Anda di halaman 1dari 35

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

LATAR BELAKANG
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan
tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem
Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early)
karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam
sejak cedera. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat risiko
kecacatan dan bahkan kematian. Hal ini bisa saja terjadi karena trauma yang
terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma tidak
mendapatkan penanganan yang optimal. Berdasarkan kasus di atas, penilaian
awal merupakan salah satu item kegawatdaruratan yang sangat mutlak harus
dilakukan untuk mengurangi resiko kecacatan, bahkan kematian.(1)
Pada penelitian Canadian selama 5 tahun yang diakui oleh unit trauma,
96,3% mendukung terjadinya trauma tumpul, sisanya 3,7% cedera dengan
mekanisme penetrasi. Penyebab trauma tumpul berhubungan dengan
kecelakaan lalu lintas (70%), bunuh diri (10%), jatuh (8%), pembunuhan
(7%), dan lain-lain (5%). Banyak kejadian tersebut yang akhirnya menuju
kedalam kegawatdaruratan.(1)
Berdasarkan penelitian di atas, seorang tenaga kesehatan harus mampu
melakukan tindakan medis yang tepat dan cepat untuk mengatasinya. Melalui
protokol-protokol yang berlaku, seorang tenaga kesehatan harus mampu
melakukan penilaian awal, sehingga mampu memberikan tindakan yang tepat
sesuai dengan tujuan penilaian awal. Tujuan penilaian awal adalah untuk
menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera / kelainan pengancam jiwa dan
untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan efisiensi
tindakan definitif atau transfer ke fasilitas sesuai. Oleh karena itu tenaga
medis, khususnya dalam sistem pelayanan tanggap darurat harus mengenal
konsep penilaian awal untuk meningkatkan keberhasilan penanganan kasus

gawat darurat.(1)
1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas , maka rumusan masalah yang


dikemukakan dalam refarat ini adalah:
1) Apa yang dimaksud dengan initial assesment?
2) Bagaimana penilaian cepat dan tepat pada pasian gawat darurat?
3) Bagaimana pengelolaan cepat dan tepat pada pasien gawat darurat?
1.3.

TUJUAN UMUM
Adapun tujuan dari penulisan refarat ini adalah untuk menyelesaikan
tugas bimbingan khusus blok emergency dan traumatologi serta untuk
menambah pengetahuan tentang penilaian awal

khususnya penanganan

kegawatdaruratan.
1.4.

TUJUAN KHUSUS
Adapun tujuan khusus dari refarat ini adalah:
1) Meningkatkan pengetahuan tentang initial assesment
2) Mengetahui bagaimana penilaian cepat dan tepat pasien gawat darurat
3) Mengetahui bagaimana pengelolaan cepat dan tepat pasien gawat
darurat.

1.5.

METODE
Dalam penyusunan reafarat ini, metode yang digunakan yaitu metode
kepustakaan dengan mencari dan mengumpulkan data-data yang berhubungan
melalui text book dan media internet.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.

DEFENISI

Pengelolaan pasien yang terluka parah memerlukan penilaian yang cepat


dan pengelolaan yang tepat guna menghindari kematian. Pada pasien trauma,
waktu sangat penting, karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah
diingat dan dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai initial assesment
(penilaian awal) yang meliputi persiapan, triase, primary survey, resusitasi,
tambahan

terhadap

primary

survei

dan

resusitasi,

pertimbangkan

kemungkinan rujukan, secondary survay, tambahan secondary survei,


pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan serta penanganan defenitif.(2, 3)
2.2.

PERSIAPAN
Persiapan pasien sebaikya berlangsung dalam 2 fase yang berbeda. Fase
pertama adalah fase pra-rumah sakit, dimana seluruh penanganan pasien
sebaiknya berlangsung dalam koordinasi dengan dokter di rumah sakit. Fase
kedua adalah fase rumah sakit dimana dilakukan persiapan untuk menerima

pasien, sehingga dapat dilakukan resusitasi dalam waktu cepat.(2)


2.2.1. Fase Pra-Rumah Sakit
Koordinasi yang baik antara antara dokter di rumah sakit dengan
petugas lapangan akan menguntungkan pasien. Sebaiknya rumah sakit
sudah diberitahukan sebelum pasien mulai diangkut dari tempat
kejadian.

Pemberitahuan

ini

memungkinkan

rumah

sakit

mempersiapkan Tim Trauma sehingga sudah siap saat pasien sampai


di rumah sakit. Pada fase pra-rumah sakit titik berat diberikan pada
penjagaan airway, kontrol perdarahan dan syok, imobilisasi pasien dan
segera ke rumah sakit terdekat yang cocok, sebaiknya ke suatu pusat
trauma yang diakui.(2)
Waktu di tempat kejadian yang lama harus dihindari. Yang
penting adalah mengumpulkan keterangan yang nanti dibutuhkan di
rumah sakit, seperti waktu kejadian, sebeb kejadian, dan riwayat
pasien. Mekanisme kejadian dapat menerangkan jenis dan berat
perlukaan.(2)
2.2.2. Fase Rumah Sakit
Harus dilakukan perencanaan sebelum pasien tiba. Sebaiknya
ada

ruangan/daerah

khusus

resusitasi

untuk

pasien

trauma.

Perlengkapan aiwway (laringoskop, endotracheal tube, dsb) sudah

dipersiapkan, dicoba, dan diletakkan di tempat yang mudah dijangkau.


Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan disiapkan dan diletakkan
pada tempat yang mudah dicapai. Perlengkapan monitoring yang
diperlukan sudah dipersiapkan. Suatu sistem pemanggilan tenaga
medik tambahan sudah harus ada, demikian juga tenaga lagoratorium
dan dan radiologi. Juga dipersiapkan formulir rujukan ke pusat
trauma.(2)
Tebel berikut merangkum tahapan penting yang harus dilalui
sebelum seorang pasien datang.(4)
Tabel 1. Persiapan Initial Assesment.(4)
Analisis data sebelum pasien datang

Jumlah pasien
Umur dan jenis kelamin pasien
Deskripsi penyakit/cedera
Collar neck sudah terpasang atau belum
Tingkat kesadaran
Status jalan nafas
Tanda vital
Perkiraan waktu kedatangan pasien
Perlunya dekontaminasi (zat berbahaya), area steril (luka bakar)
Perlunya penegak hukum, personel keamanan

Penyusunan Tim

Dokter: Pimpinan tim, penanganan jalan napas, prosedur


pendukung staf konsultas (Bedah, kardiolog, gastroenterolog,

neonatal/pediatri, obstetri)
Perawat: Membuat catatan dan mengukur waktu, penempatan
monitor, akses vena dan spesimen laboratorium darurat,
pemasangan kateter, obat-obat dan cairan resusitasi siap dan
tersedia, perputaran informasi dan pengaturan kunjungan oleh

keluarga dan pembesuk lain.


Ahli terapi pernapasan: Membantu penanganan jalan napas,

ventilator dan teknik ventilasi non-invasif.


Teknisi radiologi: Melakukan dan mencetak foto cito dengan alat

sinar-x portabel, memastikan bahwa CT dapat berfungsi dan siap

digunakan.
Personel laboratorium:

laboratorium cito
Staf Rekam Medis: Melakukan identifikasi darurat dan

Kesiapan

bank

darah

dan

tes

menyiapkan IDE rumah sakit.


Perlengkapan

Penanganan jalan nafas: Memastikan agar alat pengisap


berfungsi dan kateternya terpasang pada kateter, aliran oksigen

dan alat bantu jalan nafas lengkap


Prosedur lain: Pakaian dan sarung tangan sebagai upaya
pencegahan

universal,

penghangat

kantong

darah

dan

perlengkapan transfusi cepat, nampan peralatan yang lengkap


yang mudah dijangkau, serta selimut yang hangat.
2.3.

TRIASE
Triase adalah cara pemilihan pasien berdasarkan kebutuhan terapi dan
sumber daya yang tersedia. Terapi didasarkan pada prioritas ABC (Airway,
Breathing, dan Circulation). Trase juga berlaku untuk pemilihan pasien di
lapangan dan rumah sakit yang akan di rujuk, Merupakan tanggung jawab
bagi tenaga pra-rumah sakit untuk mengirim ke rumah sakit yang sesuai.
Merupakan kesalahan yang besar untuk mengirim pasien ke rumah sakit nontrauma bila yang ada pusat pusat trauma tersedia. Dua jenis keadaan triase
yang sering terjadi:(2)
Musibah masal dengan jumlah pasien dan beratnya cedera tidak
melampaui kemampuan rumah sakit (multiple casualties). Dalam keadaan ini
pasien dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan dilayani
terlebih dahulu. Saat awal penggunaan protokol di pra-rumah sakit dan
pengarahan oleh tenaga medis pada petugas paramedik akan memperbaiki
pelayanan.

Penilaian akan pelayanan yang telah diberikan secara multi-

disiplin mutlak diperlukan.(2)


Musibah masal dengan jumlah pasien dan beratnya luka melampaui
kemampuan rumah sakit (mass casualties). Dalam keadaan ini yang akan

dilayani terlebih adalah pasien dengan kemungkinan survival yang terbesar,


serta membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga paling sedikit.(2)
Untuk memindahkan korban mana yang harus didahulukan digunakan
labelalisasi warna. Pertolongan pada pelayanan gawat darurat sehari-hari
didahulukan korban yang kondisinya berat sekali.(5)
Ada empat kategori dalam metode triage START (Simple Triage And
Rapid Treatment):(5)
a.
Prioritas Pertama Merah
Diberikan pada korban dengan kondisi kritis, seperti:
1)
Masalah jalan nafas (airway dan breathing)
2)
Perdarahan yang tidak terkontrol
3)
Cedera leher atau kepala
4)
Luka terbuka di perut
5)
Hiper/hipotermia
6)
Luka bakar berat
7)
Keracunan
b.
Prioritas kedua Kuning
Diberikan pada korban dengan kondisi yang mendesak seperti:
1) Luka bakar tanpa ada masalah jalan napas
2) Rasa sakit yang amat sakit dibeberapa bagian tubuh
3) Ada bengkak dan perubahan bentuk terutama pada anggota
ekstremitas
4) Cedera punggung
5) Kejang
6) Cedera mata
c. Prioritas 3 Hijau
Diberikan pada korban yang tidak mengalami cedera serius,
memerlukan perawatan sedikit dan dapat menunggu perawatan tanpa
bertambah parah seperti:
1) Rasa sakit ringan
2) Luka bakar ringan
3) Bengkak
4) Cedera jaringan lunak
d. Prioritas 0 Hitam
Diberikan pada korban yang sudah meniggal.
Dalam sistem START, pertama katakan pada korban yang bisa jalan
pindah ke daerah khusus yang sudah ditetapkan, kemudian alihkan kepada
korban yang tidak bisa jalan dengan penilaian awal.
2.4.

PRIMARY SURVEY

Penilaian keadaan pasien dan prioritas terapi didasarkan jenis


perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada pasien yang
terluka parah, terapi diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital pasien harus
dinilai secara cepat dan efisien. Pengelolaan pasien berupa primary survei
yang cepat dan kemudian resusitasi, secondary survei dan akhirnya terapi
defenitif.(2)
Proses ini merupakan ABCDE-nya trauma, dan berusaha untuk
mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan
berpatokan pada urutan airway: menjaga airway dengan kontrol servikal,
breathing: menjaga pernafasan dengan ventilasi, circulation: dengan kontrol
perdarahan, disability: status neurologis, dan exposure/environmental control:
buka baju pasien dengan cegah hipotermia.(2)
2.4.1. Airway
2.4.1.1. Anatomi Fisiologi Saluran Nafas
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru
adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus.
Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi
oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk ke
dalam rongga hidung, udara tersebut tersaring, dihangatkan
dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama
dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel torak bertingkat,
bersilia, dan bersel goblet.(6)

Gambar 1: Saluran Pernapasan(7)

Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak


suara. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang
dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara
pita suara terdapat ruang berbentuk segitiga yang bermuara
ke dalam trakea dan dinamakan glotis. Glotis merupakan
pemisah antara saluran pernapasan atas dan bawah. Meskipun
laring terutama dianggap berhubungan dengan fonasi, tetapi
fungsinya sebagai organ pelindung jauh lebih penting.(6)
Trakea disokong oleh cincin tulang rawan yang
berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih
5 inci. Struktur trakea dan bronkus dianalogikan dengan
sebuah pohon, dan oleh karena itu dinamakan pohon
trakeobronkial. Permukaan posterior trakea agak pipih
dibandingkan sekelilingnya karena cincin tulang rawan di

daerah itu tidak sempurna, dan letaknya tepat di depan


esofagus. Akibatnya, jika suatu pipa endotrakea (ETT) bulat
yang kaku dengan balon yang digembungkan dimasukkan
selama

ventilasi

mekanik,

dan

membentuk

fistula

trakeoesofageal.(6)
Bronchus terdiri dari bronchus dexter yang lebih besar,
pendek, lebih vertikal, dan membentuk 3 cabang serta
mempunyai

bronchus

eparterialis

dan

hyparterialis.

Sedangkan bronchus sinister diameternya lebih kecil, lebih


panjang, lebih horizontal, membentuk 2 cabang serta hanya
mempunyai bronchus hyparterialis.(8)
Pulmo terdiri dari 2 bagian yaitu pulmo dexter dan
pulmo sinister. Pulmo dexter terdiri dari 3 lobus yaitu lobus
superior, medius, dan inferior serta terdapat 2 buah incisura
interlobares yaitu fissura obliqua (memisahkan lobus inferior
dengan lobus medius dan superior) dan fissura horizontalis
yang memisahkan lobus superior dan medius. Pulmo sinister
mempunyai 2 lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior
dan hanya terdapat fissura obliqua.(8)
2.4.1.2. Penilaian Airway
Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
sumbata jalan napas oleh benda asing. Jika terdapat sumbatan
harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan
dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang
dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh
benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk
yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan teknik cross
finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari
telunjuk pada mulut korban.(9)
Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan
total, perlahan-lahan dan sebagian, dan/atau progresif dan
berulang. Meskipun sering kali berhubungan dengan nyeri
dan/atau kecemasan, takipnu mungkin merupakan tanda yang

10

samar-samar akan adanya bahaya terhadap airway atau


ventilasi oleh karena itu penting untuk sering melakukan
penilaian ulang terhadap patensi airway dan kecukupan
ventilasi. Khususnya pasien dengan penurunan kesadaran
mempunyai risiko terhadap gangguan airway dan sering kali
memerlukan pemasangan airway defenitif.(2)
Beberapa tanda objektif sumbatan airway dapat
diketahui dengan langkah-langkah berikut:(2)
1. Lihat (look) apakah pasien mengalami agitasi atau
kesadarannya menurun, agitasi memberikan kesan adanya
hipoksia, dan penurunan kesadaran memberi kesan adanya
hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang
disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat
dengan melihat pada kuku dan kulit sekitar mulut. Tidak
adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan
yang apabila ada, merupakan bukti tambahan adanya
gangguan airway.
2. Dengar (listen) adanya suara-suara abnormal pernafasan
yang berbunyi (suara, napas berisik) adalah pernapasan
yang tersumbat. Suara mendengkur (snoring), berkumur
(gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin
berhubungan dengan sumbatan parsial pada laring atau
faring. Suara parau (hoarseness, dhsphonia) menunjukkan
sumbatan pada laring pasien yang melawan dan berkatakata kasar (gaduh, gelisah) mungkin mengalami hipoksia
dan tidak boleh dianggap karena keracunan/mabuk.
3. Raba (feel) lokasi trakea dan dengan cepat tentukan
apakah trakea berada di tengah.
2.4.1.3. Permasalahan Airway
Terjadinya sumbatan sumbatan jalan nafas dapat
mengakibatkan kematian kurang dari 4 menit jika tidak
diberikan pertolongan, masalah yang terjadi pada jalan nafas
adalah:(10)

11

1) Sumbatan total. Sumbatan total dapat terjadi karena


makanan atau benda asing yang mengganjal atau
menghalangi jalan nafas. Keadaan ini sering disebut
tesedak/chocking.
2) Sumbatan parsial. Sumbatan parsial atau sebagian
disebabkan karena lidah jatuh ke belakang pada korban
tidak sadar, perdarahan atau banyaknya sekret, dan edema
laring yang masih proses (belum terjadi edema total). Pada
saat korban tidak sadar dan terbaring telentang, gaya
gravitasi akan membuat dagu jatuh ke belakang. Mulut
akan terbuka tetapi jalan nafas cenderung tertutup. Dalam
keadaan tidak sadar otot menjadi rileks dan lidah jatuh ke
arah dinding belakang mulut.
Keadaan gawat nafas akibat sumbatan jalan nafas atas
mulai hidung sampai ke karina, dapat terjadi pada bayi, anak
dan orang dewasa. Berat ringan gejala yang timbul
tergantung dari derajat sumbatan dan lokasi sumbatan. Gawat
nafas lebih cepat trerjadi pada bayi dan anak, karena adanya
perbedaan bentuk anatomi yang memudahkan terjadinya
sumbatan total. Pada bayi, diameter saluran pernapasan relatif
lebih kecil, submukosa daerah subglotik lebih banyak
mengandung jaringan ikat sehingga mudah membengkak
serta letak laring relatif lebih tinggi dengan epiglotis yang
kecil dan panjang sehingga ujungnya mudah menekuk dan
mengganggu saluran nafas pada inspirasi. (10)
Tanda tanda obstruksi jalan napas: (10)
1) Mendengkur (snoring), berasal dari sumbatan pangkal
lidah. Cara mengatasi dengan chin lift, jaw thrust,
pemasangan pipa orofaring / nasofaring dan pemasangan
endotrakeal.
2) Berkumur (gargling), penyebabnya adalah cairan di
daerah hipofaring. Cara mengatasi dengan finger sweap,
pengisapan / suction.

12

3) Stridor (crowing), sumbatan di plica vokalis. Cara


mengatasi dengan cricotirotomi, trakeostomi.
4) Nafas cuping hidung ( flaring of the nostrils )
5) Retraksi trakea.
6) Retraksi thoraks
7) Tak terasa ada udara ekspirasi
2.4.1.4. Pengelolaan Airway
Bila ditemukan masalah atau dicurigai, tindakantindakan sebaiknya memperbaiki oksigenasi secepatnya
untuk mengurangi risiko bahaya pernapasan lebih lanjut. Ini
berupa teknik-teknik mempertahankan airway, tindakantindakan airway defenitif, dan cara-cara untuk memberikan
tambahan ventilasi. Karena semua tindakan-tindakan ini
mungkin mengakibatkan pergerakan pada leher, maka
perlindungan terhadap servical harus dilakukan pada semua
pasien, terutama bila diketahui adanya cedera cervical.(2)
Bila pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran,
maka lidah mungkin jatuh ke belakang dan menghambat
hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini, dapat segera
diperbaiki

dengan

cara

mengangkat

dagu

(chin-lift

maneuver) atau dengan mendorong rahang bawah ke arah


depan (jaw-thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat
dipertankan dengan orofaring airway atau nasofaring airway.
Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway
dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh
karena itu, selama mengerjakan prosedur-prosedur ini harus
dilakukan imobilisasi segaris (inline immobilization).(2)
Jika yang terjadi adalah sumbatan total, maka dapat
dilakukan beberapa cara pembebasan berikut:(11)
Abdominal Thrust
Abdominal thrust dengan posisi berdiri atau duduk

1)

dapat dilakukan dengan cara penolong harus berdiri di


belakang korban, lingkari pinggang korban dengan kedua
lengan penolong, kemudian kepalkan satu tangan dan

13

letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut korban,


sedikit di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum.
Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya. Tekan
kepalan tangan ke perut dengan hentakan yang cepat ke
atas. Setiap hentakan harus terpisah dan gerakan yang
jelas. (11)
Pada posisi tergeletak (tidak sadar), caranya: korban
harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke
atas. Penolong berlutut di sisi paha korban. Letakkan salah
satu tangan pada perut korban di garis tengah sedikit di
atas pusar dan jauh di bawah ujung tulang sternum, tangan
kedua diletakkan di atas tangan pertama. Penolong
menekan ke arah perut dengan hentakan yang cepat ke
arah atas. (11)

Gambar 2. Abdominal Thrust (11)

Bisa pula dilakukan sendiri dengan cara kepalkan


sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut di atas
pusar dan di bawah ujung tulang sternum, genggam tangan
itu dengan kuat, beri tekanan ke atas kearah diafragma
dengan gerakan yang cepat, jika tidk berhasil dapat

14

dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja


atau belakang kursi.(11)

Gambar 3. Abdominal thrust yang dilakukan sendiri (11)

2) Back Blow
Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat.
Bila nafas tidak efektif atau berhenti, lakukan back blow 5
kali (hentakan keras pada punggung korban di titik silang
garis antar belikat dengan tulang punggung/vertebrae).(10)

Gambar 4. Back blow pada orang dewasa (10)

15

Gambar 5. Back blow pada anak dan bayi (10)

3) Chest Thrust
Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan
tulang dada dengan jari telunjuk atau jari tengah kira-kira
satu jari di bawah garis imajinasi antara kedua puting susu
pasien). Bila penderita sadar, tidurkan terlentang, lakukan
chest thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas
buatan.(10)
Prioritas utama dalam manajemen jalan nafas adalah
jalan nafas bebas.(10)
1) Pasien sadar, ajak bicara. Bicara jelas dan lancar berarti
jalan nafas bebas.
2) Beri oksigen bila ada 6 liter/menit .
3) Jaga tulang leher: baringkan penderita di tempat datar,
wajah ke depan, posisi leher netral.
4) Nilai apakah ada suara nafas tambahan.
2.4.2. Breathing
2.4.2.1. Penilaian di Breathing
Tanda-tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat dapat
diketahui dengan langkah-langkah berikut:(2)

16

1) Lihat (look) naik turunnya


pergerakan

dinding

dada

dada yang simetris dan


yang

adekuat. Asimetris

menunjukkan pembelatan atau flail chest dan tiap


pernapasan yang dilakukan dengan susah sebaiknya harus
dianggap sebagai ancaman terhadap ventilasi pasien.
2) Dengar adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada.
Penurunan atau tidak terdengarnya suara napas pada satu
atau kedua hemitorak merupakan tanda akan adanya
cedera dada.
3) Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan
informasi tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer
pasien, tetapi tidak memestikan adanya ventilasi yang
adekuat.
Untuk menilai keadekuatan sistem pernapasan, dokter:
(4)

1) Mengamati tanda-tanda deviasi trakea, pembesaran vena


jugularis, tanda kussmaul, kesulitan bernapas (seperti
usaha untuk mengambil napas/indrawing, usaha untuk
membatasi gerak napas karena adanya nyeri/splinting dan
penggunaan otot pernapasan tambahan) serta trauma
(kontusio, segmen flail, luka terbuka)
2) Mempalpasi adanya krepitasi tulang, udara subkutan atau
nyeri tekan.
3) Mengauskultasi untuk mengetahui adanya udara yang
masuk, kesimetrisan, bunyi napas tambahan (ronki, mengi
dan gesekan)
4) Melakukan perkusi jika perlu untuk mengetahui adanya
hiperresonansi atau bunyi pekak pada kedua sisi.
2.4.2.2. Permasalahan di Breathing
Ventilasi mungkin terganggu oleh sumbatan airway
tetapi juga oleh gangguan pergerakan nafas atau depresi
susunan saraf pusat. Apabila pernapasan tidak membaik
dengan terbukanya airway, penyebab lain

harus dicari.

Trauma langsung pada dada, khususnya yang disertai trauma

17

tulang iga, menyebabkan rasa sakit setiap kali bernapas dan


menyebabkan

pernapasan

yang

cepat,

dangkal

dan

hipoksemia. Pasien usia lanjut yang mengalami trauma torak


dan menderita gangguan paru mempunyai risiko bermakna
untuk mengalami gagal napas pada keadaan ini. Cedera
intrakranial dapat menyebabkan pola pernapasan yang
abnormal dan mengganggu ventilasi. Cedera servical dapat
menyebabkan pernapasan diafragmatik sehingga kemampuan
penyesuaian untuk kebutuhan oksigen yang meningkat
menjadi terganggu. Transeksi total servical, yang masih
menyisakan nervus frenikus (C3,4) menimbulkan pernapasan
abdominal dan kelumpuhan otot-otot interkostal. Bantuan
ventilasi mungkin dibutuhkan.(2)
Permasalahan di breathing yang biasa dijumpai:(10)
1) Tidak ada tanda-tanda pernapasan
2) Tidak ada gerakan dada
3) Tidak ada suara napas
4) Tidak dirasakan hembusan napas
5) Sesak napas. Penderita mengeluh sesak, bernafas cepat
(tachypneu), pernapasan cuping hidung, pemakaian otot
pernapasan tambahan: retraksi suprasternal, retraski
intercostalis, retraksi sternum, dan retraksi infrasternal.
2.4.2.3. Pengelolaan di Breathing
Pengelolaan di breathing adalah dengan memberikan
bantuan napas dengan menggunakan beberapa cara:(9)
1) Ventilasi mouth to mouth
Untuk memberikan bantuan pernapasan mulut ke
mulut, jalan nafas korban harus terbuka. Kedua tangan
penolong masih tetap melakukan teknik membuka jalan
nafas Chin lift. Hidung korban harus ditutup dengan
tangan atau dengan menekankan pipi penolong pada
hidung korban. Mulut penolong mencakup seluruh mulut
korban. Mata penolong melihat ke arah dada korban untuk
melihat pengembangan dada. Pemberian pernafasan

18

buatan secara efektif dapat diketahui dengan melihat


pengembangan dada korban. Berikan 1 kali pernafasan
selama 1 detik, berikan pernafasan biasa, kemudian
berikan pernafasan kedua selama 1 detik. Berikan nafas
secara biasa untuk mencegah penolong mengalami pusing
atau berkunang-kunang.
Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini
merupakan cara yang tepat dan efektif untuk memberikan
udara ke paru-paru korban. Pada saat dilakukan hembusan
napas dari mulut ke mulut, penolong harus mengambil
napas dalam lebih dalam terlebih dahulu dan mulut
penolong harus dapat menutup seluruhnya mulut korban
dengan

baik

agar

tidak

terjadi

kebocoran

saat

mengghembuskan napas dan juga penolong harus menutup


lubang hidung korban/pasien dengan ibu jari dan jari
telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari
hidung. Volume udara yang diberikan pada kebanyakkan
orang dewasa adalah 700 1000 ml (10 ml/kg). Volume
udara yang berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat
dapat menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga
terjadi distensi lambung.(9)
2) Ventilasi mouth to nose
Cara ini direkomendasikan jika pemberian nafas buatan
melalui mulut korban tidak dapat dilakukan misalnya
terdapat luka yang berat pada mulut korban, mulut tidak
dapat dibuka, korban di dalam air atau mulut penolong
tidak dapat mencakup mulut korban. Oleh karena itu
penolong menutup mulut korban saat pemberian ventilasi
mulut ke hidung. (9)
3) Ventilasi mouth to mask
Cara ini pemberian napas melalui masker penghalang
untuk melindungi penyelamat dari terkena cairan tubuh

19

korban. Masker saku biasanya terbuat dari plastic yang


dirancang untuk membatasi paparan penyelamat dari

4)

hembusan udara, cairan tubuh, dan proses penyakit.(10)


Ventilasi mulut ke alat pelindung
Penolong seorang diri dalam menggunakan ambubag
harus dapat mempertahankan terbukanya jalan nafas
dengan mengangkat rahang bawah, menekan sungkup ke
muka korban dengan kuat dan memompa udara dengan
memeras bagging. Penolong harus dapat melihat dengan
jelas pergerakan dada korban pada setiap pernapasan. (10)
Ambubag sangat efektif bila dilakukan oleh dua orang
penolong yang berpengalaman. Salah seorang penolong
membuka jalan nafas dan menempelkan sungkup wajah
korban dan penolong lain memeras bagging. Kedua
penolong harus memperhatikan pengembangan dada
korban. (10)
Ambubag digunakan dengan satu tangan penolong
memegang bag sambil memompa udara sedangkan tangan
lainnya memegang dan memfiksasi masker. Pada Tangan
yang memegang masker, ibu jari dan jari telunjuk
memegang masker membentuk huruf C sedangkan 1 jarijari lainnya memegang rahang bawah penderita sekaligus
membuka jalan nafas penderita dengan membentuk huruf
E. (10)

2.4.3. Circulation
2.4.3.1. Anatomi Fisiologi Sistem Sirkulasi
Jantung adalah organ berongga dan memiliki empat
ruang yang terletak antara kedua paru-paru di bagian tengah
rongga toraks. Dua per tiga jantung terletak di sebelah kiri
linea midsternal. Jantung dilindungi mediastinum. Posisi
jantung terletak diantara kedua paru dan berada ditengah

20

tengah dada, bertumpu pada diaphragma thoracis dan berada


kira-kira 5 cm diatas processus xiphoideus.(7, 8)
Pada tepi kanan cranial berada pada tepi cranialis pars
cartilaginis costa III dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum.
Pada tepi kanan caudal berada pada tepi cranialis pars
cartilaginis costa VI dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum.
Tepi kiri cranial jantung berada pada tepi caudal pars
cartilaginis costa II sinistra di tepi lateral sternum, tepi kiri
caudal berada pada ruang intercostalis 5, kira-kira 9 cm bdi
kiri linea medioclavicularis. Jantung dibungkus oleh kantong
berdinding ganda yang dapat membesar dan mengecil,
disebut perikardium. Sementara dindingnya tersusun dari tiga
lapisan, yaitu epikardium, miokardium, dan endokardium. (7, 8)
Pada orang dewasa, jumlah volume darah yang
mengalir di dalam sistem sirkulasi mencapai 5-6 liter (4,7-5,7
liter). Darah terus berputar mengalir di dalam sistem sirkulasi
sistemik dan paru-paru tanpa henti. Sistem sirkulasi tubuh
terbagi atas dua, yaitu sirkulasi paru dan sirkulasi sistemik.(12)
1) Sirkulasi Paru
Darah di atrium kanan mengalir ke ventrikel kanan
melalui katup katup semilunaris. Dari ventrikel kanan
mengalir melalui katup pulmonaris ke arteri pulmonaris.
Arteri

pulmonaris

bercabang-cabang

menjadi

arteri

pulmonaris kiri dan kanan yang masing-masing mengalir


ke paru-paru kiri dan kanan. Di paru-paru arteri
pulmonaris becabang-cabang berkali-kali menjadi ateriol
kemudian kapiler. Setiap kapiler memberi perfusi kepada
satuan pernafasan melalui sebuah alveolus. Semua kapiler
menyatu kembali menjadi venula, kemudian vena. Venavena menyatu untuk membentuk vena pulmonaris besar
dan kembali ke atrium kiri.(12)
2) Sirkulasi Sistemik

21

Darah masuk ke atrium kiri dari vena pulmonaris.


Darah di atrium kiri mengalir ke dalam ventrikel kiri
melalui katup atrioventrikel (AV), yang terletak di
sambungan atrium dan ventrikel (katup mitralis). Darah
dari ventrikel kiri menuju aorta melalui katup aorta. Darah
di aorta diteruskan ke seluruh sirkulasi sistemik melalui
arteri, arteriol dan kapiler yang kemudiaan menyatu
kembali untuk membentuk vena-vena.(12)
Vena-vena dari bagian bawah tubuh mengembalikan
darah ke vena terbesar, vena cava inferior, sedangkan vena
dari bagian atas tubuh mengembalikan darah ke vena cava
superior. Kedua vena bermuara ke atrium kanan.(12)
2.4.3.2. Penilaian di Sirkulasi
Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien/korban
ditentukan dengan meraba arteri karotis di daerah leher
pasien/korban dengan cara dua atau tiga jari penolong
meraba pertengahan leher sehingga teraba trakea, kemudian
digeser ke arah penolong kira-kira 1-2 cm, raba dengan
lembut selama 510 detik. Bila teraba penolong harus
memeriksa pernapasan, bila tidak ada nafas berikan bantuan
nafas 12 kali/menit. Bila ada nafas pertahankan airway
pasien/korban.(9)
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca
bedah yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat
dan tepat di rumah sakit. Ada 3 penemuan klinis yang dalam
hitungan detik dapat memberikan informasi yakni:(2)
1) Tingkat kesadaran: bila volume darah menurun, perfusi
otak

dapat

berkurang,

yang

akan

mengakibatkan

penurunan kesadaran (jangan dibalik: penderita yang sadar


belum tentu normovolemik).
2) Warna kulit: membantu diagnosis hipovolemia. Penderita
trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan
ekstremitas, jarang yang dalam keadaan hipovolemia.

22

Sebaliknya,

wajah

pucat

keabu-abuan

dan

kulit

ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.


3) Nadi: periksa nadi besar seperti A. femoralis atau A.
karotis (kiri-kanan), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan
irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya
merupakan tanda-tanda normovolemia (bila penderita
tidak minum obat beta blocker). Nadi yang cepat dan kecil
merupakan

tanda

hipovolemia,

walaupun

dapat

disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang


normal bukan jaminan bahwa normovolemia. Nadi yang
tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung.
Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan
pertanda diperlukannya resusitasi segera.
2.4.3.3. Permasalahan di Sirkulasi
Pada kasus trauma dikenal adanya perdarahan luar
(eksternal) dan perdarahan dalam (internal). Perdarahan luar
adalah perdarahan yang terlihat biasanya tidak begitu parah
tergantung luar dan dalamnya perlukaan sedang perdarahan
dalam adalah perdarahan yang tidak kelihatan dan sering kali
membahayakan penderita. Adapun perdarahan dalam yang
bisa menyebabkan shock adalah perdarahan di rongga dada,
abdomen, pelvis, retroperitoneal dan tulang panjang. (2)
Gangguan sirkulasi yang mengancam jiwa terutama
jika terjadi henti jantung dan syok. Diagnosis henti jantung
ditegakkan dengan tidak adanya denyut nadi karotis dalam
waktu 5 10 detik. Henti jantung dapat disebabkan kelainan
jantung (primer) dan kelainan di luar jantung (sekunder) yang
harus segera dikoreksi. Diagnosis syok secara cepat dapat
ditegakkan dengan tidak teraba atau melemahnya nadi
radialis/nadi karotis, pasien tampak pucat, ekstremitas teraba
dingin, berkeringat dingin dan memanjangnya waktu
pengisian kapiler (capilary refill time > 2 detik). (10)
Klasifikasi syok hemoragik:(2, 13)

23

1) Pendarahan kelas I:
Kehilangan volume darah hingga 15%. Gejala klinis
minimal. Bila tidak ada komplikasi, akan terjadi takikardi
minimal. Tidak ada perubahan berarti dari tekanan darah,
tekanan nadi, atau frekuensi pernapasan. Pada penderita
yang dalam keadaan sehat, jumlah kehilangan darah ini
tidak perlu diganti, karena pengisian transkapiler dan
mekanisme kompensasi akan memulihkan volume darah
dalam 24 jam.

2) Pendarahan kelas II:


Kehilangan volume darah 15-30%. Pada laki-laki 70
kg, kehilangan volume darah 750-1500 cc. Gejala klinis
berupa takikardi ( >100 x/menit), takipneu, penurunan
tekanan nadi, perubahan sistem saraf sentral yang tidak
jelas seperti cemas, ketakutan, atau sikap permusuhan.
Walau kehilangan darah dan perubahan kardiovaskular
besar, namun produksi urin hanya sedikit terpengaruh (2030 ml/jam untuk orang dewasa).
3) Pendarahan kelas III:
Kehilangan volume darah 30-40%. Kehilangan darah
dapat mencapai 2000 ml. Penderita menunjukkan tanda
klasik perfusi yang tidak adekuat, antara lain: takikardi
dan takipneu yang jelas, perubahan status mental dan
penurunan tekanan darah sistolik. Penderitanya hampir
selalu memerlukan transfusi darah. Keputusan untuk
memberikan transfusi darah didasarkan atas respon
penderita terhadap resusitasi cairan semula, perfusi dan
oksigenasi organ yang adekuat.

4) Pendarahan kelas IV:


Kehilangan volume darah > 40%. Jiwa penderita
terancam. Gejala: takikardi yang jelas, penurunan tekanan
darah sistolik yang besar, tekanan nadi sangat sempit (atau
tekanan diastolik tidak teraba), kesadaran menurun,

24

produksi urin hampir tidak ada, kulit dingin dan


pucat. Penderita
intervensi

membutuhkan

pembedahan

transfusi

segera.

cepat

Keputusan

dan

tersebut

didasarkan atas respon terhadap resusitasi cairan yang


diberikan. Jika kehilangan volume darah >50%, penderita
tidak sadar, denyut nadi dan tekanan darah menghilang.
2.4.3.4. Pengelolaan di Sirkulasi
Dengan meninggikan ekstrimitas bawah 45 derajat,
kalau tidak ada respon cari sumber perdarahan dan hentikan,
tambah lagi cairan kristaloid, apabila tidak berhasil juga
berikan tranfusi darah tipe spesifik.(3)
Langkah-langkah ini juga bisa dilakukan pada penderita
dengan shock karena perdarahan internal. Sedangkan
perdarahan eksternal dapat kita lakukan dengan balut cepat/
balut tekan, elevasi daerah yang luka atau kombinasi dengan
penekanan pada arteri yang besar.(3)
Untuk torniquet sudah tidak dianjurkan lagi karena bisa
merusak jaringan, kecuali pada luka amputasi yang tidak
mungkin disambung kembali.

Pada penderita fraktur

dibeberapa bagian tubuh bisa kita lakukan pembidaian. (3)


Resusitasi kardio pulmonal adalah tindakan yang
dilakukan untuk mengatasi henti nafas dan henti jantung
sehingga dapat pulih kembali. Resusitasi kardio pulmonal
dilakukan bila:(3)
1) Henti nafas (Respiratory Arrest), henti nafas yang bukan
disebabkan gangguan pada jalan nafas dapat terjadi karena
gangguan pada sirkulasi (asistole, bradikardia, fibrilasi
ventrikel)
2) Henti jantung (Cardiac Arrest) dapat disebabkan oleh
beberapa hal seperti hipoksemia karena berbagai sebab,
gangguan

elektrolit

hipomagnesia),

(hipokalemia,

gangguan

irama

hiperkalemia,

jantung

(aritmia),

25

penekanan mekanik pada jantung (tamponade jantung,


tension pneumothoraks)
RKP merupakan proses serial, yang menimbulkan
aliran darah dengan cara meningkatkan tekanan dalam rongga
dada atau langsung menekan jantung. Darah bersirkulasi
menuju jantung, dikombinasikan dengan pernapasan buatan
akan memberikan suplai oksigen yang cukup adekuat ke otak
dan organ vital lainnya hingga defibrilasi dapat dilakukan.(3)
Menentukan titik kompresi:(14)
1) Posisikan diri anda berlutut disamping korban
2) Gunakan jari telunjuk dan jari tengah tangan Anda untuk
menentukan batas bawah dari sangkar costa
3) Jika sudah anda dapatkan, gerakkan jari Anda menelusuri
lengkung costa sampai ke takik pada ujung sternum (Proc.
xiphoideus)
4) Letakkan jari tengah Anda di atas atau pada takik dan jari
telunjuk di sebelah atasnya
5) Letakkan tumit tangan Anda yang lain (tangan yang dekat
dengan kepala korban) di atas sternum, di sebelah atas jari
telunjuk
6) Angkat jari-jari Anda dari takik dan

letakkan tangan

tersebut di atas tangan yang lain pada dada


Langkah-langkah kompresi jantung: (14)
1) Letakkan korban di tempat yang datar dan keras
2) Bebaskan dada korban dari baju yang dikenakan korban
3) Perlu diingat sebelum melakukan kompresi dada jalan
nafas harus dipastikan tetap bebas
4) Letakkan punggung telapak tangan kanan atau tangan
yang dominan tepat di tengah-tengah tulang dada diantara
kedua puting susu.
5) Letakkan tangan yang satu lagi di atas tangan yang
dominan tadi.
6) Pastikan kedua tangan dapat saling terkait dengan stabil
7) Arahkan bahu agar tepat berada diatas kedua telapak
tangan tersebut hingga lengan menjadi lurus

26

8) Dengan menggunakan bantuan berat badan, lakukan


penekanan ke dada korban hingga kedalaman 2 inci pada
dewasa dan 1,5 inci pada bayi.
9) Lakukan kompresi ini sebanyak 30 kali, kemudian
diselingi dengan nafas buatan sebanyak 2 kali. Ini
merupakan

satu

siklus.

(AHA

2015;

penolong

meningkatkan kecepatan kompresi dinding dada minimal


100 kali permenit dan maksimal 120 kali).
10) Setelah lima siklus, dapat diperiksa kembali apakah
sudah ada denyut jantung. Bila belum ada, ulangi
kembali siklus.
Penghentian tindakan resusitasi: (14)
1) Jantung sudah berdetak ditandai adanya nadi dan nafas
sudah spontan
2) Penolong sudah kelelahan
3) Ada penolong yang lebih terampil
4) Pasien dinyatakan tidak mempunyai harapan lagi/
meninggal.
2.5.

SECONDARY SURVEI
Secondary survey adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (Head To Toe
Examination), termasuk re-evaluasi pemeriksaan tanda vital. Pada secondary
survey ini dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap, termasuk mencatat skor

GCS bila belum dilakukan dalam primary survey.(3)


2.5.1. Anamnesis
Seringkali anamnesis tidak bisa didapat dari penderita sendiri dan
harus didapat dari petugas lapangan atau keluarga. Riwayat AMPLE
patut diingat.(3)
A
: Alergi
M
: Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P
: Past illness (penyakit penyerta) / pregnancy
L
: Last meal
E
: Event / Environment (lingkungan) yang berhubungan
dengan kejadian perlukaan.
2.5.2. Pemeriksaan fisik

27

Pemeriksaan kondisi umum menyeluruh mulai dari posisi saat


ditemukan, tingkat kesadaran, sikap umum, keluhan, trauma, kelainan,
dan keadaan kulit.
2.5.2.1. Kepala
Seluruh kulit kepala dan kepala harus diperiksa akan
adanya luka, kontusio atau fraktur. Karena kemungkinan
bengkaknya mata yang akan mempersulit pemeriksaan yang
teliti, maka yang harus diperiksa adalah ketajaman visus,
ukuran pupil, perdarahan konjungtiva dan fundus, luka
tembus pada mata, lensa kontak (ambil sebelum edema),
dilocatio lentis, jepitan otot bola mata, dan gerakan bola
mata.(2)
2.5.2.2. Maksilo-fasial
Trauma maksilofasial dapat mengganggu airway atau
perdarahan yang hebat, yang harus ditangani saat survei
primer. Trauma maksilofasial tanpa gangguan airway atau
perdarahan hebat, baru dikerjakan setelah penderita stabil
sepenuhnya dan pengelolaan definitif dapat dilakukan dengan
aman. Penderita dengan fraktur tulang wajah mungkin juga
ada fraktur pada lamina cribrosa.(2)
Penilaian lain yang perlu dilakukan:
1) Vertebra servikalis dan leher
2) Rambut dan kulit kepala: perdarahan, pengelupasan,
perlukaan dan penekanan.
3) Telinga: perlukaan, darah, cairan.
4) Mata: perlukaan, pembengkakan, perdarahan, reflek pupil,
kondisi kelopak mata, adanya benda asing, pergerakan
abnormal.
5) Hidung: perlukaan, darah, cairan, napas cuping hidung,
kelainan anatomi akibat trauma.
6) Mulut: perlukaan, darah, muntahan, benda asing, gigi, bau,
dapat buka mulut atau tidak.
7) Bibir: perlukaan, perdarahan, sianosis, kering.
8) Rahang: perlukaan, stabilitas, krepitasi.
9) Kulit: perlukaan, basah atau kering, darah, suhu, warna.

28

10) Leher: perlukaan, bendungan vena, deviasi trakea,


spasme otot, stoma, stabilitas tulang leher.
2.5.2.3. Toraks
Inspeksi dari depan dan belakang akan menunjukkan
adanya flail chest atau open pneumo-thorax. Palpasi harus
dilakukan pada setiap iga dan klavikula. Penekanan pada
sternum dapat nyeri bila ada fraktur sternum atau ada
costochondral separation. Kontusio dan hematoma pada
dinding dada mungkin disertai kelainan dalam rongga toraks.
Kelainan pada toraks akan disertai nyeri dan/atau dispneu.
Bising nafas diperiksa pada bagian atas toraks untuk
menentukan pneumo-toraks, dan pada bagian posterior untuk
adanya hemotoraks. Auskultasi mungkin sulit bila lingkungan
berisik, tetapi harus tetap dilakukan. Bunyi jantung yang jauh
disertai tekanan nadi yang kecil mungkin disebabkan
tamponade jantung.(2)
Adanya tamponade jantung atau tension pneumothorax
dapat terlihat dari adanya distensi pada vena jugularis,
walaupun adanya hipovolemia akan meniadakan tanda ini.
Melemahnya suara nafas dan hipersonor pada perkusi paru
disertai syok mungkin satu-satunya tanda akan adanya
tension

pneumo-thorax,

dekompresi segera.(2)
2.5.2.4. Abdomen
Trauma abdomen

yang

harus

menandakan

ditangani

dengan

perlunya

agresif.

Diagnosis yang tepat tidak terlalu dibutuhkan, yang penting


adalah adanya indikasi untuk operasi. Pada saat penderita
baru datang, pemeriksaan abdomen yang normal tidak
menyingkirkan diagnosis perlukaan intra abdomen, karena
gejala mungkin timbul agak lambat. Diperlukan pemeriksaan
ulang dan observasi ketat, kalau bisa oleh petugas yang sama.
Diperlukan konsultasi ahli bedah.(2)

29

Penderita dengan hipotensi yang tidak dapat diterangkan,


kelainan neurologis, gangguan kesadaran karena alkohol
dan/atau oat dan penemuan pemeriksaan fisik abdomen yang
meragukan, harus dipertimbangkan diagnostik peritoneal
lavage (DPL), USG abdomen, atau bila keadaan umum
memungkinkan, pemeriksaan CT Scan abdomen dengan
kontras.(2)
2.6.

ALGORITMA INITIAL ASSESMENT


Bagan 2. Algoritma Initial Assesment

30

Nilai kesadaran/ respon penderita

Ada respon
Tidak respon
Observasi
Aktifkan system gawat darurat (ambulance, dll)
Obati sesuai indikasi
Upayakan defibrilator
Nilai pernafasan (buka jalan nafas, lihat, dengar, dan rasa)

Bernapas
Tdk bernapas
Tempatkan dalam posisi aman,bila tidak ada traumaBerikan 2 pernapasan buatan.
Nilai sirkulasi

Oksigen- Anamnesis
Mulai RJP
Cairan IV- Pemeriksaan fisik
Monitor- EKG 12 Sendapan Monitor adanya fibrilasi ventrikel , takikardia ventrikel
Tanda vital
Di curigai penyebab?
Hipertensi/stroke/edema paru akut, atasi sesuai protokol

IMA atasi sesuai protokol

Aktivitas listrik?

Aritmia

Bradikardia

Teruskan RJP
Defibrilasi
Intubasi
Teruskan RJP dan atasi sesuai protok
Pastikan letak pipa trakea
Pastikan ventilasi
Tentukan irama & penyebab

Takikardia
Disosialisasi elektromekanika

Atasi sesuai protokol

2.7.

Kajian Islam

asistole

Teruskan RJP dan atasi sesuaiTeruskan


protokol RJP dan atasi sesuai protokol

31

1. Surah Asy-Syuraa ayat 80



Artinya: "dan apabila aku sakit. Dialah Yang menyembuhkan

aku," (QS.26:80)
2. Surah al-maidah ayat 32:

Artinya :
32. Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan
karena orang itu (membunuh) orang lain [411], atau bukan karena
membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya [412]. Dan barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah

memelihara

kehidupan

manusia

semuanya.

Dan

sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami


dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak diantara mereka sesudah itu [413] sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi
[411] Ya'ni: membunuh orang bukan karena qishaash. [412] Hukum
ini bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai
manusia

seluruhnya. Allah

memandang

bahwa

membunuh

seseorang itu adalah sebagai membunuh manusia seluruhnya,


karena orang seorang itu adalah anggota masyarakat dan karena
membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya. [413]
Ialah: sesudah kedatangan Rasul membawa keterangan yang nyata.
3. Hadis Nabi Muhammad SAW

32

"Allah telah menurunkan penyakit dan penawarnya dan Dia telah


menentukan setiap penawar untuk setiap penyakit. Jadi rawatlah
dirimu sendiri dengan menggunakan obat-obatan sekuatmu, tetapi
jangan menggunakan sesuatu yang jelas-jelas dilarang." (HR. Abu
Dawud dari Abu Al-Darda).

33

BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Initial Assesment adalah proses penilaian yang cepat dan pengelolaan
yang tepat guna menghindari kematian pada pasien gawat darurat. Initial
assessment secara luas adalah proses evaluasi secara cepat pada penderita
gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakan resusitasi. Penilaian
dan resusitasi dilakukan berdasarkan prioritas kegawatan pada penderita
berdasarkan adanya gangguan pada jalan napas (airway), pernapasan
(breathing) dan sirkulasi (circulation). Proses penilaian awal, pada dasarnya
meliputi:
1) Primary survei
Primary survey adalah penanganan yang dilakukan pertama, yang
telah dibakukan menurut ATLS yang mencakup konteks bahasan
ABCDE. ABCDE adalah Airway, Breathing, Circulation, Disability,
Exposure.
2) Secondary Survei
Meliputi penanganan anamnesis dan pemeriksaan fisik head to toe,
bila menemukan pasien yang saat secondary survey mengalami progres
yang buruk, maka kembali lakukan primary survey.
3) Penanganan Definitif (menetap)
Adalah penanganan yang diberikan kepada klien yang telah melewati
masa yang akut, setelah primary survey dan secondary survey.
3.2. SARAN
Penanganan awal (initial assesment) adalah hal mutlak yang harus
dipahami oleh tenaga kesehatan kegawatdaruratan. Oleh sebab itu, para
tenaga

kesehatan,

dimanapun

berada,

harus

memahami

konsep

kegawatdaruratan ini. Karena, apabila kita telah mengerti mengenai konsep


initial assesment, maka kita tidak akan bingung apabila mendapatkan kasus
kegawatdaruratan yang seperti kita tahu bahwa kasus kegawatdaruratan
memerlukan tidak hanya tindakan yang cepat namun juga tindakan tepat

34

guna mendapatkan hasil yang maksimal, yaitu menurunkan resiko kecacatan


atau bahkan kematian.

35

DAFTAR PUSTAKA
1.
Debora C. Initial Assesment. Program Studi S1
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Medika PPNI
Bali. 2011.
2.
Nancy Peterson JS. Advanced Trauma Life Support for
Doctors ATLS US: American Collage of Surgeons Comittee on
Trauma; 2008.
3.
Suparjo. Konsep Dasar Bantuan Hidup Dasar. 2010 [cited
2016 16 Februari]; Available from: http://www.scribd.com.
4.
Henderson SO. Emergency Medicine Vademecum. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2013. 741 p.
5.
AGD D. Triage. 2010 [cited 2016 16 Februari].
6.
Sylvia A. Price LMW. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. 6 ed. Wilson LM, editor. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2013.
7.
Paulsen W. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Organ-Organ
Dalam Edisi 23. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2013.
8.
Snell. Anatomi Klinis untuk Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2014.
9.
Gadar HP. Bantuan Hidup Dasar (BHD). 2011 [updated 16
April ]; 6].
10.
Rizka Amirullah IH, Julianti Putri Dinaa. Ruptur Urethra,
dalam: Initial Assesment. Makassar: Tim Bantuan Medis 110
FKUMI; 2015.
11.
Incorporated A. How to Do the Heimlich Maneuver. USA:
Deaconess; 2013 [cited 2016 16 Februari]; Available from:
http://www.deaconesshealthcare.com/Heimlich_Institute/Heimlich_Maneuver/How_to_
do_the_Heimlich_Maneuver/.
12.
Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2013.
13.
R. Sjamsuhidajat WK, Theddeus O.H. Prasetyono, Reno
Rudiman. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-DeJong, Ed.3.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2014. 1083 p.
14.
Association AH. Guidelines 2015 CPR & ECC. US: AHA;
2015.

Anda mungkin juga menyukai