Oleh :
2018
BAB 1
PENDAHULUAN
2.1.Tenaga medis
Tenaga medis adalah tenaga ahli di bidang kesehatan dengan fungsi utamanya adalah
memberikan pelayanan medis kepada pasien dengan mutu sebaik-baiknya dengan
menggunakan tata cara dan teknik berdasarkan ilmu pengobatan dan etik yang berlaku serta
dapat dipertanggungjawabkan. 6
Instalasi Gawat Darurat merupakan salah satu fasilitas terpenting dalam sebuah rumah sakit.
IGD merupakan tempat penanganan awal bagi pasien yang datang dalam kondisi terancam
nyawanya atau dalam keadaan darurat dengan kata lain butuh penanganan dan pertolongan
cepat dan tepat. Oleh karena IGD memiliki peran yang tidak kecil, maka dibutuhkan IGD
dengan fasilitas dan segala aspek yang dapat menunjang seluruh pasien gawat darurat yang
datang, terutama IGD dalam sebuah rumah sakit yang ramai akan pasien yang datang untuk
mendapatkan penanganan segera.
Dalam simulasi ini, kami ingin melakukan sistem pemodelan IGD agar mendapatkan sistem
IGD yang efisien dan efektif sehingga para pasien gawat darurat yang datang dapat dengan
segera mendapat pertolongan yang cepat dan tepat. 6
Kematian akibat trauma memperlihatkan distribusi trimodal. Pada satu kelompok kematian
kematian terjadi dalam beberapa detik setelah cedera, biasanya akibat cedera otak atau
vaskular yang parah. Walaupun beberapa pasien dari kategori ini dapat diselamatkan apabila
tersedia sistem transportasi darurat yang cepat, namun hanya pendidikan dan legislasi
mengenai berbagai masalah seperti pemakaian sabuk pengaman, menyetir dalam keadaan
mabuk, dan pemilikan senjata api yang akan memiliki dampak nyata.
Perawatan pasien trauma dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses siklik yang berawal
dari kejadian traumatik dan berlanjut melalui fase resusitasi, operasi, perawatan intensif,
perawatan intermediat, dan rehabilitasi. Sepanjang siklus trauma, tugas perawat adalah
mengidentifikasi dan menangani respons manusia terhadap cedera. Selain keadaan fisiologi
mereka yang sudah ada sebelumnya, respons masing-masing pasien terhadap cedera juga
dipengaruhi oleh berbagai faktor perkembangan, sosial, ekonomi dan lingkungan. Dengan
memusatkan perhatian pada keunikan dari setiap orang, maka pendekatan penatalaksanaan
yang bersifat “generik” dan sembrono dapat dihindari. Karena alur tanggung jawab merawat
pasien dari departemen gawat darurat ke ruang operasi, unit perawatan intensif, dan bagian-
bagian lain, perawat harus tetap mempertahankan kontinuitas perawatan, berperan sebagai
penasehat pasien, memastikan bahwa kebutuhan masing-masing pasien terpenuhi.
Selama evaluasi segera pasien yang ditraumatisasi sangat penting menentukan prioritas
terapi. Pada hakekatnya penatalaksanaan pasien mencakup 1. Evaluasi primer yg cepat 2.
Resusitasi fungsi vital 3. Penilaian sekunder lebih terinci dan 4. Pemulaan perawatan
definitif.
I. Primary survey
Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda-
tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada penderita yang terluka parah, terapi diberikan
berdasarkan prioritas. Tanda vital penderita harus dinilai secara cepat dan efisien.
Pengelolaan penderita berupa primary survey yang cepat dan kemudian resusitasi,
secondary survey dan akhirnya terapi definitif. Proses ini merupakan ABC-nya trauma,
dan berusaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu,
dengan berpatokan pada urutan berikut: 8,9,10
A: Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (Cervikal spine control).
B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrhage control)
D: Disability, status neurologis
E: Exposure/ environmental control: buka baju penderita tetapi cegah hipotermi.
A. Airway
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.
Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan
sebagian, dan progresif atau berulang. Saat initial assesment pada airway, penderita
yang mampu berbicara memberi jaminan bahwa airwaynya terbuka dan tidak
dalam keadaan berbahaya. Oleh karena itu, tindakan awal yang paling penting
adalah dengan mengajak penderita berbicara dan memancing jawaban verbal.
Suatu respon verbal yang positif dan sesuai menunjukkan bahwa airway penderita
terbuka, ventilasi utuh, dan perfusi otak cukup. Tanda-tanda objektif sumbatan
airway, yaitu:9,10
(1). Lihat (look) apakah penderita mengalami agitasi atau tampak bodoh. Agitasi
memberi kesan adanya hipoksia, dan tampak bodoh memberi kesan adanya
hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan kurangnya
oksigenasi dan dapat dinilai dengan melihat pada kuku dan kulit sekitar mulut.
Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot bantu pernafasan yang merupakan
bukti tambahan adanya gangguan airway.
(2.) Dengar (listen) adanya suara-suara abdorrmal. Pernafasan yang berbunyi (suara
nafas tambahan) adalah pernafasan yang tersumbat. Suara mendengkur (snoring),
berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin berhubunagn
dengan sumbatan parsial pada faring atau laring. Suara parau (hoarseness,
dysphonia) menunjukkan sumbatan pada laring. Penderita yang melawan dan
berkata-kata kasar (gaduh gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh
dianggap karena keracunan atau mabuk.
(3). Raba (Feel) lokasi trakea dan dengan cepat tentukan apakah trakea berada ditengah.
Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh
kebelakang dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat segera
diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin-lift maneuver) atau dengan
mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw-thrust maneuver). Airway
selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway orofaringeal (oropharyngeal
airway) atau nasofaringeal (nasopharyngeal airway). Karena semua tindakan-
tindakan ini mungkin mengakibatkan pergerakan pada leher, maka perlindungan
terhadap servikal (cervical spine) harus dilakukan pada semua penderita. Servikal
harus dilindungi sampai kemungkinan cedera spinal telah disingkirkan dengan
penilaian klinis dan pemeriksaan foto rontgen yang sesuai. 8,9,10
B. Pemeriksaan fisik
(1) Kepala
Survei sekunder mulai dengan evaluasi kepala. Seluruh kulit kepala dan
kepala harus diperiksa akan adanya luka, kontusio atau fraktur. Karena
kemungkinan bengkaknya mata yang akan mempersulit pemeriksaan yang
teliti, mata harus diperiksa akan adanya:7
a. Ketajaman visus
b. Ukuran pupil
c. Perdarahan konjungtiva dan fundus
d. Luka tembus pada mata
e. Dislocatio lentis
f. Jepitan otot bola mata
Ketajaman visus dapat diperiksa dengan membaca gambar Snellen,
membaca huruf pada botol infus atau bungkus perban. Gerakan bola mata
harus diperiksa karena kemungkinan terjepitnya otot mata oleh fraktur orbital.
(2) Maksilo-fasial
Trauma maksilofasial dapat menggangu airway atau perdarahan yang
hebat, yang harus ditangani saat survei primer. Trauma maksilofasial tanpa
gangguan airway atau perdarahan hebat, baru dikerjakan setelah penderita
stabil sepenuhnya dan pengelolaan definitif dapat dilakukan dengan aman.
Penderita dengan fraktur tulang wajah mungkin juga ada fraktur pada lamina
cribrosa. Dalam hal ini, pemakaian kateter lambung harus melalui jalan oral.8,9
(3) Vertebra servikalis
Penderita dengan maksilofasial atau tarauma kapitis dianggap ada
fraktur servikal atau kerusakan ligamentous servikal, pada leher kemudian
dilakukan imobilisasi sampai vertebra servikal diperiksa dengan teliti. Tidak
adanya kelainan neorologis tidak menyingkirkan kemungkinan fraktur
servikal, dan tidak adanya fraktur servikal hanya ditegakkan setelah ada foto
servikal, dan foto ini telah diperiksa dokter yang berpengalaman.9
Pemeriksaan leher meliputi inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Nyeri
daerah vertebra servikalis, emfisema subkutan, deviasi trakea dan fraktur
laring dapat ditemukan pada pemeriksaan yang teliti. Dilakukan palpasi dan
auskultasi pada arteri karotis. Adanya jejas daerah arteri karotis harus dicatat
karena kemungkinan adanya perlukaan pada arteri karotis. Penyumbatan atau
diseksi arteri karotis dapat terjadi secara lambat, tanpa gejala. Angiografi atau
Doppler Sonografi dapat menyingkirkan kelainan ini. Kebanyakan trauma
arteri besar daerah leher atau cedera karena sabuk pengaman dapat
menyebabkan kerusakan intima, diseksi dan trombosis.9,10
(4) Toraks
Inspeksi dari depan dan belakang akan menunjukkan adanya flail
chest atau open pneumothorax. Palpasi harus dilakukan pada setiap iga dan
klavikula. Penekanan pada sternum dapat nyeri bila ada fraktur sternum.
Kontusio dan hematoma pada dinding dada mungkin disertai kelainan dalam
rongga toraks. Kelainan pada toraks akan disertai nyeri dan /atau dispnoe.9
Evaluasi toraks dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik termasuk
auskultasi disusul foto toraks. Bising nafas diperiksa pada bagian atas toraks
untuk menentukan pneumotoraks, dan pada bagian posterior untuk adanya
hemotoraks. Bunyi jantung yang jauh disertai tekanan nadi yang kecil
mungkin disebabkan tamponade jantung. Adanya tamponade jantung atau
tension pneumotoraks dapat terlihat dari adanya distensi pada vena jugularis,
walaupun adanya hipovolemia akan meniadakan tanda ini. Melemahnya
suara nafas dan hipersonor pada perkusi paru disertai syok mungkin satu-
satunya tanda akan adanya tension pneumotoraks, yang menandakan
perlunya dekompresi segera.9,10
(5) Abdomen
Trauma abdomen harus ditangani dengan agresif. Diagnosis yang
tepat tidak terlalu dibutuhkan, yang penting adalah adanya indikasi untuk
operasi. Pada saat penderita baru datang, pemeriksaan abdomen yang normal
tidak menyingkirkan diagnosis perlukaan intraabdomen, karena gejala
mungkin timbul agak lambat. Diperlukan pemeriksaan ulang dan observasi
ketat, kalau bisa oleh petugas yang sama. Diperlukan konsultasi ahli bedah.
Penderita dengan hipotensi yang tidak dapat diterangkan, kelainan
neurologis, gangguan kesadaran karena alkohol dan/atau obat dan penemuan
pemeriksaan fisik abdomen yang meragukan, harus dipertimbangkan
diagnostik peritoneal lavage (DPL), USG abdomen, atau bila keadaan umum
memungkinkan, pemeriksaan CT Scan abdomen dengan kontras. Fraktur iga
terbawah atau pelvis akan mempersulit pemeriksaan, karena nyeri dari daerah
ini pada palpasi abdomen.9
(6) Perineum/rectum/vagina
Perineum diperiksa akan adanya kontusio, hematoma, laserasi dan
perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter
uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen rektum,
prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya dinding rektum dan
tonus musculus sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat
menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi. Juga harus dilakukan
tes kehamilan pada semua wanita usia subur.
(7) Muskuloskeletal
Ekstremitas diperiksa untuk adanya luka atau deformitas. Fraktur yang
kurang jelas dapat ditegakkan dengan memeriksa adanya nyreri, krepitasi
atau gerakan abnormal. Penilaian pulsasi dapat menentukan adanya
gangguan vaskular. Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa
disertai fraktur. Kerusakan ligamen dapat menyebabkan sendi menjadi tidak
stabil, kerusakan otot tendo akan mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi
dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan kerusakan
saraf perifer atau iskemia (termasuk karena sindrom kompartemen).9
(8) Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang teliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik.
Perubahan dalam status neurologis dapat dikenal dengan pemeriksaan GCS.
Bila ada cedera kepala harus segera dilakukan konsultasi neurologis. Harus
dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran
perkembangan cedera intrakranial. Bila terjadi penurunan status neurologis
harus diteliti ulang perfusi, oksigenasi, dan ventilasi (ABCDE). Mungkin
diperlukan tindakan pembedahan atau tindakan lain untuk menurunkan
peninggian tekanan intrakranial. Perlunya tindakan bedah bila ada
perdarahan epidural, subdural, atau fraktur kompresi yang ditentukan oleh
ahli bedah saraf.9
2.3.Waktu Tanggap
Lama waktu tanggap adalah selisih antara waktu pasien tiba di IGD dengan waktu akan
dilakukan tindakan penanganan pertama oleh perawat. Dengan rata-rata waktu untuk
penanganan pada setiap jenis kasusnya antara lain 3,90 menit untuk kasus trauma dan 4,91
menit untuk kasus non trauma. Rata –rata tersebut menunjukan bahwa perawat mempunyai
waktu tanggap yang cepat, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pelayanan yang cepat
pada setiap pasien. 2,4,5,10
Keterlambatan waktu tanggap tersebut dipengaruhi oleh banyak hal salah satunya
adalah kondisi kegawatdaruratan setiap pasien dan jenis kasus yang berbeda. Dalam
penelitian yang telah dilakukan oleh Mahyawati (2015) tentang klasifikasi kegawatan dengan
kategori darurat tidak gawat atau jalur kuning memiliki waktu tanggap dalam kategori lambat
tertinggi sebanyak 9 penanganan dan kategori cepat terbanyak terdapat pada klasifikasi gawat
darurat atau jalur merah dengan jumlah 13 penanganan. Hal itu menunjukan jika pasien
dalam kondisi gawat darurat yang memiliki waktu tanggap lebih cepat dibanding klasifikasi
yang lain. Atau kondisi pasien yang mengalami resiko lebih besar memiliki waktu tanggap
yang cepat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sabriyati (2009) penelitian sejenis
menunjukan waktu tanggap perawat dalam kategori cepat sebanyak 23 penanganan dan
lambat sebanyak 5 penanganan. 2,4,5,10
Waktu tanggap pada pelayanan atau penanganan gawat darurat dihitung dalam
hitungan menit kemudian dapat dikategorikan dalam kategori cepat atau lambat. Hal ini
dipengaruhi oleh berbagai hal baik mengenai jumlah tenaga maupun komponen-komponen
lain yang mendukung RS seperti pelayanan laboratorium, radiologi, farmasi dan
administrasi.Hal tersebut juga dikatakan oleh Martino (2013), bahwa tindak lanjut mengenai
pasien gawat darurat masih ditemukan adanya penundaan pelayanan pasien gawat darurat
yang dilakukan oleh pihak rumah sakit karena alasan administrasi dan pembiayaan. Pasien
seringkali harus menunggu proses administrasi selesai baru mendapatkan pelayanan. 2,4,5,10
Keterlambatan terjadi juga karena pasien-pasien non trauma lebih disibukan oleh
proses administrasi yang meliputi pendaftaran, sistem antrian pasien dan pembayaran. Di
Indonesia, EMS hampir tidak bekerja sebagai sebuah sistem. Jumlah admisi dari IGD tidak
dapat direncanakan dengan tepat, sehingga sumber daya yang ada di IGD menjadi terbenam
karena kepadatan pasien yang masuk di IGD. Menurut Institusi of Medicine di Amerika
Serikat, kepadatan ini dianggap sebagai krisis nasional. Dalam Datusanantyo (2013)
Kepadatan pasien IGD selain untuk mengkompromi keselamatan pasien, juga dapat
mengancam privasi pasien dan membuat frustasi staf IGD. Kepadatan pasien inilah yang
menjadi salah satu penyebab keterlambatan waktu tanggap penanganan pasien di IGD.2,4,5,9,11
DAFTAR PUSTAKA