Anda di halaman 1dari 17

REFERAT BAGIAN/SMF BEDAH ORTHOPAEDI

FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS
MANGKURAT
RUMAH SAKIT ULIN BANJARMASIN
Penulis
Pembimbing

LAMBUNG

: dr. Kiki Budiani


: dr. Husna Sp.OT

CONGENITAL TALIPES EQUINOVARUS (CLUB FOOT)


I.

PENDAHULUAN

Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) yang juga dikenal sebagai clubfoot adalah suatu gangguan perkembangan pada ekstremitas inferior yang sering
ditemui, tetapi masih jarang dipelajari. CTEV dimasukkan dalam terminologi
sindromik bila kasus ini ditemukan bersamaan dengan gambaran klinik lain
sebagai suatu bagian dari sindrom genetik. CTEV dapat timbul sendiri tanpa
didampingi gambaran klinik lain, dan sering disebut sebagai CTEV idiopatik.
CTEV sindromik sering menyertai gangguan neurologis dan neuromuskular,
seperti spina bifida maupun spinal muskular atrofi. Tetapi bentuk yang paling
sering ditemui adalah CTEV idiopatik, dimana pada bentuk yang kedua ini
ekstremitas superior dalam keadaan normal.
Club-foot ditemukan pada hieroglif Mesir dan dijelaskan oleh Hipokrates
pada 400 SM. Hipokrates menyarankan peawatan dengan cara memanipulasi kaki
dengan lembut untuk kemudian dipasang perban. Sampai saat ini, perawatan
modern juga masih mengandalkan manipulasi dan immobilisasi. Manipulasi dan
immobilisasi secara serial yang dilakukan secara hati-hati diikuti pemasangan gips
adalah metode perawatan modern non operatif. Kemungkinan mekanisme
mobilisasi yang saat ini paling efektif adalah metode Ponseti, dimana penggunaan
metode ini dapat mengurangi perlunya dilakukan operasi. Walaupun demikian,
masih banyak kasus yang membutuhkan terapi operatif.

II.

DEFINISI

Congenital Talipes Equino Varus adalah fiksasi dari kaki pada posisi
adduksi, supinasi dan varus. Tulang calcaneus, navicular dan cuboid terrotasi ke
arah medial terhadap talus, dan tertahan dalam posisi adduksi serta inversi oleh
ligamen dan tendon.1 Sebagai tambahan, tulang metatarsal pertama lebih fleksi
terhadap daerah plantar.

III.

INSIDENSI

Angka kejadiannya bervariasi terhadap ras dan jenis kelamin. Pada


Caucasian frekwensinya 1,2/1000 kelahiran, dengan perbandingan laki-laki :
perempuan = 2 : 1.
Stewart, pada tahun 1951, pada penelitiannya mendapatkan insiden pada
Hawaiians 4,9/1000 kelahiran. Tingginya angka pada hawaiians ini didukung
oleh Ching yang melaporkan insidensi CTEV 6,81/1000 kelahiran.
Angka kejadian yang tinggi pada Maori (grup Polynesia) juga dilaporkan
oleh Elliot, Alldred, dan Veale. Beals melaporkan pada Maori frekwensinya 6,5
7 per seribu kelahiran.
Di Cina 0,39/1000, Jepang 0,53/1000, Malaysia 0,68/1000, Filipina
0,76/1000, Caucasians 1,12/1000, Puerto Rican 1,36/1000, Indian 1,51/1000,
Afrika Selatan (hitam) 3,50/1000, dan Pilynesia 6,81/1000 kelahiran.
Kejadian terkena bilateral sekitar 50% dari kasus. Sisi kanan sedikit lebih
banyak dari kiri.3
IV.

FAKTOR GENETIK

Faktor genetik hanya memegang peranan sekitar 10%, sisanya merupakan


kejadian yang pertama kali didalam keluarga.1
Secara umum dapat dikatakan bahwa CTEV terjadi kurang berat pada kasus
yang sporadis bila dibandingkan dengan ada faktor familial, dan makin banyak
kejadian CTEV dalam keluarga makin besar kemungkinannya punya anak dengan
CTEV yang rigid.1
Selain faktor keturunan, faktor lingkungan sangat memegang peranan
penting. Gambaran ini dibuktikan oleh Idelberger, yang membandingkan insidensi
CTEV pada kembar monozygot dan dizygot. Pada monozygote 13 dari 40
(32,5%) kembarannya menderita yang sama, dan pada dizygot hanya 4 dari 134
(2,9%). Dari data ini dapat menyokong adanya kedua faktor pengaruh tersebut.3
Pada kelurga Caucasians dapat dikatakan bila orang tua normal akan
mendapat kemungkinan anak laki-laki dengan CTEV 2%, bila perempuan 5%.
Bila salah satu orang tua terkena dan sudah mempunyai anak yang terkena juga
maka kemungkinan punya anak lagi dengan CTEV 10% - 25%.3
Pada orang Maori, bila orang tua normal akan mempunyai resiko punya
anak dengan CTEV laki-laki atau perempuan sebanyak 9%.3
Bila orang tua terkena maka kemungkinan anaknya akan terkena 30%.3

V.

ETIOLOGI

Teori etiologi CTEV sudah lama dikenal sejak zaman Hippocrates. Menurut
teori ini penyebab CTEV adalah adanya kekuatan mekanik dari luar yang
mengakibatkan terganggunya kecepatan tumbuh tulang, ligamen dan otot. Tapi
teori ini sekarang sudah tidak bisa diterima lagi oleh karena kejadian CTEV tidak
bertambah pada kasus dengan hamil kembar, bayi yang berat, primiparous uterus,
hydramnion dan oligohydramnion.1
Menurut White, 1929, penyebab CTEV adalah kerusakan nervus peroneus
oleh tekanan di dalam uterus. Menurut Midelton, 1934, oleh karena tidak adanya
otot yang seimbang karena dysplasia peroneal dan menurut Bechtol dan
Mossman, 1950, disebabkan oleh pemendekan relatif dari serabut otot yang
mengalami degenerasi di dalam uterus.3
Irani dan Sherman melakukan penelitian, mereka tidak menemukan
kelainan pada otot, saraf, pembuluh darah ataupun insersi tendon.3
Isaccs, 1977, melakukan penelitian dengan mikroskop elektron dan
histokimia, mengatakan bahwa menemukan penyakit neurologis pada kebanyakan
kasus CTEV.3
Ritsila, dalam penelitian menyimpulkan bahwa perubahan jaringan lunak
secara primer merupakan faktor terjadinya CTEV. Drachman dan Coulombre dan
Shoro, melakukan penelitian dengan jalan menyuntikan curare ke dalam embrio
ayam, mendapatkan gambaran CTEV yang seperti manusia. Mereka
menyimpulkan bahwa adanya palisis dan imobilisasi sementara di dalam uterus
merupakan faktor terjadinya CTEV.3
Arrest of Fetal Development
Lebih dari 100 tahun yang lalu sudah dikatakan bahwa CTEV disebabkan
oleh terhentinya perkembangan pada embrio. Henke dan Reyher, Scomburg,
Bardeen dan Lewis dan Bohm, mereka menunjukan adanya posisi fisiologis di
dalam uterus yang menyerupai clubfoot. Tapi Bohm kesulitan menerangkan
teorinya sebab pada embrio tidak ditemukan adanya dislokasi ke medial dan
plantar dari sendi talicalcaneonaviculare seperti pada clubfoot. Mau dan Carroll
menolak teori tersebut di atas.
Kaplan dalam studi anatomi komparatif, tidak menemukan adanya spesies
lain yang mempunyai clubfoot yang sama dengan manusia maka olehnya
disimpulkan clubfoot bukan merupakan suatu hasil evolusi.5
Primary Germ Plasma Defect
Kelainan yang menetap pada CTEV adalah adanya deviasi ke medial dan
plantar dari caput dan colum talus. Cartilaginous anlage dari tulang tarsalia
terbentuk pada minggu ke-6 dan persendian tarsalia pada minggu ke 7.

Irani dan Sherman menganggap bahwa CTEV terjadi karena kelainan dari
Cartilaginous anlage oleh karena kelainan secara primer dari germ plasma pada
kehamilan trimester pertama.5

VI.

PATOLOGI

Secara inspeksi, perubahan patologi yang dapat ditemukan adalah kaki


plantar fleksi pada sendi ankle dan sendi sublatar, kaki bagian belakang inversi,
dan kaki bagian tengah dan depan inversi, aduksi, dan equinus. Kelainan ini
disebabkan oleh dislokasi/subluksasi sendi talocalcaneonaviculare ke arah plantar
dan medial.1
Naviculare dan calcaneus bergeser ke medial dan plantar talus, kuboid
bergeser ke medial dari calcaneus dan sendi ankle dalam posisi equinus.5
Adanya kontraktur dari ligamen, kapsul, otot dan tendon akan menjaga
keadaan articular malaligement.5

Dikutip dari : Tachdjian, M.O., Pediatric Orthopaedic

Kelainan Tulang
Os Talus
Kelainan dasar primer dari clubfoot adalah deviasi ke medial dan plantar
dari ujung anterior talus. Sudut deklinasi pada orang dewasa normal 150-160
derajat, pada clubfoot 115-135 derajat, pada embrio 16 minggu juga ditemukan
adanya deviasi ujung anterior ke medial.5

Sudut kemiringan pada orang dewasa normal 12-42 derajat, pada clubfoot
50-65 derajat dan pada fetus 35-75 derajat.
Ditemukan juga adanya colum talus yang pendek, kadang-kadang leher
talus tidak bisa diidentifikasi, sehingga caput seolah-olah bersatu dengan corpus.
Permukaan artikulasi anterior pada clubfoot bergeser ke dalam dan medial.5

Dikutip dari : Tachdjian, M.O., Pediatric Orthopaedic

Os Calcaneus (os calcis)


Perubahan tidak sehebat pada talus tapi relatif cukup normal. Pada
clubfoot posisi varus calcaneus akan hilang bila semua ligamen dan kapsul
dipotong, hal ini menunjukkan bahwa posisi tersebut merupakan akibat tarikan
dari ligamen dan tendon.
Ditemukan adanya bentukan seperti busur atau cekung pada sisi medial
dan sisi lateral berbentuk cembung.
Sustentaculum tadi biasanya kurang berkembang dan berdekatan dengan
malleolus medialis.5
Forefoot dan Os Tibia
Forefoot lebih kecil dari normal, naviculare bentuk normal, tuberositas
medial hipertropi, kuboid, metatarsal dan phalang semua normal. Menurut Kite,
pada clubfoot sering ditemukan torsi tibia ke medial, tapi keadaan itu sekarang
dianggap suatu kejadian yang normal.5

Articular Malalignment
Hubungan antara Talus dengan Tibia Fibula Distal
Talus tidak mempunyai sambungan dengan otot, talus distabilisasi hanya
dengan ankle mortise.

Posisi equinovarus dari calcaneus dan deviasi medial dan plantar dari
naviculare akan menyebabkan terdorongnya talus ke luar dari ankle mortise,
sehingga -1/3 trochlear keluar dari ankle mortise.
Menurut Hersenberg, pada clubfoot tidak ditemukan putaran ke medial
dari corpus talus, tapi berputar ke lateral, maka dari itu Carroll dalam terapi
bedahnya mereposisi talus ke medial sambil mereposisi calcaneus ke arah
berlawanan ( ke lateral)5
Hubungan antara Naviculare dengan Talus
Navikulare bergeser ke medial dan plantar, meninggalkan bagian lateral
dari ujung anterior talus. Keadaan tersebut masih diragukan apakah suatu
dislokasi atau sublokasi, tapi yang penting dalam terapi adalah mengembalikan
keadaan tersebut ke arah alignment dari persendian talonaviculare yang benar.5
Hubungan antara Talus dengan Calcaneus
Calcaneus dibawah talus berputar ke medial dan bengkok ke equinus. Pada
calcaneus terjadi putaran yang besar pada sumbu vertikal, setelah anterior berputar
ke medial dan bawah dan setengah posterior berputar ke lateral dan atas.5

Dikutip

dari :
Tachdjian, M.O., Pediatric Orthopaedic

Hubungan antara Calcaneus dengan Cuboid


Kuboid bergeser ke medial terhadap ujung anterior dari calcaneus. Oleh
karena aduksi dari Calcis, beberapa ligamen akan menjadi kontraktur dan akan
menyebabkan kaki bagian depan dan kaki bagian belakang tengah aduksi dan
supinasi, ligamen tersebut adalah : bifurcatio (ligamen calcaneocuboid dan
calcaneonaviculare), ligamen plantaris longus, lig plantar calcaneocuboid,
ligamen navicularecuboid dorsalis dan ligamen cubonavicular oblique.5
Perubahan Jaringan Lunak

Jaringan lunak pada sisi medial dari kaki dan posterior dari sendi ankle
mengalami pemendekan. Jaringan lunak tersebut berupa ligamentum, kapsul, otot,
tendon, pembuluh darah, nervus dan kulit.
Menurut Isaacs dkk, pada kebanyakan clubfoot ditemukan adanya
penyakit neurogenik pada otot. Kelainan ini ditemukan baik pada otot
posteroanterior yang pendek atau otot peroneal yang panjang.
Pada bayi aterm, lingkaran tungkai bawah lebih kecil dibanding sisi
normal, tapi pada fetus hal ini tidak ditemukan. Perubahan atrofi ini mengenai
pada seluruh otot tungkai bawah, tidak hanya pada salah satu kelompok otot.
Tendon Achilles insersinya lebih ke medial dan anterior, sehingga
menyebabkan perputaran calcaneus ke medial.
Tendon tibialis posterior bergerak ke medial. Tendon tibialis anterior
bergeser ke medial.
Pada daerah plantaris oleh karena posisi equinus dari kaki bagian depan,
akan terjadi perubahan dari fascia plantaris, abduktor hallucis, short toe flexor dan
abduktor digiti minimi.4
Jaringan lunak yang mengalami kontraktur yang penting sebagai
penghalang keberhasilan reduksi sendi talocalcaneonaviculare adalah4:
1. Lig. calcaneonaviculare plantaris
2. Lig. tibionaviculare
3. Kapsul talonaviculare sisi plantaris, medial dan superior
4. Tendon tibialis posterior
5. Lig. Calcaneofibularis
6. The master knot of Henry
7. Calcaneofibular retinaculum
8. Lig. posterior talocalcaneal
9. Kapsul posterior dari sendi tibiotalar
10. Tendo achilles
11. Lig. interosseus
12. Long toe flexor
Pada talipes equinovarus yang benar (deformed tali = sudut deklinasi
kecil), kaki tidak akan dapat dimanipulasi ke dalam posisi normal walaupun
dengan tenaga yang cukup. Pada tali kecil (postural club foot), kaki dapat
dimanipulasi ke posisi normal tanpa kesulitan4.
Irani dan Sherman mengatakan, walaupun seluruh otot dan tendon
dipotong tidak akan dapat menyebabkan clubfoot bisa dikoreksi keposisi normal.
VII.

DIAGNOSA DAN DIAGNOSA BANDING

Gambaran klinik clubfoot sangat karakteristik, kaki dan tungkai bawah


seperti tongkat (clublike). Terdapat lekukan yang dalam pada bagian posterior
sendi ankle, kaki bagian tengah dan kaki bagian depan terjadi aduksi, inversi dan
aquinus. Dengan adanya inversi dan aduksi dari kaki bagian depan akan
menyebabkan terabanya benjolan tulang pada subkutis dorsum pedis sisi lateral.1
Kulit pada sisi cembung (dorsum pedis), tipis, teregang, dan tidak ada
lekukan kulit, malleolus lateralis lebih menonjol dibanding yang medial. Kulit sisi
cekung (daerah medial dan plantar) terdapat cekungan yang dalam.

Tulang naviculare berdekatan langsung dengan malleolus medialis,


sehingga pada palpalsi jarak antara kedua tulang tersebut tidak terdapat sela. Kaki
bagian depan dalam posisi equinus dan jaringan lunak sisi plantar kaki sangat
kontraktur. Dapat diraba ligamentum dan kapsul sendi sisi medial kaki dan sisi
posterior sendi ankle memendek dan menebal. Terdapat juga atrofi dari otot betis
dan pemendekan dari kaki. Keadaan equinus ini kaku dan bila dilakukan
manipulasi pasif hanya terkoreksi sedikit4.
Bila keadaan ini datang terlambat untuk dikoreksi, maka keadaan
kontraktur akan lebih parah dan akan lebih kaku, anak akan berjalan pada sisi kaki
lateral dan pada malleolus lateralis. Anak tersebut bila berjalan akan terasa sakit
dan terbentuk bursa dengan cepat4.
CTEV harus dibedakan dengan postural clubfoot. Pada postural clubfoot
kelainannya minimal dan dapat direposisi ke posisi normal dengan mudah oleh
manipulasi pasif. Postural clubfoot ini mungkin disebabkan oleh mal posisi intra
uterin. Secara anatomi tidak ditemukan kelainan dari talus ataupun subluksasi atau
dislokasi dari sendi talocalcaneonaviculare. Secara klinis tidak ditemukan
kelainan lekukan kulit pada dorsolateral sendi ankle ataupun kaki. Tumit ukuran
normal dan juga tungkai bawah. Pada palpasi terdapat jarak antara os naviculare
dengan malleolus medialis. Pada manipulasi pasif kelainan ini cukup fleksibel,
sehingga dapat dikoreksi ke posisi normal5.
Pada agenesis atau hipoplasia tibia dan dislokasi sendi ankle bawaan,
ditemukan juga gambaran clubfoot dengan melihat hubungan anatomi secara
palpasi antara malleolus medialis dengan kaki bagian belakang, serta dengan foto
rontgen akan dapat ditemukan diagnosanya5.
CTEV harus dibedakan juga dengan clubfoot yang didapat, bila masih bayi
mudah didiagnosa tapi bila sudah tua akan sulit. Tulang belakang dan otot perlu
diperiksa dengan teliti. Sistem neuromuskular perlu diperiksa untuk
menyingkirkan adanya paralytic disease. Paralytic clubfoot tampak pada
myelomeningocele, tumor intraspinal, diastematomyelia, poliomyelitis,
progressive musculorum atrophy tipe distal, dan Guillain-Bare disease.
Pada clubfoot harus dicari kelainan kongenital yang lain, di Sherins
Hospital for Crippled Children di Mexico ditemukan 14,15% dari 300 penderita
CTEV disertai kelainan kongenital yang lain3.
Pada arthrogryposis multiplex kongenital sering ditemukan clubfoot. Hip,
siku, dan sendi bahu harus diperiksa teliti akan kemungkinan dislokasi atau
subluksasi.
Clubfoot sering juga disertai dengan anular constriction band, Cowell dan
Hensinger menemukan 56% keadaan ini disertai clubfoot. Kelainan bersama ini
mungkin disebabkan oleh pecahnya amnion secara dini dengan terbentuknya
amnion band dan oligo hyroamnion.
Pada diastrophic dwarfism sering ditemukan clubfoot, keadaan ini tampak
pada bayi baru lahir, mempunyai gambaran yang khas : bentuk pendek, terdapat
massa kiste lunak pada daun telinga yang nantinya menjadi tulang rawan yang
hipertrofi dan membentuk gambaran bunga kol, cleft palate, matacarpal 1 pendek
dengan hipermobile ibu jari, flexion kontraktur pada sendi lutut, panggul, siku,
bahu, dan interphalang, dan progressive kyposcoliosis, kelainan equinovarusnya
bilateral dan berat, dan jarak antara ibu jari dengan jari kedua lebar.

Freeman Sheldon Syndrome (Craniocarpotarsal Dysplasia), tampak


wajah yang karakteristik, dahi penuh, mata cekung, midface yang tipis, dan mulut
kecil dengan bibir yang menonjol seperti orang meniup seruling. Bisa juga
ditemukan cekungan pada dagu berbentuk huruf H, palatum umumnya tinggi
dan bicaranya seperti keluar dari hidung. Jarinya berdeviasi ke ulna, flexion
kontraktur ibu jari, scoliosis dan equinovarus5.
Larsen Sydrome : khas ditemukan dengan dislokasi sendi multipel
(terutama pada sendi panggul, lutut dan siku), wajahnya pipih, tulang hidung
tertekan, dahi menonjol, jarak kedua mata lebar, dan metacarpal pendek.
Mobius Syndrome : lebih kurang sepertiganya disertai clubfoot. Tanda
khasnya berupa : wajah seperti topeng dengan tidak bisa aduksi bola mata, dan
paralisis n. facialis partial atau komplit.
VIII. PENILAIAN RADIOLOGIS
Kegunaan radiologis adalah untuk mengetahui secara teliti hubungan
anatomi dari talonaviculare, tibiotalar, midtarsal, dan tarsometatarsal.
Pemeriksaan radiologis ini penting pada talipes equinovarus untuk
mengetahui derajat subluksasi dari sendi talocalcaneonaviculare dan berat
ringannya kelainan sebelum melakukan terapi, untuk pegangan melakukan terapi
non operatif, untuk menentukan apakah reduksi dari dislokasi sendi
talocalcaneonaviculare dan normal aligment sudah didapat, untuk menganalisa
kelainan campuran sebelum operasi, untuk menentukan pada intra operatif apakah
consentric dari sendi talocalcaneonaviculare sudah didapat, dan untuk menilai
post operatif apakah articular aligment yang normal sudah bisa dipertahankan5.
Teknik Radiografi
Bayi dalam posisi didudukkan, sendi panggul dan lutut fleksi, telapak kaki
diletakkan pada cassette dengan sisi medial paralel dan bersentuhan. Kaki bagian
depan diabduksi maksimal, dan ankle dorsofleksi maksimal. Kalau anak tidak
kooperatif foto dilakukan dengan splinting lebih dahulu.
Pengambilan gambar sisi anteroposterior (AP), tabung sinar diletakkan
cranial dengan sudut 30% dari garis tegak lurus dome talus, sinar disentrasikan ke
kaki bagian belakang.
Pengambilan gambar sisi lateral, film diletakkan pada sisi medial dan
paralel dengan cassette. Tabung sinar disentrasikan ke kaki bagian belakang tegak
lurus dengan cassette, dan diambil pada posisi dorsifleksi dan plantarfleksi5.
Pengukuran Sudut
Gambaran Antero-Posterior :
.
Tulang talus dibuat sumbu longitudinal dengan cara menarik garis di
tengah-tengah medial dan lateral.

Sumbu longitudinal dari calcaneus dibuat dengan cara menarik garis


sejajar dengan sisi lateral tulang tersebut. (sebab sisi medial tidak jelas dan tidak
rata).
Pada kaki normal, sumbu longitudinal talus berada pada sisi medial
metatarsal I dan sumbu longitudinal calcaneus pada sisi lateral metatarsal V.
Sudul talocalcaneal ini besarnya antara 20-40 derajat. Pada talipes
equinovarus sudut ini mengecil dan mungkin sampai 0 derajat. Pada kasus yang
berat kedua sisi ini saling bersinggungan dan berada pada sisi lateral metatarsal
IV-V.
Sudut talo-first metatarsal (T-MTI), yaitu antara sumbu panjang metatarsal
I memotong sumbu panjang talus, besarnya antara 0-15 derajat. Bila lebih dari 15
derajat menunjukan adanya kelainan varus dari kaki kaki bagian tengah dan
depan.
Perlu juga diukur sudut antara axis calcaneal dengan metatarsal V,
besarnya 0 derajat (C- MT5). Pada talipes equinovarus bersudut lebar5.

Dikutip dari : Tachdjian, M.O., Pediatric Orthopaedic

Gambaran Lateral :
Diukur sudut talocalcaneal, garis talus dibuat sama seperti gambaran AP,
dan garis calcaneus dibuat dengan menarik garis pada daerah plantaris.
Pada yang normal sudutnya 35-40 derajat, pada talipes equinovarus kurang
dari 25 derajat.
Pada posisi dorsofleksi sudut ini akan melebar pada orang normal, tapi
pada talipes equinovarus sudutnya akan mengecil5.

10

Dikutip dari : Tachdjian, M.O., Pediatric Orthopaedic

IX.

TERAPI

Tujuan terapi talipes equinovarus adalah :


Mereduksi dislokasi atau sublokasi sendi talocalcaneonaviculare
Mempertahankan reduksi
Memperbaiki normal articular alignment
Membuat keseimbangan otot antara evorter dan invertor, dan dorsi flexor dan
plantar flexor
Membuat kaki mobile dengan fungsi normal dan weight bearing
Terapi harus sudah dimulai pada hari-hari pertama kelahiran, 3 minggu
pertama merupakan golden period, sebab jaringan lunak pada usia ini masih
lentur1.
Terapi Non Operative/Konsevatif
Dengan penatalaksanaan tradisional non operatif, maka pemasangan splint
dimulai pada bayi berusia 2-3 hari. Urutan dari koreksi yang akan dilakukan
adalah sebagai berikut :
1. Adduksi dari forefoot
2. Supinasi forefoot
3. Equinus
Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi equinus di awal masa koreksi dapat
mematahkan kaki pasien, dan mengakibatkan terjadinya rockerbottom foot. Tidak
boleh dilakukan pemaksaan saat melakukan koreksi. Tempatkan kaki pada posisi
terbaik yang bisa didapatkan, kemudian pertahankan posisi ini dengan cara
menggunakan strapping yang diganti tiap beberapa hari sekali, atau
dipertahankan menggunakan gips yang diganti beberapa minggu sekali. Hal ini
dilanjutkan hingga dapat diperoleh koreksi penuh atau sampai tidak dapat lagi
dilakukan koreksi selanjutnya5.

11

Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan selama beberapa
bulan. Tindakan operatif harus dilakukan sesegera mungkin saat nampak adanya
kegagalan terapi konservatif, yang antara lain ditandai dengan deformitas yang
menetap, deformitas berupa rockerbottom foot atau kembalinya deformitas segera
setelah koreksi dihentikan5.
Setelah pengawasan selama 6 minggu biasanya dapat diketahui jenis deformitas
CTEV, apakah termasuk yang mudah dikoreksi atau tipe yang resisten. Hal ini
dikonfirmasi dengan menggunakan X-ray dan dilakukan perbandingan
penghitungan orientasi tulang. Dari laporan didapatkan bahwa tingkat kesuksesan
dengan menggunakan metode ini adalah sebesar 11-58%5.

Metode Ponseti
Metode ini dikembangkan oleh dr. Ignacio Ponseti dari Universitas Iowa. Metode
ini dikembangkan dari penelitian kadaver dan observasi klinik yang dilakukan
oleh dr. Ponseti. langkah-langkah yang harus diambil adalah sebagai berikut :
1. Deformitas utama yang terjadi pada kasus CTEV adalah adanya rotasi
tulang kalkaneus ke arah intenal (adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki
berada dalam posisi adduksi dan plantar pedis mengalami fleksi pada sendi
subtalar. Tujuan pertama adalah membuat kaki dalam posisi abduksi dan
dorsofleksi. Untuk mendapatkan koreksi kaki yang optimal pada kasus
CTEV, maka tulang kalkaneus harus bisa dengan bebas dirotasikan
kebawah talus. Koreksi dilakukan melalui lengkung normal dari
persendian subtalus. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meletakkan jari
telunjuk operator di maleolus medialis untuk menstabilkan kaki dan
kemudian mengangkat ibu jari dan diletakkan di bagian lateral dari kepala
talus, sementara kita melakukan gerakan abduksi pada forefoot dengan
arah supinasi.
2. Cavus kaki akan meningkat bila forefoot berada dalam posisi pronasi.
Apabila ditemukan adany cavus, maka langkah pertama dalam koreksi
kaki adalah dengan cara mengangkat metatarsal pertama dengan lembut,
untuk mengoreksi cavusnya. Setelah cavus terkoreksi, maka forefoot dapat
diposisikan abduksi seperti yang tertulis dalam langkah pertama.
3. Saat kaki diletakkan dalam posisi pronasi, hal tersebut dapat menyebabkan
tulang kalkaneus berada di bawah talus. Apabila hal ini terjadi, maka
tulang kalkaneus tidak dapat berotasi dan menetap pada posisi varus.
Seperti tertulis pada langkah kedua, cavus akan meningkat. Hal ini dapat
menyebabkan tejadinya bean-shaped foot. Pada akhir langkah pertama,
maka kaki akan berada pada posisi abduksi maksimal tetapi tidak pernah
pronasi.
4. Manipulasi dikerjakan di ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah kaki
dimanipulasi, maka langkah selanjutnya adalah memasang long leg cast
untuk mempertahankan koreksi yang telah dilakukan. Gips harus dipasang
dengan bantalan seminimal mungkin, tetapi tetap adekuat. Langkah

12

selanjutnya adalah menyemprotkan benzoin tingtur ke kaki untuk


melekatkan kaki dengan bantalan gips. Dr. Ponsetti lebih memilih untuk
memasang bantalan tambahan sepanjang batas medial dan lateral kaki,
agar aman saat melepaskan gips menggunakan gunting gips. Gips yang
dipasang tidak boleh sampai menekan ibu jari kaki atau mengobliterasi
arcus transversalis. Posisi lutut berada pada sudut 90 selama pemasangan
gips panjang. Orang tua bayi dapat merendam gips ini selama 30-45 menit
sebelum dilepas. Dr. Ponsetti memilih melepaskan gips dengan cara
menggunakan gergaji yang berosilasi (berputar). Gips ini dibelah menjadi
dua dan dilepas, kemudian disatukan kembali. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui perkembangan abduksi forefoot, selanjutnya hal ini dapat
digunakan untuk mengetahui dorsofleksi serta megetahui koreksi yang
telah dicapai oleh kaki ekuinus.
5. Adanya usaha untuk mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan tendon
Achilles yang kaku dapat mengakibatkan patahnya midfoot dan berakhir
dengan terbentuknya deformitas berupa rockerbottom foot. Kelengkungan
kaki yang abnormal (cavus) harus diterapi secara terpisah, seperti yang
digambarkan pada langkah kedua, sedangkan posisi ekuinusnya harus
dapat dikoreksi tanpa menyebabkan patahnya midfoot..
Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk mendapatkan
abduksi kaki yang maksimum. Gips tersebut diganti tiap minggu. Koreksi
yang dilakukan (usaha untuk membuat kaki dalam posisi abduksi) dapat
dianggap adekuat bila aksis paha dan kaki sebesar 60
Setelah dapat dicapai abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus
membutukan dilakukannya tenotomi perkutaneus pada tendon Achilles.
Hal ini dilakukan dalam keadaan aspetis. Daerah lokal dianestesi dengan
kombinasi antara lignokain topikal dan infiltrasi lokal minimal
menggunakan lidokain. Tenotomi dilakukan dengan cara membuat irisan
menggunakan pisau Beaver (ujung bulat). Luka post operasi kemudian
ditutup dengan jahitan tunggal menggunakan benang yang dapat
diabsorbsi. Pemasangan gips terakhir dilakukan dengan kaki yang berada
pada posisi dorsofleksi maksimum, kemudian gips dipertahankan hingga
2-3 minggu.
6. Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepatu
yang dipasangkan pada lempengan Dennis Brown. Kaki yang bermasalah
diposisikan abduksi (rotasi ekstrim) hingga 70. with the unaffected foot
set at 45 of abduction. Sepatu ini juga memiliki bantalan di tumit untuk
mencegah kaki terselip dari sepatu. Sepatu ini digunakan 23 jam sehari
selama 3 bulan, kemudian dipakai saat tidur siang dan malam selama 3
tahun.
7. Pada kurang lebih 10-30% kasus, tendon dari titbialis anterior dapat
berpindah ke bagian lateral Kuneiformis saat anak berusia 3 tahun. Hal ini
membuat koreksi kaki dapat bertahan lebih lama, mencegah adduksi
metatarsal dan inversi kaki. Prosedur ini diindikasikan pada anak usia 22.5 tahun, dengan cara supinasi dinamik kaki. Sebelum dilakukan operasi
tersebut, pasangkan long leg cast untuk beberapa minggu5.

13

Perawatan non operatif dimulai sejak penderita lahir, dengan melakukan


elongasi jaringan lunak yang mengalami kontraktur dan kemudian dipertahankan
dengan pemasangan gips secara serial selama 6 minggu dan gips diganti setiap
minggu1.
Dari 6 minggu sampai 12 minggu dipasang splint clubfoot tipe Denis
Brown. Setelah penderita waktunya berjalan setiap malam dipasang splint sepatu
Denis Brown dan siang hari memakai sepatu outflare sampai usia prasekolah.
Dari serial terapi tersebut yang paling penting adalah tahap pertama yaitu
elongasi jaringan lunak yang mengalami kontraktur dengan manipulasi pasif1.
Terapi Operatif
Banyak pendekatan bisa dilakukan untuk bisa mendapatkan terapi operatif di
semua kuadran. Beberapa pilihan yang dapat diambil, antara lain5 :

Plantar : Plantar fascia, abductor hallucis, flexor digitorum brevis, ligamen


plantaris panjang dan pendek
Medial : struktur-struktur medial, selubung
tendon, pelepasan
talonavicular dan subtalar, tibialis posterior, FHL, dan pemanjangan FDL
Posterior : kapsulotomi persendian kaki dan subtalar, terutama pelepasan
ligamen talofibular posterior dan tibiofibular, serta ligamen
kalkaneofibular
Lateral : struktur-struktur lateral, selubung peroneal, pesendian
kalkaneokuboid, serta pelepasan ligamen talonavikular dan subtalar

Pendekatan manapun yang dilakukan harus bisa menghasilkan paparan yang


adekuat. Struktur-struktur yang harus dilepaskan atau diregangkan adalah sebagai
berikut5 :

Tendon Achilles
Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar.
Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid.
Ligamen tibiofibular inferior
Ligamen fibulocalcaneal
Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar.
Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik

Beberapa pilihan untuk insisi, antara lain :

Cincinnati : jenis ini berupa insisi transversal, mulai dari sisi anteromedial
(persendian navikular-kuneiformis) kaki sampai ke sisi anterolateral
(bagian distal dan medial sinus tarsal), dilanjutkan ke bagian belakang
pergelangan kaki setinggi sendi tibiotalus.
Insisi Turco curvilineal medial atau posteromedial : insisi ini dapat
menyebabkan luka terbuka, khususnya pada sudut vertikal dan medial

14

kaki. Untuk menghindari hal ini, beberapa operator memilih beberapa


jalan, antara lain :
o Tiga insisi terpisah - insisi posterior arah vertikal, medial, dan
lateral
o Dua insisi terpisah - Curvilinear medial dan posterolateral
Aksis longitudinal dari talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20 dari
proyeksi lateral. Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan
pemasangan kawat di persendian talokalkaneus, atau talonavikular atau keduanya.
Hal ini juga dapat dilakukan menggunakan gips. Luka paska operasi yang terjadi
tidak boleh ditutup dengan paksa. Luka tersebut dapat dibiarkan terbuka agar
membentuk jaringan granulasi atau bahkan nantinya dapat dilakukan cangkok
kulit.
Penatalaksanaan dengan operasi harus mempertimbangkan usia dari pasien :
Pada anak kurang dari 5 tahun, maka koreksi dapat dilakukan hanya
melalui prosedur jaringan lunak.
2. Untuk anak lebih dari 5 tahun, maka hal tersebut membutuhkan
pembentukan ulang tulang/bony reshaping (misal, eksisi dorsolateral dari
persendian kalkaneokuboid [prosedur Dillwyn Evans] atau osteotomi
tulang kalkaneus untuk mengoreksi varus).
3. Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, maka dapat dilakukan tarsektomi
lateralis atau arthrodesis.).
1.

Harus diperhatikan keadaan luka paska operasi. Apabila penutupan kulit paska
operasi sulit dilakukan, maka lebih baik luka tersebut dibiarkan terbuka agar dapat
terjadi reaksi ganulasi, untuk kemudian memungkinkan terjadinya penyembuhan
primer atau sekunder. Dapat juga dilakukan pencangkokan kulit untuk menutupi
defek luka paska operasi. Perban hanya boleh dipasang longgar dan harus
diperiksa secara reguler5.

Follow-up pasien
Pin untuk fiksator ini biasanya dilepas setelah 3-6 minggu. Satelah itu tetap
diperlukan pemasangan perban yang dipasangkan dengan sepatu Dennis Brown
selama 6-12 bulan1.
Komplikasi

Infeksi (jarang)
Kekakuan dan keterbatasan gerak : adanya kekakuan yang muncul di awal
berhubungan dengan hasil yang kurang baik.
Nekrosis avaskular talus : sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus
muncul pada tehnik kombinasi pelepasan medial dan lateralis.

Dapat terjadi overkoreksi yang mungkin dikarenakan :

15

Pelepasan ligamen interoseus dari persendian subtalus


Perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral
Adanya perpanjangan tendon5

Diagnosa Banding

Postural clubfoot disebabkan karena posisi fetus dalam uterus. Jenis


abnormalitas kaki seperti ini dapat dikoreksi secara manual oleh
pemeriksa. Postural clubfoot memberi respon baik dengan pemasangan
gips serial dan jarang relaps.
Metatarsus adductus (atau varus) adalah suatu deformitas dari tulang
metatarsal saja. Forefoot mengarah pada garis tengah tubuh, atau berada
pad aposisi addkutus. Abnormalitas ini dapat dikoreksi dengan manipulasi
dan pemasangan gips serial5.

Prognosis

Kurang lebih 50% dari kasus CTEV pada bayi baru lahir dapat dikoreksi
tanpa tindakan operatif. dr Ponseti melaporkan tingkat kesuksesan sebesar
89% dengan menggunakan tehniknya (termasuk dengan tenotomi tendon
Achilles). Peneliti lain melaporkan rerata tingkat kesuksesan sebesar 1035%. Sebagian besar kasus melaporkan tingkat kepuasan setinggi 75-90%,
baik dari segi penampilan maupun fungsi kaki.
Hasil yang memuaskan didapatkan pada kurang lebih 81% kasus. Faktor
utama yang mempengaruhi hasil fungsional adalah rentang gerakan
pergerakan kaki, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh derajat pendataran
kubah dari tulang talus. Tiga puluh delapan persen dari pasien dengan
kasus CTEV membutuhkan tindakan operatif lebih lanjut (hampir 2/3 nya
adalah prosedur pembentukan ulang tulang).

Rerata tingkat kekambuhan deformitas mencapai 25%, dengan rentang


antara 10-50%.

Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak yang dioperasi pada usia lebih
dari 3 bulan (biasanya dengan ukuran lebih dari 8 cm)5.

16

DAFTAR PUSTAKA
1. Apleys. 2001. System of Orthopaedics and fractures, 8th edition. pp 488
491.
2. Campbells.2005. Operative Orthopaedics, 9th edition, volume on., pp937952.
3. Nordin, S. 2002. Controversies In Congenital Clubfoot: Literature Review.
www.mjm.com

4. Salter. Robert B. 1999. Textbook of Disorder and Injuries of The


Musculosceletal
System,
Second ed.,
Williams & Wilkins,
Baltimore/London, 1083, pp. 117 120.
5. Tachdjian, M.O. 1990. Pediatric Orthopedics, Second ed., vol. 4, WB.
Saunders Co., Philadelphia. pp. 2428 - 2541.

.************

17

Anda mungkin juga menyukai