berhubungan erat dengan resiko kejadian berulang yang tinggi. Pada kasus
yang jarang, meningioma dapat bersifat ganas.
Klasifikasi dari WHO bertujuan untuk memprediksi perbedaan karakteristik
klinis dari meningioma dengan grading secara histologis berdasarkan statisik
korelasi klinikopatologis yang signifikan. Berdasarkan tingkat keganasannya
meningioma dibagi menjadi 3, yaitu jinak (WHO grade 1), atipikal (WHO grade 2),
dan anaplastik (WHO grade 3).

49

Tabel 3. Tipe meningioma berdasarkan pengelompokan WHO

Tabel 4. Kriteria grading secara histologi menurut WHO

50

Gambar 9. Histologi meningioma grade 1 WHO

Gambar 10. Histologi meningioma grade 2 WHO

51

Gambar 11. Histologi meningioma grade 3 WHO

II.4.5. Manifestasi Klinik


Meningioma dapat timbul tanpa gejala apapun dan ditemukan secara tidak
sengaja melalui MRI. Pertumbuhan tumor dapat sangat lambat hingga tumor dapat
mencapai ukuran yang sangat besar tanpa menimbulkan gejala selain perubahan
mental sebelum tiba-tiba memerlukan perhatian medis, biasanya di lokasi subfrontal.
Gejala umum yang sering muncul meliputi kejang, nyeri kepala hebat, perubahan
kepribadian dan gangguan ingatan, mual dan muntah, serta penglihatan kabur.
Gejala lain yang muncul ditentukan oleh lokasi tumor, dan biasanya disebabkan oleh
kompresi atau penekanan struktur neural penyebab.

52

Gambar 12. Gejala umum dari meningioma

Berikut ini tanda dan gejala meningioma berdasarkan lokasi tumor :


Meningioma falx dan parasagital, sering melibatkan sinus sagitalis superior.
Gejala yang timbul biasanya berupa kelemahan pada tungkai bawah.
53

Meningioma konveksitas, terjadi pada permukaan atas otak. Gejala meliputi


kejang, nyeri kepala hebat, defisit neurologis fokal, dan perubahan
kepribadian serta gangguan ingatan. Defisit neurologis fokal merupakan
gangguan pada fungsi saraf yang mempengaruhi lokasi tertentu, misalnya
wajah sebelah kiri, tangan kiri, kaki kiri, atau area kecil lain seperti lidah.
Selain itu dapat juga terjadi gangguan fungsi spesifik, misalnya gangguan

berbicara, kesulitan bergerak, dan kehilangan sensasi rasa.


Meningioma sphenoid, berlokasi pada daerah belakang mata dan paling
sering menyerang wanita. Gejala dapat berupa kehilangan sensasi atau rasa
baal pada wajah, serta gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan disini
dapat berupa penyempitan lapangan pandang, penglihatan ganda, sampai

kebutaan. Dapat juga terjadi kelumpuhan pada nervus III.


Meningioma olfaktorius, terjadi di sepanjang nervus yang menghubungkan
otak dengan hidung. Gejala dapat berupa kehilangan kemampuan menghidu

dan gangguan penglihatan.


Meningioma fossa posterior, berkembang di permukaan bawah bagian
belakang otak terutama pada sudut serebelopontin. Merupakan tumor kedua
tersering di fossa posterior setelah neuroma akustik. Gejala yang timbul
meliputi nyeri hebat pada wajah, rasa baal atau kesemutan pada wajah, dan
kekakuan otot-otot wajah. Selain itu dapat terjadi gangguan pendengaran,

kesulitan menelan, dan kesulitan berjalan.


Meningioma suprasellar, terjadi di atas sella tursica, sebuah kotak pada dasar
tengkorak dimana terdapat kelenjar pituitari. Gejala yang dominan berupa
gangguan penglihatan akibat terjadi pembengkakan pada diskus optikus.

Dapat juga terjadi anosmia, sakit kepala dan gejala hipopituari.


Meningioma tentorial. Gejala yang timbul berupa sakit kepala dan tanda-

tanda serebelum.
Meningioma foramen magnus, seringkali menempel dengan nervus kranialis.
Gejala yang timbul berupa nyeri, kesulitan berjalan, dan kelemahan otot-otot

tangan.
Meningioma spinal, paling sering menyerang daerah dada terhitung sekitar
25-46% dari tumor spinal primer. Gejala yang timbul merupakan akibat
langsung dari penekanan terhadap medula spinalis dan korda spinalis, paling
sering berupa nyeri radikular pada anggota gerak, paraparesis, perubahan
refleks tendon, disfungsi sfingter, dan nyeri pada dada. Paraparesis dan

54

paraplegia timbul pada 80% pasien, namun sekitar 67% pasien masih dapat

berjalan.
Meningioma intraorbital. Gejala yang dominan terutama pada mata berupa

pembengkakan bola mata, dan kehilangan penglihatan.


Meningioma intraventrikular, timbul dari sel araknoid pada pleksus
koroidales dan terhitung sekitar 1% dari keseluruhan kasus meningioma.
Gejala meliputi gangguan kepribadian dan gangguan ingatan, sakit kepala
hebat, pusing seperti berputar. Selain itu dapat juga terjadi hidrosefalus
komunikans sekunder akibat peningkatan protein cairan otak.

II.4.6. Diagnosis
Meningioma sering baru terdeteksi setelah muncul gejala. Diagnosis dari
meningioma dapat ditegakan berdasarkan manifestasi klinis pasien dan gambaran
radiologis. Meskipun demikian, diagnosis pasti serta grading dari meningioma hanya
dapat dipastikan melalui biopsi dan pemeriksaan histologi.
Pada CT scan, tumor terlihat isodens atau sedikit hiperdens jika dibandingkan
dengan jaringan otak normal. Seringkali tumor juga memberikan gambaran berlobus
dan kalsifikasi pada beberapa kasus. Edema dapat bervariasi dan dapat tidak terjadi
pada 50% kasus karena pertumbuhan tumor yang lambat, tetapi dapat meluas.
Edema lebih dominan terjadi di lapisan white matter dan mengakibatkan penurunan
densitas. Perdarahan, cairan intratumoral, dan akumulasi cairan dapat jelas terlihat.
Invasi sepanjang dura serebri sering muncul akibat provokasi dari respon osteblas
yang menyebabkan hiperostosis pada 25% kasus. Gambaran CT scan paling baik
untuk menunjukan kalsifikasi dari meningioma. Penelitian membuktikan bahwa
45% proses kalsifikasi adalah meningioma.

Gambar 7. Hasil CT scan meningioma parasagital13

55

Gambar 8. Hasil CT scan meningioma konveksitas14

Gambar 9. Hasil CT scan meningioma sphenoid15

56

Gambar 10. Hasil CT scan meningioma tentorial16

Pada MRI, tumor terlihat isointens pada 65% kasus dan hipointens pada
sisanya jika dibandingkan dengan jaringan otak normal. Kelebihan MRI adalah
mampu memberikan gambaran meningioma dalam bentuk resolusi 3 dimensi,
membedakan tipe jaringan ikat, kemampuan multiplanar dan rekonstruksi. MRI
dapat memperlihatkan vaskularisasi tumor, pembesaran arteri, invasi sinus venosus,
dan hubungan antara tumor dengan jaringan sekitarnya.
Angiografi secara khusus mampu menunjukan massa hipervaskular, menilai
aliran darah sinus dan vena. Angiografi dilakukan hanya jika direncakan dilakukan
embolisasi preoperasi untuk mengurangi resiko perdarahan intraoperatif.
Gambaran radiografi yang tidak khas seperti kista, perdarahan, dan nekrosis
sentral seringkali menyerupai gambaran glioma dan muncul pada sekitar 15% kasus
meningioma. Meningioma malignan sering menunjukan gambaran destruksi tulang,
57

nekrosis, gambaran iregular, dan edema yang luas. Diagnosis banding secara
radiografi meliputi metastasis dural, tumor meningeal primer lain, granuloma dan
aneurisma. Metastasis seringkali dikaitkan dengan edema luas dan destruksi tulang
sementara meningioma dikaitkan dengan edema sedang dan hiperostosis.
II.4.7. Tatalaksana Meningioma
Setelah diagnosis meningioma dapat ditegakan, permasalahan berikutnya
adalah memutuskan diperlukan tindakan pembedahan atau tidak. Beberapa
meningioma sering timbul tanpa gejala, hadir tiba-tiba dengan kejang, atau
melibatkan struktur tertentu sehingga reseksi hampir mustahil dilakukan. Tumor
jenis ini tidak memerlukan intervensi segera dan dapat dipantau bertahun-tahun
tanpa menunjukan pertumbuhan yang berarti. Jika pasien menunjukan gejala yang
signifikan seperti hemiparesis, atau ada progresi yang jelas terlihat melalui
pencitraan radiologi, maka diperlukan intervensi segera. Sampai saat ini,
penatalaksanaan yang paling penting adalah dengan pembedahan.
1) Pembedahan
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer untuk meningioma.
Tujuan utamanya adalah mengangkat jaringan tumor sebanyak-banyaknya
tanpa kehilangan fungsi otak. Eksisi komplit dapat menyembuhkan
kebanyakan meningioma. Faktor-faktor yang berperan dalam pembedahan
meliputi lokasi dari tumor, defisit nervus kranialis preoperasi, vaskularitas,
invasi dari sinus venosus, dan keterlibatan arteri. Reseksi sebagian dapat
menjadi pilihan jika pengangkatan seluruh tumor dapat mengakibatkan
kehilangan banyak fungsi otak.
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan, meningioma digolongkan ke
dalam 3 grup berdasarkan resiko pembedahannya. Cara penggolongannya
menggunakan algoritme CLASS, yakni Comorbidity (komorbiditas), Location
(lokasi), Age (umur pasien) Size (ukuran tumor), Symptoms and signs (tanda
dan gejala).

Grup 1 dengan skor CLASS lebih dari +1, memiliki angka

keberhasilan yang tinggi, yakni pada 98,1% kasus. Grup 2 dengan skor 0
sampai -1 memiliki hasil yang buruk pada sekitar 4% kasus. Sementara grup 3
dengan skor di bawah -2 memiliki hasil paling buruk yakni 15% dari seluruh
kasus.
Teknik terbaru saat ini adalah dengan memanfaatkan rekonstruksi 3
dimensi dengan komputer untuk membantu ahli bedah dalam merencanakan
prosedur operasi. MRI intraoperasi dapat menunjukan gambaran langsung
58

selama pembedahan. Embolisasi preoperasi dilakukan untuk mengurangi


vaskularitas tumor, memfasilitasi pengangkatan tumor, dan mengurangi resiko
perdarahan. Embolisasi pada ekor dura dapat mengurangi resiko kekambuhan.
Namun prosedur ini tidak banyak dilakukan mengingat tidak semua rumah
sakit memiliki fasilitas maupun personel yang terlatih dalam bidang ini.
Tindakan pembedahan mampu menghilangkan beberapa gejala
neurologis, kecuali neuropati kranial yang seringkali sulit dihilangkan. Angka
morbiditas akibat pembedahan bervariasi antara 1-14%. Setelah reseksi
komplit, angka kekambuhan untuk meningioma grade rendah adalah sekitar
20% dalam 5 tahun pertama dan 25% dalam 10 tahun. Jika tumor muncul
kembali, harus dipertimbangkan untuk dilakukan reseksi ulang. Secara umum,
angka harapan hidup 5 tahun untuk pasien berusia di bawah 65 tahun adalah
sekitar 80%, dan menurun mendekati 50% untuk pasien di atas 65 tahun.
2) Radioterapi
Indikasi dilakukannya terapi radiasi adalah tumor residual / sisa setelah
tindakan pembedahan, tumor berulang, dan riwayat atipikal atau malignan.
Radioterapi digunakan sebagai terapi primer jika tumor tidak dapat dicapai
melalui pembedahan atau ada kontraindikasi untuk dilakukan pembedahan.
Regresi total terlihat pada 95% pasien dalam 5 tahun pertama dan 92% dalam
10 dan 15 tahun setelah dilakukan radioterapi dengan atau tanpa eksisi
subtotal. Angka regresi tumor untuk 10 tahun pada pasien yang dilakukan
kombinasi reseksi subtotal dan radiasi adalah 82%, sementara pada pasien
yang hanya dilakukan reseksi subtotal adalah 18%. Waktu kekambuhan sekitar
125 bulan pada pasien yang mendapat terapi kombinasi dan 66 bulan pada
pasien yang menjalani reseksi subtotal saja. Pada tumor malignan, angka
harapan hidup 5 tahun setelah pembedahan dan radiasi adalah 28%. Angka
kekambuhan tumor maligna adalah 90% setelah reseksi subtotal dan 41%
setelah terapi kombinasi.
3) Terapi Medis
Interferon saat ini sedang diteliti sebagai inhibitor angiogenesis. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menghentikan pertumbuhan pembuluh darah
yang mensuplai tumor. Interferon dapat dipertimbangkan pada pasien yang
mengalami kekambuhan dan meningioma maligna. Hidroxyurea dan obat-obat
kemoterapi lain diyakini dapat memulai proses kematian sel atau apoptosis
pada sebagian meningioma. Namun pada uji coba klinis, obat ini dianggap
gagal karena meningioma bersifat kemoresisten. Inhibitor dari receptor
59

progesteron seperti RU-486 juga sedang dievaluasi sebagai pengobatan untuk


meningioma. Namun percobaan klinik terbaru, RU-486 tidak menunjukan
perbaikan apapun. Begitu juga dengan terapi antiestrogen yang tidak
menunjukan perbaikan nyata ssecara klinis pada percobaan. Beberapa agen
molekular seperti penghambat receptor faktor pertumbuhan epidermal
(Epidermal Growth Factor Receptor / EGFR), inhibitor receptor faktor
pertumbuhan derivat platelet (Platelet Derived Growth Factor Receptor /
PDGFR), dan penghambat tirosin kinase masih diuji coba secara klinis.
Kebanyakan uji coba ini terbuka untuk pasien dengan meningioma yang tidak
dapat dioperasi atau yang mengalami kekambuhan. Kortikosteroid dapat
digunakan untuk mengontrol edema sekitar tumor namun tidak dapat
digunakan dalam jangka panjang karena efek sampingnya yang merugikan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Arthur, H. 2012. Neurologi : Ringkasan Topik Lesi desak Ruang Intrakranial dan
Neoplasma Otak.
2. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda,
Gejala. Edisi 4. Jakarta: EGC, 2010. Hal: 358-370.
3. Bradley, Walter G. 2000. Neuro-Oncology in Pocket Companion to Neurology in
Clinical Practice edisi 3. Butterworth. Botson.
4. Brunton, LL. Goodman and Gilmans Pharmacology. Boston: McGraw-Hill. 2006.
5. Current Diagnosis & Treatment in Family Medicine.
6. Eccher M, Suarez JI. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics. In : Suarez
JI, ed. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey : Humana Press
7. Ginsberg, L. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi-8. Erlangga Medical Series.
Jakarta. 74-75
8. Gladstein. Migraine headache-Prognosis. Diunduh dari :
http://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_migraines_000097_2.htm
60

9. Goadsby, J Peter. 2009. Treatment of Cluster Headache. Headache Group. Department


of

Neurology

University

of

California.

San

Francisco.

Diunduh

dari

www.AmericanHeadacheSociety.org.
10. Harsono. 2005. Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
11. ICSI. 2011. Health Care Guideline : Diagnosis and Treatment of Headache.
12. ISH Classification ICHD II ( International Classification of Headache Disorders).
Diunduh dari : http://ihs-classification.org/_downloads/mixed/ICHD-IIR1final.doc
13. Iskandar, Japardi. 2002. Gambaran CT Scan Pada Tumor Otak Benigna :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1991/1/bedah-iskandar
%20japardi11.pdf
14. Katzung, Bertram. Basic and Clinical Pharmacology. 10th edition. Boston: McGraw
Hill. 2007.
15. Lumbantombing, SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2004
16. Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 jilid 2. Media Aeusclapius.
Jakarta.
17. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2004. hal 30320 & 374-75.
18. Misbach J. Hamid AB, Mayza A. Standar Pelayanan Medis dan Standar Prosedur
Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.
19. Pertemuan Nasional III Nyeri, Nyeri Kepala & Vertigo PERDOSSI, Solo, 4 - 6 Juli
2008
20. Price Sylvia. Patofisiologi. Edisi 6. Volume 1. EGC: Jakarta. 2006. hal : 231-236 &
485-90.
21. Rasad, Sjahriar. 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Halaman
359.
22. Raskin, Neil H. Headache. Harisons Internal Medicine.
23. Sidharta, Priguna. Tension Headache dalam

Kumpulan naskah Headache. FKUI.

Jakarta.
24. Syamsjuhidayat, R, dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta. EGC.

61

Anda mungkin juga menyukai