Anda di halaman 1dari 34

KONSEP PENCEGAHAN PRIMER,

SEKUNDER DAN TERSIER PENYAKIT


GAGAL NAFAS, ASMA, DIABETES
MELITUS TIPE II, GAGAL JANTUNG
KONGESTIF, OSTEOARTRITIS,STROKE

Dosen pembimbing : Alkhusari, S. Kep, Ners, M. Kes, M. Kep

Disusun Oleh : Kelompok III

1. Ayu Fuji Lestari (18220003)


2. Monika Putri Widianti (18220009)
3. Putri Dewi (18220010)
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Gagal Nafas


1. Definisi
Gagal napas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbon dioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan
pembentukan
karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan
oksigen kurang dari 50 mmHg (hipoksemia) dan peningkatan tekanan
karbondioksida
lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia) menurut Brunner & Suddarth
dalam Nurarif & Kusuma (2014).

2. Etiologi
a. Penyebab sentral
1. Kelainan neuromuskuler: GBS, tetanus, trauma cervical, muscle
relaxans
2. Kelainan jalan napas: obstrksi jalan napas, asma bronkhial
3. Kelainan diparu: edema paru, atelektasis, ARDS
4. Kelainan thorax: fraktur kosta, pneumothorax, haematothorax
5. Kelainan jantung: kegagalan jantung kiri
b. Penyebab perifer
1. Trauma kepala: contusio cerebri
2. Radang otak: encephalitis
3. Gangguan vaskuler: perdarahan otak, infark otak
4. Obat-obatan: narkotika, anstesi
Kadar oksigen (PaO2 < 8 kPa) atau Co2 (Paco2 > 6,7 kPa)
arterial yang
abnormaldigunakan untuk menentukan adanya gagal napas.
Maka gagal napas dibagi menjadi: (Patrick Davey)
 Hipoksemia (tife 1): kegagalan transfer oksigen dalam
paru.
 Hipoksemia (tife 2): kegagalan ventilasi untuk
mengeluarkan CO2
3. Manifestasi
a. Tanda Respiratory Failure dan Gagal napas total
1) Aliran udara dimulut, hidung tidak dapat didengar atau dirasakan.
2) Pada gerakan napas spontan terlihat reaksi supra klavikula dan sela iga
serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi.
3) Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha membersihkan ventilasi buatan.
b. Gagal napas parsial
1) Terdengar suara napas tambahan gargling, snoring dan whizing.
2) Ada retraksi
3) Gejala Respiratory Failure1.
4) Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
5) Hipoksemia yaitu takikardi, gelisah, berkeringat atau sianosis (Po2
menurun).

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
b. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum, sitologi, urinalis, bronkogram,
bronkoskopi.
c. Pemeriksaan rontgen dada
d. Pemeriksaan sputum, fungsi paru, angiografi, pemindahan ventilasi-perfusi
e. Hemodinamik
f. Tife 1 meningkatkan PCWP
g. EKG
h. Mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung disisi kanan, disritmia

5. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan suportif
Penatalaksanaan suportif adalah tindakan yang secara tidak langsung
ditunjukkan untuk memperbaiki pertukaran gas, yaitu:
1) Atasi hipoksemia: terapi oksigen
2) Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi
3) Perbaiki jalan napas
4) Bantuan ventilasi: face mask, ambu bag
5) Terapi lainnya(fisioterapi dad,bronkodilator,
antikolergenik/parasimpatolitik, teolifidin, kortikosteroid, ekspektoran
b. Penatalaksanaan kausatif
Sambil dialakukan resusitasi (terapi suportif) diupayaklan mencari
penyebab gagal napas. Pengobatan spesifik ditujukkan pada etiologinya,
sehingga pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Semua
terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal naps di
UGD sebelum selanjutnya nanti dirawat di ICU. Penanganan lebih lanjut
terutama maslah penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan
guidiles penanganan pasien gagal naps di ICU pada tahap berikutnya.

B. Pencegahan Respirator Failure


1. Pencegahan primer (Primary Prevention)
Pencegahan primer merupakan upaya yang dilakukan pada orang yang
mempunyai resiko agar tidak terjadi gagal napas. Orang yang beresiko tinggi
untuk mengalami gangguan paru-paru adalah hipoventilasi, adanya trauma pada
lesi batang penyakit paru-paru lainnya. Pencegahan primer yang dapat dilakukan
adalah:
a. Mengatur pola konsumsi protein.
b. Sedikit mengkonsumsi garam. Pola konsumsi garam yang tinggi akan
meningkatkan ekskresi kalsium dalam air kemih yang dapat menumpuk dan
membentuk kristal.
c. Mengurangi makanan yang mengandung kolesterol tinggi.
2. Pencegahan Sekunder (Secondary Preventin)
Pencegahan sekunder merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah
orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit
dan menghindarkan komplikasi. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan
cara mendeteksi penyakit secara dini dan pengobatan secara cepat dan tepat.
Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengobati penderita dan
mengurangiakibat- akibat yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui diagnosis
dini dan pemberian pengobatan.
a. Pengobatan
Adapun pemberian pengobatan terhadap penderita PPOK meliputi:
bronkodilator, kortikosteroid, antibiotik, pemberian oksigen dan pembedahan.
b. Bronkodilator
Bronkodilator adalah obat utama dalam penatalaksanaan PPOK.
Bronkodilator utama pada PPOK adalah agonis beta-2, antikolinergik, teofilin
atau kombinasi obat tersebut.
c. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid inhalasi secara regular hanya boleh diberikan pada
pasien yang telah tercatat dari hasil spirometri berespon terhadap steroid, atau
pada pasien yang VEP1 < 50%. Dapat juga diberikan dalam bentuk oral
dengan dosis tunggal prednisone 40mg/hari paling sedikit selama 2 minggu,
maka pengobatan kortikosteroid sebaiknya dihentikan. Pada pasien yang
menunjukkan perbaikan, maka harus dimonitor efek samping dari
kortikosterois pada penggunaan jangka lama.
d. Antibiotik
Antibiotik merupakan salah satu obat yang sering digunakan dalam
penatalaksanaan PPOK. Pemberian antibiotik dengan spectrum yang luas pada
infeksi umum yang disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenza dan Mycoplasma.
e. Pemberian Oksigen
Pemberian oksigen jangka panjang terhadap PPOK pada anlisis gas darah
didapatkan. Pemberian oksigen jangka panjang (lebih dari 15 jam/hari) pada
pasien dengan gagal nafas kronis dapat meningkatkan survival, memperbaiki
kelainan hemodinamik, hemotologis, meningkatkan kapasitas exercise dan
memperbaiki status mental.
f. Pembedahan
Pembedahan biasanya dilakukan pada PPOK berat dan tindakan operasi
diambil apabila diyankini dapat memperbaiki fungsi paru atau gerakan
mekanik paru. Jenis operasi pada PPOK adalah bullectomy, Lung Voleme
Reduction Surgery (LVRS) dan transpalantasi paru.
3. Pencegahan Tersier (Tertiary Prevention)
Pencegahan tersier yang dilakukan pada penderita RF adalah untuk
mencegah kecacatan/kematian, mencegah proses penyakit lanjut dan rehabilitasi.
Rehabilitasi yang dapat dilakukan dapat berupa rehabilitasi fisik, social dan
psikologi. Pencegahan tersier terus diupayakan selama penderita RF belum
meninggal dunia. Tujuan pencegaha tersier adalah untuk mengurangi
keridakmampuan dan mengadakan rehabilitasi.Pencegahan tersier meliputi:
a. Rehabilitasi Psikis
Rehabilitasi psikis bertujuan memberikan motivasi pada penderita untuk
dapat
menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan
bahkan akan mengalami kecemasan, takut dan depresi terutama saat
eksaserbasi. Rehabilitasi psikis juga bertujuan mengurangi bahkan
menghilangkan perasaan tersebut.
b. Rehabilitasi Pekerjaan
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk menyelaraskan pekerjaan yang
dapat
dilakukan penderita sesuai dengan gejala dan fungsi paru penderita.
Diusahakan menghindari pekerjaan yang memiliki resiko terjadi perburukan
penyakit.
c. Rehabilitasi Fisik
Penderita PPOK akan mengalami penurunan kemampuan aktivitas fisik
serta diikuti oleh gangguan pergerakan yang mengakibatkan kondisi inaktif
dan berakhir dengan keadaan yang tidak terkondisi. Tujuan rehabilitasi fisik
yang utama adalah memutuskan rantai tersebut sehingga penderita tetap aktif.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam
paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel-sel tubuh. Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi
yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. gagal nafas adalah
kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dan
karbondioksida dalam jumlah yang dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan.
gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana
masing-masing mempunyai pengetian yang berbeda. indikator gagal nafas yaitu
frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi pernafasan normal ialah 16-20x/m.
bilanya lebih dari 20x/m tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena
pernapasan menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan.

B. Saran
Setelah penulisan makalah ini kami mengharap mahasiswa keperawatan pada
khususnya mengetahui perngertian, tindakan penanganan awal, serta mengetahui
pencegahan primer, sekunder dan tersier respiratory failure.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Asma
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah” dan
berarti serangan nafas pendek (Price, 1995). Menurut Global Initiative for Asthma
(GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas
dengan
banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas,
rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini
biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun
bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas
terhadap berbagai rangsangan (GINA, 2006).
Menurut Prasetyo (2010) asma adalah penyakit kronis (berlangsung lama)
yang ditandai oleh sesak napas disertai bunyi ngik-ngik (mengi) atau batuk
persisten dimana derajat keparahan setiap orang berbeda-beda. Pada saat serangan
yang terjadi adalah menyempitnya jalan napas kita akibat dari pengerutan bronkus
yang menyebabkan udara sulit keluar masuk paru.

B. Epidemiologi Asma

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di


Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab
kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada
SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian
(mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di
seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan
obstruksi paru 2/ 1000 (PDPI, 2003).
Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi
asma pada anak dengan hipereaktiviti bronkus 2,4% dan hipereaktiviti bronkus
serta gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang
dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuesioner yang kembali dengan
rata-rata umur 13,8 ± 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12
bulan terakhir/ recent asthma) 6,2% yang 64% di antaranya mempunyai gejala
klasik. Bagian Anak FKUI/ RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak
usia SLTP di Jakarta Pusat pada 1995-1996 dengan menggunakan kuesioner
modifikasi dari ATS 1978, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji
provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1296 siswa dengan usia 11 tahun 5
bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8%
dengan recent asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma
pada siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun
melalui kuesioner ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in
Childhood), dan pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian
subjek yang dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma
(recent asthma ) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5% (PDPI,
2003).

C. Pencegahan
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi
dengan bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah
yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma; dan
pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan /
bermanifestasi klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma (PDPI,
2003).
1. Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal
dan perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan
pencegahan primer penyakit asma. Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan
atau menurunkan sensitisasi alergen pada fetus, tetapi pengaruh faktor-faktor
tersebut sangat kompleks dan bervariasi dengan usia gestasi, sehingga
pencegahan primer waktu ini adalah belum mungkin. Walau penelitian ke arah
itu terus berlangsung dan menjanjikan (PDPI, 2003).
a. Periode prenatal
Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk cukup sel
penyaji antigen (antigen presenting cells) dan sel T yang matang,
merupakan saat fetus tersensisitasi alergen dengan rute yang paling
mungkin adalah melalui usus, walau konsentrasi alergen yang dapat
penetrasi ke amnion adalah penting. Konsentrasi alergen yang rendah
lebih mungkin menimbulkan sensitisasi daripada konsentrasi tinggi.
(PDPI, 2003).
b. Periode postnatal
Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan
terutama difokuskan pada makanan bayi seperti menghindari protein susu
sapi, telur, ikan, kacang-kacangan. Sebagian besar studi menunjukkan
mengenai hal tersebut, menunjukkan hasil yang inkonklusif (tidak dapat
ditarik kesimpulan). Dua studi dengan tindak lanjut yang paling lama
menunjukkan efek transien dari menghindari makanan berpotensi alergen
dengan dermatitis atopik. Dan tindak lanjut lanjutan menunjukkan
berkurangnya bahkan hampir tidak ada efek pada manifestasi alergik
saluran napas, sehingga disimpulkan bahwa upaya menghindari alergen
makanan sedini mungkin pada bayi tidak didukung oleh hasil. Bahkan
perlu dipikirkan memanipulasi dini makanan berisiko menimbulkan
gangguan tumbuh kembang (PDPI, 2003).
c. Asap rokok lingkungan (Enviromental tobacco smoke/ETS)
Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok
berdampak pada kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai
dengan usia 3 tahun, walau sulit untuk membedakan kontribusi tersebut
pada periode prenatal atau postnatal. Berbagai studi menunjukkan bahwa
ibu merokok selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan paru
anak, dan bayi dari ibu perokok, 4 kali lebih sering mendapatkan
gangguan mengi dalam tahun pertama kehidupannya.Sedangkan hanya
sedikit bukti yang mendapatkan bahwa ibu yang merokok selama
kehamilan berefek pada sensitisasi alergen. Sehingga disimpulkan
merokok dalam kehamilan berdampak pada perkembangan paru,
meningkatkan frekuensi gangguan mengi nonalergi pada bayi, tetapi
mempunyai peran kecil pada terjadinya asma alergi di kemudian hari.
Sehingga jelas bahwa pajanan asap rokok lingkungan baik periode
prenatal maupun postnatal (perokok pasif) mempengaruhi timbulnya
gangguan/penyakitdenganmengi(PDPI,2003).
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak
berkembang menjadi asma. Studi terbaru mengenai pemberian antihitamin H-1
dalam menurunkan onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Studi lain
yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi dengan alergen spesifik
untuk menurunkan onset asma (PDPI, 2003).
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan
alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan
sudah dengan gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan
/resolusi total dari gejala daripada jikapajanan terus berlangsung (PDPI, 2003
3. Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadi serangan yang dapat ditimbulakan
oleh berbagai pencetus. Sehingga menghindari perjalan pencetus akan
memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi /obat (PDPI,
2003).
Obat-obatan yang dapat digunakan untuk membantu pencegahan primer
termasuk obat pengontrol atau anti inflamasi, diantaranya adalah Kromolin
obat ini tidak mempunyai aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolinergik,
vasokonstriktor atau aktivitas glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat
pelepasan mediator, histamin dan SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis,
leukotrien) dari sel mast. Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat
diberikan. Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan
asma. Obat ini akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan
mediator dari berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil,
neutrofil, makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat
perkembangan respon bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap
antigen terinhalasi (Departemen Kesehatan RI, 2007).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa penyakit
asma
adalah penyakit kronis (berlangsung lama) yang ditandai oleh sesak napas
disertai bunyi ngik-ngik (mengi) atau batuk persisten dimana derajat keparahan
setiap orang berbeda-beda. Penyakit asma juga merupakan sepuluh besar penyebab
kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei
kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Dalam natural
history nya prepatogenesis penyakit asma dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya faktor prenatal, genetik, lingkungan dan infeksi. Pada tahapan
patogenesisnya yang timbul akibat riwayat atopi akibat pemaparan alergen. Alergen
yang masuk ketubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-
lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells
(APC). Kemudian paska patogenesisnya, Penyakit asma merupakan penyakit yang
kesembuhannya karier atau sembuh fungsional, apabila daya.tahan tubuh menurun,
maka penyakit dapat kambuh kembali. Namun kesalahan dalam penatalaksanaan
dapat menyebabkan kematian dan terjadinya obstruksi paru yang menahun. Dalam
pencegahan penyakit asma dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu pencegahan
primer, sekunder dan tersier.

B. Saran
Diharapkan para masyarakat menerapkan pola pencegahan primer sebelum
terserang penyakit asma, karena penyakit asma juga dapat ditimbulkan karena faktor
lingkungan. Kemudian bagi para penderita asma supaya menerapkan
pencegahan sekunder ketika terjadi serangan dan menerapkan pencegahan tersier
dengan baik
untuk tahapan rehabilitasi baik dalam terapi farmakologi maupun yang
lainnya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep teori diabetes mellitus


1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai
oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemi. Glukosa secara
normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk
dihati dari makanan yang dikonsumsi. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah
akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif(Darmojo, 2004).

2. Etiologi
Lansia yang mengalami Diabetes Mellitus, biasanya tergolong tipe II,
NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) atau Diabetes Melitus
Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalankelenjar
pankreas dalam memproduksi insulin dan/atau terjadinya resistensi insulin baik
pada hati maupun ada jaringan sasaran. Kedua hal tersebut mengakibat
kegagalan hati dalam meregulasi pelepasan glukosa dan menyebabkan
ketidakmampuan jaringan otot serta jaringan lemak dalam tugas ambilan
glukosa. Diabetes mellitus yang timbul pada lanjut usia belum dapat
diterangkan seluruhnya, namun dapat didasarkan atas faktor- faktor yang
muncul oleh perubahan proses menuanya sendiri.Faktor-faktor penyebab
diabetes menurut Price & Wilson (2005) meliputi:
a. Genetik
Faktor Faktor genetik merupakan faktor yang penting pada Diabetes
Mellitus yang dapat mempengaruhi sel beta dan mengubah kemampuannya
untuk mengenali dan menyebarkan sel rangsang sekretoris insulin.
Keadaan ini meningkatkan kerentanan individu tersebut terhadap faktor-
faktor lingkungan yang dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta
pankreas.
b. Usia
Diabetes Mellitus tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan
semakin sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat
pada usia lanjut. Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa
mencapai 50-92% . Umur sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan
kadar glukosa darah, sehingga semakin meningkat usia maka prevalensi
diabetes dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. Perubahan dimulai
dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat
organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh
yang dapat mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang
menghasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan target yang menghasilkan
glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa.
c. Jenis Kelamin
Jenis kelamin laki-laki memiliki risiko Diabetes meningkat lebih
cepat. Diabetes tipe II pada umumnya memiliki indeks massa tubuh (IMT)
di atas batas kegemukan. Laki-laki terkena Diabetes pada IMT rata-rata
31,83 kg/m2 sedangkan perempuan baru mengalaminya pada IMT 33,69
kg/m2. Perbedaan risiko ini dipengaruhi oleh distribusi lemak tubuh. Pada
laki-laki, penumpukan lemak terkonsentrasi di sekitar perut sehingga
memicu obesitas sentral yang lebih berisiko memicu gangguan
metabolisme.

d. Obesitas

Obesitas adalah berat badan yang berlebihan minimal 20% dari BB


idaman atau indeks massa tubuh lebih dari 25Kg/m2. Obesitas menyebabkan
respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa darah berkurang,
selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh tubuh termasuk di otot
berkurang jumlahnya dan kurang sensitif.
e. Aktififas fisik

Kurangnya aktifitas merupakan salah satu faktor yang ikut berperan


dalam menyebabkan resistensi insulin pada DM tipe II (Soegondo, 2007).
Lebih lanjut Stevenson dan Lohman dalam Kriska (2007) menyatakan
mekanisme aktifitas fisik dapat mencegah atau menghambat perkembangan
DM tipe II yaitu :
1) Penurunan resistensi insulin

2) Peningkatan toleransi glukosa

3) Penurunan lemak adipose

4) Pola makan

Penurunan kalori berupa karbohidrat dan gula yang diproses secara


berlebihan, merupakan faktor eksternal yang dapat merubah integritas dan
fungsi sel beta individu yang rentan.

5) Stres

Stres menyebabkan kelebihan produksi kortisol, hormon yang


menetralkan efek dari insulin dan hasil kadar gula darah tinggi. Kortisol
bersifat antagonis, jika seseorang lebih banyak stres, kortisol akan
mengurangi sensitivitas tubuh terhadap insulin dan membuat glukosa lebih
sulit untuk masuk kedalam sel sehingga akan mempengaruhi peningkatan
kadar glukosa darah (Smeltzer & Bare, 2002 ).

B. PENCEGAHAN
Komplikasi adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami dua penyakit
atau lebih secara bersamaan yang kebanyakan penyakit yang kedua atau
seterusnya muncul sebagai tambahan atau lanjutan penyakit yang terdahulu.
Pencegahan DM dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu pencegahan primer,
sekunder dan tersier:
1. Pecegahan primer
Pencegahan primer ditujukan pada faktor-faktor risiko terhadap
patogenesis dasar dari DM tipe 2 yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Usaha-usaha untuk menurunkan resistensi insulin
antara lain mencegah atau memperbaiki adanya obesitas, menghindari
diet tinggi
lemak, mengkonsumsi sumber karbohidrat yang diolah tidak terlalu
bersih (unrefined), menghindari obat-obat yang
bersifat diabetogenik dan
meningkatkan aktivitas fisik yang berpengaruh menurunkan
resistensi insulin terlepas dari penurunan berat badan (WHO, 1994).
Usaha-usaha
tersebut tidak lain adalah perubahan gaya hidup. Perubahan gaya
hidup tersebut dapat menurunkan berat badan, memperbaiki distribusi
lemak
tubuh (menurunkan lingkar pinggang)
dan dengan demikian dapat mencegah atau
menunda manifestasi dari Diabetes Mellitus tipe 2.

2. Pemcegahan sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan menemukan diagnosis DM sedini


mungkin dengan cara skrining. Hasil tes penyaring normal bila glukosa
darah sewaktu atau puasa < 110 mg%. Bila didapatkan kadar glukosa darah
puasa antara 110 – 125 mg/dl dinamakan glukosa darah puasa terganggu
3. Pencegahan tersier
dan bila ≥ 126 mg/dl atau glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl maka
Pencegahan
diagnosis DM sangattersier adalah
mungkin dan usaha untuk
bila tanpa mencegah
gejala terjadinya
DM perlu ginjal
dilakukan tes
atau
pada nefropati.
waktu yang Penyakit neuropati
lain untuk yang diagnosis
memastikan komplikasi pada DM. 2002).
(PERKENI, Komplikasi
akut Hipoglikemia yang ditandai dengan badan gemetaran, cemas, bingung
dan rasa lapar yang timbul dengan tiba- tiba, Ketoasidosis Diabetik (KAD)
yang biasanya ditandai dengan nafas berbau aseton, mual muntah serta
dehidrasi.
Sindrom hiperglikemik hiperosmolar non-ketotik (HHNK) yaitu
suatu sindrom yang ditandai dengan hiperglikemi berat, hiperosmolar,
dehidrasi berat tanpa ketoasidosis, disertai dengan menurunnya kesadaran
dan komplikasi kronik: Makrovaskular (penyakit pembuluh darah besar)
yang meliputi sirkulasi koroner, vaskular perifer, dan vaskular serebral.
Mikrovaskular (penyakit pembuluh darah kecil) yang menyerang mata atau
retinopati serta menyerang menyerang saraf sensorik-motorik dan autonomi
serta menunjang masalah seperti impotensi dan ulkus pada kaki. Usaha
terhadap timbulnya komplikasi ini antara lainpengendalian yang ketat dari
kelainan metabolik pada Diabetes Mellitus (glukosadarah, lipid) dan faktor-
faktor lain yang berpengaruh terhadap kerusakan pembuluh darah misalnya
tekanan darah, merokok dan sebagainya. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
mengatur pola makan, kontol gula darah, Olah raga dan faktor psikososial.
Penyakit Diabetes Mellitus dapat memberikan beban psikososial bagi
penderita. Respon emosional negatif dapat menghambat upaya penurunan
glukosa darah karena timbulnya reaksi negatif misalnya : tidak mengubah
gaya hidup yang sehat seperti: melakukan olah raga, mengkonsumsi obat,
mengatur pola makan, serta dapat berperilaku tidak sehat (merokok,
mengkonsumsi minuman beralkohol, dll ). (Brunner & Suddarth,2002).
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep teori gagal jantung


1. Definisi
Menurut Arif (2009) Gagal Jantung adalah suatu keadaan ketika jantung
tidak mampu mempertahankan sirkulasi yang cukup bagi kebutuhan
tubuh,
meskipun tekanan pengisian vena normal. Namun, definisi – definisi lain
menyatakan bahwa gagal jantung bukanlah suatu penyakit yang terbatas pada
satu sistem organ, melainkan suatu sindrom klinis akibat kelainan jantung
yang ditandai dengan suatu bentuk respons hemodinamik, renal,neural dan
hormonal,
serta suatu keadaan patologis di mana kelainan fungsi jantung
menyebabkan kegagalan jantung memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan jaringan ,
atau hanya memenuhinyadengan meningkatkan tekanan pengisian.
Gagal jantung kongestif menimbulkan berbagai gejala klinis diantaranya :
dipsnea, ortopnea,Disnea noktural paroksimal (PND),asites, piting edema,
berat badan meningkat dan gejala yang paling sering dijumpai adalah sesak
nafas pada malam hari, yang mungkin muncul tiba- tiba dan menyebabkan
penderita terbangun (Udjianti, 2011).

2. Etiologi
Penyebab gagal jantung digolongkan menurut apakah gagal jantung tersebut
menumbulkan gagal dominan sisi kiri atau dominan sisi kanan. Dominan
sisi kiri : penyakit jantung iskemik, penyakit jantung hipertensif, penyakit katub
aorta, penyakit katub mitral, miokarditis, kardiomiopati, amiloidosis jantung,
keadaan curah tinggi (tirotoksikosis, anemia, fistula arteriovenosa). Dominan
sisi kanan : gagal jantung kiri, penyakit paru kronis, stenosis katub pulmonal,
penyakit katub trikuspid, penyakit jantung konginetal ( VSD, PDA), hipertensi
pulmonal, emboli masif ( Chandrasoma, 2006).Berikut adalah etiologi ter
jadinya gagal jantung antara lain :
a. Kelainan Otot Jantung
Gagal jantung paaling sering pada penderita kelainan otot jantung,
yang berdampak pada menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang
mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencangkup aterosklerosis
koroner, hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif dan inflamasi
b. Hipertensi sistemik dan hipertensi pulmonal
Gangguan ini menyebabkan menyebabkan meningkatkan beban
kerja jantung dan pada gilirannya juga turut mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut dapat dianggap sebagai
mekanisme kempensasi, karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung
c. Aterosklerosis koroner
Kelainan ini mengakibatkan disfungsi miokardium karen
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadinya hipoksia ( kondisi
dimana kurangnya suplai oksigen pada jaringan tubuh )dan asidosis
(kondisi dimana Ph darah < 7,34 ). Infark miokardium biasanya
mendahului terjadinya gagal jantung.

3. Manifestasi Klinis
Menurut Aspiani (2010) tanda tanda klinis gagal jantung adalah
meningkatnya volume intravaskuler. Kongesti jaringan terjadi akibat tekanan
arteri dan vena yang meningkat akibat turunnya curah
jantung pada kegagalan jantung. Peningkatan tekanan vena pulmonalis
dapat menyebabkan cairan
mengalir dari kapiler paru ke alveoli, akibatnya terjadi edema
paru, yang dimanifestasikan dengan batuk dan nafas pendek. Meningkatnya
tekanan vena
sistemik dapat mengakibatkan edema perifer umum dan
penambahan berat badan. Tekanan perfusi ginjal menurun, mengakibatkan
pelepasan renin dari
ginjal, yang pada gilirannya akan menyebabkan aldosteron,
retensi natrium dan cairan,sertapeningkatanvolumeintravaskuler.
4. klasifikasi
Gagal jantung biasanya digolongkan menurut derajat atau
beratnya gejala seperti klasifikasi menurut New York Heart Association
(NYHA). Klasifikasi tersebut digunakan secara luas di dunia
internasional untuk mengelompokkan gagal jantung. Gagal jantung ringan,
sedang, dan berat
ditentukan berdasarkan beratnya gejala, khususnya sesak nafas
(dispnea). Meskipun klasifikasi ini berguna untuk menentukan tingkat
ketidakmampuan
fisik dan beratnya gejala, namun pembagian tersebut tidak
dapat digunakan untuk keperluan lain.gagal jantung dibagi menjadi :
a. Gagal Jantung Kiri
Kongesti paru menonjol pada gagal jantung ventrikel kiri,
karena ventrikel
kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru.
Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke
jaringan paru. Tanda dan gejala kegagalan ventrikel kiri antara lain dispnue,
nyeri dada dan syok, noctural dispneu, batuk, mudah lelah, kegelisahan dan
kecemasan serta disrirmia.
b. Gagal Jantung Kanan
Bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah
kongesti visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan
jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat
sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal
kembali ke sirkulasi vena. Tanda dan gejala kegagalan ventrikel kiri
antara lain edema, hepatomegali, anoreksia, nokturia, lemah, distensi
vena jugularis.
c. Gagal Jantung Kongetif : gabungan keduagambaran
tersebut.

B. PENCEGAHAN

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer yang dapat dilakukan sebagai upaya mencegah


gangguan yaitu dengan melakukan higiene tidur yang baik. Stanley & Beare
(2008) menyatakan bahwa higiene tidur yang baik mencakup sebelas
peraturan, yaitu:
a. Tidur seperlunya, tetapi tidak berlebihan. Pembatasan waktu tidur dapat
memperkuat tidur, berlebihnya waktu yang dihabiskan di tempat tidur
akanberkaitan dengan kualitas tidur yang buruk
b. Waktu bangun yang teratur di pagi hari. Hal ini akan memperkuat siklus
sirkadian dan menyebabkan awitan tidur yang teratur
c. Jumlah latihan yang stabil setiap harinya akan dapat memperdalam tidur
d. Bunyi bising yang bersifat sementara (misal. bunyi pesawat terbang
yangmelintas) dapat mengganggu tidur. Kamar tidur kedap suara dapat
membantubagiorang-orang yang harus tidur di dekat kebisingan
e. Ruangan yang terlalu hangat dapat mengganggu tidur.
f. Ruangan yang terlaludingin juga dapat mengganggutidur
g. Rasa lapar dapat mengganggu tidur
h. Ketergantungan penggunaan obat tidur
i. Penggunaan kafein di malam hari dapat mengganggu tidur
j. Alkohol dapat memudahkan orang untuk tidur, namun hal ini akan
menyebabkan tidur menjadi terputus-putus
k. Lansia yang merasa marah ataupun frustasi karena tidak dapat tidur tidak
boleh mencoba terlalu keras untuk tidur. Hal yang dapat dilakukan yaitu
menyalakan lampu dan melakukan kegiatan lain terlebih
l. Penggunaan tembakau yang berlebihan dapatmengganggu tidur
Kleitman (1937, dalam Stanley & Beare, 2006), juga
mengemukakan tindakan pencegahan primer bagi lansia dengan
gangguan tidur, yaitu:
m. Penggunaan kasur yang baik memungkinkan kesejajaran tubuh yang
tepat
n. Suhu kamar harus cukup dingin (kurang dari 240C) sehingga cukup
nyaman
o. Asupan kalori harus minimal pada saat menjelang tidur
p. Latihan sedang di siang hari atau sore hari merupakan hal yang dianju
2. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier dilakukan jika kondisi tertentu telah menyebabkan


kerusakan pada individu. Tujuan pencegahan tersier adalah membatasi
kecacatandan merehabilitasi atau meningkatkan kemampuan individu
(Anderson &McFarlane, 2006). Pada kasus gangguan tidur seperti apnea
tidur yang mengancam kehidupan, pasien memerlukan rehabilitasi melalui
tindakan-tindakanseperti pengangkatan jaringan yang menyumbat dan
mempengaruhi jalan napas.Tujuan rehabilitasi yang dilakukan untuk
menikmati tidur yang berkualitas baik sampai akhir hayatnya (Stanley &
Beare, 2006).

3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah deteksi dini dan pengobatan terhadap
kondisi kesehatan yang merugikan. Komponen penting dalam pencegahan
sekunder adalah skrining atau pemeriksaan (Anderson & McFarlane,
2006). Pengkaji gangguan tidur meliputi seberapa baik tidur di rumah,
berapa
kali terbangun di malam hari, kegiatan- kegiatan yang dilakukan
sebelum tidur, posisitidur yang paling disukai, lingkungan dan suhu
kamar yang
disukai, dan penggunaan obat tidur atau obat lainnya sebelum waktu
tidur. Validasi dapat dilakukan pada anggota
keluarga untuk memastikan
keakuratan data pengkajian (Stanley & Beare, 206)
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pencegahan Primer Osteoartritis.


Promosi Kesehatan (Health Promotion) Pada promosi kesehatan yang
dilakukan untuk mencegah osteoartritis, edukasi tentang osteoartritis itu
sendiri harus mencakupi seluruh lapisan masyarakat baik dari usia muda hingga tua,
walaupun angka kejadian terbanyak dari OA ini melanda populasi pada usia paruh
baya hingga lansia. Hal ini dilakukan dengan harapan dengan adanya edukasi
tentang OA pada usia muda, populasi tersebut lebih sadar dan peduli untuk mencegah
OA itu terjadi.
Populasi target untuk mendapatkan edukasi tentang OA ini adalah orang-
orang berusia di bawah 40 tahun dimana gejala nyeri sendi pertama kali
dikeluhkan pada orang-orang di atas usia ini.Edukasi tentang OA ini harus mencakup
dari definisi OA, faktor resiko, gejala-gejala yang dapat timbul, pengobatan, serta
tentang pencegahan terjadinya OA. Dengan memahami hal-hal tersebut diharapkan
mereka yang masih muda dapat menjaga kesehatan agar terhindar dari OA, baik
dengan rutin melakukan olahraga dan menjaga berat badan agar tidak menjadi obese
atau berat badan berlebih yang mana termasuk faktor resiko terjadinya OA itu sendiri.
Khususnya untuk faktor resiko OA yaitu obesitas, harus disampaikan
kepada masyarakat bagaimana mengetahui apakah berat badan mereka sudah
melebihi batas normal. Dapat diajarkan dengan cara menghitung Indeks Massa Tubuh
(IMT) atau Body Mass Index (BMI) dengan rumus:

IMT atau BMI = Berat badan dalam kg


Tinggi badan dalam m2
Kemudian hasil BMI disesuaikan dengan klasifikasi dari WHO tahun
2000 dimana seseorang yang dikatakan obesitas adalah orang-orang yang
memiliki IMT
≥ 25 kg/m2 dan yang dikatakan normal adalah orang-orang yang
memiliki IMT pada rentang 18,5-22,9 kg/m2. Sedangkan pada IMT dibawah 18,5
kg/m2 tergolong underweight dan 23-24,9 kg/m2 dikategorikan orang-orang yang
berpotensi menjadi obese.
Perlindungan Spesifik (Specific Protection)Pada tahapan pencegahan prier
perlindungan spesifik, disini diharapkan agar orang-orang yang memiliki faktor
resiko terjadinya OA sudah dapat mengatasi dan mencegah faktor-faktor resiko
tersebut berlanjut menjadi penyakit. Misalnya pada atlet-atlet seperti atlet lari
ataupun atlet basket yang memang bidang pekerjaannya rentan dengan trauma atau
injury saat latihan ataupun pertandingan dapat melindungi dirinya dengan
melakukan pemanasan terlebih dahulu untuk melemaskan otot-otot mereka agar
tidak terjadi cedera. Mereka juga dapat menggunakan pelindung seperti ankle
brace yaitu karet penahan yang digunakan di pergelangan kaki untuk mencegah
terjadinya sprain atau terkilir yang dapat merusak persendian pada pergelangan
kaki tersebut.
Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Cordova dkk., ternyata
penggunaan profilaksis external ankle support oleh para atlet sangat berguna
untuk mendapatkan stabilitas mekanik dari alat tersebut. Mereka juga
mendapatkan bahwa dengan penggunaan alat-alat penyokong persendian dapat
meningkatkan ketahanan dari persendian pada saat melakukan gerakan dinamis
seperti berlari ataupun saat atlet-atlet tersebut melakukan manuver.8 Hal ini akan
membantu terhindarnya cedera yang nantinya dapat menjadi faktor resiko
terjadinya OA akibat sendi yang terus menerus mengalami peradangan dan
remodelling.
Orang-orang dengan status gizi lebih atau obesitas, dapat memulai
olahraga rutin untuk menurunkan berat badan. Dimana akivitas fisik yang
direkomendasi oleh Arthritis Foundation dan Center for Disease Control and
Prevention atau lebih dikenal sebagai CDC (2010) yaitu:4

1. Dua jam tiga puluh menit setiap minggunya atau satu jam lima belas menit
setiap minggunya dilakukan dengan olahraga aerobik yaitu seperti berjalan
berenang atau bersepeda. Setidaknya 10 menit dibutuhkan setiap minggunya
untuk beraktivitas fisik.

2. Durasi olahraga dapat ditingkatkan menjadi 5 jam perminggunya untuk


mendapatkan kesehatan yang lebih baik.
3. Aktivitas olahraga menguatkan otot-otot besar tubuh dianjurkan untuk
dilakukan dua hari atau lebih setiap minggunya.
B. Pencegahan Sekunder Osteoartritis
Pada pencegahan sekunder osteoartritis diajarkan kepada penderita untuk dapat
mengedukasi dirinya sendiri dengan untuk memiliki keinginan merubah perilaku
kearah yang lebih baik, yaitu keinginan untuk beraktivitas fisik yang rutin,
menurunkan berat badan, menggunakan sepatu atau sandal yang nyaman dan aman.
1. Diagnosis Dini (Early Diagnosis)
Diagnosis dini dari osteoartritis dapat dilakukan dengan metode
terbaru
yang ada di dunia kedokteran. Di mana digunakan pencitraan MRI yang
dimodifikasi untuk melihat kadar glycosaminogycan (GAG) yang sebagai
indikator bahwasanya apabila GAG tersebut rendah di dalam tubuh maka onset
penyakit osteoartritis dan penyakit gangguan tulang rawan lainnya telah terjadi.
GAG di dalam tubuh berfungsi mengikat air yang nantinya akan memberikan efek
kuat dan elastisnya tulang rawan.
2. Penatalaksanaan yang Sesuai (Prompt Treatment)
Mengatasi nyeri yang timbul, meningkatkan fungsi sendi dan menjaga sendi
agar tetap stabil adalah tujuan dari pengobatan OA. Obat-obatan yang dapat
digunakan nyeri pada sendi termasuk golongan NSAID (Non-Steroidal Anti
Inflammation Drugs), COX-2 inhibitor, atau injeksi intraartikular
kortoikosteroid.6 Penggunaan obat penghilang rasa sakit ternyata terbukti
meningkatkan kepatuhan pasien untuk tetap berolahraga agar menghindarkan
kecacatan atau kaku sendi yang dapatmuncul sewaktu-waktu.
Penatalaksanaan nutrisi juga penting bagi penderita OA. Dengan target
bahwa mereka yang menderita OA dengan obesitas diharapkan dapat
menurunkan berat badan agar tidak menambah beban terhadap sendi yang
terkena. Diet rendah kalori dapat dikonsumsi bagi mereka yang mengalami
obesitas. Suplemen multivitamin, glukosamin dan kondroitin juga dibutuhkan
para penderita OA untuk mencegah perburukan penyakit yang begitu cepat.
3. Pembatasan Kecacatan (Disability Limitation)
Beberapa penelitian yang dilakukan ternyata didapati bahwa ketidakseimbangan
dan kelemahan dari otot dapat mempengaruhi terjadinya cedera pada OA. Makadari
itu aktivitas fisik yang rutin diharapkan dapat memperkuat fungsi otot dan dapat
memperbaiki fungsi sendi. Pada aktivitas fisik atau olahraga pada penderita OA harus
diawasi oleh ahlinya dengan mempertimbangkan jenis latihan mana yang sesuai,
durasi dan intensitas yang tepat dengan penderita OA.4 Olahraga yang dianjurkan
adalah olahraga yang jauh dari kemungkinan terjadinya cedera yaitu bersepeda, jalan
santai, atau pun berenang. Pada penderita-penderita OA yang tidak mampu
melakukan olahraga dianjurkan tidak membatasi aktivitas fisik harian seperti berjalan
santai, berkebun ataupun bersepeda ke tempat kerja.

C. Pencegahan Tersier
Pada pencegahan tersier OA, dapat dilakukan dengan cara mengadakan alat-alat
penyokong bagi penderita-penderita OA yang telat mengalami cacat. Alat-alat ini
diharapkan dapat membantu penderita lebih leluasa bergerak (mobilitas)
seperti tongkat untuk berjalan ataupun kursi roda. Fisioterapi yang dijalani para penderita
OA diharapkan
dapat meningkatkan fungsi atau mengembalikan fungsi dari sendi yang terkena.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi stroke
Stroke adalah kumpulan dari tanda dan gejala hilangnya fungsi dari
sarafpusat
fokal atau global yang disebabkan karena adanya gangguan peredaran darah ke
otak secara mendadak berlangsung lebih dari 24 jam yang dapat menimbulkan
kelumpuhan sampaikematian(McKevitt, 2011).

B. Upaya Pencegahan
Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia, upaya yang
dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke yaitu :
1. Pencegahan Primordial
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko stroke
bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada
orang sehat maupun kelompok resiko tinggi yang belum pernah terserang
stroke.Pencegahan primordial dapat dilakukan dengan cara melakukan promosi
kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya rokok terhadap stroke dengan
membuat selebaran atau poster yang dapat menarik perhatian masyarakat. Selain itu,
promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan adalah program pendidikan kesehatan
masyarakat, dengan memberikan informasi tentang penyakit stroke melalui ceramah,
media cetak, media elektronik dan billboard(Pinzon, 2010).

2. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko stroke
bagi individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara melaksanakan gaya
hidup sehat bebas stroke, antara lain :
a) Menghindari : Rokok, stress, alkohol, kegemukan, konsumsi
garam berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan
sejenisnya.
b) Mengurangi : Kolesterol, kalori, garam dan asupan lemak dalam makanan.
c) Mengendalikan : Hipertensi, DM, penyakit jantung (misalnya fibrilasi atrium,
infark miokard akut, penyakit jantung reumatik).
d) Menganjurkan : Konsumsi gizi yang seimbang seperti, makan banyak sayuran,
buah-buahan, ikan terutama ikan salem dan tuna, minimalkan junk food dan
beralih pada makanan tradisional yang rendah lemak dan gula, sereal dan susu
rendah lemak serta dianjurkan berolahraga secara teratur 3 - 4 kali seminggu
(Dian, 2012)
Referensi menjelaskan lebih rinci mengenai upaya pencegahan primer pada pasien
stroke yaitu sebagai berikut:
 Mengatur Pola Makan yang Sehat
Konsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol dapat meningkatkan resiko
terkena serangan stroke. Sebaliknya mengkonsumsi makanan rendah
lemak jenuh dan kolesterol dapat mencegah terjadinya stroke. Beberapa
jenis makanan yang dianjurkan untuk pencegahan primer terhadap stroke
adalah :
 Makanan dari berbagai biji-bijian yang membantu menurunkan kadar
kolesterol
 Serat larut yang banyak terdapat dalam biji-bijian seperti beras merah,
bulgur, jagung dan gandum
 Oat atau beta glucanakan menurunkan kadar kolesterol total dan LDL,
menurunkan tekanan darah dan menekan nafsu makan bila dimakan di
pagi hari (memperlambat pengosongan usus).
 Kacang kedelai beserta produk olahannya dapat menurunkan lipid
serum, menurunkan kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida
tetapi tidak mempengaruhi kadar kolesterol HDL
 Kacang-kacangan (termasuk biji kenari dan kacang mede) menurunkan
kolesterol LDL dan mungkin mencegah aterosklerosis.
 Mekanisme kerja menambah ekskresi asam empedu, meningkatkan
aktifitas esterogen dari isoflavon, memperbaiki elastisitas arterial dan
meningkatkan aktivitas antioksidan yang menghalangi oksidasi LDL.
 Makanan lain yang berpengaruh terhadap prevensi stroke
 Makanan/zat yang membantu mencegah peningkatan homosistein
seperti asam folat, vitamin B6, B12 dan riboflavin
 Susu yang mengadung protein, kalsium, zinc, dan B12 mempunyai
efek proteksi terhadap stroke

 Beberapa jenis ikan tuna dan ikan salmon, mengandung omega-3


eicosapentenoic acid (EPA) dan docosahexonoic acid (DHA) yang
merupakan pelindung jantung dengan efek melindungi terhadap resiko
kematian mendadak.

 Makanan yang kaya vitamin dan anti oksidan: vitamin C,E,


betakaroten seperti yang banyak terdapat pada sayur-sayuran, buah-
buahan dan biji-bijian.Buah-buahan dan sayur-sayuran hijau dan jeruk
untuk menurunkan resiko stroke dan buah sumber Kalium yang kuat
mencegah mortalitas akibat stroke terutama buah pisang dan apel.

 Teh hitam dan hijau yang mengandung antioksidan. Di dalam teh hijau
terkandung antioksidan yang dapat mencegah terjadinya kerusakan sel.
Bahkan, teh hijau mengandung komponen antioksidan yang lebih kuat
dibanding vitamin E dan vitamin C.
 Melakukan Olah Raga yang Teratur
Melakukan aktivitas fisik yang mempunyai nilai aerobic (jalan cepat,
bersepeda, berenang dan lain-lain) secara teratur minimal 30 menit, dan
minimal tiga kali per minggu akan dapat menurunkan tekanan darah,
memperbaiki control diabetes, memperbaiki kebiasaan makan,
menurunkan berat badan dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Pola
makan sehat dan olah raga teratur adalah pengobatan utama bagi penderita
obesitas dan mencegah stroke.
 Menghentikan Rokok
Merokok menyebabkan peninggian koagulabilitas, viskositas darah,
meninggikan kadar fibrinogen, mendorong agregasi platelet, meninggikan
tekanan darah, meningkatkan hematokrit dan menurunkan HDL dan
meningkatkan LDL kolesterol Berhenti merokok juga memperbaiki fungsi
endotel Perokok pasif, risiko sama dengan perokok aktif.
 Menghindari Minum Alkohol dan Penyalahgunaan Obat
Penyalahgunaan obat seperti kokain , heroin, fenil propanolamin dan
mengkonsumsi alcohol dalam dosis berlebihan dan jangka panjang
(alcohol abuse) akan menyebabkan tekanan darah meningkat,
memudahkan terjadinya stroke hemoragik.Konsentrasi alcohol yang
tinggi dapat memicu terjadinya emboli (penggumpalan), dan
ischemia (kurangnya darah dalam jaringan), yang disebabkan oleh
perubahan konsentrasi darah dan kontraksi pembuluh darah. Kondisi
inilah yang mengawali terjadinya stroke.
 Memelihara Berat Badan Layak
Obesitas mudah mendapatkan penyakit jantung, stroke dan DM.
Angka
obesitas pada anak-anak dan dewasa muda pada dekade terakhir ini
meningkat dan jarang berolahraga. Sehingga stroke dan penyakit
jantung pada usia muda meningkat. Obesitas dapat dicegah dengan
mengubah perilaku makan tidak sehat dan melakukan olah raga
teratur.Disarankan untuk menurunkan berat badan dengan target BMI
< 25 kg/m2, garis lingkar pinggang < 80 cm dan untuk wanita <90
cm untuk laki-laki
 Pemakaian kontrasepsi oral
Pemakaian kontrasepsi oral terutama pada wanita perokok atau
disertai
dengan faktor resiko lain atau pernah mengalami kejadian
tromboemboli sebelumnya, mempunyai resiko tinggi mendapat
serangan stroke. Untuk itu disarankan untuk menghentikan
pemakaian kontrasepsi oral dan mencari alternative lain untuk KB.
 Penanganan Stress dan Berisirahat yang Cukup
 Istirahat cukup dan tidur teratur antara 6-8 jam sehari
 Mengendalikan stress dengan cara berpikir positif sesuai dengan
jiwa sehat menurut WHO, menyelesaikan pekerjaan satu demi
satu, bersikap ramah dan mendekatkan diri pada Tuhan Yang
Maha Esa. Mensyukuri hidup yang ada. Stress kronis
meningkatkan tekanan darah. Penanganan stress menghasilkan
relaxation response yang menurunkan denyut jantung,
menurunkan tekanan darah.
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke.
Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar
stroke tidak berlanjut menjadi kronis. Tindakan yang dilakukan adalah :
a. Menggunakan obat-obatan dalam pengelolaan dan pencegahan stroke, sepertit
Asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai obat antiagregasi trombosit
pilihan pertama dengan dosis berkisar antara 80-320mg/hari, antikoagulan oral
diberikan pada penderita dengan faktor resiko penyakit jantung (fibrilasi
atrium, infark miokard akut, kelainan katup) dan kondisi koagulopati yang
lain(Dian, 2012)
b. Mengontrol faktor risiko stroke melalui modifikasi gaya hidup, misalnya
mengkonsumsi obat antihipertensi yang sesuai pada penderita hipertensi,
mengkonsumsi obat hipoglikemik pada penderita diabetes, diet rendah lemak
dan mengkonsumsi obat antidislipidemia pada penderita dislipidemia, berhenti
merokok, berhenti mengkonsumsi alkohol, hindari kelebihan berat badan dan
kurang gerak, serta menghindari stress(Misbach, 2011 )
c. Melibatkan peran serta keluarga seoptimal mungkin, yang dapat mengatasi
krisis sosial dan emosional penderita stroke dengan cara memahami kondisi
baru bagi pasien pasca stroke yang bergantung pada orang lain (Dian, 2012)

4. Pencegahan Tersier
Berbeda dari pencegahan primer dan sekunder, pencegahan tersier ini
dilihat dari 4 faktor utama yang mempengaruhi penyakit, yaitu gaya hidup,
lingkungan, biologis, dan pelayanan kesehatan. Pencegahan tersier ini merupakan
rehabilitasi yang dilakukan pada penderita stroke yang telah mengalami
kelumpihan pada tubuhnya agar tidak bertambah parah dan dapat mengalihkan
fungsi anggota badan yang lumpuh pada anggota badan yang masih normal, yaitu
dengan cara;
a. Gaya hidup; reduksi stress, exercise sedang, dan berhenti merokok..
b.Lingkungan; menjaga keamanan dan keselamatan (tinggal dirumah lantai
pertama menggunakan Wheel-chair) dan dukungan penuh dari keluarga.
c. Biologi; kepatuhan berobat terapi fisik dan bicara
d.Pelayanan kesehatan; emergency medical technic dan asuransi (Dian, 2012)
Pencegahan tersier dapat juga dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental
dan sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat,
ahli fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli okupasional, petugas sosial dan
peran serta keluarga.
a. Rehabilitasi Fisik
Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang dapat membantu
proses pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang diberikan yaitu yang
pertama adalah fisioterapi, diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan
sensoris penderita seperti masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan,
koordinasi dan keseimbangan serta mobilitas ditempat tidur. Terapi yang
kedua adalah terapi okupasional (Occupational Therapist), diberikan untuk
melatih kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti
mandi, memakai baju, makan dan buang air. Terapi yang ketiga adalah terapi
wicara dan bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam
menelan makanan dan minuman dengan aman serta dapat berkomunikasi
dengan orang lain.
b. Rehabilitasi Mental
Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional yang dapat
mempengaruhi mental mereka, misalnya reaksi sedih, mudah tersinggung,
tidak bahagia, murung dan depresi. Masalah emosional yang mereka alami
akan mengakibatkan penderita kehilangan motivasi untuk menjalani proses
rehabilitasi. Oleh sebab itu, penderita perlu mendapatkan terapi mental dengan
melakukan konsultasi dengan psikiater atau ahli psikologi klinis.
c. Rehabilitasi Sosial
Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk membantu penderita stroke
menghadapi masalah sosial seperti, mengatasi perubahan gaya hidup,
hubungan perorangan, pekerjaan, dan aktivitas senggang. Selain itu, petugas
sosial akan memberikan informasi mengenai layanan komunitas lokal dan
badan-badan bantuan sosial, seperti mandi, memakai baju, makan dan buang
air. (Pinzon, 2010).

Anda mungkin juga menyukai