Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala
rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep Pencegahan
Primer, Sekunder Dan Tersier Penyakit Gagal Nafas, Asma, Diabetes Melitus Tipe Ii,
Gagal Jantung Kongestif, Osteoartritis,Stroke”.Meskipun banyak tantangan dan
hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tetapi kami
berhasilmenyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah meluruskan
penulisan makalah ini, baik dosen maupun teman-teman yang secara langsung maupun
tidak langsung memberikan kontribusi positif dalam proses pengerjaannya.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
diharapkan kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan makalah kami ini untuk ke
depannya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi peningkatan proses belajar mengajar dan
menambah pengetahuan kita bersama. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari gagal nafas (Respiratory failure)?
2. Apakah etiologi dari gagal nafas (Respiratory failure)?
3. Apakah manifestasi klinis dari gagal nafas (Respiratory failure)?
4. Apakah pemeriksaan penunjang dari gagal nafas (Respiratory failure)?
5. Bagaimana penatalaksaan dari gagal nafas (Respiratory failure)?
6. Bagaimana pencegahanprimer, sekunder, dan tersier dari gagal nafas (Respiratory
failure)?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari gagal nafas (Respiratory failure)
2. Mengetahui etiologi dari gagal nafas (Respiratory failure)
3. Mengetahui apa saja manifestasi klinis dari gagal nafas (Respiratory failure)
4. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari gagal nafas (Respiratory failure)
5. Mengetahui penatalaksaan dari gagal nafas (Respiratory failure)
6. Mengetahui bagaimana pencegahan primer, sekunder, dan tersier dari gagal nafas
(Respiratory failure)
BAB II
PEMBAHASAN
2. Etiologi
a. Penyebab sentral
1. Kelainan neuromuskuler: GBS, tetanus, trauma cervical, muscle relaxans
2. Kelainan jalan napas: obstrksi jalan napas, asma bronkhial
3. Kelainan diparu: edema paru, atelektasis, ARDS
4. Kelainan thorax: fraktur kosta, pneumothorax, haematothorax
5. Kelainan jantung: kegagalan jantung kiri
b. Penyebab perifer
1. Trauma kepala: contusio cerebri
2. Radang otak: encephalitis
3. Gangguan vaskuler: perdarahan otak, infark otak
4. Obat-obatan: narkotika, anstesi
Kadar oksigen (PaO2 < 8 kPa) atau Co2 (Paco2 > 6,7 kPa) arterial yang
abnormaldigunakan untuk menentukan adanya gagal napas. Maka gagal
napas dibagi menjadi: (Patrick Davey)
Hipoksemia (tife 1): kegagalan transfer oksigen dalam paru.
Hipoksemia (tife 2): kegagalan ventilasi untuk mengeluarkan CO2
3. Manifestasi
a. Tanda Respiratory Failure dan Gagal napas total
1) Aliran udara dimulut, hidung tidak dapat didengar atau dirasakan.
2) Pada gerakan napas spontan terlihat reaksi supra klavikula dan sela iga
serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi.
3) Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha membersihkan ventilasi buatan.
b. Gagal napas parsial
1) Terdengar suara napas tambahan gargling, snoring dan whizing.
2) Ada retraksi
3) Gejala Respiratory Failure1.
4) Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
5) Hipoksemia yaitu takikardi, gelisah, berkeringat atau sianosis (Po2
menurun).
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
b. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum, sitologi, urinalis, bronkogram,
bronkoskopi.
c. Pemeriksaan rontgen dada
d. Pemeriksaan sputum, fungsi paru, angiografi, pemindahan ventilasi-perfusi
e. Hemodinamik
f. Tife 1 meningkatkan PCWP
g. EKG
h. Mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung disisi kanan, disritmia
5. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan suportif
Penatalaksanaan suportif adalah tindakan yang secara tidak langsung
ditunjukkan untuk memperbaiki pertukaran gas, yaitu:
1) Atasi hipoksemia: terapi oksigen
2) Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi
3) Perbaiki jalan napas
4) Bantuan ventilasi: face mask, ambu bag
5) Terapi lainnya(fisioterapi dad,bronkodilator,
antikolergenik/parasimpatolitik, teolifidin, kortikosteroid, ekspektoran
b. Penatalaksanaan kausatif
Sambil dialakukan resusitasi (terapi suportif) diupayaklan mencari
penyebab gagal napas. Pengobatan spesifik ditujukkan pada etiologinya,
sehingga pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Semua
terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal naps di
UGD sebelum selanjutnya nanti dirawat di ICU. Penanganan lebih lanjut
terutama maslah penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan
guidiles penanganan pasien gagal naps di ICU pada tahap berikutnya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam
paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel-sel tubuh. Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi
yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. gagal nafas adalah
kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dan
karbondioksida dalam jumlah yang dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan.
gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana
masing-masing mempunyai pengetian yang berbeda. indikator gagal nafas yaitu
frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi pernafasan normal ialah 16-20x/m.
bilanya lebih dari 20x/m tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena
pernapasan menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan.
B. Saran
Setelah penulisan makalah ini kami mengharap mahasiswa keperawatan pada
khususnya mengetahui perngertian, tindakan penanganan awal, serta mengetahui
pencegahan primer, sekunder dan tersier respiratory failure.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apa definisi Asma ?
2. Bagaimana epidemiologi Asma di Indonsia ?
3. Bagaimana natural history dari asma ?
4. Bagaimana pencegahan dari Asma ?
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
Pada makalah ini akan dibahas definisi penyakit asma, epidemiologi penyakit
asma di Indonesia, natural history dari penyakit asma, serta pencegahan dari penyakit
asma. Dengan demikiandiharapkan dengan penulisan makalah ini dapat membantu
mahasiswa kedokteran mendapatkan informasi mengenai penyakit asma.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Asma
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah” dan
berarti serangan nafas pendek (Price, 1995). Menurut Global Initiative for Asthma
(GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan
banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada
orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa
dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini
biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun
bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas
terhadap berbagai rangsangan (GINA, 2006).
Menurut Prasetyo (2010) asma adalah penyakit kronis (berlangsung lama)
yang ditandai oleh sesak napas disertai bunyi ngik-ngik (mengi) atau batuk
persisten dimana derajat keparahan setiap orang berbeda-beda. Pada saat serangan
yang terjadi adalah menyempitnya jalan napas kita akibat dari pengerutan bronkus
yang menyebabkan udara sulit keluar masuk paru.
B. Epidemiologi Asma
C. Pencegahan
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi
dengan bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah
yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma; dan
pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan / bermanifestasi
klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma (PDPI, 2003).
1. Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal
dan perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan
pencegahan primer penyakit asma. Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan
atau menurunkan sensitisasi alergen pada fetus, tetapi pengaruh faktor-faktor
tersebut sangat kompleks dan bervariasi dengan usia gestasi, sehingga
pencegahan primer waktu ini adalah belum mungkin. Walau penelitian ke arah
itu terus berlangsung dan menjanjikan (PDPI, 2003).
a. Periode prenatal
Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk cukup sel
penyaji antigen (antigen presenting cells) dan sel T yang matang,
merupakan saat fetus tersensisitasi alergen dengan rute yang paling
mungkin adalah melalui usus, walau konsentrasi alergen yang dapat
penetrasi ke amnion adalah penting. Konsentrasi alergen yang rendah
lebih mungkin menimbulkan sensitisasi daripada konsentrasi tinggi.
(PDPI, 2003).
b. Periode postnatal
Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan
terutama difokuskan pada makanan bayi seperti menghindari protein susu
sapi, telur, ikan, kacang-kacangan. Sebagian besar studi menunjukkan
mengenai hal tersebut, menunjukkan hasil yang inkonklusif (tidak dapat
ditarik kesimpulan). Dua studi dengan tindak lanjut yang paling lama
menunjukkan efek transien dari menghindari makanan berpotensi alergen
dengan dermatitis atopik. Dan tindak lanjut lanjutan menunjukkan
berkurangnya bahkan hampir tidak ada efek pada manifestasi alergik
saluran napas, sehingga disimpulkan bahwa upaya menghindari alergen
makanan sedini mungkin pada bayi tidak didukung oleh hasil. Bahkan
perlu dipikirkan memanipulasi dini makanan berisiko menimbulkan
gangguan tumbuh kembang (PDPI, 2003).
c. Asap rokok lingkungan (Enviromental tobacco smoke/ETS)
Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok
berdampak pada kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai
dengan usia 3 tahun, walau sulit untuk membedakan kontribusi tersebut
pada periode prenatal atau postnatal. Berbagai studi menunjukkan bahwa
ibu merokok selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan paru
anak, dan bayi dari ibu perokok, 4 kali lebih sering mendapatkan
gangguan mengi dalam tahun pertama kehidupannya.Sedangkan hanya
sedikit bukti yang mendapatkan bahwa ibu yang merokok selama
kehamilan berefek pada sensitisasi alergen. Sehingga disimpulkan
merokok dalam kehamilan berdampak pada perkembangan paru,
meningkatkan frekuensi gangguan mengi nonalergi pada bayi, tetapi
mempunyai peran kecil pada terjadinya asma alergi di kemudian hari.
Sehingga jelas bahwa pajanan asap rokok lingkungan baik periode
prenatal maupun postnatal (perokok pasif) mempengaruhi timbulnya
gangguan/penyakitdenganmengi(PDPI,2003).
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak
berkembang menjadi asma. Studi terbaru mengenai pemberian antihitamin H-1
dalam menurunkan onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Studi lain
yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi dengan alergen spesifik
untuk menurunkan onset asma (PDPI, 2003).
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan
alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan
sudah dengan gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan /resolusi
total dari gejala daripada jikapajanan terus berlangsung (PDPI, 2003
3. Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadi serangan yang dapat ditimbulakan
oleh berbagai pencetus. Sehingga menghindari perjalan pencetus akan
memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi /obat (PDPI,
2003).
Obat-obatan yang dapat digunakan untuk membantu pencegahan primer
termasuk obat pengontrol atau anti inflamasi, diantaranya adalah Kromolin obat
ini tidak mempunyai aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolinergik,
vasokonstriktor atau aktivitas glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat
pelepasan mediator, histamin dan SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis,
leukotrien) dari sel mast. Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat
diberikan. Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan
asma. Obat ini akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan
mediator dari berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil,
neutrofil, makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat
perkembangan respon bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap
antigen terinhalasi (Departemen Kesehatan RI, 2007).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa penyakit asma
adalah penyakit kronis (berlangsung lama) yang ditandai oleh sesak napas disertai
bunyi ngik-ngik (mengi) atau batuk persisten dimana derajat keparahan setiap orang
berbeda-beda. Penyakit asma juga merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan
kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah
tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Dalam natural history nya
prepatogenesis penyakit asma dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
faktor prenatal, genetik, lingkungan dan infeksi. Pada tahapan patogenesisnya yang
timbul akibat riwayat atopi akibat pemaparan alergen. Alergen yang masuk ketubuh
melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap
oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). Kemudian paska
patogenesisnya, Penyakit asma merupakan penyakit yang kesembuhannya karier atau
sembuh fungsional, apabila daya.tahan tubuh menurun, maka penyakit dapat kambuh
kembali. Namun kesalahan dalam penatalaksanaan dapat menyebabkan kematian
dan terjadinya obstruksi paru yang menahun. Dalam pencegahan penyakit asma
dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier.
B. Saran
Diharapkan para masyarakat menerapkan pola pencegahan primer sebelum
terserang penyakit asma, karena penyakit asma juga dapat ditimbulkan karena faktor
lingkungan. Kemudian bagi para penderita asma supaya menerapkan pencegahan
sekunder ketika terjadi serangan dan menerapkan pencegahan tersier dengan baik
untuk tahapan rehabilitasi baik dalam terapi farmakologi maupun yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
GINA (Global Initiative for Asthma), 2006. Pocket Guide for Asthma Management
and Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.
Meiyanti & Mulia J.I. 2009. Perkembangan Patogenesis dan Pengobatan Asma
Bronkial. Dipetik Desember, 20, 2013 dari Fakultas Kedokteran Univrsitas
Trisakti:
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) saat ini merupakan penyakit yang menyebabkan
kematian di dunia. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2016
menunjukkan, 70 persen dari total kematian di dunia yaitu sekitar 425 orang dan
lebih dari setengah beban penyakit diakibatkan diabetes. Sebanyak 90 sampai 95
persen dari kejadian diabetes adalah diabetes tipe 2, sedangkan kasus diabetes tipe 2
dapat dicegah. Menurut Internasional of Diabetic Federation bahwa telah terjadi
peningkatan kasus Diabetes Melitus di dunia dari tahun 2017 terjadi peningkatan
kasus Diabetes Melitus menjadi 425 juta kasus, tingkat prevalensi global penderita
diabetes melitus di Asia Tenggara pada tahun 2017 adalah sebesar 8,5%.
Diperkirakan akan mengalami peningkatan menjadi 11,1% pada tahun 2045 dimana
Indonesia berada di urutan ke-6 setelah Cina, India, Amerika Serikat, Brazil, dan
Mexico dengan jumlah penderita diabetes melitus sebesar 10,3 juta penderita
(IDF, 2017). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 secara nasional
menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus adalah 2,0%. meningkat dari 1,5%
pada tahun 2013 menjadi 2,0% pada tahun 2018. Prevalensi diabetes melitus
berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk umur ≥15 tahun yang
bertempat tinggal di perkotaan adalah 10,6%.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Etiologi
Lansia yang mengalami Diabetes Mellitus, biasanya tergolong tipe II,
NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) atau Diabetes Melitus
Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalankelenjar
pankreas dalam memproduksi insulin dan/atau terjadinya resistensi insulin baik
pada hati maupun ada jaringan sasaran. Kedua hal tersebut mengakibat
kegagalan hati dalam meregulasi pelepasan glukosa dan menyebabkan
ketidakmampuan jaringan otot serta jaringan lemak dalam tugas ambilan
glukosa. Diabetes mellitus yang timbul pada lanjut usia belum dapat
diterangkan seluruhnya, namun dapat didasarkan atas faktor- faktor yang
muncul oleh perubahan proses menuanya sendiri.Faktor-faktor penyebab
diabetes menurut Price & Wilson (2005) meliputi:
a. Genetik
Faktor Faktor genetik merupakan faktor yang penting pada Diabetes
Mellitus yang dapat mempengaruhi sel beta dan mengubah kemampuannya
untuk mengenali dan menyebarkan sel rangsang sekretoris insulin.
Keadaan ini meningkatkan kerentanan individu tersebut terhadap faktor-
faktor lingkungan yang dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta
pankreas.
b. Usia
Diabetes Mellitus tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan
semakin sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat
pada usia lanjut. Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa
mencapai 50-92% . Umur sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan
kadar glukosa darah, sehingga semakin meningkat usia maka prevalensi
diabetes dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. Perubahan dimulai
dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat
organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh
yang dapat mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang
menghasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan target yang menghasilkan
glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa.
c. Jenis Kelamin
Jenis kelamin laki-laki memiliki risiko Diabetes meningkat lebih
cepat. Diabetes tipe II pada umumnya memiliki indeks massa tubuh (IMT)
di atas batas kegemukan. Laki-laki terkena Diabetes pada IMT rata-rata
31,83 kg/m2 sedangkan perempuan baru mengalaminya pada IMT 33,69
kg/m2. Perbedaan risiko ini dipengaruhi oleh distribusi lemak tubuh. Pada
laki-laki, penumpukan lemak terkonsentrasi di sekitar perut sehingga
memicu obesitas sentral yang lebih berisiko memicu gangguan
metabolisme.
d. Obesitas
4) Pola makan
5) Stres
B. PENCEGAHAN
Komplikasi adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami dua penyakit
atau lebih secara bersamaan yang kebanyakan penyakit yang kedua atau
seterusnya muncul sebagai tambahan atau lanjutan penyakit yang terdahulu.
Pencegahan DM dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu pencegahan primer,
sekunder dan tersier:
1. Pecegahan primer
Pencegahan primer ditujukan pada faktor-faktor risiko terhadap
patogenesis dasar dari DM tipe 2 yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Usaha-usaha untuk menurunkan resistensi insulin antara lain
mencegah atau memperbaiki adanya obesitas, menghindari diet tinggi
lemak, mengkonsumsi sumber karbohidrat yang diolah tidak terlalu bersih
(unrefined), menghindari obat-obat yang bersifat diabetogenik dan
meningkatkan aktivitas fisik yang berpengaruh menurunkan resistensi
insulin terlepas dari penurunan berat badan (WHO, 1994). Usaha-usaha
tersebut tidak lain adalah perubahan gaya hidup. Perubahan gaya hidup
tersebut dapat menurunkan berat badan, memperbaiki distribusi lemak
tubuh (menurunkan lingkar pinggang) dan dengan demikian dapat
mencegah atau menunda manifestasi dari Diabetes Mellitus tipe 2.
2. Pemcegahan sekunder
3. Pencegahan tersier
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah gambaran tipe kepribadian pasien gagal jantung kongesif?
BAB II
PEMBAHASAN
2. Etiologi
Penyebab gagal jantung digolongkan menurut apakah gagal jantung tersebut
menumbulkan gagal dominan sisi kiri atau dominan sisi kanan. Dominan sisi
kiri : penyakit jantung iskemik, penyakit jantung hipertensif, penyakit katub
aorta, penyakit katub mitral, miokarditis, kardiomiopati, amiloidosis jantung,
keadaan curah tinggi (tirotoksikosis, anemia, fistula arteriovenosa). Dominan
sisi kanan : gagal jantung kiri, penyakit paru kronis, stenosis katub pulmonal,
penyakit katub trikuspid, penyakit jantung konginetal ( VSD, PDA), hipertensi
pulmonal, emboli masif ( Chandrasoma, 2006).Berikut adalah etiologi ter
jadinya gagal jantung antara lain :
a. Kelainan Otot Jantung
Gagal jantung paaling sering pada penderita kelainan otot jantung,
yang berdampak pada menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang
mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencangkup aterosklerosis
koroner, hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif dan inflamasi
b. Hipertensi sistemik dan hipertensi pulmonal
Gangguan ini menyebabkan menyebabkan meningkatkan beban
kerja jantung dan pada gilirannya juga turut mengakibatkan hipertrofi
serabut otot jantung. Efek tersebut dapat dianggap sebagai mekanisme
kempensasi, karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung
c. Aterosklerosis koroner
Kelainan ini mengakibatkan disfungsi miokardium karen
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadinya hipoksia ( kondisi
dimana kurangnya suplai oksigen pada jaringan tubuh )dan asidosis
(kondisi dimana Ph darah < 7,34 ). Infark miokardium biasanya
mendahului terjadinya gagal jantung.
3. Manifestasi Klinis
Menurut Aspiani (2010) tanda tanda klinis gagal jantung adalah
meningkatnya volume intravaskuler. Kongesti jaringan terjadi akibat tekanan
arteri dan vena yang meningkat akibat turunnya curah jantung pada kegagalan
jantung. Peningkatan tekanan vena pulmonalis dapat menyebabkan cairan
mengalir dari kapiler paru ke alveoli, akibatnya terjadi edema paru, yang
dimanifestasikan dengan batuk dan nafas pendek. Meningkatnya tekanan vena
sistemik dapat mengakibatkan edema perifer umum dan penambahan berat
badan. Tekanan perfusi ginjal menurun, mengakibatkan pelepasan renin dari
ginjal, yang pada gilirannya akan menyebabkan aldosteron, retensi natrium dan
cairan,sertapeningkatanvolumeintravaskuler.
4. klasifikasi
Gagal jantung biasanya digolongkan menurut derajat atau
beratnya gejala seperti klasifikasi menurut New York Heart Association
(NYHA). Klasifikasi tersebut digunakan secara luas di dunia internasional untuk
mengelompokkan gagal jantung. Gagal jantung ringan, sedang, dan berat
ditentukan berdasarkan beratnya gejala, khususnya sesak nafas (dispnea).
Meskipun klasifikasi ini berguna untuk menentukan tingkat ketidakmampuan
fisik dan beratnya gejala, namun pembagian tersebut tidak dapat digunakan
untuk keperluan lain.gagal jantung dibagi menjadi :
a. Gagal Jantung Kiri
Kongesti paru menonjol pada gagal jantung ventrikel kiri, karena ventrikel
kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan
tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan
paru. Tanda dan gejala kegagalan ventrikel kiri antara lain dispnue, nyeri
dada dan syok, noctural dispneu, batuk, mudah lelah, kegelisahan dan
kecemasan serta disrirmia.
b. Gagal Jantung Kanan
Bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah kongesti visera dan
jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu
mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali ke sirkulasi
vena. Tanda dan gejala kegagalan ventrikel kiri antara lain edema,
hepatomegali, anoreksia, nokturia, lemah, distensi vena jugularis.
c. Gagal Jantung Kongetif : gabungan keduagambaran tersebut.
B. PENCEGAHAN
1. Pencegahan Primer
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah deteksi dini dan pengobatan terhadap
kondisi kesehatan yang merugikan. Komponen penting dalam pencegahan
sekunder adalah skrining atau pemeriksaan (Anderson & McFarlane, 2006).
Pengkaji gangguan tidur meliputi seberapa baik tidur di rumah, berapa
kali terbangun di malam hari, kegiatan- kegiatan yang dilakukan sebelum
tidur, posisitidur yang paling disukai, lingkungan dan suhu kamar yang
disukai, dan penggunaan obat tidur atau obat lainnya sebelum waktu tidur.
Validasi dapat dilakukan pada anggota keluarga untuk memastikan
keakuratan data pengkajian (Stanley & Beare, 206)
DAFTAR PUSTAKA
Szefler, S.J. 2010. Advances in Pediatric Asthma in 2010 : Addresing the Major
Issues. Dipetik Desember, 19, 2013, dari National Center for
Biotechnology Information :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3032272/
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Osteoartritis (OA) merupakan sindroma klinis dari nyeri sendi yang disertai
gangguan fungsional yang bervariasi serta penurunan kualitas hidup pada orang
yang terkena. Osteoartritis masih merupakan penyebab utama peradangan sendi
dan kecacatan di seluruh dunia. Sendi lutut, panggul dan sendi-sendi pada tangan
adalah tempat predileksi tersering terjadinya OA. Perubahan patologis yang khas
dari OA adalah hilangnya kartilago hyalin dan remodelling tulang yang terkena
dengan adanya pembentukan osteofit pada tepi-tepi tulang.
Faktor resiko terjadinya OA termasuk diantaranya faktor genetik, proses
penuaan, jenis kelamin, obesitas, trauma sendi baik karena pekerjaan seperti atlet
ataupun karena olahraga biasa untuk rekreasi. Beberapa dari faktor resiko tersebut
dapat dicegah dan dihindari agar tidak terlanjur menyebabkan OA seperti obesitas
dan trauma sendi akibat kerja ataupun rekreasi.
Menurut data dari Arthritis and Musculoskeletal Alliance pada tahun 2004,
prevalensi OA dengan predileksi pada sendi lutut, panggul, tangan, meningkat
sesuai dengan bertambahnya usia. Sekitar 8,5 juta jiwa di Inggris diperkirakan
mengeluhkan nyeri sendi yang mungkin disebabkan OA (Arthritis Care 2004).
Pada orang dewasa yang berusia 45 tahun atau lebih, sendi perifer yang sering
terkena merupakan sendi lutut dengan angka kejadian 19 %, dan pada wanita
berusia 75 tahun atau lebih merupakan prevalensi tertinggi yaitu 35%.Orang-
orang yang mengalami OA bisa saja tidak memiliki keluhan (asymptomatic),
dimana pada saat dilakukan pencitraan dari sendi dengan menggunakan x-ray
akan didapati osteofit yang nantinya lama-kelamaan pun akan menimbulkan
keluhan. Hal ini didukung dengan data dari Arthritis and Musculoskeletal Alliance
(2004) dan Arthritis Research Campaign (2002) dari pemeriksaan x-ray yang
dilakukan, ternyata terdapat setidaknya 4,4 juta jiwa di Inggris memiliki OA
sedang hingga berat pada sendi tangan, lebih dari setengah juta jiwa mengalami
OA sedang hingga berat pada sendi lutut, dan 210.000 orang lainnya mengalami
OA pada sendi panggul.
Kejadian OA ini dapat dicegah untuk meningkatkan kualitas hidup
penduduk dunia. Pencegahan yang dilakukan sesuai tahapan pencegahan penyakit
Leavell dan Clark yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder dan yang
terakhir adalah pencegahan tersier.Pencegahan primer yaitu pencegahan yang
dilakukan sebelum penyakit itu terjadi. Pencegahan primer ini dibagi lagi menjadi
promosi kesehatan dan perlindungan spesifik.2 Promosi kesehatan menyangkut
edukasi tentang osteoartritis, sedangkan perlindungan spesifik mencakup
pencegahan trauma sendi dan manajemen berat badan untuk mencegah obesitas
yang merupakan faktor resiko terjadinya OA.
Pencegahan sekunder meliputi identifikasi penyakit tertentu atau kondisi-
kondisi yang mencerminkan penyakit tersebut pada tahap awal dengan melakukan
intervensi untuk mencegah atau membatasi komplikasi atau kecacatan yang
terjadi. Pada pencegahan sekunder ini meliputi diagnosis dini (early diagnosis),
pengobatan yang sesuai (prompt treatment) dan pembatasan kecacatan (disability
limitation). Pencegahan sekunder pada osteoartritis termasuk di dalamnya self-
management education dan aktivitas fisik yang cukup untuk mencegah kaku
sendi atau komplikasi lainnya terjadi. Pada deteksi dini OA dapat dilakukan
screening pencitraan sendi-sendi pada orang-orang yang dikhawatirkan untuk
cenderung menderita OA.Pencegahan tersier yaitu pencegahan yang dilakukan
apabila penyakit atau cacat sudah terjadi dan proses penyembuhan telah dimulai
yang bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan termasuk di dalamnya
meminimalisasi pengaruh dari penyakit tersebut terhadap kualitas hidup.
Pencegahan tersier termasuk rehabilitasi, fisioterapi.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Dua jam tiga puluh menit setiap minggunya atau satu jam lima belas menit
setiap minggunya dilakukan dengan olahraga aerobik yaitu seperti berjalan
berenang atau bersepeda. Setidaknya 10 menit dibutuhkan setiap minggunya
untuk beraktivitas fisik.
C. Pencegahan Tersier
Pada pencegahan tersier OA, dapat dilakukan dengan cara mengadakan alat-alat
penyokong bagi penderita-penderita OA yang telat mengalami cacat. Alat-alat ini
diharapkan dapat membantu penderita lebih leluasa bergerak (mobilitas) seperti tongkat
untuk berjalan ataupun kursi roda. Fisioterapi yang dijalani para penderita OA diharapkan
dapat meningkatkan fungsi atau mengembalikan fungsi dari sendi yang terkena.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stroke masih menjadi masalah kesehatan yang utama karena merupakan penyebab
kematian kedua di dunia. Sementara itu, di Amerika Serikat stroke sebagai penyebab
kematian ketiga terbanyak setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Sekitar 795.000
orang di Amerika Serikat mengalami stroke setiap tahunnya, sekitar 610.000 mengalami
serangan stroke yang pertama. Stroke juga merupakan penyebab 134.000 kematian
pertahun (Goldstein dkk., 2011).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi stroke
Stroke adalah kumpulan dari tanda dan gejala hilangnya fungsi dari sarafpusat
fokal atau global yang disebabkan karena adanya gangguan peredaran darah ke otak
secara mendadak berlangsung lebih dari 24 jam yang dapat menimbulkan kelumpuhan
sampaikematian(McKevitt, 2011).
B. Upaya Pencegahan
Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia, upaya yang
dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke yaitu :
1. Pencegahan Primordial
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko stroke
bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada
orang sehat maupun kelompok resiko tinggi yang belum pernah terserang
stroke.Pencegahan primordial dapat dilakukan dengan cara melakukan promosi
kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya rokok terhadap stroke dengan
membuat selebaran atau poster yang dapat menarik perhatian masyarakat. Selain
itu, promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan adalah program pendidikan
kesehatan masyarakat, dengan memberikan informasi tentang penyakit stroke
melalui ceramah, media cetak, media elektronik dan billboard(Pinzon, 2010).
2. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko stroke
bagi individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara melaksanakan gaya
hidup sehat bebas stroke, antara lain :
a) Menghindari : Rokok, stress, alkohol, kegemukan, konsumsi garam
berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya.
b) Mengurangi : Kolesterol, kalori, garam dan asupan lemak dalam makanan.
c) Mengendalikan : Hipertensi, DM, penyakit jantung (misalnya fibrilasi atrium,
infark miokard akut, penyakit jantung reumatik).
d) Menganjurkan : Konsumsi gizi yang seimbang seperti, makan banyak sayuran,
buah-buahan, ikan terutama ikan salem dan tuna, minimalkan junk food dan
beralih pada makanan tradisional yang rendah lemak dan gula, sereal dan susu
rendah lemak serta dianjurkan berolahraga secara teratur 3 - 4 kali seminggu
(Dian, 2012)
Referensi menjelaskan lebih rinci mengenai upaya pencegahan primer pada
pasien stroke yaitu sebagai berikut:
Mengatur Pola Makan yang Sehat
Konsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol dapat meningkatkan resiko
terkena serangan stroke. Sebaliknya mengkonsumsi makanan rendah
lemak jenuh dan kolesterol dapat mencegah terjadinya stroke. Beberapa
jenis makanan yang dianjurkan untuk pencegahan primer terhadap stroke
adalah :
Makanan dari berbagai biji-bijian yang membantu menurunkan kadar
kolesterol
Serat larut yang banyak terdapat dalam biji-bijian seperti beras merah,
bulgur, jagung dan gandum
Oat atau beta glucanakan menurunkan kadar kolesterol total dan LDL,
menurunkan tekanan darah dan menekan nafsu makan bila dimakan di
pagi hari (memperlambat pengosongan usus).
Kacang kedelai beserta produk olahannya dapat menurunkan lipid
serum, menurunkan kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida
tetapi tidak mempengaruhi kadar kolesterol HDL
Kacang-kacangan (termasuk biji kenari dan kacang mede) menurunkan
kolesterol LDL dan mungkin mencegah aterosklerosis.
Mekanisme kerja menambah ekskresi asam empedu, meningkatkan
aktifitas esterogen dari isoflavon, memperbaiki elastisitas arterial dan
meningkatkan aktivitas antioksidan yang menghalangi oksidasi LDL.
Makanan lain yang berpengaruh terhadap prevensi stroke
Makanan/zat yang membantu mencegah peningkatan homosistein
seperti asam folat, vitamin B6, B12 dan riboflavin
Susu yang mengadung protein, kalsium, zinc, dan B12 mempunyai
efek proteksi terhadap stroke
Teh hitam dan hijau yang mengandung antioksidan. Di dalam teh hijau
terkandung antioksidan yang dapat mencegah terjadinya kerusakan sel.
Bahkan, teh hijau mengandung komponen antioksidan yang lebih kuat
dibanding vitamin E dan vitamin C.
Melakukan Olah Raga yang Teratur
Melakukan aktivitas fisik yang mempunyai nilai aerobic (jalan cepat,
bersepeda, berenang dan lain-lain) secara teratur minimal 30 menit, dan
minimal tiga kali per minggu akan dapat menurunkan tekanan darah,
memperbaiki control diabetes, memperbaiki kebiasaan makan,
menurunkan berat badan dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Pola
makan sehat dan olah raga teratur adalah pengobatan utama bagi penderita
obesitas dan mencegah stroke.
Menghentikan Rokok
Merokok menyebabkan peninggian koagulabilitas, viskositas darah,
meninggikan kadar fibrinogen, mendorong agregasi platelet, meninggikan
tekanan darah, meningkatkan hematokrit dan menurunkan HDL dan
meningkatkan LDL kolesterol Berhenti merokok juga memperbaiki fungsi
endotel Perokok pasif, risiko sama dengan perokok aktif.
Menghindari Minum Alkohol dan Penyalahgunaan Obat
Penyalahgunaan obat seperti kokain , heroin, fenil propanolamin dan
mengkonsumsi alcohol dalam dosis berlebihan dan jangka panjang
(alcohol abuse) akan menyebabkan tekanan darah meningkat,
memudahkan terjadinya stroke hemoragik.Konsentrasi alcohol yang tinggi
dapat memicu terjadinya emboli (penggumpalan), dan ischemia
(kurangnya darah dalam jaringan), yang disebabkan oleh perubahan
konsentrasi darah dan kontraksi pembuluh darah. Kondisi inilah yang
mengawali terjadinya stroke.
Memelihara Berat Badan Layak
Obesitas mudah mendapatkan penyakit jantung, stroke dan DM. Angka
obesitas pada anak-anak dan dewasa muda pada dekade terakhir ini
meningkat dan jarang berolahraga. Sehingga stroke dan penyakit jantung
pada usia muda meningkat. Obesitas dapat dicegah dengan mengubah
perilaku makan tidak sehat dan melakukan olah raga teratur.Disarankan
untuk menurunkan berat badan dengan target BMI < 25 kg/m2, garis
lingkar pinggang < 80 cm dan untuk wanita <90 cm untuk laki-laki
Pemakaian kontrasepsi oral
Pemakaian kontrasepsi oral terutama pada wanita perokok atau disertai
dengan faktor resiko lain atau pernah mengalami kejadian tromboemboli
sebelumnya, mempunyai resiko tinggi mendapat serangan stroke. Untuk
itu disarankan untuk menghentikan pemakaian kontrasepsi oral dan
mencari alternative lain untuk KB.
Penanganan Stress dan Berisirahat yang Cukup
Istirahat cukup dan tidur teratur antara 6-8 jam sehari
Mengendalikan stress dengan cara berpikir positif sesuai dengan jiwa
sehat menurut WHO, menyelesaikan pekerjaan satu demi satu,
bersikap ramah dan mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa.
Mensyukuri hidup yang ada. Stress kronis meningkatkan tekanan
darah. Penanganan stress menghasilkan relaxation response yang
menurunkan denyut jantung, menurunkan tekanan darah.
Tidak melakukan hubungan seksual diluar nikah
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke.
Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar stroke
tidak berlanjut menjadi kronis. Tindakan yang dilakukan adalah :
a. Menggunakan obat-obatan dalam pengelolaan dan pencegahan stroke, sepertit
Asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai obat antiagregasi trombosit
pilihan pertama dengan dosis berkisar antara 80-320mg/hari, antikoagulan oral
diberikan pada penderita dengan faktor resiko penyakit jantung (fibrilasi
atrium, infark miokard akut, kelainan katup) dan kondisi koagulopati yang
lain(Dian, 2012)
b. Mengontrol faktor risiko stroke melalui modifikasi gaya hidup, misalnya
mengkonsumsi obat antihipertensi yang sesuai pada penderita hipertensi,
mengkonsumsi obat hipoglikemik pada penderita diabetes, diet rendah lemak
dan mengkonsumsi obat antidislipidemia pada penderita dislipidemia, berhenti
merokok, berhenti mengkonsumsi alkohol, hindari kelebihan berat badan dan
kurang gerak, serta menghindari stress(Misbach, 2011 )
c. Melibatkan peran serta keluarga seoptimal mungkin, yang dapat mengatasi
krisis sosial dan emosional penderita stroke dengan cara memahami kondisi
baru bagi pasien pasca stroke yang bergantung pada orang lain (Dian, 2012)
4. Pencegahan Tersier
Berbeda dari pencegahan primer dan sekunder, pencegahan tersier ini
dilihat dari 4 faktor utama yang mempengaruhi penyakit, yaitu gaya hidup,
lingkungan, biologis, dan pelayanan kesehatan. Pencegahan tersier ini merupakan
rehabilitasi yang dilakukan pada penderita stroke yang telah mengalami
kelumpihan pada tubuhnya agar tidak bertambah parah dan dapat mengalihkan
fungsi anggota badan yang lumpuh pada anggota badan yang masih normal, yaitu
dengan cara;
a. Gaya hidup; reduksi stress, exercise sedang, dan berhenti merokok..
b. Lingkungan; menjaga keamanan dan keselamatan (tinggal dirumah lantai
pertama menggunakan Wheel-chair) dan dukungan penuh dari keluarga.
c. Biologi; kepatuhan berobat terapi fisik dan bicara
d. Pelayanan kesehatan; emergency medical technic dan asuransi (Dian, 2012)
Pencegahan tersier dapat juga dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental
dan sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat,
ahli fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli okupasional, petugas sosial dan
peran serta keluarga.
a. Rehabilitasi Fisik
Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang dapat membantu
proses pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang diberikan yaitu yang
pertama adalah fisioterapi, diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan
sensoris penderita seperti masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan,
koordinasi dan keseimbangan serta mobilitas ditempat tidur. Terapi yang
kedua adalah terapi okupasional (Occupational Therapist), diberikan untuk
melatih kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti
mandi, memakai baju, makan dan buang air. Terapi yang ketiga adalah terapi
wicara dan bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam
menelan makanan dan minuman dengan aman serta dapat berkomunikasi
dengan orang lain.
b. Rehabilitasi Mental
Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional yang dapat
mempengaruhi mental mereka, misalnya reaksi sedih, mudah tersinggung,
tidak bahagia, murung dan depresi. Masalah emosional yang mereka alami
akan mengakibatkan penderita kehilangan motivasi untuk menjalani proses
rehabilitasi. Oleh sebab itu, penderita perlu mendapatkan terapi mental dengan
melakukan konsultasi dengan psikiater atau ahli psikologi klinis.
c. Rehabilitasi Sosial
Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk membantu penderita stroke
menghadapi masalah sosial seperti, mengatasi perubahan gaya hidup,
hubungan perorangan, pekerjaan, dan aktivitas senggang. Selain itu, petugas
sosial akan memberikan informasi mengenai layanan komunitas lokal dan
badan-badan bantuan sosial, seperti mandi, memakai baju, makan dan buang
air. (Pinzon, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Dian, N. (2012). Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke Pada PAsien Stroke Rawat Inap
Di Rumah Sakit Krakatau Medika Tahun 2011. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia, 30-31.
Misbach, J. (2011 ). Guideline Stroke (Edisi Revisi). Jakarta: Perhimpunan Dokter Specialis
Saraf Indonesia ( PERDOSSI).
Pinzon, R. A. (2010). Awas Stroke: pengertian, Gejala, Tindakan, Perawatan & Pencegahan.
Yogyakarta: Penerbit ANDI.