Anda di halaman 1dari 35

KARAKTERISTIK TRAUMA PENETRAN TORAKS DI

RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE


JANUARI 2012 DESEMBER 2012
Diajukan Sebagai Prasyarat untuk Menyelesaikan Pendidikan Bedah Dasar
Program Pendidikan Dokter Spesialis -1 Program Studi Ilmu Bedah

Disusun oleh:
Wilner Singarimbun, dr.
Pembimbing:
Rama Nusjirwan, dr., SpBTKV(K)

SUB-BAGIAN BEDAH KARDIOTORASIK


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS1 ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN/
RSUP DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2013

LEMBAR PENGESAHAN
Judul

: Karakteristik Trauma Penetran Toraks Di Rumah Sakit Hasan Sadikin

Bandung Periode Januari 2012 Desember 2012


Penulis
Program Studi
Nomor Pokok

: Wilner Singarimbun
: PPDS-1 Bedah Umum
:

Mengetahui:
Pembimbing:

___________________________
Rama Nusjirwan,dr., SpBTKV (K)

Ketua Program Studi PPDS-1

Dr.Kiki Lukman ,dr., SpB-KBD,. MSc.,

Ilmu Bedah

FINACS

Fakultas Kedokteran
UNPAD/RSUP Hasan Sadikin
Bandung

Kepala Bagian Ilmu


Bedah
RSUP Hasan Sadikin

___________________________

Bandung

___________________________
Nurhayat Usman, dr. SpB-KBD,
FINACS

KARAKTERISTIK TRAUMA PENETRAN TORAKS DI RUMAH SAKIT HASAN


SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2012 DESEMBER 2012

*Wilner Singarimbun, **Rama Nusjirwan


* Peserta didik PPDS-1 Ilmu Bedah Rumah Sakit Hasan Sadikin FK-UNPAD Bandung
** Divisi Bedah Kardiotorasik Rumah Sakit Hasan Sadikin FK-UNPAD Bandung

ABSTRAK
Latar belakang :Trauma toraks merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada pasien pasien trauma di RSHS. Cedera toraks mencatat angka sekitar 20%
-25% dari seluruh kasus trauma (2,3). Trauma penetran toraks hampir mencapai 33% dari
jumlah seluruh kasus trauma dada di AS (2) . Kasus trauma penetras menjadi masalah
kesehatan terutama di negara negara berkembang seiring dengan peningkatan angka
kekerasan dalam masyarakat (4,5). Mekanisme trauma penetran toraks terbanyak berupa
tusukan dengan benda tajam lalu diikuti dengan luka tembak. Pengenalan dini dan
pengobatan yang tepat waktu, teknik resusitasi yang baik, perawatan pra operasi, dan
prosedur bedah yang efektif bisa signifikan meningkatkan outcome yang positif pada pasien
trauma penetran toraks (2).
Tujuan : Untuk menganalisis pola dari trauma penetran toraks, penatalaksanaant dan teknik
yang digunakan dan memberikan kontribusi data lebih lanjut pada kasus kasus trauma
penetran toraks melalui kasus kasus trauma penetrans toraks yang ditangani di RS Hasan
Sadikin Bandung periode Januari 2012 Desember 2012.
Metode : Penelitian ini dilakukan di Divisi Bedah Kardiotorasik Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung pada periode 1 Januari 2012 sampai 31 Desember 2012. Data diperoleh dari catatan
rekam medis pasien-pasien yang dirawat dengan cedera akibat trauma penetran toraks.
Hasil : Didapatkan 71 kasus cedera akibat trauma toraks dengan trauma penetran toraks
sebanyak 18 kasus (26,35%) dan trauma tumpul toraks sebanyak 53 kasus ( 73,65 %) dengan
usia rata-rata 29,23 tahun (dari 12-60 tahun). Pada kasus trauma penetran yang dilaporkan ,18
orang (100%) terjadi pada laki-laki . Waktu antara kejadian sampai tiba di unit gawat darurat
berkisar antara 1 72 jam dengan rata-rata 2,45 jam. Regio toraks yang terkena tusukan
paling banyak pada daerah toraks bagian anterior ( 9 kasus ), toraks bagian posterior ( 8
kasus) dan toraks bagian lateral (1 kasus ). Cedera yang ditimbulkan akibat trauma penetran
toraks berupa Hematopneumotoraks ( 8 kasus ), Pneumotoraks ( 7 kasus ), fraktur tulang iga (
4 kasus ), ruptur diafragma ( 1 kasus ) dan syok perdarahan (1 kasus). Jenis senjata yang
digunakan berupa senjata tajam ( 16 kasus ) dan senjata api ( 2 kasus ). Penatalaksanaan awal
yang dilakukan di unit gawat darurat berupa pemasangan chest tube toracostomy ( 15 kasus ),
suture primer ( 1 kasus ) dan repair diafragma per laparotomi ( 1 kasus ). Tidak ada tindakan

torakotomi yang dilakukan pada kasus ini. Tidak didapatkan adanya mortalitas pada
penelitian ini (0%).
Kesimpulan : Dari semua kasus cedera penetran toraks yang ditangani di Rumah Sakit
Hasan Sadikin periode 1 Januari 2012 31 Desember 2012 disimpulkan bahwa
penatalaksaan trauma penetran toraks di Rumah Sakit Hasan Sadikin sudah tepat dan sesuai
dengan guidelines menurut Advanced Trauma Life Support (ATLS) dan signifikan dalam
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada pasien pasien dengan trauma penetran
toraks.
Kata kunci: trauma toraks, trauma penetran toraks, cedera toraks

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Trauma mungkin merupakan kejadian penyakit yang tertua umat manusia dan
riwayat trauma itu sendiri adalah mungkin setua pengobatannya. Salah satu tulisan awal
tentang cedera dada ditemukan di Edwin Smith Papirus, ditulis pada 3000 SM, yang
menggambarkan kasus trauma penetran toraks

(1)

. Cedera toraks merupakan penyebab

umum kematian dan kecacatan, dan merupakan penyebab utama kematian di 3 dekade
(1,2)

awal hidup
trauma

(2,3).

. Cedera toraks mencatat angka sekitar 20% -25% dari seluruh kasus

Trauma penetran toraks hampir mencapai 33% dari jumlah seluruh kasus

trauma dada

(2)

penduduk dunia mengalami peningkatan kasus trauma penetrasi,seiring

dengan kasus trauma yang

menjadi masalah kesehatan masyarakat terkait dengan

peningkatan angka kekerasan dalam masyarakat (4,5).Trauma dada tembus sebagian


besar disebabkan kekerasan dan memiliki tingkat kematian lebih tinggi daripada trauma
tumpul

(2,6)

. Hal ini lebih sering terjadi pada pria karena kecenderungan mereka untuk

kekerasan dan mekanisme cedera biasanya luka tembak atau luka tusuk. Sebagian besar
penatalaksanaan trauma penetran toraks

dikelola dengan pemasangan chest tube

torakostomy. Dari beberapa sumber data dikatakan hanya 15-20% dari trauma penetran
toraks yang diakibatkan luka tembak (GSW) membutuhkan torakotomi. Namun,
pemilihan pasien yang membutuhkan thoracotomy tidak selalu mudah dan ada banyak
kontroversi terkai indikasi untuk operasi atau observasi. Pengenalan dini dan pengobatan
yang tepat waktu, teknik resusitasi yang baik, perawatan pra operasi, dan prosedur

bedahyang efektif bisa signifikan meningkatkan outcome pada pasien trauma penetran
toraks (2).Penelitian telah menunjukkan chest tube thoracostomy menjadi modalitas utama
untuk mengelola nonmediastinal,dada cedera perifer, dengan kejadian yang sangat
rendah untuk torakotomi

(2,7).

Penelitian kami bertujuan untuk menekankan pola cedera

dada tembus, termasuk penyebab dan teknik yang digunakan dalam penatalaksanaan, dan
untuk menambahkan data lebih lanjut tentang pengetahuan trauma penetrans toraks.
Komplikasi yang paling sering mengancam nyawa baik dari trauma toraks baik
tumpul maupun tajam adalah hemothorax, pneumotoraks, atau kombinasi keduanya.
Sekitar 85% pasien ini dapat diobati secara definitif dengan chest tube(1). Menurut
Nasional Trauma Data Bank Amerika Serikat, penerimaan karena trauma telah terus
tumbuh dalam dekade terakhir(2,3) yaitu sekitar 12 per juta penduduk per hari dan 20
-25% kematian terjadi karena trauma di Amerika Serikat adalah karena cedera toraks(4).
Cedera dada memiliki tingkat signifikan untuk morbiditas dan mortalitas, khususnya jika
disertai dengan cedera lainnya seperti cedera pada organ lain. Beberapa abad terakhir,
terjadi peningkatan yang cukup besar dalam perawatan trauma toraks dan hasilnya,
terutama karena ketersediaan ventilasi tekanan positif, pengenalan akan Antibiotik
spektrum luas , perkembangan teknik radiologi yang lebih baik, perkembangan
emergensi torakotomi dan perawatan intensif post operatif.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah pola dan karakteristik trauma penetran toraks di RSHS Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud Penelitian :
Untuk menganalisis pola dari trauma penetran toraks, penatalaksanaan dan teknik
yang digunakan dan memberikan kontribusi data lebih lanjut pada kasus kasus trauma
penetran toraks melalui kasus kasus trauma penetrans toraks yang ditangani di RS Hasan
Sadikin Bandung periode Januari 2012 Desember 2012.
Tujuan Penelitian :
Untuk memberikan kontribusi data lebih lanjut pada kasus kasus trauma penetran
toraks melalui kasus kasus trauma penetrans toraks yang ditangani di RS Hasan Sadikin
Bandung periode Januari 2012 Desember 2012.

1.4 Kegunaan penelitian


Pengenalan dini dan pengobatan yang tepat waktu, teknik resusitasi yang baik,
perawatan pra operasi, dan prosedur bedah yang efektif bisa signifikan meningkatkan
outcome yang poitif pada pasien trauma penetran toraks

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi
Komponen tulang dan jaringan ikat bersatu membentuk struktur anatomis rongga
toraks yang menaungin beberapa organ organ vital tubuh. Rangka toraks membentuk
ruang yang melindungi jantung yang melindungi paru-paru sekalian juga berkontribusi
dalam fungsi pernafasan.
Anatomi Permukaan toraks
Dinding toraks anterior memiliki beberapa batas khusus. Sebelah lateral atas dari
suprasternal notch,clavicula melengkung ke depan lalu ke belakang melewati bahu. Pada
pasien yang kurus,batas terbawah dari lengkung costa dapat dilihat memanjang bilateral
dari bagian inferior sternum. M.sternocleidomastoideus memanjang diagnonal dari
bagian atas permukaan anterior manubrium dan 1/3 medial clavicula pada dasar kepala 1.
Pada pria, puting susu berada pada batas bawah m.pectoralis mayor,lateral dari linea
mudclavicula, berada diatas intercostal space 4. Posisi puting susu beragam pada wanita
karena adanya perbedaan ukuran payudara yang biasanya berada antara costa 2-6.
Axillary tail memanjang keatas menuju axilla sejajar batas bawah m.pectoralis mayor.
Beberapa garis garis yang dijakdikan referensi untuk menentukan posisi dari dinding
dada. Linea midsternal adalah garis yang paling umum dan dapat dapat diidentifikasi
dengan mudah. Linea midclavicular melalui dari pertengahan clavicula membentang
anterior dinding dada. Linea axillaris anterior adalah garis yang memanjang secara
kaudal dari batas anterior axilla. Linea mixaxillaris merupakan garis penanda aspek

lateral dinding dada 1. Dinding anterolateral toraks dipersarafi oleh n.supraclavicular dan
ujung serabut saraf dari saraf spinalis torakal. Sisa dinding toraks yang lain dipersarafi
oleh cabang anterior dan lateral cutaneous dari saraf spinalis torakalis.

Aspek posterior dari toraks sebagian besar ditutupi oleh otot otot superficial dari
punggung. Batas medial dari setiap skapula berada lateral dari midline sekitar costa 2-7.
Kulit punggung dipersarafi oleh cabang dari cutaneous media dari ramus dorsalis C4, C5,
C8 dan T2 dan dari cabang medial dan lateral n.cutaneous.

Organ intratorak
Pericardium fibrosa,berada pada bagian parietal dari perikardium serosa,yang bila
dibuka pada bagian anterior akan mengekspose jantung dan pembuluh darah besar. Paru
kanan terdiri dari 3 lobus yaitu lobus superior,medial dan inferior. Lobus superior dan medial
dipisahkan oleh fissura horisontal. Lobus medial dan inferior dipisahkan oleh fissura oblique.
Paru kiri terdiri dari 2 lobus yaitu lobus superior dan inferior yang dipisahkan oleh fissura
oblique.

Trauma toraks digambarkan berupa trauma tumpul atau trauma penetran pada toraks.
Protokol penatalaksanaant berdasarkan Advance Trauma Life Support (ATLS) saat ini masih
merupakan patokan untuk penatalaksanaant trauma toraks. 12 cedera yang mengancam jiwa
dapat dialami pada pasien pasien dengan cedera toraks. 6 diantaranya harus didiagnosis
dengan cepat karena berpotensi untuk menyebabkan kamatian yang cepat antara lain
obstruksi jalan nafas, tension pneumotoraks, flail chest, cardiac tamponade, open
pneumotoraks dam massive hematotoraks (lethal six). Enam cedera lainnya dapat
menyebabkan delayed death berupa komplikasi lanjut

antara lain tracheobronchial

disruption, kontusio paru, traumatic disruption of the aorta, blunt cardiac injury, perforasi
esophagus dan diafragmatic tear (hidden six).

Fraktur tulang iga merupakan cedera yang paling sering ditemukan pada trauma
toraks dan biasanya disertai dengan cedera toraks yang lain. Pneumotoraks menduduki
peringkat kedua setelah fraktur tulang iga dan ditemukan pada 40-50 % pasien pasien dengan
cedera toraks. Trauma toraks dapat berdiri sendiri ataupun ditemukan bersamaan dengan
trauma orthopaedic, neurologic atau trauma abdomen. Pasien Multiple trauma yang disertai
dengan trauma toraks membutuhkan periode ventilasi mekanik dan perawatan intensif yang
lebih lama dibandingkan dengan pasien pasien tanpa cedera toraks.
90% dari semua cedera toraks akibat trauma dapat diobati secara konservatif dengan
analgetik, oksigenasi, pemasangan drainase dengan chest tube dan secretolisis. 10% sisanya
membutuhkan terapi pembedahan.

2.1. Trauma toraks

2.1.1. Defenisi
Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan atau organ intra
toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam. Memahami kinematis
dari trauma akan meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma
sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan segera(Kukuh, 2002; David, 2005).
Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga abdomen
yang dibatasi oleh diafragma, dan batas atas dengan bawah leher dapat diraba incisura
jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu: m.latissimus dorsi, m.trapezius,
m.rhomboideus mayor dan minor, m.serratus anterior, dan m.intercostalis. Tulang dinding
dada terdiri dari sternum, vertebra torakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak di dalam

rongga toraks : paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah besar, saraf dan
sistem limfatik (Kukuh, 2002).

2.1.2. Epidemiologi
Trauma toraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan kondisi
sosial ekonomi masyarakat di Indonesia. Data yang akurat mengenai trauma toraks di
Indonesia belum pernah diteliti. Di Bagian Bedah FKUI/RSUPNCM pada tahun 1981
didapatkan 20% dari pasien trauma mengenai trauma toraks. Di Amerika didapatkan 180.000
kematian pertahun karena trauma. 25% diantaranya karena trauma toraks langsung. Di
Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga toraks. Dengan adanya trauma pada
toraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan trauma. Pneumotoraks,
hematotoraks, kontusio paru dan flail chest dapat meningkatkan kematian : 38%,42%,56%
dan 69% (Eggiimann, 2005; Jean, 2005).

2.1.3. Etiologi
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan trauma tajam.
Penyebab trauma toraks tersering adalah oleh karena kecelakaan kendaraan bermotor (6378%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu
depan, samping, belakang, berputar dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan
untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang
berbeda. Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3, berdasarkan
tingkat energinya yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi rendah, berenergi sedang
dengan kecepatan kurang dari 1500 kaki per detik (seperti pistol) dan trauma toraks oleh
karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer) dengan kecepatan melebihi 3000 kaki per
detik. Penyebab trauma toraks yang lain oleh karena adanya tekanan yang berlebihan pada

paru-paru bisa menimbulkan pecah atau pneumotoraks (seperti pada scuba) (David.A, 2005;
Sjamsoehidajat, 2003).

2.1.4.Gangguan anatomi dan fisiologi akibat trauma toraks


Akibat trauma daripada toraks, ada tiga komponen

biomekanika yang dapat

menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan dan stres. Kompresi terjadi ketika
jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan terjadi ketika jaringan kulit terpisah dan
stres merupakan tempat benturan pada jaringan kulit yang bergerak berhubungan dengan
jaringan kulit yang tidak bergerak. Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat
ringan sampai berat tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan
anatomi yang ringan berupa jejas pada dinding toraks, fraktur kosta simpel. Sedangkan
kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple dengan komplikasi,
pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio paru. Trauma yang lebih berat menyebabkan
perobekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada jantung(ATLS, 2004; Kukuh,
2002). Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat menganggu
fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Gangguan sistem
pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya.
Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan
gangguan mekanik/alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah
gangguan faal jantung dan pembuluh darah(ATLS, 2004; Kukuh, 2002; David.A,2005).

Biomekanika Trauma penetran


Trauma penetran didefenisikan sebagai cedera yang disebabkan penetrasi benda asing
ke jaringan. Senjata biasanya diklasifikasikan berdasarkan dari besarnya energi yang
dihasilkan proyektilnya, berupa :
-

Low energy : pisau atau senapan angin


Contoh senjata dengan energi rendah adalah pisau dan alat pemecah es. Alat ini
menyebabkan kerusakan hanya karena ujung tajamnya. Karena energi rendah,
biasanya hanya sedikit menyebabkan cidera sekunder. Cedera pada penderita
dapat diperkirakan dengan mengikuti alur senjata pada tubuh. Pada luka tusuk,
wanita mempunyai kebiasaan menusuk kebawah, sedangkan pria menusuk keatas
karena kebiasaan mengepal. Saat menilai penderita dengan luka tusuk, jangan
diabaikan kemungkinan luka tusuk multipel. Inspeksi dapat dilakukan dilokasi,
dalam perjalanan ke rumah sakit atai saat tiba di rumah sakit, tergantung pada
keadaan disekitar lokasi dan kondisi pasien 7.

Medium energy : pistol

High energy : senapan berburu


Senjata dengan energi menengah contohnya adalah pistol, sedangkan senjata
dengan energi tinggi seperti senjata militer dan senjata untuk berburu. Semakin
banyak jumlah mesiu, maka akan semakin meningkat kecepatan peluru dan energi
kinetiknya. Kerusakan jaringan tidak hanya daerah yang dilalui peluru tetapi juga
pada daerah disekitar alurnya akibat tekanan dan regangan jaringan yang dilalui
peluru. Peluru akibat senjata energi tinggi dan menengah juga menyebabkan
kavitasi / rongga yang lebih besar dari lubang masuknya. Untuk senjata dengan
energi menengah biasanya menyebabkan kavitasi 3-6 kali dari ukuran frontal

peluru, sedangkan untuk energi tinggi akan lebih besar lagi, demikian juga
kerusakan jaringan yang ditimbulkannya akan lebih besar lagi. Hal-hal lain yang
mempengaruhi keparahan cidera adalah hambatan udara dan jarak. Tahanan udara
akan memperlambat kecepatan peluru. Semakin jauh jarak tembak, akan semakin
mengurangi kecepatan peluru, sehingga kerusakan yang ditimbulkannya akan
berkurang. Sebagian kasus penembakan dilakukan dari jarak dekat dengan pistol,
sehingga memungkinkan cedera serius cukup besar 7.

Kecepatan dari missile merupakan faktor yang paling signifikan dalam proses
terbentuknya luka. Hubungan

kecepatan dan besarnya energi kinetik yang dihasilkan

dijelaskan dengan rumus dibawah ini :

Energi Kinetik = massa x ( V2 2


V12 ) / 2

Dimana : V2 = kecepatan tabrakan


V1 = Kecepatan akhir

Trauma Penetran Toraks

Evaluasi dan

penatalaksanaan trauma tembus

thorax paling baik dijelaskan

berdasarkan distribusi anatomi yang terkena ( dinding dada, pembuluh darah besar dan
struktur pembuluh darah besar lainnya, trakea dan bronkus utama, parenkim paru, jantung,
kerongkongan, dan diafragma). Masing-masing struktur ini dapat terluka secara tersendiri
maupun kombinasi dengan struktur intratoraks atau extratoraks lainnya 6. Evaluasi cedera
toraks memerlukan pendekatan yang sistematis didasarkan pada anatomi agar cepat
mengidentifikasi cedera dan memulai terapi. Yang terpenting dalam penatalaksanaan adalah
penilaian yang cepat dan evaluasi tingkat cedera pasien. Pasien yang "stabil" dapat
mengalami perburukan dengan cepat melalui tension pneumothorax, tamponade perikardial,
serta perdarahan intrathoracic besar 6.
Setelah survei primer awal dilakukan, kecacatan pasien harus dievaluasi, khususnya
dengan penentuan lokasi dan mekanisme cedera penetrasi. Luka tusukan yang kecil sangat
sering terlewatkan saat identifikasi. Pasien harus di log roll dan benar-benar terekspose dan
memeriksa daerah-daerah rawan seperti ketiak. Luka di Tengah dan luka perifer memiliki
implikasi yang berbeda. Luka penetran pada dada bagian bawah dibandingkan atas
menunjukkan potensi cedera struktur leher dan struktur abdomen di samping cedera dada.
Luka tusukan berbeda dari luka tembak dalam hal kedalaman luka dan tingkat kerusakan
organ sekitarnya. Luka pisau terbatas pada jalur tusukan pisau. Luka tembak, di sisi lain,
memberi energi kinetik ke jaringan sekitarnya yang dihasilkan oleh massa dan kecepatan
peluru (energi kinetik = massa kecepatan2). Selain cedera sepanjang jalan luka langsung,
cedera radial dihasilan oleh transfer energi kinetik ke jaringan sekitarnya. Luka penetran
dapat diklasifikasikan sebagai "transfer rendah energi" atau "transfer energi tinggi." [7] Secara
umum, luka pistol menghasilkan cedera perpindahan energi rendah dan senapan

menghasilkan cedera dengan perpindahan energi tinggi. Semua masalah ini harus cepat
dievaluasi dan dipertimbangkan dalam survei primer.

Cedera Dinding Dada


Dinding dada memberikan dukungan kaku dan perlindungan terhadap isi dada.
Cedera yang terbatas pada dinding dada sendiri jarang memerlukan intervensi bedah. Cedera
ini termasuk cedera pembuluh darah interkostal, yang dapat menghasilkan hemothorax, serta
luka pada arteri mamaria interna. Ini biasanya dikelola dengan mudah dengan ligasi atau
elektrokauter. Luka ledakan biasanya disebabkan oleh rudal-kecepatan tinggi, atau cedera
senapan, dapat menyebabkan hilangnya jaringan utama dari dinding dada, termasuk jaringan
lunak dan tulang . Cedera ini dapat ditutupi awalnya dengan perekat steridrapes atau Esmark
lembut menutupi disertai pemasangan chest tube untuk mencapai inflasi paru-paru dan
mengendalikan kebocoran udara. Tindakan definitif dari defek trauma berupa flap rotasional
atau free flap otot latissimus, pectoralis major, serratus anterior, atau omentum 6.

Cedera Penetran pada Trakea dan bronkial


Luka tembus ke trakea dan bronkus utama sering disertai dengan gangguan
pernapasan. Penatalaksanaan jalan nafas dan kontrol pernapasan dengan intubasi endotrakeal
untuk mencapai ventilasi yang memadai adalah target utama dalam penatalaksanaan. Luka
tembak adalah penyebab paling umum dari cedera saluran napas tengah, meskipun luka
tusukan juga mungkin. Luka tusukan yang melukai saluran napas lebih cenderung berada di
leher [24] [49]. Tanda-tanda cedera saluran napas termasuk emfisema subkutan, hemoptisis,
pneumotoraks, serta kebocoran udara pada pemasangan chest tube. Rontgen toraks dapat
mendeteksi

pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis paru atau lobus. Cedera

Intrapleural menghasilkan pneumothorax dan harus ditangani dengan segera dengan

pemasangan chest tube. Kebocoran udara yang besar harus meningkatkan kecurigaanadanya
cedera bronkial yang besar. Intubasi dan bronkoskopi adalah langkah pertama dalam
mengelola kecurigaan cedera bronkial . Cedera extrapleural atau mediastinum tidak dapat
bermanifestasi sebagai pneumotoraks melainkan sebagai udara mediastinum besar atau
emphysema subkutis 6.

Cedera paru dan hemothorax

Cedera paru sekunder karena trauma penetrasi dapat bervariasi dari laserasi pleura
atau parenkim kecil akibat luka tusukan sampai cedera paru akibat luka tembak. Evaluasi
awal, selain ABC, harus mencakup rontgen dada rutin pada pasien yang stabil. Pemeriksaan
fisik dapat diandalkan untuk mendeteksi hemothorax dan hemopneumothorax terutama pada
pasien yang stabil dengan gejala minimal. Pasien tanpa gejala dengan X-ray dada yang
normal dapat diobservasi dan dipulangkan selama interval waktu yang telah ditetapkan[20}.
Eksplorasi luka dan tractotomy luka dada tidak direkomendasikan karena berpotensi
menimbulkan pneumotoraks dan mencemari ruang pleura. Insersi tabung thoracostomy harus
dilakukan pada semua pasien dengan pneumotoraks atau temuan cairan pleura yang
disebabkan oleh trauma tembus bahkan jika ditemukan pneumotoraks yang kecil atau cairan
yang muncul minimal. Tabung thoracostomy memungkinkan pemantauan perdarahan dan
tanda tanda potensial untuk torakotomi. Selain itu, mencegah akumulasi gumpalan yang
kemudian dapat menggangu proses drainase sehingga memerlukan decortikasi. Pasien dengan
produksi chest tube minimal dan tidak ada kebocoran udara dapat dicabut pada hari pertama
perawatan dan dipulangkan. Perdarahan yang terus menerus

memerlukan tindakan

torakotomi atau thoracoscopy. Produksi darah yang banyak pada chest tube harus segera
dilakukan torakotomi.

Sebagian besar laserasi paru tidak memerlukan operasi dan bisa diobati oleh tabung
thoracostomy. Bahkan, 755 kasus luka tembus ke dada, (lebih dari setengahnya adalah luka
tembak), hanya 8% yang membutuhkan torakotomi
chest tube harus meningkatkan kecurigaan

[50]

. Kebocoran udara yang besar pada

cedera bronkial dan segera dilakukan

bronkoskopi dengan persiapan torakotomi .


Waktu dilakukannya torakotomi pada perdarahan massive pada trauma toraks bila
produksi chest tube > 1500 ml darah atau ditemukan produksi chest tube 250 ml darah/jam
selama 3 jam pertama setelah pemasangan 1,2,6.

Gawat Darurat Torakotomi (Emergency Department Thoracotomy)


Gawat darurat torakotomi (EDT) adalah prosedur drastis dengan utilitas terbatas.
Penggunaan utamanya adalah dalam pengelolaan pasien setelah cedera penetran dan, pada
tingkat lebih rendah, setelah cedera tumpul.
Tujuan terapi EDT termasuk kontrol perdarahan, efektifitas kompresi jantung, crossclamping hilus paru dalam kasus emboli udara atau fistula bronkopleural yang besar, relief
tamponade jantung, dan cross-clamping

aorta descenden untuk kontrol perdarahan

ekstrimitas bawah[9]. Bila mungkin, pasien harus distabilkan dan dibawa ke ruang operasi di
mana

fasilitas

yang

tersedia

untuk perawatan definitif.

Tingkat kelangsungan

hidup setelah EDT adalah sekitar 7%[10,11,12].


Ketika membuat keputusan untuk melakukan EDT, tiga faktor harus dipertimbangkan:
mekanisme cedera, besar lokasi cedera,dan tanda-tanda kehidupan. Hasil yang lebih baik
terlihat ketika dilakukan untuk cedera penetran (8% -10%) daripada cedera tumpul (sekitar
1%), dengan kelangsungan hidup terbesar terjadi ketika EDT dilakukan untuk luka tusukan
(18% -24%) daripada luka tembak (4% -5%) . Demikian juga, pada pasien dengan luka dada

tembus terisolasi memiliki kesempatan hidup yang lebih besar daripada pasien dengan cedera
multipel

[17,18].

Akhirnya, tidak adanya tanda-tanda kehidupan (teraba nadi, pupil atau refleks

muntah, tekanan darah dibuktikan) harus dipertimbangkan. Secara umum,pasien yang paling
mungkin untuk merespon positif untuk EDT termasuk korban penetran dengan tanda-tanda
kehidupan dibandingkan pasien yang kehilangan tanda-tanda kehidupan dalam waktu 10
menit dari sejak masuk UGD. Korban trauma tumpul tanpa tanda-tanda kehidupan saat tiba
di ruang gawat darurat memiliki tingkat kelangsungan hidup yg rendah, dan EDT tidak harus
dilakukan. Pedoman saat ini disediakan oleh American College of Surgeons Lanjutan Trauma
Life Support menganjurkan penggunaan EDT pada pasien dengan trauma dada penetrasi dan
aktivitas listrik jantung tetapi tidak dengan pulseless trauma tumpul atau trauma tembus tanpa
listrik jantung activity[21]. Perlu ditekankan bahwa EDT adalah prosedur bedah,dan tidak ada
peran untuk pericardiocentesis dipasien ini. Pericardiocentesis sering tidak efektif dalam
menghapus gumpalan darah dari ruang perikardial, itu bukan prosedur bebas risiko dan
berpotensi untuk terjadinya penundaan prosedur pembedahan, dan dengan penerapan
pemeriksaan,

FAST

diagnostik

penggunaan

prosedur

ini

diabaikan.

Begitu keputusan telah dibuat untuk campur tangan, sayatan standar torakotomi anterolateral
kiri yang memanjang dari sternum bawah puting ke linea midaxillaris. Setelah memasuki
ruang pleura, tangan digunakan untuk melindungi paru-paru, dan gunting yang digunakan
untuk

membuka

interkostal

ruang

sepanjang

sayatan.

Sebuah

retractor

dada

kemudianditempatkan dan dibuka. Jika diperlukan,lapangan operasi tambahan dapat


diperluas dengan menggunakan pisau bedah untuk membagi persimpangan costochondral
yang

kelima,

keempat,

dan

ketiga

atau sebaliknya, pisau Lebske atau gunting trauma dapat digunakan untuk membelah
sternum melintang. Setelah mengevakuasi darah dari dada, perhatian difokuskan pada untuk
cedera. Jika pembuluh besar terluka dan berdarah tekanan digunakan untuk menghambat

perdarahan. Jika emboli udara ditemukan,hilus paru dijepit atau paru-paru yang terkena
mungkin akan memutar 180 derajat dan udara di aorta dievakuasi.
Bila ditemukan hemopericardium, perikardium dapat dibagi secara longitudinal dari
akar aorta ke apeks jantung. Pada titik ini, tindakan harus diambil untuk mengidentifikasi dan
mengamankan saraf frenikus. Setelah hemopericardium dievakuasi, jantung dikeluarkan dari
kantong pericardial dan tekanan digital digunakan untuk mengontrol perdarahan. Perbaikan
sementara dilakukan dengan menggunakan jahitan atau staples. [22]. Volume intravaskular
dipulihkan,dan jika pasien merespon, ia dibawa ke ruang operasi untuk tindakan definitif.
Indications and Contraindications for Emergency Room Thoracotomy. *

Accepted Indications
Unresponsive hypotension (SBP <60 mm Hg)
Rapid exsanguination from indwelling chest tube (>1500 ml)
Traumatic arrest with previously witnessed cardiac activity (prehospital or inhospital) after penetrating thoracic injuries
Persistent hypotension (SBP <60 mm Hg) with diagnosed cardiac tamponade, air
embolism

Relative Indications
Traumatic arrest with previous witnessed cardiac activity (prehospital or in-hospital)
after blunt trauma
Traumatic arrest without previously witnessed cardiac activity (prehospital or inhospital) after penetrating chest injuries
Prehospital cardiopulmonary resuscitation less than 10 minutes in intubated patient,
5 minutes in nonintubated patient

Contraindications
Blunt thoracic injuries with no previously witnessed cardiac activity
Multiple blunt trauma
Severe head injury
* SBP, Systolic blood pressure.

BAB III
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Subjek Penelitian


Penderita yang datang ke UGD dan dirawat di Subbagian Bedah Kardiotorasik Rumah
Sakit Hasan Sadikin, Bandung.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Unit gawat darurat bedah dan Rawat inap bagian Subbagian Bedah Kardiotorasik
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
3.2.2 Waktu
Penelitian dilakukan kepada semua pasien trauma toraks yang datang ke Unit Gawat
Darurat Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung periode Satu Januari 2012 sampai dengan 31
Desember 2012.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif pada pasien cedera akibat trauma
penetran toraks di Subbagian Bedah Kardiotorasik RS Hasan Sadikin Bandung mulai Januari
2012 - Desember 2012 yang datanya diambil secara retrospektif dari arsip catatan rekam
medis penderita.

3.3.2Analisis Data
Dicari data pada pasien dari rekam medis, baik pria maupun wanita segala usia, yang
didiagnosa sebagai cedera toraks akibat trauma penetran toraks dan dirawat pada sub bagian
Bedah Kardiotorasik RSHS pada periode 1 Januari 2012 31 Desember 2012. Kemudian
dilakukan tabulasi dan analisis pada data yang didapat tersebut.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian

Usia rata-rata pasien 29.23 tahun berkisar antara 12 - 60 tahun

Tabel 1.

Distribusi

jenis

kelamin

pada

pasien

cedera

toraks

akibat

penetranselama periode Januari 2011 Desember 2012


Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan

Jumlah kasus
18
0

Tabel 2
Distribusi kasus berdasarkan jenis senjata yang digunakan

Tabel 3

%
100 %
0%

trauma

Cedera akibat trauma penetran Toraks selama periode Januari 2012 Desember
2012

Jenis Cedera

Jumlah

kasus
8
7
4

44.5
38.5
22

Rupture Diafragma

5.5

Syok Perdarahan

5.5

Hematopneumotoraks
Pneumotoraks
Fraktur Costa

Tabel 4
Distribusi jenis tindakan yang dilakukan pada pasien dengan trauma penetran
toraks selama periode Januari 2012 Desember 2012

Terapi
Chest

Jumlah kasus
18

Tube

%
100 %

Toracostomy
Torakotomy

0%

Laparotomi

6%

Tabel 5
Distribusi hasil pada pasien trauma penetran Toraks selama periode Januari 2012
Desember 2012
Hasil

Jumlah kasus

Meninggal

0%

Hidup

18

100 %

4.2 Pembahasan

Angka kejadian dari pasien cedera toraks akibat trauma pada penelitian ini adalah 71
kasus Angka kejadian dari pasien cedera toraks akibat trauma penetran pada penelitian ini
adalah 18 kasus. Semua kasus terjadi pada laki-laki. Hal ini sesuai dengan literatur dimana
dikatakan bahwa angka kejadian pada laki-laki lebih banyak daripada wanita.3
Cedera

yang

ditimbulkan

akibat

trauma

penetran

toraks

berupa

Hematopneumotoraks 8 kasus (44.5 % ), Pneumotoraks 7 kasus (34.5% ), fraktur tulang iga


4 kasus ( 22% ), rupture diafragma 1 kasus ( 5,5% ) dan syok perdarahan 1 kasus ( 5,5% ).
Hal ini sesuai dengan literatur dimana dikatakan hematotoraks merupakan cedera yang paling
sering didapatkan pada trauma penetran toraks 3. Hal ini akan ditentukan oleh mekanisme
dan lokasi trauma penetran itu sendiri.

Terapi pada pasien dengan cedera toraks akibat trauma penetran yang paling banyak
dilakukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung adalah Tindakan operatif berupa
pemasangan chest tube toracostomy 18 kasus ( 100 % ) dan repair diafragma per laparotomi
1 kasus ( 6% ).1,2,3,4,5,6
Pada hasil terlihat bahwa jumlah pasien yang hidup sebanyak 18 kasus ( 100% ).

BAB V KESIMPULAN

Didapatkan 18 kasus cedera toraks akibat trauma penetran toraks dengan


usia rata-rata terjadinya cedera adalah 25,34 tahun, semua kasus terjadi
pada laki-laki.

Cedera toraks yang paling sering

pada trauma penetran toraks

adalah

hematopneumotoraks (44.5%).
-

Didapatkan penatalaksanaan cedera toraks akibat trauma penetran toraks


pada penelitian ini

yang paling banyak dilakukan adalah pemasangan

Chest Tube Toracostomy (100%).


-

Penatalaksanaan awal pada pasien pasien trauma penetran toraks di Rumah


Sakit Hasan Sadikin Bandung saat ini sudah tepat dan secara signifikan
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien trauma penetran
toraks.

DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartzs et al, Principles of Surgery. Eight edition. McGraw-Hill. USA 2008.

2. Mattox L, Kenneth et al.Trauma. 6th edition.The McGraw-Hill Companies, USA.


2008
3. ATLS 2008
4. Editors: Shields, MD, Thomas W.; LoCicero, Joseph; Reed, Carolyn E.; Feins,
Richard H. Title: General Thoracic Surgery, 7th Edition ,Copyright 2009
Lippincott Williams & Wilkins
5. Agur, Anne M.R.; Dalley, Arthur F. Grant's Atlas of Anatomy, 12th Edition, 2009
Lippincott Williams & Wilkins
6. Sellke: Sabiston & Spencer Surgery of the Chest, 7th ed., 2005 Saunders, An
Imprint of Elsevier
7. Ryan JM, Rich NM, Dale RF, et al: Biophysics and pathophysiology of
penetrating injury. Ballistic Trauma: Clinical Relevance in Peace and War,
Oxford, UK: Oxford University Press; 1997.
8. Brown 3rd PF, Larsen CP, Symbas PN: Penatalaksanaant of the asymptomatic
patient with a stab wound to the chest. S Med J 1991; 84:591-593.

Anda mungkin juga menyukai