Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

STROKE NON HEMORRAGIK DENGAN


DOUBLE HEMIPARESE+ANEMIA ET
CAUSA SUSPECT GASTRITIS EROSIVA

Oleh:
dr. Dony Marthen Bani
Pembimbing:
dr. Ibnoe Soedjarto, M.Si Med., Sp.S

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH A.M PARIKESIT


KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
TENGGARONG

2015

STROKE NON HEMORRAGIK DENGAN


DOUBLE HEMIPARESE+ANEMIA ET
CAUSA SUSPECT GASTRITIS EROSIVA

Diajukan Oleh :
Nama : dr. Dony Marthen Bani
Dipresentasikan
Tanggal :

Pembimbing I

(dr.Ibnoe Soedjarto, M.Si.Med., Sp.S)

Pembimbing II,

(dr. Nurindah Isty R, M.Si.Med., Sp. KFR)


No ID dan Nama Peserta

: Dony Marthen Bani

No. ID dan Nama Wahana

: RSUD AM Parikesit

Topik

: STROKE NON HEMORRAGIK DENGAN DOUBLE


HEMIPARESE+ANEMIA ET CAUSA SUSPECT
GASTRITIS EROSIVA

Tanggal (kasus)

Tanggal Presentasi

Pendamping

: dr.Ibnoe Soedjarto, M.Si Med., Sp.S

Obyektif Presentasi
Keilmuan

Keterampilan Penyegaran

Tinjauan Pustaka

Diagnostik

Manajemen

Masalah

Istimewa

Neonatus
Bumil

Bayi

Remaja

Dewasa

Lansia

Deskripsi
Dewasa laki-laki, 69Tahun, dibawa ke rumah sakit karena BAB cair warna coklat
kehitaman disertai riwayat stroke

Tujuan
Mampu mendiagnosis kasus Stroke non hemorrhagic dengan double hemiparese+
anemia et causa suspect gastritis erosiva serta mampu melakukan penatalaksanaan awal

Bahan Masalah
Tinjauan pustaka

Riset

Kasus

Audit

Cara Membahas
Diskusi

Presentasi dan Diskusi

Email

Pos

LAPORAN KASUS

Indentitas
ANAMNESIS

Nama pasien : Tn.A

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur

: 69 tahun

Suku

: Kutai

Agama

: Islam

Status marital : menikah

Pekerjaan

: PNS

No CM

: RS:2005

Ruangan

: Tulip

Tgl MRS

: 07-09-2015 pukul 14.52

Keluhan Utama:
Buang air besar berwarna hitam kecoklatan sejak 1 hari sebelum

masuk RS + Riwayat Stroke sebelumnya


R.Penyakit sekarang:
Pasien buang air besar encer 4x, berwarna hitam kecoklatan
sejak 1 hari sebelum masuk RS ,pasien memakai pampers,jumlah BAB 1
gelas Aqua,Lemah(+)
Mual-, muntah -, batuk(-) pilek (-),demam(-) Bak Normal,
sesak napas(-)nyeri dada(-),

R.penyakit dahulu:
Sebelum dirawat di RS , tanggal 17-06-2015 pasien pernah di rawat di ruang
anggrek RSUD dengan keluhan Lemas seluruh tubuh dan tidak bisa bicara
sejak 1 minggu secara tiba-tiba saat bangun tidur, napsu makan menurun
sejak sakit,DM(-),HT (+),terkontrol ,astma(-),ambeien(-)
Riwayat trauma kepala(-),
diagnosis masuk nya: Syndrom Geriatric,+anemia Susp CKD
Lalu di rujuk ke AWS untuk rencana Hemodialisis.
Di AWS tidak jadi di HD karena pemeriksaan lab ulang di AWS fungsi ginjal
sudah normal kembali.
Riwayat Glaukoma (+)pada mata kanan dan kiri sejak 5 tahun yang lalu,
visus mata kanan dan mata kiri mata 1/~

Lab tanggal 17-08-2015


Hb:6,6
Hct:20
Trombosit:104.000
Leukosit:6900
Ct:3,30
Bt:2,30
HbsAg:Ureum:229
Cr: 3,5

Riwayat Obat dan kebiasaan


Riwayat minum jamu2an (-)
Riwayat Keluarga:
Ayah pasien meninggal karena penyakit stroke
Riwayat merokok+ rokok kretek 2 bungkus sehari
Riwayat minum alkohol:Kebiasaan makan: 3x sehari nasi dan lauk pauk.

Riwayat Obat di RS AWS


Miniaspi 80mg 1x1 tab
Spironolactone 25mg 1x1 tab
Ciprofloxacin 2x1 tab
Clopidogrel 75mg 1x1
Furosemide 40mg 2x1 tab
ISDN 3x1 tab

Pemeriksaan Fisik
Vital sign:
Tensi:110/60
Nadi:90104x/m
RR:20x/m
Suhu:36,5
Kepala/Leher:
Normocephali,deformitas(-)tanda radang pada kulit
kepala(-)
Mata: konjungtiva palpebra anemis-/-,ikterus-/,reflek pupil:
Visus:1/~ ,1/~
leher:massa(-),tidak terdapat pembesaran KGB
Thorax:

jantung:S1 S2 Tunggal, murmur (-)gallop(-)


batas jantung kanan:ics 2 parasternal line dextra
batas jantung kiri atas:ics 2 parasternal line sinistra
batas jantung kiri bawah:ics 5 midclavicular line
sinistra
Paru:

Abdomen:Inspeksi:

Vesikuler +/+, Wheezing:-/-, Rhonki:-/kelainan kulit (-)

auskultasi:

Bising usus :+ N

Palpasi:

Soepel,nyeri tekan (-)

Perkusi:

timpani(+)

Extremitas: Edem (-)


Deformitas(-)

Jenis Nervus
NI
Olfaktorius
N II
Optikus

N III
okulomotorius

N IV
Trochlearis
NV
Trigeminus

N VI
Abducens
N VII
Facialis

N VIII
Octavus
N IX
glossopharyngeu
s
NX

Jenis Pemeriksaan
Subjektif
Objektif
Tajam Penglihatan
Lapangan pandang (tes
konfrontasi)
Melihat Warna
Pergerakan bola mata
Strabismus
Nistagmus
Eksoftalmus
Besar pupil (diameter)
Bentuk pupil
Refleks cahaya
Melihat kembar
Pergerakan bola mata (lateral

Kanan
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE

bawah)
Melihat Kembar
Membuka mulut
Mengunyah
Menggigit
Sensibilitas wajah
Pergerakan bola mata (ke lateral)
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Memperlihatkan gigi
Sudut bibir
Detik arloji
Suara berbisik
Uvula
Perasaan lidah bagian belakang
Bicara

Kiri
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE
+
+
TDE
TDE
+

TDE
Tertinggal Tertinggal
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE
TDE
-

10

Vagus
Menelan
N XI
Mengangkat bahu
Accesorius
Memalingkan kepala
N XII
Menjulurkan lidah
hypoglossus
Tremor lidah
Keterangan :
TDE : Tidak dapat di Evaluasi

Sukar
-

Badan dan Anggota Gerak


Bagian tubuh
Badan
Ekstremitas
superior

Ekstremitas
inferior

Pemeriksaan
Sensibilitas taktil
Sensibilitas nyeri
Pergerakan
Kekuatan
Humerus
Antebrachii
Manus
Refleks fisiologis
Refleks biceps
Refleks triceps
Refleks patologis
Refleks Trommer
Refleks Hoffman
Sensibilitas taktil
Sensibilitas nyeri
Pergerakan
Kekuatan
Femur
Cruris
Pedis
Refleks fisiologis
Refleks patella
Refleks Achilles
Refleks patologis
Refleks Babinski
Refleks Chaddock
Refleks Oppenheim
Sensibilitas taktil
Sensibilitas nyeri
Lasseque
Kernig

Kanan
Kiri
TDE
+

2
2
2

2
2
2

+
+

+
+

TDE

2
2
2

2
2
2

+
+

+
+

+
+
+

+
+
+
TDE

Koordinasi, Gait, dan Keseimbangan


Koordinasi dan keseimbangan tidak valid untuk diperiksa
Gerakan-gerakan abnormal

11

Tidak dijumpai gerakan abnormal


Alat vegetatif
Miksi menggunakan Foley kateter, asupan nutrisi oral menggunakan
Nasogastic tube, BAB normal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Parameter
Hb
Ht
Leukosit
Trombosit

07-09-2015
4,5 g/dl
14 %
12.100
340.000

10-09-2015

11-09-

8,1g/dl
24
7900
309.000

2015
8,5g/dl
24
8000
262.00
-

GDS
Glukosa Puasa
Ureum
Creatinin
Uric acid
SGOT
SGPT
Cholesterol
Trigleserida
HDL-

170 mg/dl
91 mg/dl
1,1 mg/dl
-

0
-

Cholesterol
LDL-

Cholesterol
Na+
K+
Cl-

139 q/L
3,2 q/L
109 q/L

12

13

CT SCAN

14

Diagnosis Akhir :
-

Diagnosis klinis

: Double Hemiparese(hemiparese bilateral)+

Afasia Global
- Diagnosis topikal
: Hemisfer Dextra et sinistra
- Diagnosis etiologis : Stroke Non Hemorrhagic
- Diagnosa lain :anemia suspect et causa gastritis erosiva+Glaukoma
Terapi:
02 2 LPM
diet sonde 3x250
infus Nacl0,9% 10tpm
transfusi PRC 2 kolf/Hari sampe Hb>10
Inj,tranxamine 3x500mg
drip Adona 1 ampul/Hari
inj.citicholin 250mg 2x1 ampul
Inj.furosemide 2x1 ampul
inj.ranitidin 2x1 ampul

15

inj.omeprazole 2x1 ampul


lanzoprazole 2x1
aminefron 3x2 tab
badan balik kiri balik kanan per 2 jam cegah dekubitus

16

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi Stroke
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh
gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan dapat
menimbulkan cacat atau kematian. Secara umum, stroke digunakan sebagai
sinonim Cerebro Vascular Disease (CVD) dan kurikulum Inti Pendidikan Dokter
di Indonesia (KIPDI) mengistilahkan stroke sebagai penyakit akibat gangguan
peredaran darah otak (GPDO). Stroke atau gangguan aliran darah di otak disebut
juga sebagai serangan otak (brain attack), merupakan penyebab cacat (disabilitas,
invaliditas).
Stroke Non Hemoragik
Klasifikasi Stroke Non Hemoragik
Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik
dan proses patologik (kausal):
A. Berdasarkan manifestasi klinik:
Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA).
Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di

otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.


Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible

Ischemic

Neurological Deficit (RIND). Gejala neurologik yang timbul akan


menghilang dalam waktu lebih lama dari 24 jam, tapi tidak lebih

dari seminggu.
Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation). Gejala

neurologik makin lama makin berat.


Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke). Kelainan

neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.


B. Berdasarkan Kausal:
Stroke Trombotik. Stroke trombotik terjadi karena adanya
penggumpalan pada pembuluh darah di otak. Trombotik dapat
terjadi pada pembuluh darah yang besar dan pembuluh darah yang
kecil. Pada pembuluh darah besar trombotik terjadi akibat
aterosklerosis yang diikuti oleh terbentuknya gumpalan darah yang
17

cepat. Selain itu, trombotik juga diakibatkan oleh tingginya kadar


kolesterol jahat atau Low Density Lipoprotein (LDL). Sedangkan
pada pembuluh darah kecil, trombotik terjadi karena aliran darah
ke pembuluh darah arteri kecil terhalang. Ini terkait dengan

hipertensi dan merupakan indikator penyakit aterosklerosis.


Stroke Emboli/Non Trombotik. Stroke emboli terjadi karena
adanya gumpalan dari jantung atau lapisan lemak yang lepas.
Sehingga,

terjadi

penyumbatan

pembuluh

darah

yang

mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke


otak.
Gejala Stroke Non Hemoragik
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran
darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan
lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut
adalah:
a) Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.
Buta mendadak (amaurosis fugaks).
Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan

(disfasia) bila gangguan terletak pada sisi dominan.


Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis
kontralateral) dan dapat disertai sindrom Horner pada sisi

sumbatan.
b) Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior.
Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih
menonjol.
Gangguan mental.
Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh.
Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air.
Bisa terjadi kejang-kejang.
c) Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media.
Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih
ringan.
Bila tidak di pangkal maka lengan lebih menonjol.
Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh.
Hilangnya kemampuan dalam berbahasa (aphasia).
d) Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasilar.
Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas.
18

Meningkatnya refleks tendon.


Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh.
Gejala-gejala sereblum seperti gemetar pada tangan (tremor),

kepala berputar (vertigo).


Ketidakmampuan untuk menelan (disfagia).
Gangguan motoris pada lidah, mulut, rahang dan pita suara

sehingga pasien sulit bicara (disatria).


Kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran
secara lengkap (strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat,

kehilangan daya ingat terhadap lingkungan (disorientasi).


Gangguan penglihatan, sepert penglihatan ganda (diplopia),
gerakan arah bola mata yang tidak dikehendaki (nistagmus),
penurunan kelopak mata (ptosis), kurangnya daya gerak mata,
kebutaan setengah lapang pandang pada belahan kanan atau kiri

kedua mata (hemianopia homonim).


Gangguan pendengaran.
Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.
e) Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior
Koma
Hemiparesis kontra lateral.
Ketidakmampuan membaca (aleksia).
Kelumpuhan saraf kranialis ketiga.
f) Gejala akibat gangguan fungsi luhur
Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia
dibagi dua yaitu, Aphasia motorik adalah ketidakmampuan untuk
berbicara, mengeluarkan isi pikiran melalui perkataannya sendiri,
sementara kemampuannya untuk mengerti bicara orang lain tetap
baik. Aphasia sensorik adalah ketidakmampuan untuk mengerti
pembicaraan orang lain, namun masih mampu mengeluarkan
perkataan dengan lancar, walau sebagian diantaranya tidak

memiliki arti, tergantung dari luasnya kerusakan otak.


Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan
otak. Dibedakan dari Dyslexia (yang memang ada secara
kongenital), yaitu Verbal alexia adalah ketidakmampuan membaca
kata, tetapi dapat membaca huruf. Lateral alexia adalah

19

ketidakmampuan membaca huruf, tetapi masih dapat membaca

kata. Jika terjadi ketidakmampuan keduanya disebut Global alexia.


Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya

kerusakan otak.
Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan mengenal

angka setelah terjadinya kerusakan otak.


Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah
sejumlah tingkat kemampuan yang sangat kompleks, seperti
penamaan, melakukan gerakan yang sesuai dengan perintah atau
menirukan

gerakan-gerakan

tertentu.

Kelainan

ini

sering

bersamaan dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari disuruh


menyebutkan nama jari yang disentuh sementara penderita tidak

boleh melihat jarinya).


Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya
kemampuan melaksanakan bermacam perintah yang berhubungan

dengan ruang.
Syndrome Lobus Frontal, ini berhubungan dengan tingkah laku
akibat kerusakan pada kortex motor dan premotor dari hemisphere

dominan yang menyebabkan terjadinya gangguan bicara.


Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada
trauma capitis, infeksi virus, stroke, anoxia dan pasca operasi

pengangkatan massa di otak.


Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang mencakup
sejumlah kemampuan.

Diagnosis Stroke Non Hemoragik


Diagnosis didasarkan atas hasil:
a. Penemuan Klinis
Anamnesis
Terutama terjadinya keluhan/gejala defisit neurologik yang

mendadak. Tanpa trauma kepala, dan adanya faktor risiko stroke.


Pemeriksaan Fisik
Adanya defisit neurologik fokal, ditemukan faktor risiko seperti

hipertensi, kelainan jantung dan kelainan pembuluh darah lainnya.


b. Pemeriksaan tambahan/Laboratorium
Pemeriksaan Neuro-Radiologik

20

Computerized Tomography Scanning (CT-Scan), sangat membantu


diagnosis dan membedakannya dengan perdarahan terutama pada
fase akut. Angiografi serebral (karotis atau vertebral) untuk
mendapatkan gambaran yang jelas tentang pembuluh darah yang
terganggu,

atau

bila

scan tak jelas. Pemeriksaan

likuor

serebrospinalis, seringkali dapat membantu membedakan infark,


perdarahan otak, baik perdarahan intraserebral (PIS) maupun

perdarahan subarakhnoid (PSA).


Pemeriksaan lain-lain
Pemeriksaan untuk menemukan faktor resiko, seperti: pemeriksaan
darah rutin (Hb, hematokrit, leukosit, eritrosit), hitung jenis dan
bila perlu gambaran darah. Komponen kimia darah, gas, elektrolit,
Doppler, Elektrokardiografi (EKG).

Stroke Hemoragik
Klasifikasi Stroke Hemoragik
Menurut WHO, dalam International Statistical Classification of Diseases
and Related Health Problem 10th Revision, stroke hemoragik dibagi atas:
a. Perdarahan Intraserebral (PIS). Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah
perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak
dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak disebabkan oleh
hipertensi, selain itu faktor penyebab lainnya adalah aneurisma
kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemofilia, leukemia,
trombositopenia, pemakaian antikoagulan angiomatosa dalam otak, tumor
otak yang tumbuh cepat, amiloidosis serebrovaskular.
b. Perdarahan Subarakhnoidal (PSA). Perdarahan Subarakhnoidal (PSA)
adalah

keadaan

terdapatnya/masuknya

darah

ke

dalam

ruangan

subarakhnoidal. Perdarahan ini terjadi karena pecahnya aneurisma (50%),


pecahnya malformasi arteriovena atau MAV (5%), berasal dari PIS (20%)
dan 25% kausanya tidak diketahui.
c. Perdarahan Subdural. Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi
akibat robeknya vena jembatan ( bridging veins) yang menghubungkan
21

vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena
robeknya araknoidea.
Gejala Stroke Hemoragik
1) Gejala Perdarahan Intraserebral (PIS). Gejala yang sering djumpai pada
perdarahan intraserebral adalah: nyeri kepala berat, mual, muntah dan
adanya darah di rongga subarakhnoid pada pemeriksaan pungsi lumbal
merupakan gejala penyerta yang khas. Serangan sering kali di siang hari,
waktu beraktivitas dan saat emosi/marah. Kesadaran biasanya menurun
dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara
1/2-2 jam, dan 12% terjadi setelah 3 jam).
2) Gejala Perdarahan Subarakhnoid (PSA). Pada penderita PSA dijumpai
gejala: nyeri kepala yang hebat, nyeri di leher dan punggung, mual,
muntah, fotofobia. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan
pemeriksaan kaku kuduk, Lasegue dan Kernig untuk mengetahui kondisi
rangsangan selaput otak, jika terasa nyeri maka telah terjadi gangguan
pada fungsi saraf. Pada gangguan fungsi saraf otonom terjadi demam
setelah 24 jam. Bila berat, maka terjadi ulkus pepticum karena pemberian
obat antimuntah disertai peningkatan kadar gula darah, glukosuria,
albuminuria, dan perubahan pada EKG.
3) Gejala Perdarahan Subdural. Pada penderita perdarahan subdural akan
dijumpai gejala: nyeri kepala, tajam penglihatan mundur akibat edema
papil yang terjadi, tanda-tanda deficit neurologik daerah otak yang
tertekan. Gejala ini timbul berminggu-minggu hingga berbulan-bulan
setelah terjadinya trauma kepala.
Diagnosis Stroke Hemoragik
a. Perdarahan Intraserebral (PIS). Diagnosis didasarkan atas gejala dan
tanda-tanda klinis dari hasil pemeriksaan. Untuk pemeriksaan tambahan
dapat dilakukan dengan Computerized Tomography Scanning (CT-Scan),
Magnetic

Resonance

Imaging

(MRI),

Elektrokardiografi

(EKG),

Elektroensefalografi (EEG), Ultrasonografi (USG), dan Angiografi


cerebral.
b. Perdarahan Subarakhnoid (PSA). Diagnosis didasarkan atas gejala-gejala
dan tanda klinis. Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan dengan

22

Multislices CT-Angiografi, MR Angiografi atau Digital Substraction


Angiography (DSA).
c. Perdarahan Subdural. Diagnosis didasarkan atas pemeriksaan yaitu
dilakukan foto tengkorak anteroposterior dengan sisi daerah trauma. Selain
itu, dapat juga dilakukan dengan CT-Scan dan EEG. Oleh karena tidak
seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas, maka untuk memudahkan
pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain, misalnya system skoring
yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada pada saat pasien
masuk Rumah Sakit. Sistem skoring yang sering digunakan antara lain:

Algoritma Stroke Gajah Mada

23

Skor Menurut Prof. Djoenaidi Widjaja


SKOR

TOTAL
SKOR

1.TIA sebelum serangan


2.Permulaan serangan :

- Sangat mendadak (1-2 menit)

6,5

- Mendadak (beberapa menit 1 jam)

6,5

- Pelan-pelan (beberapa jam)

3.Waktu serangan :
- Waktu kerja

6,5

- Waktu istirahat / tidur

- Waktu bangun tidur

4.Sakit kepala waktu serangan :


- Sangat hebat

10

- Hebat

7,5

- Ringan

- Tidak ada

24

5.Muntah :
- Langsung habis serangan

10

- Mendadak (beberapa menit beberapa jam)

7,5

- Pelan (satu hari atau lebih)

- Tak ada

6.Kesadaran :
- Hilang waktu serangan (langsung)

10

- Hilang mendadak (beberapa menit beberapa jam)

10

- Hilang pelan-pelan (satu hari atau lebih)

- Hilang sementara kemudian sadar pula (sepintas)

- Tidak ada

7.Tekanan darah :
- Waktu serangan sangat tinggi ( > 200 / 110 )

7,5

- Waktu MRS sangat tinggi ( > 200 / 110 )

7,5

- Waktu serangan tinggi ( > 140 / 110 ; < 200 / 110 )

- Waktu MRS tinggi (> 140 / 110 ; > 200 / 110 )

8.Tanda rangsangan selaput otak


- Kaku kuduk hebat

10

- Kaku kuduk ringan

- Tidak ada
9.Fundus Okuli

- Perdarahan subhyaloid

10

- Perdarahan retina (flamed shaped)

7,5

- Normal
10.Pupil

- Isokor

- Anisokor

- Pin point kanan / kiri

10

- Midriasis kanan / kiri

10

25

- Kecil + reaksi lambat

10

- Kecil + reaktif
11.Darah

10

- Leukositosis > 10.000/mm3


- CPK meningkat
12.Febris :

1
1

- < 1 hari

- > 1 hari

0
TOTAL SKOR

Keterangan :
Bila skor menurut Prof. Djoenaidi Widjaja ini menunjukkan hasil :
-

20, maka ini tergolong stroke perdarahan

< 20, maka ini termasuk infark


Skor Siriraj Hospital
Versi orisinal:
= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x tekanan
darah diastolik) (0.99 x atheromal) 3.71.
Versi disederhanakan:
= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan darah
diastolik) (3 x atheroma) 12.
Kesadaran:
Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2
Muntah:
tidak = 0 ; ya = 1
Sakit kepala dalam 2 jam:
tidak = 0 ; ya = 1
Tanda-tanda ateroma:
tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1
(anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten)
Pembacaan:
Skor

> 1 : Perdarahan otak


< -1: Infark otak

Sensivitas: Untuk perdarahan: 89.3%.


Untuk infark: 93.2%.
Ketepatan diagnostik: 90.3%.

26

Terapi
Terapi dibedakan pada fase akut dan pasca fase akut.
1

Fase Akut (hari ke 0-14 sesudah onset penyakit)


Sasaran pengobatan ialah menyelamatkan neuron yang menderita jangan

sampai mati, dan agar proses patologik lainnya yang menyertai tak
mengganggu/mengancam fungsi otak. Tindakan dan obat yang diberikan haruslah
menjamin perfusi darah ke otak tetap cukup, tidak justru berkurang. Sehingga
perlu dipelihara fungsi optimal dari respirasi, jantung, tekanan darah darah
dipertahankan pada tingkat optimal, kontrol kadar gula darah (kadar gula darah
yang tinggi tidak diturunkan dengan derastis), bila gawat balans cairan, elektrolit,
dan asam basa harus terus dipantau.
Penggunaan obat untuk memulihkan aliran darah dan metabolisme otak
yang menderita di daerah iskemik (ischemic penumbra), antara lain:
1

Anti-edema otak:
a. Gliserol 10% perinfus, 1gr/kgBB/hari dalam 6 jam
b. Kortikosteroid, yang banyak digunakan deksametason dengan bolus 1020mg i.v., diikuti 4-5 mg/6jam selama beberapa hari, lalu tapering off,
dan dihentikan setelah fase akut berlalu.
c.

27

Anti-Agregasi trombosit
Asam asetil salisilat (ASA) seperti aspirin, aspilet dengan dosis rendah 80300 mg/hari

Antikoagulansia, misalnya aspirin

Lain-lain:
a

Trombolisis (trombokinase) masih dalam uji coba

Obat-obat baru seperti pentoksifilin, sitikolin, kodergokrin-mesilat,


pirasetam, dan akhir-akhir ini calcium-entry-blocker selektif (Aliah dkk,
2007; Harsono, 2008)).

Fase Pasca Akut


Setelah fase akut berlalu, sasaran pengobatan dititik beratkan tindakan

rehabilitasi penderita, dan pencegahan terulangnya stroke.

28

Afasia
Definisi
Afasia

merupakan

gangguan

berbahasa.

Dalam

hal

ini

pasien

menunjukkan gangguan dalam memproduksi dan / atau memahami bahasa. Defek


dasar pada afasia ialah pada pemrosesan bahasa tingkat integratif yang lebih
tinggi. Gangguan artikulasi dan praksis mungkin ada sebagai gejala yang
menyertai.
Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan serebrovaskuler
hemisfer dominan, trauma kepala, atau proses penyakit. Terdapat beberapa tipe
afasia, biasanya digolongkan sesuai lokasi lesi. Semua penderita afasia
memperlihatkan keterbatasan dalam pemahaman, membaca, ekspresi verbal, dan
menulis dalam derajat berbeda-beda.
Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul
akibat cedera otak atau proses patologis pada area lobus frontal, temporal atau
parietal yang mengatur kemampuan berbahasa yaitu area broca, area Wernicke
dan jalur yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak
di hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan orang bagian hemisfer kiri merupakan
tempat kemampuan berbahasa diatur. Pada dasarnya kerusakan otak yang
menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke, cedera otak traumatic, perdarahan
otak, dan sebagainya. Sekitar 80% afasia disebabkan oleh infark iskemik,
sedangkan hemoragik frekuensinya jarang terjadi dan lokasinya tidak dibatasi
oleh kerusakan vaskularisasi. Afasia dapat muncul perlahan seperti pada kasus
tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek samping yang langka dari fentanyl,
yaitu suatu opioid untuk penanganan nyeri kronis.
Klasifikasi
a. Afasia sensoris (Wernicke)
Afasia sensoris dapat terjadi gangguan yang melibatkan pada girus
temporalis superior. Pasien afasia sensoris ditandai oleh ketidakmampuan
memahami bahasa lisan dan bila ia menjawab dia pun tidak mampu
mengetahui kata yang diucapkannya., apakah benar atau salah. Maka
terjadinya kalimat yang isinya kosong, berisi parafasia dan neologisme.

29

Seorang afasia dewasa mungkin akan kesulitan untuk menyebutkan kata


buku walau dihadapannya ditunjukkan benda buku.
b. Afasia motoric (broca)
Lesi yang menyebabkan afasia broca mencakup daerah brodman 44 dan
sekitarnya. Lesi yang menyebabkan afasia broca biasanya melibatkan
operculum frontal (area brodman 45 dan 44) dan massa alba frontal dalam
(tidak melibatkan korteks motoric bawah dan massa alba paraventrikuler
tengah). Kelainan ini ditandai dengan kesulitan dalam mengkoordinasikan
atau menyusun pikiran, perasaan dan kemauan menjadi symbol yang
bermakna dan dimengerti orang lain. Apabila bertutur kalimatnya pendekpendek dan monoton. Pasien sering atau paling banyak mengucapkan katakata benda dan kata kerja. Bicaranya bergaya telegram atau tanpa tata
bahasa (tanpa grammar). Contoh : Saya sembuh rumah. kontrol
ya control. Seseorang dengan kelainan ini mengerti dan dapat
mengintrepretasikan

rangsangan

yang

diterimanya,

hanya

untuk

mengekspresikannya mengalami kesulitan. Seseorang afasia dewasa


berumur 59 tahun, kesulitan menjawab, rumah bapak dimana?, maka
dengan menunjuk kea rah barat, dan dengan kesal karena tidak ada
kemampuan dalam ucapannya. Jenis afasia ini juga dialami dalam
menuangkan ke bentuk tulisan. Jenis ini disebut dengan dysgraphia
(agraphia).

Mengulang

(repetisi)

dan

membaca

kuat-kuat

sama

terganggunya seperti berbicara spontan. Pemahaman auditif dari


pemahaman kalimat dengan tata bahasa yang kompleks sering terganggu
(misalnya memahami kalimat seandainya anda berupaya untuk tidak
gagal, bagaimana rencana anda untuk maksud ini.
c. Afasia global
Merupakan bentuk afasia yang paling berat. Afasia global disebabkan oleh
luas yang merusak sebagian besar atau semua daerah bahasa. Penyebab
lesi yang paling sering ialah oklusi arteri karotis interna atau arteri serebri
media pada pangkalnya. Kemungkinan pulihnya ialah buruk. Keadaan ini
ditandai oleh tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan
menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara stereotip (itu-itu saja,
berulang),m misalnya : liya, liya, liya, atau : baaah, baaah, baah, atau :
amaang, amaaang, amaang. Kemprehensi menghilang atau sangat
30

terbatas, misalnya hanya mengenal namanya saja atau satu atau dua patah
kata. Repetisi juga sama berat gangguannya seperti bicara spontan.
Membaca dan menulis juga terganggu berat. Afasia global hamper selalu
disertai hemiparese atau hemiplegia yang menyebabkan invaliditas kronis
yang parah.
Manifestasi Klinis
Gejala dan Gambaran klinik Afasia
Afasia global. Afasia global ialah bentuk afasia yang paling berat.
Koadaan ini ditandai oleh tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali
dan menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara stereotip (itu-itu saja,
berulang), misalnya : "iiya, iiya, iiya", atau: "baaah, baaaah, baaaaah" atau:
"amaaang, amaaang, amaaang". Komprehensi menghilang atau sangat terbatas,
misalnya hanya mengenal namanya saja atau satu atau dua patah kata. Repetisi
(mengulangi) juga sama berat gangguannya seperti bicara spontan. Membaca dan
menulis juga terganggu berat.
Afasia global disebabkan oleh lesi luas yang merusak sebagian besar atau
semua daerah bahasa. Penyebab lesi yang paling sering ialah oklusi arteri karotis
interna atau arteri serebri media pada pangkalnya. Kemungkinan
buruk.

Afasia

global

hampir

selalu

pulih

ialah

disertai hemiparese atau hemiplegia

yang menyebabkan invaliditas khronis yang parah.


Afasia Broca. Bentuk afasia ini sering kita lihat di klinik dan ditandai oleh
bicara yang tidak lancar, dan disartria, serta tampak melakukan upaya bila
berbicara. Pasien sering atau paling banyak mengucapkan kata-benda dan katakerja. Bicaranya bergaya telegram atau tanpa tata-bahasa (tanpa grammar).
Contoh:"Saya....sembuh....rumah....kontrol....ya..kon..trol."
"Periksa...lagi...makan... banyak.."
Mengulang (repetisi) dan membaca kuat-kuat sama terganggunya seperti
berbicara spontan. Pemahaman auditif dan pemahaman membaca tampaknya tidak
terganggu, namun pemahaman kalimat dengan tatabahasa yang kompleks sering
terganggu (misalnya memahami kalimat: "Seandainya anda berupaya untuk tidak
gagal, bagaimana rencana anda untuk maksud ini").

31

Ciri klinik afasia Broca:

bicara tidak lancar

tampak sulit memulai bicara

kalimatnya pendek (5 kata atau kurang per kalimat)

pengulangan (repetisi) buruk

kemampuan menamai buruk

Kesalahan parafasia

Pemahaman lumayan (namun mengalami kesulitan memahami kalimat


yang sintaktis kompleks)

Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks

Irama kalimat dan irama bicara terganggu


Menamai (naming) dapat menunjukkan jawaban yang parafasik. Lesi yang

menyebabkan afasia Broca mencakup daerah Brodmann 44 dan sekitarnya. Lesi


yang mengakibatkan afasia Broca biasanya melibatkan operkulum frontal (area
Brodmann 45 dan 44) dan massa alba frontal dalam (tidak melibatkan korteks
motorik bawah dan massa alba paraventrikular tengah). Selain itu, ada pasien
dengan lesi dikorteks peri-rolandik, terutama daerah Brodmann 4; ada pula yang
terganggu di daerah peri-rolandik dengan kerusakan massa alba yang
ekstensif.Ada pakar yang menyatakan bahwa bila kerusakan terjadi hanya di area
Broca di korteks, tanpa melibatkan jaringan di sekitarnya, maka tidak akan terjadi
afasia.
Penderita afasia Broca sering mengalami perubahan emosional. seperti
frustasi dan depresi. Apakah hal ini disebabkan oleh gangguan berbahasanya
atau merupakan gejala yang menyertai lesi di lobus frontal kiri belum dapat
dipastikan.Pemulihan terhadap berbahasa (prognosis) umumnya lebih baik
daripada afasia global. Karena pemahaman relatif baik, pasien dapat lebih baik
beradaptasi dengan keadaannya.
Afasia Wernicke. Pada kelainan ini pemahaman bahasa terganggu. Di
klinik, pasien afasia Wernicke ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa
lisan, dan bila ia menjawab iapun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya
salah. la tidak mampu memahami kata yahg diucapkannya, dan tidak mampu

32

mengetahui kata yang diucapkannya, apakah benar atau salah. Maka terjadilah
kalimat yang isinya kosong, berisi parafasia, dan neologisme. Misalnya menjawab
pertanyaan: Bagaimana keadaan ibu sekarang ? Pasien mungkin menjawab: "Anal
saya lalu sana sakit tanding tak berabir".
Pengulangan (repetisi) terganggu berat. Menamai {naming) umumnya
parafasik. Membaca dan menulis juga terganggu berat.
Gambaran klinik afasia Wernicke:

Keluaran afasik yang lancar

Panjang kalimat normal

Artikulasi baik

Prosodi baik

Anomia (tidak dapat menamai)

Parafasia fonemik dan semantik

Komprehensi auditif dan membaca buruk

Repetisi terganggu

Menulis lancar tapi isinya "kosong"


Penderita afasia jenis Wernicke ada yang menderita hemiparese, ada pula

yang tidak. Penderita yang tanpa hemiparese, karena kelainannya hanya atau
terutama pada berbahasa, yaitu bicara yang kacau disertai banyak parafasia, dan
neologisme, bisa-bisa disangka menderita psikosis.
Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah bahasa
bagian posterior. Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin besar
kemungkinan lesi mencakup bagian posterior dari girus temporal superior. Bila
pemahaman kata tunggal terpelihara, namun kata kompleks terganggu, lesi
cenderung mengenai daerah lobus parietal, ketimbang lobus temporal superior.
Afasia jenis Wernicke dapat juga dijumpai pada lesi subkortikal yang merusak
isthmus temporal memblokir signal aferen inferior ke korteks temporal.
Penderita

dengan

defisit

komprehensi

yang

berat,

pronosis

penyembuhannya buruk, walaupun diberikan terapi bicara yang intensif. Afasia


konduksi. Ini merupakan gangguan berbahasa yang lancar (fluent) yang ditandai
oleh gangguan yang berat pada repetisi, kesulitan dalam membaca kuat-kuat

33

(namun pemahaman dalam membaca baik), gangguan dalam menulis, parafasia


yang jelas, namun umumnya pemahaman bahasa lisan terpelihara. Anomianya
berat.
Terputusnya hubungan antara area Wernicke dan Broca diduga
menyebabkan manifestasi klinik kelainan ini. Terlibatnya girus supramarginal
diimplikasikan pada beberapa pasien. Sering lesi ada di massa alba subkortikal dalam di korteks parietal inferior, dan mengenai fasikulus arkuatus yang
menghubungkan korteks temporal dan frontal.
Afasia transkortikal. Afasia transkortikal ditandai oleh repetisi bahasa lisan
yang baik (terpelihara), namun fungsi bahasa lainnya terganggu. Ada pasien yang
mengalami kesulitan dalam memproduksi bahasa, namun komprehensinya
lumayan.
Ada pula pasien yang produksi bahasanya lancar, namun komprehensinya
buruk. Pasien dengan afasia motorik transkortikal mampu mengulang (repetisi),
memahami dan membaca, namun dalam bicara -spontan terbatas, seperti pasien
dengan afasia Broca. Sebaliknya, pasien dengan afasia sensorik transkortikal
dapat mengulang (repetisi) dengan baik, namun tidak memahami apa yang
didengarnya atau yang diulanginya. Bicara spontannya dan menamai lancar, tetapi
parafasik seperti afasia jenis Wernicke. Sesekali ada pasien yang menderita
kombinasi dari afasia transkortikal motorik dan sensorik. Pasien ini mampu
mengulangi kalimat yang panjang, juga dalam bahasa asing, dengan tepat. Mudah
mencetuskan repetisi pada pasien ini, dan mereka cenderung menjadi ekholalia
(mengulang apa yang didengarnya).
Gambaran klinik afasia sensorik transkortikal:

Keluaran (output) lancar (fluent)

Pemahaman buruk

Repetisi baik

Ekholalia

Komprehensi auditif dan membaca terganggu

Defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai

Didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan.

34

Gambaran klinik afasia motorik transkortikal:

Keluaran tidak lancar (non fluent)

Pemahaman (komprehensi) baik

Repetisi baik

Inisiasi ot/fpunerlambat

Ungkapan-ungkapan singkat

Parafasia semantik

Ekholalia

Gambaran klinik afasia transkortikal campuran:

Tidak lancar (nonfluent)

Komprehensi buruk

Repetisi baik

Ekholalia mencolok
Afasia transkortikal disebabkan oleh lesi yang luas, berupa infark

berbentuk bulan sabit, di dalam zona perbatasan antara pembuluh darah serebral
mayor (misalnya di lobus frontal antara daerah arteri serebri anterior dan media).
Afasia transkortikal motorik terlihat pada lesi di perbatasan anterior yang
menyerupai huruf C terbalik (gambar 9-1). Lesi ini tidak mengenai atau tidak
melibatkan korteks temporal superior dan frontal inferior (area 22 dan 44 dan
lingkungan sekitar) dan korteks peri sylvian parietal. Korteks peri sylvian yang
utuh ini dibutuhkan untuk kemampuan mengulang yang baik.
Penyebab yang paling sering dari afasia transkortikal ialah:

Anoksia sekunder terhadap sirkulasi darah yang menurun, seperti yang


dijumpai pada henti-jantung (cardiac arrest).

Oklusi atau stenosis berat arteri karotis.

Anoksia oleh keracunan karbon monoksida.

Demensia.
Afasia anomik. Ada pasien afasia yang defek berbahasanya berupa

kesulitan dalam menemukan kata dan tidak mampu menamai benda yang
dihadapkan kepadanya. Keadaan ini disebut sebagai afasia anomik, nominal atau

35

amnestik. Berbicara spontan biasanya lancar dan kaya dengan gramatika, namun
sering tertegun mencari kata dan terdapat parafasia mengenai nama objek.
Gambaran klinik afasia anomik:

Keluaran lancar

Komprehensi baik

Repetisi baik

Gangguan (defisit) dalam menemukan kata.


Banyak tempat lesi di hemisfer dominan yang dapat menyebabkan afasia

anomik, dengan demikian nilai lokalisasi jenis afasia ini terbatas. Anomia dapat
demikian ringannya sehingga hampir tidak terdeteksi pada percakapan biasa atau
dapat pula demikian beratnya sehingga keluaran spontan tidak lancar dan isinya
kosong. Prognosis untuk penyembuhan bergantung kepada beratnya defek inisial.
Karena output bahasa relatif terpelihara dan komprehensi lumayan utuh, pasien
demikian dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik daripada jenis afasia lain
yang lebih berat.
Afasia dapat juga terjadi oleh lesi subkortikal, bukan oleh lesi kortikal
saja. Lesi di talamus, putamen-kaudatus, atau di kapsula interna, misalnya oleh
perdarahan atau infark, dapat menyebabkan afasia anomik. Mekanisme terjadinya
afasia dalam hal ini belum jelas, mungkin antara lain oleh berubahnya input ke
serta fungsi korteks di sekitarnya.
Beberapa bentuk afasia mayor
Bentuk
Afasia
Ekspresi
(Broca)
Reseptif

Ekspresi

Komprehensi

Tak lancar

verbal
Relatif

Lancar

terpelihara
Terganggu

Komprehensi

Repetisi

Menamai

Terganggu

Terganggu

membaca
Bervariasi

Terganggu

Terganggu

Terganggu

Menulis

Lesi

Terganggu

Frontal

Terganggu

posterior
Temporal

(Wermicke)
Global
Konduksi

Superior Posterior
Tak lancar
Lancar

Terganggu
Relatif

Terganggu
Terganggu

Terganggu
Terganggu

Terganggu
Bervariasi

Terganggu
Terganggu

terpelihara
Nominal

Lancar

Relatif

Tak lancar

Relatif

(Area Wernicke)
Fronto temporal
Fasikulus
arkualtus,

Terpelihara

Terganggu

Bervariasi

Bervariasi

terpelihara
Transkortikal

Inferior

girus

supramarginal
Girus
angular,
temporal superior

Terpelihara

Terganggu

Bervariasi

Terganggu

posterior
Peri
sylvian

36

motor
Transkortikal

Lancar

terpelihara
Terganggu

Terpelihara

Terganggu

Terganggu

Terganggu

sensorik

anterior
PerisylvianPosteri
or

Penatalaksanaan Medis
DASAR-DASAR REHABIL1TASI
Bina wicara (speech therapy) pada afasia didasarkan pada :
1. Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum pasien
sudah memungkinkan pada fase akut penyakitnya.
2. Dikatakan

bahwa

bina

wicara

yang

diberikan

pada

bulan

pertama sejak mula sakit mempunyai hasil yang paling baik.


3. Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti isyarat).
4. Program terapi yang dibuat oieh terapis sangat individual dan tergantung
dari latar belakang pendidikan, status sosial dan kebiasaan pasien.
5. Program terapi berlandaskan pada penurnbuhan motivasi pasien untuk
mau belajar (re-learning) bahasanya yang hilang. Memberikan stimulasi
supaya pasien metnberikan tanggapan verbal. Stimuli dapat berupa verbal,
tulisan atau pun taktil. Materi yang teiah dikuasai pasien perlu diulangulang(repetisi).
6. Terapi dapat diberikan secara pribadi dan diseling dengan terapi kelompok
dengan pasien afasi yang lain.
7. Penyertaan keluarga dalam terapi sangat mutlak.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara , lancar
bila bicara spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari Kata yang
diinginkan. Kelancaran berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi
menemukan kata. Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus ilnpat dideteksi
masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang ringan iiImii pada demensia
dini. Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes knlnncaran, menemukan kata
yaitu jumlah kata tertentu yang dapat dlproduksi selama jangka waktu yang
terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama

37

jangka waktu satu menit, ulnu menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf
tertentu, misalnya huruf S atau huruf B dalam satu menit.
Menyebutkan nama hewan : Pasien disuruh menyebutkan sebanyak
mungkin nama hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan
yang ada, misalnya parafasia. Skor : Orang normal umumnya mampu
menyebutkan 18 - 20 nama hewan selama 60 detik, dengan variasi I

5 - 7.

Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam tugas


ini. Orang normal yang berusia di bawah 69 tahun akan mampu menyebutkan 20
nama hewan dengan simpang baku 4,5.
Kemampuan ini menurun menjadi 17 (+ 2,8) pada usia 70-an, dan menjadi
15,5 ( 4,8) pada usia 80-an. Bila skor kurang dari 13 pada orang normal di
bawah usia 70 tahun, perlu dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran berbicara
verbal. Skor yang dibawah 10 pada usia dibawah 80 tahun, sugestif bagi masalah
penemuan kata. Pada usia 85 tahun skor 10 mungkin merupakan batas normal
bawah.
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: Kepada pasien dapat
juga diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu,
misalnya huruf S, A atau P. Tidak termasuk nama orang atau nama kota. Skor:
Orang normal umumnya dapat menyebutkan sebanyak 36 - 60 kata, tergantung
pada usia, inteligensi dan tingkat pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12
kata atau kurang untuk tiap huruf di atas merupakan petunjuk adanya penurunan
kelancaran berbicara verbal. Namun kita harus hati-hati monginterpretasi tes ini
pada

pasien dengan

tingkat

pendidikan

tidak melebihi tingkat Sekolah

Menengah Pertama.
Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan
Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit dlnllal
Pemeriksaan klinis disisi-ranjang dan tes yang baku cenderung kurang cukup dan
dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah terakhir dapat digunakan
untuk mengevaluasi pemahaman (komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara
konversasi, suruhan, pilihan (ya atau tidak), dan menunjuk.

38

Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai


kemampuannya memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh
pemeriksa.
Suruhan. Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (Satu
langkah) sampai pada yang sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk menilai
kemampuan pasien memahami. Mula-mula suruh pasien bertepuk tangan,
kemudian tingkatkan kesulitannya, misalnya: mengambil pinsil, letakkan di kotak
dan taruh kotak di atas kursi (suruhan ini dapat gagal pada pasien dengan apraksia
dan gangguan motorik, walaupun pemahamannya baik;

hal

ini

harus

diperhatikan oleh pemeriksa).


Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya kunci, duit,
arloji, vulpen, geretan. Suruh pasien menunjukkan salah sntu benda tersebut,
misalnya arloji. Kemudian suruhan dapat dlpermilit, misalnya: tunjukkan jendela,
setelah itu arloji, kemudian vulpen. Pasion tanpa afasia dengan tingkat inteligensi
yang rata-rata mampu menunjukkan 4 atau lebih objek pada suruhan yang
beruntun. Pasien dengan Afasia mungkin hanya mampu menunjuk sampai 1 atau 2
objek saja. Jadi, pada pemeriksaan ini pemeriksa (dokter) menambah jumlah
objek yang hams ditunjuk, sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.
Ya atau tidak. Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk
pertanyaan yang dijawab dengan "ya" atau "tidak". Mengingat kemungkinan salah
ialah

50%,

jumlah

pertanyaan

harus

banyak,

paling

sedikit 6

pertanyaan, misalnya :
"Andakah yang bernama Santoso?"
"Apakah AC dalam ruangan ini mati ?"
"Apakah ruangan ini kamar di hotel ?"
"Apakah diluar sedang hujan?"
"Apakah saat ini malam hari?"
Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah difahami dan
kemudian meningkat pada yang lebih sulit. Misalnya: "tunjukkan lampu",
kemudian "tunjukkan gelas yang ada disamping televisi".
Pemeriksaan sederhana ini, yang dapat dilakukan di sisi-ranjang, kurang
mampu menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali, namun dapat

39

memberikan gambaran kasar mengenai gangguan serta beratnya. Korelasi


anatomis dengan komprehensi adalah kompleks.
Pemeriksaan repetisi (mengulang)
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang,
mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian ditingkatkan menjadi
banyak (satu kalimat). Jadi, kita ucapkan kata atau angka, dan kemudian pasien
disuruh mengulanginya.
Cara pemeriksaan
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Mula-mula
sederhana kemudian lebih sulit. Contoh:

Map

Bola

Kereta

Rumah Sakit

Sungai Barito

Lapangan Latihan

Kereta api malam

Besok aku pergi dinas

Rumah ini selalu rapi

Sukur anak itu naik kelas

Seandainya si Amat tidak kena influensa


Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan

parafasia, salah tatabahasa, kelupaan dan penambahan.Orang normal umumnya


mampu mengulang kalimat yang mengandung 19 suku-kata.
Banyak pasien afasia yang mengalami kesulitan dalam mengulang
(repetisi), namun ada juga yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam hal
mengulang, dan sering lebih baik daripada berbicara spontan.
Umumnya dapat dikatakan bahwa pasien afasia dengan gangguan
kemampuan mengulang mempunyai kelainan patologis yang

melibatkan

daerah peri-sylvian. Bila kemampuan mengulang terpelihara, maka daerah


-sylvian bebas dari kelainan patologis.

40

Umumnya daerah ekstra-sylvian yang terlibat dalam kasus afasia


tanpa defek repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler (area water-shed).
Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi herbahasa.
Hal ini sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian,
semua tes yang digunakan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap
kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan
menyebut nama (menamai) dan hal ini disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek,
bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol
matematik atau nama suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan aitem yang
sering digunakan (misalnya sisir, arloji) dan yang jarang ditemui atau digunakan
(misalnya pedang). Banyak penderita afasia yang masih mampu menamai objek
yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan
tertegun, dengan sirkumlokusi (misalnya, melukiskan kegunaannya) atau parafasia
pada objek yang jarang dijumpainya.
Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, ia dapat dibantu dengan
memberikan

suku

kata

pemula

atau

dengan

menggunakan

kalimat

penuntun. Misalnya: pisau. Kita dapat membantu dengan suku kata pi


Atau dengan kalimat: "kita memotong daging dengan

". Yang penting kita

nilai ialah sampainya pasien pada kata yang dibutuhkan, kemampuannya


(memberi nama objek). Ada pula pasien yang mengenal objek dan mampu
melukiskan kegunaannya (sirkumlokusi) namun tidak dapat menamainya.
Misalnya bila ditunjukkan kunci ia mengatakan : "Anu ... itu...untuk masuk
rumah...kita putar".
Cara pemeriksaan. Terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh
menyebutkan nama beberapa objek juga warna dan

bagian dari

objek

tersebut. Kita dapat menilai dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca
mata, kemudian bagian dari arloji (jarum menit, detik), lensa kaca mata.
Objek atau gambar objek berikut dapat digunakan: Objek yang ada di ruangan:
meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian dari tubuh: mata, hidung, gigi, ibu jari,

41

lutut. Warna: merah, biru, hijau, kuning, kelabu.Bagian dari objek:

jarum jam,

lensa kaca mata, sol sepatu, kepala ikat pinggang, bingkai kaca mata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat
atau lamban atau tertegun atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme
dan apakah ada perseverasi. Disamping menggunakan objek, dapat pula
digunakan gambar objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia memilih nama
objek tersebut dari antara beberapa nama objek.
Gunakanlah sekitar 20 objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan
gangguan.
Area bahasa di posterior ialah area kortikal yang terutama bertugas memahami
bahasa lisan. Area ini biasa disebut area Wernicke; mengenai batasnya belum ada
kesepakatan. Area bahasa bagian frontal berfungsi untuk produksi bahasa. Area
Brodmann 44 merupakan area Broca.
Penelitian dengan PET (positron emission tomography) tentang meta-bolisme
glukosa pada penderita afasia, menyokong spesialisasi regional tugas ini. Namun
demikian, pada hampir semua bentuk afasia, tidak tergantung pada jenisnya,
didapat pula bukti adanya hipometabolisme di daerah temporal kiri. Penelitian ini
memberi kesan bahwa sistem bahasa sangat kompleks secara anatomi-fisiologi,
dan bukan merupakan kumpulan dari pusat-pusat kortikal dengan tugas-tugas
terbatas atau terpisah-pisah atau sendiri-sendiri.
Pemeriksaan sistem bahasa
Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu
diperhatikan bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi (pemahaman),
repetisi (mengulang) dan menamai (naming).
Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa lisan.
Selain itu, perlu pula diperiksa sisi otak mana yang dominan, dengan melihat
penggunaan tangan (kidal atau kandal).
Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang
singkat dapat diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu
agrafia dan sering aleksia, dengan demikian pengetesan membaca dan menulis
dapat dipersingkat. Namun demikian, pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan

42

membaca dan menulis harus dilakukan sepenuhnya, karena aleksa atau agrafia
atau keduanya dapat terjadi terpisah (tanpa afasia).
Pemeriksaan penggunaan tangan (kidal atau kandal)
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang
erat Sebelum menilai bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang dominan,
dengan melihat penggunaan tangan. Mula-mula tanyakan kepadn p irsion apakah
ia kandal (right handed) atau kidal. Banyak orang kidal telah illnjarkan sejak kecil
untuk menulis dengan tangan kanan. Dengan ilcmikian, mengobservasi cara
menulis saja tidak cukup untuk menentukan npakah seseorang kandal atau kidal.
Suruh pasien memperagakan tangan mana yang digunakannya untuk memegang
pisau, melempar bola, dsb.
Tanyakan pula apakah ada juga kecenderungannya menggunakan tangan
yang lainnya. Spektrum penggunaan tangan bervariasi dari kandal yang kuat;
kanan sedikit lebih kuat dari kiri; kiri sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal yang
kuat. Ada individu yang kecenderungan kandal dan kidalnya hampir sama (ambidextrous)
Pemeriksaan berbicara - spontan
Langkah pertama dalam menilai berbahasa ialah mendengarkan bagaimana
pasien berbicara spontan atau bercerita. Dengan mendengnrknn pasien berbicara
spontan atau bercerita, kita dapat memperoleh data yang sangat berharga
mengenai kemampuan pasien berbahasa. Cara Ini tidak kalah pentingnya dari testes bahasa yang formal.
Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau berceritera melalui pertanyaan
berikut : Coba ceriterakan kenapa anda sampai dirawat di rumah sakit. Coba
ceritakan mengenai pekerjaan anda serta hobi anda.
Bila mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita, perhatikan:
1. Apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun-tegun, disprosodik (irama, ritme,
intonasi bicara terganggu).

Pada afasia sering ada gangguan ritme dan

irama (disprosodi).
2. Apakah ada afasia,

kesalahan sintaks, salah

menggunakan kata

(parafasia, neologisme), dan perseverasi. Perseverasi sering dijumpai


pada afasia.

43

Parafasia. Parafasia ialah men-substitusi kata. Kita mengenai 2 jenis


parafasia, yaitu parafasia semantik (verbal) dan parafasia fonomik (literal).
Parafasia semantik ialah mensubstitusi satu kata dengan kata yang lain misalnya:
"kucing" dengan "anjing".

Parafasia fonemik, ialah mensubstitusi suatu bunyi

dengan bunyi yang lain, misalnya bir dengan kir, balon dengan galon.
Afasia motorik yang berat biasanya mudah dideteksi. Pasien berbicaranya
sangat terbatas atau hampir tidak ada; mungkin ia hanya mengucapkan: "ayaa,
ayaa, aaai, Hi". Sesekali ditemukan kasus dimana pasien sangat terbatas
kemampuan bicaranya, namun bila ia marah, beremosi tinggi, keluar ucapan
makian yang cara mengucapkannya cukup baik.
Afasia ialah kesulitan dalam memahami dan/atau memproduksi bahasa
yang disebabkan oleh gangguan (kelainan, penyakit) yang melibatkan hemisfer
otak.
Didapatkan berbagai jenis afasia, masing-masing mempunyai pola abnormalitas
yang dapat dikenali, bila kita berbincang dengan pasien serta melakukan beberapa
tes sederhana.

44

Daftar Pustaka
Antonio R. Damasio, 1992. Review Article Aphasia. The New England Journal
of Medicine.www.nejm.org
Aliah, A., Kuswara, F. F., Limoa, R. A., & Wuysang, G. 2007. Gambaran
Umum Tentang Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO). Dalam
Harsono, Kapita Selekta Neurologi (hal. 81-102). Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Ginsberg, L. 2008. Lecture Notes Neurologi . Jakarta: Penerbit Erlangga
Gupta, A., Singhal,G. 2011. Understanding Aphasia in a Simplified Manner.
Depratment of Medicine, LLRM Medical College, Meurut, Uttar
Pardesh. Journal, Indian Academy of Clinical Medicine Vol 12 No 1.
Harsono. 2008. Buku Ajar Neurologi Klinik Dasar. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Japardi, I. 2002. Patofisiologi Stroke Infark Akibat Tromboemboli. Medan :
Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara, hal 1-9.
Misbach, J, dkk. 2007. Guideline Stroke 2007 (Edisi Revisi). Jakarta : Kelompok
Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
Sarno MT, 1993. Aphasia Rehabilitation : Pysychososial and Ethical
Considerations. Aphasiology-id 61639, Vol 7 Stat Journal Article.
WHO.

2003.

Fakta-fakta

tentang

Penyakit

Jantung

dan

Stroke.

www.yayasanpedulijantungdanstroke..com. Diakses 17 April 2007.

45

Anda mungkin juga menyukai