Anda di halaman 1dari 9

BYSTANDER CPR

PENINGKATAN PERAN ORANG TUA SEBAGAI BYSTANDER PADA KASUS


CARDIAC ARREST ANAK MELALUI PELATIHAN
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

Disusun Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semeter


Mata Kuliah Gawat Darurat Lanjut 1
Fasilitator: Ns. Tony Suharsono, M.Kep

Disusun Oleh:

IKA SUBEKTI WULANDARI


126070300111012
PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2013
            Henti jantung atau cardiac arrest pada anak merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan
kardiovaskuler pada anak. Henti jantung adalah penghentian aktivitas pompa jantung secara
mendadak dan tiba-tiba dimana curah jantung (cardiac output) menjadi tidak efektif dan adekuat
yang mengakibatkan penghentian sirkulasi normal darah dalam tubuh untuk memberikan
kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya (Muttaqin, 2009; Kattwinkel,. et al., 2010).
Beberapa penyebab kasus henti jantung pada anak misalnya adanya Penyakit Jantung Bawaan
(PJB),  Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), distress pernafasa dan kaus kecelakaan akibat
bermain seperti tenggelam, tersedak dan sebagaianya (Lee & Jane, 2004). Gejala yang
ditimbulkan anak ketika henti jantung meliputi hilangnya kesadaran, henti nafas, sianosis,
denyut nadi tidak teraba, desaturasi oksigen, diam dan hipotonia (Kattwinkel,. et al., 2010).
Beberapa kondisi tersebut biasanya mengarah pada kondisi yang mengancam kehidupan anak.
            Prevalensi mortalitas henti jantung pada anak sebagain besar terjadi di luar rumah sakit.
Berdasarkan penelitian Naohiko et al (2008) bahwa paling banyak kematian anak akibat henti
jantung terjadi di rumah. Di Amerika kasus kematian henti jantung yang terjadi di luar rumah
sakit mencapai 50 %. Sedangkan menurut Deborah (2011) sekitar 75% kejadian henti jantung
akibat tenggelam di kolam renang dialami oleh anak-anak dibawah 5 tahun. Di Jepang
dilakukan penelitian atas 5170 anak usia ≤ 17 tahun yang mengalami henti jantung di luar
rumah sakit selama periode 1 Januari 2005 sampai 31 Desember 2007 terdapat 3675 (71%)
henti jantung dengan penyebab non kardiak dan 1495 (29%) dengan penyebab kardiak (Lancet,
2010). Sedangkan di Indonesia sendiri belum ada data statistik yang secara pasti menyebutkan
jumlah kejadian henti jantung anak yang terjadi di luar rumah sakit.
            American Heart Assosciation merekomendasikan Pediatric Chain of Survival sebuah
rantai kehidupan anak yang terdiri upaya pencegahan, resusitasi jantung paru (RJP), akses
langsung ke pelayanan medik, transportasi ke rumah sakit dan dukungan hidup lanjut anak
(Berg et al, 2010). Rantai utama tersebut menekankan pada pemberian RJP sedini mungkin
untuk meningkatkan survival rate anak. Pertolongan pertama dan Cardio Pulmonary
Resuscitation (CPR)  merupakan tindakan utama yang harus dilakukan untuk mengembalikan
fungsi jantung yang terhenti (Berg et al, 2010). Dalam hal ini peran orang tua sebagai orang
yang pertama menemui kondisi henti jantung (bystander RJP) anak sangat memegang peranan
yang krusial. Keberhasilan rantai kehidupan anak akan sangat ditentukan oleh peran orang tua
dalam memberikan penanganan pertama saat anak tiba-tiba terjadi henti jantung.
            Berdasarkan beberapa penelitian peran bystander saat ini masih rendah. Di Swedia
kasus henti jantung yang disaksikan oleh bystander 30-60% akan tetapi yang dilakukan RJP
hanya 30% (Herlitz et al, 1999; Holmberg, 1998). Menurut Trudy (2008) meskipun kemauan
orang tua untuk melakukan RJP cukup tinggi yaitu lebih dari 84% akan tetapi pada
kenyataannya orang tua yang benar-benar melakukan RJP saat terjadi henti jantung pada anak
hanya sekitar 15-30% saja. Rendahnya peran orang tua sebagai bystander RJP dimungkinkan
karena adanya pengaruh dari faktor psikososial dari orang tua (Trudy, 2008)
            Tindakan RJP yang dilakukan sedini mungkin akan memberikan efek yang positif
terhadap survival rate kasus henti jantung. Menurut Lancet (2010) Anak yang mendapat RJP
oleh orang tua (bystander) secara bermakna mempunyai prognosis hasil neurologik yang lebih
baik (5,4% (10/2439) dibandingkan dengan korban yang tidak mendapat RJP oleh bystander
(1,9% (53/1279). The American Medical Assosciation and the American Academy of Pediatric
merekomendasikan bahwa para orang tua harus memiliki pengetahuan dan keterampilan RJP
pada anak terutama pada kasus tenggelam di kolam renang (Deborah, 2011). Selain itu
pernyataan dari AHA membuktikan bahwa semakin cepat korban diberi tindakan RJP maka
survival rate akan semakin meningkat. Korban yang tidak mendapatkan RJP sama sekali dan
hanya mendapat defibrilasi pada menit ke-10 setelah serangan maka survival ratenya 0-2 %.
Sedangkan korban dimana 2 menit setelah serangan langsung diberikan RJP kemudian menit
ke-4 mendapat tindakan defibrilasi serta menit ke-8 mendapat bantuan hidup lanjut maka
survival ratenya dapat mencapai 30% (Berg et al, 2010)
            Melihat kondisi di Indonesia khususnya untuk peran orang sebagai bystander RJP
masih sangat perlu ditingkatkan. Banyak orang tua di Indonesia belum memiliki pengetahuan
dan keterampilan yang cukup mengenai tindakan Resusitasi Jantung Paru khususnya untuk
anak. Minimnya kesadaran masyarakat dan kurang aktifnya pihak pemberi layanan kesehatan
dalam peningkatan keterampilan RJP untuk masyarakat awam sangat memberikan pengaruh
pada kondisi ini. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah usaha dalam meningkatkan peran orang
tua sebagai bystander RJP pada henti jantung anak melalui pelatihan Bantuan Hidup Dasar
(BHD) kepada para orang tua di Indonesia.
            Hadirnya pelatihan BHD untuk orang tua  diharapkan dapat meningkatkan kesadaran
para orang tua di Indonesia terhadap pentingnya tindakan RJP saat menemui kondisi henti
jantung pada anak. Pelatihan tersebut juga bisa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
RJP orang tua, meningkatkan survival rate dan menurunkan angka kematian pre hospital
cardiac arrest anak. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas mengenai peningkatan
peran orang tua sebagai bystander pada kasus cardiac arrest anak melalui pelatihan Bantuan
Hidup Dasar (BHD).
            International Liasion Committee on Resuscitation (2003) dan Australian Resuscitation
Council Guideline (2006) merekomendasikan beberapa target kompetensi dalam pelatihan
resusitasi untuk bystander diantaranya kesadaran akan kondisi gawat darurat, kemampuan
mengaktifkan panggilan gawat darurat, kompetensi dalam memebrikan kompresi dada (RJP)
dan bantuan ventilasi serta persiapan emosional dan kemampuan menghadapi kondisi
emergency. Selain itu kemudahan terhadap akses terhadap program pelatihan RJP harus bisa
dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Pada program pelatihan BHD bisa dikembangkan
dengan media lain seperti audiovisual untuk menunjang pembelajaran RJP konvensional. Pada
akhir pelatihan bystander harus memiliki pengetahuan dan keterampilan melakukan RJP pada
manikin serta perlu adanya pelatihan secara kontinyu sebagai upaya upgrading terhadap ilmu
yang telah didapat.
            Kompetensi utama yang harus dikuasai orang tua yang mengikuti pelatihan BHD pada
anak adalah ketepatan dalam memeberikan kompresi dada atau RJP. Menurut Kattwinkel
(2010) resusitasi diberikan ketika denyut jantung semakin menurun yaitu kurang dari 60 kali per
menit padahal sudah diberikan ventilasi secara adekuat selama kurun waktu 30 menit.
Kompresi dada dilakukan dengan penekanan pada dada yaitu tepat dibawah kosta ketiga
dengan kedalaman sepertiga diameter antero-posterior rongga dada 1½ inchi atau 4 cm pada
bayi dan 2 inchi atau 5 cm pada anak. Perbandingan rasio antara kompresi dengan ventilasi
berbeda antara anak dengan dewasa. Perbandingan pada anak yaitu 3:1, yaitu 3 kompresi dan
1 ventilasi. Kompresi dada tersebut dilakukan selama 120x/menit dengan waktu dari setiap
kompresi adalah setengah detik (Kattwinkel,. et al., 2010). Apabila penyebab henti jantung pada
neonatus/anak disebabkan karena cardiac cause maka rasio kompresi dan ventilasi adalah
30:2 (untuk satu penolong), dan apabila penyebab henti jantung pada neonatus/anak
disebabkan karena non-cardiac cause maka rasio kompresi dan ventilasi adalah 3:1 (Hazinski,
2010).
            Saat ini telah berkembang berbagai metode pelatihan BHD untuk orang awam atau
bystander diantaranya melalui metode konvensional maupun on line via internet. Metode
konvensional merupakan metode dimana peserta pelatihan didampingi oleh pelatih atau
instructure. Menurut Sim, Jo dan Song (2009) pada metode konvensional biasanya jumlah
maksimal peserta adalah 35 orang, didampingi oleh beberapa instruktur yang merupakan
dokter atau perawat yang telah tersertifikasi emergency dan memiliki pengalaman training BHD
sebelumnya. Masing-masing kelas terdiri dari 3 sesi yaitu materi, praktek dan evaluasi. Setelah
peserta didik mengikuti penyampaian materi, kemudian peserta dibagi menjadi beberapa
kelompok dengan masing-masing kelompok didampingi 1 instruktur kemudian melakukan
praktek terhadap manikin. Setelah kegiatan teori dan praktik selesai kegiatan diakhiri dengan
evaluasi kognitif dan keterampilan melalui ujian.
            Metode selanjutnya adalah pelatihan RJP atau BHD melalui online via internet. Menurut
Rehberg, Diaz dan Middlemas (2009) pada Januari 2000, National Safety Council (NSC)
merupakan lembaga yang pertama kali meluncurkan program pelatihan computer-based
cardiopulmonary resuscitation (CPR). Program ini menawarkan inovasi dan pendekatan terbaru
bagi dunia pendidikan kesehatan. Program ini berbeda dengan program pelatihan konvensional
baik dari metode pelatihan dan pemberian sertifikat. Dengan program computer-based ini,
setiap peserta pelatihan dapat mendaftarkan diri dan mengikuti pelatihan di area manapun yang
mempunyai koneksi internet, tanpa harus datang ke tempat tertentu. Program pelatihan
computer-based ini terbukti menjadi pilihan efektif untuk melatih masyarakat awam tentang
cardiopulmonary resuscitaion (CPR) (Perkins et al, 2012).

            Tindakan pemberian RJP yang tepat dan benar merupakan salah satu simpul utama
dalam chain of survival pada anak. Berbagai pelatihan RJP dan BHD telah dilakukan dengan
tujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua dalam memberikan tindakan
RJP pada anak. Di luar negeri telah banyak dilakukan beberapa penelitian untuk mengetahui
efektifitas pelatihan BHD untuk orang awam termasuk para orang tua. Penelitian yang dilakukan
oleh Christoph, Henry, Jan dan Bernhard (2008) melibatkan 100 responden yang dibagi
menjadi dua kelompok, dimana kelompok pertama adalah responden yang pernah mengikuti
pelatihan BHD sebelumnya, sedangkan kelompok kedua adalah responden yang baru pertama
kali mengikuti pelatihan BHD. Kedua kelompok tersebut kemudian diberi perlakuan yaitu
pelatihan BHD selama 120 menit meliputi teori dan praktik serta semua sarana dan prasarana
yang digunakan sama antara kedua kelompok termasuk instruktur pelatihan. Berdasarkan hasil
evaluasi kedua kelompok tersebut didapatkan hasil bahwa kelompok pertama menunjukkan
keterampilan RJP yang lebih baik dibandingkan kelompok kedua dilihat dari kedalaman dan
kecepatan tekanan. Melihat hasil dari penelitian ini, maka pelatihan BHD secara berkala sangat
dibutuhkan untuk mengupdate dan meningkatkan skill RJP para orang tua.
            Pelaksanaan pelatihan BHD pediatrik di Indonesia saat ini masih banyak difokuskan
untuk tenaga kesehatan seperti perawat dan dokter. Padahal jika melihat esensi dari RJP yang
dilakukan secara dini oleh para bystander maka memberikan efek positif terhadap peningkatan
survival rate. Begitu pula untuk kasus cardiac arrest pada anak, orang tua merupakan
bystander pertama yang memegang peranan penting dalam pemberian pertolongan pertama
termasuk pemberian kompresi dada. Akan tetapi belum banyak kesadaran orang tua terhadap
bagaimana menerapkan chain of survival ketika anak tiba-tiba tidak sadarkan diri. Hal ini juga
disebabkan masih minimnya minat dan antusiasme para orang tua terhadap manajemen dini
kasus henti jantung pada anak. Selain itu pelatihan BHD untuk orang awam di Indonesia masih
belum banyak dilakukan, khususnya untuk para orang tua.
            Hal ini berarti manajemen pre hospital belum mendapatkan perhatian lebih dari berbagai
pihak. Pelayanan gawat darurat sebelum rumah sakit adalah tahapan yang sangat penting dan
menentukan penanganan gawat darurat setelah di rumah sakit. Menurut Pathma, Orapan dan
Siriorn (2008) pada saat terjadi cidera merupakan waktu emas (golden period) setiap detik
sangat berharga bagi kelangsungan hidup korban, apa yang terjadi di golden periode sebelum
di rumah sakit akan sangat mempengaruhi hasil akhir setelah di rumah sakit, begitupun
selanjutnya penanganan di rumah sakit akan mempengaruhi hasil akhir yang dicapai pada
masa pemulihan korban selamat. Kualitas hidup penderita pasca cidera akan sangat
bergantung pada apa yang telah dia dapatkan pada periode pra rumah sakit, bukan hanya
tergantung dari fasilitas pelayanan kesehatan saja. Jika di tempat pertama kali kejadian
penderita mendapatkan bantuan yang optimal sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan
kecacatan dapat dihindari. Sehingga sudah selayaknya pelayanan gawat darurat itu dipandang
sebagai sebuah sistem secara menyeluruh bukan hanya di rumah sakit saja.
            Usaha peningkatan pengetahuan dan keterampilan RJP untuk para orang tua di
Indonesia seharusnya menjadi tanggung jawab kita bersama. Terutama perawat sebagai
sebuah profesi kesehatan dapat memaksimalkan fungsinya sebagai seorang edukator, Perawat
dapat mentransfer knowledge dan juga keterampilan kepada para orang tua mengenai tehnik
RJP dan BHD bisa melalui kegiataan posyandu di masyarakat, orang tua murid di komunitas
sekolah atau masuk ke dalam perkumpulan sosial di masyarakat. Seperti halnya yang dilakukan
oleh Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro pada tanggal 25 Februari 2011
yang mengadakan pelatihan Basic Life Support (BLS) di satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres
Jepara sebagai wujud pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kegiatan BLS diberikan
kepada 30 personil satlantas polres karena polisi merupakan orang yang pertama kali
menjumpai korban kecelakaan lalu ,lintas di lokasi kejadian. Dalam pelatihan tersebut, para
personil polisi dibekali kemampuan untuk memberikan pertolongan pertama pada fase pre
hospital yaitu pembidaian, initial assessment, cara menghentikan perdarahan dan melakukan
resusitasi jantung paru (RJP) pada korban kecelakaan lalu lintas.
            Penerapan pelatihan BHD untuk para orang tua di Indonesia jika dipandang
berdasarkan analisa SWOT memiliki beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Segi kekuatan
(strength) dari penerapan pelatihan BHD untuk orang tua didukung dengan adanya beberapa
lembaga penyelenggara pelatihan kegawat daruratan seperti Yayasan ambulan gawat darurat
118 dan Lembaga Pro Emergency, selain itu terdapat 668.552 orang tenaga kesehatan di
Indonesia dimana 32,91% adalah perawat (Departemen Kesehatan, 20012), menurut data
pelatihan Pro Emergency (2011) terdapat 1000 perawat yang telah mendapatkan sertifikat
pelatihan Basic Life Support (BLS). Sedangkan dari sisi kelemahan (weakness) dikarenakan
masih minimnya kesadaran dan minat para orang tua mengenai pemberian RJP dan BHD pada
henti jantung anak, biaya dan waktu untuk mengikuti pelatihan relatif tinggi (terutama untuk
metode konvensional 2.000.000 sampai 2.500.000 rupiah selama kurang lebih 2 hari),
sedangkan untuk metode online tidak semua daerah di Indonesia terjangkau jaringan internet
dan tidak semua orang tua mampu menggunakan internet. Segi kesempatan (opportunity),
program pelatihan BHD untuk orang tua dipandang mempunyai kesempatan dilakukan secara
luas karena didukung dengan undang-undang no. 23 tahun 1992 dimana setiap orang
berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
seseorang, keluarga dan lingkungnnya selain itu juga mulai dicanangkannya konsep Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) oleh menteri kesehatan pada tahun 2000.
Segi ancaman (threath) berasal dari kurangnya perhatian dari pemerintah dan tenaga
kesehatan terhadap pentingnya pelatihan BHD untuk para orang tua di Indonesia.
            Berdasarkan analisa diatas dapat disimpulkan bahwa peningkatan keterampilan RJP
untuk para orang tua dalam menangani kasus cardiac arrest anak dapat dilakukan dengan
pelatihan BHD baik secara konvensioanl maupun online via internet. Akan tetapi kenyataan di
Indonesia pelatihan BHD masih banyak difokuskan untuk para tenaga kesehatan, sedangkan
pelatihan BHD untuk orang awam termasuk orang tua masih belum banyak dilakukan.
Berdasarkan analisa SWOT pelatihan BHD untuk para orang tua sangat mungkin dilakukan di
Indonesia. Dibutuhkan komitmen yang kuat antara pemerintah dan semua pihak dalam
meningkatkan pelatihan BHD untuk orang tua ini, agar dapat menciptakan managemen
pelayanan kegawat daruratan yang solid dan menyeluruh
.

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, A. (2009). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular.
Jakarta: Salemba Medika

Kattwinkel, J., Perlman, J.M.., Aziz, K., Colby, C., Fairchild, K., Gallagher, J., Hazinski, M.F.,
Halamek, L.P., Kumar, P., Little, G., McGowan, J.E., Nightengale, B., Ramirez, M.m., Ringer,
S., Sinom, W.M., Weiner, G.M., Wyckoff, M., Zaichkin, J.. (2010). Neonatal Resuscitation: 2010
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Journal of The American Heart Association.

Lee A. Pyles, MD; Jane Knapp, MD. (2004). Role of Pediatricians in Advocating   Life     
Support Training Courses for Parents and the Public. The          American         Academy of
Pediatrics. Vol 114 No.16

Herlitz J, Bahr J, Fischer M, Kuisma M, Lexkow K, Thorgeirsson G.(1999)             Resuscitation


in Europe: a tale of five European regions. Resuscitation            ;41(2):121–131.

Holmberg M, Holmberg S, Herlitz J, Gardelövf B. (1998). Survival after cardiac    arrest   outside
hospital in Sweden. Resuscitation ;36:29–36.

Deborah Girasek. (2011). Evaluation of a brief intervention designed to increase


            CPR training among pregnant pool owners. Health Education Research:    Oxford
University Press. Vol.26, 689-697

Lancet. (2010). Resusitasi Anak. Health Education Research, 375: 1347-54

Berg, M.D., Schexnayder, S.M., Chameides, L., Terry, M., Donoghue, A., Hickey, R.W., Berg, R.A.,
Sutton, R.M., Hazinski, M.F. (2010). Pediatric Basic Life Support: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscittion and Emergency Cardiovascular Care. 
Journal of The American Heart Association.

Trudy Dwyer. (2008). Psychological factor inhibit family members’ confidence to initiate CPR.
Prehospital Emergency Care:  Central Quinsland University

International Liaison Committee on Resuscitation. (2003). Education in       Resuscitation.


Resuscitation;59: 11–43.

Australian Resuscitation Council Guideline. (2006). Protective devices for expired             air
resuscitation. Australasian College for Emergency Medicine and   Australasian Society for
Emergency Medicin

Hazinski, M.F. (2010). Highlights of The 2010 American Heart Association Guidelines for CPR and
ECC. American Heart Association
Sim, Jo & Song. (2009). Basic cardiac life support education for non medical        hospital
employess. Emergency Medical Journal. 26: 327-330

Perkins, G.D., Kimani, P.K., Bullock, I., Cluttpon-Brock., Davies, R.P., Gale, M.,   Lam, J.,
Lockey, A., Stallard, N. (2012). Improving the Efficiency of    Advanced Life Support Training.
Ann Intern Med. 157. p: 19-28

Rehberg, R.S., Diaz, L.g., Middlemas, D.A. (2009). Classroom Versus Computer- based CPR
Training: A Comparison of the Effectiveness of Two       Instructional Methods. Athletic Training
Educational Journal. 4(3). p: 98-       103  

Moli Pathma, Orapan Thosingha, Siriorn Sindgu. (2008). Pre-hospital Emergency             Care
System for Trauma Patient: A Literature Analysis.Thailand: Thai             Journal of Nursing
Council, Vol.23 No.1

Departemen Kesehatan. (2012). Bank data Sumber Daya Kesehatan. Available    at


http://bpsdm.depkes.go.id/sdmk    diakses tanggal 16 April 2013

Keperawatan-Undip. (2012). Pelatihan Basic Life Support (BLS) di Satlantas Jepara. Available
at http://www.keperawatan-undip.ac.id  diakses tanggal 16 April 2013

Anda mungkin juga menyukai