Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Waktu Tanggap (Respon Time)


2.1.1 Pengertian Respon Time
Menurut suharteti et al Respon time adalah kecepatan dalam
menangani klien (Akrian N Tumbuan dkk, 2015).

Response time sangat berhubungan dengan triage dimana standar


triage yang paling banyak digunakan di Rumah Sakit untuk
penanganan pasien di negara Australia dengan menggunakan lima
kategori diantaranya, sangat mengancam hidup maka waktu
tanggapnya langsung (0 menit), sedikit mengancam hidup (10 menit),
beresiko mengancam hidup (30 menit), darurat (60 menit) dan
kategori biasa dengan waktu perawatan (120 menit). Di negara
Kanada juga terdapat lima tingkatan triage yaitu Resusitasi (0 menit),
gawat darurat (0 menit), darurat (<30 menit), tingkat biasa (<60 menit)
dan tidak gawat (<120 menit) (Departemen Of Health and Ageing Of
Australian Government dalam Kartikawati, 2013).

Pelayanan pasien gawat darurat adalah pelayanan yang memerlukan


pelayanan segera yaitu cepat, tepat dan cermat untuk mencegah
kematian dan kecacatan (Soetrisno, 2013).

Waktu tanggap di Instalasi Gawat Darurat (IGD) semua rumah sakit


yang telah terakreditasi harus memiliki kecepatan dan ketepatan yang
baik. Waktu tanggap adalah waktu yang dibutuhkan pasien untuk
mendapatkan pertolongan yang sesuai dengan ke gawat daruratan
penyakitnya sejak memasuki pintu IGD Misalnya si pasien masuk ke
pintu IGD pukul 12.00 dan menderita sesak napas, lalu oleh perawat
jaga langsung diberikan oksigen pukul 12.03 dan melapor ke dokter
jaga pukul 12.04, baru kemudian dokter IGD memeriksa si pasien
pukul 12.10 dan memberikan terapi pukul 12.15, obat dimasukkan
pukul 12.20 (Siahaan, 2013).
Response time juga dapat berarti waktu emas terhadap kehidupan
seorang pasien dimana dalam banyak kasus menggambarkan semakin
cepat mendapatkan pertolongan definitif maka kemungkinan
kesembuhan dan keberlangsungan hidup seseorang akan semakin
besar, sebaliknya kegagalan response time di IGD dapat diamati dari
yang berakibat fatal berupa kematian atau cacat permanen dengan
kasus kegawatan organ vital pada pasien sampai hari rawat di ruang
perawatan yang panjang setelah pertolongan di IGD sehingga
berakibat ketidakpuasan pasien dan complain sampai dengan biaya
perawatan yang tinggi (Rahmanto, 2014).

Respon time dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya, jumlah


tenaga, sarana dan prasarana, pengetahuan atau pengalaman perawat
(Eko widodo 2015, 25). Respon time perawat dikatakan tepat waktu
jika tidak melebihi rata-rata waktu yang telah ditetapkan.

Dapat disimpulkan bahwa waktu tanggap adalah kecepatan dan


ketepatan pelayanan waktu yang dibutuhkan pasien untuk
mendapatkan pertolongan yang sesuai dengan ke gawat daruratan
penyakitnya sejak memasuki pintu IGD.

2.1.2 Standar Respon Time


Standar respon time tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No 856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit yang menyebutkan bahwa
pasien gawat darurat harus terlayani paling lama 5 (lima) menit
setelah sampai di gawat darurat.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Respon time perawat
Adapun faktor yang memberikan pengaruh pada masalah respon time
pada perawat menurut Eko Widodo, (2015), dijelaskan bahwa
2.1.3.1 Kompetensi perawat
Untuk menjamin pelayanan yang cepat dan tepat maka
perawat harus mempunyai kompetensi. Faktor ini meliputi
pendidikan.
2.1.3.2 Sarana dan prasarana
Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana
(fasilitas kesehatan). Jika sarana dan prasarana sesuai dengan
standar maka perawat akan cepat dan tepat pula dalam
memberikan pelayanan kepada klien.
2.1.3.3 Pengetahuan dan keterampilan
Menurut Notoatmodjo bahwa pengetahuan dan keterampilan
sangat penting, semakin tinggi pengetahuan dan ketrampilan
maka akan semaakin baik pula pelayanan yang akan
diberikan. Selain itu jika perawat mempunyai pengetahuan
dan keterampilan maka perawat akan lebih cepat dan tepat
dalam memberikan pelayanan kepada klien.

Strategi waktu tanggap adalah kecepatan dan ketepatan


pelayanan di suatu rumah sakit yang dapat memberikan
keyakinan kepada pelanggan agar selalu menggunakan jasa
pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut (Suyanto, 2010).
Kecepatan dan ketepatan pertolongan yang diberikan pada
pasien yang datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD)
memerlukan standar sesuai dengan kompetensi dan
kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan
gawat darurat dengan waktu tanggap yang cepat dan
penanganan yang tepat. Hal ini dapat di capai dengan
meningkatkan sarana, prasarana, sumber daya manusia dan
manajemen Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit sesuai
standar (Keputusan Menteri Kesehatan, 2009).
2.1.3.4 Kecepatan pelayanan
Kecepatan pelayanan waktu yang dibutuhkan pasien untuk
mendapatkan pertolongan yang sesuai dengan ke gawat
daruratan penyakitnya sejak memasuki pintu Instalasi Gawat
Darurat (IGD). Kecepatan pelayanan yaitu target waktu
pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah
ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan (Kepmen:
Nomor:63/KEP/M.PAN/7/2003). Kecepatan pelayanan dalam
hal ini adalah pelaksanaan tindakan atau pemeriksaan oleh
dokter dan perawat dalam waktu kurang dari 5 menit dari
pertama kedatangan pasien di IGD.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sabriya (2013) tentang


faktor-faktor yang berhubungan dengan Ketepatan Waktu
Tanggap Penanganan Kasus Pada Response Time I di
Instalasi Gawat Darurat Bedah dan Non-Bedah RSUP dr.
Wahidin Sudirohusodo menunjukkan bahwa ketepatan waktu
tanggap penanganan kasus IGD Bedah yaitu 67,9% tepat
waktu dan 32,1% tidak tepat sebagai kesimpulan faktor yang
berhubungan dengan waktu tanggap penanganan kasus di
Instalasi Gawat Darurat (IGD) Bedah RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo yaitu ketersediaan stretcher serta petugas triase
dan Instalasi Gawat Darurat (IGD) Non-Bedah yaitu
ketersediaan stretcher.

2.1.3.5 Ketepatan pelayanan


Menurut Lovelock dan Wright (2002), ketepatan waktu
adalah kesesuaian pelayanan medis yang diberikan dari apa
yang dibutuhkan dari waktu ke waktu. Tjiptono (2005),
mendefinisikan ketepatan waktu adalah "mencakup dua hal
pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan
untuk di percaya (dependability). Hal ini berarti rumah sakit
memberikan jasanya secara tepat semenjak saat pertama
(right the first time). Selain itu juga berarti bahwa rumah
sakit yang bersangkutan memenuhi janjinya misalnya
menyampaikan jasanya sesuai dengan jadwal yang di
sepakati ketepatan pelayanan adalah waktu yang dibutuhkan
pasien untuk mendapatkan pertolongan yang sesuai dengan
ke gawat daruratan penyakitnya sejak memasuki pintu IGD.
Ketepatan pelayanan dalam hal ini adalah ketepatan
pelaksanaan tindakan atau pemeriksaan oleh dokter dan
perawat dalam waktu kurang dari 5 menit dari pertama
kedatangan pasien di IGD. Lingkup pelayanan ke gawat
daruratan tersebut di ukur dengan melakukan primary survey
tanpa dukungan alat bantu diagnostik kemudian dilanjutkan
dengan secondary survey menggunakan tahapan ABCD
yaitu: A : Airway management; B : Breathing management;
C : Circulation management; D : Drug Defibrilator
Disability (Basoeki dkk, 2008).

Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan


terlebih dahulu melakukan survei primer untuk
mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup
pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder.
Tahapan Survei primer meliputi : A: Airway yaitu mengecek
jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai kontrol
servikal; B: Breathing yaitu mengecek pernafasan dengan
tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat; C:
Circulation yaitu mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol
perdarahan; D: Disability yaitu mengecek status neurologis;
E: Exposure yaitu enviromental control, buka baju penderita
tapi cegah hipotermia (Holder, 2002).
Survei primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi
yang mengancam nyawa pasien. Survei primer dilakukan
secara sekuensial sesuai dengan prioritas.

Tetapi dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam


tempo waktu yang singkat (kurang dari 10 detik) di fokuskan
pada Airway, Breathing, Circulation (ABC). Pengkajian
primer pada penderita gawat darurat penting dilakukan secara
efektif dan efisien (Mancini, 2011). Namun untuk Survei
ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability dan
Exposure) dilakukan survei primer ini harus dilakukan dalam
waktu tidak lebih dari 2-5 menit. Primary survey harus
dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 2-5 menit.
Penanganan yang simultan terhadap trauma dapat terjadi bila
terdapat lebih dari satu keadaan yang mengancam jiwa
(Wilkinson, dalam Iqbal, 2009).

Survei sekunder dilakukan setelah pengkajian dan intervensi


masalah airway, breathing dan circulation yang ditemukan di
atasi dilanjutkan dengan pengkajian sekunder. Survei
sekunder adalah pemeriksaan teliti yang dilakukan dari ujung
rambut sampai ujung kaki, dari depan sampai belakang.
Survei sekunder hanya dilakukan apabila penderita telah
stabil. Keadaan stabil yang dimaksud adalah keadaan
penderita sudah tidak menurun, mungkin masih dalam
keadaan syok tetapi tidak bertambah berat. Survei sekunder
harus melalui pemeriksaan yang teliti (Widiastuti, 2011)
Survei sekunder bertujuan untuk mengetahui penyulit lain
yang mungkin terjadi. Bila pada pengkajian primer dapat
tertangani, maka berlanjut ke pengkajian sekunder.
a. Pengkajian riwayat penyakit : anamnesa penyakit dahulu
dan sekarang, riwayat alergi, riwayat penggunaan obat-
obatan, keluhan utama.
b. Pemeriksaan penunjang : laboratorium, rontgen, EKG

2.1.4 Standar pelayanan minimal


Standar pelayanan minimal merupakan ketentuan yang menjadi tolak
ukur pelayanan minimum yang diberikan oleh perawat kepada klien.
Standar pelayanan minimum tersebut dijadikan sebagai panduan
dalam melaksanakan perencanaan dan tindakan.
Standar pelayanan minimum pelayanan dengan indikator :
2.1.4.1 Kemampuan dalam menangani life saving anak dan dewasa,
standar 100%.
2.1.4.2 Waktu tanggap pelayanan dokter dan perawat dalam
melayani klien standar > 5 menit.
2.1.4.3 Kepuasan pelanggan, standar >70%.

2.1.5 Klasifikasi respon time berdasarkan kegawatan


Salah satu indikator keberhasilan tenaga kesehatan adalah kecepatan
dalam memberikan pertolongan kepada klien. Baik dalam keadaan
darurat ataupun tidak darurat. Keberhasilan respon time tergantung
pada kecepatan dan ketepatan perawat dalam memberikan pertolongan
kepada klien,atau mencegah cacat klien. (Moewardi, 2005).
Waktu tanggap pada pasien cedera kepala diklasifikasikan sebagai
berikut:
2.1.5.1 Kategori I, pasien memerlukan resuitasi segera, seperti pada
klien epidural atau sub dural hematoma.
2.1.5.2 Kategori II, klien cedera kepala apabila ditandai syok apabila
tidak segera dilakukan tindakan akan semakin memburuk.
2.1.5.3 Kategoroi III, klien urgen, seperti cedera kepala disertai luka
robek,dan pusing.
2.1.5.4 Kategori IV, pasien semi urgen, dengan keadaan cedera
kepala dengan rada pusing ringan, luka lecet dan luka
superficial.
2.1.5.5 Kategori V, false emergency, klien dengan cedera kepala
ringan,tanpa keluhan fisik (Depkes RI, 2004).

Menurut pusponegoro (2005) mengatakan bahwa penanggulangan


penderita gawat darurat dalam mencegah kematian dan cacat
ditentukan oleh :
2.2.5.1 Kecepatan dalam menemukan pasien.
2.2.5.2 Kecepatan dalam meminta pertolongan
2.2.5.3 Kecepatan dan kualitas pertolongan yang diberikan kepada
klien untuk menyelamatkan klien.

2.2 Konsep Cedera Kepala


2.2.1 Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala merupakan permasalahan kesehatan global sebagai
penyebab kematian, disabilitas, dan defisit mental. Cedera kepala
menjadi penyebab kematian utama disabilitas pada usia muda,
penderita cedera kepala sering kali mengalami edema serebri yaitu
akumulasi kelebihan cairan di intraseluler atau ekstraseluler ruang
otak atau perdarahan intracranial yang mengakibatkan meningkatnya
tekanan intra kranial (Kumar, 2013).

Cedera kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera


langsung atau deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan
kerusakan tengkorak dan otak (Pierce dan Neil, 2014).

Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan
otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Miranda,
2014).

Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa cedera


kepala adalah suatu trauma yang mencederai dan mengalami luka
pada bagian kulit kepala, tengkorak, dan otak. Sebagian besar trauma
ini dikarenakan akibat dari kecelakaan, benturan, dan pukulan yang
mengakibatkan perubahan status kesadaran.

2.2.2 Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian,
terutama pada dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10%
kematian disebabkan karena trauma, dan setengah dari total kematian
akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi
setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit.
Cedera kepala dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka
kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-24 tahun.
Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering
dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010).

Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu


lintas yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007
dengan 2013 hanya untuk transportasi darat, tampak ada kenaikan
cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7 persen
(RISKESDAS, 2013).

2.2.3 Klasifikasi Cedera Kepala


Menurut NANDA (2015): klasifikasi cedera kepala dibedakan
menjadi 2, yaitu:
2.2.3.1 Berdasarkan Patologi
a) Cedera Kepala Primer
Cedera kepala primer merupakan cedera awal yang dapat
menyebabkan gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik
dari sel diarea tersebut, yang menyebabkan kematian sel.
b) Cedera Kepala Sekunder
Cedera kepala sekunder merupakan cedera yang terjadi
setelah trauma sehingga dapat menyebabkan kerusakan
otak dan TIK yang tidak terkendali, seperti respon
fisiologis cedera otak, edema serebral, perubahan
biokimia, perubahan hemodinamik serebral, iskemia
serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau
sistemik.
2.2.3.2 Berdasarkan jenis cedera
a) Cedera kepala terbuka
Cedera kepala terbuka adalah cedera yang menembus
tengkorak dan jaringan otak sehingga dapat
menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
diameter.
b) Cedera kepala tertutup
Cedera kepala tertutup merupakan cedera gegar otak
ringan dengan cedera serebral yang luas.
2.2.3.3 Berdasarkan Glasgown Coma Scale
a) Cedera Kepala Ringan (Minor), dengan ciri-ciri:
1) GCS 14-15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran dan amnesia <30
menit
3) Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusia serebral
dan hematoma
b) Cedera Kepala Sedang, dengan ciri-ciri:
1) GCS 9-13
2) Kehilangan kesadaran dan dan amnesia >30 menit
namun tidak lebih dari 24 jam
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak, contusia
serebral, laserasia dan hematoma intrakranial
c) Cedera Kepala Berat, dengan ciri-ciri:
1) GCS 3-8
2) Kehilangan kesadaran, amnesia lebih dari 24 jam
3) Mengalami kontusia serebral, laserasi atau
hematoma intrakranial

Tabel 2.1.Skala GCS (Nurarif, 2013).


Dewasa Respon
Buka Mata ( Eye )
Spontan 4
Berdasarkan perintah verbal 3
Berdasarkan rangsang nyeri 2
Tidak memberi respon 1
Respon Verbal
Orientasi baik 5
Percakapan kacau 4
Kata – kata kacau 3
Mengerang 2
Tidak memberi respon 1
Respon Motorik
Merurut perintah 6
Melokalisir rangsang nyeri 5
Menjauhi rangsang nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak memberi respon 1
Skor nilai GCS :
14 – 15 : Nilai normal/ Composmentis/ Sadar penuh
12 – 13 : Apatis/ acuh tak acuh
11 – 12 : Delirium
8 – 10 : Somnolent
5 – 7 : Sopor Koma
1 – 4 : Koma
1) Ringan : GCS 14 –15, dapat terjadi kehilangan kesadaran,
amnesia, tetapi kurang dari 30 menit, tidak ada fraktur tengkorak,
tidak ada contusia cerebral dan hematoma.
2) Sedang : GCS 9 – 13, kehilangan kesadaran, amnesia lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam, dapat mengalami fraktur
tengkorak, diikuti contusio cerebral, laserasi dan hematoma intra
cranial.
3) Berat : GCS 3 – 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi, atau
hematoma intra cranial.

2.2.4 Etiologi
Menurut Nanda (2015) mekanisme cedera kepala meliputi:
2.2.4.1 Cedera Akselerasi, yaitu ketika objek bergerak menghantam
kepala yang tidak bergerak
2.2.4.2 Cedera Deselerasi, yaitu ketika kepala yang bergerak
membentur objek yang diam
2.2.4.3 Cedera akselerasi-deselerasi, sering dijumpai dalam kasus
kecelakaan bermotor dan kekerasan fisik
2.2.4.4 Cedera Coup-countre coup, yaitu ketika kepala terbentur dan
menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan
kuat mengenai area tulang tengkorak
2.2.4.5 Cedera Rotasional, yaitu benturan/pukulan yang
menyebabkan otak berputar dalam tengkorak, sehingga
terjadi peregangan atau robeknya neuron dalam substansia
alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak
dengan bagian dalam rongga tengkorak.

Arifin dkk (2013) menambahkan bahwa hipoksia dan hipoperfusi


merupakan faktor penyebab utama. Penyebab lainnya adalah
eksititixisitas, kerusakan akibat radikal bebas, gangguan regulasi ion,
mediator inflamasi, tekanan tinggi intrakranial dan hipertermia.

“According to the Iranian Forensic Medicine Organization, Isfahan


Province was in fourth place in fatalities related to road traffic
accidents (RTA) in 2016 (24697 deaths and injured were accessed in
7.41% of the year). Head trauma is the cause of 51.7% of deaths.
Additionally, in a studio by Zand and Rafiei, the following TBI
accident has been stated as the most common cause of death is the
intensive unit (ICU) in Iran” (Hejini ES et al., 2015).

“Berdasarkan Organisasi Kedokteran forensik Iran, Provinsi Isfahan


berada di tempat keempat dalam angka kematian terkait dengan lalu
lintas jalan kecelakaan (RTA) pada tahun 2016 (24697 meninggal dan
terluka dilaporkan pada tahun yang 7.41% dari keseluruhan). Trauma
kepala adalah penyebab 51,7% dari kematian. Tambahan, dalam
sebuah studi oleh Zand dan Rafiei, TBI kecelakaan berikut telah
dinyatakan sebagai penyebab kematian paling umum adalah intensif
unit perawatan (ICU) di Iran” (Hejini ES et al., 2015).

“Head injuries are usually associated with trauma to the head (scalp,
skull and brain). This is the most common cause of death and
morbidity in the global population, more often among those under 44
years of age” (Onwuchekwa CR, Alazigha NS et., Al, 2017).
“Cedera kepala biasanya dikaitkan dengan trauma pada kepala (kulit
kepala, tengkorak dan otak). Ini adalah penyebab kematian paling
umum dan morbiditas pada populasi global, lebih sering di antara
mereka yang berusia di bawah 44 tahun” (Onwuchekwa CR, Alazigha
NS et al., 2017).

2.2.5 Manifestasi klinis


2.2.5.1 Tanda dan gejala cedera kepala secara umumnya menunjukan
ada atau tidaknya fraktur tengkorak, Fraktur basiler,
penurunan kesadaran dan kerusakan jaringan otak (Tarwoto,
2013).
a. Fraktur tengkorak, ada laserasi dan memar
Fraktur tengkorak menyebabkan lukanya pembuluh
darah dan saraf-saraf pada otak, merobek duramater yang
mengakibatkan keluarnya cairan serebrospinalis.
Kemungkinan besar yang terjadi pada fraktur tengkorak
adalah: Keluarnya cairan serebrospinalis, cairan lain
misalnya dari hidung dan telinga. Kerusakan saraf
kranial, perdarahan, dan ekimosis pada periorbital.
b. Fraktur basiler
Fraktur basiler menyebabkan gangguan pada saraf
kranial dan kerusakan bagian dalam telinga.
Kemungkinan besar yang terjadi pada fraktur basiler
adalah: penglihatan menurun karena rusaknya saraf
optikus, berkurangnya pendengaran karena rusaknya
saraf auditorius, dilatasi pupil, peresis wajah, vertigo,
dan adanya warna kebiruan pada periorbita.
c. Penurunan kesadaran
Terganggunya tingkat kesadaran klien tergantung dari
berat ringannya cedera kepala yang dialami, serta ada
atau tidaknya amnesia retrograt, mual dan muntah.
d. Kerusakan jaringan otak
Tanda dan gejala ini tergantung dari cedera kepala.
2.2.5.2 Tanda dan gejala cedera kepala dapat meliputi dari komosio
serebri (gegar otak), kontosio serebri (perdarahan dan
kematian jaringan), hematoma epidural (perdarahan diruang
antara tengkorak dan duramater), hematoma subdural
(perdarahan arteri atau vena duramater dan arachnoid)
(Widagdo et al., 2008).
a. Komosio serebri: muntah tanpa nausea, nyeri pada lokasi
cedera, mudah marah, hilang energi, orentasi waktu,
tempat dan orang, pusing dan mata berkunang-kunang.
b. Kontusio serebri: Perubahan tingkat kesadaran, lemah
dan kesulitan bicara, hilangnya ingatan sebelum dan
pada saat trauma, sakit kepala, peningkatan nafas dan
nadi, demam diatas 37, GCS dibawah 7, berkeringat
banyak, perubahan dalam penglihatan.
c. Hematoma epidural: Hilangnya kesadaran dalam waktu
singkat beberapa menit atau jam, secara progresif
kesadaran turun, gangguan penglihatan, sakit kepala,
tanda-tanda pupil dilatasi, tekanan darah meningkat,
denyut nadi menurun dengan aritmia, pernapasan
menurun, perasaan mengantuk, leher kaku yang
menunjukan adanya hematoma epidural.
d. Hematoma subdural: (Akut) Berubah–ubah hilang
kesadaran, sakit kepala, otot wajah melemah, kelemahan
pada tungkai salah satu sisi tubuh, pupil tidak beriaksi
pada satu sisi, tanda-tanda peningkatan TIK, gangguan
mental, sakit kepala yang hilang timbul, perubahan
tingkah laku, gangguan fungsi mental, perubahan pola
tidur, demam ringan, peningkatan TIK.

2.2.6 Patofisiologi
Menurut Tarwoto (2013) “Adanya cedera kepala dapat mengakibatkan
gangguan atau kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh
darah, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan
adenosine tripospat dalam mitokondria, serta perubahan permiabilitas
vaskuler”. Suatu sentakan traumatik pada kepala dapat menyebabkan
cedera pada kepala. Sentakan tersebut biasanya tiba–tiba dan dengan
kekuatan penuh, seperti jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, atau
benturan pada kepala. Jika terjadi sentakan seperti suatu trauma
seperti akselarasi, deselarasi atau coup-countercoup, maka kontusio
serebri dapat terjadi.

Patofisiologi cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu


cedera kepala otak primer dan cedera kepala otak sekunder. Cedera
kepala otak primer merupakan suatu cedera yang dapat terjadi secara
langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera pada
jaringan otak dan struktur pendukung lainnya. Pada cedera kepala otak
sekunder terjadi akibat cedera primer yang tidak teratasi misalnya
adanya hipoksia, hipotensi, asidosis, dan penurunan suplay oksigen
otak.

Kematian pada cedera kepala banyak disebabkan karena hipotensi


karena gangguan autoregulasi. Ketika terjadi gangguan autoregulasi
akan menimbulkan hipoperfusi jaringan serebral dan berakhir pada
iskemia jaringan otak, karena otak sangat sensitive terhadap oksigen
dan glukosa.

2.2.7 Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapatkan perhatian besar,
kesembuhan klien tergantung dari sedang dan berat nya cedera yang
terjadi. Penanganan yang cepat dan tepat dapat mempengaruhi
kesembuhan pada klien dengan cedera kepala. Terutama pada klien
penderita cedera kepala berat, harus dilakukan observasi tanda-tanda
vital. karena klien dengan cedera kepala berat angka kesembuhan
hanya 15%. Sedangkan skor klien dengan GCS 3-4 memiliki
kemungkinan meninggal 85%. Sedangkan GCS 12 kemungkinan
meninggal hanya 5-10% (Mubarak, 2015).

2.2.8 Komplikasi
2.2.8.1 Menurut Tarwoto (2013) komplikasi yang mungkin terjadi
pada cedera kepala diantaranya:
a. Defisit neurologi fokal
b. Kejang
c. Pneumonia
d. Perdarahan gastrointestinal
e. Disritmia jantung
f. Syndrom of inappropriate secration of antidiuretik
hormone (SIADH)
g. Hidrosepalus
h. Kerusakan kontrol respirasi
i. Inkontinensia bladder dan bowel
j. Nyeri kepala akut maupun kronik.

2.2.9 Pemeriksaan diagnostik


Menurut Muttaqin (2008) Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan
pada klien dengan cedera kepala meliputi:
2.2.9.1 CT scan (dengan / tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan,
ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
2.2.9.2 MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras
radioaktif.
2.2.9.3 Serebral angiography
Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan
jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan, dan
trauma.
2.2.9.4 Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
2.2.9.5 Sinar-X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
2.2.9.6 BEAR
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
2.2.9.7 PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
2.2.9.8 CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subaraknoid.
2.2.9.9 Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan tekanan intrakranial.
2.2.9.10 Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.
2.2.9.11 Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada
area pleural.
2.2.9.12 Toraksentesis menyatakan darah/cairan
2.2.9.13 Analisa gas darah (AGD/Astrup)
Analisa Gas Darah (AGD/Astrup) adalah salah satu tes
diagnostik untuk menentukan status respirasi. Status respirasi
yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini
adalah status oksigenisasi dan status asam basa.

2.2.10 Penanganan Cedera Kepala


Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip –prinsip ABC (Airway,
Breathing, Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia akan
cenderung memperhebat peninggian Tekanan intra kranial dan
menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua cedera kepala berat
memerlukan tindakan intubasi pada kesempatan pertama.
2.2.10.1 Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam
cedera atau gangguan – gangguan di bagian tubuh lainnya.
2.2.10.2 Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motorik,
verbal, pemeriksaan pupil, reflek okulosefalik dan reflek
okuloves tubuler. Penilaian neurologis kurang bermanfaat
bila tekanan darah penderita rendah (syok).
2.2.10.3 Penanganan cedera – cedera dibagian lainnya.
2.2.10.4 Pemberian pengobatan seperti : anti edema serebri, anti
kejang dan natrium bikarbonat.
2.2.10.5 Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : Scan tomografi
computer otak, angiografi serebral dan lainnya
(Satyanegara, 2010).

2.3 Kerangka Konsep


Kerangka konsep merupakan bagan terhadap rancangan penelitian yang akan
dilakukan, meliputi siapa yang akan diteliti atau subjek penelitian. Variabel
yang akan diteliti atau subjek penelitian. Variabel yang akan diteliti dan
variabel yang mempengaruhi dalam penelitian (Hidayat, 2014). Berdasarkan
tinjauan pustaka, maka disusun pola pikir variabel yang diteliti sebagai
berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat

Faktor yang mempengaruhi respon


time :
a. Kecepatan pelayanan (< 5 menit) GCS Pasien Cedera Kepala

b. Kompetensi perawat
c. Sarana dan prasarana
d. Pengetahuan dan keterampilan
e. Ketepatan pelayanan

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

2.4 Hipotesis
Hipotesis yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah ada “hubungan respon
time perawat dengan GCS pasien cedera kepala di IGD RSUD H. Damanhuri
Barabai tahun 2019”.

Anda mungkin juga menyukai