Anda di halaman 1dari 49

KONSEP PENCEGAHAN PRIMER, SEKUNDER DAN TERSIER PENYAKIT

GAGAL NAFAS, ASMA, DIABETES MELITUS TIPE II, GAGAL JANTUNG


KONGESTIF, OSTEOARTRITIS,STROKE

Dosen pembimbing : Alkhusari, S. Kep, Ners, M. Kes, M. Kep

Disusun Oleh : Kelompok III

1. Ayu Fuji Lestari (18220003)


2. Monika Putri Widianti (18220009)
3. Putri Dewi (18220010)

YAYASAN KADER BANGSA


UNIVERSITAS KADER BANGSA PALEMBANG
FAKULTAS KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN
PRODI S1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala
rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep Pencegahan
Primer, Sekunder Dan Tersier Penyakit Gagal Nafas, Asma, Diabetes Melitus Tipe Ii,
Gagal Jantung Kongestif, Osteoartritis,Stroke”.Meskipun banyak tantangan dan
hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tetapi kami
berhasilmenyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah meluruskan
penulisan makalah ini, baik dosen maupun teman-teman yang secara langsung maupun
tidak langsung memberikan kontribusi positif dalam proses pengerjaannya.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
diharapkan kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan makalah kami ini untuk ke
depannya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi peningkatan proses belajar mengajar dan
menambah pengetahuan kita bersama. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih.

Palembang, 6 November 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang gagal nafas


Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana
masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah gagal
nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun
fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah
terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema
dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi
terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal
nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Gagal nafas penyebab
terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas
atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak
(pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor
otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan
menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada
periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena
terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkan atau dengan
meningkatkan efek dari analgetik opioid. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru
dapat mengarah ke gagal nafas akut.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari gagal nafas (Respiratory failure)?
2. Apakah etiologi dari gagal nafas (Respiratory failure)?
3. Apakah manifestasi klinis dari gagal nafas (Respiratory failure)?
4. Apakah pemeriksaan penunjang dari gagal nafas (Respiratory failure)?
5. Bagaimana penatalaksaan dari gagal nafas (Respiratory failure)?
6. Bagaimana pencegahanprimer, sekunder, dan tersier dari gagal nafas (Respiratory
failure)?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari gagal nafas (Respiratory failure)
2. Mengetahui etiologi dari gagal nafas (Respiratory failure)
3. Mengetahui apa saja manifestasi klinis dari gagal nafas (Respiratory failure)
4. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari gagal nafas (Respiratory failure)
5. Mengetahui penatalaksaan dari gagal nafas (Respiratory failure)
6. Mengetahui bagaimana pencegahan primer, sekunder, dan tersier dari gagal nafas
(Respiratory failure)
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Gagal Nafas


1. Definisi
Gagal napas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbon dioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen
kurang dari 50 mmHg (hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida
lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia) menurut Brunner & Suddarth dalam
Nurarif & Kusuma (2014).

2. Etiologi
a. Penyebab sentral
1. Kelainan neuromuskuler: GBS, tetanus, trauma cervical, muscle relaxans
2. Kelainan jalan napas: obstrksi jalan napas, asma bronkhial
3. Kelainan diparu: edema paru, atelektasis, ARDS
4. Kelainan thorax: fraktur kosta, pneumothorax, haematothorax
5. Kelainan jantung: kegagalan jantung kiri
b. Penyebab perifer
1. Trauma kepala: contusio cerebri
2. Radang otak: encephalitis
3. Gangguan vaskuler: perdarahan otak, infark otak
4. Obat-obatan: narkotika, anstesi
Kadar oksigen (PaO2 < 8 kPa) atau Co2 (Paco2 > 6,7 kPa) arterial yang
abnormaldigunakan untuk menentukan adanya gagal napas. Maka gagal
napas dibagi menjadi: (Patrick Davey)
 Hipoksemia (tife 1): kegagalan transfer oksigen dalam paru.
 Hipoksemia (tife 2): kegagalan ventilasi untuk mengeluarkan CO2
3. Manifestasi
a. Tanda Respiratory Failure dan Gagal napas total
1) Aliran udara dimulut, hidung tidak dapat didengar atau dirasakan.
2) Pada gerakan napas spontan terlihat reaksi supra klavikula dan sela iga
serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi.
3) Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha membersihkan ventilasi buatan.
b. Gagal napas parsial
1) Terdengar suara napas tambahan gargling, snoring dan whizing.
2) Ada retraksi
3) Gejala Respiratory Failure1.
4) Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
5) Hipoksemia yaitu takikardi, gelisah, berkeringat atau sianosis (Po2
menurun).

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
b. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum, sitologi, urinalis, bronkogram,
bronkoskopi.
c. Pemeriksaan rontgen dada
d. Pemeriksaan sputum, fungsi paru, angiografi, pemindahan ventilasi-perfusi
e. Hemodinamik
f. Tife 1 meningkatkan PCWP
g. EKG
h. Mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung disisi kanan, disritmia

5. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan suportif
Penatalaksanaan suportif adalah tindakan yang secara tidak langsung
ditunjukkan untuk memperbaiki pertukaran gas, yaitu:
1) Atasi hipoksemia: terapi oksigen
2) Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi
3) Perbaiki jalan napas
4) Bantuan ventilasi: face mask, ambu bag
5) Terapi lainnya(fisioterapi dad,bronkodilator,
antikolergenik/parasimpatolitik, teolifidin, kortikosteroid, ekspektoran
b. Penatalaksanaan kausatif
Sambil dialakukan resusitasi (terapi suportif) diupayaklan mencari
penyebab gagal napas. Pengobatan spesifik ditujukkan pada etiologinya,
sehingga pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Semua
terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal naps di
UGD sebelum selanjutnya nanti dirawat di ICU. Penanganan lebih lanjut
terutama maslah penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan
guidiles penanganan pasien gagal naps di ICU pada tahap berikutnya.

B. Pencegahan Respirator Failure


1. Pencegahan primer (Primary Prevention)
Pencegahan primer merupakan upaya yang dilakukan pada orang yang
mempunyai resiko agar tidak terjadi gagal napas. Orang yang beresiko tinggi
untuk mengalami gangguan paru-paru adalah hipoventilasi, adanya trauma pada
lesi batang penyakit paru-paru lainnya. Pencegahan primer yang dapat dilakukan
adalah:
a. Mengatur pola konsumsi protein.
b. Sedikit mengkonsumsi garam. Pola konsumsi garam yang tinggi akan
meningkatkan ekskresi kalsium dalam air kemih yang dapat menumpuk dan
membentuk kristal.
c. Mengurangi makanan yang mengandung kolesterol tinggi.
2. Pencegahan Sekunder (Secondary Preventin)
Pencegahan sekunder merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah
orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan
menghindarkan komplikasi. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara
mendeteksi penyakit secara dini dan pengobatan secara cepat dan tepat. Tujuan
pencegahan sekunder adalah untuk mengobati penderita dan mengurangiakibat-
akibat yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian
pengobatan.
a. Pengobatan
Adapun pemberian pengobatan terhadap penderita PPOK meliputi:
bronkodilator, kortikosteroid, antibiotik, pemberian oksigen dan pembedahan.
b. Bronkodilator
Bronkodilator adalah obat utama dalam penatalaksanaan PPOK.
Bronkodilator utama pada PPOK adalah agonis beta-2, antikolinergik, teofilin
atau kombinasi obat tersebut.
c. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid inhalasi secara regular hanya boleh diberikan pada
pasien yang telah tercatat dari hasil spirometri berespon terhadap steroid, atau
pada pasien yang VEP1 < 50%. Dapat juga diberikan dalam bentuk oral
dengan dosis tunggal prednisone 40mg/hari paling sedikit selama 2 minggu,
maka pengobatan kortikosteroid sebaiknya dihentikan. Pada pasien yang
menunjukkan perbaikan, maka harus dimonitor efek samping dari
kortikosterois pada penggunaan jangka lama.
d. Antibiotik
Antibiotik merupakan salah satu obat yang sering digunakan dalam
penatalaksanaan PPOK. Pemberian antibiotik dengan spectrum yang luas pada
infeksi umum yang disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenza dan Mycoplasma.
e. Pemberian Oksigen
Pemberian oksigen jangka panjang terhadap PPOK pada anlisis gas darah
didapatkan. Pemberian oksigen jangka panjang (lebih dari 15 jam/hari) pada
pasien dengan gagal nafas kronis dapat meningkatkan survival, memperbaiki
kelainan hemodinamik, hemotologis, meningkatkan kapasitas exercise dan
memperbaiki status mental.
f. Pembedahan
Pembedahan biasanya dilakukan pada PPOK berat dan tindakan operasi
diambil apabila diyankini dapat memperbaiki fungsi paru atau gerakan
mekanik paru. Jenis operasi pada PPOK adalah bullectomy, Lung Voleme
Reduction Surgery (LVRS) dan transpalantasi paru.
3. Pencegahan Tersier (Tertiary Prevention)
Pencegahan tersier yang dilakukan pada penderita RF adalah untuk
mencegah kecacatan/kematian, mencegah proses penyakit lanjut dan rehabilitasi.
Rehabilitasi yang dapat dilakukan dapat berupa rehabilitasi fisik, social dan
psikologi. Pencegahan tersier terus diupayakan selama penderita RF belum
meninggal dunia. Tujuan pencegaha tersier adalah untuk mengurangi
keridakmampuan dan mengadakan rehabilitasi.Pencegahan tersier meliputi:
a. Rehabilitasi Psikis
Rehabilitasi psikis bertujuan memberikan motivasi pada penderita untuk dapat
menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan bahkan
akan mengalami kecemasan, takut dan depresi terutama saat eksaserbasi.
Rehabilitasi psikis juga bertujuan mengurangi bahkan menghilangkan
perasaan tersebut.
b. Rehabilitasi Pekerjaan
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk menyelaraskan pekerjaan yang dapat
dilakukan penderita sesuai dengan gejala dan fungsi paru penderita.
Diusahakan menghindari pekerjaan yang memiliki resiko terjadi perburukan
penyakit.
c. Rehabilitasi Fisik
Penderita PPOK akan mengalami penurunan kemampuan aktivitas fisik serta
diikuti oleh gangguan pergerakan yang mengakibatkan kondisi inaktif dan
berakhir dengan keadaan yang tidak terkondisi. Tujuan rehabilitasi fisik yang
utama adalah memutuskan rantai tersebut sehingga penderita tetap aktif.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam
paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel-sel tubuh. Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi
yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. gagal nafas adalah
kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dan
karbondioksida dalam jumlah yang dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan.
gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana
masing-masing mempunyai pengetian yang berbeda. indikator gagal nafas yaitu
frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi pernafasan normal ialah 16-20x/m.
bilanya lebih dari 20x/m tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena
pernapasan menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan.

B. Saran
Setelah penulisan makalah ini kami mengharap mahasiswa keperawatan pada
khususnya mengetahui perngertian, tindakan penanganan awal, serta mengetahui
pencegahan primer, sekunder dan tersier respiratory failure.
DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, Muhammad. (2012). Medical Bedah Untuk Mahasiswa. Jogjakarta:


DIVA Press
Mansjoer, A.S.W. (2011). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 2. Jakarta: EGC
Nurarif, A.H & Kususma, H. (2014). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
DiagnosaMedis Dan Nanda Nic-Noc, Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta:
Mediaction Jogja.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Asma


Asma adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di
hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat
penyakit yang ringan sampai berat, bahkan dapat mematikan. Badan kesehatan dunia
(WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita asma, jumlah ini
diperkirakan akan terus bertambah sebesar 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain
menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan
terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini(Sriwidodo, 2003).
Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 1986,
1992, dan 1995 memperlihatkan asma masih menduduki peringkat ke tiga dari 10
penyebab kematian utama di Indonesia.4 Laporan kasus penyakit tidak menular pada
dinas kesehatan Jawa Tengah khusus penderita asma bronkial dari beberapa rumah
sakit kabupaten Kudus tahun 2005 sebanyak 6.315 penderita, tahun 2006 sebanyak
6.579 penderita, sedangkan pada tahun 2007 sampai bulan Maret sebanyak 2.958
penderita (Laporan Kasus Tidak Menular. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2005-2007).

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apa definisi Asma ?
2. Bagaimana epidemiologi Asma di Indonsia ?
3. Bagaimana natural history dari asma ?
4. Bagaimana pencegahan dari Asma ?
C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :

1. Untuk mengetahui definisi penyakit asma

2. Untuk mengetahui epidemiologidari asama indonesia

3. Untuk mengetahui natural history dari penyakit asma.


4. Untuk mengetahui pencegahan dari penyakit asma.

D. Manfaat Penulisan

Pada makalah ini akan dibahas definisi penyakit asma, epidemiologi penyakit
asma di Indonesia, natural history dari penyakit asma, serta pencegahan dari penyakit
asma. Dengan demikiandiharapkan dengan penulisan makalah ini dapat membantu
mahasiswa kedokteran mendapatkan informasi mengenai penyakit asma.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Asma
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah” dan
berarti serangan nafas pendek (Price, 1995). Menurut Global Initiative for Asthma
(GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan
banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada
orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa
dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini
biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun
bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas
terhadap berbagai rangsangan (GINA, 2006).
Menurut Prasetyo (2010) asma adalah penyakit kronis (berlangsung lama)
yang ditandai oleh sesak napas disertai bunyi ngik-ngik (mengi) atau batuk
persisten dimana derajat keparahan setiap orang berbeda-beda. Pada saat serangan
yang terjadi adalah menyempitnya jalan napas kita akibat dari pengerutan bronkus
yang menyebabkan udara sulit keluar masuk paru.

B. Epidemiologi Asma

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di


Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab
kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada
SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian
(mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di
seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan
obstruksi paru 2/ 1000 (PDPI, 2003).
Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi
asma pada anak dengan hipereaktiviti bronkus 2,4% dan hipereaktiviti bronkus
serta gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang
dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuesioner yang kembali dengan
rata-rata umur 13,8 ± 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12
bulan terakhir/ recent asthma) 6,2% yang 64% di antaranya mempunyai gejala
klasik. Bagian Anak FKUI/ RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak
usia SLTP di Jakarta Pusat pada 1995-1996 dengan menggunakan kuesioner
modifikasi dari ATS 1978, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji
provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1296 siswa dengan usia 11 tahun 5
bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8%
dengan recent asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma
pada siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun
melalui kuesioner ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in
Childhood), dan pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian
subjek yang dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma
(recent asthma ) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5% (PDPI,
2003).

C. Pencegahan
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi
dengan bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah
yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma; dan
pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan / bermanifestasi
klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma (PDPI, 2003).
1. Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal
dan perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan
pencegahan primer penyakit asma. Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan
atau menurunkan sensitisasi alergen pada fetus, tetapi pengaruh faktor-faktor
tersebut sangat kompleks dan bervariasi dengan usia gestasi, sehingga
pencegahan primer waktu ini adalah belum mungkin. Walau penelitian ke arah
itu terus berlangsung dan menjanjikan (PDPI, 2003).
a. Periode prenatal
Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk cukup sel
penyaji antigen (antigen presenting cells) dan sel T yang matang,
merupakan saat fetus tersensisitasi alergen dengan rute yang paling
mungkin adalah melalui usus, walau konsentrasi alergen yang dapat
penetrasi ke amnion adalah penting. Konsentrasi alergen yang rendah
lebih mungkin menimbulkan sensitisasi daripada konsentrasi tinggi.
(PDPI, 2003).
b. Periode postnatal
Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan
terutama difokuskan pada makanan bayi seperti menghindari protein susu
sapi, telur, ikan, kacang-kacangan. Sebagian besar studi menunjukkan
mengenai hal tersebut, menunjukkan hasil yang inkonklusif (tidak dapat
ditarik kesimpulan). Dua studi dengan tindak lanjut yang paling lama
menunjukkan efek transien dari menghindari makanan berpotensi alergen
dengan dermatitis atopik. Dan tindak lanjut lanjutan menunjukkan
berkurangnya bahkan hampir tidak ada efek pada manifestasi alergik
saluran napas, sehingga disimpulkan bahwa upaya menghindari alergen
makanan sedini mungkin pada bayi tidak didukung oleh hasil. Bahkan
perlu dipikirkan memanipulasi dini makanan berisiko menimbulkan
gangguan tumbuh kembang (PDPI, 2003).
c. Asap rokok lingkungan (Enviromental tobacco smoke/ETS)
Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok
berdampak pada kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai
dengan usia 3 tahun, walau sulit untuk membedakan kontribusi tersebut
pada periode prenatal atau postnatal. Berbagai studi menunjukkan bahwa
ibu merokok selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan paru
anak, dan bayi dari ibu perokok, 4 kali lebih sering mendapatkan
gangguan mengi dalam tahun pertama kehidupannya.Sedangkan hanya
sedikit bukti yang mendapatkan bahwa ibu yang merokok selama
kehamilan berefek pada sensitisasi alergen. Sehingga disimpulkan
merokok dalam kehamilan berdampak pada perkembangan paru,
meningkatkan frekuensi gangguan mengi nonalergi pada bayi, tetapi
mempunyai peran kecil pada terjadinya asma alergi di kemudian hari.
Sehingga jelas bahwa pajanan asap rokok lingkungan baik periode
prenatal maupun postnatal (perokok pasif) mempengaruhi timbulnya
gangguan/penyakitdenganmengi(PDPI,2003).
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak
berkembang menjadi asma. Studi terbaru mengenai pemberian antihitamin H-1
dalam menurunkan onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Studi lain
yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi dengan alergen spesifik
untuk menurunkan onset asma (PDPI, 2003).
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan
alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan
sudah dengan gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan /resolusi
total dari gejala daripada jikapajanan terus berlangsung (PDPI, 2003
3. Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadi serangan yang dapat ditimbulakan
oleh berbagai pencetus. Sehingga menghindari perjalan pencetus akan
memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi /obat (PDPI,
2003).
Obat-obatan yang dapat digunakan untuk membantu pencegahan primer
termasuk obat pengontrol atau anti inflamasi, diantaranya adalah Kromolin obat
ini tidak mempunyai aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolinergik,
vasokonstriktor atau aktivitas glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat
pelepasan mediator, histamin dan SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis,
leukotrien) dari sel mast. Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat
diberikan. Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan
asma. Obat ini akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan
mediator dari berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil,
neutrofil, makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat
perkembangan respon bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap
antigen terinhalasi (Departemen Kesehatan RI, 2007).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa penyakit asma
adalah penyakit kronis (berlangsung lama) yang ditandai oleh sesak napas disertai
bunyi ngik-ngik (mengi) atau batuk persisten dimana derajat keparahan setiap orang
berbeda-beda. Penyakit asma juga merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan
kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah
tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Dalam natural history nya
prepatogenesis penyakit asma dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
faktor prenatal, genetik, lingkungan dan infeksi. Pada tahapan patogenesisnya yang
timbul akibat riwayat atopi akibat pemaparan alergen. Alergen yang masuk ketubuh
melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap
oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). Kemudian paska
patogenesisnya, Penyakit asma merupakan penyakit yang kesembuhannya karier atau
sembuh fungsional, apabila daya.tahan tubuh menurun, maka penyakit dapat kambuh
kembali. Namun kesalahan dalam penatalaksanaan dapat menyebabkan kematian
dan terjadinya obstruksi paru yang menahun. Dalam pencegahan penyakit asma
dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier.

B. Saran
Diharapkan para masyarakat menerapkan pola pencegahan primer sebelum
terserang penyakit asma, karena penyakit asma juga dapat ditimbulkan karena faktor
lingkungan. Kemudian bagi para penderita asma supaya menerapkan pencegahan
sekunder ketika terjadi serangan dan menerapkan pencegahan tersier dengan baik
untuk tahapan rehabilitasi baik dalam terapi farmakologi maupun yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma.

Jakarta : Departemen Kesehatan RI

GINA (Global Initiative for Asthma), 2006. Pocket Guide for Asthma Management
and Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.

Meiyanti & Mulia J.I. 2009. Perkembangan Patogenesis dan Pengobatan Asma
Bronkial. Dipetik Desember, 20, 2013 dari Fakultas Kedokteran Univrsitas
Trisakti:
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) saat ini merupakan penyakit yang menyebabkan
kematian di dunia. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2016
menunjukkan, 70 persen dari total kematian di dunia yaitu sekitar 425 orang dan
lebih dari setengah beban penyakit diakibatkan diabetes. Sebanyak 90 sampai 95
persen dari kejadian diabetes adalah diabetes tipe 2, sedangkan kasus diabetes tipe 2
dapat dicegah. Menurut Internasional of Diabetic Federation bahwa telah terjadi
peningkatan kasus Diabetes Melitus di dunia dari tahun 2017 terjadi peningkatan
kasus Diabetes Melitus menjadi 425 juta kasus, tingkat prevalensi global penderita
diabetes melitus di Asia Tenggara pada tahun 2017 adalah sebesar 8,5%.
Diperkirakan akan mengalami peningkatan menjadi 11,1% pada tahun 2045 dimana
Indonesia berada di urutan ke-6 setelah Cina, India, Amerika Serikat, Brazil, dan
Mexico dengan jumlah penderita diabetes melitus sebesar 10,3 juta penderita
(IDF, 2017). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 secara nasional
menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus adalah 2,0%. meningkat dari 1,5%
pada tahun 2013 menjadi 2,0% pada tahun 2018. Prevalensi diabetes melitus
berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk umur ≥15 tahun yang
bertempat tinggal di perkotaan adalah 10,6%.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep teori diabetes mellitus


1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai
oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemi. Glukosa secara
normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk dihati
dari makanan yang dikonsumsi. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah
akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif(Darmojo, 2004).

2. Etiologi
Lansia yang mengalami Diabetes Mellitus, biasanya tergolong tipe II,
NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) atau Diabetes Melitus
Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalankelenjar
pankreas dalam memproduksi insulin dan/atau terjadinya resistensi insulin baik
pada hati maupun ada jaringan sasaran. Kedua hal tersebut mengakibat
kegagalan hati dalam meregulasi pelepasan glukosa dan menyebabkan
ketidakmampuan jaringan otot serta jaringan lemak dalam tugas ambilan
glukosa. Diabetes mellitus yang timbul pada lanjut usia belum dapat
diterangkan seluruhnya, namun dapat didasarkan atas faktor- faktor yang
muncul oleh perubahan proses menuanya sendiri.Faktor-faktor penyebab
diabetes menurut Price & Wilson (2005) meliputi:
a. Genetik
Faktor Faktor genetik merupakan faktor yang penting pada Diabetes
Mellitus yang dapat mempengaruhi sel beta dan mengubah kemampuannya
untuk mengenali dan menyebarkan sel rangsang sekretoris insulin.
Keadaan ini meningkatkan kerentanan individu tersebut terhadap faktor-
faktor lingkungan yang dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta
pankreas.
b. Usia
Diabetes Mellitus tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan
semakin sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat
pada usia lanjut. Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa
mencapai 50-92% . Umur sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan
kadar glukosa darah, sehingga semakin meningkat usia maka prevalensi
diabetes dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. Perubahan dimulai
dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat
organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh
yang dapat mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang
menghasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan target yang menghasilkan
glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa.
c. Jenis Kelamin
Jenis kelamin laki-laki memiliki risiko Diabetes meningkat lebih
cepat. Diabetes tipe II pada umumnya memiliki indeks massa tubuh (IMT)
di atas batas kegemukan. Laki-laki terkena Diabetes pada IMT rata-rata
31,83 kg/m2 sedangkan perempuan baru mengalaminya pada IMT 33,69
kg/m2. Perbedaan risiko ini dipengaruhi oleh distribusi lemak tubuh. Pada
laki-laki, penumpukan lemak terkonsentrasi di sekitar perut sehingga
memicu obesitas sentral yang lebih berisiko memicu gangguan
metabolisme.

d. Obesitas

Obesitas adalah berat badan yang berlebihan minimal 20% dari BB


idaman atau indeks massa tubuh lebih dari 25Kg/m2. Obesitas menyebabkan
respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa darah berkurang,
selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh tubuh termasuk di otot
berkurang jumlahnya dan kurang sensitif.
e. Aktififas fisik

Kurangnya aktifitas merupakan salah satu faktor yang ikut berperan


dalam menyebabkan resistensi insulin pada DM tipe II (Soegondo, 2007).
Lebih lanjut Stevenson dan Lohman dalam Kriska (2007) menyatakan
mekanisme aktifitas fisik dapat mencegah atau menghambat perkembangan
DM tipe II yaitu :
1) Penurunan resistensi insulin

2) Peningkatan toleransi glukosa

3) Penurunan lemak adipose

4) Pola makan

Penurunan kalori berupa karbohidrat dan gula yang diproses secara


berlebihan, merupakan faktor eksternal yang dapat merubah integritas
dan fungsi sel beta individu yang rentan.

5) Stres

Stres menyebabkan kelebihan produksi kortisol, hormon yang


menetralkan efek dari insulin dan hasil kadar gula darah tinggi. Kortisol
bersifat antagonis, jika seseorang lebih banyak stres, kortisol akan
mengurangi sensitivitas tubuh terhadap insulin dan membuat glukosa
lebih sulit untuk masuk kedalam sel sehingga akan mempengaruhi
peningkatan kadar glukosa darah (Smeltzer & Bare, 2002 ).

B. PENCEGAHAN
Komplikasi adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami dua penyakit
atau lebih secara bersamaan yang kebanyakan penyakit yang kedua atau
seterusnya muncul sebagai tambahan atau lanjutan penyakit yang terdahulu.
Pencegahan DM dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu pencegahan primer,
sekunder dan tersier:
1. Pecegahan primer
Pencegahan primer ditujukan pada faktor-faktor risiko terhadap
patogenesis dasar dari DM tipe 2 yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Usaha-usaha untuk menurunkan resistensi insulin antara lain
mencegah atau memperbaiki adanya obesitas, menghindari diet tinggi
lemak, mengkonsumsi sumber karbohidrat yang diolah tidak terlalu bersih
(unrefined), menghindari obat-obat yang bersifat diabetogenik dan
meningkatkan aktivitas fisik yang berpengaruh menurunkan resistensi
insulin terlepas dari penurunan berat badan (WHO, 1994). Usaha-usaha
tersebut tidak lain adalah perubahan gaya hidup. Perubahan gaya hidup
tersebut dapat menurunkan berat badan, memperbaiki distribusi lemak
tubuh (menurunkan lingkar pinggang) dan dengan demikian dapat
mencegah atau menunda manifestasi dari Diabetes Mellitus tipe 2.

2. Pemcegahan sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan menemukan diagnosis DM sedini


mungkin dengan cara skrining. Hasil tes penyaring normal bila glukosa
darah sewaktu atau puasa < 110 mg%. Bila didapatkan kadar glukosa darah
puasa antara 110 – 125 mg/dl dinamakan glukosa darah puasa terganggu
dan bila ≥ 126 mg/dl atau glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl maka
diagnosis DM sangat mungkin dan bila tanpa gejala DM perlu dilakukan tes
pada waktu yang lain untuk memastikan diagnosis (PERKENI, 2002).

3. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier adalah usaha untuk mencegah terjadinya ginjal


atau nefropati. Penyakit neuropati yang komplikasi pada DM. Komplikasi
akut Hipoglikemia yang ditandai dengan badan gemetaran, cemas, bingung
dan rasa lapar yang timbul dengan tiba- tiba, Ketoasidosis Diabetik (KAD)
yang biasanya ditandai dengan nafas berbau aseton, mual muntah serta
dehidrasi.
Sindrom hiperglikemik hiperosmolar non-ketotik (HHNK) yaitu
suatu sindrom yang ditandai dengan hiperglikemi berat, hiperosmolar,
dehidrasi berat tanpa ketoasidosis, disertai dengan menurunnya kesadaran
dan komplikasi kronik: Makrovaskular (penyakit pembuluh darah besar)
yang meliputi sirkulasi koroner, vaskular perifer, dan vaskular serebral.
Mikrovaskular (penyakit pembuluh darah kecil) yang menyerang mata atau
retinopati serta menyerang menyerang saraf sensorik-motorik dan autonomi
serta menunjang masalah seperti impotensi dan ulkus pada kaki. Usaha
terhadap timbulnya komplikasi ini antara lainpengendalian yang ketat dari
kelainan metabolik pada Diabetes Mellitus (glukosadarah, lipid) dan faktor-
faktor lain yang berpengaruh terhadap kerusakan pembuluh darah misalnya
tekanan darah, merokok dan sebagainya. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
mengatur pola makan, kontol gula darah, Olah raga dan faktor psikososial.
Penyakit Diabetes Mellitus dapat memberikan beban psikososial bagi
penderita. Respon emosional negatif dapat menghambat upaya penurunan
glukosa darah karena timbulnya reaksi negatif misalnya : tidak mengubah
gaya hidup yang sehat seperti: melakukan olah raga, mengkonsumsi obat,
mengatur pola makan, serta dapat berperilaku tidak sehat (merokok,
mengkonsumsi minuman beralkohol, dll ). (Brunner & Suddarth,2002).
DAFTAR PUSTAKA

Oemiati R., Sihombing M., & Qomariah. . 2010. Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Penyakit Asma di Indonesia. Dipetik Desember, 19, 2013,
dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia:
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/201104149_0853-9987.pdf

PDPI, 2003. Asma Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Prasetyo, Budi. 2010. Seputar Masalah Asma. Jakarta: Divapress.

Price AS, 1995. Alih Bahasa Anugrah Patofisiologi Proses-proses Penyakit.


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Gagal Jantung


Gagal jantung kongestif atau congestive heart failure (CHF) merupakan
penyebab kematian nomor satu di dunia (PUSDATIN, 2013). Jumlah gagal jantung
di Amerika Serikat kira-kira 5,7 juta orang dewasa dan 550.000 kasus baru
didiagnosis setiap tahunnya diagnosis (Mozaffarian, et al., 2016). Gagal jantung
berkontribusi terhadap 287.000 kematian per tahun. Sekitar setengah dari orang yang
mengalami gagal jantung meninggal dalam waktu lima tahun setelah di diagnosis
(Emory Health Care, 2018).
Negara Indonesia menduduki peringkat keempat penderita gagal jantung
kongestif terbanyak di Asia Tenggara setelah negara Filipina, Myanmar dan Laos
(Lam, 2015) Prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 sebesar
229.696 orang, sedangkan berdasarkan gejala yang di diagnosis oleh dokter yaitu
sebesar 530.068 orang. Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi dengan jumlah
terbanyak nomor 3 yaitu sebanyak 43.361 orang, setelah Jawa Timur dengan jumlah
54.826 orang dan Jawa Barat dengan jumlah 45.027 orang dari 33 provinsi yang ada
di Indonesia (PUSDATIN, 2013).

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah gambaran tipe kepribadian pasien gagal jantung kongesif?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep teori gagal jantung


1. Definisi
Menurut Arif (2009) Gagal Jantung adalah suatu keadaan ketika jantung
tidak mampu mempertahankan sirkulasi yang cukup bagi kebutuhan tubuh,
meskipun tekanan pengisian vena normal. Namun, definisi – definisi lain
menyatakan bahwa gagal jantung bukanlah suatu penyakit yang terbatas pada
satu sistem organ, melainkan suatu sindrom klinis akibat kelainan jantung yang
ditandai dengan suatu bentuk respons hemodinamik, renal,neural dan hormonal,
serta suatu keadaan patologis di mana kelainan fungsi jantung menyebabkan
kegagalan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan ,
atau hanya memenuhinyadengan meningkatkan tekanan pengisian.
Gagal jantung kongestif menimbulkan berbagai gejala klinis diantaranya :
dipsnea, ortopnea,Disnea noktural paroksimal (PND),asites, piting edema,
berat badan meningkat dan gejala yang paling sering dijumpai adalah sesak
nafas pada malam hari, yang mungkin muncul tiba- tiba dan menyebabkan
penderita terbangun (Udjianti, 2011).

2. Etiologi
Penyebab gagal jantung digolongkan menurut apakah gagal jantung tersebut
menumbulkan gagal dominan sisi kiri atau dominan sisi kanan. Dominan sisi
kiri : penyakit jantung iskemik, penyakit jantung hipertensif, penyakit katub
aorta, penyakit katub mitral, miokarditis, kardiomiopati, amiloidosis jantung,
keadaan curah tinggi (tirotoksikosis, anemia, fistula arteriovenosa). Dominan
sisi kanan : gagal jantung kiri, penyakit paru kronis, stenosis katub pulmonal,
penyakit katub trikuspid, penyakit jantung konginetal ( VSD, PDA), hipertensi
pulmonal, emboli masif ( Chandrasoma, 2006).Berikut adalah etiologi ter
jadinya gagal jantung antara lain :
a. Kelainan Otot Jantung
Gagal jantung paaling sering pada penderita kelainan otot jantung,
yang berdampak pada menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang
mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencangkup aterosklerosis
koroner, hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif dan inflamasi
b. Hipertensi sistemik dan hipertensi pulmonal
Gangguan ini menyebabkan menyebabkan meningkatkan beban
kerja jantung dan pada gilirannya juga turut mengakibatkan hipertrofi
serabut otot jantung. Efek tersebut dapat dianggap sebagai mekanisme
kempensasi, karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung
c. Aterosklerosis koroner
Kelainan ini mengakibatkan disfungsi miokardium karen
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadinya hipoksia ( kondisi
dimana kurangnya suplai oksigen pada jaringan tubuh )dan asidosis
(kondisi dimana Ph darah < 7,34 ). Infark miokardium biasanya
mendahului terjadinya gagal jantung.

3. Manifestasi Klinis
Menurut Aspiani (2010) tanda tanda klinis gagal jantung adalah
meningkatnya volume intravaskuler. Kongesti jaringan terjadi akibat tekanan
arteri dan vena yang meningkat akibat turunnya curah jantung pada kegagalan
jantung. Peningkatan tekanan vena pulmonalis dapat menyebabkan cairan
mengalir dari kapiler paru ke alveoli, akibatnya terjadi edema paru, yang
dimanifestasikan dengan batuk dan nafas pendek. Meningkatnya tekanan vena
sistemik dapat mengakibatkan edema perifer umum dan penambahan berat
badan. Tekanan perfusi ginjal menurun, mengakibatkan pelepasan renin dari
ginjal, yang pada gilirannya akan menyebabkan aldosteron, retensi natrium dan
cairan,sertapeningkatanvolumeintravaskuler.
4. klasifikasi
Gagal jantung biasanya digolongkan menurut derajat atau
beratnya gejala seperti klasifikasi menurut New York Heart Association
(NYHA). Klasifikasi tersebut digunakan secara luas di dunia internasional untuk
mengelompokkan gagal jantung. Gagal jantung ringan, sedang, dan berat
ditentukan berdasarkan beratnya gejala, khususnya sesak nafas (dispnea).
Meskipun klasifikasi ini berguna untuk menentukan tingkat ketidakmampuan
fisik dan beratnya gejala, namun pembagian tersebut tidak dapat digunakan
untuk keperluan lain.gagal jantung dibagi menjadi :
a. Gagal Jantung Kiri
Kongesti paru menonjol pada gagal jantung ventrikel kiri, karena ventrikel
kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan
tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan
paru. Tanda dan gejala kegagalan ventrikel kiri antara lain dispnue, nyeri
dada dan syok, noctural dispneu, batuk, mudah lelah, kegelisahan dan
kecemasan serta disrirmia.
b. Gagal Jantung Kanan
Bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah kongesti visera dan
jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu
mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali ke sirkulasi
vena. Tanda dan gejala kegagalan ventrikel kiri antara lain edema,
hepatomegali, anoreksia, nokturia, lemah, distensi vena jugularis.
c. Gagal Jantung Kongetif : gabungan keduagambaran tersebut.

B. PENCEGAHAN

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer yang dapat dilakukan sebagai upaya mencegah


gangguan yaitu dengan melakukan higiene tidur yang baik. Stanley & Beare
(2008) menyatakan bahwa higiene tidur yang baik mencakup sebelas
peraturan, yaitu:
a. Tidur seperlunya, tetapi tidak berlebihan. Pembatasan waktu tidur dapat
memperkuat tidur, berlebihnya waktu yang dihabiskan di tempat tidur
akanberkaitan dengan kualitas tidur yang buruk
b. Waktu bangun yang teratur di pagi hari. Hal ini akan memperkuat siklus
sirkadian dan menyebabkan awitan tidur yang teratur
c. Jumlah latihan yang stabil setiap harinya akan dapat memperdalam tidur
d. Bunyi bising yang bersifat sementara (misal. bunyi pesawat terbang
yangmelintas) dapat mengganggu tidur. Kamar tidur kedap suara dapat
membantubagiorang-orang yang harus tidur di dekat kebisingan
e. Ruangan yang terlalu hangat dapat mengganggu tidur.
f. Ruangan yang terlaludingin juga dapat mengganggutidur
g. Rasa lapar dapat mengganggu tidur
h. Ketergantungan penggunaan obat tidur
i. Penggunaan kafein di malam hari dapat mengganggu tidur
j. Alkohol dapat memudahkan orang untuk tidur, namun hal ini akan
menyebabkan tidur menjadi terputus-putus
k. Lansia yang merasa marah ataupun frustasi karena tidak dapat tidur tidak
boleh mencoba terlalu keras untuk tidur. Hal yang dapat dilakukan yaitu
menyalakan lampu dan melakukan kegiatan lain terlebih
l. Penggunaan tembakau yang berlebihan dapatmengganggu tidur
Kleitman (1937, dalam Stanley & Beare, 2006), juga
mengemukakan tindakan pencegahan primer bagi lansia dengan
gangguan tidur, yaitu:
m. Penggunaan kasur yang baik memungkinkan kesejajaran tubuh yang
tepat
n. Suhu kamar harus cukup dingin (kurang dari 240C) sehingga cukup
nyaman
o. Asupan kalori harus minimal pada saat menjelang tidur
p. Latihan sedang di siang hari atau sore hari merupakan hal yang dianju
2. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier dilakukan jika kondisi tertentu telah menyebabkan


kerusakan pada individu. Tujuan pencegahan tersier adalah membatasi
kecacatandan merehabilitasi atau meningkatkan kemampuan individu
(Anderson &McFarlane, 2006). Pada kasus gangguan tidur seperti apnea
tidur yang mengancam kehidupan, pasien memerlukan rehabilitasi melalui
tindakan-tindakanseperti pengangkatan jaringan yang menyumbat dan
mempengaruhi jalan napas.Tujuan rehabilitasi yang dilakukan untuk
menikmati tidur yang berkualitas baik sampai akhir hayatnya (Stanley &
Beare, 2006).

3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah deteksi dini dan pengobatan terhadap
kondisi kesehatan yang merugikan. Komponen penting dalam pencegahan
sekunder adalah skrining atau pemeriksaan (Anderson & McFarlane, 2006).
Pengkaji gangguan tidur meliputi seberapa baik tidur di rumah, berapa
kali terbangun di malam hari, kegiatan- kegiatan yang dilakukan sebelum
tidur, posisitidur yang paling disukai, lingkungan dan suhu kamar yang
disukai, dan penggunaan obat tidur atau obat lainnya sebelum waktu tidur.
Validasi dapat dilakukan pada anggota keluarga untuk memastikan
keakuratan data pengkajian (Stanley & Beare, 206)
DAFTAR PUSTAKA

Sriwidodo WS, 2003. Asma. Jakarta : Cermin Dunia Kedokteran.

Szefler, S.J. 2010. Advances in Pediatric Asthma in 2010 : Addresing the Major
Issues. Dipetik Desember, 19, 2013, dari National Center for
Biotechnology Information :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3032272/
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Osteoartritis (OA) merupakan sindroma klinis dari nyeri sendi yang disertai
gangguan fungsional yang bervariasi serta penurunan kualitas hidup pada orang
yang terkena. Osteoartritis masih merupakan penyebab utama peradangan sendi
dan kecacatan di seluruh dunia. Sendi lutut, panggul dan sendi-sendi pada tangan
adalah tempat predileksi tersering terjadinya OA. Perubahan patologis yang khas
dari OA adalah hilangnya kartilago hyalin dan remodelling tulang yang terkena
dengan adanya pembentukan osteofit pada tepi-tepi tulang.
Faktor resiko terjadinya OA termasuk diantaranya faktor genetik, proses
penuaan, jenis kelamin, obesitas, trauma sendi baik karena pekerjaan seperti atlet
ataupun karena olahraga biasa untuk rekreasi. Beberapa dari faktor resiko tersebut
dapat dicegah dan dihindari agar tidak terlanjur menyebabkan OA seperti obesitas
dan trauma sendi akibat kerja ataupun rekreasi.
Menurut data dari Arthritis and Musculoskeletal Alliance pada tahun 2004,
prevalensi OA dengan predileksi pada sendi lutut, panggul, tangan, meningkat
sesuai dengan bertambahnya usia. Sekitar 8,5 juta jiwa di Inggris diperkirakan
mengeluhkan nyeri sendi yang mungkin disebabkan OA (Arthritis Care 2004).
Pada orang dewasa yang berusia 45 tahun atau lebih, sendi perifer yang sering
terkena merupakan sendi lutut dengan angka kejadian 19 %, dan pada wanita
berusia 75 tahun atau lebih merupakan prevalensi tertinggi yaitu 35%.Orang-
orang yang mengalami OA bisa saja tidak memiliki keluhan (asymptomatic),
dimana pada saat dilakukan pencitraan dari sendi dengan menggunakan x-ray
akan didapati osteofit yang nantinya lama-kelamaan pun akan menimbulkan
keluhan. Hal ini didukung dengan data dari Arthritis and Musculoskeletal Alliance
(2004) dan Arthritis Research Campaign (2002) dari pemeriksaan x-ray yang
dilakukan, ternyata terdapat setidaknya 4,4 juta jiwa di Inggris memiliki OA
sedang hingga berat pada sendi tangan, lebih dari setengah juta jiwa mengalami
OA sedang hingga berat pada sendi lutut, dan 210.000 orang lainnya mengalami
OA pada sendi panggul.
Kejadian OA ini dapat dicegah untuk meningkatkan kualitas hidup
penduduk dunia. Pencegahan yang dilakukan sesuai tahapan pencegahan penyakit
Leavell dan Clark yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder dan yang
terakhir adalah pencegahan tersier.Pencegahan primer yaitu pencegahan yang
dilakukan sebelum penyakit itu terjadi. Pencegahan primer ini dibagi lagi menjadi
promosi kesehatan dan perlindungan spesifik.2 Promosi kesehatan menyangkut
edukasi tentang osteoartritis, sedangkan perlindungan spesifik mencakup
pencegahan trauma sendi dan manajemen berat badan untuk mencegah obesitas
yang merupakan faktor resiko terjadinya OA.
Pencegahan sekunder meliputi identifikasi penyakit tertentu atau kondisi-
kondisi yang mencerminkan penyakit tersebut pada tahap awal dengan melakukan
intervensi untuk mencegah atau membatasi komplikasi atau kecacatan yang
terjadi. Pada pencegahan sekunder ini meliputi diagnosis dini (early diagnosis),
pengobatan yang sesuai (prompt treatment) dan pembatasan kecacatan (disability
limitation). Pencegahan sekunder pada osteoartritis termasuk di dalamnya self-
management education dan aktivitas fisik yang cukup untuk mencegah kaku
sendi atau komplikasi lainnya terjadi. Pada deteksi dini OA dapat dilakukan
screening pencitraan sendi-sendi pada orang-orang yang dikhawatirkan untuk
cenderung menderita OA.Pencegahan tersier yaitu pencegahan yang dilakukan
apabila penyakit atau cacat sudah terjadi dan proses penyembuhan telah dimulai
yang bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan termasuk di dalamnya
meminimalisasi pengaruh dari penyakit tersebut terhadap kualitas hidup.
Pencegahan tersier termasuk rehabilitasi, fisioterapi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pencegahan Primer Osteoartritis.


Promosi Kesehatan (Health Promotion) Pada promosi kesehatan yang
dilakukan untuk mencegah osteoartritis, edukasi tentang osteoartritis itu sendiri harus
mencakupi seluruh lapisan masyarakat baik dari usia muda hingga tua, walaupun
angka kejadian terbanyak dari OA ini melanda populasi pada usia paruh baya hingga
lansia. Hal ini dilakukan dengan harapan dengan adanya edukasi tentang OA pada
usia muda, populasi tersebut lebih sadar dan peduli untuk mencegah OA itu terjadi.
Populasi target untuk mendapatkan edukasi tentang OA ini adalah orang-
orang berusia di bawah 40 tahun dimana gejala nyeri sendi pertama kali dikeluhkan
pada orang-orang di atas usia ini.Edukasi tentang OA ini harus mencakup dari
definisi OA, faktor resiko, gejala-gejala yang dapat timbul, pengobatan, serta tentang
pencegahan terjadinya OA. Dengan memahami hal-hal tersebut diharapkan mereka
yang masih muda dapat menjaga kesehatan agar terhindar dari OA, baik dengan rutin
melakukan olahraga dan menjaga berat badan agar tidak menjadi obese atau berat
badan berlebih yang mana termasuk faktor resiko terjadinya OA itu sendiri.
Khususnya untuk faktor resiko OA yaitu obesitas, harus disampaikan
kepada masyarakat bagaimana mengetahui apakah berat badan mereka sudah melebihi
batas normal. Dapat diajarkan dengan cara menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT)
atau Body Mass Index (BMI) dengan rumus:

IMT atau BMI = Berat badan dalam kg


Tinggi badan dalam m2
Kemudian hasil BMI disesuaikan dengan klasifikasi dari WHO tahun 2000
dimana seseorang yang dikatakan obesitas adalah orang-orang yang memiliki IMT
≥ 25 kg/m2 dan yang dikatakan normal adalah orang-orang yang memiliki IMT
pada rentang 18,5-22,9 kg/m2. Sedangkan pada IMT dibawah 18,5 kg/m2
tergolong underweight dan 23-24,9 kg/m2 dikategorikan orang-orang yang
berpotensi menjadi obese.
Perlindungan Spesifik (Specific Protection)Pada tahapan pencegahan prier
perlindungan spesifik, disini diharapkan agar orang-orang yang memiliki faktor
resiko terjadinya OA sudah dapat mengatasi dan mencegah faktor-faktor resiko
tersebut berlanjut menjadi penyakit. Misalnya pada atlet-atlet seperti atlet lari
ataupun atlet basket yang memang bidang pekerjaannya rentan dengan trauma atau
injury saat latihan ataupun pertandingan dapat melindungi dirinya dengan
melakukan pemanasan terlebih dahulu untuk melemaskan otot-otot mereka agar
tidak terjadi cedera. Mereka juga dapat menggunakan pelindung seperti ankle
brace yaitu karet penahan yang digunakan di pergelangan kaki untuk mencegah
terjadinya sprain atau terkilir yang dapat merusak persendian pada pergelangan
kaki tersebut.
Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Cordova dkk., ternyata
penggunaan profilaksis external ankle support oleh para atlet sangat berguna
untuk mendapatkan stabilitas mekanik dari alat tersebut. Mereka juga
mendapatkan bahwa dengan penggunaan alat-alat penyokong persendian dapat
meningkatkan ketahanan dari persendian pada saat melakukan gerakan dinamis
seperti berlari ataupun saat atlet-atlet tersebut melakukan manuver.8 Hal ini akan
membantu terhindarnya cedera yang nantinya dapat menjadi faktor resiko
terjadinya OA akibat sendi yang terus menerus mengalami peradangan dan
remodelling.
Orang-orang dengan status gizi lebih atau obesitas, dapat memulai
olahraga rutin untuk menurunkan berat badan. Dimana akivitas fisik yang
direkomendasi oleh Arthritis Foundation dan Center for Disease Control and
Prevention atau lebih dikenal sebagai CDC (2010) yaitu:4

1. Dua jam tiga puluh menit setiap minggunya atau satu jam lima belas menit
setiap minggunya dilakukan dengan olahraga aerobik yaitu seperti berjalan
berenang atau bersepeda. Setidaknya 10 menit dibutuhkan setiap minggunya
untuk beraktivitas fisik.

2. Durasi olahraga dapat ditingkatkan menjadi 5 jam perminggunya untuk


mendapatkan kesehatan yang lebih baik.
3. Aktivitas olahraga menguatkan otot-otot besar tubuh dianjurkan untuk
dilakukan dua hari atau lebih setiap minggunya.
B. Pencegahan Sekunder Osteoartritis
Pada pencegahan sekunder osteoartritis diajarkan kepada penderita untuk dapat
mengedukasi dirinya sendiri dengan untuk memiliki keinginan merubah perilaku
kearah yang lebih baik, yaitu keinginan untuk beraktivitas fisik yang rutin,
menurunkan berat badan, menggunakan sepatu atau sandal yang nyaman dan aman.
1. Diagnosis Dini (Early Diagnosis)
Diagnosis dini dari osteoartritis dapat dilakukan dengan metode terbaru
yang ada di dunia kedokteran. Di mana digunakan pencitraan MRI yang
dimodifikasi untuk melihat kadar glycosaminogycan (GAG) yang sebagai
indikator bahwasanya apabila GAG tersebut rendah di dalam tubuh maka onset
penyakit osteoartritis dan penyakit gangguan tulang rawan lainnya telah terjadi.
GAG di dalam tubuh berfungsi mengikat air yang nantinya akan memberikan efek
kuat dan elastisnya tulang rawan.
2. Penatalaksanaan yang Sesuai (Prompt Treatment)
Mengatasi nyeri yang timbul, meningkatkan fungsi sendi dan menjaga sendi
agar tetap stabil adalah tujuan dari pengobatan OA. Obat-obatan yang dapat
digunakan nyeri pada sendi termasuk golongan NSAID (Non-Steroidal Anti
Inflammation Drugs), COX-2 inhibitor, atau injeksi intraartikular
kortoikosteroid.6 Penggunaan obat penghilang rasa sakit ternyata terbukti
meningkatkan kepatuhan pasien untuk tetap berolahraga agar menghindarkan
kecacatan atau kaku sendi yang dapatmuncul sewaktu-waktu.
Penatalaksanaan nutrisi juga penting bagi penderita OA. Dengan target
bahwa mereka yang menderita OA dengan obesitas diharapkan dapat
menurunkan berat badan agar tidak menambah beban terhadap sendi yang
terkena. Diet rendah kalori dapat dikonsumsi bagi mereka yang mengalami
obesitas. Suplemen multivitamin, glukosamin dan kondroitin juga dibutuhkan
para penderita OA untuk mencegah perburukan penyakit yang begitu cepat.
3. Pembatasan Kecacatan (Disability Limitation)
Beberapa penelitian yang dilakukan ternyata didapati bahwa ketidakseimbangan
dan kelemahan dari otot dapat mempengaruhi terjadinya cedera pada OA. Makadari
itu aktivitas fisik yang rutin diharapkan dapat memperkuat fungsi otot dan dapat
memperbaiki fungsi sendi. Pada aktivitas fisik atau olahraga pada penderita OA harus
diawasi oleh ahlinya dengan mempertimbangkan jenis latihan mana yang sesuai,
durasi dan intensitas yang tepat dengan penderita OA.4 Olahraga yang dianjurkan
adalah olahraga yang jauh dari kemungkinan terjadinya cedera yaitu bersepeda, jalan
santai, atau pun berenang. Pada penderita-penderita OA yang tidak mampu
melakukan olahraga dianjurkan tidak membatasi aktivitas fisik harian seperti berjalan
santai, berkebun ataupun bersepeda ke tempat kerja.

C. Pencegahan Tersier
Pada pencegahan tersier OA, dapat dilakukan dengan cara mengadakan alat-alat
penyokong bagi penderita-penderita OA yang telat mengalami cacat. Alat-alat ini
diharapkan dapat membantu penderita lebih leluasa bergerak (mobilitas) seperti tongkat
untuk berjalan ataupun kursi roda. Fisioterapi yang dijalani para penderita OA diharapkan
dapat meningkatkan fungsi atau mengembalikan fungsi dari sendi yang terkena.
DAFTAR PUSTAKA

The National Collaborating Centre for Chronic Conditions. Osteoarthritis:


National Clinical Guideline for Care and Management in Adults. Royal College
of Physicians.
National Public Health Partnership. The Language of Prevention. Diakses tanggal
19 Maret 2013, dari: www.nphp.gov.au
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan


saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak. Stroke adalah
sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal
(atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit). Gejala-gejala ini
berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian, selain menyebabkan
kematian stroke juga akan mengakibatkan dampak untuk kehidupan. Dampak stroke
diantaranya, ingatan jadi terganggu dan terjadi penurunan daya ingat, menurunkan
kualitas hidup penderita juga kehidupan keluarga dan orang-orang di sekelilingnya,
mengalami penurunan kualitas hidup yang lebih drastis, kecacatan fisik maupun
mental pada usia produktif dan usia lanjut dan kematian dalam waktu singkat (Junaidi,
2011).

Stroke masih menjadi masalah kesehatan yang utama karena merupakan penyebab
kematian kedua di dunia. Sementara itu, di Amerika Serikat stroke sebagai penyebab
kematian ketiga terbanyak setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Sekitar 795.000
orang di Amerika Serikat mengalami stroke setiap tahunnya, sekitar 610.000 mengalami
serangan stroke yang pertama. Stroke juga merupakan penyebab 134.000 kematian
pertahun (Goldstein dkk., 2011).
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi stroke
Stroke adalah kumpulan dari tanda dan gejala hilangnya fungsi dari sarafpusat
fokal atau global yang disebabkan karena adanya gangguan peredaran darah ke otak
secara mendadak berlangsung lebih dari 24 jam yang dapat menimbulkan kelumpuhan
sampaikematian(McKevitt, 2011).

B. Upaya Pencegahan
Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia, upaya yang
dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke yaitu :
1. Pencegahan Primordial
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko stroke
bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada
orang sehat maupun kelompok resiko tinggi yang belum pernah terserang
stroke.Pencegahan primordial dapat dilakukan dengan cara melakukan promosi
kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya rokok terhadap stroke dengan
membuat selebaran atau poster yang dapat menarik perhatian masyarakat. Selain
itu, promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan adalah program pendidikan
kesehatan masyarakat, dengan memberikan informasi tentang penyakit stroke
melalui ceramah, media cetak, media elektronik dan billboard(Pinzon, 2010).

2. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko stroke
bagi individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara melaksanakan gaya
hidup sehat bebas stroke, antara lain :
a) Menghindari : Rokok, stress, alkohol, kegemukan, konsumsi garam
berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya.
b) Mengurangi : Kolesterol, kalori, garam dan asupan lemak dalam makanan.
c) Mengendalikan : Hipertensi, DM, penyakit jantung (misalnya fibrilasi atrium,
infark miokard akut, penyakit jantung reumatik).
d) Menganjurkan : Konsumsi gizi yang seimbang seperti, makan banyak sayuran,
buah-buahan, ikan terutama ikan salem dan tuna, minimalkan junk food dan
beralih pada makanan tradisional yang rendah lemak dan gula, sereal dan susu
rendah lemak serta dianjurkan berolahraga secara teratur 3 - 4 kali seminggu
(Dian, 2012)
Referensi menjelaskan lebih rinci mengenai upaya pencegahan primer pada
pasien stroke yaitu sebagai berikut:
 Mengatur Pola Makan yang Sehat
Konsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol dapat meningkatkan resiko
terkena serangan stroke. Sebaliknya mengkonsumsi makanan rendah
lemak jenuh dan kolesterol dapat mencegah terjadinya stroke. Beberapa
jenis makanan yang dianjurkan untuk pencegahan primer terhadap stroke
adalah :
 Makanan dari berbagai biji-bijian yang membantu menurunkan kadar
kolesterol
 Serat larut yang banyak terdapat dalam biji-bijian seperti beras merah,
bulgur, jagung dan gandum
 Oat atau beta glucanakan menurunkan kadar kolesterol total dan LDL,
menurunkan tekanan darah dan menekan nafsu makan bila dimakan di
pagi hari (memperlambat pengosongan usus).
 Kacang kedelai beserta produk olahannya dapat menurunkan lipid
serum, menurunkan kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida
tetapi tidak mempengaruhi kadar kolesterol HDL
 Kacang-kacangan (termasuk biji kenari dan kacang mede) menurunkan
kolesterol LDL dan mungkin mencegah aterosklerosis.
 Mekanisme kerja menambah ekskresi asam empedu, meningkatkan
aktifitas esterogen dari isoflavon, memperbaiki elastisitas arterial dan
meningkatkan aktivitas antioksidan yang menghalangi oksidasi LDL.
 Makanan lain yang berpengaruh terhadap prevensi stroke
 Makanan/zat yang membantu mencegah peningkatan homosistein
seperti asam folat, vitamin B6, B12 dan riboflavin
 Susu yang mengadung protein, kalsium, zinc, dan B12 mempunyai
efek proteksi terhadap stroke

 Beberapa jenis ikan tuna dan ikan salmon, mengandung omega-3


eicosapentenoic acid (EPA) dan docosahexonoic acid (DHA) yang
merupakan pelindung jantung dengan efek melindungi terhadap resiko
kematian mendadak.

 Makanan yang kaya vitamin dan anti oksidan: vitamin C,E,


betakaroten seperti yang banyak terdapat pada sayur-sayuran, buah-
buahan dan biji-bijian.Buah-buahan dan sayur-sayuran hijau dan jeruk
untuk menurunkan resiko stroke dan buah sumber Kalium yang kuat
mencegah mortalitas akibat stroke terutama buah pisang dan apel.

 Teh hitam dan hijau yang mengandung antioksidan. Di dalam teh hijau
terkandung antioksidan yang dapat mencegah terjadinya kerusakan sel.
Bahkan, teh hijau mengandung komponen antioksidan yang lebih kuat
dibanding vitamin E dan vitamin C.
 Melakukan Olah Raga yang Teratur
Melakukan aktivitas fisik yang mempunyai nilai aerobic (jalan cepat,
bersepeda, berenang dan lain-lain) secara teratur minimal 30 menit, dan
minimal tiga kali per minggu akan dapat menurunkan tekanan darah,
memperbaiki control diabetes, memperbaiki kebiasaan makan,
menurunkan berat badan dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Pola
makan sehat dan olah raga teratur adalah pengobatan utama bagi penderita
obesitas dan mencegah stroke.
 Menghentikan Rokok
Merokok menyebabkan peninggian koagulabilitas, viskositas darah,
meninggikan kadar fibrinogen, mendorong agregasi platelet, meninggikan
tekanan darah, meningkatkan hematokrit dan menurunkan HDL dan
meningkatkan LDL kolesterol Berhenti merokok juga memperbaiki fungsi
endotel Perokok pasif, risiko sama dengan perokok aktif.
 Menghindari Minum Alkohol dan Penyalahgunaan Obat
Penyalahgunaan obat seperti kokain , heroin, fenil propanolamin dan
mengkonsumsi alcohol dalam dosis berlebihan dan jangka panjang
(alcohol abuse) akan menyebabkan tekanan darah meningkat,
memudahkan terjadinya stroke hemoragik.Konsentrasi alcohol yang tinggi
dapat memicu terjadinya emboli (penggumpalan), dan ischemia
(kurangnya darah dalam jaringan), yang disebabkan oleh perubahan
konsentrasi darah dan kontraksi pembuluh darah. Kondisi inilah yang
mengawali terjadinya stroke.
 Memelihara Berat Badan Layak
Obesitas mudah mendapatkan penyakit jantung, stroke dan DM. Angka
obesitas pada anak-anak dan dewasa muda pada dekade terakhir ini
meningkat dan jarang berolahraga. Sehingga stroke dan penyakit jantung
pada usia muda meningkat. Obesitas dapat dicegah dengan mengubah
perilaku makan tidak sehat dan melakukan olah raga teratur.Disarankan
untuk menurunkan berat badan dengan target BMI < 25 kg/m2, garis
lingkar pinggang < 80 cm dan untuk wanita <90 cm untuk laki-laki
 Pemakaian kontrasepsi oral
Pemakaian kontrasepsi oral terutama pada wanita perokok atau disertai
dengan faktor resiko lain atau pernah mengalami kejadian tromboemboli
sebelumnya, mempunyai resiko tinggi mendapat serangan stroke. Untuk
itu disarankan untuk menghentikan pemakaian kontrasepsi oral dan
mencari alternative lain untuk KB.
 Penanganan Stress dan Berisirahat yang Cukup
 Istirahat cukup dan tidur teratur antara 6-8 jam sehari
 Mengendalikan stress dengan cara berpikir positif sesuai dengan jiwa
sehat menurut WHO, menyelesaikan pekerjaan satu demi satu,
bersikap ramah dan mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa.
Mensyukuri hidup yang ada. Stress kronis meningkatkan tekanan
darah. Penanganan stress menghasilkan relaxation response yang
menurunkan denyut jantung, menurunkan tekanan darah.
 Tidak melakukan hubungan seksual diluar nikah
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke.
Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar stroke
tidak berlanjut menjadi kronis. Tindakan yang dilakukan adalah :
a. Menggunakan obat-obatan dalam pengelolaan dan pencegahan stroke, sepertit
Asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai obat antiagregasi trombosit
pilihan pertama dengan dosis berkisar antara 80-320mg/hari, antikoagulan oral
diberikan pada penderita dengan faktor resiko penyakit jantung (fibrilasi
atrium, infark miokard akut, kelainan katup) dan kondisi koagulopati yang
lain(Dian, 2012)
b. Mengontrol faktor risiko stroke melalui modifikasi gaya hidup, misalnya
mengkonsumsi obat antihipertensi yang sesuai pada penderita hipertensi,
mengkonsumsi obat hipoglikemik pada penderita diabetes, diet rendah lemak
dan mengkonsumsi obat antidislipidemia pada penderita dislipidemia, berhenti
merokok, berhenti mengkonsumsi alkohol, hindari kelebihan berat badan dan
kurang gerak, serta menghindari stress(Misbach, 2011 )
c. Melibatkan peran serta keluarga seoptimal mungkin, yang dapat mengatasi
krisis sosial dan emosional penderita stroke dengan cara memahami kondisi
baru bagi pasien pasca stroke yang bergantung pada orang lain (Dian, 2012)

4. Pencegahan Tersier
Berbeda dari pencegahan primer dan sekunder, pencegahan tersier ini
dilihat dari 4 faktor utama yang mempengaruhi penyakit, yaitu gaya hidup,
lingkungan, biologis, dan pelayanan kesehatan. Pencegahan tersier ini merupakan
rehabilitasi yang dilakukan pada penderita stroke yang telah mengalami
kelumpihan pada tubuhnya agar tidak bertambah parah dan dapat mengalihkan
fungsi anggota badan yang lumpuh pada anggota badan yang masih normal, yaitu
dengan cara;
a. Gaya hidup; reduksi stress, exercise sedang, dan berhenti merokok..
b. Lingkungan; menjaga keamanan dan keselamatan (tinggal dirumah lantai
pertama menggunakan Wheel-chair) dan dukungan penuh dari keluarga.
c. Biologi; kepatuhan berobat terapi fisik dan bicara
d. Pelayanan kesehatan; emergency medical technic dan asuransi (Dian, 2012)
Pencegahan tersier dapat juga dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental
dan sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat,
ahli fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli okupasional, petugas sosial dan
peran serta keluarga.
a. Rehabilitasi Fisik
Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang dapat membantu
proses pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang diberikan yaitu yang
pertama adalah fisioterapi, diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan
sensoris penderita seperti masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan,
koordinasi dan keseimbangan serta mobilitas ditempat tidur. Terapi yang
kedua adalah terapi okupasional (Occupational Therapist), diberikan untuk
melatih kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti
mandi, memakai baju, makan dan buang air. Terapi yang ketiga adalah terapi
wicara dan bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam
menelan makanan dan minuman dengan aman serta dapat berkomunikasi
dengan orang lain.
b. Rehabilitasi Mental
Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional yang dapat
mempengaruhi mental mereka, misalnya reaksi sedih, mudah tersinggung,
tidak bahagia, murung dan depresi. Masalah emosional yang mereka alami
akan mengakibatkan penderita kehilangan motivasi untuk menjalani proses
rehabilitasi. Oleh sebab itu, penderita perlu mendapatkan terapi mental dengan
melakukan konsultasi dengan psikiater atau ahli psikologi klinis.
c. Rehabilitasi Sosial
Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk membantu penderita stroke
menghadapi masalah sosial seperti, mengatasi perubahan gaya hidup,
hubungan perorangan, pekerjaan, dan aktivitas senggang. Selain itu, petugas
sosial akan memberikan informasi mengenai layanan komunitas lokal dan
badan-badan bantuan sosial, seperti mandi, memakai baju, makan dan buang
air. (Pinzon, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Dian, N. (2012). Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke Pada PAsien Stroke Rawat Inap
Di Rumah Sakit Krakatau Medika Tahun 2011. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia, 30-31.

Misbach, J. (2011 ). Guideline Stroke (Edisi Revisi). Jakarta: Perhimpunan Dokter Specialis
Saraf Indonesia ( PERDOSSI).

Pinzon, R. A. (2010). Awas Stroke: pengertian, Gejala, Tindakan, Perawatan & Pencegahan.
Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Anda mungkin juga menyukai