Pembimbing Akademik :
Alkhusari, Ners, S.Kep, M.Kep
Dengan segala kerendahan hati kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT,
karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
MAKALAH KEPERAWATAN BENCANA.
Penulis menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan yang belum terjangkau
oleh penulis, maka penulis mengharapkan kritik dan saran serta masukan yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan triase modern tak lepas dari pengembangan sistim layanan gawat
darurat. Kehidupan yang semakin kompleks menyebabkan terjadi revolusi sistem triase baik
di luar rumah sakit maupun dalam rumah sakit. Kata triase berasal dari bahasa perancis trier,
yang artinya menyusun atau memilah. Kata ini pada awalnya digunakan untuk menyebutkan
proses pemilahan biji kopi yang baik dan yang rusak. Proses pemilahan di dunia medis
pertama kali dilaksanakan sekitar tahun 1792 oleh Baron Dominique Jean Larrey, seorang
dokter kepala di Angkatan perang Napoleon. Pemilahan pada serdadu yang terluka dilakukan
agar mereka yang masih bisa ditolong mendapatkan prioritas penanganan. Seiring dengan
berkembangnya penelitian di bidang gawat darurat, sejak tahun 1950 an diterapkan metode
triase di rumah sakit di Amerika Serikat, namun belum ada struktur yang baku. Seiring dengan
perkembangan keilmuan dibidang gawat darurat, triase rumah sakit modern sudah
berkembang menjadi salah satu penentu arus pasien dalam layanan gawat darurat. Triase
menjadi komponen yang sangat penting di unit gawat darurat terutama karena terjadi
peningkatan drastis jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit melalui unit ini. Berbagai laporan
dari UGD menyatakan adanya kepadatan (overcrowding) menyebabkan perlu ada metode
menentukan siapa pasien yang lebih prioritas sejak awal kedatangan.
Triase adalah proses pengambilan keputusan yang kompleks dalam rangka
menentukan pasien mana yang berisiko meninggal, berisiko mengalami kecacatan, atau
berisiko memburuk keadaan klinisnya apabila tidak mendapatkan penanganan medis segera,
dan pasien mana yang dapat dengan aman menunggu.3-7 Berdasarkan definisi ini, proses
triase diharapkan mampu menentukan kondisi pasien yang memang gawat darurat, dan
kondisi yang berisiko gawat darurat. Untuk membantu mengambil keputusan, dikembangkan
suatu sistim penilaian kondisi medis dan klasifikasi keparahan dan kesegeraan pelayanan
berdasarkan keputusan yang diambil dalam proses triase. Penilaian kondisi medis triase tidak
hanya melibatkan komponen topangan hidup dasar yaitu jalan nafas (airway), pernafasan
(breathing) dan sirkulasi (circulation) atau disebut juga ABC approach, tapi juga melibatkan
berbagai keluhan pasien dan tanda-tanda fisik.
B. Rumusan Masalah
3. Bagaimana penilaian sistematis sebelum, saat, dan setelah bencana pada korban survivor, populasi rentan,
3. Mengetahui penilaian sistematis sebelum, saat, dan setelah bencana pada korban survivor, populasi rentan,
A. Triase Indonesia
Sistim triase modern rumah sakit yang saat ini berkembang disusun sedemikian rupa
untuk membantu mengambil keputusan yang konsisten. Semua metode triase lima level
menetapkan petugas yang melaksanakan triase adalah perawat yang sudah terlatih. Namun
tidak menutup kemungkinan dokter terlatih yang melakukan triase untuk kondisi-kondisi unit
gawat darurat khusus (pusat rujukan nasional, pusat rujukan trauma). Meski sudah ada petugas
khusus triase, konsep triase harus dipahami oleh semua petugas medis (dokter, perawat gawat
darurat, dokter spesialis, dan dokter spesialis konsultan) dan non medis (petugas keamanan,
petugas administrasi, petugas porter), karena unit gawat darurat adalah sebuah tim, dan kinerja
tim yang menentukan efektivitas, efisiensi, dan keberhasilan pertolongan medis. Manajemen
unit gawat darurat yang efisien membutuhkan satu tim yang mampu mengidentifikasi
kebutuhan pasien, menetapkan prioritas, memberikan pengobatan, pemeriksaan, dan disposisi
yang tepat sasaran. Semua target tersebut harus dapat dilakukan dengan waktu yang sesuai,
sehingga menghindari kejadian pengobatan terlambat dan pasien terabaikan.
Beberapa karakteristik pasien di Indonesia yang berbeda dengan diluar negeri antara lain di
Indonesia kasus-kasus berat diantar ke IGD oleh keluarga atau pendamping, bukan dengan
ambulans medik, sehingga perlu ada evaluasi singkat mengenai keluhan utama pasien atau
mekanisme trauma, pasien yang datang ke IGD memiliki komorbid lebih banyak, cara
menyampaikan keluhan berbeda-beda tergantung dari latar belakang budaya, serta banyak
dijumpai kasus penyakit tropik dan infeksi seperti demam berdarah dengue, demam typhoid,
malaria, chikunguya, dan leptospirosis
1. Pasien Gawat Darurat Pasien yang tiba-tiba dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat
dan terancam nyawanya dan atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak
mendapatkan pertolongan secepatnya. Bisanya di lambangkan dengan label merah. Misalnya
AMI (Acut Miocart Infac).
2. Pasien Gawat Tidak Darurat Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan
tindakan darurat. Bisanya di lambangkan dengan label Biru. Misalnya pasien dengan Ca
stadium akhir.
3. Pasien Darurat Tidak Gawat Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak
mengancam nyawa dan anggota badannya. Bisanya di lambangkan dengan label kuning.
Misalnya : pasien Vulnus Lateratum tanpa pendarahan.
A. Pasien Gawat Darurat Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan
menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila
tidak mendapat pertolongan secepatnya.
B. Pasien Gawat Tidak Darurat Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan darurat, misalnya kanker stadium lanjut.
C. Pasien Darurat Tidak Gawat Pasien akibat musibah yang datag tiba-tiba, tetapi tidak
mêngancam nyawa dan anggota badannya, misanya luka sayat dangkal.
1. Merah: Kode warna merah diberikan kepada pasien yang jika tidak diberikan penanganan
dengan cepat maka pasien pasti akan meninggal, dengan syarat pasien tersebut masih
memiliki kemungkinan untuk dapat hidup. Contohnya seperti pasien dengan gangguan
pernapasan, trauma kepala dengan ukuran pupil mata yang tidak sama, dan perdarahan
hebat.
2. Kuning: Kode warna kuning diberikan kepada pasien yang memerlukan perawatan segera,
namun masih dapat ditunda karena ia masih dalam kondisi stabil. Pasien dengan kode
kuning masih memerlukan perawatan di rumah sakit dan pada kondisi normal akan segera
ditangani. Contohnya seperti pasien dengan patah tulang di beberapa tempat, patah tulang
paha atau panggul, luka bakar luas, dan trauma luka bakar
3. Hijau: Kode warna hijau diberikan kepada mereka yang memerlukan perawatan namun
masih dapat ditunda. Biasanya pasien cedera yang masih sadar dan bisa berjalan masuk
dalam kategori ini. Ketika pasien lain yang dalam keadaan gawat sudah selesai ditangani,
maka pasien dengan kode warna hijau akan ditangani. Contohnya seperti pasien dengan
patah tulang ringan, lika bakar minimal, atau luka ringan.
4. Putih: Kode warna putih diberikan kepada pasien hanya dengan cedera minimal di mana
tidak diperlukan penanganan dokter.
5. Hitam: Kode warna hitam diberikan kepada pasien yang setelah diperiksa tidak
menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Misalnya, mereka yang masih hidup namun
mengalami cedera yang amat parah sehingga meskipun segera ditangani, pasien tetap akan
meninggal.
B. Penilaian Sistematis Sebelum, Saat, dan setelah Bencana pada Korban, Survivor,
Populasi Rentan dan Berbasis Komunitas
Pengertian Penilaian Sistematis Menurut Eko Putro Widoyoko, 2012: 3, Penilaian
ialah sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran berdasarkan kriteria dan aturan-
aturan tertentu. Penilaian memberikan informasi lebih konprehensif dan lengkap dari pada
pengukuran, karena tidak hanya mengunakan instrument tes saja, melainkan mengunakan
tekhnik non tes lainya. Penilaian merupakan kegiatan mengambil keputusan dalam
menentukan sesuatu berdasarkan kriteria baik dan buruk serta bersifat kualitatif Sistematis
adalah bentuk usaha menguraikan serta merumuskan sesuatu hal dalam konteks hubungan
yang logis serta teratur sehingga membentuk system secara menyeluruh, utuh dan terpadu
yang mampu menjelaskan berbagai rangkaian sebab akibat yang terkait suatu objek
tertentu.(Abdulkadir Muhammad : 2004) Jadi penilaian sistematis adalah kegiatan dan proses
pengumpulan data data dan informasi yang bersifat kualitatif yang disusun secara berurutan,
utuh dan terpadu untuk menjelaskan berbagai rangkaian sebab akibat terkait suatu objek
tertentu. Penialain sistematis pada bencana ialah kegiatan mengumpulkan data dan informasi
yang berkaitan dengan bencana yang termasuk didalamnya bentuk bencana, lokasi, dampak,
korban, dan usaha dalam menghadapi bencana sebelum, saat dan setelah terjadinya bencana.
Penilaian sistematis ini disusun untuk memberikan gambaran mengenai resiko dan dampak
yang akan dialami jika terjadi bencana. Penilaian sebelum bencana pada korban, survivor,
populasi rentan dan berbasis masyarakat.
Penilaian risiko bencana/bahaya dibedakan berdasarkan karakteristik utama yaitu :
Kerentanan Ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat menentukan tingkat kerentanan
terhadap ancaman bahaya. Pada umumnya masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang
mampu lebih rentan terhadap bahaya, karena tidak mempunyai kemampuan finansial yang
memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana.
Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya.
Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana akan
mempertinggi tingkat kerentanan, demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang rendah
juga mengakibatkan rentan menghadapi bahaya.
Kerentanan Lingkungan
Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat serta
tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera torako-
abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar
berat).
Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang kurang
berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin
mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera
dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang
leher tidak berat, serta luka bakar ringan).
Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi
segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan penilaian ulang berkala
(cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilofasial tanpa
gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai Prioritas Keempat
(Biru) yaitu kelompok korban dengan cedera atau penyaki kritis dan berpotensi fatal yang
berarti tidak memerlukan tindakan dan transportasi, dan
Prioritas Kelima (Putih) yaitu kelompok yang sudah pasti tewas. Bila pada Retriase
ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan pindahkan kekelompok sesuai.
Triase Sistem Penuntun Lapangan START Berupa penilaian pasien 60 detik dengan
mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental (RPM : R= status Respirasi ; P = status Perfusi
; M = status Mental) untuk memastikan kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging)
yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati.
Ini memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko
besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport segera. Resusitasi
diambulans
Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah = Immediate (Segera), Kuning = Delayed (Tunda) ; Hijau
= Minor. Semua korban diluar algoritma diatas : Kuning. Disini tidak ada resusitasi dan C-
spine control. Satu pasien maks. 60 detik. Segera pindah kepasien berikut setelah tagging.
Pada sistem ini tag tidak diisi, kecuali jam dan tanggal. Diisi petugas berikutnya.
Jadi Surveilans bencana sangat penting karena secara garis besar dapat disimpulkan
manfaatnya adalah:
a. Mencari faktor resiko ditempat pengungsian seperti air, sanitasi, kepadatan, kualitas
tempat penampungan.
b. Mengidentifikasi Penyebab utama kesakitan dan kematian sehingga dapat diupayakan
pencegahan.
c. Mengidentifikasi pengungsi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, wanita hamil,
sehingga lebih memperhatikan kesehatannya.
Berpikir kritis tidak sama dengan mengakumulasi informasi. Seorang dengan daya ingat
baik dan memiliki banyak fakta tidak berarti seorang pemikir kritis. Seorang pemikir kritis
mampu menyimpulkan dari apa yang diketahuinya, dan mengetahui cara memanfaatkan
informasi untuk memecahkan masalah, and mencari sumber-sumber informasi yang relevan
untuk dirinya. Berpikir kritis tidak sama dengan sikap argumentatif atau mengecam orang
lain. Berpikir kritis bersifat netral, objektif, tidak bias.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasarkan beratnya cedera atau
penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat serta transportasi. Tindakan ini
merupakan proses yang berkesinambungan sepanjang pengolahan musibah masal. Proses
triase harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba ditempat kejadian dan tindakan ini
harus dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat berubah.