CEPHALGIA
Disusun oleh:
Bening Putri Ramadhani Usman
1110103000084
Pembimbing :
dr. Ika Yulieta, Sp.S
KEPANITERAAN KLINIK
SMF NEUROLOGI RSUP FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya kami dapat
menyelesaikan makalah diskusi topik ini yang berjudul Cephalgia.
Makalah presentasi kasus langsung ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di stase Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dalam penyusunan danpenyelesaian makalah ini, terutama kepada :
1. Dr. Ika Yulieta, Sp.S selaku pembimbing diskusi topik ini.
2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah diskusi topik ini masih
banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang
membangun guna penyempurnaan makalah diskusi topik ini sangat kami
harapkan.
Demikian, semoga makalahpresentasikasus ini dapat bermanfaat
bagi kita semua dan bisa membuka wawasan serta ilmu pengetahuan
kita,terutama dalam bidang neurologi.
Penyusu
n
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny.SN
JenisKelamin
Usia
: Perempuan
: 40 tahun
Agama
: Islam
Alamat
Kp.Bojong
Koneng
RT
002/RW
003,
: Sunda
Pekerjaan
Pendidikan terakhir
: SLTA
Status Pernikahan
: Sudah menikah
No. RM
: 01313313
II. ANAMNESIS
Anamnesis
dilakukan
secara
autoanamnesis
pada
tanggal
12
Agustus 2014.
a. Keluhan Utama
Nyeri kepala sejak 6 bulan SMRS yang memberat sejak 1 bulan
SMRS.
3
sesak
tersedak,
napas,
suara
kesemutan,
serak
pusing
pandangan
atau
berputar,
dobel,
sengau,
gangguan
mulut
kelemahan,
menelan,
mencong,
gangguan
baal,
berjalan,
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
Tanda Vital
Tekanan darah
Nadi
Napas
Suhu
Berat badan
Tinggi badan
BMI
Mata
- Inspeksi : alis mata cukup, enoftalmus (-)/(-), eksoftalmus (-)/(-),
nistagmus (-)/(-), ptosis (-)/(-), lagoftalmus (-)/(-), edema palpebra
(-)/(-),konjungtiva anemis(-)/(-), sklera ikterik (-)/(-), sekret (-)/(-),
tampak berair, pterigium (-)/(-), ulkus kornea (-)/(-), kekeruhan
-
lensa (-)
Palpasi : tekanan bola mata secara manual normal
Telinga,Hidung,Tenggorokan
5
Hidung :
- Inspeksi : Deformitas (-), kavum nasi lapang, sekret (-)/(-), deviasi
septum (-)/(-), konka nasal hiperemis (-)/(-), edema (-)/(-), NCH (-)/(-)
- Palpasi : Nyeri tekan sinus (-), krepitasi (-)
Telinga :
- Inspeksi :
- Preaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-),
-
skar (-)/(-),
Aurikuler : normotia, hiperemis (-)/(-), cauli flower (-)/(-),
pseudokista (-)/(-),
Postaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-),
skar (-)/(-),
Liang telinga : lapang, serumen (-)/(-), Ottorhea (-)/(-),
membran timpani intak
KGB
Palpasi : pulsasi arteri carotis normal, perbesaran thyroid (-), posisi
Thoraks Depan
- Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), retraksi
sela iga (-/-), bentuk dada normal, barrel chest (-), pectus carinatum
(-)/(-), pectus ekskavatum (-)/(-), pelebaran sela iga
(-)/(-), tumor (-)/(-), skar (-), emfisema subkutis (-)/(-),
spider naevi (-)/(-), pergerakan kedua paru simetris statis dan
-
8
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
Thoraks Belakang
- Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), Retraksi
sela iga (-/-), pelebaran sela iga (-)/(-), tumor (-)/(-),
emfisema subkutis (-)/(-), Pergerakan kedua paru simetris
statis dan
belakang (-)
Palpasi : massa (-)/(-), emfisema subkutis(-)/(-), ekspansi
Jantung
- Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terihat
- Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba 2 jari medial dari
linea midklavikulasinistra ICS V, thrill (-), heaving (-),
-
parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II reguler normal, murmur (-), gallop(-)
Abdomen
- Inspeksi : simetris, datar, striae (-), skar (-), penonjolan (-), bekas
-
Ekstremitas
7
Akral teraba hangat, sianosis (-), CRT < 3 detik, edema (-)/(-), jari
tabuh (-), koilonikia (-), hiperemis (-), deformitas (-)
Status neurologis
GCS
: E4M6V5
Kaku kuduk
Lasegue
Kernig
Brudzinski I
Brudzinski II
: : >700 />700
: >1350 />1350
:-/:-/-
Saraf-saraf Kranialis:
N.I (olfaktorius)
: normosmia / normosmia
N.II (optikus)
Acies visus
Visus campus
Lihat warna
Funduskopi
: normal
: normal
: normal
: tidak dilakukan
: ortoposisi + / +
: baik ke segala arah
:-/:-/: ptosis (-/-)
o Bentuk
: +/+
: +/+
N.V (Trigeminus)
Cabang Motorik
Cabang sensorik
o Ophtalmikus
o Maksilaris
o Mandibularis
Jaw reflex
Refleks kornea
: normal
:
: normal
: normal
: normal
: (+)
: (+)
N.VII (Fasialis)
Motorik orbitofrontalis
Motorik orbikularis orbita
Motorik orbikulari oris
Pengecapan lidah
N.VIII (Vestibulocochlearis)
Vestibular : Vertigo
:-
Nistagmus
Koklearis : normal
o Tes Rhinne
o Tes Weber
o Tes Schwabach
:-/-
: (+/+)
: tidak adala lateralisasi
: sama dengan pemeriksa
Arcus faring
Uvula
Refleks muntah
: simetris ka=ki
: simetris ka=ki
: (+)
9
N.XI (Accesorius)
Mengangkat bahu
Menoleh
: normal/normal
: normal/normal
N.XII (Hypoglossus)
Posisi lidah
Pergerakkan lidah
Atrofi
Fasikulasi
Tremor
: di tengah
: pergerakan simetris ka=ki
:::-
Sistem Motorik
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
: 5555/5555
: 5555/5555
Gerakkan Involunter
Tremor
Chorea
Miokloni
Tonus
:-/:-/: -/ : baik
Sistem Sensorik
Propioseptif : normal
Eksteroseptif : normal
Fungsi Serebelar
Ataxia
Tes Romberg
Jari-jari
Jari-hidung
: normal
: normal
: normal
: normal
10
Tumit-lutut
Rebound phenomenon
Hipotoni
: normal
: (-/-)
: (-/-)
Fungsi Luhur
Astereognosia
Apraxia
Afasia
: (-)
: (-)
: (-)
Fungsi Otonom
Miksi
Defekasi
Sekresi keringat
: baik
: baik
: baik
Refleks Fisiologis
Biceps
Triceps
Radius
Lutut
Tumit
: +2/+2
: +2/+2
: +2/+2
: +2/+2
: +2/+2
Refleks Patologis
Hoffman Tromer
Babinsky
Chaddock
Oppenheim
Gordon
Gonda
Schaefer
Klonus lutut
Klonus tumit
:-/:-/:-/:-/:-/:-/:-/:-/:-/-
Keadaan Psikis
11
II.
Intelegensia
Tanda regresi
Demensia
: normal
: normal
: (-)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (8 Agustus 2014)
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Hemoglobin
Hematokrit
12.8 g/dl
37%
Lekosit
Trombosit
Hemostasis
APTT
Kontrol APTT
PT
Kontrol PT
INR
Fungsi Hati
SGOT
SGPT
Fungsi Ginjal
Ureum
Kreatinin
Diabetes
GDS
GDP
GD2PP
Lemak
Kolesterol Tot
LDL
HDL
Trigliserida
5.500/ul
254.000/ul
5.000 10.000
150 440 ribu/ul
28,2 detik
31.5 detik
13.9 detik
13.5 detik
1.04
18 U/l
34 U/l
0 34 U/l
0 40 U/l
24 mg/dl
0,5 mg/dl
20 40 mg/dl
0,6 1,5 mg/dl
108 mg/dL
85 mg/dl
115 mg/dL
70-140 mg/dL
80 100 mg/dl
80-140 mg/dL
185 mg/dL
111 mg/dL
58 mg/dL
79 mg/dL
<200 mg/dL
<130 mg/dL
40-60 mg/dL
<150 mg/dL
Hematologi
12
Elektrolit
Na
K
Cl
139 mmol/L
3.34 mmol/L
107 mmol/L
Pemeriksaan Radiologi
CT scan kepala tanpa kontras (8 Agustus 2014)
Kesan :
ensefalitis, massa
Edema hemisfer serebri
Herniasi subfalcin
13
14
Kesan :
15
Kesan:
o Infiltrat minimal di parakardial kanan
o Cor dalam batas normal
V. RESUME
Ny.SN, 40 tahun, datang dengan keluhan nyeri kepala sejak 6 bulan
SMRS yang memberat sejak 1 bulan SMRS. Nyeri kepala semakin lama
semakin memberat, dengan VAS = 6. Nyeri dirasakan seperti dicengkram
dan ditusuk-tusuk, berlokasi di kepala bagian kanan hingga pertengahan
belakang, durasi 5 menit hingga satu jam, semakin memberat dalam
keadaan berbaring, serta dapat muncul pada pagi, siang, sore, maupun
16
VI. DIAGNOSIS
-
Diagnosis kerja :
o SOL e.c. meningioma
Diagnosis neurologi
:
o Diagnosis klinis :
Secondary headache
o Diagnosis etiologi : SOL e.c. meningioma
o Diagnosis topis : meningens
Bed rest
Pantau hemodinamik
b)
Medika mentosa
Dexamethasone 4 x 5 mg IV
Ranitidin 2 x 50 mg IV
IX.Prognosis
Ad vitam
Ad fungsionam
Ad sanationam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.2. Cephalgia
II.2.1. Definisi
18
Dapat dikatakan sebagai rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah
atas kepala memanjang dari orbital sampai ke daerah belakang kepala (area oksipital
dan sebagian daerah tengkuk). Nyeri kepala adalah nyeri yang berlokasi di atas garis
orbitomeatal. Pendapat lain mengatakan nyeri atau perasaan tidak enak diantara
daerah orbital dan oksipital yang muncul dari struktur nyeri yang sensitif.
II.2.2. Etiologi
Penyebab yeri kepala bersifat multifaktorial, seperti kelainan emosional,
cedera kepala, migraine, demam, kelainan vaskuler intrakranial otot, massa
intrakranial, penyakit mata, telinga / hidung.
II.2.3. Manifestasi Klinik
a)
Lokasi Nyeri
Nyeri yang berasal dari bangunan intrakranial tidak dirasakan didalam
rongga tengkorak melainkan akan diproyeksikan ke permukaan dan dirasakan
di daerah distribusi saraf yang bersangkutan. Nyeri yang berasal dari dua
pertiga bagian depan kranium, di fosa kranium tengah dan depan, serta di
supratentorium serebeli dirasakan di daerah frontal, parietal di dalam atau
belakang bola mata dan temporal bawah. Nyeri ini disalurkan melalui cabang
pertama nervus Trigeminus.
Nyeri yang berasal dari bangunan di infratentorium serebeli di fosa
posterior (misalnya di serebelum) biasanya diproyeksikan ke belakang telinga,
di atas persendian serviko-oksipital atau dibagian atas kuduk. Nervi kraniales
IX dan X dan saraf spinal C1, C2 dan C3 berperan untuk perasaan di bagian
infratentorial. Bangunan peka nyeri ini terlibat melalui berbagai cara yaitu oleh
peradangan, traksi, kontraksi otot dan dilatasi pembuluh darah.
Nyeri yang berhubungan dengan penyakit mata, telinga & hidung
cenderung di frontal pada permulaannya. Nyeri kepala yang bertambah hebat
menunjukkan kemungkinan massa intrakranial yang membesar (hematoma
b)
c)
19
Tarikan pada vena yang berjalan ke sinus venosus dari permukaan otak dan
A. Temporalis, A. Discipitalies)
Inflamasi pada atau sekitar struktur kepala yang peka terhadap nyeri
Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan / atau leher.
Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan vaskuler cranial atau
servikal
c.
d.
e.
h.
3) Neuralgia kranial, sentral atau nyeri facial primer dan nyeri kepala lainnya
Terbagi menjadi :
a.
b.
21
Definisi
Migraine adalah nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4 72 jam. Karekteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau
berat, bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan mual
dan/atau fotofobia dan fonofobia.
Etiologi
Penyebab pasti migraine tidak diketahui, namun 70 80 % penderita migraine
memiliki anggota keluarga dekat dengan riwayat migraine juga. Risiko terkena
migraine meningkat 4 kali lipat pada anggota keluarga para penderita migraine
dengan aura. Namun, dalam migraine tanpa aura tidak ada keterkaitan genetik
yang mendasarinya, walaupun secara umum menunjukkan hubungan antara
riwayat migraine dari pihak ibu. Migraine juga meningkat frekuensinya pada
orang-orang dengan kelainan mitokondria seperti MELAS (mitochondrial
myopathy, encephalopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes). Pada pasien
dengan kelainan genetik CADASIL (cerebral autosomal dominant arteriopathy
with subcortical infarcts and leukoencephalopathy) cenderung timbul migrane
dengan aura.
Klasifikasi
Secara umum migraine dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Migraine dengan aura
Migraine dengan aura disebut juga sebagai migraine klasik. Diawali
dengan adanya gangguan pada fungsi saraf, terutama visual, diikuti oleh
nyeri kepala unilateral, mual, dan kadang muntah, kejadian ini terjadi
berurutan dan manifestasi nyeri kepala biasanya tidak lebih dari 60 menit
yaitu sekitar 5-20 menit.
b) Migraine tanpa aura
Migraine tanpa aura disebut juga sebagai migraine umum. Sakit
kepalanya hampir sama dengan migraine dengan aura. Nyerinya pada
salah satu bagian sisi kepala dan bersifat pulsatil dengan disertai mual,
fotofobia dan fonofobia. Nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam.
Patofisiologi
a) Teori vaskular
Vasokontriksi intrakranial di bagian luar korteks berperan dalam
terjadinya migren dengan aura. Pendapat ini diperkuat dengan adanya nyeri
kepala disertai denyut yang sama dengan jantung. Pembuluh darah yang
mengalami konstriksi terutama terletak di perifer otak akibat aktivasi saraf
nosiseptif setempat. Teori ini dicetuskan atas observasi bahwa pembuluh
22
ii.
17
Paling tidak timbul satu macam aura secara gradual > 5
iii.
menit.
4) Nyeri kepala memenuhi kriteria 2-4
5) Tidak berkaitan dengan kelainan lain.
Tatalaksana
a) Medikamentosa
i. Terapi Abortif
Sumatriptan
- Indikasi: serangan migren akut dengan atau tanpa aura
- Dosis & Cara Pemberian: dapat diberikan secara
subkutan dengan dosis 4-6 mg. Dapat diulang sekali
setelah 2 jam kemudian jika dibutuhkan. Dosis
24
aura.
Dosis & Cara Pemberian: 2040 mg po saat onset
berlangsung, dapat diulang 2 jam kemudian sebanyak 1
mg/hari.
- Atenolol 40-160 mg/hari
- Timolol 20-40 mg/hari
- Metoprolol 100-200 mg/hari
Calcium Channel Blocker:
- Verapamil 320-480 mg/hari
- Nifedipin 90-360 mg/hari
Antidepresan, misalnya amitriptilin 25-125 mg, antidepresan
trisiklik, yang terbukti efektif untuk mencegah timbulnya
migraine.
Antikonvulsan:
- Asam valproat 250 mg 3-4x1
- Topiramat
Methysergid, derivatif ergot 2-6 mg/hari untuk beberapa
minggu sampai bulan efektif untuk mencegah serangan
migraine.
b) Non Medikamentosa
i. Terapi abortif
Para penderita migraine pada umumnya mencari tempat yang
tenang dan gelap pada saat serangan migraine terjadi karena fotofobia
dan fonofobia yang dialaminya. Serangan juga akan sangat berkurang
jika pada saat serangan penderita istirahat atau tidur.
ii. Terapi profilaktif
Pasien harus memperhatikan pencetus dari serangan migraine
yang dialami. Pasien diharapkan dapat menghindari faktor-faktor
pencetus timbulnya serangan migraine. Disamping itu, pasien
25
otot
yang
berlebihan,
berkurangnya
aliran
darah,
dan
untuk
kebanyakan
orang.
Jika
pengobatan
simpel
analgesia
Definisi
Nyeri kepala klaster (cluster headache) merupakan nyeri kepala vaskular yang
juga dikenal sebagai nyeri kepala Horton, sfenopalatina neuralgia, nyeri kepala
histamine, sindrom Bing, erythrosophalgia, neuralgia migrenosa, atau migren
merah (red migraine) karena pada waktu serangan akan tampak merah pada sisi
wajah yang mengalami nyeri.
Etiologi
Etiologi cluster headache adalah sebagai berikut :
Penekanan pada nervus trigeminal (nervus V) akibat dilatasi pembuluh
darah sekitar.
Pembengkakan dinding arteri carotis interna.
Pelepasan histamin.
Letupan paroxysmal parasimpatis.
Abnormalitas hipotalamus.
Penurunan kadar oksigen.
Pengaruh genetik
b. Berat atau sangat berat unilateral orbital, supraorbital, dan atau nyeri
temporal selama 15 180 menit bila tidak di tatalaksana.
c. Sakit kepala disertai satu dari kriteria dibawah ini :
1. Injeksi konjungtiva ipsilateral dan atau lakriimasi
2. Kongesti nasal ipsilateral dan atau rhinorrhea
3. Edema kelopak mata ipsilateral
4. Berkeringat pada bagian dahi dan wajah ipsilateral
5. Miosis dan atau ptosis ipsilateral
6. Kesadaran gelisah atau agitasi
d. Serangan mempunyai frekuensi 1 kali hingga 8 kali perhari
e. Tidak berhubungan dengan kelainan yang lain.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis terhadap cluster headache dapat dibagi ke dalam
pengobatan terhadap serangan akut, dan pengobatan preventif, yang bertujuan
untuk menekan serangan. Pengobatan akut dan preventif dimulai secara
bersamaan saat periode awal cluster. Pilihan pengobatan pembedahan yang
terbaru dan neurostimulasi telah menggantikan pendekatan pengobatan yang
bersifat merugikan.
a.
tersebut.
Lidokain: tetes hidung topikal lidokain dapat digunakan untuk
mengobati serangan akut cluster headache. Pasien tidur telentang
dengan kepala dimiringkan ke belakang ke arah lantai 30 dan beralih
ke sisi sakit kepala. Tetes nasal dapat digunakan dan dosisnya 1 ml
b.
Sebagian besar sakit kepala bersifat ringan atau disebabkan penyakit yang ringan.
Namun kita tetap harus waspada karena sakit kepala juga dapat merupakan gejala
dari penyakit yang serius seperti radang otak/selaput otak, perdarahan otak, stroke,
tumor otak, glaukoma, dan lain-lain. Adapun karakteristik sakit kepala yang
menjadi tanda penyakit serius adalah sebagai berikut :
1. Sangat sakit paling sakit ( worst headache ever) : rasa sakit yang dirasakan
2.
3.
4.
5.
jelas)
6. Muntah yang terjadi mendahului sakit kepala
7. Sakit kepala yang dicetuskan oleh bending, mengangkat beban, dan batuk
8. Sakit kepala timbul segera setelah bangun tidur
9. Usia lebih dari 55 tahun
10. Sakit kepala pada anak
Pembuluh
serebral
menyesuaikan
lumennya
pada
ruang
lingkupnya
sedemikian rupa sehingga aliran darah tetap konstan, walaupun tekanan perfusi
berubah-ubah. Pengaturan lumen ini dinamakan autoregulasi. Konstriksi terjadi
apabila tekanan intralumen melonjak dan dilatasi jika tekanan tersebut menurun.
Reaksi dinding pembuluh darah terhadap fluktuasi tekanan intalumental sangat cepat
yaitu dalam beberapa detik.
Setiap bagian pada ruang intrakranial menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal sebesar 50 200 mm H 2O atau 4
15 mm Hg. Ruang intrakranial adalah suatu ruangan baku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g), cairan
serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada
salah satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati
oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie
nenberikan suatu konsep pemahaman peningkatan tekanan intrakranial. Teori ini
menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari
ketiga ruangannya meluas, dua ruangan lainnya harus mengompensasi dengan
mengurangi volumenya.
intrakranial
dan
tekanan
intrakranial.
Obstruksi
sirkulasi
cairan
32
Gambar 5. Skema Proses Desak Ruang Yang menimbulkan Kompresi Pada Jaringan Otak dan
Pergeseran Struktur Tengah.
Otak yang mengalami kontusio akan cenderung menjadi lebih besar, hal
tersebut dikarenakan pembengkakan sel-sel otak dan edema sekitar kontusio.
Sehingga akan menyebabkan space occypying lesion (lesi desak ruang) intra kranial
yang cukup berarti. Karena wadah yang tetap tetapi terdapat adanya tambahan
massa, maka secara kompensasi akan menyebabkan tekanan intra kranial yang
meningkat. Hal ini akan menyebabkan kompresi pada otak dan penurunan
kesadaran. Waktu terjadinya hal tersebut bervariasi antara 24-48 jam dan
berlangsung sampai hari ke 7-10.
Kenaikan TIK ini secara langsung akan menurunkan TPO (Tekanan Perfusi
Otak), sehingga akan berakibat terjadinya iskemia dan kematian. TIK harus
diturunkan tidak melebihi 20-25 mmHg. Bila TIK 40 mmHg maka dapat terjadi
kematian.
a. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas, tidak
infiltratif dan hanya mendesak organ-organ sekitar. Selain itu, ditemukan
adanya pembentukan kapsul serta tidak adanya metastasis maupun rekurensi
setelah dilakukan pengangkatan total. Secara histologis, menunjukkan
struktur sel yang reguler, pertumbuhan la,a tanpa mitosis, densitas sel yang
rendah dengan diferensiasi struktur yang jelas parenkhim, stroma yang
tersusun teratur tanpa adanya formasi baru.
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi destruktur tanpa
batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung membentuk metastasis dan
rekurensi pasca pengangkatan total.
Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif.
Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan oleh dua faktor,
yaitu gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan intrakranial. Gangguan fokal
terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak dan infiltrasi atau invasi
langsung pada aprenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Perubahan
suplai darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh menyebabkan nekrosis
jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi
sebagai hilangnya fungsi secara akut dan gangguan serebrovaskular primer.
Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan
dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan otak. Beberapa
tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak sekitar sehingga
memperberat gangguan neurologis fokal.
Berikut ini klasifikasi tumor intracranial menurut WHO :
Jenis Tumor
Kordoma
Asal
Status
Keganasan
Jinak tetapi
kolumna spinalis
invasif
Sel-sel embrionik
Ganas atau
34
Persentase
Dari Semua
Tumor Otak
Yang Sering
Terkena
<>
Dewasa
1%
Anak-anak
jinak
Glioma (glioblastoma
multiformis, astrositoma,
oligodendtrositoma)
Sel-sel penyokong
otak, termasuk
Ganas atau
astrosit &
relatif jinak
65%
Anak-anak &
dewasa
oligodendrosit
Hemangioblastoma
Pembuluh darah
Jinak
Meduloblastoma
Sel-sel embrionik
Ganas
1-2%
Anak-anak &
dewasa
Anak-anak
yg membungkus
Jinak
20%
Dewasa
otak
Osteoma
Tulang tengkorak
Jinak
2&
Osteosarkoma
Tulang tengkorak
Ganas
<>
Jinak
1%
Jinak
2%
Jinak
3%
Pinealoma
Adenoma hipofisa
Sel-sel di kelenjar
pinealis
Sel-sel epitel
hipofisa
Anak-anak &
dewasa
Anak-anak &
dewasa
Anak-anak
Anak-anak &
dewasa
Sel Schwann yg
Schwannoma
membungkus
persarafan
35
Dewasa
Tumor otak merupakan penyakit yang sukar terdiagnosa secara dini, karena
pada awalnya menunjukkan berbagai gejala yang menyesatkan dan meragukan
tapi umumnya berjalan progresif. Baik pada tumor jinak maupun ganas,
gejalanya timbul jika jaringan otak mengalami kerusakan atau otak mendapat
penekanan.
Jika tumor otak merupakan penyebaran dari tumor lain, maka akan timbul
gejala yang berhubungan dengan kanker asalnya. Misalnya batu berlendir dan
berdarah terjadi pada kanker paru-paru, benjolan di payudara bisa terjadi pada
kanker payudara.
Gejala dari tumor otak tergantung kepada ukuran, kecepatan pertumbuhan dan
lokasinya.Tumor di beberapa bagian otak bisa tumbuh sampai mencapai ukuran
yang cukup besar sebelum timbulnya gejala; sedangkan pada bagian otak
lainnya, tumor yang berukuran kecilpun bisa menimbulkan efek yang fatal.
Manifestasi klinis tumor otak dapat berupa:
1) Gejala serebral umum
Dapat berupa perubahan mental yang ringan (Psikomotor asthenia), yang
dapat dirasakan oleh keluarga dekat penderita berupa: mudah
tersinggung, emosi, labil, pelupa, perlambatan aktivitas mental dan
sosial, kehilangan inisiatif dan spontanitas, mungkin diketemukan
ansietas dan depresi. Gejala ini berjalan progresif dan dapat dijumpai
pada 2/3 kasus.
a.
Nyeri Kepala
Diperkirakan 1% penyebab nyeri kepala adalah tumor otak dan
30% gejala awal tumor otak adalah nyeri kepala. Sedangkan gejala
lanjut diketemukan 70% kasus. Sifat nyeri kepala bervariasi dari
ringan dan episodik sampai berat dan berdenyut, umumnya
bertambah berat pada malam hari dan pada saat bangun tidur pagi
serta pada keadaan dimana terjadi peninggian tekanan tinggi
intrakranial. Nyeri kepala terutama terjadi pada waktu bangun tidur,
karena selama tidur PCO2 arteri serebral meningkat, sehingga
mengakibatkan peningkatan dari serebral blood flow dan dengan
demikian mempertinggi lagi tekanan intrakranium. Juga lonjakan
tekanan intrakranium sejenak karena batuk, bersin, coitus dan
mengejan akan memperberat nyeri kepala. Nyeri kepala juga
bertambah berat waktu posisi berbaring, dan berkurang bila duduk.
Adanya nyeri kepala dengan psicomotor asthenia perlu dicurigai
36
yang
lebih
lanjut.
Schmidt
dan
Wilder
(1968)
segera karena setiap saat dapat timbul ancaman herniasi. Selain itu dapat
dijumpai parese N.VI akibat teregangnya N.VI oleh TTIK. Tumor-tumor
yang sering memberikan gejala TTIK anpa gejala-gejala fokal maupun
lateralisasi adalah meduloblatoma, spendimoma dari ventrikel III,
haemangioblastoma serebelum dan craniopharingioma.
3) Gejala spesifik tumor otak yang berhubungan dengan lokasi
a. Lobus frontal
Menimbulkan gejala perubahan kepribadian apatis dan masa bodoh
euphoria, tetapi lebih sering ditemukan adalah gabungan dari kedua
tipe tersebut.
Bila tumor menekan
jaras
motorik
menimbulkan
hemiparese
kennedy
Pada lobus dominan menimbulkan gejala afasia motorik dan disartria.
b. Lobus parietal
Dapat menimbulkan gejala modalitas sensori kortikal hemianopsi
homonymus
Bila terletak dekat area motorik dapat timbul kejang fokal dan pada
gyrus angularis menimbulkan gejala sindrom gerstmanns. Bangkitan
kejang dapat umum atau fokal, hemianopsia homonim, apraksia. Bila
tumor terletak pada lobus yang dominan dapat menyebabkan afasia
(auraolfaktorius)
Bila letak tumor lebih dalam menimbulkan gejala afasia sensorik
yang
permulaan
bersifat
quadranopia
intrakranial
mendadak,
pasen
tiba-tiba
nyeri
kepala,
angle
g. Tumor Hipotalamus
Menyebabkan gejala TTIK akibat oklusi dari foramen Monroe
Gangguan fungsi hipotalamus menyebabkan gejala: gangguan
perkembangan seksual pada anak-anak, amenorrhoe, dwarfism,
gangguan cairan dan elektrolit, bangkitan
h. Tumor di Cerebellum
Umumnya didapat gangguan berjalan dan gejala TTIK akan cepat
Gangguan
Tremor intensional
Keterangan
Tremor osilasi yang paling jelas pada
Asinergia
Dekomposisi gerakan
Dismetria
yang utuh
Kesalahan
Deviasi
gerakan
Salah tujuan gerakan
dari
jalur
dalam
mengarahkan
gerakan
Disdiadokokinesis
Nistagmus
bergantian
Osilasi mata
yang
cepat
saat
2. Hematom Intrakranial
a. Hematom Epidural
39
b. Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan
robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena
robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Oleh karena hematom
subdural sering disertai cedera otak berat lain, jika dibandingkan dengan
hematom epidural prognosisnya lebih jelek. Hematom subdural dibagi
menjadi subdural akut bila gejala timbul pada hari pertama sampai hari
ketiga, subakut bila timbul antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan
kronik bila timbul sesudah minggu ketiga.
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting
dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma sering
berkaitan dengan trauma otak berat dan memiliki mortalitas yang tinggi.
Hematoma subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat
antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala
minor. Cidera ini seringkali berkaitan dengan cidera deselarasi akibat
kecelakaan kendaraan bermotor. Defisit neurologik progresif disebabkan oleh
40
tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen
magnum yang selanjutnya menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol
atas denyut nadi dan tekanan darah.
Hematom subdural akut dan kronik memberikan gambaran klinis suatu
proses desak ruang (space occupying lesion) yang progresif sehingga tidak
jarang dianggap sebagai neoplasma atau demensia.
c. Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin
disertai pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural. Kelainan
ini jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput arakhnoid
yang menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke ruang subdural. Gambaran
klinis menunjukkan tanda kenaikan tekanan intrakranial, sering tanpa tanda
fokal.
3. Abses otak
Abses otak adalah kumpulan nanah yang dikelilingi oleh kapsul fibrosa
parenkim otak terutama disebabkan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang
berdekatan atau melalui vaskular. Kebanyakan abses otak terjadi karena
diseminasi hematogen dari peradangan yang jauh, trauma, pembedahan, ekstensi
langsung dari sinusitis.
41
reversibel berlangsung. Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanismemekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut, autoregulasi pembuluh
darah serebral terganggu, sehingga terdapat vasoparalisis. Tekanan darah
menajdi rendah dan nadi menjadi lambat. Pusat vegetatif ikut terlibat, maka rasa
mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul.
II.3.4. Diagnosis SOL
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yaitu melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik neurologik yang teliti serta pemeriksaan penunjang. Dari
anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita yang
mungkin sesuai dengan gejala-gejala yang telah diuraikan di atas. Misalnya ada
tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan fisik
neurologik ditemukan adanya gejala seperti edema papil dan deficit lapangan
pandang. Perubahan tanda vital pada kasus space occupying lesion intrakranial,
meliputi:
a. Denyut Nadi
Denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP, terutama
pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi yang mungkin
terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini dikontrol oleh
tekanan pada mekanisme reflex vagal yang terdapat di medulla. Apabila
tekanan ini tidak dihilangkan, maka denut nadi akan menjadi lambat dan
irregular dan akhirnya berhenti.
b. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan daripada
batang otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini normalnya akan
diikuti dengan penurunan level dari kesadaran.Perubahan pada pola pernafasan
adalah hasil dari tekanan langsung pada batang otak. Pada bayi, pernafasan
irregular dan meningkatnya serangan apneu sering terjadiantara gejala-gejala
awal dari peningkatan tekanan intrakranial yang cepat dan dapat berkembang
dengan cepat ke respiratory arrest.
c. Tekanan darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan tekanan intrakranial, terutama pada anak-anak. Dengan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah akan meningkat sebagai
mekanisme kompensasi; Sebagai hasil dari respon Cushing, dengan
meningkatnya tekanan darah, akan terjadi penurunan dari denyut nadi disertai
dengan perubahan pada pola pernafasan. Apabila kondisi ini terus berlangsung,
maka tekanan darah akan mulai turun .
43
d. Suhu tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan tekanan intrakranial
berlangsung, suhu tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi
berubah, peningktan suhu tubuh akan muncul akibta dari disfungsi dari
hipotalamus atau edema pada traktus yang menghubungkannya.
e. Reaksi pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi pupil yang
lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi yang menyebabkan
penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema otak atau lesi pada otak.
Penekanan pada n. Oklulomotorius menyebabkan penekanan ke bawah,
menjepit n.Okkulomotorius di antara tentorium dan herniasi dari lobus
temporal yang mengakibatkan dilatasi pupil yang permanen. N. okulomotorius
(III) berfungsi untuk mengendalikan fungsi pupil. Pupil harus diperiksa
ukuran, bentuk dan kesimetrisannya dimana ketika dibandingkan antara kiri
dan kanan, kedua pupil harus memiliki ukuran yang sama. Normalnya,
konstriksi pupil akan terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis
a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil, bentuknya dan reaksinya terhadap
cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang penglihatan serta pemeriksaan
gerakan bola mata
b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil nervus optikus
atau atrofi papil nervus optikus et causa papil odema tahap lanjut.
c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks fisiologi,
reflek patologis, dan klonus.
d. Pemeriksaan sensibilitas.
Elektroensefalografi (EEG)
Elektroensefalografi (EEG) adalah tehnik untuk merekan aktivitas
elektrik otak melalui tengkorak utuh. Tindakan pemeriksaan ini aman dan sama
sekali tidak menyakiti orang yang diperiksa. Elektroensefalografi dapat
mengungkapkan tanda-tanda gangguan fungsi otak fokal atau global, seperti
disfungsi otak pada penderita epilepsi, tumor serebri, infark, hemoragi,
kontusia serebri, ensefalitis dan berbagai keadaan psikiatrik.
Pada Anak:
-
Sutura melebar
Craniolacunia
Pada dewasa
Arteriografi
Arteriografi karotis dan vertebralis merupakan metode radiologik
dengan jalan pembuatan foto rontgen pembuluh-pembuluh darah intrakranial
setelah arteri karotis atau arteri vertebralis diisi dengan substansi radio-opak.
Dengan demikian, bentuk dan perjalanan cabang-cabang arteri karotis interna
atau arteri basilaris dapat divisualisasikan pada foto rontgen. Oleh karena
susunan pembuluh darah yang divisualisasikan oleh arteriografi (angiogram)
karotis dan vertebral, maka pemeriksaan ini dikerjakan dengan maksud untuk
mendapatkan informasi yang mengungkapkan kelainan pada susunan vaskular.
Kelainan tersebut dapat bersifat gangguan intraluminal (obstruksi, dilatasi
patologik
seperti
aneurisma,
malformasi
vaskular
atau
gangguan
46
Jika dari hasil pemeriksaan diketahui adanya abses, maka antibiotik merupakan
salah satu terapi yang harus diberikan. Berikan antibiotik intravena, sesuai kultur
ataupun sesuai data empiris yang ada. Antibiotik diberikan 4-6 minggu atau
lebih, hal ini disesuaikan dengan hasil pencitraan, apakah ukuran abses sudah
berkurang atau belum. Carbapenem, fluorokuinolon, aztreonam memiliki
penetrasi yang bagus ke sistem saraf pusat, tetapi harus memperhatikan dosis
yang diberikan (tergantung berat badan dan fungsi ginjal) untuk mencegah
toksisitas.
6) Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema peritumoral dan mengurangu tekana
intrakranial. Efeknya mengurangi sakit kepala dengan cepat. Dexamethasone
adalah kortikosteroid yang dipilh karena aktivitas mineralkortikoid yang
minimal. Dosisnya dapat diberikan mulai dari 16mg/hari, tetapi dosisnya dapat
ditambahkan maupun dikurangi untuk mencapai dosis yang dibutuhkan untuk
mengontrol gejala neurologik.
7) Head up 30-45
Berfungsi untuk mengoptimalkan venous return dari kepala, sehingga akan
membantu mengurangi TIK.
8) Menghindari Terjadinya Hiperkapnia
PaCO2 harus dipertahankan dibawah 40 mmHg, karena hiperkapnia dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke otak sehingga terjadi
peningkatan TIK, dengan cara hiperventilasi ringan disertai dengan analisa gas
darah untuk menghindari global iskemia pada otak.
9) Diuretika Osmosis
Manitol 20% dengan dosis 0,25-1 gr/kgBB diberikan cepat dalam 30-60 menit
untuk membantu mengurangi peningakatan TIK dan dapat mencegah edema
serebri.
II.4. Meningioma
II.4.1. Definisi
Meningioma adalah tumor pada meningen yang merupakan selaput pelindung
yang melindungi otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul pada tempat
manapun di bagian otak maupun medulla spinalis, tetapi, umumnya terjadi di
hemisphere otak di semua lobusnya. Kebanyakan meningioma bersifat jinak
(benign). Meningioma malignant jarang terjadi.
II.4.2. Epidemiologi
Tumor ini mewakili 20% dari semua neoplasma intracranial dan 12 % dari
semua tumor medulla spinalis. Meningioma biasanya jinak, tetapi bisa kambuh
47
setelah diangkat. Tumor ini lebih sering ditemukan pada wanita dan biasanya
muncul pada usia 40-60 tahun, tetapi tidak tertutup kemungkinan muncul pada masa
kanak-kanak atau pada usia yang lebih lanjut.Paling banyak meningioma tergolong
jinak(benign) dan 10 % malignant. Meningioma malignant dapat terjadi pada wanita
dan laki-laki,meningioma benign lebih banyak terjadi pada wanita.
II.4.3. Etiologi
Hingga saat ini diyakini radioterapi merupakan factor resiko utama terjadinya
meningioma. Radiasi dosis rendah seperti pada pengobatan tinea kapitis maupun
dosis tinggi seperti pada penanganan tumor otak lain (misalnya meduloblastoma)
meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Radioterapi dosis tinggi berhubungan
dengan terjadinya meningioma dalam waktu yang relative singkat, antara 5-10
tahun. Sementara radiasi dosis rendah membutuhkan waktu beberapa decade sampai
timbulnya meningioma. Tumor yang timbul akibat radiasi cenderung bersifat
multiple dan secara histology ganas, serta memiliki kecenderungan yang lebih tinggi
untuk timbul kembali. Trauma kepala diduga dapat menyebabkan tumor meningens,
namun sampai saat ini belum ada penelitian lebih lanjut yang dapat membuktikan
hal tersebut. Foto dental standar bukan merupakan factor resiko. Namun beberapa
penelitian epidemiologi menyebutkan terjadi peningkatan insidens meningioma pada
pasien dengan riwayat foto dental.
Rangsangan endogen dan eksogen via hormonal memainkan peran yang cukup
penting juga dalam timbulnya tumor meningens. Estrogen dan progesterone diduga
merupakan salah satu penyebab timbulnya meningioma karena angka prevalensi
yang lebih tinggi pada wanita. Reseptor estrogen ditemukan pada meningioma,
yakni ikatan pada reseptor tipe 2 walaupun tingkat afinitasnya terhadap estrogen
tidak sekuat reseptor yang ditemukan pada kanker payudara. Sebagai perbandingan,
reseptor progesterone diekspresikan pada 80% wanita penderita meningioma dan
40% pada pria. Lokasi ikatan dengan progesterone lebih jarang pada meningioma
yang agresif. Cara kerja reseptor-reseptor ini masih belum diketahui, namun
inhibitor estrogen dan progesterone telah dicoba sebagai terapi walaupun belum ada
bukti keberhasilan.
Infeksi virus seperti SV-40, termasuk dalam pathogenesis meningioma, namun
data yang terkumpul hingga saat ini masih belum meyakinkan. Meningioma diduga
timbul melalui proses bertahap yang melibatkan aktivasi onkogen dan hilangnya gen
supresor tumor. Penelitian genetic molecular telah menunjukan beberapa
penyimpangan, yang paling sering adalah hilangnya 22q pada 80% penderita
48
meningioma sporadic. Hal ini mengakibatkan hilangnya NF-2 gen supresor tumor
yang berlokasi di 22q11 dan berkurangnya produk protein merlin yang bertanggung
jawab terhadap interaksi sel.1 Sel yang memiliki defek pada merlin tidak dapat
mengenali sel sekitarnya dan terus menerus tumbuh. Beberapa kelainan telah
dideteksi pada kromosom lain, dan diduga beberapa onkogen dan gen supresor
tumor terlibat dalam pembentukan meningioma.
Beberapa factor pertumbuhan, termasuk epidermal growth factor, PDGF,
insulin-like growth factors, transforming growth factor I2 dan somatostatin
diekspresikan secara berlebih dan dapat merangsang pertumbuhan meningioma.
Meningioma merupakan tumor yang kaya akan pembuluh darah dan mengandung
VEGF (vascular endothelial growth factor) dalam konsentrasi yang tinggi.
II.4.4. Klasifikasi
Meskipun pada kebanyakan kasus bersifat jinak, meningioma secara
mengejutkan memiliki karakteristik klinis yang sangat luas. Membedakannya secara
histologis berhubungan erat dengan resiko kejadian berulang yang tinggi. Pada kasus
yang jarang, meningioma dapat bersifat ganas.
Klasifikasi dari WHO bertujuan untuk memprediksi perbedaan karakteristik
klinis dari meningioma dengan grading secara histologis berdasarkan statisik
korelasi klinikopatologis yang signifikan. Berdasarkan tingkat keganasannya
meningioma dibagi menjadi 3, yaitu jinak (WHO grade 1), atipikal (WHO grade 2),
dan anaplastik (WHO grade 3).
49
50
51
52
tanda serebelum.
Meningioma foramen magnus, seringkali menempel dengan nervus kranialis.
Gejala yang timbul berupa nyeri, kesulitan berjalan, dan kelemahan otot-otot
tangan.
Meningioma spinal, paling sering menyerang daerah dada terhitung sekitar
25-46% dari tumor spinal primer. Gejala yang timbul merupakan akibat
langsung dari penekanan terhadap medula spinalis dan korda spinalis, paling
sering berupa nyeri radikular pada anggota gerak, paraparesis, perubahan
refleks tendon, disfungsi sfingter, dan nyeri pada dada. Paraparesis dan
54
paraplegia timbul pada 80% pasien, namun sekitar 67% pasien masih dapat
berjalan.
Meningioma intraorbital. Gejala yang dominan terutama pada mata berupa
II.4.6. Diagnosis
Meningioma sering baru terdeteksi setelah muncul gejala. Diagnosis dari
meningioma dapat ditegakan berdasarkan manifestasi klinis pasien dan gambaran
radiologis. Meskipun demikian, diagnosis pasti serta grading dari meningioma hanya
dapat dipastikan melalui biopsi dan pemeriksaan histologi.
Pada CT scan, tumor terlihat isodens atau sedikit hiperdens jika dibandingkan
dengan jaringan otak normal. Seringkali tumor juga memberikan gambaran berlobus
dan kalsifikasi pada beberapa kasus. Edema dapat bervariasi dan dapat tidak terjadi
pada 50% kasus karena pertumbuhan tumor yang lambat, tetapi dapat meluas.
Edema lebih dominan terjadi di lapisan white matter dan mengakibatkan penurunan
densitas. Perdarahan, cairan intratumoral, dan akumulasi cairan dapat jelas terlihat.
Invasi sepanjang dura serebri sering muncul akibat provokasi dari respon osteblas
yang menyebabkan hiperostosis pada 25% kasus. Gambaran CT scan paling baik
untuk menunjukan kalsifikasi dari meningioma. Penelitian membuktikan bahwa
45% proses kalsifikasi adalah meningioma.
55
56
Pada MRI, tumor terlihat isointens pada 65% kasus dan hipointens pada
sisanya jika dibandingkan dengan jaringan otak normal. Kelebihan MRI adalah
mampu memberikan gambaran meningioma dalam bentuk resolusi 3 dimensi,
membedakan tipe jaringan ikat, kemampuan multiplanar dan rekonstruksi. MRI
dapat memperlihatkan vaskularisasi tumor, pembesaran arteri, invasi sinus venosus,
dan hubungan antara tumor dengan jaringan sekitarnya.
Angiografi secara khusus mampu menunjukan massa hipervaskular, menilai
aliran darah sinus dan vena. Angiografi dilakukan hanya jika direncakan dilakukan
embolisasi preoperasi untuk mengurangi resiko perdarahan intraoperatif.
Gambaran radiografi yang tidak khas seperti kista, perdarahan, dan nekrosis
sentral seringkali menyerupai gambaran glioma dan muncul pada sekitar 15% kasus
meningioma. Meningioma malignan sering menunjukan gambaran destruksi tulang,
57
nekrosis, gambaran iregular, dan edema yang luas. Diagnosis banding secara
radiografi meliputi metastasis dural, tumor meningeal primer lain, granuloma dan
aneurisma. Metastasis seringkali dikaitkan dengan edema luas dan destruksi tulang
sementara meningioma dikaitkan dengan edema sedang dan hiperostosis.
II.4.7. Tatalaksana Meningioma
Setelah diagnosis meningioma dapat ditegakan, permasalahan berikutnya
adalah memutuskan diperlukan tindakan pembedahan atau tidak. Beberapa
meningioma sering timbul tanpa gejala, hadir tiba-tiba dengan kejang, atau
melibatkan struktur tertentu sehingga reseksi hampir mustahil dilakukan. Tumor
jenis ini tidak memerlukan intervensi segera dan dapat dipantau bertahun-tahun
tanpa menunjukan pertumbuhan yang berarti. Jika pasien menunjukan gejala yang
signifikan seperti hemiparesis, atau ada progresi yang jelas terlihat melalui
pencitraan radiologi, maka diperlukan intervensi segera. Sampai saat ini,
penatalaksanaan yang paling penting adalah dengan pembedahan.
1) Pembedahan
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer untuk meningioma.
Tujuan utamanya adalah mengangkat jaringan tumor sebanyak-banyaknya
tanpa kehilangan fungsi otak. Eksisi komplit dapat menyembuhkan
kebanyakan meningioma. Faktor-faktor yang berperan dalam pembedahan
meliputi lokasi dari tumor, defisit nervus kranialis preoperasi, vaskularitas,
invasi dari sinus venosus, dan keterlibatan arteri. Reseksi sebagian dapat
menjadi pilihan jika pengangkatan seluruh tumor dapat mengakibatkan
kehilangan banyak fungsi otak.
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan, meningioma digolongkan ke
dalam 3 grup berdasarkan resiko pembedahannya. Cara penggolongannya
menggunakan algoritme CLASS, yakni Comorbidity (komorbiditas), Location
(lokasi), Age (umur pasien) Size (ukuran tumor), Symptoms and signs (tanda
dan gejala).
keberhasilan yang tinggi, yakni pada 98,1% kasus. Grup 2 dengan skor 0
sampai -1 memiliki hasil yang buruk pada sekitar 4% kasus. Sementara grup 3
dengan skor di bawah -2 memiliki hasil paling buruk yakni 15% dari seluruh
kasus.
Teknik terbaru saat ini adalah dengan memanfaatkan rekonstruksi 3
dimensi dengan komputer untuk membantu ahli bedah dalam merencanakan
prosedur operasi. MRI intraoperasi dapat menunjukan gambaran langsung
58
DAFTAR PUSTAKA
1. Arthur, H. 2012. Neurologi : Ringkasan Topik Lesi desak Ruang Intrakranial dan
Neoplasma Otak.
2. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda,
Gejala. Edisi 4. Jakarta: EGC, 2010. Hal: 358-370.
3. Bradley, Walter G. 2000. Neuro-Oncology in Pocket Companion to Neurology in
Clinical Practice edisi 3. Butterworth. Botson.
4. Brunton, LL. Goodman and Gilmans Pharmacology. Boston: McGraw-Hill. 2006.
5. Current Diagnosis & Treatment in Family Medicine.
6. Eccher M, Suarez JI. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics. In : Suarez
JI, ed. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey : Humana Press
7. Ginsberg, L. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi-8. Erlangga Medical Series.
Jakarta. 74-75
8. Gladstein. Migraine headache-Prognosis. Diunduh dari :
http://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_migraines_000097_2.htm
60
Neurology
University
of
California.
San
Francisco.
Diunduh
dari
www.AmericanHeadacheSociety.org.
10. Harsono. 2005. Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
11. ICSI. 2011. Health Care Guideline : Diagnosis and Treatment of Headache.
12. ISH Classification ICHD II ( International Classification of Headache Disorders).
Diunduh dari : http://ihs-classification.org/_downloads/mixed/ICHD-IIR1final.doc
13. Iskandar, Japardi. 2002. Gambaran CT Scan Pada Tumor Otak Benigna :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1991/1/bedah-iskandar
%20japardi11.pdf
14. Katzung, Bertram. Basic and Clinical Pharmacology. 10th edition. Boston: McGraw
Hill. 2007.
15. Lumbantombing, SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2004
16. Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 jilid 2. Media Aeusclapius.
Jakarta.
17. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2004. hal 30320 & 374-75.
18. Misbach J. Hamid AB, Mayza A. Standar Pelayanan Medis dan Standar Prosedur
Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.
19. Pertemuan Nasional III Nyeri, Nyeri Kepala & Vertigo PERDOSSI, Solo, 4 - 6 Juli
2008
20. Price Sylvia. Patofisiologi. Edisi 6. Volume 1. EGC: Jakarta. 2006. hal : 231-236 &
485-90.
21. Rasad, Sjahriar. 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Halaman
359.
22. Raskin, Neil H. Headache. Harisons Internal Medicine.
23. Sidharta, Priguna. Tension Headache dalam
Jakarta.
24. Syamsjuhidayat, R, dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta. EGC.
61