DISUSUN OLEH
A. Lalar Belakang
Negara Indonesia rentan sekali terhadap bencana. Menurut Badan Nasional
Penanggualangan Bencana, tren bencana 10 tahun terakhir yaitu Banjir, tanah
longsor, puting beliung, kebakaran hutan dan lahan, gempa bumi, tsunami, letusan
gunung berapi, gelombang pasang atau abrasi, serta kekeringan. Pada tahun 2018,
banjir terjadi 374 kali, puting beliung 433, dan tanah longsor 268, serta kebakaran
hutan dan lahan 36 kali. Belum lagi kejadian kecelakaan lalu lintas sebanyak 5400
kejadian.
Keperawatan Kritis atau Critical Care Nursing merupakan area keperawatan
untuk melayani pasien sejak di pra rumah sakit / ambulance, Instalasi Gawat Darurat
(IGD), kamar bedah, ruang pemulihan, dan ruang perawatan intensif. Posisi geografis
dan geodinamik Indonesia telah menempatkan tanah air kita sebagai salah satu
wilayah yang rawan bencana alam (natural disaster prone region). Untuk mengurangi
dan menyelamatkan korban bencana tersebut, diperlukan cara penanganan yang jelas
(efektif, efisien, dan terstruktur) untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan
dengan kesiap-siagaan dan penanggulangan bencana.
Perawat memiliki andil dalam menangani masalah di bidang
kegawatdaruratan bencana yaitu dengan cara mengembangkan keilmuan,
kompetensi, wawasan, dan profesionalisme serta berpikir kritis dalam sistem
penanggulan gawat darurat terpadu di Indonesia. Untuk penanganan di dalam rumah
sakit terutama di IGD dan ICU juga sangat diperlukan perawat yang cepat, tanggap
dan tepat dalam menangani pasien, sehingga dibutuhkan peningkatan pengetahuan
yang berkesinambungan melalui pendidikan formal maupun informal. Peningkatan
keterampilan perawat merupakan hal yang penting untuk dilakukan terutama pada
penanganan kondisi kegawatdaruratan. Penanganan yang cepat dan tepat akan
menurunkan angka mortalitas dan kecacatan.
Sehingga kelompok tertarik untuk melakukan tinjauan literature tentang
Rapid Response Team and Transport Disaster Management Implications for the
Critical Care.
B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui konsep dalam Rapid
Response Team and Transport Disaster Management Implications for the Critical
Care
1. Tujuan Khusus
a. Mengetahui konsep Natural Disaster
b. Mengetahui peran sektor kesehatan terutama perawat dalam kejadian
bencana
c. Mengetahui konsep Rapid Response Team and Transport
d. Mengetahui konsep Disaster Management Implications for the Critical
Care
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
Untuk pasien dengan kegawatan medis respon tim untuk tim sekunder adalah
segera maksimal 5 menit sejak adanya panggilan code blue sekunder
3. Transportasi Pasien
a. Perencanaan Transportasi untuk Evakuasi Fokus pada Kinerja Jaringan
Jalan Model dengan Penggunaan User Equilibrium (UE) Pengembangan
model proses evakuasi dengan memanfaatkan algoritma cepat untuk
mensimulasikan pergerakan lalulintas selama evakuasi dengan program
komputer evakuasi massa MASSVAC versi 3.0 dan versi 4.0 (Hobeika dan
Kim, 1998). UE assignment didasarkan pada konsep bahwa untuk setiap
Pasangan OD (asal-tujuan), waktu perjalanan pada semua jalur yang
digunakan adalah sama dan lebih singkat dari waktu perjalanan yang akan
dialami oleh kendaraan pada setiap jalur yang tidak terpakai. Ini juga
mengasumsikan bahwa pengendara akan mencoba untuk meminimalkan
waktu perjalanan mereka di setiap kemungkinan rute. Selain itu,
diasumsikan bahwa pengendara secara konsisten membuat keputusan yang
benar mengenai pilihan rute dan bahwa semua individu identik dalam
perilaku mereka.
b. Model dengan Penjadwalan Waktu Evakuasi dan Pengaturan Lalulintas
Mengevakuasi populasi dalam skala besar merupakan pekerjaan yang
sangat rumit dan sulit, sangat bergantung pada pemanfaatan sistem
transportasi secara efisien, dan skema evakuasi yang efektif. Dalam rangka
untuk mengembangkan kemampuan pemodelan evakuasi darurat, yang
memerlukan integrasi dari waktu evakuasi dan model pilihan rute yang hati-
hati dan optimal, serta model simulasi lalulintas (Chiu, 2004).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Echevarría-Zuno et al., 2013) Ada dua
faktor utama evakuasi pasien ICU: pertama terkait dengan perawatan yang
dibutuhkan dan kedua yang menilai kondisi pasien dan kebutuhan untuk
mendukung kehidupan. Perencanaan untuk bencana terutama difokuskan pada
triase awal, dan manajemen di departemen darurat. Di ICU, triase harus
mengidentifikasi situasi di mana tingkat yang lebih tinggi dari perawatan sesuai
dengan kompleksitas kondisi rawat.
Mechanical
ventilatory support
No Yes
Specific
Group 1 Transport And
SOFA
Support Needs
Group 2
Need for
Group 3 Transport
a. Kriteria klasifikasi :
1) Kebutuhan untuk dukungan ventilasi mekanis. Sebagian besar pasien di ICU
membutuhkan ventilasi mekanis; karenanya, ini menempati urutan pertama
menurut klasifikasi. Persyaratan untuk ventilasi mekanis menyiratkan
batasan untuk evakuasi segera karena mengharuskan ketersediaan peralatan
ini di zona aman tempat pasien akan dipindahkan
2) Tingkat status kesadaran dievaluasi sesuai dengan GCS Skala ini mudah
diterapkan dan tersebar luas di antara semua tenaga medis dan paramedis.
Keputusan kami untuk menggunakan adalah karena memungkinkan klasifikasi
pasien yang cepat. Mengevaluasi tiga parameter independen: membuka mata
(4 poin), respon verbal (5 poin) dan respon motorik (6 poin). Nilai
maksimum dan rata-rata adalah 15 dan minimum itu 3. Pasien dievaluasi
dengan skor sebagai berikut: terjaga (15-13 poin), efek mengantuk atau sisa
sedasi (12-9) dan dibius atau dalam keadaan koma (<8)
3) Poin menurut skala SOFA (Sequential Ataugan Kegagalan Assessment).
Variabel ini biasanya diterapkan pada pasien dengan ventilasi mekanik,
hemodinamik atau kerusakan multiorgan dan prioritas untuk evakuasi harus
ditentukan sesuai dengan tingkat keparahan dan kesempatan untuk bertahan
hidup. Dalam banyak kasus, mobilisasi pasien sakit kritis mungkin kondisi
ketidakstabilan hemodinamik atau ventilasi, menyebabkan shock dan
kematian. SOFA mampu menyediakan parameter untuk mengidentifikasi
evakuasi menurut prognosis pasien. Pentingnya titik ini untuk menentukan
triase . evakuasi adalah salah satu yang mengingatkan kita bahwa indikasi
untuk mengevakuasi ICU tidak boleh dianggap enteng karena keputusan
yang buruk dapat menimbulkan masalah.
4) Kebutuhan peralatan pendukung untuk evakuasi adalah peralatan yang
diperlukan untuk transfer pasien. Jumlah obat dan perangkat iden- sary
untuk mobilisasi dan untuk pemeliharaan di lokasi pemindahan (zona aman)
harus ditentukan. Mobilisasi pasien yang sadar dengan i.v. obat-obatan dan
pemantauan harus dilakukan secara individual, misalnya, pasien jantung
yang menunggu kateterisasi, pasien yang sadar tanpa ventilasi mekanik,
pasien yang memerlukan mobilisasi en bloc karena cedera tulang belakang
dada dan pasien dengan tabung endopleural akibat hemopneumothorax.
b. Transportasi Interfasilitas
Pasien kritis seringkali harus di pindahkan antar fasilitas perawatan, hal ini
mungkin terjadi karena pasien harus menjalani beberapa pemeriksaan
diagnostik. Terkadang permintaan keluarga juga dapat menginisiasi
terjadinya pemindahan pasien. Apapun yang menjadi alasan pemindahan
pasien, harus dipastikan bahwa tenaga kesehatan terlebih dahulu
menganalisis risiko yang mungkin terjadi selama pemindahan. American
College of Emergency Physicians (ACEP) telah membuat sebuah daftar
tanggung jawab dalam hal ini, antara lain: (Morton dan Fontaine, 2013).
1) Dokter yang mengirimkan pasien harus melakukan pengkajian pasien
dan menentukan tingkat perawatan yang tepat selama pemindahan.
2) Dokter yang menerima memastikan bahwa fasilitas yang ia miliki
memiliki peralatan yang sanggup memenuhi kebutuhan pasien yang
akan diterima.
c. Fase Transport Interfasilitas
Terdapat lima fase yang dilaksanakan selama proses transport dilaksanakan,
antara lain: (Morton dan Fontaine, 2013).
1) Pemberitahuan dan penerimaan oleh fasilitas yang akan menerima
pasien.
Fase ini mengharuskan pemberitahuan kepada fasilitas penerima
untuk menentukan kesiapan mereka menerima pasien, dan untuk
menentukan cara pemindaahn. Komunikasi merupakan elemen yang
penting dalam fase ini, dimana semua orang yang terlibat memberikan
atau menerima informasi yang tepat, akurat, dan penting, untuk membuat
suatu keputusan perpindahan pasien. Identifikasi terhadap dokter yang
bertanggung jawab sangat penting sebagai untuk penyedia konsultasi
saat dalam perjalanan maupun saat ketibaan pasien.
American Association of Critical Nurse (AACN), American College of
Critical Care Medicine, dan Society of Critical Care Medicine (SCCM),
menetapkan pedoman untuk personel penyerta pada pemindahan
Antarfasilitas.
a) Minimal 2 orang selain supir kendaraan harus menyertai pasien
b) Minimal salah satu dari personel penyerta harus seorang perawat
terdaftar, dokter, atau teknisi medis kegawatan lanjut.
c) Ketika dokter tidak dapat menyertai pasien, seharusnya ada sebuah
mekanisme untuk mengkomunikasikan setiap perubahan status
pasien dengan dokter dan mendapatkan program tambahan. Apabila
seorang dokter penyerta tidak ada, wewenang lanjut melalui standar
order untuk melakukan intervensi bantuan hidup aku harus
diberlakukan.
2) Persiapan pasien oleh tim transport.
Tim transport yang akan membawa pasien harus mendapatkan
informasi mengenai keluhan pasien, alergi, riwayat penyakit pasien,
alasan pemindahan pasien, usia pasien, tanda-tanda vital, dan hasil yang
diharapkan. Rangkap hasil dari bagan dan seluruh radiografi harus
dibawa bersama dengan pasien. Apabila transport dilakukan oleh seorang
perawat, maka perawat yang membawa harus memberikan informasi
terbaru kepada perawat yang akan menerima pasien.
Tim transport melakukan pengkajian dan membandingkannya
dengan pengkajian sebelumnya untuk mengetahui alat-alat atau
kemungkinan kebutuhan yang harus disediakan. Selain itu penting juga
untuk mempersiapkan psikososial pasien dan keluarga sebelum proses
transportasi dilaksanakan. Perawat harus memastikan bahwa pasien dan
keluarga benar-benar mengerti proses perpindahan baik alasan, jenis
transportasi, waktu transportasi, dan tujuan pemindahan pasien.
Persiapan fisik pasien merupakan langkah yang penting untuk
memastikan pemindahan pasien yang aman. Perawatan ABC (Airway,
Breathing, Circulation) merupakan prioritas utama.
3) Proses pemindahan
Waktu yang diperkirakan akan habis selama pemindahan dan stabilisasi
pasien akan mepermudah proses transportasi. Kendaraan yang digunakan
selama pemindahan harus memiliki peralatan yang dibutuhkan selama
memindahkan pasien kritis. Prinsip ABC terus berlanjut menjadi prioritas
yang utama.
4) Perpindahan pasien ke fasilitas yang dirujuk
Fase ini dimana merupakan proses dimana serah terima antara pengirim
dan fasilitas yang dirujuk. Perencanaan ini mungkin termasuk berhenti di
unit gawat darurat untuk stabilisasi pasien. Saat pasien tiba dengan selama
di fasilitas yang dirujuk, maka tanggung jawab pasien akan dilanjutkan
oleh fasilitas tersebut.
5) Peningkatan kualitas monitoring berkelanjutan setelah transport.
Fase ini merupakan fase sangat penting dimana fasilitas pengirim pasien
dan penerima pasien akan melakukan tinjau ulang proses pemindahan
pasien untuk meningkatkan kualitas proses transport.
h. Transport Intrafasilitas
Proses yang dilaksanakan dalam pemindahan pasien intrafasilitas
misalnya untuk pemeriksaan diagnostik atau pengobatan di dalam rumah sakit.
Saat hal ini terjadi, maka harus dipertimbangkan apakah proses yang
dilaksanakan memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan risiko yang
mungkin akan terjadi. Kejadian yang tidak diharapkan mungkin terjadi dengan
peluang 5.9% hingga 70%, kejadian ini biasanya gagal dalam dua kategori.
Kategori pertama, terkait dengan peralatan monitoring dan penggunaannya.
Kategori kedua, terjadi perubahan fisiologi pasien, seperti tekanan darah,
hipoksia, disritmia, dan peningkatan tekanan intrakranial. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, biasanya rumah sakit akan membuat tim khusus untuk transpor
pasien intrafasilitas selain untuk mengatasi tenaga ICU yang tidak adekuat saat
proses transport berlangsung apabila menggunakan tenaga ICU untuk
melakukan proses pemindahan pasien. (Morton dan Fontaine, 2013).
Tidak
Kaji kondisi pasien
Apakah stabil?
Tidak
Ya
Bandingkan keuntungan dan Tidak
risiko transfer. Lanjutkan manajemen
Apakah pasien menjadi perencanan
kandidat untuk transfer?
Ya
Ya
Awal perpindahan
- Sedasi pasien sesuai kebutuhan
- Restrain sesuai kebutuhan
Rekam medis dijaga selama
perpindahan
Ikuti protokol
Komunikasi dengan perintah medis
sesuai kebutuhan
a. Kondisi korban;
b. Taksiran kebutuhan;
c. Kecepatan dan ketepatan;
d. Fokus yang dibantukan;
e. Target akhir.
f. Pada pemberdayaan masyarakat
1) Korban adalah manusia yang aktif dengan berbagai kemampuan dan
kapasitas
2) Taksiran kebutuhan dilakukan dengan seksama dengan memperhatikan
kapasitas yang ada
3) Sejak awal harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari bantuan
luar dan perlu menghormati gagasan dan kapasitas yang ada pada
masyarakat setempat
4) Walaupun kita memberikan bendabenda fisik dan material yang dibu-
tuhkan, kita harus mendukung kapasitas dan sisi sosial/kelembagaan serta
sisi sikap/motivasi.
5) Tujuannya adalah mengurangi kerentanan dalam jangka panjang dan
untuk mendukung peningkatan kapasitas
2. Rumah Sakit
Penerimaan di Rumah Sakit dan Pengobatan Di rumah sakit, struktur
perintah yang jelas diperlukan dan pelaksanaan triase harus menjadi tanggung
jawab dari klinisi yang berpengalaman hal ini dapat berarti hidup atau mati bagi
si pasien, dan akan menetapkan prioritas dan aktivitas dari keseluruhan petugas.
Prosedur terapetik harus dipertimbangkan secara ekonomis baik mengenai sumber
daya manusia maupun material. Penanganan medis ini pertama harus
disederhanakan dan bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan menghindari
komplikasi atau masalah sekunder yang besar:
a. Prosedur yang distandarisasi (telah ditetapkan secara sungguh-sungguh),
seperti tindakan debridemen yang diperluas, penundaan penutupan luka
primer, penggunaan bidai dibandingkan perban sirkuler, dapat memberikan
penurunan mortalitas dan kecacatan jangka panjang yang berarti.
b. Proses Penyiagaan Pesan siaga dari pusat komunikasi harus disampaikan
langsung kepada Unit Gawat Darurat (melalui telepon atau radio). Kepala
penanganan korban massal yang ditunjuk di Rumah sakit harus mengaktifkan
rencana penanganan korban massal. Dan mulai memanggil tenaga penolong
yang dibutuhkan.
c. Mobilisasi Jika bencana terjadi dalam radius 20 menit dari Rumah Sakit, Tim
Siaga Penanggulangan Bencana di Rumah Sakit akan segera diberangkatkan
ke lokasi kejadian. Jika bencana tersebut terjadi dalam jarak lebih dari 20
menit dari Rumah Sakit, tim tersebut hanya akan diberangkatkan berdasarkan
permintaan Tim Kesehatan Daerah. Dalam bencana yang cenderung
menimbulkan banyak korban (kecelakaan pesawat terbang, kebakaran di atas
kapal) tim ini harus segera diberangkatkan ke lokasi kecelakaan tersebut.
d. Pengosongan Fasilitas Penerima Korban Harus diusahakan untuk
menyediakan tempat tidur di Rumah Sakit untuk menampung korban bencana
massal yang akan dibawa ke Rumah Sakit tersebut. Untuk menampung
korban, Pos Komando Rumah Sakit harus segera memindahkan para
penderita rawat inap yang kondisinya telah memungkinkan untuk
dipindahkan.
e. Perkiraan Kapasitas Rumah Sakit Daya tampung Rumah Sakit ditetapkan
tidak hanya berdasarkan jumlah tempat tidur yang tersedia, tetapi juga
berdasarkan kapasitasnya untuk merawat korban. Dalam suatu kecelakaan
massal, “permasalahan” yang muncul dalam penanganan korban adalah
kapasitas perawatan Bedah dan Unit Perawatan Intensif. Korban dengan
trauma multipel, umumnya akan membutuhkan paling sedikit dua jam
pembedahan. Jumlah kamar operasi efektif (mencakup jumlah kamar operasi,
dokter bedah, ahli anestesi dan peralatan yang dapat berjalan secara simultan)
merupakan penentu kapasitas perawatan Bedah, dan lebih jauh kapasitas
Rumah Sakit dalam merawat korban.
f. Penerimaan Pasien
Lokasi Tempat penerimaan korban di Rumah Sakit adalah tempat dimana
triase dilakukan. Untuk hal itu dibutuhkan:
1) Akses langsung dengan tempat dimana ambulans menurunkan korban
2) Merupakan tempat tertutup
3) Dilengkapi dengan penerangan yang cukup
4) Akses yang mudah ke tempat perawatan utama seperti Unit Gawat
Darurat, Kamar Operasi, dan Unit Perawatan Intensif. Jika
penatalaksanaan pra Rumah Sakit dilakukan secara efisien jumlah
korban yang dikirim ke Rumah Sakit akan terkontrol sehingga setelah
triase korban dapat segera dikirim ke unit perawatan yang sesuai dengan
kondisi mereka. Tetapi jika hal ini gagal akan sangat banyak korban yang
dibawa ke Rumah Sakit sehingga korban-korban tersebut harus
ditampung terlebih dahulu dalam satu ruangan sebelum dapat dilakukan
triase. Dalam situasi seperti ini daya tampung Rumah Sakit akan segera
terlampaui.
g. Tenaga Pelaksana Petugas triase di Rumah Sakit akan memeriksa setiap
korban untuk konfirmasi triase yang telah dilakukan sebelumnya, atau untuk
melakukan kategorisasi ulang status penderita. Jika penatalaksanaan pra
Rumah Sakit cukup adekuat, triase di Rumah Sakit dapat dilakukan oleh
perawat berpengalaman di Unit Gawat Darurat. Jika penanganan pra-rumah
sakit tidak efektif sebaiknya triase di Rumah Sakit dilakukan oleh dokter
Unit Gawat Darurat atau ahli anestesi yang berpengalaman.
h. Hubungan dengan Petugas Lapangan Jika sistem penataksanaan korban
bencana massal telah berjalan baik akan dijumpai hubungan komunikasi
yang konstan antara Pos Komando Rumah Sakit, Pos Medis Lanjutan, dan
Pos Komando Lapangan. Dalam lingkungan Rumah Sakit, perlu adanya
aliran informasi yang konstan antara tempat triase, unit-unit perawatan
utama dan Pos Komando Rumah Sakit. Ambulans harus menghubungi
tempat triase di Rumah Sakit lima menit sebelum ketibaannya di Rumah
Sakit.
i. Tempat Perawatan Di Rumah Sakit
1) Tempat Perawatan Merah Untuk penanganan korban dengan trauma
multipel umumnya dibutuhkan pembedahan sedikitnya selama dua jam.
Di kota-kota atau daerah-daerah kabupaten dengan jumlah kamar
operasi yang terbatas hal ini mustahil untuk dilakukan sehingga
diperlukan tempat khusus dimana dapat dilakukan perawatan yang
memadai bagi korban dengan status “merah”. Tempat perawatan ini
disebut “tempat perawatan merah” yang dikelola oleh ahli anestesi dan
sebaiknya bertempat di Unit Gawat Darurat yang telah dilengkapi
dengan peralatan yang memadai dan disiapkan untuk menerima
penderita gawat darurat.
2) Tempat Perawatan Kuning Setelah triase korban dengan status
“kuning” akan segera dipindahkan ke Perawatan Bedah yang
sebelumnya telah disiapkan untuk menerima korban kecelakaan massal.
Tempat ini dikelola oleh seorang dokter. Di tempat perawatan ini secara
terus menerus akan dilakukan monitoring, pemeriksaan ulang kondisi
korban dan segala usaha untuk mempertahankan kestabilannya. Jika
kemudian kondisi korban memburuk, ia harus segera dipindahkan ke
tempat “merah”.
3) Tempat Perawatan Hijau Korban dengan kondisi “hijau” sebaiknya
tidak dibawa ke Rumah Sakit, tetapi cukup ke Puskesmas atau klinik-
klinik. Jika penatalaksanaan pra Rumah Sakit tidak efisien, banyak
korban dengan status ini akan dipindahkan ke Rumah Sakit. Harus
tercantum dalam rencana penatalaksanaan korban bencana massal di
Rumah Sakit upaya untuk mencegah terjadinya hal seperti ini dengan
menyediakan satu tempat khusus bagi korban dengan status “hijau” ini.
Tempat ini sebaiknya berada jauh dari unit perawatan utama lainnya.
Jika memungkinkan, korban dapat dikirim ke Puskesmas atau klinik
terdekat.
4) Tempat Korban dengan Hasil Akhir/Prognosis Jelek Korban-korban
seperti ini, yang hanya membutuhkan perawatan suportif, sebaiknya
ditempatkan di perawatan/bangsal yang telah dipersiapkan untuk
menerima korban kecelakaan massal.
5) Tempat Korban Meninggal Sebagai bagian dari rencana
penatalaksanaan korban bencana massal di Rumah Sakit harus
disiapkan suatu ruang yang dapat menampung sedikitnya sepuluh
korban yang telah meninggal dunia.
j. Evakuasi Sekunder Pada beberapa keadaan tertentu seperti jika daya
tampung Rumah Sakit terlampaui, atau korban membutuhkan perawatan
khusus (mis., bedah saraf), korban harus dipindahkan ke Rumah Sakit lain
yang menyediakan fasilitas yang diperlukan penderita. Pemindahan seperti
ini dapat dilakukan ke Rumah Sakit lain dalam satu wilayah, ke daerah atau
provinsi lain, atau bahkan ke negara lain. Pelayanan medis spesialistik,
seperti bedah saraf, mungkin tersedia pada rumah sakit di luar area bencana.
Namun, evakuasi medis semacam ini harus dengan hati-hati dikontrol dan
terbatas bagi pasien yang memerlukan penanganan spesialistik yang tidak
tersedia pada area bencana. Kebijakan mengenai evakuasi harus
distandardisasi diantara tenaga kesehatan yang memberikan bantuan
pemulihan di area bencana, dan kepada rumah sakit yang akan menerima
pasien. Rumah sakit darurat yang dilengkapi petugas dan mandiri, dari pihak
pemerintah, militer, palang merah atau pihak swasta didalam negeri atau
dari negara tetangga yang memiliki kultur dan bahasa yang sama, dapat
dipertimbangkan penggunaannya dalam kasus yang ekstrim tetapi lihat
masalah yang potensial. Rumah sakit didaftarkan sesuai dengan lokasi
geografiknya, dimulai dari yang terdekat dengan lokasi bencana.
b. Memperluas kapasitas
Jika terjadi bencana, langkah-langkah seperti memindahkan pasien ke lantai
umum dan memanggil semua staf yang tidak bertugas akan diperkirakan
meningkatkan kapasitas tempat tidur yang tersedia sebesar 50%. Rumah sakit
menggandakan atau melipatgandakan kapasitas ICUnya dan melakan transfer
pasien ke rumah sakit lain baik secara local atau regional.
c. Proses standar, respon disesuaikan
Rencana perawatan korban massal pasien kritis tidak akan sama untuk setiap
ICU, setiap rumah sakit, atau setiap komunitas, dalam keadaan seperti itu,
standar perawatan kritis tidak dapat dipertahankan. Seperti Pada Juni 2004,
Kelompok Kerja Perawatan Mass Critical Emergency, yang terdiri dari para
ahli dari berbagai bidang yang melibatkan perawatan kritis atau manajemen
rumah sakit, berkumpul untuk mengembangkan pedoman untuk
7. Bencana Alam
Bencana alam adalah kejadian yang merupakan kombinasi dari kejadian alami
(banjir, gempa, topan, tornado, tanah longsor, gunung meletus, badai) dengan
campur tangan manusia. Persiapan yang kurang dalam menghadapi bencana akan
berdampak buruk pada populasi. RS dan pelayanan kesehatan berperan penting
dalam mitigasi bencana. RS dan personel administrasinya harus siap dan memiliki
perencanaan bila terjadi bencana. (Morton dan Fontaine, 2013).
Pandemi influenza akan menjadi bencana alam yang berkembang di masa
mendatang. Walaupun vaksin dan antivirus telah dikembangkan. Namun RS dan
pelayanan kesehatan terutama perawat harus selalu siap akan terjadinya wabah
yang berkembang. Apalagi perawat yang berperan langsung dalam merawat
pasien. Wabah H1N1 yang berkembang di tahun 2009. Kasus berkembang
terutama pada populasi muda usia 29 tahun. WHO menetapkan sebagai pandemi
sejak 3 bulan H1N1 muncul. (Morton dan Fontaine, 2013).
Pemerintah dan RS bekerja sama membuat rencana penanggulangan bencana.
Gejala H1N1 yang paling umum adalah demam, batuk, tenggorokan nyeri.
Beberapa persen pasien memerlukan perawatan di RS dan berakhir di ICU dan
meninggal. Perawatan yang diperlukan adalah oksigenasi membran
ekstracorporeal (ECMO), operasi bypass paru, ventilator untuk gagal nafas.
Beberapa sumber terkait H1N1 dapat ditemukan di situs CDC dan WHO.
Dokumen pencegahan juga dapat dibaca di The Association of Infection Control
Practicioner (APIC). (Morton dan Fontaine, 2013).
Penyediaan bantuan medis selama keadaan darurat dan prosedur selama bencana
memerlukan unit perawatan medis fungsional meskipun fenomena yang
mengganggu yang dihadapi masyarakat. Konflik terjadi ketika unit medis
memerlukan dukungan dan kebutuhan untuk evakuasi, terutama evakuasi pasien
di unit perawatan kritis. Menurut literature Perencanaan untuk bencana terutama
difokuskan pada triase awal, dan manajemen di departemen darurat. Di ICU, triase
harus mengidentifikasi situasi di mana tingkat yang lebih tinggi dari perawatan
sesuai dengan kompleksitas kondisi rawat Koordinasi tidak hanya harus berada di
antara daerah rumah sakit tetapi juga dengan rumah sakit lain. rencana dukungan
untuk evakuasi dan menerima pasien di unit lain harus distandarisasi sesuai
dengan kebutuhan mentransfer, terutama mentransfer pasien sesuai dengan
tingkat kompleksitas penyakit mereka
DAFTAR PUSTAKA
Bellomo, R., Maegele, M., Harris, T., Brattebø, G., Østerås, Ø., & Bellomo, R.
(2018). Pre-ICU Rapid response teams. ICU Management & Practice, 18(2).
DeVita, M., Hilmman, K., & Bellomo, R. (2006). Medical Emergency Teams. USA:
Springer.