Disusun oleh:
Wilner Singarimbun, dr.
Pembimbing:
Rama Nusjirwan, dr., SpBTKV(K)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
: Wilner Singarimbun
: PPDS-1 Bedah Umum
:
Mengetahui:
Pembimbing:
___________________________
Rama Nusjirwan,dr., SpBTKV (K)
Ilmu Bedah
FINACS
Fakultas Kedokteran
UNPAD/RSUP Hasan Sadikin
Bandung
___________________________
Bandung
___________________________
Nurhayat Usman, dr. SpB-KBD,
FINACS
ABSTRAK
Latar belakang :Trauma toraks merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada pasien pasien trauma di RSHS. Cedera toraks mencatat angka sekitar 20%
-25% dari seluruh kasus trauma (2,3). Trauma penetran toraks hampir mencapai 33% dari
jumlah seluruh kasus trauma dada di AS (2) . Kasus trauma penetras menjadi masalah
kesehatan terutama di negara negara berkembang seiring dengan peningkatan angka
kekerasan dalam masyarakat (4,5). Mekanisme trauma penetran toraks terbanyak berupa
tusukan dengan benda tajam lalu diikuti dengan luka tembak. Pengenalan dini dan
pengobatan yang tepat waktu, teknik resusitasi yang baik, perawatan pra operasi, dan
prosedur bedah yang efektif bisa signifikan meningkatkan outcome yang positif pada pasien
trauma penetran toraks (2).
Tujuan : Untuk menganalisis pola dari trauma penetran toraks, penatalaksanaant dan teknik
yang digunakan dan memberikan kontribusi data lebih lanjut pada kasus kasus trauma
penetran toraks melalui kasus kasus trauma penetrans toraks yang ditangani di RS Hasan
Sadikin Bandung periode Januari 2012 Desember 2012.
Metode : Penelitian ini dilakukan di Divisi Bedah Kardiotorasik Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung pada periode 1 Januari 2012 sampai 31 Desember 2012. Data diperoleh dari catatan
rekam medis pasien-pasien yang dirawat dengan cedera akibat trauma penetran toraks.
Hasil : Didapatkan 71 kasus cedera akibat trauma toraks dengan trauma penetran toraks
sebanyak 18 kasus (26,35%) dan trauma tumpul toraks sebanyak 53 kasus ( 73,65 %) dengan
usia rata-rata 29,23 tahun (dari 12-60 tahun). Pada kasus trauma penetran yang dilaporkan ,18
orang (100%) terjadi pada laki-laki . Waktu antara kejadian sampai tiba di unit gawat darurat
berkisar antara 1 72 jam dengan rata-rata 2,45 jam. Regio toraks yang terkena tusukan
paling banyak pada daerah toraks bagian anterior ( 9 kasus ), toraks bagian posterior ( 8
kasus) dan toraks bagian lateral (1 kasus ). Cedera yang ditimbulkan akibat trauma penetran
toraks berupa Hematopneumotoraks ( 8 kasus ), Pneumotoraks ( 7 kasus ), fraktur tulang iga (
4 kasus ), ruptur diafragma ( 1 kasus ) dan syok perdarahan (1 kasus). Jenis senjata yang
digunakan berupa senjata tajam ( 16 kasus ) dan senjata api ( 2 kasus ). Penatalaksanaan awal
yang dilakukan di unit gawat darurat berupa pemasangan chest tube toracostomy ( 15 kasus ),
suture primer ( 1 kasus ) dan repair diafragma per laparotomi ( 1 kasus ). Tidak ada tindakan
torakotomi yang dilakukan pada kasus ini. Tidak didapatkan adanya mortalitas pada
penelitian ini (0%).
Kesimpulan : Dari semua kasus cedera penetran toraks yang ditangani di Rumah Sakit
Hasan Sadikin periode 1 Januari 2012 31 Desember 2012 disimpulkan bahwa
penatalaksaan trauma penetran toraks di Rumah Sakit Hasan Sadikin sudah tepat dan sesuai
dengan guidelines menurut Advanced Trauma Life Support (ATLS) dan signifikan dalam
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada pasien pasien dengan trauma penetran
toraks.
Kata kunci: trauma toraks, trauma penetran toraks, cedera toraks
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma mungkin merupakan kejadian penyakit yang tertua umat manusia dan
riwayat trauma itu sendiri adalah mungkin setua pengobatannya. Salah satu tulisan awal
tentang cedera dada ditemukan di Edwin Smith Papirus, ditulis pada 3000 SM, yang
menggambarkan kasus trauma penetran toraks
(1)
umum kematian dan kecacatan, dan merupakan penyebab utama kematian di 3 dekade
(1,2)
awal hidup
trauma
(2,3).
. Cedera toraks mencatat angka sekitar 20% -25% dari seluruh kasus
Trauma penetran toraks hampir mencapai 33% dari jumlah seluruh kasus
trauma dada
(2)
(2,6)
. Hal ini lebih sering terjadi pada pria karena kecenderungan mereka untuk
kekerasan dan mekanisme cedera biasanya luka tembak atau luka tusuk. Sebagian besar
penatalaksanaan trauma penetran toraks
torakostomy. Dari beberapa sumber data dikatakan hanya 15-20% dari trauma penetran
toraks yang diakibatkan luka tembak (GSW) membutuhkan torakotomi. Namun,
pemilihan pasien yang membutuhkan thoracotomy tidak selalu mudah dan ada banyak
kontroversi terkai indikasi untuk operasi atau observasi. Pengenalan dini dan pengobatan
yang tepat waktu, teknik resusitasi yang baik, perawatan pra operasi, dan prosedur
bedahyang efektif bisa signifikan meningkatkan outcome pada pasien trauma penetran
toraks (2).Penelitian telah menunjukkan chest tube thoracostomy menjadi modalitas utama
untuk mengelola nonmediastinal,dada cedera perifer, dengan kejadian yang sangat
rendah untuk torakotomi
(2,7).
dada tembus, termasuk penyebab dan teknik yang digunakan dalam penatalaksanaan, dan
untuk menambahkan data lebih lanjut tentang pengetahuan trauma penetrans toraks.
Komplikasi yang paling sering mengancam nyawa baik dari trauma toraks baik
tumpul maupun tajam adalah hemothorax, pneumotoraks, atau kombinasi keduanya.
Sekitar 85% pasien ini dapat diobati secara definitif dengan chest tube(1). Menurut
Nasional Trauma Data Bank Amerika Serikat, penerimaan karena trauma telah terus
tumbuh dalam dekade terakhir(2,3) yaitu sekitar 12 per juta penduduk per hari dan 20
-25% kematian terjadi karena trauma di Amerika Serikat adalah karena cedera toraks(4).
Cedera dada memiliki tingkat signifikan untuk morbiditas dan mortalitas, khususnya jika
disertai dengan cedera lainnya seperti cedera pada organ lain. Beberapa abad terakhir,
terjadi peningkatan yang cukup besar dalam perawatan trauma toraks dan hasilnya,
terutama karena ketersediaan ventilasi tekanan positif, pengenalan akan Antibiotik
spektrum luas , perkembangan teknik radiologi yang lebih baik, perkembangan
emergensi torakotomi dan perawatan intensif post operatif.
Maksud Penelitian :
Untuk menganalisis pola dari trauma penetran toraks, penatalaksanaan dan teknik
yang digunakan dan memberikan kontribusi data lebih lanjut pada kasus kasus trauma
penetran toraks melalui kasus kasus trauma penetrans toraks yang ditangani di RS Hasan
Sadikin Bandung periode Januari 2012 Desember 2012.
Tujuan Penelitian :
Untuk memberikan kontribusi data lebih lanjut pada kasus kasus trauma penetran
toraks melalui kasus kasus trauma penetrans toraks yang ditangani di RS Hasan Sadikin
Bandung periode Januari 2012 Desember 2012.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi
Komponen tulang dan jaringan ikat bersatu membentuk struktur anatomis rongga
toraks yang menaungin beberapa organ organ vital tubuh. Rangka toraks membentuk
ruang yang melindungi jantung yang melindungi paru-paru sekalian juga berkontribusi
dalam fungsi pernafasan.
Anatomi Permukaan toraks
Dinding toraks anterior memiliki beberapa batas khusus. Sebelah lateral atas dari
suprasternal notch,clavicula melengkung ke depan lalu ke belakang melewati bahu. Pada
pasien yang kurus,batas terbawah dari lengkung costa dapat dilihat memanjang bilateral
dari bagian inferior sternum. M.sternocleidomastoideus memanjang diagnonal dari
bagian atas permukaan anterior manubrium dan 1/3 medial clavicula pada dasar kepala 1.
Pada pria, puting susu berada pada batas bawah m.pectoralis mayor,lateral dari linea
mudclavicula, berada diatas intercostal space 4. Posisi puting susu beragam pada wanita
karena adanya perbedaan ukuran payudara yang biasanya berada antara costa 2-6.
Axillary tail memanjang keatas menuju axilla sejajar batas bawah m.pectoralis mayor.
Beberapa garis garis yang dijakdikan referensi untuk menentukan posisi dari dinding
dada. Linea midsternal adalah garis yang paling umum dan dapat dapat diidentifikasi
dengan mudah. Linea midclavicular melalui dari pertengahan clavicula membentang
anterior dinding dada. Linea axillaris anterior adalah garis yang memanjang secara
kaudal dari batas anterior axilla. Linea mixaxillaris merupakan garis penanda aspek
lateral dinding dada 1. Dinding anterolateral toraks dipersarafi oleh n.supraclavicular dan
ujung serabut saraf dari saraf spinalis torakal. Sisa dinding toraks yang lain dipersarafi
oleh cabang anterior dan lateral cutaneous dari saraf spinalis torakalis.
Aspek posterior dari toraks sebagian besar ditutupi oleh otot otot superficial dari
punggung. Batas medial dari setiap skapula berada lateral dari midline sekitar costa 2-7.
Kulit punggung dipersarafi oleh cabang dari cutaneous media dari ramus dorsalis C4, C5,
C8 dan T2 dan dari cabang medial dan lateral n.cutaneous.
Organ intratorak
Pericardium fibrosa,berada pada bagian parietal dari perikardium serosa,yang bila
dibuka pada bagian anterior akan mengekspose jantung dan pembuluh darah besar. Paru
kanan terdiri dari 3 lobus yaitu lobus superior,medial dan inferior. Lobus superior dan medial
dipisahkan oleh fissura horisontal. Lobus medial dan inferior dipisahkan oleh fissura oblique.
Paru kiri terdiri dari 2 lobus yaitu lobus superior dan inferior yang dipisahkan oleh fissura
oblique.
Trauma toraks digambarkan berupa trauma tumpul atau trauma penetran pada toraks.
Protokol penatalaksanaant berdasarkan Advance Trauma Life Support (ATLS) saat ini masih
merupakan patokan untuk penatalaksanaant trauma toraks. 12 cedera yang mengancam jiwa
dapat dialami pada pasien pasien dengan cedera toraks. 6 diantaranya harus didiagnosis
dengan cepat karena berpotensi untuk menyebabkan kamatian yang cepat antara lain
obstruksi jalan nafas, tension pneumotoraks, flail chest, cardiac tamponade, open
pneumotoraks dam massive hematotoraks (lethal six). Enam cedera lainnya dapat
menyebabkan delayed death berupa komplikasi lanjut
disruption, kontusio paru, traumatic disruption of the aorta, blunt cardiac injury, perforasi
esophagus dan diafragmatic tear (hidden six).
Fraktur tulang iga merupakan cedera yang paling sering ditemukan pada trauma
toraks dan biasanya disertai dengan cedera toraks yang lain. Pneumotoraks menduduki
peringkat kedua setelah fraktur tulang iga dan ditemukan pada 40-50 % pasien pasien dengan
cedera toraks. Trauma toraks dapat berdiri sendiri ataupun ditemukan bersamaan dengan
trauma orthopaedic, neurologic atau trauma abdomen. Pasien Multiple trauma yang disertai
dengan trauma toraks membutuhkan periode ventilasi mekanik dan perawatan intensif yang
lebih lama dibandingkan dengan pasien pasien tanpa cedera toraks.
90% dari semua cedera toraks akibat trauma dapat diobati secara konservatif dengan
analgetik, oksigenasi, pemasangan drainase dengan chest tube dan secretolisis. 10% sisanya
membutuhkan terapi pembedahan.
2.1.1. Defenisi
Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan atau organ intra
toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam. Memahami kinematis
dari trauma akan meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma
sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan segera(Kukuh, 2002; David, 2005).
Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga abdomen
yang dibatasi oleh diafragma, dan batas atas dengan bawah leher dapat diraba incisura
jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu: m.latissimus dorsi, m.trapezius,
m.rhomboideus mayor dan minor, m.serratus anterior, dan m.intercostalis. Tulang dinding
dada terdiri dari sternum, vertebra torakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak di dalam
rongga toraks : paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah besar, saraf dan
sistem limfatik (Kukuh, 2002).
2.1.2. Epidemiologi
Trauma toraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan kondisi
sosial ekonomi masyarakat di Indonesia. Data yang akurat mengenai trauma toraks di
Indonesia belum pernah diteliti. Di Bagian Bedah FKUI/RSUPNCM pada tahun 1981
didapatkan 20% dari pasien trauma mengenai trauma toraks. Di Amerika didapatkan 180.000
kematian pertahun karena trauma. 25% diantaranya karena trauma toraks langsung. Di
Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga toraks. Dengan adanya trauma pada
toraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan trauma. Pneumotoraks,
hematotoraks, kontusio paru dan flail chest dapat meningkatkan kematian : 38%,42%,56%
dan 69% (Eggiimann, 2005; Jean, 2005).
2.1.3. Etiologi
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan trauma tajam.
Penyebab trauma toraks tersering adalah oleh karena kecelakaan kendaraan bermotor (6378%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu
depan, samping, belakang, berputar dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan
untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang
berbeda. Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3, berdasarkan
tingkat energinya yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi rendah, berenergi sedang
dengan kecepatan kurang dari 1500 kaki per detik (seperti pistol) dan trauma toraks oleh
karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer) dengan kecepatan melebihi 3000 kaki per
detik. Penyebab trauma toraks yang lain oleh karena adanya tekanan yang berlebihan pada
paru-paru bisa menimbulkan pecah atau pneumotoraks (seperti pada scuba) (David.A, 2005;
Sjamsoehidajat, 2003).
menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan dan stres. Kompresi terjadi ketika
jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan terjadi ketika jaringan kulit terpisah dan
stres merupakan tempat benturan pada jaringan kulit yang bergerak berhubungan dengan
jaringan kulit yang tidak bergerak. Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat
ringan sampai berat tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan
anatomi yang ringan berupa jejas pada dinding toraks, fraktur kosta simpel. Sedangkan
kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple dengan komplikasi,
pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio paru. Trauma yang lebih berat menyebabkan
perobekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada jantung(ATLS, 2004; Kukuh,
2002). Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat menganggu
fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Gangguan sistem
pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya.
Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan
gangguan mekanik/alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah
gangguan faal jantung dan pembuluh darah(ATLS, 2004; Kukuh, 2002; David.A,2005).
peluru, sedangkan untuk energi tinggi akan lebih besar lagi, demikian juga
kerusakan jaringan yang ditimbulkannya akan lebih besar lagi. Hal-hal lain yang
mempengaruhi keparahan cidera adalah hambatan udara dan jarak. Tahanan udara
akan memperlambat kecepatan peluru. Semakin jauh jarak tembak, akan semakin
mengurangi kecepatan peluru, sehingga kerusakan yang ditimbulkannya akan
berkurang. Sebagian kasus penembakan dilakukan dari jarak dekat dengan pistol,
sehingga memungkinkan cedera serius cukup besar 7.
Kecepatan dari missile merupakan faktor yang paling signifikan dalam proses
terbentuknya luka. Hubungan
Evaluasi dan
berdasarkan distribusi anatomi yang terkena ( dinding dada, pembuluh darah besar dan
struktur pembuluh darah besar lainnya, trakea dan bronkus utama, parenkim paru, jantung,
kerongkongan, dan diafragma). Masing-masing struktur ini dapat terluka secara tersendiri
maupun kombinasi dengan struktur intratoraks atau extratoraks lainnya 6. Evaluasi cedera
toraks memerlukan pendekatan yang sistematis didasarkan pada anatomi agar cepat
mengidentifikasi cedera dan memulai terapi. Yang terpenting dalam penatalaksanaan adalah
penilaian yang cepat dan evaluasi tingkat cedera pasien. Pasien yang "stabil" dapat
mengalami perburukan dengan cepat melalui tension pneumothorax, tamponade perikardial,
serta perdarahan intrathoracic besar 6.
Setelah survei primer awal dilakukan, kecacatan pasien harus dievaluasi, khususnya
dengan penentuan lokasi dan mekanisme cedera penetrasi. Luka tusukan yang kecil sangat
sering terlewatkan saat identifikasi. Pasien harus di log roll dan benar-benar terekspose dan
memeriksa daerah-daerah rawan seperti ketiak. Luka di Tengah dan luka perifer memiliki
implikasi yang berbeda. Luka penetran pada dada bagian bawah dibandingkan atas
menunjukkan potensi cedera struktur leher dan struktur abdomen di samping cedera dada.
Luka tusukan berbeda dari luka tembak dalam hal kedalaman luka dan tingkat kerusakan
organ sekitarnya. Luka pisau terbatas pada jalur tusukan pisau. Luka tembak, di sisi lain,
memberi energi kinetik ke jaringan sekitarnya yang dihasilkan oleh massa dan kecepatan
peluru (energi kinetik = massa kecepatan2). Selain cedera sepanjang jalan luka langsung,
cedera radial dihasilan oleh transfer energi kinetik ke jaringan sekitarnya. Luka penetran
dapat diklasifikasikan sebagai "transfer rendah energi" atau "transfer energi tinggi." [7] Secara
umum, luka pistol menghasilkan cedera perpindahan energi rendah dan senapan
menghasilkan cedera dengan perpindahan energi tinggi. Semua masalah ini harus cepat
dievaluasi dan dipertimbangkan dalam survei primer.
pemasangan chest tube. Kebocoran udara yang besar harus meningkatkan kecurigaanadanya
cedera bronkial yang besar. Intubasi dan bronkoskopi adalah langkah pertama dalam
mengelola kecurigaan cedera bronkial . Cedera extrapleural atau mediastinum tidak dapat
bermanifestasi sebagai pneumotoraks melainkan sebagai udara mediastinum besar atau
emphysema subkutis 6.
Cedera paru sekunder karena trauma penetrasi dapat bervariasi dari laserasi pleura
atau parenkim kecil akibat luka tusukan sampai cedera paru akibat luka tembak. Evaluasi
awal, selain ABC, harus mencakup rontgen dada rutin pada pasien yang stabil. Pemeriksaan
fisik dapat diandalkan untuk mendeteksi hemothorax dan hemopneumothorax terutama pada
pasien yang stabil dengan gejala minimal. Pasien tanpa gejala dengan X-ray dada yang
normal dapat diobservasi dan dipulangkan selama interval waktu yang telah ditetapkan[20}.
Eksplorasi luka dan tractotomy luka dada tidak direkomendasikan karena berpotensi
menimbulkan pneumotoraks dan mencemari ruang pleura. Insersi tabung thoracostomy harus
dilakukan pada semua pasien dengan pneumotoraks atau temuan cairan pleura yang
disebabkan oleh trauma tembus bahkan jika ditemukan pneumotoraks yang kecil atau cairan
yang muncul minimal. Tabung thoracostomy memungkinkan pemantauan perdarahan dan
tanda tanda potensial untuk torakotomi. Selain itu, mencegah akumulasi gumpalan yang
kemudian dapat menggangu proses drainase sehingga memerlukan decortikasi. Pasien dengan
produksi chest tube minimal dan tidak ada kebocoran udara dapat dicabut pada hari pertama
perawatan dan dipulangkan. Perdarahan yang terus menerus
memerlukan tindakan
torakotomi atau thoracoscopy. Produksi darah yang banyak pada chest tube harus segera
dilakukan torakotomi.
Sebagian besar laserasi paru tidak memerlukan operasi dan bisa diobati oleh tabung
thoracostomy. Bahkan, 755 kasus luka tembus ke dada, (lebih dari setengahnya adalah luka
tembak), hanya 8% yang membutuhkan torakotomi
chest tube harus meningkatkan kecurigaan
[50]
ekstrimitas bawah[9]. Bila mungkin, pasien harus distabilkan dan dibawa ke ruang operasi di
mana
fasilitas
yang
tersedia
Tingkat kelangsungan
tembus terisolasi memiliki kesempatan hidup yang lebih besar daripada pasien dengan cedera
multipel
[17,18].
Akhirnya, tidak adanya tanda-tanda kehidupan (teraba nadi, pupil atau refleks
muntah, tekanan darah dibuktikan) harus dipertimbangkan. Secara umum,pasien yang paling
mungkin untuk merespon positif untuk EDT termasuk korban penetran dengan tanda-tanda
kehidupan dibandingkan pasien yang kehilangan tanda-tanda kehidupan dalam waktu 10
menit dari sejak masuk UGD. Korban trauma tumpul tanpa tanda-tanda kehidupan saat tiba
di ruang gawat darurat memiliki tingkat kelangsungan hidup yg rendah, dan EDT tidak harus
dilakukan. Pedoman saat ini disediakan oleh American College of Surgeons Lanjutan Trauma
Life Support menganjurkan penggunaan EDT pada pasien dengan trauma dada penetrasi dan
aktivitas listrik jantung tetapi tidak dengan pulseless trauma tumpul atau trauma tembus tanpa
listrik jantung activity[21]. Perlu ditekankan bahwa EDT adalah prosedur bedah,dan tidak ada
peran untuk pericardiocentesis dipasien ini. Pericardiocentesis sering tidak efektif dalam
menghapus gumpalan darah dari ruang perikardial, itu bukan prosedur bebas risiko dan
berpotensi untuk terjadinya penundaan prosedur pembedahan, dan dengan penerapan
pemeriksaan,
FAST
diagnostik
penggunaan
prosedur
ini
diabaikan.
Begitu keputusan telah dibuat untuk campur tangan, sayatan standar torakotomi anterolateral
kiri yang memanjang dari sternum bawah puting ke linea midaxillaris. Setelah memasuki
ruang pleura, tangan digunakan untuk melindungi paru-paru, dan gunting yang digunakan
untuk
membuka
interkostal
ruang
sepanjang
sayatan.
Sebuah
retractor
dada
kelima,
keempat,
dan
ketiga
atau sebaliknya, pisau Lebske atau gunting trauma dapat digunakan untuk membelah
sternum melintang. Setelah mengevakuasi darah dari dada, perhatian difokuskan pada untuk
cedera. Jika pembuluh besar terluka dan berdarah tekanan digunakan untuk menghambat
perdarahan. Jika emboli udara ditemukan,hilus paru dijepit atau paru-paru yang terkena
mungkin akan memutar 180 derajat dan udara di aorta dievakuasi.
Bila ditemukan hemopericardium, perikardium dapat dibagi secara longitudinal dari
akar aorta ke apeks jantung. Pada titik ini, tindakan harus diambil untuk mengidentifikasi dan
mengamankan saraf frenikus. Setelah hemopericardium dievakuasi, jantung dikeluarkan dari
kantong pericardial dan tekanan digital digunakan untuk mengontrol perdarahan. Perbaikan
sementara dilakukan dengan menggunakan jahitan atau staples. [22]. Volume intravaskular
dipulihkan,dan jika pasien merespon, ia dibawa ke ruang operasi untuk tindakan definitif.
Indications and Contraindications for Emergency Room Thoracotomy. *
Accepted Indications
Unresponsive hypotension (SBP <60 mm Hg)
Rapid exsanguination from indwelling chest tube (>1500 ml)
Traumatic arrest with previously witnessed cardiac activity (prehospital or inhospital) after penetrating thoracic injuries
Persistent hypotension (SBP <60 mm Hg) with diagnosed cardiac tamponade, air
embolism
Relative Indications
Traumatic arrest with previous witnessed cardiac activity (prehospital or in-hospital)
after blunt trauma
Traumatic arrest without previously witnessed cardiac activity (prehospital or inhospital) after penetrating chest injuries
Prehospital cardiopulmonary resuscitation less than 10 minutes in intubated patient,
5 minutes in nonintubated patient
Contraindications
Blunt thoracic injuries with no previously witnessed cardiac activity
Multiple blunt trauma
Severe head injury
* SBP, Systolic blood pressure.
BAB III
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.3.2Analisis Data
Dicari data pada pasien dari rekam medis, baik pria maupun wanita segala usia, yang
didiagnosa sebagai cedera toraks akibat trauma penetran toraks dan dirawat pada sub bagian
Bedah Kardiotorasik RSHS pada periode 1 Januari 2012 31 Desember 2012. Kemudian
dilakukan tabulasi dan analisis pada data yang didapat tersebut.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Tabel 1.
Distribusi
jenis
kelamin
pada
pasien
cedera
toraks
akibat
Jumlah kasus
18
0
Tabel 2
Distribusi kasus berdasarkan jenis senjata yang digunakan
Tabel 3
%
100 %
0%
trauma
Cedera akibat trauma penetran Toraks selama periode Januari 2012 Desember
2012
Jenis Cedera
Jumlah
kasus
8
7
4
44.5
38.5
22
Rupture Diafragma
5.5
Syok Perdarahan
5.5
Hematopneumotoraks
Pneumotoraks
Fraktur Costa
Tabel 4
Distribusi jenis tindakan yang dilakukan pada pasien dengan trauma penetran
toraks selama periode Januari 2012 Desember 2012
Terapi
Chest
Jumlah kasus
18
Tube
%
100 %
Toracostomy
Torakotomy
0%
Laparotomi
6%
Tabel 5
Distribusi hasil pada pasien trauma penetran Toraks selama periode Januari 2012
Desember 2012
Hasil
Jumlah kasus
Meninggal
0%
Hidup
18
100 %
4.2 Pembahasan
Angka kejadian dari pasien cedera toraks akibat trauma pada penelitian ini adalah 71
kasus Angka kejadian dari pasien cedera toraks akibat trauma penetran pada penelitian ini
adalah 18 kasus. Semua kasus terjadi pada laki-laki. Hal ini sesuai dengan literatur dimana
dikatakan bahwa angka kejadian pada laki-laki lebih banyak daripada wanita.3
Cedera
yang
ditimbulkan
akibat
trauma
penetran
toraks
berupa
Terapi pada pasien dengan cedera toraks akibat trauma penetran yang paling banyak
dilakukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung adalah Tindakan operatif berupa
pemasangan chest tube toracostomy 18 kasus ( 100 % ) dan repair diafragma per laparotomi
1 kasus ( 6% ).1,2,3,4,5,6
Pada hasil terlihat bahwa jumlah pasien yang hidup sebanyak 18 kasus ( 100% ).
BAB V KESIMPULAN
adalah
hematopneumotoraks (44.5%).
-
DAFTAR PUSTAKA