Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN TUTORIAL BLOK TRAUMATOLOGI SKENARIO 1 Sesak Nafas dan Patah Tulang Setelah Kecelakaan

Kelompok A2 :

Aisah Kusumaning A. Aulia Muhammad Fikri Egtheastraqita C. Fitri Febrianti R. Nisau Luhtfi Nur A. Sausan Hana Maharani Arga Scorpianus Chendy Endriansa Itqan Ghozali Septian Sugiarto Anandhita Ayu T.

(G0011009) (G0011045) (G0011081) (G0011 095) (G0011151) (G0011193) (G0011035) (G0011059) (G0011119) (G0011195) (G0010017)

Tutor : dr. Balqis PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2014

BAB I PENDAHULUAN

Skenario 1 Sesak Nafas dan Patah Tulang Setelah Kecelakaan Saat sedang bertugas jaga IGD, dokter jaga TRIAGE mendapat pasien korban kecelakaan lalu-lintas seorang laki-laki berusia 22 tahun diantar oleh tukang becak. Pasien sadar, mengeluh nyeri dada, sesak nafas yang semakin bertambah, dan kaki kanan tidak dapat digerakkan. Dokter dibantu perawat segera melakukan primary survey dan secondary survey. Menurut keterangan pengantar, 2 jam SMRS pasien mengandarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi, menabrak jembatan ketika menghindari penyebrang jalan. Penderita terjungkal dan jatuh dari motor, dada terbentur stang motor dan kaki tertimpa motor. Dari pemeriksaan fisik, kesadaran GCS 15. Nafas cepat dan dangkal, suara tambahan 110 x/mnt, tekanan darah 100/70 mmHg, suhu 37,0OC, RR 30x/menit. Terdapat jejas pada hemithorax kanan, pergerakan dada kanan tertinggal, perkusi hipersonor, auskultasi vesiculer menurun, emfisema sub cutis (+). Femur dexter terdapat luka terbuka sepanjang 3 cm, perdarahan aktif (+), fat globule (+), oedem (+), deformitas (+) , angulasi (+), nyeri tekan (+), dan krepitasi (+). Dokter melakukan bebat tekan, realignment femur, dan imobilisasi. Dokter IGD menduga adanya pneumothorax ventil dan berencana untuk melakukan thorakosintesis segera. Keluarga pasien belum ada yang datang. Sambil menunggu keluarga, dokter melakukan informed consent, permintaan cek lab darah dan radiologi.

Hemothorax Akumulasi darah di dalam cavum pleura dapat disebabkan karena perdarahan dari dinding dada (contohnya, laserasi pembuluh darah intercostal yang berpotensi pada fraktur elemen dinding dada) atau perdarahan dari parenkim paru atau pembuluh darah mayor di bagian thorax. Pasien mengeluh nyeri dan dispnea. Temuan pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi sesuai tingkatan hemothorax. Sebagian besar hemothorax berkaitan dengan penuruanan suara pernafasan dan perkusi pekak pada area yang terkena. Hemothorax yang masif akibat cedera vaskular muncul dengan temuan pada pemeriksaan fisik tersebut dan berbagai tingkat ketidakstabilan hemodinamik. Hemothorax dievakuasi dengan tabung thorakostomi. Tabung dada multipel mungkin digunakan. Pengontrol nyeri dan toilet paru agresif disediakan. Output tabung dada dimonitor secara mendalam karena indikasi untuk operasi dapat berdasarkan drainase tabung dada pada saat pertama (initial) dan kumulatif per jam. Hal ini karena output awal yang besar dan output meningkat secara terus menerus per jam yang berkenaan dengan cedera vaskular thorax yang memerlukan tindakan operasi. Hemothorax yang besar mungkin memerlukan tindakan operasi untuk evakuasi untuk memperluas paru-paru dan untuk mencegah perkembangan komplikasi lain seperti fibrothorax dan empyema. Pendekatan thorakoskopik telah berhasil dalam penatalaksaan kasus ini (Mancini, 2012).

Triage di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Triase di UGD rumah sakit harus selesai dilakukan dalam 15-20 detik oleh staf medis atau non-medis (melalui training) sesegara mungkin setelah pasien datang. Tidak diperlukan peralatan khusus untuk melakukan triase. Begitu tanda kegawatdaruratan teridentifikasi, penatalaksanaan dapat segera diberikan untuk menstabilkan kondisi pasien. Sebagai contoh, WHO mengembangkan guideline Emergency Triage Assessment and Treatment (ETAT) yang diadaptasi dari guideline Advanced Paediatric Life Support (APLS). ETAT mengidentifikasi pasien anak dengan tanda gawat

darurat (emergency sign) yang paling sering terjadi di negara berkembang yang harus diutamakan untuk mendapatkan pertolongan segera, meliputi ABCD : Obstruksi jalan nafas (Airway), Penyakit saluran nafas lain seperti infeksi, dan penyakit lain yang mengakibatkan distress pernafasan berat (Breathing), Shock atau gangguan sirkulasi (Circulation), Gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti konvulsi dan koma (Convulsion dan Coma) Dehidrasi berat (Dehydration)

Selain kelompok di atas, terdapat kelompok pasien dengan tanda prioritas (priority sign) yang perlu mendapat pertolongan segera tapi bukan keadaan emergency, yaitu: Bayi usia kurang dari 2 bulan Demam sangat tinggi Trauma yang memerlukan pembedahan segera Tampak sangat pucat Keracunan Nyeri hebat Distress pernafasan Gelisah, irritable, atau letargia Rujukan dari tenaga medis atau rumah sakit lain Malnutrisi berat Oedema kedua kaki Luka bakar luas

Prosedur triase 1. Menilai adakah tanda emergency (ABCD) 2. Penatalaksanaan segera diberikan begitu teridentifikasi satu tanda emergency. Jika terdapat tanda A, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan mencari tanda B. Jika terdapat tanda B, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan mencari tanda C. Jika terdapat tanda C, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan mencari tanda D.

Jika terdapat tanda D, atasi.

3. Bila tidak terdapat tanda emergency, dilanjutkan dengan penilaian adakah tanda prioritas. 4. Tempatkan pasien sesuai prioritasnya. Bila pasien mempunyai tanda prioritas, maka pasien ditempatkan di ururtan depan penanganan. Sementara menunggu, pasien dapat diberikan terapi suportif. 5. Pasien yang tidak mempunyai tanda emergency atau tanda prioritas kembali ke antrian untuk menunggu perawatan. 6. Berpindah ke pasien berikutnya.

Tabel 1 Mengenal tanda emergency. Sumber: Setijanto, Eko dan Tim Skills Lab FK UNS Surakarta (2014). Buku Pedoman Keterampilan Klinis Semester 6. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Triage masal/ triage bencana (disaster triage) Triase bencana adalah proses menseleksi pasien atau korban ke dalam kategori-kategori prioritas penanganan. Situasi triase masal muncul dalam keadaan bencana dan sejumlah besar korban tiba di fasilitas kesehatan dengan keterbatasan sumber daya, dalam waktu bersamaan atau dengan selisih waktu pendek. Prinsipnya adalah melakukan yang terbaik untuk sebanyak-banyak korban dengan mengoptimal sumber daya yang terbatas.

Berdasarkan penyebabnya, bencana dapat dikatergorikan sebagai : 1. Bencana alam (natural disaster, misalnya gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dll.) 2. Bencana karena tindakan manusia (man-made disaster), misalnya terorisme, perang, kecelakaan industri yang berskala besar seperti kecelakaan nuklir di Chernobyl, kecelakaan industri kimia di Bhopal, India. 3. Bencana kompleks (complex disaster), misalnya konflik horizontal akibat SARA di suatu wilayah. Bencana kompleks seperti ini sering membuat tim medis terjebak dalam situasi yang sulit (tidak jelas mana kawan mana lawan; terlibat secara emosional). Dalam suatu bencana, sering sumber daya fasilitas kesehatan (tenaga, gedung, alat, sumber air, sumber listrik, alat dan obat) ikut berkurang atau rusak akibat bencana. Skala bencana tergantung pada: 1. Luas area yang terkena bencana 2. Jumlah korban dan kerugian financial yang ditimbulkan 3. Kesenjangan antara jumlah korban dengan fasilitas kesehatan yang tersisa Oleh karena itu, dalam keadaan bancaan yang harus dilakukan adalah : Mengkoordinasikan sumber daya fasilitas kesehatan yang tersisa Memodifikasi prosedur medis yang ada sesuai sumber daya yang tersisa Menyelamatkan sebanyak-banyak korban tanpa membahayakan beratnya luka dan menentukan prioritas kepada siapa pertolongan diberikan terlebih dahulu. Dalam konsep triase bencana, proses triase terjadi pada beberapa titik, mulai di lokasi bencana sampai saat pasien mendapatkan penanganan definitif di RS. Tahap-tahap ini disebut triase primer, sekunder, dan tersier. 1. Triase primer Triase primer terjadi di lokasi bencana. Dipilih tempat yang terdekat dengan pusat bencan tetapi aman dan terlindung. Merupakan tempat untuk melakukan resusitasi dan stabilisasi korban sebelum dibawa ke fasilitas kesehatan lebih tinggi.

Assessment dan penanganan korban sering ditetapkan berdasarkan kriteria yang sangat sederhana yang dapat dilakukan dengan cepat. Misalnya, seorang korban yang memerlukan tindakan intubasi karena distress pernafasan akut. Dokter akan melakukan tindakan tersebut dengan pertimbangan : ada tempat untuk melakukan tindakan, tersedia cukup waktu, tidak ada risiko transmisi infeksi dari korban kepada penolong; diperkirakan sesudah dilakukan tindakan intubasi, masih ada kesempatan untuk membawa korban ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan penanganan yang lebih lengkap, dan tersedia ventilator manual selama pasien diangkut menggunakan ambulans ke RS. Triage dan pengobatan kasus minor di lapangan mungkin menghindarkan transfer banyak kasus ke rumah sakit, walaupun ini harus dikerjakan dengan hati-hati, harus selalu dipikirkan risiko cedera tak diketahui karena tidak terdeteksi menggunakan fasilitas yang memadai di lapangan. 2. Triase sekunder Triase sekunder dilakukan oleh dokter UGD saat korban datang di rumah sakit. Mereka menentukan prioritas pasien dengan menempatkan pasien ke unit-unit intervensi awal. Di sini keputusan penanganan korban lebih akurat dibandingkan di lokasi bencana. Tujuan akhirnya adalah untuk memberikan intervensi ABC(airway, breathing, circulation) awal (bukan resusitasi penuh).

3. Triase tersier Setelah penanganan awal, triase tersier akan menentukan ke ruang mana pasien mendapatkan penanganan lebih lanjut, misalnya ke ICU, ruang operasi atau ruang radiologi, untuk mencari penyebab pasti dari morbiditas pasien, menegakkan diagnosis, memberikan penatalaksanaan definitif dan

menentukan prognosis pasien.

Kategori Triage Ada sistem 4 level untuk kategori triase:

1. Segera Immediate (I) MERAH- Pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang kemungkinan jiwa yang kemungkinan besar dapat hidup ditolong segera. Misalnya : Tension pneumothorax Distress pernafasan (RR lebih dari 30x/menit) Perdarahan internal vasa besar Perdarahan hebat Cedera jalan nafas Cardiac arrest Shock nadi radial tidak teraba, akral dingin, pengisian kapiler lebih dari 2 detik Luka terbuka di abdomen atau thoraks Trauma kepala berat Komplikasi diabetes Keracunan Persalinan patologis, misalnya malpresentasi janin Tidak sadar Luka bakar, termasuk luka bakar inhalasi Fraktur terbuka

2. Tunda Delayed (II) KUNING Pasien perlu tindakan definitif tetapi tidak ada ancaman jiwa segera. Pasien dapat menunggu giliran pengobatan tanpa bahaya. Misalnya : Fraktur tertutup pada ekstremitas (perdarahan terkontrol) Perdarahan laserasi terkontrol Luka bakar < 25% luas permukaan tubuh Trauma tulang belakang (dapat dilakukan imobilisasi dan proteksi dari trauma lebih lanjut) Perdarahan sedang Trauma kepala tanpa gangguan kesadaran

3. Minimal (III) HIJAU Pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan dan menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Misal :

Laserasi minor Memar dan lecet Luka bakar superfisial

4. Expectant (0) HITAM Pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal meski mendapat pertolongan. Misalnya : Cedera kepala berat Luka bakar derajat 3 hampir di seluruh tubuh Kerusakan organ vital (Setijanto dan Tim Skills Lab FK UNS Surakarta, 2014).

Mancini,

Mary

(2012).

Blunt

Chest

Trauma.

http://emedicine.medscape.com/article/428723-overview#showall Diakses pada April 2014.

Setijanto, Eko dan Tim Skills Lab FK UNS Surakarta (2014). Buku Pedoman Keterampilan Klinis Semester 6. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Anda mungkin juga menyukai