Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas yang
menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat
ditujukan untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma yang bisa terjadi dalam
beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma,
immediate, terjadi saat trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat resiko
kecacatan dan bahkan kematian. Hal ini bisa saja terjadi karena trauma yang terjadi dalam
beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma tidak mendapatkan penanganan yang
optimal. Berdasarkan kasus diatas, penilaian awal merupakan salah satu item
kegawatdaruratan yang sangat mutlak harus dilakukan untuk mengurangi resiko kecacatan,
bahkan kematian.
Seorang tenaga kesehatan harus mampu melakukan tindakan medis yang tepat dan
cepat untuk mengatasinya. Melalui protocol-protokol yang berlaku, seorang tenaga kesehatan
harus mampu melakukan penilaian awal, sehingga mampu memberikan tindakan yang tepat
sesuai dengan tujuan penilaian awal. Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan
pasien, mengidentifikasi cedera / kelainan pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan
sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan efisiensi tindakan definitif atau transfer kefasilitas
sesuai. Oleh karena itu tenaga medis, khususnya dalam system pelayanan tanggap darurat
harus mengenal konsep penilaian awal untuk meningkatkan keberhasilan penanganan kasus
gawat darurat.

1.2 TUJUAN UMUM


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas
mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat serta untuk menambah pengetahuan tentang
keperawatan khususnya keperawatan kegawatdaruratan dan yang termasuk didalamnya
adalah konsep initial assesment.

1.3 TUJUAN KHUSUS


Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari pembahasan makalah ini adalah :

1
1. Untuk mengetahui pengertian initial assesment
2. Untuk mengetahui komponen initial assesment
3. Untuk mengetahui langkah-langkah pada initial assessment
4. Untuk mengetahui survey primer, resusitasi dan pemeriksaan penunjang
5. Untuk mengetahui airway dan cervical control
6. Untuk mengetahui breathing dan ventilation
7. Untuk mengetahui circulation dan hemorhage control
8. Untuk mengetahui disability
9. Untuk mengetahui eksposure
10. Untuk mengetahui folley catheter / kateter urin
11. Untuk mengetahui gastric tube/ kateter lambung
12. Untuk mengetahui heart monitoring/ monitor ekg
13. Untuk mengetahui foto rontgen
14. Untuk mengetahui survey sekunder, pemeriksaan penunjang dan evaluasi
15. Untuk mengetahui re-evaluasi penderita
16. Untuk mengetahui terapi definitive dan rujukan

BAB II

PEMBAHASAN

Apabila kita menemukan penderita dengan luka parah, maka seringkali kita dalam
kebingungan untuk memulai penilaian dan pengelolaan penderita, sedangkan tindakan kita
seharusnya cepat dan tepat. Cara penilaian awal serta pengelolaannya yang akan diuraikan
dibawah ini merupakan suatu protocol menurut “ Advanced Trauma Life Support”.

2
2.1PENGERTIAN INITIAL ASSESMENT

Pengertian luas initial assessment adalah proses evaluasi secara tepat pada penderita
gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakan resusitasi. Secara terbatas pengertian
initial assessment adalah meliputi tindakan triase sampai dengan survey sekunder. Initial
assessment harus dilakukan dengan urutan yang benar supaya diperoleh hasil yang maksimal
meski demikian dalam praktek sehari-hari dapat berlangsung secara simultan

2.2 KOMPONEN INITIAL ASSESMENT


Proses initial assessment ini meliputi :
1. Persiapan penderita
2. Triase
3. Survey primer
4. Resusitasi
5. Pemeriksaan penunjang untuk survey sekunder
6. Pengawasan dan evaluasi ulang
7. Terapi definitive

2.3 LANGKAH-LANGKAH PADA INITIAL ASSESSMENT MELIPUTI :


1. Persiapan penderita
Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas di lapangan
akan menguntungkan penderita. Sebaiknya rumah sakit sudah diberitahukan
sebelum pasien mulai diangkut dari tempat kejadian sehingga rumah sakit dapat
mempersiapkan peralatan dan tim trauma pada saat penderita tiba di rumah sakit
Ada 2 tahap persiapan penderita :

 Tahap pra rumah sakit


Merupakan fase yang cukup menentukan untuk keselamatan pasien, mulai dari
penanganan awal hingga rujukan pasien ke RS yang tepat
Di Indonesia pelayanan pra Rumah sakit ini merupakan bagian yang sangat
terbelakang dari pelayanan penderita gawat darurat secara menyeluruh. Berbeda di
jalan tol hampir semua korban penderita yang trauma dibawa oleh ambulan ke
rumah sakit. Pelayanan korban dengan trauma pra rumah sakit yang membawanya
biasanya adalah keluarga sendiri atau orang sekitar yang berbaik hati ( good
samaritan)
Prinsip Do No Further Ham : Keadaan yang ideal adalah dimana Unit Gawat
Darurat (UGD) yang datang ke penderita, bukan sebaliknya, karena itu ambulans
yang datang sebaiknya memiliki peralatan yang lengkap.

3
Petugas/ paramedic yang datang membantu penderita sebaiknya mendapatkan
latihan khusus, karena pada saat menangani penderita mereka harus menguasai
ketrampilan khusus yang dapat menyelamatkan nyawa.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan meliputi :


 Koordinasi dengan rumah sakit tujuan yang disesuaikan dengan kondisi dan
jenis perlukaannya
 Penjagaan jalan nafas, control perdarahan dan imobilisasi penderita
 Koordinasi dengan petugas lapangan lainnya

Pada tahap intra RS harus dipersiapkan petugas dan perlengkapannya sebelum


penderita tiba. Persiapan tersebut meliputi :
 Alat perlindungan diri
 Kesiapan perlengkapan dan ruangan untuk resusitasi
 Persiapan untuk tindakan resusitasi yang lebih kompleks
 Persiapan untuk terapi definitive

Yang harus dilakukan oleh seorang paramedic adalah :


 Menjaga airway dan breathing
 Kontrol perdarahan dan syok
 Imobilisasi penderita
 Pengiriman kerumah sakit terdekat yang cocok.
 Tahap rumah sakit
 Evakuasi Penderita : Dalam keadaan dimana penderita trauma dirumah
sakit yang dibawa tanpa persiapan pada pra- dirumah sakit maka sebaiknya
evakuasi dari kendaraan ke brankar dilakukan oleh petugas rumah sakit
dengan berhati-hati. Selalu harus diperhatikan control servikal.
 Ingat prinsip “Do No Further Ham”

2. Triase
Triase adalah tindakan untuk mengelompokkan penderita berdasar pada beratnya
cedera yang diprioritaskan berdasarkan ada tidaknya gangguan pada A (airway), B
(Breathing) dan C (Circulation). Triase adalah cara pemilahan penderita
berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang tersedia
Penderita yang mengalami gangguan jalan nafas (airway) harus mendapatkan
prioritas penanganan pertama mengingat adanya gangguan jalan nafas adalah
penyebab tercepat kematian pada penderita.
Triase juga mencakup pengertian mengatur rujukan sedemikian rupa sehingga
penderita mendapatkan tempat perawatan yang semestinya
Pada umumnya kita akan melakukan triase, tidak peduli penderita hanya satu atau
banyak.
 Bila satu penderita, akan mencari masalah penderita (selection of problems)
 Bila banyak penderita, akan mencari penderita yang paling bermasalah.

4
 Pemilahan akan didasarkan pada keadaan ABC (Airway, Breathing,
Circulation).

Dua jenis keadaan triase yang dapat terjadi :


 Musibah missal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan melebihi
kemampuan RS. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah gawat darurat
dan multitrauma akan dilayani terlebih dahulu
 Musibah missal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan melampaui
kemampuan RS. Dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih dahulu
adalah penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar, serta
membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga paling sedikit

Tindakan triase dapat dikerjakan pada sekelompok pasien, missal pada keadaan
bencana atau korban massal, atau pada penderita tunggal untuk menentukan
diagnosis

2.4 SURVEY PRIMER, RESUSITASI DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Survey primer atau primary survey adalah pemeriksaan secara cepat fungsi vital pada
penderita dengan cedera berat dengan prioritas pada ABCD, fase ini harus dikerjakan
dalam waktu singkat dan kegawatan pada penderita sudah harus dapat ditegakkan
pada fase ini. Pada tahap ini harus dicari keadaan yang mengancam nyawa, tetapi
sebelum memegang penderita trauma selalu harus proteksi diri terlebih dahulu untuk
menghindari tertular penyakit seperti Hepatitis dan AIDS.
Alat proteksi diri sebaiknya :
 Sarung tangan
 Kaca mata, terutama apabila penderita menyemburkan darah
 Apron, melindungi pakaian sendiri
 Sepatu
Tindakan resusitasi untuk menyelamatkan harus segera dikerjakan apabila dijumpai
kegawatan pada survey primer meliputi penilaian :
 A: AIRWAY maintenance adalah mempertahankan jalan nafas. Hal ini dapat
dikerjakan dengan tekhnik manual ataupun menggunakan alat bantu (pipa
orofaring. Pipa endotracheal). Tindakan ini mungkin akan banyak
memanipulasi leher sehingga harus diperhatikan untuk menjaga stabilitas
tulang leher
 B: BREATHING adalah menjaga pernafasan/ventilasi dapat berlangsung
dengan baik. Setiap penderita trauma berat memerlukn tambahan oksigen yang
harus diberikan kepada penderita dengan cara efektif.

5
 C : CIRCULATION adalah mempertahankan sirkulasi bersama dengan
tindakan untuk menghentikan perdarahan. Pengenalan dini tanda-tanda syok
perdarahan dan pemahaman tentang prinsip-prinsip pemberian cairan sangat
penting untuk dilakukan sehingga menghindari pasien dari keterlambatan
penanganan
 D: DISABILITY adalah pemeriksaan untuk mendapatkan kemungkinan
adanya gangguan neurologis
 E : ENVIRONMENT atau EXPOSURE adalah pemeriksaan pada seluruh
tubuh penderita untuk melihat jejas atau tanda-tanda kegawatan yang mungkin
tidak terlihat dengan menjaga supaya tidak terjadi hipotermi. Selama survey
primer ini keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya
dilakukan pada saat itu juga. Resusitasi yang agresif dan pengelolaan yang
cepat dari keadaan yang mengancam nyawa merupakan hal yang mutlak bila
ingin penderita tetap hidup. Prioritas penanganan kegawatan dilakukan
berdasarkan urutan diatas, namun bila memungkinkan dapat juga dilakukan
secara simultan. Prioritas penanganan untuk pasien usia muda maupun usia
lanjut adalah sama. Salah satu perbedaanya adalah bahwa pada usia muda
ukuran organ relative lebih kecil dan fungsinya belum berkembang secara
maksimal. Pada ibu hamil, prioritas tetap sama , hanya proses kehamilan
membuat proses fisiologis berubah karena adanya janin. Pada orang tua,
karena proses penuaan fungsi tubuh menjadi lebih rentan terhadap trauma
karena berkurangnya daya adaptasi tubuh.

2.5 AIRWAY DAN CERVICAL CONTROL


Kelancaran jalan nafas (airway) adalah menjadi prioritas pemeriksaan.
Pemeriksaan ini meliputi adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan karena
benda asing, fraktur tulang wajah, trauma laring, trachea dan sebab lain. Dalam hal ini
penjagaan airway bias dimulai dengan membuka jalan nafas dengan maneuver chin
lift atau jaw thrust untuk mengetahui ada atau tidaknya sumbatan oleh benda
asing/darah/dan lainnya. Selama melakukan tindakan tersebut juga harus dijaga
stabilisasi tulang leher, khususnya pada multiple trauma atau trauma bagian atas
tubuh. Cedera tulang leher harus diantisipasi dengan benar sampai terbukti tidak ada.
Pada keadaan tertentu dimana airway sukar dipertahankan dengan tindakan
biasa maka harus segera disiapkan untuk memasang airway definitive jika diperlukan.
Yang pertama dinilai adalah : kelancaran jalan nafas, namun harus diingat
bahwa kebanyakan usaha untuk memperbaiki jalan nafas akan menyebabkan gerakan

6
pada leher. Karena itu apabila ada kemungkinan fraktur servikal harus dilakukan
control servikal.
Kemungkinan patahnya tulang servikal diduga bila ada :

 Trauma kapitis, terutama apabila ada penurunan kesadaran


 Adanya luka karena trauma tumpul cranial dari klavikula
 Setiap multi trauma (trauma pada 2 regio tubuh atau lebih)
 Juga harus waspada kemungkinan patah servikal bila boi-mekanika trauma
mendukung (misalnya ditabrak dari belakang).

Cara proteksi servikal :

 Pertahankan posisi kepala


 Pasang colar servikal
 Pasang diatas Long Spine Board

Lalu perhatian ditujukan kepada airway. Ajaklah penderita berbicara, apabila


penderita dapat berbicara, apabila penderita dapat berbicara dengan jelas dan
dengan kalimat panjang, maka untuk sementara dapat dianggap bahwa airway dan
breathing dalam keadaan baik. Juga kemungkinan penderita tidak syok, dan tidak
ada kelainan neurologis, namun asumsi ini selalu lakukan dengan berhati-hati.

Lakukan penilaian Airway

 Bila dapat berbicara jelas : airway baik


 Bila ada gangguan airway : perbaiki.
Sumbatan pada jalan nafas akan menyebabkan sesak yang harus dibedakan dengan
sesak karena gangguan breathing. Pada obtruksi jalan nafas biasanya akan ditemukan
pernafasan yang berbunyi seperti : bunyi gurgling (bunyi kumur-kumur karena ada
cairan), bunyi mengorok (snoring karena pangkal lidah yang jatuh ke dorsal) ataupun
stridor karena adanya penyempitan / oedem larings.
Lakukan penanganan sebai berikut :
 Bila ada cairan , dilakukan suction
 Bila mengorok dilakukan penjagaan jalan nafas secra manual dengan chin lift
atau jaw thrust disusul pemasangan pipa oro atau naso-faringeal.

Pemasangan pipa orofaringeal (Guedel /Mayo) jangan dilakukan apabila penderita


masih sadar ataupun berusaha mengeluarkan pipa tersebut (masih ada gag reflek).
Dalam keadaan ini lebih baik dipasang pipa nasofaringeal. Harus diingat bahwa
pemasangan pipa melalui hidung merupakan kontraindikasi apabila penderita ada

7
kecurigaan fraktur basis kranii bagian depan, karena pipa dapat masuk kerongga
cranium.

Apabila penderita apnue, ada ancaman obstruksi ataupun ada ancaman aspirasi lebih
baik memasang jalan napas definitif (pipa dalam trakea). Jalan nafas definitif ini
dapat melalui hidung (nasotrakeal), melalui mulut (orotrakeal) ataupun langsung
melalui suatu kriko – tiroidotomi.

Menjaga jalan nafas pada penderita trauma sangat sulit. Sebagai contohnya adalah
penderita trauma kapitis dengan mulut yang penuh darah karena raktur basis kranii
ataupun karena fraktur tulang wajah. Contoh lain adalah penderita kesadaran
menurun yang gelisah dan gigi terkatup. Betapapun sulitnya, tetapi merupakan tugas
dokter yang menerima penderita itu untuk dapat menjaga jalan nafas dengan baik dan
dalam waktu yang secepat mungkin.

Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak
boleh dilakukan ekstensi, fleksi ataupun rotasi dari leher.

2.6 BREATHING DAN VENTILATION


Breathing (pernafasan) dan ventilation (proses pertukaran gas) yang baik
memerlukan kerja dinding dada, paru dan diafragma yang baik pula. Gangguan pada
salah satu organ tersebut dapat menyebabkan gangguan pada pernafasan dan ventilasi.
Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi dinding dada. Lakukan
tekhnik auskultasi, perkusi dan palpasi untuk melihat adanya kelainan pada
pernafasan penderita.
Setiap penderita trauma harus diberikan oksigen. Beberapa keadaan akut
akibat trauma yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan yang fatal adalah
tension pneumothoraks, flail chest yang disertai kontusio pulmonum, hemathotoraks
yang massif dan pneumothoraks terbuka. Hal ini harus dikenali pada fase ini dan
segera tindakan berupa pemasangan drain thoraks untuk tujuan dekompresi.

Periksa breathing dan atasi bila kurang baik. Jalan nafas yang baik tidak
menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernapas adalah
mutlak untuk pertukaran oksigen dan karbondioksida dari tubuh.

Tiga hal yang harus dilakukan dalam breathing :

 Nilai apakah breathing baik (look-listen-feel)

8
 Ventilasi tambahan apabila breathing kurang adekuat.
 Selalu berikan oksigen

Menilai pernafasan
Petugas yang berpengalaman dalam hitungan detik dapat menilai apakah pernafasan
baik atau tidak. Penderita yang dapat berbicara kalimat panjang, tanpa ada kesan
sesak, umumnya breathingnya baik.

Pernafasan yang baik adalah pernafasan yang :


 Frekuensi normal (dewasan rata-rata sekitar 20, anak 30, bayi 40)
 Tidak ada gejala dan tanda sesak
 Pada pemeriksaan fisik baik

Lakukan pemeriksaan dengan cara :


1. Lihat dada penderita dengan membuka untuk melihat pernafasan yang baik.
Lihat apakah ada jejas, luka terbuka, dan ekspansi kedua paru.
2. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara kedalam kedua paru
dengan mendengarkan bising nafas dan memeriksa jantung.
3. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara (hipersonor) atau darah (dull)
dalam rongga pleura.

Cedera thorak yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dan
ditemukan pada saat melakukan survey primer adalah :
 Tension pneumothorak
 Flail chest dengan kontusio paru
 Pneumothorak terbuka
 Hematotorak massif.
Kelainan –kelainan diatas harus segera diatasi untuk menghindari kematian.

Ventilasi Tambahan
Apabila pernafasan tidak adekuat harus dilakuka bantuan pernafasan (assisted
ventilation). Di UGD sebaiknya membantu pernafasan memakai Bag-Valve (Ambu
Bag) ataupun memakai ventilator.

Oksigen
Berikan oksigen, apabila diperlukan konsentrasi oksigen yang tinggi dengan memakai
rebreathing ataupun non rebreathing mask, atau dengan kanul (5-6 lpm)

2.7 CIRCULATION DAN HEMORHAGE CONTROL


Perdarahan merupakan sebab utama kematian pada penderita trauma yang
mungkin dapat diatasi apabila mendapat terapi yang cepat dan tepat.

9
Penilaian fungsi sirkulasi secara cepat dapat dilakukan dengan menilai
kesadaran, warna kulit dan nadi. Menghentikan perdarahan luar dapat dikerjakan
selama primary survey primer dengan tekhnik penekanan pada luka atau cara operatif.
Bila ada tanda syok atasi. Syok pada penderita trauma harus dianggap disebabkan
oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan
penilaian yang cepat dari status hemodinamika penderita.

Reaksi tubuh terhadap hilangnya cairan (perdarahan) dapat berbeda :


 Pada orang tua kemampauan kompensasi sudah jauh berkurang
sehingga tindakan resusitasi harus segera diberikan
 Pada usia dini kompensasi sangat besar sehingga tanda-tanda
kegagalan sirkulasi muncul lambat
 Pada olah ragawan daya kompensasi lebih besar daripada orang biasa
dengan ciri khas lebih jarang terjadi takikardi meskipun dlama kondisi
hipovolemia

Resusitasi cairan diberikan berdasarkan derajat syok yang terjadi , dari derajat
syok dan responnya terhadap resusitasi cairan, dapat diprediksi apakah suatu
perdarahan dalam (internal bleeding) memerlukan tindakab operatif (surgical
resusitation) atau tidak.

1. Pengenalan Syok
Ada dua pemeriksaan yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi
mengenai keadaan hemodinamika, yakni keadaan kulit akral dan nadi.

 Keadaan kulit akral : Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia.


Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan
ekstremitas, jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah
pucat keabu-abuan kulit eksremitas yang pucat serta dingin, merupakan tanda
syok.
 Nadi : Nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri carotis harus
diperiksa bilateral, untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Pada syok nadi
akan kecil dan cepat.
Bila nadi kecil dan cepat, kulit pucat, dan akral dingin syok
 Catatan mengenai tekanan darah : Pada fase awal jangan terlalu percaya
kepada tekanan darah dalam menentukan syok karena :
 Tekanan darah sebelumnya tidak diketahui.

10
 Diperlukan kehilangan volume darah lebih dari 30% untuk dapat terjadi
penurunan tekanan darah yang signifikan.

2. Kontrol pendarahan
Perdarahan dapat secara eksternal (terlihat) dan internal (tidak terlihat). Perdarahan
internal berasal dari :
 Rongga toraks
 Rongga abdomen
 Fraktur pelvis
 Fraktur tulang panjang
 Jarang : perdarahan retro-peritoneal karena robekan vena kava/aorta atau
perdarahan masif dari ginjal.

Perdarahan eksternal :

Perdarahan eksternal dikendalikan dengan penekanan langsung pada luka.

Jarang diperlukan penjahitan untuk mengendalikan perdarahan luar. Turniket (tourniquet)


jangan dipakai, karena apabila dipasang secara benar (diatas tekanan sistolik) justru akan
merusak jaringan karena menyebabkan iskemia distal dari turniket. Pemakaian hemostat
(‘di klem’) memerlukan waktu dan dapat merusak jaringan sekitar seperti syaraf dan
pembuluh darah.

Perdarahan internal :

Spalk/bidai dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan dari suatu fraktur pada
ekstremitas.

Pneumotic anti shack garment adalah suatu alat untuk menekan pada keadaan fraktur
pelvis, namun alat ini mahal dan sulit didapat. Sebagai gantinya dapat dipakaikan gurita
sekitar pelvis.

Perdarahan intra-abdominal atua intra-torakal yang masif, dan tidak dapat diatasi dengan
pemberian cairan intravena yang adekuat, menuntut diadakanya operasi segera untuk
menghentikan perdarahan (resusitasi laparo/thoracotomy).

3. Perbaikan volume

Kehilangan darah sebaiknya diganti dengan darah, namun penyediaan darah


memerlukan waktu, karena itu pada awalnya akan diberikan cairan kristaloid 1-2 liter untuk
mengatasi syok hemoragik melalui 2 jalur dengan jarum intravena yang besar.

11
Cairan kristaloid ini sebaiknya Ringer’s Lactate, walaupun NaCl fisiologis juga dapat
dipakai. Cairan ini diberikan dengan tetesan cepat melalui suatu kateter intravena yang
besar (min. Ukuran 16). Dalam bahasa Jakarta/Jawa Barat “diguyur”, di Jawa Tengah/Jawa
Timur dengan bahasa “grojog” dan di Sumatera “cor”. Cairan ini juga harus dihangatkan
untuk menghindari terjadinya hipotermia. Cairan ini juga harus dihangatkan apabila ingin
menghindari terjadinya hipotermia. Pemasangan kateter urin dapat dipertimbangkan disini
guna pemantauan urin.

Alur pikir pada penderita trauma yang mengalami syok : saat dikenali syok (penderita
trauma), harus dianggap sebagai syok hemoragik. Sambil dipasang infus, dilakukan
penekanan pada perdarahan luar (bila ada). Bila tidak ada perdarahan luar dilakukan
pencarian akan adanya perdarahan internal (5 tempat : torax, abdomen, pelvis, tulang
panjang dan retoperitonial). Sambil mencari sumber perdarahan, dilakukan evaluasi respon
penderita terhadap pemberian cairan.

Kemungkinan adalah :

 Respon baik : setelah diguyur, tetesan diperlahan, tanda-tanda perfusi baik (kulit
menjadi hangat, nedi menjadi besar dan melambat, tensi naik). Ini pertanda
perdarahan sudah berhenti.

 Respon sementara : setelah tetesan dipelankan, ternyata penderita masuk syok


lagi. Ini mungkin disebabkan : resusitasi cairan masih kurang, atau perdarahan
berlanjut.

 Respon tidak ada : apabila sama sekali tidak ada respon terhadap pemberian
cairan, maka harus dipikirkan perdarahan yang hebat atau syok non-hemoragik
(paling sering kardiogenik).

2.8 DISABILITY

Pemeriksaan neurologis secara cepat dapat dilakukan dengan metode AVPU


(Alert, Voice Respone, Pain Respone, Unresponsive). Pemeriksaan GCS secara
periodic dapat dilakukan untuk hasil yang lebih detail pada survey sekunder.
Penururnan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau penurunan perfusi
ke otak atau disebabkan trauma langsung pada otak.
12
Bila hipoksia dan hipovolemia pada penderita dengan gangguan kesadaran
adapat disingkirkan, pikirkan adanya kerusakan CNS sampai terbukti lain.

Perdarahan intra-kranial dapat menyebabkan kematian dengan sangat cepat


(the patient who talk and dies), sehingga diperlukan evaluasi keadaan neurologis
secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.

1. GCS (Glasgow Coma Scale) :


GCS adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan
(outcome) penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan
oksigenasi atau dan penurunan perfusi otak, atau disebabkan perlukaan
pada otak sendiri.
Perubahan kesadaran akan dapat mengganggu airway serta breathing yang
seharusnya sudah diatasi terlebih dahulu. Jangan lupa bahwa alkohol dapat
mengganggu kesadaran penderita.
Penurunan tingkat GCS yang lebih dari satu (2 atau lebih) harus sangat
diwaspadai.

2. Pupil
Nialai adakah perubahan pupil.
Pupil yang tidak sama besar (anisokori) kemungkinan menunjukkan
adanya suatu lesi masa intra-kranial (perdarahan). Perlu diingat bahwa lesi
biasanya (tidak selalu) akan terjadi pada sisi pupil yang melebar.

3. Resusitasi
Terhadap kelainan primernya di otak tidak banyak yang dapat dilakukan,
namun tugas sangat penting dari dokter yang menerima penderita trauma
kapitis di UGD adalah dengan menghindari cedera otak sekunder
(secondary brain injury). Yang harus dilakukan terapi dengan agresif
adalah adanya hipovoilemia, hipoksia dan hiperkarbia untuk menghindari
cedera otak sekunder tersebut.

2.9 EKSPOSURE

13
Di rumah sakit penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk evaluasi
kelainan atau injury secara cepat pada tubuh penderita. Setelah pakaian dibuka
perhatikan terhadap injury/jejas pada tubuh penderita, dan harus dipasang selimut
agar penderita tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup
hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan. Apabila pada primary
survei dicurigai ada perdarahan dari belakang tubuh maka dilakukan ‘log rog’ untuk
mengetahui sumber perdarahan.
Pemeriksaan seluruh bagian tubuh harus dilakukan disertai tindakan untuk
mencegah hipotermia. Pemasangan bidai atau vakum matras untuk menghentikan
perdarahan juga sapat dilakukan pada fase ini.

Pemeriksaan penunjang pada umumnya tidak dilakuan pada survey primer.


Yang dilakukan pada survey primer adalah pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse
oxymetri, foto servical, foto thoraks, dan foto polos abdomen. Tindakan lainnya yang
dapat dikerjakan pada survey primer adalah pemasangan monitor EKG, kateter, dan
NGT. Pemeriksaan dikerjakan tanpa menghentikan/ menunda proses survey primer.

2.10 FOLLEY CATHETER / KATETER URIN


Pemakaian kateter urin dan lambung harus dipertimbangkan. Jangan lupa
mengambil sampel urin untuk pemeriksaan urin rutin. Produksi urin merupakan
indikator yang peka untuk menilai keadaan hemodinamik penderita.
Catatan : urin penderita dewasa ½ cc/kgBB/jam, anak 1cc/kgBB/jam, bayi
2cc/kgBB/jam.
Kateter urin jangan dipakai bila ada dugaan ruptur uretra yang ditandai oleh :
- Adanya darah di lubang uretra bagian luar (QUE/Orifisium Uretra External)
- Hematom skrotum
- Pada colok dubur prostat letak tinggi atau tidak teraba.
Dengan demikian maka pemasangan kateter urin tidak boleh dilakukan sebelum colok
dubur (khusus pada penderita trauma).

2.11 GASTRIC TUBE/ KATETER LAMBUNG


Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan mencegah
muntah. Isi lambung yang pekat akan mengakibatkan NGT tidak berfungsi,
pemasangannya sendiri dapat mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat

14
disebabkan darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatik atau perlukaan lambung. Bila
lamin kribrosa patah (fraktur basis kranili anterior) atau diduga patah, kateter lambung
harus dipasang melalui mulut untuk mencegah masuknya NGT dalam rongga otak.

2.12 . HEART MONITORING/ MONITOR EKG


Monitoring hasil resusitasi didasarkan pada ABC penderita.
- Airway : seharusnya sudah diatasi
- Breathing : pemantauan laju nafas (sekaligus memantua airway), dan kalau ada
: pulse oximetry.
- Circulation : nadi, tekanan nadi, tekanan darah, suhu tubuh dan jumlah urin
setiap jam. Bila ada sebaiknya terpasang monitor EKG.
- Disability : nilai tingkat kesadaran penderita dan adakah perubahan pupil.

2.13 FOTO RONTGEN


Pemakaian foto rontgen harus selekif, dan jangan mengganggu proses
resusitasi.Pada penderita trauma tumpul harus dilakukan 3 foto rutin :
- Servikal
- Toraks (AP)
- Pelvis (AP)
Foto servikal AP harus terlihat ke-7 ruas tulang servikal, apabila tidak terlihat
harus dengan menarik kedua bahu kearah kaudal, ataupun dengan swimmer’s view.

2.14 SURVEY SEKUNDER, PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN EVALUASI

Survey sekunder baru dilakukan setelah survey primer selesai dan dipastikan airway,
breathing, dan sirkulasi penderita dipastikan membaik. Survai sekunder adalah pemeriksaan
teliti yang dilakukan dari ujung rambut sampai ujung kaki, dari depan sampai belakang dan
setiap lubang dimasukka jari (tube finger in every orifice).
Prinsip pada survey sekunder adalah memeriksa seluruh tubuh dengan lebih teliti dari
mulai ujung rambut sampai ujung jari kaki (head to toe) baik pada tubuh bagian depan
maupun belakang dan evaluasi ulang terhadap pemeriksaan tanda vital penderita. Dimulai
dengan anamnesa singkat meliputi AMPLE (allergi, medication, past illness, last meal, dan

15
event of injury). Pemeriksaan penunjang yang diperlukan dapat dilakukan pada fase ini
diantaranya foto thoraks.
Survai sekunder hanya dilakukan apabila penderita stabil. Sedikit mengenai
pengertian stabil : penderita stabil berarti bahwa keadaan penderita sudah tidak menurun.
Mungkin masih ada tanda syok, namun tidak bertambah berat. Ini berbeda dengan keadaan
normal, dimana penderita kembali ke keadaan normal.

Survai sekunder juga harus meliputi pemeriksaan yang teliti akan setiap lubang alami
(tubes and finger in every orifice).
a. Anamnesa
Anamnesa harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera yang
mungkin diderita. Beberapa contoh :
- Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman : cedera wajah,
maksilo-facial, sevikal, toraks, abdomen dan tungkai bawah.
- Jatuh dari pohon setinggi 6 meter : perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau
vertebra lain, fraktur ekstremitas.
- Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesa juga harus meliputi :


A : alergi
M : medikasi / obat-obatan
P : Penyakit sebelumnya yang diderita: hipertensi, DM
L : last Meal (terakhir makan jam berapa, bukan makan apa)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera
Dapatkan riwayat AMPLE dari penderita, keluarga atau petugas pra RS

b. Pemeriksaan fisik : meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi

1. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Cukup sering terjadi bahwa penderita yang
nampaknya cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari
tetesan luka di belakang kepala. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala
dan wajah untuk adanya laserasi, kontusi, fraktur, dan luka termal.
2. Wajah

16
Ingat prinsip: ‘look-listen-feel’. Apabila cedera sekitar mata jangan lalai
memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan
pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re-evaluasi tingkat kesadaran
dengan skor GCS.
- Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, pupil mengenai isokor serta
reflex cahaya, acies visus dan acies campus.
- Hidung : apabila ada pembengkakan. Lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
- Zygoma : apabila ada pembengkakan jangan lupa mencari krepitasi akan
adanya fraktur zygoma.
- Telinga : periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani
atau adanya hemotimpanum.
- Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
- Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
3. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan lupa untuk seorang
pembantu tetap melakukan fiksasi pada kepala. Periksa adanya cedera tumpul
atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya
nyeri, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, dan
simetri pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga
airway, pernafas, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak
sekunder, dan lepaskan lensa kontak.
4. Toraks
Pemeriksaan dilakukan dengan look-listen-feel.
Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya
trauma tumpul/ tajam, pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspamsi
thoraks bilateral.
Auskultasi pada bagian depan untuk bising nafas (bilateral) dan bising
jantung.
Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema
subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi untuk adanya hipersonor dan keredupan.
Ingat bahwa setiap cedera di bawah putting susu, ada kemungkinan cedera
intra-abdominal pula.
5. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada
keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan
kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot
dan nyeri tekan/lepas tidak ada).

17
Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma tajam,
tumpul, dan adanya perdarahan internal.
Auskultasi bising usus, perkusi abdomen untuk mendapatkan nyeri lepas
(ringan). Palpasi abdomen untuk nyeri tekan, defans muskuler, nyeri lepas
yang jelas, atau uterus yang hamil.
Bila ragu-ragu akan adanya perdarahan intra-abdominal dapat dilakukan
pemeriksaan DPL (diagnostic peritoneal lavage), ataupun USG.
Ingat bahwa pada perforasi organ ber-lumen misalnya usus halus gejala
mungkin tidak akan Nampak dengan segera, karena itu memerlukan re-
evaluasi berulang kali.
Pengelolaan : transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan
6. Pelvis
Cedera pada pelvis yang berat, akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis
menjadi tidak stabil). Pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi
pasang PASG/ gurita untuk control perdarahan dari fraktur pelvis.
7. Ekstermitas
Pemeriksaan dilakukan dengan ‘look-feel-move’. Pada saat inspeksi, jangan
lupa untuk memeriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuka), pada
saat palpasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur, pada
saat menggerakkan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur.
Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstrimitas
meninggi sehingga membahayakan aliran darah) mungkin luput terdiagnosis
pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan.
8. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dengan ‘log roll’ (memiringkan penderita
dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan
pemeriksaan punggung.

2.15 RE-EVALUASI PENDERITA


Penilaian ulang penderita dengan mencatat, melaporkan setiap perubahan pada
kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi. Monitoring dari tanda vital dan jumlah
urin mutlak dilakukan. Jangan lakukan pemeriksaan yang tidak perlu apabila penderita
akan dirujuk ke RS lainnya.

2.16 TERAPI DEFINITIVE DAN RUJUKAN

Terapi definitive pada umunya merupakan porsi dari dokter spesialis bedah. Tugas
dokter yang melakukan penanganan pertama adalah untuk melakukan resusitasi dan

18
stabilisasi serta menyiapkan penderita untuk dilakukannya tindakan definitive atau untuk
dirujuk. Proses rujukan harus sudah mulai saat alasan untuk merujuk ditemukan, karena
menunda rujukan akan meninggikan morbiditas dan mortalitas penderita.

Keputusan untuk merujuk penderita didasarkan atas data fisiologis penderita,


cedera anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit penyerta serta factor-faktor yang dapat
mengubah prognosis. Idealnya dipilih rumah sakit terdekat yang cocok dengan kondisi
penderita.

Pertimbangkan perlunya diadakan pemeriksaan tambahan: seperti foto tambahan,


CT scan, USG, endoskopi, dsb.

Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan, kebutuhan penderita selama


perjalanan, dan cara komunikasi dengan dokter yang akan dirujuk

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

19
Initial Assesment adalah proses penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat guna
menghindari kematian pada pasien gawat darurat. Initial assessment secara luas adalah proses
evaluasi secara cepat pada penderita gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakan
resusitasi. Penilaian dan resusitasi dilakukan berdasarkan prioritas kegawatan pada penderita
berdasarkan adanya gangguan pada jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing) dan
sirkulasi (circulation). Proses penilaian awal, pada dasarnya meliputi
1. Primary survey
Primary survey adalah penanganan yang dilakukan pertama, yang telah di bakukan menurut
ATLS yang mencakup konteks bahasan ABCDE. ABCDE adalah Airway, Breathing,
Circulation, Disability, exposure.
2. Secondary Survey
Meliputi penanganan pemeriksaan fisik head to toe, bila menemukan pasien yang saat
secondary survey mengalami progress yang buruk, maka kembali lakukan primary survey.
3. Penanganan Definitif (menetap)
Adalah penanganan yang diberikan kepada klien yang telah melewati masa yang akut, setelah
primary survey dan secondary survey.

3.2 SARAN
Penanganan awal (initial assesment) adalah hal mutlak yang harus dipahami oleh tenaga
kesehatan kegawatdaruratan. Oleh sebab itu, para tenaga kesehatan, dimanapun berada, harus
memahami konsep kegawatdaruratan ini. Karena, apabila kita telah mengerti mengenai
konsep initial assesment, maka kita tidak akan bingung apabila mendapatkan kasus
kegawatdaruratan yang seperti kita tahu bahwa kasus kegawatdaruratan memerlukan tidak
hanya tindakan yang cepat namun juga tindakan tepat guna mendapatkan hasil yang
maksimal, yaitu menurunkan resiko kecacatan atau bahkan kematian.

DAFTAR PUSTAKA

.....Basic Trauma-Cardiac Life Support.Jakarta: Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
EGC : Jakarta

20
Suryono, bambang dkk.2008.Materi Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat
( PPGD ) dan Basic Life Support Plus ( BLS ).Yogyakarta : Tim PUSBANKES 118.

Harahap.2010. penilaian-awal-initial-assesment(Online)
(http://aliemharahap.blogspot.com/2010/08/penilaian-awal-initial-assesment.html) Diakses
pada 09.00 tgl 15 September 2011

Saanin .2010. Neuro surgery.(Online).


(http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/First.html)
diakses pada 11.23 tgl 15 September 2011

21

Anda mungkin juga menyukai