Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

BIOPSI DAN PEMERIKSAAN


HISTOPATOLOGI

Oleh :
Kiki Budiani, dr.

PROGRAM PENDIDIKAN BEDAH DASAR


SUB BAGIAN BEDAH ONKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT ULIN BANJARMASIN
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Biopsi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua suku kata, yaitu
bios yang berarti hidup dan opsis yang berarti melihat, sehingga secara harfiah
berarti melihat yang hidup. Definisi biopsi yaitu mengangkat sepotong jaringan
hidup dan diperiksa dibawah mikroskop untuk menegakkan diagnosis
histopatologis. Peran dari biopsi antara lain sebagai sarana diagnostik yang bisa
menentukan histologi tumor dan grading serta membantu perencanaan terapi
definitif.1 Biopsi menjadi tahap awal pada pendekatan terapi multimodalitas, tentu
saja harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang benar. Sebaliknya biopsi dapat
menimbulkan komplikasi pada perawatan pasien, jika tidak dilakukan dengan
benar.
Sampai saat ini terdapat beberapa teknik biopsi yang digunakan oleh
klinisi. Secara umum biopsi terbagi menjadi biopsi tertutup, seperti biopsi aspirasi
jarum halus (Fine Needle Aspiration Biospy), biopsi core-needle dan biopsi
terbuka atau bedah, seperti biopsi insisi dan biopsi eksisi. Untuk lesi di kulit dapat
dipakai teknik shave biopsy, saucerization biopsy, dan punch biopsy. Biopsi
secara endoskopi (kolonoskopi, bronkoskopi, sistoskopi) dapat dilakukan pada
lesi-lesi di mukosa. Lesi yang mudah dipalpasi, seperti lesi di kulit, dapat dieksisi
atau dilakukan punch biopsi. Lesi yang lebih dalam dapat dilokalisasi dengan CT
atau ultrasonografi sebagai panduan untuk biopsi. Untuk menentukan pilihan
biopsi yang akan dilakukan tergantung dari ukuran dan lokasi massa dan
pengalaman patologis.

BAB II
TEKNIK BIOPSI
Setelah menegakkan diagnosis klinis onkologi dan melakukan pemeriksaan
penunjang berdasarkan indikasi, maka diagnosis klinis tersebut dapat menjadi
lebih tepat dan diperbaiki. Atas dasar tersebut diatas maka biopsi dapat dilakukan
pada lokasi dan substrat yang tepat dan jaringan yang diambil representatif.
Secara umum terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan didalam
melakukan suatu biopsi terbuka. Garis insisi pada biopsi harus dibuat sedemikian
rupa sehingga tidak mempersulit pembuatan garis insisi pada operasi definitif
(operasi pengangkatan tumor secara tuntas). Karena garis bekas biopsi harus ikut
terangkat pada operasi definitif tersebut, sesuai dengan prinsip-prinsip onkologi
pada pembedahan.
Didalam melakukan biopsi sebaiknya menghindari daerah-daerah yang
terinfeksi, karena jaringan yang berasal dari daerah tersebut penuh dengan sel-sel
radang, sehingga dapat mengganggu pemeriksaan histopatologi. Trauma yang luas
juga harus dihindari karena dapat meluaskan daerah kontaminasi sel tumor karena
biopsi, sehingga ketika melakukan operasi definitif daerah bekas biopsi yang
harus ikut diangkat menjadi makin lebar dan hal ini akan mempersulit penutupan
luka.
Anastesi infiltrasi juga akan menyebarkan sel-sel tumor ke jaringan
sekitarnya, sehingga bila memungkinkan sebaiknya dilakukan dengan anastesi
regional atau dalam narkose umum.
Surat pengantar preparat ke laboratorium patologi juga memegang peranan
penting didalam membantu ahli patologi menegakkan diagnosis. Isinya harus
jelas, lengkap, namun singkat, meliputi anamnesis yang berkaitan diagnosis yang
disangka, keadaan tumor secara klinis, soliter atau multipel, terdapat juga di
tempat lain, kelenjar getah bening, keadaan durante biopsi, seperti ekstensi tumor,
perlekatan, konsistensi tumor, substrat, harus lengkap dan jelas, namun singkat.

Diagnosis banding yang diperkirakan juga harus dicantumkan. Identitas pasien,


lokasi tumor dan sampel yang diambil, jenis biopsi juga jangan lupa untuk diisi.
Secara garis besar terdapat dua jenis biopsi, yaitu biopsi tertutup dan
terbuka, meliputi:
2.1 Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB)
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration/FNA) meliputi
aspirasi sel-sel dan fragmen jaringan melalui jarum yang telah dipandu ke dalam
suspect tissue. FNA mudah, atraumatik, dan relatif aman. Untuk tumor yang
dalam dapat dilakukan dengan panduan CT. Kekurangan teknik ini antara lain
tidak memberikan informasi mengenai arsitektur jaringan. Sebagai contoh, biopsi
jarum halus pada massa payudara dapat mendiagnosis keganasan, tetapi tidak
dapat mendiferensiasi antara tumor yang invasif atau tidak invasif. FNA juga
memerlukan sitopatologis yang terlatih untuk interpretasi spesimen. Sensitivitas
FNA bervariasi dari 80% sampai 95% dan aspirat positif palsu terlihat kurang dari
1% kasus, dan hasil negative palsu terlihat pada 4% sampai 10% kasus tumor
payudara.
FNA menggunakan jarum halus (21-25 gauge) tanpa stylet dan syringe
kecil. Tidak digunakan anestesi.Idealnya, spesimen dipertahankan di dalam jarum.
Isi jarum kemudian disebarkan di atas gelas obyek. Gelas obyek kemudian
difiksasi dan/atau dikeringkan, tergantung dari keinginan patologis.

Gambar 1. Fine-needle aspiration biopsy (FNAB)

2.2 Large needle aspiration biopsy


Tehnik ini menggunakan jarum 18 gauge dengan stilet dan syringe yang
besar. Dilakukan anestesi lokal dalam jumlah kecil. Pisau no. 11 digunakan untuk
menusuk kulit. Jarum kemudian dimasukkan melalui luka ke dalam massa,
dengan jari telunjuk memegang stylet. Tujuan luka tusuk dan stylet adalah untuk
memfasilitasi insersi yang mudah dan mencegah pengambilan sel dari kulit dan
jaringan sekitarnya. Jarum kemudian digerakkan beberapa millimeter dari tempat
tusukkan, kemudian dilakukan aspirasi. Aspirat kemudian disebarkan di atas gelas
obyek,

difiksasi

dan/atau

dikeringkan

untuk

dilakukan

pemeriksaan

histopatologis.

Gambar 2. Large needle aspiration biopsy

2.3 Core needle biopsy


Core biopsy seperti aspirasi jarum halus, relatif aman dan dapat dilakukan
dengan palpasi langsung (contoh, massa payudara atau massa jaringan lunak) atau
dapat dipandu dengan pencitraan (contoh stereotactic core biopsy of the breast).
Core biopsy seperti aspirasi jarum halus, memiliki kekurangan sampling error.
Core needle biopsy menghasilkan jaringan tipis (kurang lebih 1x10 mm). Ukuran
sampel yang kecil dapat menyulitkan patologis untuk mendiagnosis tumor secara
akurat, atau jaringan mungkin tidak representatif untuk seluruh tumor,
menyebabkan kesulitan dalam gradasi tumor.
Biopsi ini memakai jarum yang dirancang khusus seperti True-cut, Corecut, dan lain-lain. Pada sumbu jarum terdapat kait terbalik, setelah sumbu masuk
ke dalam jaringan barulah sarung jarum dimasukkan, lalu sumbu dan sarung
dikeluarkan secara bersamaan, sehingga diperoleh suatu pita kecil jaringan untuk
pemeriksaan patologi, maka disebut juga biopsy potong. Karena tabung jarum
lebih besar, kemungkinan terjadi implantasi tumor sepanjang jalur jarum lebih
besar dibandingkan aspirasi jarum halus.

Gambar 3. Core needle biopsy

2.4 Shave biopsy


Shave biopsy dilakukan pada lesi kulit yang menonjol seperti BCC
nodular, SCC, atau tumor yang berasal dari folikel. Dilakukan tindakan antiseptik,
lalu dilakukan anestesi lokal di bawah lesi. Dengan menggunakan jari telunjuk
dan ibu jari, kulit diregang agar stabil. Lalu, gunakan ujung scalpel no. 15 untuk
membatasi batas lesi. Dengan perut scalpel parallel dengan kulit, lakukan shave
biopsy. Gunakan forceps atau ujung jarum untuk mengambil lesi. Untuk
hemostasis dapat dilakukan kauterisasi elektrik atau kimia. Perawatan post operasi
mudah. Luka harus dicuci satu sampai dua kali sehari dengan sabun ringan dan
dibiarkan lembab dengan mengoleskan petroleum jelly pada balutan sampai
menyembuh.

Gambar 4. Shave biopsy

2.5 Saucerization biopsy


Saucerization biopsy merupakan biopsi cukur yang lebih dalam,
direkomendasikan untuk SCC, nevi atipik, dan melanoma. Dengan menggunakan
jari telunjuk dan ibu jari, pegang pisau cukur dengan gerakan konkav sesuai
dengan kedalaman yang diinginkan. Hemostasis dilakukan sama dengan pada
shave biopsy.
2.6 Punch biopsy
Punch biopsy cocok untuk mengambil sampel pada lesi yang datar dan
lebar, dan efektif untuk meraih sampel subkutan, dan mendapatkan informasi
mengenai kedalaman invasi tumor. Biopsi ini menggunakan anestesi lokal dan
trephine. Operator membuat insisi sirkular sampai tingkat lemak superfisial,
menggunakan trephine yang berputar. Traksi yang dilakukan tegak lurus terhadap
garis kulit yang relaks meminimalisir redundansi saat penutupan. Spesimen
diambil dengan forceps atau jarum. Hemostasis dilakukan dengan jahitan
nonabsorbable yang dapat diangkat 7-14 hari. Luka harus dicuci satu sampai dua
kali sehari dengan sabun ringan dan dibiarkan lembab dengan mengoleskan
petroleum jelly pada balutan sampai menyembuh.

Gambar 5. Punch biopsy

2.7

Biopsi Insisi
Biopsi insisi adalah pengambilan sedikit jaringan dari massa tumor yang

lebih besar. Biopsi insisi sering diperlukan untuk diagnosis massa yang lebih besar
yang memerlukan prosedur bedah.
Instrumen yang diperlukan antara lain scalpel no. 15, forceps Adson, hak
kulit, gunting, benang jahit, dan kassa. Scalpel dipegang tegak lurus dengan
permukaan kulit. Insisi fusiform dilakukan pada pertengahan lesi. Spesimen
diambil untuk diperiksa, lalu luka dijahit.
Komplikasi biopsi insisi antara lain adalah infeksi luka, dehisensi, dan
pembentukan jaringan parut, serta hematom. Terdapat beberapa faktor penting
yang harus diperhatikan pada biopsy insisi. Untuk lesi di ekstremitas, insisi
dilakukan sepanjang aksis panjang ekstremitas. Untuk lesi di batang tubuh, insisi
dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat terambil bersamaan dengan seluruh
tumor yang akan diangkat. Letak biopsi harus tepat pada tumor, pada titik dimana
lesi dekat dengan kulit, dan tidak boleh ada lipatan yang meninggi atau yang
mengganggu di superfisial terhadap tumor. Sebelum penutupan luka, hemostasis
harus diperhatikan untuk meminimalisir hematoma. Drainase tidak rutin
dikerjakan, tetapi bila diperlukan, maka drain harus ditempatkan melalui atau
dekat dengan insisi biopsy. Bila didiagnosis dengan keganasan, jalur drain harus
tereksisi bersamaan dengan massa tumor.

Gambar 6. Biopsi Insisi

2.8

Biopsi Eksisi

Biopsi eksisi adalah eksisi seluruh jaringan tumor dengan sedikit atau
tanpa batas jaringan normal disekitarnya. Biopsi eksisi dilakukan untuk kuratif,
dengan mencakup jaringan yang adekuat di sekitar lesi untuk menjamin batas
operasi yang negatif sel tumor. Penandaan batas dengan jahitan atau klip oleh
pembedah atau mewarnai batas spesimen oleh patologis memudahkan penentuan
batas bedah dan menuntun diperlukannya reeksisi bedah bila salah satu atau lebih
batas masih mengandung sel tumor. Biopsi eksisi atau shellout dilakukan untuk
lesi yang berdiameter kurang dari 3-5 cm atau untuk lesi yang sangat superfisial,
dimana kemungkinan keganasan rendah.
Sebelum anestesi dan eksisi, operator menandai batas lesi. Kemudian
dilakukan eksisi berbentuk fusiform dengan sudut 30o atau lebih sirkular.
Disarankan untuk melakukan jahitan pada posisi jam 12 pada spesimen sebagai
penanda untuk patologis. Komplikasi biopsy eksisi antara lain adalah infeksi luka,
dehisensi, dan pembentukan jaringan parut, serta hematom.

Gambar 7. Biopsi eksisi

Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh operator pada prosedur


biopsi diantaranya:
1. Jalur jarum atau jaringan parut harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga
dapat terambil pada prosedur bedah selanjutnya. Penempatan insisi biopsi
sangat penting, dan kesalahan penempatan dapat mempengaruhi perawatan

selanjutnya. Biopsi insisi harus ditandai untuk memudahkan eksisi skar biopsi
bila operasi lanjutan diperlukan. Lebih lanjut, biopsi insisi harus dilakukan
pada area yang akan dibuang, bukannya pada sisi lainnya, yang berisiko
mengkontaminasi lapangan yang lebih luas. Insisi pada ekstremitas harus
longitudinal agar pengangkatan jaringan dan penutupan yang akan dilakukan
selanjutnya lebih mudah.
2. Harus diperhatikan untuk mencegah kontaminasi jaringan lain saat biopsi.
Adanya hematom besar setelah biopsi dapat menyebab kan penyebaran tumor
dan membuat follow up pemeriksaan fisik lebih sulit. Untuk biopsi pada
ekstermitas, penggunaan tourniquet dapat membantu mengontrol perdarahan.
Instrument yang digunakan pada prosedur biopsi merupakan sumber
kontaminasi potensial lainnya pada jaringan sekitarnya. Tidak biasa dilakukan
pengambilan biopsi dari beberapa lesi tersangka pada satu waktu. Kontak
instrumen yang telah mengenai jaringan tumor dengan jaringan normal harus
dihindari.
3. Drainase tidak rutin dikerjakan, tetapi bila diperlukan, maka drain harus
ditempatkan melalui atau dekat dengan insisi biopsi. Bila didiagnosis dengan
keganasan, jalur drain harus tereksisi bersamaan dengan massa tumor.
4. Sampel jaringan yang adekuat harus diambil untuk memenuhi kebutuhan
patologis. Untuk mendiagnosis tumor, mikroskop elektron, kultur jaringan,
atau teknik lain diperlukan. Jaringan yang cukup harus diambil untuk
mengantisipasi kesulitan diagnostik tersebut.
5. Penting untuk menandai area tumor tententu untuk menjadi penanda spesimen
oleh patologist. Fiksatif tertentu baik untuk digunakan pada jenis dan ukuran
tumor tententu.
6. Penempatan klip radio-opak saat biopsi dan prosedur staging terkadang
penting untuk menandai area tumor dan memandu terapi radiasi pada area ini.

10

BAB III
METODE DIAGNOSIS PATOLOGI TUMOR
Metode-metode diagnosis patologi tumor adalah sebagai berikut:
3.1

Potongan blok parafin (paraffin-embedded tissue section)


Metodenya adalah jaringan sampel didehidrasi kemudian ditanam dalam

parafin padat, lalu dipotong, diwarnai (hematosilineosin/ H-E) diperiksa dibawah


mikroskop untuk dibuat diagnosis.
3.2

Potongan Beku (frozen section/vriescope)


Selama prosedur potong beku, dokter bedah mengangkat bagian dari

massa jaringan segar, tidak difiksasi. Jaringan ini kemudian diberikan kepada
seorang patologis yang memeriksa jaringan pada mesin cryostat, memotongnya
dengan microtome, dan kemudian mewarnai jaringan dengan berbagai macam
pewarnaan sehingga dapat diperiksa dibawah mikroskop dan didiagnosis.
Prosedur ini biasanya hanya memakan waktu beberapa menit.

11

Gambar 8. Seorang patologis memeriksa jaringan pada mesin


cryostat dan dipotong dengan microtome.

Kegunaan potong beku adalah (1) bilamana diagnosis belum dapat


dipastikan sebelum operasi. Saat operasi perlu mengetahui sifat lesi untuk
menentukan teknik terapinya, (2) saat operasi perlu mengetahui secara pasti luas
infiltrasi lesi, untuk menetapkan batas operasi, (3) untuk mengetahui apakah suatu
lesi diluar tumor termasuk metastasis tumor (4) untuk memastikan ada tidaknya
rudapaksa, terhadap jaringan normal (misalnya terhadap ureter dan lain-lain) atau
memastikan biopsi te lah mendapatkan jaringan tumor.
Karena potongan beku waktunya mendesak, jaringan belum sempat
difiksasi. Desikasi, dan tahapan awal lain. Hingga pewarnaan sedian kurang baik
dan lain-lain. Maka ketepatan diagnosis lebih rendah dari potongan blok parafin.
Potongan beku tidak boleh menggantikan diagnosis dari potongan blok parafin.
Biopsi spesimen kecil tidak sesuai dibuat potongan beku. Tulang dan jaringan
kalsifikasi juga tidak sesuai untuk potongan beku karena terlalu keras tidak dapat
dipotong.
3.3

Diagnostik Sitologi
Ini adalah metode mengambil sel dari jaringan tumor, dibuat pulasan

diwarna (PAS atau H-E) kemudian diperiksa morfologinya untuk membuat


diagnosis. Menurut cara pengambilan sampel dapat dibagi menjadi sitologi
eksfoliatif untuk tumor dipermukaan tubuh, rongga tubuh, atau di dalam saluran

12

yang berhubungan dengan permukaan tubuh; dan sitologi pungsi untuk tumor
padat.
3.4

Teknik Histokimia
Ini adalah metode menggunakan afinitas terhadap berbagai zat warna

kimiawi yang berbeda dari berbagai sel dan produknya. Dengan tehnik reaksi
kimiawi dapat diperlihatkan komponen atau produk kimiawi spesifik didalam sel
untuk membantu diagnosis dan klasifikasi terhadap suatu kelainan, tehnik
pewarnaan histokimia terdapat lebih dari 100 macam, yang sering dipakai adalah
(1) pewarnaan retikulin; (2) pewarnaan fibrin;(3) pewarnaan otot lurik;(4)
pewarnaan glikogen; (5) pewarnaan musin; (6) pewarnaan lipid (7) pewarnaan
melanin;(8) pewarnaan tahan asam, dan lain lain.

3.5

Teknik imunohistokimia (IHC)


Prinsip IHC adalah reaksi antigen-antibodi, yaitu menggunakan reaksi

antibodi yang sudah diketahui bereaksi dengan antigen target dalam jaringan yang
akan diperiksa. Hingga terbentuk kompleks antigen-antibodi. Dengan membuat
kompleks itu menampilkan warna, maka dapat dibuktikan keberadaan antigen
target itu. Peranan IHC dalam diagnosis dan terapi tumor adalah sebagai berikut:
a. Diagnosis dan diagnosis banding tumor karena adanya heterogenitas pada
tumor yang sama dan adanya banyak kemiripan pada tumor yang berbeda,
banyak tumor terutama yang berdiferensiasi buruk sulit ditentukan arah
diferensiasinya secara morfologi. Misalnya tumor jenis sel kecil (dapat
berupa karsinoma sel kecil, berbagai sarkoma sel kecil. Limfoma maligna,
melanoma maligna, dan lain-lain). Tumor sel peomorfik atau sel spindel
sulit sekali diagnosisnya. Dengan teknik IHC. Diagnosis dan klasifikasi
tumor demikian dapat menjadi lebih jelas, misalnya saluran pencernaan
mempunyai berbagai jenis tumor sel spindel. Dengan antibodi CD117,
CD34, S-100, desmin, dapat dibedakan tumor stroma gastrointestinal

13

(GIST) yang mengekspresikan CD 117, CD 34, leiomioma/arkoma yang


mngekspresikan

desmin,

neurilemoma/neurilemoma

maligna

yang

mengekspresikan protein S-100 .


b. Menentukan lokasi primer kanker metastatik: tumor metastatik kelenjar
limfe atau bagian lainnya kadangkala hanya mengandalkan morfologi.
Dibawah mikroskop suara cahaya sulit ditentukan lokasi primernya . IHC
dapat membantu menentukan asal sebagian tumor tersebut, misalnya
tiroglobulin (TG), antigen spesifik prostat (PSA), alfafetoprotein (AFP)
fosfatase alkali plasenta (PLAP) dan lain-lain. Memastikan matastasis dari
karsinoma tiroid, karsinoma prostat, hepatoma atau tumor sel germinal.
Antigen spesifik jaringan seperti ini masih sedikit jumlahnya.
c. Diagnosis dan klasifikasi limfoma maligna: kecuali limfoma hodgkin dan
limfoma folikular yang bentuknya sangat tipikal, dalam hal diagnosis dan
klasifikasi limfoma maligna terutama limfoma non hodgkin nyaris tidak
dapat meninggalkan IHC. Metode klasifikasi paling umum dewasa ini
adalah metode klasifikasi menurut WHO tahun 2000.

Berdasarkan

klasifikasi Lukes yang megklasifikasikan tumor jaringan hematolimfoid


berdasarkan gabungan perubahan morfologi, manifestasi imunitas,
kelainan genetik, manifestasi klinis dan prognosis. Diantaranya, limfoma
non hodgkin dapat diklasifikasikan menjadi limfoma pra-sel B dan sel T.
Limfoma sel B matur. Limfoma sel T matur dan sel NK. Dan limfoma
histiositik dan sel dendritik yang lebih jarang ditemukan. Limfoma
hodgkin diklasifikasikan menjadi dua golongan besar, yaitu tipe
predominan

limfosit

nodular

dan

tipe

klasik

(termasuk

tipe

nodulosklerosis, tipe sel campuran, tipe predominan limfosit, tipe deplesi


limfosit). Sudah tersedia 100 lebih jenis antibodi seri CD dan antibodi lain
yang tepat yang dapat dipakai untuk diagnosis dan klasifikasi limfoma.
d. Memperkirakan tabiat biologis tumor dan memberikan dasar bagi
penentuan terapi secara klinis: misalnya pemeriksaan terhadap ekskresi
berbagai onkogen, gen resisten obat multiple (MDR) dan gen reseptor
hormon.

14

3.6

Diagnosis mikroskopik elektron


Mikroskop elektron dapat dipakai untuk diagnosis dan diagnosis banding,

misalnya (1) untuk membedakan antara karsinoma dan sarkoma yang sulit
dibedakan dengan mikrokop cahaya. (2) untuk membedakan jaringan asal dari
tumor sel spindel, tumor sel bulat kecil, tumor sel pleomorfik, yang secara
morfologik sulit ditentukan (3) untuk membedakan antara mesetelioma dan
adenokarsinoma (4) untuk diagnosis dan menbedakan berbagai jenis tumor
neuroendokrin (5) memastikan asal tumor metastasis (6) membantu klasifikasi
limfoma.
3.7

Autopsi
Dalam patologi tumor, autopsi memiliki makna penting untuk memahami

perkembangan, metastasis dan sebab kematian, diagnosis dan diagnosis banding,


ada diagnosis banding tumor yang sangat sulit, misalnya sebagian melanoma
organ dalam, hanya dengan autopsi yang teliti dapat dipastikan apakah sifatnya
primer.
Pembacaan gambaran makroskopis
Dengan penglihatan mata telanjang diperhatikan jaringan tumor tersebut.
Bagaimana bentuk dan morfologi tumor, warna, adanya nekrotik, adanya
perdarahan. Secara makroskopik juga dapat ditentukan ada tidaknya tumor,
adanya pertumbuhan yang infiltratif, konsistensinya,

apakan jaringan tumor

rapuh atau tidak, dan ukuran tumor.


Pembacaan gambaran mikroskopis
Perbedaan mikroskopis khas antara tumor jinak dan ganas dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 1. Perbedaan tumor jinak dan ganas secara mikroskopis

Gambaran morfologi

Jinak

Ganas

15

Jaringan
Arsitektur

Tersusun
Mirip jaringan asal

Tidak tersusun
Kurang atau sama sekali
tidak

Perubahan sekunder
Sel
Ukuran, bentuk
Inti
Ukuran, bentuk
Kromatin
Nukleolus
Mitosis

Jarang atau tidak ada


Berdiferensiasi baik
Seragam
Serupa dengan normal
Reguler
Tersebar merata
Tidak jelas
Sedikit

mirip

dengan

jaringan asal
Nekrosis, perdarahan
Berdiferensiasi buruk
Pleomorfik
Atipik
Ireguler
Menonjol, banyak
Banyak, ireguler

Dengan mikroskop elektron, sel-sel tumor jinak memiliki sitoplasma yang


berkembang baik dan mengandung organel-organel yang biasa ditemukan pada
jaringan normal yang sesuai. Tumor ganas terdiri dari sel-sel yang hanya sedikit
mirip dengan sel normal inti sel-sel ini pleomorfik dan bervariasi dalam ukuran,
bentuk, dan distribusi kromatinnya. Sitoplasma sel tumor maligna biasanya
mengandung lebih sedikit organel dari sitoplasma sel normal.
Derajat diferensiasi tumor ganas dapat dinilai secara histologis, dan tumor
dapat ditentukan derajatnya (tingkatan, grade) menjadi diferensiasi baik (derajat
I), berdiferensiasi sedang (derajat II), atau berdiferensiasi buruk (derajat III)
misalnya adenokarsinoma berdiferensiasi baik mempunyai kelenjar yang
berbentuk teratur. Pada adenokarsinoma yang berdiferensi sedang kelenjar kurang
begitu teratur dan pada tumor yang berdiferensiasi buruk (derajat III).

16

BAB IV
STAGING KANKER
Staging kanker berdasarkan ukuran lesi primer, luas penyebarannya ke
nodus limfatikus regional, dan adanya atau tidak adanya metastasis. Penilaian ini
biasanya berdasarkan pemeriksan klinis dan radiografis (computed tomography
dan magnetic resonance imaging) dan pada beberapa kasus melalui eksplorasi
bedah. Dua metode staging yang sekarang digunakan adalah sistem TNM (T,
tumor primer; N, keterlibatan nodus limfatikus regional; M, metastasis) dan sistem
AJC (American Joint Committee). Pada sistem TNM, T1, T2, T3, dan T4
menggambarkan peningkatan ukuran lesi primer; N0, N1, N2, dan N3
mengindikasikan keterlibatan nodus; dan M0 dan M1 merefleksikan adanya atau
tidakadanya metastasis jauh. Pada metode AJC, kanker dibagi menjadi stages 0
hingga IV, memasukkan ukuran lesi primer dan adanya penyebaran nodus dan
metastasis jauh. Jika dibandingkan dengan grading, staging terbukti memiliki
nilai klinis yang lebih besar.
Staging kanker merupakan sistem yang digunakan untuk menggambarkan
penyebaran anatomik pada proses keganasan pada pasien. Sistem ini berhubungan
dengan faktor prognostik, seperti ukuran tumor, lokasi, ekstensi, gradasi, dan
diseminasi pada KGB regional, atau tempat jauh. Staging yang akurat penting
untuk menentukan regimen terapi yang tepat untuk pasien.

17

Sistem staging penting untuk perbandingan pada institusi berbeda di


seluruh dunia. Sistem staging yang diusulkan oleh American Joint Committee on
Cancer (AJCC) dan Union Internationale Contre Cancer (International Union
Against Cancer, UICC) merupakan sistem yang banyak digunakan. Keduanya
mengadaptasi sistem TNM yang menentukan ekstensi anatomik kanker
berdasarkan 3 komponen berikut: tumor primer (T), ada atau tidaknya metastasis
KGB regional (N), dan adanya atau tidaknya metastasis jauh (M).
Sistem TNM diaplikasikan hanya untuk kasus yang secara mikroskopik
ganas. Staging TNM standar (klinis dan patologis) dilakukan pada saat diagnosis
awal. Staging klinis (cTNM atau TNM) berdasarkan informasi sampai terapi
definitif pertama. Staging patologis (pTNM) mencakup informasi klinis dan
informasi dari pemeriksaan patologi pada tumor primer dan KGB yang direseksi.
Klasifikasi lain adalah re-treatment (rTNM), dan autopsy (aTNM).
Clark dan Breslow mendefinisikan kedalaman invasi melanoma primer:
Clark level I

: melanoma insitu, terbatas pada epidermis atau dermal/epidermal

junction
Clark level II : melanoma menginvasi papilla dermis
Clark level III : melanoma mengisi papilla dermis
Clark level IV : melanoma menginvasi retikula dermis
Clark level V : melanoma menginvasi lemak subkutan
Breslow T2

: ketebalan lesi 1-2 mm

Breslow T3

: ketebalan lesi 2-4 mm

Breslow T4

: ketebalan lesi > 4 mm

Klasifikasi Dukes untuk tumor kolorektal:


Dukes A

: tumor terbatas pada, tetapi tidak menembus dinding usus

Dukes B

: penetrasi ke dinding usus

Dukes C

: penyebaran ke KGB lokal regional

Dukes D

: metastasis jauh

18

BAB V
KESIMPULAN

Biopsi yaitu mengangkat sepotong jaringan hidup dan diperiksa dibawah


mikroskop untuk menegakkan diagnosis histopatologis. Peran dari biopsi antara
lain sebagai sarana diagnostik yang bisa menentukan histologi tumor dan grading
serta membantu perencanaan terapi definitif.
Didalam melakukan sebuah biopsi maka harus tetap berpegang pada
prinsip-prinsip onkologi pada pembedahan, serta memerlukan keterampilan dokter
bedah didalam melakukan biopsi terbuka secara bedah. Selain itu perlu adanya
kesesuaian antara diagnosis klinis onkologi dan hasil dari pemeriksaan
histopatologi jaringan yang telah dibiopsi oleh dokter bedah, apabila terdapat
keraguan atau ketidaksesuaian antara diagnosis klinis onkologi dan diagnosis
secara histopatologi maka harus diteliti kembali apakah yang salah diagnosis
klinis atau diagnosis histopatologinya. Diskusi dengan ahli patologi diperlukan
untuk membicarakan tentang kekurangan data klinis, sampel jaringan atau salah
dalam pengambilan sampel (tidak representatif).
Pendapat kedua dapat dimintakan , baik mengenai dignosis klinis maupun
diagnosis histopatologi. Biopsi dan pemeriksaan histopatologi memegang peranan
penting didalam mendiagnosis suatu tumor, baik jinak maupun ganas, dan pada
nantinya dapat menentukan rencana terapi dan prognosis pasien.

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Lukito P; Soemitro M.P; Lokarjana L. Penuntun Diagnostik dan Tindakan


Terapi Tumor Ganas. Jakarta: Sagung Seto. 2010.
2. Libutti SK, Saltz LB, Tepper JE. Colon cancer, in De Vita V.T. Jr. Hellman
S, Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of oncology, vol 1. 8th
ed, Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008
3. RosenbergAS.Principles of surgical oncology, in De Vita V.T. Jr. Hellman
S, Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of oncology, vol 1. 8th
ed, Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008
4. Sidransky D. Cancer of the head and neck, in De Vita V.T. Jr. Hellman S,
Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of oncology, vol 1. 8th ed,
Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008
5. Conzen SD, Grushko TA, Olopade OI. Cancer of the breast. in De Vita
V.T. Jr. Hellman S, Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of
oncology, vol 1. 8th ed, Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008
6. Thomas VD, Aasi SZ, Wilson LD, Lefell DJ. Cancer of the skin, in De
Vita V.T. Jr. Hellman S, Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice
of oncology, vol 1. 8th ed, Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008
7. Fisher DE, Kwong LN, Chin L. Melanoma, in De Vita V.T. Jr. Hellman S,
Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of oncology, vol 1. 8th ed,
Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008

20

8. Chang A, Sondak VK. Clinical evaluation and treatment of soft tissue


tumors, in Weiss SW, Goldbum JR: Enzinger and Weisss Soft tissue
tumors, 4th edition, St Louis. Mosby, 2001
9. Ddesen W, Japaries W. Onkologi Klinis, Edisi 2. Jakarta, FK-UI. 2008
10. Nouri K, Patel AA, Vejjabhinanta V. Biopsy techniques, in Nouri K: Skin
cancer. New York, Mc Graw Hill.

21

Anda mungkin juga menyukai