Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KEPERAWATAN BENCANA

Di Susun Oleh: Kelompok 2


Nama Kelompok :
1. Agum Satrio (18220001)
2. Widia (18220013)
Prodi : S1 Keperawatan
Semester : 7 (Tujuh)

Pembimbing Akademik :
Alkhusari, Ners, S.Kep, M.Kep

YAYASAN KADER BANGSA


UNIVERSITAS KADER BANGSA PALEMBANG
FAKULTAS KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN
PRODI S1 KEPERAWATAN
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT,
karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
MAKALAH KEPERAWATAN BENCANA.

Penulis menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan yang belum terjangkau
oleh penulis, maka penulis mengharapkan kritik dan saran serta masukan yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini.

Palembang, 28 Oktober 2021

Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan triase modern tak lepas dari pengembangan sistim layanan gawat
darurat. Kehidupan yang semakin kompleks menyebabkan terjadi revolusi sistem triase baik
di luar rumah sakit maupun dalam rumah sakit. Kata triase berasal dari bahasa perancis trier,
yang artinya menyusun atau memilah. Kata ini pada awalnya digunakan untuk menyebutkan
proses pemilahan biji kopi yang baik dan yang rusak. Proses pemilahan di dunia medis
pertama kali dilaksanakan sekitar tahun 1792 oleh Baron Dominique Jean Larrey, seorang
dokter kepala di Angkatan perang Napoleon. Pemilahan pada serdadu yang terluka dilakukan
agar mereka yang masih bisa ditolong mendapatkan prioritas penanganan. Seiring dengan
berkembangnya penelitian di bidang gawat darurat, sejak tahun 1950 an diterapkan metode
triase di rumah sakit di Amerika Serikat, namun belum ada struktur yang baku. Seiring dengan
perkembangan keilmuan dibidang gawat darurat, triase rumah sakit modern sudah
berkembang menjadi salah satu penentu arus pasien dalam layanan gawat darurat. Triase
menjadi komponen yang sangat penting di unit gawat darurat terutama karena terjadi
peningkatan drastis jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit melalui unit ini. Berbagai laporan
dari UGD menyatakan adanya kepadatan (overcrowding) menyebabkan perlu ada metode
menentukan siapa pasien yang lebih prioritas sejak awal kedatangan.
Triase adalah proses pengambilan keputusan yang kompleks dalam rangka
menentukan pasien mana yang berisiko meninggal, berisiko mengalami kecacatan, atau
berisiko memburuk keadaan klinisnya apabila tidak mendapatkan penanganan medis segera,
dan pasien mana yang dapat dengan aman menunggu.3-7 Berdasarkan definisi ini, proses
triase diharapkan mampu menentukan kondisi pasien yang memang gawat darurat, dan
kondisi yang berisiko gawat darurat. Untuk membantu mengambil keputusan, dikembangkan
suatu sistim penilaian kondisi medis dan klasifikasi keparahan dan kesegeraan pelayanan
berdasarkan keputusan yang diambil dalam proses triase. Penilaian kondisi medis triase tidak
hanya melibatkan komponen topangan hidup dasar yaitu jalan nafas (airway), pernafasan
(breathing) dan sirkulasi (circulation) atau disebut juga ABC approach, tapi juga melibatkan
berbagai keluhan pasien dan tanda-tanda fisik.
B. Rumusan Masalah

1. Apa konsep dan model-model Triase bencana

2. Bagaimana berfikir kritis dan sistematis

3. Bagaimana penilaian sistematis sebelum, saat, dan setelah bencana pada korban survivor, populasi rentan,

dan berbasis komunitas

C. Manfaat dan Tujuan

1. Mengetahui konsep dan model-model Triase bencana

2. Mengetahui berfikir kritis dan sistematis

3. Mengetahui penilaian sistematis sebelum, saat, dan setelah bencana pada korban survivor, populasi rentan,

dan berbasis komunitas


BAB II
PEMBAHASAN

A. Triase Indonesia
Sistim triase modern rumah sakit yang saat ini berkembang disusun sedemikian rupa
untuk membantu mengambil keputusan yang konsisten. Semua metode triase lima level
menetapkan petugas yang melaksanakan triase adalah perawat yang sudah terlatih. Namun
tidak menutup kemungkinan dokter terlatih yang melakukan triase untuk kondisi-kondisi unit
gawat darurat khusus (pusat rujukan nasional, pusat rujukan trauma). Meski sudah ada petugas
khusus triase, konsep triase harus dipahami oleh semua petugas medis (dokter, perawat gawat
darurat, dokter spesialis, dan dokter spesialis konsultan) dan non medis (petugas keamanan,
petugas administrasi, petugas porter), karena unit gawat darurat adalah sebuah tim, dan kinerja
tim yang menentukan efektivitas, efisiensi, dan keberhasilan pertolongan medis. Manajemen
unit gawat darurat yang efisien membutuhkan satu tim yang mampu mengidentifikasi
kebutuhan pasien, menetapkan prioritas, memberikan pengobatan, pemeriksaan, dan disposisi
yang tepat sasaran. Semua target tersebut harus dapat dilakukan dengan waktu yang sesuai,
sehingga menghindari kejadian pengobatan terlambat dan pasien terabaikan.
Beberapa karakteristik pasien di Indonesia yang berbeda dengan diluar negeri antara lain di
Indonesia kasus-kasus berat diantar ke IGD oleh keluarga atau pendamping, bukan dengan
ambulans medik, sehingga perlu ada evaluasi singkat mengenai keluhan utama pasien atau
mekanisme trauma, pasien yang datang ke IGD memiliki komorbid lebih banyak, cara
menyampaikan keluhan berbeda-beda tergantung dari latar belakang budaya, serta banyak
dijumpai kasus penyakit tropik dan infeksi seperti demam berdarah dengue, demam typhoid,
malaria, chikunguya, dan leptospirosis
1. Pasien Gawat Darurat Pasien yang tiba-tiba dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat
dan terancam nyawanya dan atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak
mendapatkan pertolongan secepatnya. Bisanya di lambangkan dengan label merah. Misalnya
AMI (Acut Miocart Infac).
2. Pasien Gawat Tidak Darurat Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan
tindakan darurat. Bisanya di lambangkan dengan label Biru. Misalnya pasien dengan Ca
stadium akhir.
3. Pasien Darurat Tidak Gawat Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak
mengancam nyawa dan anggota badannya. Bisanya di lambangkan dengan label kuning.
Misalnya : pasien Vulnus Lateratum tanpa pendarahan.
A. Pasien Gawat Darurat Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan
menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila
tidak mendapat pertolongan secepatnya.
B. Pasien Gawat Tidak Darurat Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan darurat, misalnya kanker stadium lanjut.
C. Pasien Darurat Tidak Gawat Pasien akibat musibah yang datag tiba-tiba, tetapi tidak
mêngancam nyawa dan anggota badannya, misanya luka sayat dangkal.

Model triage bencana


Digunakan untuk keadaan dimana pasien datang satu persatu, seperti misalnya di Instalasi
atau Unit Gawat Darurat sehari-hari. Atau pada MCI (mass casualty incident) / bencana
dimana fase akut telah terlewati (setelah 5-10 hari)
1. Simple Triage
Pada keadaan bencana massal (MCI) awal-awal, dimana sarana transportasi belum ada, atau
ada tapi terbatas, dan terutama sekali, belum ada tim medis atau paramedis yang kompeten.
Pemilahan dan pemilihan pasien terutama ditujukan untuk prioritas transportasi pasien dan
kemudian tingkat keparahan penyakitnya. Biasanya, digunakan triage tag/kartu triase.
2. S.T.A.R.T. (Simple Triage And Rapid Treatment)
Prinsip dari START adalah START bertujuan untuk mengatasi ancaman hidup yang utama,
yaitu sumbatan jalan nafas dan perdarahan arteri yang hebat. Pengkajian diarahkan
pada pemeriksaan: Status respirasi, Sirkulasi (pengisian kapiler), dan Status Mental.
Kategori / warna kode
Kategori HIJAU,Yang merupakan “walking waunded”, korban cedera yang masih bisa
berjalan dengan para korban dari kategori yang lain. MERAH (Immediate) Korban yang
bernapas spontan hanya setelah reposisi jalan napas dilakukan. Korban yang memiliki pola
napas lebih dari 30 kali per menit, atau dengan pengisian kalpiler yang lambat (lebih dari
2 detik). Korban memiliki pola napas kurang dari 30X per menit, dengan pengisian kapiler
yang normal (kurang dari atau sama dengan 2 detik), tetapi tidak dapat mengikuti perintah
sederhana. KUNING (Delayed) Para orban yang tidak cocok untuk dikelompokan kedalam
kategori immediate maupun kategori ringan. HITAM (Deceased/unsalvageable)Korban
yang tidak bernapas walaupun jalan napas sudah dibebaskan. Sistem triase medis memilah-
milih pasien berdasarkan kondisi pasien saat masuk ruang perawatan dan memberikan kode
warna untuk pasien, mulai dari merah, kuning, hijau, putih dan hitam. Apa arti dari warna-
warna ini?

1. Merah: Kode warna merah diberikan kepada pasien yang jika tidak diberikan penanganan
dengan cepat maka pasien pasti akan meninggal, dengan syarat pasien tersebut masih
memiliki kemungkinan untuk dapat hidup. Contohnya seperti pasien dengan gangguan
pernapasan, trauma kepala dengan ukuran pupil mata yang tidak sama, dan perdarahan
hebat.
2. Kuning: Kode warna kuning diberikan kepada pasien yang memerlukan perawatan segera,
namun masih dapat ditunda karena ia masih dalam kondisi stabil. Pasien dengan kode
kuning masih memerlukan perawatan di rumah sakit dan pada kondisi normal akan segera
ditangani. Contohnya seperti pasien dengan patah tulang di beberapa tempat, patah tulang
paha atau panggul, luka bakar luas, dan trauma luka bakar
3. Hijau: Kode warna hijau diberikan kepada mereka yang memerlukan perawatan namun
masih dapat ditunda. Biasanya pasien cedera yang masih sadar dan bisa berjalan masuk
dalam kategori ini. Ketika pasien lain yang dalam keadaan gawat sudah selesai ditangani,
maka pasien dengan kode warna hijau akan ditangani. Contohnya seperti pasien dengan
patah tulang ringan, lika bakar minimal, atau luka ringan.
4. Putih: Kode warna putih diberikan kepada pasien hanya dengan cedera minimal di mana
tidak diperlukan penanganan dokter.
5. Hitam: Kode warna hitam diberikan kepada pasien yang setelah diperiksa tidak
menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Misalnya, mereka yang masih hidup namun
mengalami cedera yang amat parah sehingga meskipun segera ditangani, pasien tetap akan
meninggal.

B. Penilaian Sistematis Sebelum, Saat, dan setelah Bencana pada Korban, Survivor,
Populasi Rentan dan Berbasis Komunitas
Pengertian Penilaian Sistematis Menurut Eko Putro Widoyoko, 2012: 3, Penilaian
ialah sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran berdasarkan kriteria dan aturan-
aturan tertentu. Penilaian memberikan informasi lebih konprehensif dan lengkap dari pada
pengukuran, karena tidak hanya mengunakan instrument tes saja, melainkan mengunakan
tekhnik non tes lainya. Penilaian merupakan kegiatan mengambil keputusan dalam
menentukan sesuatu berdasarkan kriteria baik dan buruk serta bersifat kualitatif Sistematis
adalah bentuk usaha menguraikan serta merumuskan sesuatu hal dalam konteks hubungan
yang logis serta teratur sehingga membentuk system secara menyeluruh, utuh dan terpadu
yang mampu menjelaskan berbagai rangkaian sebab akibat yang terkait suatu objek
tertentu.(Abdulkadir Muhammad : 2004) Jadi penilaian sistematis adalah kegiatan dan proses
pengumpulan data data dan informasi yang bersifat kualitatif yang disusun secara berurutan,
utuh dan terpadu untuk menjelaskan berbagai rangkaian sebab akibat terkait suatu objek
tertentu. Penialain sistematis pada bencana ialah kegiatan mengumpulkan data dan informasi
yang berkaitan dengan bencana yang termasuk didalamnya bentuk bencana, lokasi, dampak,
korban, dan usaha dalam menghadapi bencana sebelum, saat dan setelah terjadinya bencana.
Penilaian sistematis ini disusun untuk memberikan gambaran mengenai resiko dan dampak
yang akan dialami jika terjadi bencana. Penilaian sebelum bencana pada korban, survivor,
populasi rentan dan berbasis masyarakat.
Penilaian risiko bencana/bahaya dibedakan berdasarkan karakteristik utama yaitu :

1. Penyebab : alam atau ulah manusia


2. Frekuensi : berapa sering terjadinya
3. Durasi : beberapa durasinya terbatas seperti pada ledakan sedang lainnya mungkin lebih
lama seperti banjir dan epidemic.
4. Kecepatan onset : bisa muncul mendadak hingga sedikit atau tidak ada pemberitahuan yang
bisa diberikan atau bertahap seperti pada banjir (kecuali banjir bandang) memungkinkan
cukup waktu untuk pemberitahuan dan mungkin tindakan pencegahan atau peringatan. Ini
mungkin berulang dalam periode waktu tertentu seperti pada gempa bumi.
5. Luasnya dampak : bisa terbatas dan mengenai hanya area tertentu atau kelompok
masyarakat tertentu atau menyeluruh mengenai masyarakat luas mengakibatkan kerusakan
merata pelayanan dan fasilitas.
6. Potensi merusak: kemampuan penyebab bencana menimbulkan tingkat kerusakan tertentu
(berat, sedang atau ringan) serta jenis (cedera manusia atau kerusakan harta benda) dari
kerusakan.

 Kerentanan Ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat menentukan tingkat kerentanan
terhadap ancaman bahaya. Pada umumnya masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang
mampu lebih rentan terhadap bahaya, karena tidak mempunyai kemampuan finansial yang
memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana.

 Kerentanan Sosial

Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya.
Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana akan
mempertinggi tingkat kerentanan, demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang rendah
juga mengakibatkan rentan menghadapi bahaya.

 Kerentanan Lingkungan

Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan. Masyarakat yang


tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan selalu terancam bahaya kekeringan. Penduduk
yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor
dan sebagainya.

Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.

 Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
 Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat serta
tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera torako-
abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar
berat).
 Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang kurang
berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin
mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera
dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang
leher tidak berat, serta luka bakar ringan).
 Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi
segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan penilaian ulang berkala
(cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilofasial tanpa
gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
 Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai Prioritas Keempat
(Biru) yaitu kelompok korban dengan cedera atau penyaki kritis dan berpotensi fatal yang
berarti tidak memerlukan tindakan dan transportasi, dan
 Prioritas Kelima (Putih) yaitu kelompok yang sudah pasti tewas. Bila pada Retriase
ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan pindahkan kekelompok sesuai.
Triase Sistem Penuntun Lapangan START Berupa penilaian pasien 60 detik dengan
mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental (RPM : R= status Respirasi ; P = status Perfusi
; M = status Mental) untuk memastikan kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging)
yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati.
Ini memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko
besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport segera. Resusitasi
diambulans

Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah = Immediate (Segera), Kuning = Delayed (Tunda) ; Hijau
= Minor. Semua korban diluar algoritma diatas : Kuning. Disini tidak ada resusitasi dan C-
spine control. Satu pasien maks. 60 detik. Segera pindah kepasien berikut setelah tagging.
Pada sistem ini tag tidak diisi, kecuali jam dan tanggal. Diisi petugas berikutnya.

Membangun sistem Surveilans pada situasi bencana dapat dilakukan:

1) Sistem yang harus sederhana

2) Mencakup yang sangat Prioritas.

3) Melibatkan semua pihak


4) Mengutamakan unsur kecepatan

5) Didukung kecepatan respons.

Jadi Surveilans bencana sangat penting karena secara garis besar dapat disimpulkan
manfaatnya adalah:

a. Mencari faktor resiko ditempat pengungsian seperti air, sanitasi, kepadatan, kualitas
tempat penampungan.
b. Mengidentifikasi Penyebab utama kesakitan dan kematian sehingga dapat diupayakan
pencegahan.
c. Mengidentifikasi pengungsi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, wanita hamil,
sehingga lebih memperhatikan kesehatannya.

C. Pengertian Berfikir Kritis


Istilah berpikir kritis (critical thinking) sering disamakan artinya dengan berpikir
konvergen, berpikir logis (logical thinking) dan reasoning. R.H Ennis, dalam Hassoubah
(2004), mengungkapkan bahwa berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif
dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.
Oleh karena itu, indikator kemampuan berpikir kritis dapat diturunkan dari aktivitas kritis
siswa sebagai berikut :
1. Mencari pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan.
2. Mencari alasan.
3. Berusaha mengetahui informasi dengan baik.
4. Memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya.
5. Memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan.

Berpikir kritis tidak sama dengan mengakumulasi informasi. Seorang dengan daya ingat
baik dan memiliki banyak fakta tidak berarti seorang pemikir kritis. Seorang pemikir kritis
mampu menyimpulkan dari apa yang diketahuinya, dan mengetahui cara memanfaatkan
informasi untuk memecahkan masalah, and mencari sumber-sumber informasi yang relevan
untuk dirinya. Berpikir kritis tidak sama dengan sikap argumentatif atau mengecam orang
lain. Berpikir kritis bersifat netral, objektif, tidak bias.

D. Unsur-unsur Dasar Berpikir Kritis


Menurut Ennis (1996: 364) terdapat 6 unsur dasar dalam berpikir kritis yang disingkat
menjadi FRISCO :
F (Focus): Untuk membuat sebuah keputusan tentang apa yang diyakini maka harus bisa
memperjelas pertanyaan atau isu yang tersedia, yang coba diputuskan itu mengenai apa.
R (Reason): Mengetahui alasan-alasan yang mendukung atau melawan putusan-putusan yang
dibuat berdasar situasi dan fakta yang relevan.
I (Inference): Membuat kesimpulan yang beralasan atau menyungguhkan. Bagian penting dari
langkah penyimpulan ini adalah mengidentifikasi asumsi dan mencari pemecahan,
pertimbangan dari interpretasi akan situasi dan bukti.
S (Situation): Memahami situasi dan selalu menjaga situasi dalam berpikir akan membantu
memperjelas pertanyaan (dalam F) dan mengetahui arti istilah-istilah kunci, bagian-bagian
yang relevan sebagai pendukung.
C (Clarity): Menjelaskan arti atau istilah-istilah yang digunakan.
O (Overview): Melangkah kembali dan meneliti secara menyeluruh keputusan yang diambil.
Untuk menilai kemampuan berpikir kritis Watson dan Glaser (1980) melakukan
pengukuran melalui tes yang mencakup lima buah indikator, yaitu mengenal asumsi,
melakukan inferensi, deduksi, interpretasi, dan mengevaluasi argumen. Joko Sulianto (2011)
mengatakan bahwa kemampuan berpikir kritis sebagai bagian dari keterampilan berpikir perlu
dimiliki oleh setiap anggota masyarakat, sebab banyak sekali persoalan-persoalan dalam
kehidupan yang harus dikerjakan dan diselesaikan.

E. Pentingnya Berpikir Kritis


Berpikir kritis merupakan hal penting yang harus lakukan diantaranya karena:
1. Berpikir kritis memungkinkan siswa memanfaatkan potensi seseorang dalam melihat
masalah, memecahkan masalah, menciptakan, dan menyadari diri.
2. Berpikir kritis merupakan keterampilan universal. Kemampuan berpikir jernih dan rasional
diperlukan pada pekerjaan apapun, ketika mempelajari bidang ilmu apapun, untuk
memecahkan masalah apapun, jadi merupakan aset berharga bagi karir seorang.
3. Berpikir kritis sangat penting di era informasi dan teknologi. Seorang harus merespons
perubahan dengan cepat dan efektif, sehingga memerlukan keterampilan intelektual yang
fleksibel, kemampuan menganalisis informasi, dan mengintegrasikan berbagai sumber
pengetahuan untuk memecahkan masalah.
4. Berpikir kritis meningkatkan keterampilan verbal dan analitik. Berpikir jernih dan
sistematis dapat meningkatkan cara mengekspresikan gagasan, berguna dalam
mempelajari cara menganalisis struktur teks dengan logis, meningkatkan kemampuan
untuk memahami.

F. Cara Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis


Di dalam kelas atau ketika berinteraksi dengan orang lain, cara-cara yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan berpikir kritis adalah:
1. Membaca dengan kritis
Untuk berpikir secara kritis seseorang harus membaca dengan kritis pula. Dengan membaca
secara kritis, diterapkan keterampilan-keterampilan berpikir kritis seperti mengamati,
menghubungkan teks dengan konteksnya, mengevaluasi teks dari segi logika dan
kredibilitasnya, merefleksikan kandungan teks dengan pendapat sendiri, membandingkan
teks satu dengan teks lain yang sejenis.
2. Meningkatkan daya analisis
Dalam suatu diskusi dicari cara penyelesaian yang baik, untuk suatu permasalahan,
kemudian mendiskusikan akibat terburuk yang mungkin terjadi.
3. Mengembangkan kemampuan observasi atau mengamati
Dengan mengamati akan didapat penyelesaian masalah yang misalnya menghendaki untuk
menyebutkan kelebihan dan kekurangan, pro dan kontra akan suatu masalah, kejadian atau
hal-hal yang diamati. Dengan demikian memudahkan seseorang untuk menggali
kemampuan kritisnya.
4. Meningkatkan rasa ingin tahu, kemampuan bertanya dan refleksi
Pengajuan pertanyaan yang bermutu, yaitu pertanyaan yang tidak mempunyai jawaban
benar atau salah atau tidak hanya satu jawaban benar, akan menuntut siswa untuk mencari
jawaban sehingga mereka banyak berpikir.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasarkan beratnya cedera atau
penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat serta transportasi. Tindakan ini
merupakan proses yang berkesinambungan sepanjang pengolahan musibah masal. Proses
triase harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba ditempat kejadian dan tindakan ini
harus dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat berubah.

Anda mungkin juga menyukai