Anda di halaman 1dari 39

MATAKULIAH

KONSEP DASAR KEPERAWATAN KRITIS

RAPID RESPON TEAM DAN TRANSPORT


DISASTER MANAGEMENT : IMPLIKASI PADA AREA KRITIS

DISUSUN OLEH

Aditya Pratama : 220120180028


Gita Maya Sari : 220120180057
M. Nur Hidayah : 220120180031

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Lalar Belakang
Negara Indonesia rentan sekali terhadap bencana. Menurut Badan Nasional
Penanggualangan Bencana, tren bencana 10 tahun terakhir yaitu Banjir, tanah
longsor, puting beliung, kebakaran hutan dan lahan, gempa bumi, tsunami, letusan
gunung berapi, gelombang pasang atau abrasi, serta kekeringan. Pada tahun 2018,
banjir terjadi 374 kali, puting beliung 433, dan tanah longsor 268, serta kebakaran
hutan dan lahan 36 kali. Belum lagi kejadian kecelakaan lalu lintas sebanyak 5400
kejadian.
Keperawatan Kritis atau Critical Care Nursing merupakan area keperawatan
untuk melayani pasien sejak di pra rumah sakit / ambulance, Instalasi Gawat Darurat
(IGD), kamar bedah, ruang pemulihan, dan ruang perawatan intensif. Posisi geografis
dan geodinamik Indonesia telah menempatkan tanah air kita sebagai salah satu
wilayah yang rawan bencana alam (natural disaster prone region). Untuk mengurangi
dan menyelamatkan korban bencana tersebut, diperlukan cara penanganan yang jelas
(efektif, efisien, dan terstruktur) untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan
dengan kesiap-siagaan dan penanggulangan bencana.
Perawat memiliki andil dalam menangani masalah di bidang
kegawatdaruratan bencana yaitu dengan cara mengembangkan keilmuan,
kompetensi, wawasan, dan profesionalisme serta berpikir kritis dalam sistem
penanggulan gawat darurat terpadu di Indonesia. Untuk penanganan di dalam rumah
sakit terutama di IGD dan ICU juga sangat diperlukan perawat yang cepat, tanggap
dan tepat dalam menangani pasien, sehingga dibutuhkan peningkatan pengetahuan
yang berkesinambungan melalui pendidikan formal maupun informal. Peningkatan
keterampilan perawat merupakan hal yang penting untuk dilakukan terutama pada
penanganan kondisi kegawatdaruratan. Penanganan yang cepat dan tepat akan
menurunkan angka mortalitas dan kecacatan.
Sehingga kelompok tertarik untuk melakukan tinjauan literature tentang
Rapid Response Team and Transport Disaster Management Implications for the
Critical Care.
B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui konsep dalam Rapid
Response Team and Transport Disaster Management Implications for the Critical
Care
1. Tujuan Khusus
a. Mengetahui konsep Natural Disaster
b. Mengetahui peran sektor kesehatan terutama perawat dalam kejadian
bencana
c. Mengetahui konsep Rapid Response Team and Transport
d. Mengetahui konsep Disaster Management Implications for the Critical
Care
BAB II
TINJAUN PUSTAKA

A. Definisi Natural Disaster


Menurut UU No. 24 tahun 2007, pengertian bencana adalah Peristiwa
atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis (Toha, 2007). Pengertian bencana menurut International Strategy for
Disaster Reduction (2004) adalah suatu gangguan serius terhadap aktivitas di
masyarakat yang menyebabkan kerugian luas pada kehidupan manusia dari segi
materi, ekonomi atau lingkungan dan melampaui kemampuan masyarakat yang
bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri.
World Health Organization (WHO), mendefinisikan bencana adalah
Kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian
kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang
bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. Akibatnya,
mereka membutuhkan makanan, pakaian, tempat berlindung, perawatan medis dan
keperawatan serta kebutuhan hidup lainnya, termasuk perlindungan terhadap faktor
dan kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Setiap tahun bencana alam
menewaskan sekitar 90.000 orang dan mempengaruhi hampir 160 juta orang di
seluruh dunia (WHO, 2019).

B. Peran sektor Kesehatan dalam respon bencana


Sektor kesehatan memiliki peran besar dalam penanggulangan bencana pada
tiga tahapan bencana yang telah disebutkan diatas. Terutama dalam dalam
perencanaan dan respons bencana (fase tanggap darurat), sektor kesehatan
melakukan tugas yang berbeda dari rutinitas biasa, untuk melakukan kegiatan dalam
kondisi sangat mendesak dan ketidakpastian. Tugas-tugas yang paling penting dari
sektor kesehatan adalah komunikasi (termasuk lintas sektor), search and rescue,
triase, evakuasi dan transportasi korban cedera termasuk perawatan pra-rumah sakit,
perawatan trauma termasuk perawatan pembedahan, pelacakan korban dan respon
pertanyaan publik, mengelola sumbangan medis, mengelola kontaminasi, dan
berespon dalam penanganan kehilangan infrastruktur fasilitas kesehatan termasuk
survailance dan pengendalian vektor penyakit akibat bencana di tempat pengungsian
(Heide, & Scanlon, 2007; Shoaf, 2014).
Pada saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi sumber daya manusia
kesehatan yang tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan Krisis yang meliputi:
1). Tim Reaksi Cepat (tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 0-24
jam setelah ada informasi kejadian bencana, terdiri dari dokter dokter umum, dokter
bedah, dokter anestesi, perawat mahir, Tenaga Disaster Victims Identification,
apoteker dan supir ambulans); 2). Tim Penilaian Cepat (Tim Rapid Health
Assesment (RHA) merupakan tim yang bisa diberangkatkan bersamaan dengan Tim
Reaksi Cepat atau menyusul dalam waktu kurang dari 24 jam, terdiri dari dokter
umum, epidemiolog, dan sanitarian) 3). Tim Bantuan Kesehatan (Tim yang
diberangkatkan berdasarkan kebutuhan setelah Tim Reaksi Cepat dan Tim RHA
kembali dengan laporan hasil kegiatan mereka di lapangan, terdiri dari dokter umum,
perawat, bidan, apoteker, sanitarian, tenaga surveilans, dan entomolog (Machmud,
2009).

C. Kompetensi perawat dalam Bencana


International Council of Nurses (ICN) mengembangkan kerangka ICN dari
Kompetensi Keperawatan Bencana yang terdiri dari empat bidang utama;
kompetensi mitigasi/pencegahan, kompetensi kesiapsiagaan, kompetensi respons,
dan kompetensi pemulihan/rehabilitasi. Setiap area memiliki domain yang berbeda
untuk mempersempit fokus kompetensi. Pertama, kompetensi mitigasi/pencegahan
terdiri dari dua domain, yaitu pengurangan risiko pencegahan penyakit dan promosi
kesehatan, serta pengembangan dan perencanaan kebijakan. Selanjutnya, adalah
kompetensi kesiapsiagaan dan domainnya adalah praktik etis, praktik hukum dan
akuntabilitas, komunikasi dan pertukaran informasi, serta pendidikan dan
kesiapsiagaan. Ketiga, kompetensi bidang terdiri dari perawatan komunitas,
perawatan individu dan keluarga, perawatan psikologis dan perawatan populasi
rentan. Terakhir, kompetensi pemulihan/rehabilitasi termasuk pemulihan jangka
panjang individu, keluarga dan masyarakat (World Health Organization &
International Council of Nurses, 2009). Kerangka kerja kompetensi ICN berfungsi
sebagai landasan untuk mempersiapkan kursus pendidikan bencana di universitas.
Dengan demikian, perawat harus memperoleh kompetensi yang tepat untuk
sepenuhnya memenuhi persyaratan organisasi, departemen, dan tempat kerja yang
situasi kerja aktual dapat bervariasi (Alharbi, 2015).

D. Peran perawat dalam disaster managemen


Keperawatan telah menjadi bagian dari respons terhadap berbagai bencana
alam maupun bencana yang berkaitan dengan aktivitas manusia untuk bertahun-
tahun. Perawat bencana disiapkan untuk dapat merawat berbagai pasien yang
mengalami dampak bencana. Peran perawat bencana memiliki banyak segi dan
mencakup praktik, pendidikan, manajemen, konsultasi, advokasi, dan penelitian.
Perawat bencana datang dari berbagai bidang keperawatan khusus atau keahlian dari
berbagai jenis dan tingkatan kepada orang-orang yang mengalami bencana.
Beberapa perhatian telah diberikan kepada keterampilan bencana dan darurat
yang dibutuhkan oleh semua perawat (World Health Organization & International
Council of Nurses, 2009). Berbagai spesialisasi perawat dari seluruh dunia yang
terlibat dalam kompleksitas seluruh spektrum kesehatan bencana mulai dari
perencanaan sebelum acara hingga pemulihan. Berbagai peran perawat tersebut dapat
dilihat pada tabel dibawah ini (ICN, 2017).
Fase Bencana Perencanaan Pencegahan/ Respon Tanggap Respon Jangka Pemulihan
Mitigasi darurat Panjang
Klp. Keperawatan
Perawat praktik secara Mempersiapkan Berpartisipasi Berikan perawatan Memberikan Memberikan perawatan
umum rencana bencana dalam kegiatan segera jika perawatan berkelanjutan kepada siapa
individual dengan masyarakat bertugas di lokasi berkelanjutan kepada saja dengan masalah / masalah
pasien berpartisipasi untuk bencana korban bencana yang pasca bencana yang
dalam perencanaan meminimalkan dirawat di tempat berkepanjangan
di tempat kerja dampak bencana praktik
(semua praktisi di
RS)
Perawat trauma dan Mempersiapkan Idem Mempersiapkan / Memberikan masukan untuk
gawat darurat lokasi kerja untuk menyediakan perbaikan rencana
menerima korban perawatan bagi penanggulangan bencana
yang cidera korban yang
dibawa ke rumah
sakit
Perawat dalam tim Berpartisipasi dalam Idem Berikan perawatan Memrikan perawatan idem
tanggap bencana latihan / persiapan untuk populasi berkelanjutan kepada
untuk mobilisasi yang ditugaskan di korban bencana jika
(aktif dalam lokasi bencana mobilisasi berlanjut
pelatihan)
Perawat pengambil Measukkan Idem Pengorganisasian Memastikan bahwa Mengambil langkah-langkah
kebijakan perspektif untuk menerima perawatan lanjutan untuk membantu
keperawatan dalam korban yang diperlukan mengembalikan organisasi ke
perencanaan diberikan kepada keadaan sebelum bencana.
para korban Mengevaluasi semua kegiatan
respons keperawatan dan
memperbaiki perencanaan
kedepannya
E. Rapid Respon Team Dan Transport Pasien Kritis
1. Rapid Respon Team
Tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 0–24 jam setelah ada
informasi kejadian bencana. Untuk melaksanakan tugas tersebut diatas, TRC
mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Melaksanakan pengkajian awal segera setelah terjadi bencana pada saat
tanggap darurat.
b. Membantu SATKORLAK PB/BPBD Provinsi/SATLAK PB/BPBD
Kabupaten/Kota untuk :
1) Mengaktivasi Posko SATKORLAK PB/BPBD Provinsi/SATLAK
PB/BPBD Kabupaten/Kota.
2) Memperlancar koordinasi dengan seluruh sektor yang terlibat dalam
penanganan bencana.
3) Menyampaikan saran yang tepat dalam untuk upaya penanganan
bencana.
c. Melaporkan hasil pelaksanaan tugas secara periodik kepada Kepala BNPB
dengan tembusan atasan langsung anggota Tim dari sektor terkait dan
SATKORLAK PB/BPBD Provinsi/SATLAK PB/BPBD Kabupaten/Kota :
1) Laporan awal setelah tiba di lokasi bencana.
2) Laporan berkala/perkembangan (harian dan insidentil/khusus).
3) Laporan lengkap/akhir penugasan
d. Tim Reaksi Cepat terdiri dari
1) Pelayanan Medik
a) Dokter Umum/BSB : 1 org
b) Dokter Sp. Bedah : 1 org
c) Dokter Sp. Anestesi : 1 org
d) Perawat Mahir (Perawat bedah, gadar) : 2 org
e) Tenaga Disaster Victims Identification (DVI) : 1 org
f) Apoteker/Ass. Apoteker : 1 org
g) Sopir Ambulans : 1 org
2) Surveilans Epidemiolog/Sanitarian : 1 org
3) Petugas Komunikasi : 1 org
2. Rapid Respon Team Pasien Kritis
Rapid respon team atau tim medis gawat darurat pertama dibentuk tahun
1990 di RS Liverpool Australia dibuat untuk mendeteksi awal pasien kritis dan
memanajemen pasien sebelum masuk RS supaya tidak terjadi cardiac arrest dan
kematian. Sistem rapid respon team berdasarkan 3 komponen utama yaitu
deteksi awal pasien yang memburuk, pertolongan cepat oleh tim medis yang
terlatih advance resusitasi, dan pengkajian awal pasien. Peran rapid repon team
menurut Morton antara lain: (Morton dan Fontaine, 2017).
b. Mengkaji pasien
c. Melakukan stabilisasi pasien sesuai protokol rapid respon
d. Mengumpulkan data ( tanda-tanda vital, rontgen dan laboratorium)
e. Memberikan arahan dan dukungan kepada perawat yang menelpon
f. Mengkomunikasikan dengan tim kesehatan
g. Membantu triase
h. Membantu transfer pasien ke level yang lebih tinggi.
Sedangkan menurut (DeVita, Hilmman, & Bellomo, 2006) Rapid Response
Teams (RRTs) adalah komponen kunci dari Rapid Response Systems. Sistem
penyelamatan berbasis RRT dikembangkan sebagai tanggapan terhadap bukti
bahwa banyak pasien rumah sakit yang memburuk mengalami “kegagalan untuk
menyelamatkan” dan terus mengembangkan kejadian buruk yang serius (SAE),
termasuk kematian, henti jantung, dan penerimaan ICU yang tidak direncanakan
Pendekatan RRT didasarkan pada beberapa konsep utama:
a. Identifikasi pasien yang berisiko
b. Pemberitahuan dini responden (RRT)
c. Intervensi cepat oleh RRT
d. Audit kinerja sistem (DeVita et al., 2006)
Menurut (Bellomo et al., 2018) RRT untuk meninjau pasien pada tahap
awal dari kerusakan klinis dengan tujuan mencegah efek samping yang serius.
RRT biasanya meninjau, menilai dan mengobati pasien dengan pernapasan,
saraf, dan kerusakan jantung.
Menurut (Haryatun & Sudaryanto, 2008) Respon time (waktu tanggap)
adalah kecepatan dalam penanganan pasien dihitung sejak pasien dating sampai
dilakukan penanganan.ukuran keberhasilan respon time adalah 5 menit.. Respon
time juga dikatagorikan dengan perioritas P1 pasien gawat darurat dengan
penanganan 0 menit, pasien gawat dengan penanganan < 30 menit , pasien
darurat dengan penanganan <60 menit. Hal ini dapat dicapai dengan
meningkatkan sarana dan prasarana sumber daya manusia dan manajemen IGD
sesuai standar (Kepmenkes, 2009). Sedangkan System respon cepat code blue
dibentuk untuk memastikan bahwa semua kondisi cardiac respiratory arrest
tertangani dengan resusitasi dan stabilisasi segera mungkin. System respon
terbagi dalam 2 tahap taitu
a. Respon awal (responder pertama) berasal dari petugas rumah sakit baik medis
maupun non medis yang berada disekitar korban
b. Respon awal (responder pertama) berasal dari tim code blue

Untuk pasien dengan kegawatan medis respon tim untuk tim sekunder adalah
segera maksimal 5 menit sejak adanya panggilan code blue sekunder

3. Transportasi Pasien
a. Perencanaan Transportasi untuk Evakuasi Fokus pada Kinerja Jaringan
Jalan Model dengan Penggunaan User Equilibrium (UE) Pengembangan
model proses evakuasi dengan memanfaatkan algoritma cepat untuk
mensimulasikan pergerakan lalulintas selama evakuasi dengan program
komputer evakuasi massa MASSVAC versi 3.0 dan versi 4.0 (Hobeika dan
Kim, 1998). UE assignment didasarkan pada konsep bahwa untuk setiap
Pasangan OD (asal-tujuan), waktu perjalanan pada semua jalur yang
digunakan adalah sama dan lebih singkat dari waktu perjalanan yang akan
dialami oleh kendaraan pada setiap jalur yang tidak terpakai. Ini juga
mengasumsikan bahwa pengendara akan mencoba untuk meminimalkan
waktu perjalanan mereka di setiap kemungkinan rute. Selain itu,
diasumsikan bahwa pengendara secara konsisten membuat keputusan yang
benar mengenai pilihan rute dan bahwa semua individu identik dalam
perilaku mereka.
b. Model dengan Penjadwalan Waktu Evakuasi dan Pengaturan Lalulintas
Mengevakuasi populasi dalam skala besar merupakan pekerjaan yang
sangat rumit dan sulit, sangat bergantung pada pemanfaatan sistem
transportasi secara efisien, dan skema evakuasi yang efektif. Dalam rangka
untuk mengembangkan kemampuan pemodelan evakuasi darurat, yang
memerlukan integrasi dari waktu evakuasi dan model pilihan rute yang hati-
hati dan optimal, serta model simulasi lalulintas (Chiu, 2004).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Echevarría-Zuno et al., 2013) Ada dua
faktor utama evakuasi pasien ICU: pertama terkait dengan perawatan yang
dibutuhkan dan kedua yang menilai kondisi pasien dan kebutuhan untuk
mendukung kehidupan. Perencanaan untuk bencana terutama difokuskan pada
triase awal, dan manajemen di departemen darurat. Di ICU, triase harus
mengidentifikasi situasi di mana tingkat yang lebih tinggi dari perawatan sesuai
dengan kompleksitas kondisi rawat.
Mechanical
ventilatory support

No Yes

Glasgow No Invasive Ventilation High Parameters other


13-15 Low Parameter modes ventilators

Basic Necessities State of Sedated or


of Equipment Consciousness coma Glasgow
And <8

Glasgow Glasgow 9-12 SOFA


13-15 Sedated

Specific
Group 1 Transport And
SOFA
Support Needs
Group 2
Need for
Group 3 Transport

(Echevarría-Zuno et al., 2013)


Tabel 1. Kriteria Untuk Klasifikasi
 Perlu untuk ventilasi mekanik
 Tingkat status kesadaran dievaluasi sesuai dengan GCS
 Skala SOFA
 Butuh untuk peralatan dukungan

a. Kriteria klasifikasi :
1) Kebutuhan untuk dukungan ventilasi mekanis. Sebagian besar pasien di ICU
membutuhkan ventilasi mekanis; karenanya, ini menempati urutan pertama
menurut klasifikasi. Persyaratan untuk ventilasi mekanis menyiratkan
batasan untuk evakuasi segera karena mengharuskan ketersediaan peralatan
ini di zona aman tempat pasien akan dipindahkan
2) Tingkat status kesadaran dievaluasi sesuai dengan GCS Skala ini mudah
diterapkan dan tersebar luas di antara semua tenaga medis dan paramedis.
Keputusan kami untuk menggunakan adalah karena memungkinkan klasifikasi
pasien yang cepat. Mengevaluasi tiga parameter independen: membuka mata
(4 poin), respon verbal (5 poin) dan respon motorik (6 poin). Nilai
maksimum dan rata-rata adalah 15 dan minimum itu 3. Pasien dievaluasi
dengan skor sebagai berikut: terjaga (15-13 poin), efek mengantuk atau sisa
sedasi (12-9) dan dibius atau dalam keadaan koma (<8)
3) Poin menurut skala SOFA (Sequential Ataugan Kegagalan Assessment).
Variabel ini biasanya diterapkan pada pasien dengan ventilasi mekanik,
hemodinamik atau kerusakan multiorgan dan prioritas untuk evakuasi harus
ditentukan sesuai dengan tingkat keparahan dan kesempatan untuk bertahan
hidup. Dalam banyak kasus, mobilisasi pasien sakit kritis mungkin kondisi
ketidakstabilan hemodinamik atau ventilasi, menyebabkan shock dan
kematian. SOFA mampu menyediakan parameter untuk mengidentifikasi
evakuasi menurut prognosis pasien. Pentingnya titik ini untuk menentukan
triase . evakuasi adalah salah satu yang mengingatkan kita bahwa indikasi
untuk mengevakuasi ICU tidak boleh dianggap enteng karena keputusan
yang buruk dapat menimbulkan masalah.
4) Kebutuhan peralatan pendukung untuk evakuasi adalah peralatan yang
diperlukan untuk transfer pasien. Jumlah obat dan perangkat iden- sary
untuk mobilisasi dan untuk pemeliharaan di lokasi pemindahan (zona aman)
harus ditentukan. Mobilisasi pasien yang sadar dengan i.v. obat-obatan dan
pemantauan harus dilakukan secara individual, misalnya, pasien jantung
yang menunggu kateterisasi, pasien yang sadar tanpa ventilasi mekanik,
pasien yang memerlukan mobilisasi en bloc karena cedera tulang belakang
dada dan pasien dengan tabung endopleural akibat hemopneumothorax.

Tabel 3. Sistem Triase Untuk Menentukan Urutan Evakuasi Pasien Di ICU


Prioritas Karakteristik klinis pasien Mortality
Evakuasi SOFA ICU Hospital Ward
Group 1  Tidak ada persyaratan untuk MV 1-8 point 1-5% 7-16%
 GCS 13-15
 kebutuhan dasar peralatan dan
dukungan pengalihan

Group 2  Perlu untuk MV (noninvasif, 9-16 25 – 50% 50–70%


parameter rendah) point
a) GCS 9-12
b) Sedasi
 Skor menurut skala SOFA
kebutuhan dasar untuk peralatan
dan dukungan
Group 3 Membutuhkan MV: > 75% > 82%
a. FIO2 > 50% 17-24
b. PEEP> 8 cm H2O point
c. mode ventilasi: dikendalikan
sesuai dengan volume atau
tekanan
GCS <8
a. Sedasi
b. Status koma akibat kerusakan saraf
yang signifikan Skor menurut skala
SOFA
c. kebutuhan dasar untuk peralatan
dan dukungan

b. Transportasi Interfasilitas
Pasien kritis seringkali harus di pindahkan antar fasilitas perawatan, hal ini
mungkin terjadi karena pasien harus menjalani beberapa pemeriksaan
diagnostik. Terkadang permintaan keluarga juga dapat menginisiasi
terjadinya pemindahan pasien. Apapun yang menjadi alasan pemindahan
pasien, harus dipastikan bahwa tenaga kesehatan terlebih dahulu
menganalisis risiko yang mungkin terjadi selama pemindahan. American
College of Emergency Physicians (ACEP) telah membuat sebuah daftar
tanggung jawab dalam hal ini, antara lain: (Morton dan Fontaine, 2013).
1) Dokter yang mengirimkan pasien harus melakukan pengkajian pasien
dan menentukan tingkat perawatan yang tepat selama pemindahan.
2) Dokter yang menerima memastikan bahwa fasilitas yang ia miliki
memiliki peralatan yang sanggup memenuhi kebutuhan pasien yang
akan diterima.
c. Fase Transport Interfasilitas
Terdapat lima fase yang dilaksanakan selama proses transport dilaksanakan,
antara lain: (Morton dan Fontaine, 2013).
1) Pemberitahuan dan penerimaan oleh fasilitas yang akan menerima
pasien.
Fase ini mengharuskan pemberitahuan kepada fasilitas penerima
untuk menentukan kesiapan mereka menerima pasien, dan untuk
menentukan cara pemindaahn. Komunikasi merupakan elemen yang
penting dalam fase ini, dimana semua orang yang terlibat memberikan
atau menerima informasi yang tepat, akurat, dan penting, untuk membuat
suatu keputusan perpindahan pasien. Identifikasi terhadap dokter yang
bertanggung jawab sangat penting sebagai untuk penyedia konsultasi
saat dalam perjalanan maupun saat ketibaan pasien.
American Association of Critical Nurse (AACN), American College of
Critical Care Medicine, dan Society of Critical Care Medicine (SCCM),
menetapkan pedoman untuk personel penyerta pada pemindahan
Antarfasilitas.
a) Minimal 2 orang selain supir kendaraan harus menyertai pasien
b) Minimal salah satu dari personel penyerta harus seorang perawat
terdaftar, dokter, atau teknisi medis kegawatan lanjut.
c) Ketika dokter tidak dapat menyertai pasien, seharusnya ada sebuah
mekanisme untuk mengkomunikasikan setiap perubahan status
pasien dengan dokter dan mendapatkan program tambahan. Apabila
seorang dokter penyerta tidak ada, wewenang lanjut melalui standar
order untuk melakukan intervensi bantuan hidup aku harus
diberlakukan.
2) Persiapan pasien oleh tim transport.
Tim transport yang akan membawa pasien harus mendapatkan
informasi mengenai keluhan pasien, alergi, riwayat penyakit pasien,
alasan pemindahan pasien, usia pasien, tanda-tanda vital, dan hasil yang
diharapkan. Rangkap hasil dari bagan dan seluruh radiografi harus
dibawa bersama dengan pasien. Apabila transport dilakukan oleh seorang
perawat, maka perawat yang membawa harus memberikan informasi
terbaru kepada perawat yang akan menerima pasien.
Tim transport melakukan pengkajian dan membandingkannya
dengan pengkajian sebelumnya untuk mengetahui alat-alat atau
kemungkinan kebutuhan yang harus disediakan. Selain itu penting juga
untuk mempersiapkan psikososial pasien dan keluarga sebelum proses
transportasi dilaksanakan. Perawat harus memastikan bahwa pasien dan
keluarga benar-benar mengerti proses perpindahan baik alasan, jenis
transportasi, waktu transportasi, dan tujuan pemindahan pasien.
Persiapan fisik pasien merupakan langkah yang penting untuk
memastikan pemindahan pasien yang aman. Perawatan ABC (Airway,
Breathing, Circulation) merupakan prioritas utama.
3) Proses pemindahan
Waktu yang diperkirakan akan habis selama pemindahan dan stabilisasi
pasien akan mepermudah proses transportasi. Kendaraan yang digunakan
selama pemindahan harus memiliki peralatan yang dibutuhkan selama
memindahkan pasien kritis. Prinsip ABC terus berlanjut menjadi prioritas
yang utama.
4) Perpindahan pasien ke fasilitas yang dirujuk
Fase ini dimana merupakan proses dimana serah terima antara pengirim
dan fasilitas yang dirujuk. Perencanaan ini mungkin termasuk berhenti di
unit gawat darurat untuk stabilisasi pasien. Saat pasien tiba dengan selama
di fasilitas yang dirujuk, maka tanggung jawab pasien akan dilanjutkan
oleh fasilitas tersebut.
5) Peningkatan kualitas monitoring berkelanjutan setelah transport.
Fase ini merupakan fase sangat penting dimana fasilitas pengirim pasien
dan penerima pasien akan melakukan tinjau ulang proses pemindahan
pasien untuk meningkatkan kualitas proses transport.

d. Elemen untuk dipertimbangkan dalam kotak transfer


1. 1 bag valve mask
2. 1 laringoskop
3. 2 Kanula Orotracheal
4. 2 ampul atropine
5. 2 ampul adrenalin
6. 2 ampul norepinefrin
7. 2 ampul midazolam
8. 2 ampul vekuronium
9. 2 jarum suntik 5-mL
10. 2 jarum suntik 10-mL
11. 4 jarum
12. Swab
13. Water injectable for dilution

e. Sumber daya yang dipertimbangkan selama mobilisasi pasien


Group SDM Peralatan Drugs
Transfer
Persyaratan a. 1dokter a. 1 tandu untuk a. Vasopressor
Tinggi b. 2 nurse transfer amina
c. 1 asisten b. 1 ventilator untuk (epinefrin,
untuk transfer norepinefrin,
transfer (sebaiknya vasopressin)
tandu mudah untuk b. obat
d. 1 terapis bergerak, Cardioactive
inhalasi disesuaikan (dopamin,
dengan 1 atau 2 dobutamin,
tangki oksigen milrinone,
dengan amrinon)
parameter c. Sedatif
ventilasi (midazolam,
berubah) fentanyl,
c. 1 monitor untuk flunitrazepam)
fungsi dasar dari d. relaksan otot
tekanan (vekuronium,
pemantauan rocuronium)
arteri, oksimetri e. Kristaloid atau
dan expansors
elektrokardiograf plasma
d. 3 pompa infus b. Obat lainnya
dilengkapi sangat penting
dengan dasar
untuk mobilisasi

Persyaratan a. 1 nurse a. 1 tandu untuk a. amina


Menengah b. 1 dokter transfer vasopressor
c. 1 asisten b. 1 ventilator untuk b. obat
untuk transfer, sebaiknya Cardioactive
transfer mudah digunakan c. obat penenang
tandu dan dengan fungsi d. relaksan otot
d. 1 terapis dasar atau
inhalasi termasuk peralatan
yang akan bekerja
dengan topeng tas
katup
c. 1 monitor dengan
fungsi dasar untuk
tekanan
pemantauan arteri,
oxymetry, dan
elektrokardiograf
d. 1 pompa infus
dilengkapi dengan
basis bergerak

Persyaratan a. 1 perawat a. 1tandu untuk a. amina


Rendah b. 1 asisten transfer Vasopressor
untuk b. 1 dasar ventilator b. obat
transfer atau tas katup Cardioactive
tandu masker (sesuai jika diperlukan
kebutuhan) c. obat penenang
c. 1 monitor dengan d. relaksan otot
fungsi dasar untuk
mengukur tekanan
arteri, oxymetry
dan
elektrokardiogram
d. 1 pompa infus
dilengkapi dengan
basis bergerak
(sesuai kebutuhan)
f. Jenis Transportasi Interfasilitas
Terdapat dua metode utama transportasi antar fasilitas yakni melalui
darat dan melalui udara (Morton dan Fontaine, 2013).
1) Transportasi Darat
Transportasi darat meliputi ambulans dan ICU berjalan. Dalam memilih
jenis transportasi, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan, antara
lain:
a) Keamanaan lingkungan transportasi
b) Saat dimana pasien keluar dari rumah sakit
c) Kondisi pasien dan potensial komplikasi
d) Kebutuhan pasien terhadap tindakan kritis atau tindakan yang
bergantung pada waktu
e) Kondisi lalu lintas
f) Kondisi cuaca
2) Transportasi Udara
Adalah sangat penting bagi perawat untuk memiliki pemahaman
dasar untuk mempertimbangkan persiapan pasien sebelum ditransfer
menggunakan transportasi udara, dan memberikan transfer yang mulus saat
kedatangan tim. Lingkungan pasien selama transportasi akan memiliki
keadaan yang sangat berbeda dari lingkungan pasien saat berada di rumah
sakit, karena saat penerbangan akan memberikan tekanan yang tinggi yang
berpontensi pada kejadian hipoksia. Bagaimanapun juga, tim penerbangan
akan mengkaji kondisi pasien saat keberangkatan dan saat pasien tiba, dan
memperkirakan banyaknya kebutuhan oksigen yang pasien butuhkan
selama penerbangan. Faktor lingkungan lain yang perlu dipertimbangkan
adalah perubahan temperatur, kelembaban, suara bising dan getaran yang
dapat terjadi. Apabila pasien kritis yang akan dipindahkan dalam keadaan
sadar, maka perawat harus mengkaji perasaan takut dan cemas yang dimiliki
oleh pasien. Konsultasi medis juga mungkin diperlukan untuk kebutuhan
ansiolitik dan antiemetik selama penerbangan. (Morton dan Fontaine,
2013).
g. Pedoman Transfer dan Implikasi Legal
Ketetapan yang dibuat oleh Consolidated Omnibus Reconciliation Act
(COBRA) untuk mencegah pasien ditolak pada skrining awal di unit gawat
darurat, transfer ke rumah sakit lain, atau dipulangkan tanpa menerima
perawatan adalah sebagai berikut. (Morton dan Fontaine, 2013).
a. Rumah sakit harus menyediakan pengkajian skrining utuk setiap orang yang
datang ke unit gawat darurat dan yang meminta perawatan.
b. Apabila pasien memiliki kondisi medis yang darurat, maka rumah sakit
harus memberikan pengobatan untuk stablisasi atu mentransfer pasien ke
fasilitas medis lain. Dokter harus mendokumentasikan bahwa keuntungan
akan lebih besar dari pada risiko pada saat transfer.
c. Fasilitas medis yang dirujuk bersedia untuk menerima pasien dan
menyediakan perawatan medis yang tepat. Dan fasilitas medis yang dirujuk
harus memilik tempat yang adekuat dan tenaga kerja yang berkualifikasi
dalam merawat pasien yang akan diterima.
d. Transfer dipimpin oleh orang yang memiliki kualifikasi, dan peralatan tepat
yang dibutuhkan tersedia selama proses transfer.

h. Transport Intrafasilitas
Proses yang dilaksanakan dalam pemindahan pasien intrafasilitas
misalnya untuk pemeriksaan diagnostik atau pengobatan di dalam rumah sakit.
Saat hal ini terjadi, maka harus dipertimbangkan apakah proses yang
dilaksanakan memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan risiko yang
mungkin akan terjadi. Kejadian yang tidak diharapkan mungkin terjadi dengan
peluang 5.9% hingga 70%, kejadian ini biasanya gagal dalam dua kategori.
Kategori pertama, terkait dengan peralatan monitoring dan penggunaannya.
Kategori kedua, terjadi perubahan fisiologi pasien, seperti tekanan darah,
hipoksia, disritmia, dan peningkatan tekanan intrakranial. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, biasanya rumah sakit akan membuat tim khusus untuk transpor
pasien intrafasilitas selain untuk mengatasi tenaga ICU yang tidak adekuat saat
proses transport berlangsung apabila menggunakan tenaga ICU untuk
melakukan proses pemindahan pasien. (Morton dan Fontaine, 2013).
Tidak
Kaji kondisi pasien
Apakah stabil?

Ya Sediakan resusitasi dan pengkajian lain sesuai


indikasi and derajat kemungkinan:
Kaji kebutuhan untuk transfer. a) Jalan napas yang aman
Apakah sumber yang dimiliki b) Akses intravena
fasilitas rujukan adekuat untuk c) Resusitasi cairan
memenuhi kebutuhan pasien? d) Evaluasi laboratorium dan x-ray

Tidak

Ya
Bandingkan keuntungan dan Tidak
risiko transfer. Lanjutkan manajemen
Apakah pasien menjadi perencanan
kandidat untuk transfer?

Ya

Pilih fasilitas yang didapatkan: Tidak


a) Jarak
b) Sumber daya
c) Ketersediaan tempat tidur
d) Keinginan pasien
Identifikasi dan komunikasi dengan
dokter yang menerima
Apakah tranfer telah diterima?

Ya

Awal perpindahan
- Sedasi pasien sesuai kebutuhan
- Restrain sesuai kebutuhan
Rekam medis dijaga selama
perpindahan
Ikuti protokol
Komunikasi dengan perintah medis
sesuai kebutuhan

Bila telah terlaksana, evaluasi


transfer untuk peningkatan kualitas.

Bagan Algoritme Transfer Interfasilitas


F. MANAJEMEN BENCANA
1. Pemberdayaan Masyarakat
Pembangunan kemampuan penanganan bencana ditekankan pada
peningkatan kemampuan masyarakat, khususnya masyarakat pada kawasan rawan
bencana, agar secara dini menekan bahaya tersebut. Umumnya 17 Peranan
Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Bencana berpangkal pada tindakan
penumbuhan kemampuan masyarakat dalam menangani dan menekan akibat
bencana. Untuk mencapai kondisi tersebut, lazimnya diperlukan langkah-langkah:

a. Pengenalan jenis bencana;


b. Pemetaan daerah rawan bencana;
c. Zonasi daerah bahaya dan prakiraan resiko;
d. Pengenalan sosial budaya masyarakat daerah bahaya;
e. Penyusunan prosedur dan tata cara penanganan bencana;
f. Pemasyarakatan kesiagaan dan peningkatan kemampuan;
g. Mitigasi fisik;
h. Pengembangan teknologi bencana alam.

Perlu ditekankan, bahwa kegiatan-kegiatan tersebut diatas dilakukan secara


partisipatoris, bersama, oleh dan untuk masyarakat. Bukan sekedar oleh para ahli
dan aparat pemerintah. Dalam melakukan manajemen bencana khususnya
terhadap bantuan darurat dikenal ada dua model pendekatan yaitu “konvensional”
dan “pemberdayaan” (Anderson & Woodrow, 1989). Perbedaan kedua
pendekatan tersebut terutama terletak kepada cara “melihat”:

a. Kondisi korban;
b. Taksiran kebutuhan;
c. Kecepatan dan ketepatan;
d. Fokus yang dibantukan;
e. Target akhir.
f. Pada pemberdayaan masyarakat
1) Korban adalah manusia yang aktif dengan berbagai kemampuan dan
kapasitas
2) Taksiran kebutuhan dilakukan dengan seksama dengan memperhatikan
kapasitas yang ada
3) Sejak awal harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari bantuan
luar dan perlu menghormati gagasan dan kapasitas yang ada pada
masyarakat setempat
4) Walaupun kita memberikan bendabenda fisik dan material yang dibu-
tuhkan, kita harus mendukung kapasitas dan sisi sosial/kelembagaan serta
sisi sikap/motivasi.
5) Tujuannya adalah mengurangi kerentanan dalam jangka panjang dan
untuk mendukung peningkatan kapasitas

Metoda pertisipatif merupakan salah satu pendekatan yang dapat


dilakukan untuk mendukung mekanisme internal. Asas yang melandasi
mekanisme ini adalah “pemberdayaan”, yaitu memperhatikan kapasitas awal
masyarakat dan kegiatan dibangun untuk masyarakat agar dapat
mengembangkan kapasitasnya sendiri. Wujud nyata dari asas ini adalah perlunya
lembaga-lembaga pemerintah, lembaga swasta dan lembaga swadaya
masyarakat mendukung proses peningkatan kapasitas (sekaligus merupakan
upaya mengurangi kerentanan).

2. Rumah Sakit
Penerimaan di Rumah Sakit dan Pengobatan Di rumah sakit, struktur
perintah yang jelas diperlukan dan pelaksanaan triase harus menjadi tanggung
jawab dari klinisi yang berpengalaman hal ini dapat berarti hidup atau mati bagi
si pasien, dan akan menetapkan prioritas dan aktivitas dari keseluruhan petugas.
Prosedur terapetik harus dipertimbangkan secara ekonomis baik mengenai sumber
daya manusia maupun material. Penanganan medis ini pertama harus
disederhanakan dan bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan menghindari
komplikasi atau masalah sekunder yang besar:
a. Prosedur yang distandarisasi (telah ditetapkan secara sungguh-sungguh),
seperti tindakan debridemen yang diperluas, penundaan penutupan luka
primer, penggunaan bidai dibandingkan perban sirkuler, dapat memberikan
penurunan mortalitas dan kecacatan jangka panjang yang berarti.
b. Proses Penyiagaan Pesan siaga dari pusat komunikasi harus disampaikan
langsung kepada Unit Gawat Darurat (melalui telepon atau radio). Kepala
penanganan korban massal yang ditunjuk di Rumah sakit harus mengaktifkan
rencana penanganan korban massal. Dan mulai memanggil tenaga penolong
yang dibutuhkan.
c. Mobilisasi Jika bencana terjadi dalam radius 20 menit dari Rumah Sakit, Tim
Siaga Penanggulangan Bencana di Rumah Sakit akan segera diberangkatkan
ke lokasi kejadian. Jika bencana tersebut terjadi dalam jarak lebih dari 20
menit dari Rumah Sakit, tim tersebut hanya akan diberangkatkan berdasarkan
permintaan Tim Kesehatan Daerah. Dalam bencana yang cenderung
menimbulkan banyak korban (kecelakaan pesawat terbang, kebakaran di atas
kapal) tim ini harus segera diberangkatkan ke lokasi kecelakaan tersebut.
d. Pengosongan Fasilitas Penerima Korban Harus diusahakan untuk
menyediakan tempat tidur di Rumah Sakit untuk menampung korban bencana
massal yang akan dibawa ke Rumah Sakit tersebut. Untuk menampung
korban, Pos Komando Rumah Sakit harus segera memindahkan para
penderita rawat inap yang kondisinya telah memungkinkan untuk
dipindahkan.
e. Perkiraan Kapasitas Rumah Sakit Daya tampung Rumah Sakit ditetapkan
tidak hanya berdasarkan jumlah tempat tidur yang tersedia, tetapi juga
berdasarkan kapasitasnya untuk merawat korban. Dalam suatu kecelakaan
massal, “permasalahan” yang muncul dalam penanganan korban adalah
kapasitas perawatan Bedah dan Unit Perawatan Intensif. Korban dengan
trauma multipel, umumnya akan membutuhkan paling sedikit dua jam
pembedahan. Jumlah kamar operasi efektif (mencakup jumlah kamar operasi,
dokter bedah, ahli anestesi dan peralatan yang dapat berjalan secara simultan)
merupakan penentu kapasitas perawatan Bedah, dan lebih jauh kapasitas
Rumah Sakit dalam merawat korban.
f. Penerimaan Pasien
Lokasi Tempat penerimaan korban di Rumah Sakit adalah tempat dimana
triase dilakukan. Untuk hal itu dibutuhkan:
1) Akses langsung dengan tempat dimana ambulans menurunkan korban
2) Merupakan tempat tertutup
3) Dilengkapi dengan penerangan yang cukup
4) Akses yang mudah ke tempat perawatan utama seperti Unit Gawat
Darurat, Kamar Operasi, dan Unit Perawatan Intensif. Jika
penatalaksanaan pra Rumah Sakit dilakukan secara efisien jumlah
korban yang dikirim ke Rumah Sakit akan terkontrol sehingga setelah
triase korban dapat segera dikirim ke unit perawatan yang sesuai dengan
kondisi mereka. Tetapi jika hal ini gagal akan sangat banyak korban yang
dibawa ke Rumah Sakit sehingga korban-korban tersebut harus
ditampung terlebih dahulu dalam satu ruangan sebelum dapat dilakukan
triase. Dalam situasi seperti ini daya tampung Rumah Sakit akan segera
terlampaui.
g. Tenaga Pelaksana Petugas triase di Rumah Sakit akan memeriksa setiap
korban untuk konfirmasi triase yang telah dilakukan sebelumnya, atau untuk
melakukan kategorisasi ulang status penderita. Jika penatalaksanaan pra
Rumah Sakit cukup adekuat, triase di Rumah Sakit dapat dilakukan oleh
perawat berpengalaman di Unit Gawat Darurat. Jika penanganan pra-rumah
sakit tidak efektif sebaiknya triase di Rumah Sakit dilakukan oleh dokter
Unit Gawat Darurat atau ahli anestesi yang berpengalaman.
h. Hubungan dengan Petugas Lapangan Jika sistem penataksanaan korban
bencana massal telah berjalan baik akan dijumpai hubungan komunikasi
yang konstan antara Pos Komando Rumah Sakit, Pos Medis Lanjutan, dan
Pos Komando Lapangan. Dalam lingkungan Rumah Sakit, perlu adanya
aliran informasi yang konstan antara tempat triase, unit-unit perawatan
utama dan Pos Komando Rumah Sakit. Ambulans harus menghubungi
tempat triase di Rumah Sakit lima menit sebelum ketibaannya di Rumah
Sakit.
i. Tempat Perawatan Di Rumah Sakit
1) Tempat Perawatan Merah Untuk penanganan korban dengan trauma
multipel umumnya dibutuhkan pembedahan sedikitnya selama dua jam.
Di kota-kota atau daerah-daerah kabupaten dengan jumlah kamar
operasi yang terbatas hal ini mustahil untuk dilakukan sehingga
diperlukan tempat khusus dimana dapat dilakukan perawatan yang
memadai bagi korban dengan status “merah”. Tempat perawatan ini
disebut “tempat perawatan merah” yang dikelola oleh ahli anestesi dan
sebaiknya bertempat di Unit Gawat Darurat yang telah dilengkapi
dengan peralatan yang memadai dan disiapkan untuk menerima
penderita gawat darurat.
2) Tempat Perawatan Kuning Setelah triase korban dengan status
“kuning” akan segera dipindahkan ke Perawatan Bedah yang
sebelumnya telah disiapkan untuk menerima korban kecelakaan massal.
Tempat ini dikelola oleh seorang dokter. Di tempat perawatan ini secara
terus menerus akan dilakukan monitoring, pemeriksaan ulang kondisi
korban dan segala usaha untuk mempertahankan kestabilannya. Jika
kemudian kondisi korban memburuk, ia harus segera dipindahkan ke
tempat “merah”.
3) Tempat Perawatan Hijau Korban dengan kondisi “hijau” sebaiknya
tidak dibawa ke Rumah Sakit, tetapi cukup ke Puskesmas atau klinik-
klinik. Jika penatalaksanaan pra Rumah Sakit tidak efisien, banyak
korban dengan status ini akan dipindahkan ke Rumah Sakit. Harus
tercantum dalam rencana penatalaksanaan korban bencana massal di
Rumah Sakit upaya untuk mencegah terjadinya hal seperti ini dengan
menyediakan satu tempat khusus bagi korban dengan status “hijau” ini.
Tempat ini sebaiknya berada jauh dari unit perawatan utama lainnya.
Jika memungkinkan, korban dapat dikirim ke Puskesmas atau klinik
terdekat.
4) Tempat Korban dengan Hasil Akhir/Prognosis Jelek Korban-korban
seperti ini, yang hanya membutuhkan perawatan suportif, sebaiknya
ditempatkan di perawatan/bangsal yang telah dipersiapkan untuk
menerima korban kecelakaan massal.
5) Tempat Korban Meninggal Sebagai bagian dari rencana
penatalaksanaan korban bencana massal di Rumah Sakit harus
disiapkan suatu ruang yang dapat menampung sedikitnya sepuluh
korban yang telah meninggal dunia.
j. Evakuasi Sekunder Pada beberapa keadaan tertentu seperti jika daya
tampung Rumah Sakit terlampaui, atau korban membutuhkan perawatan
khusus (mis., bedah saraf), korban harus dipindahkan ke Rumah Sakit lain
yang menyediakan fasilitas yang diperlukan penderita. Pemindahan seperti
ini dapat dilakukan ke Rumah Sakit lain dalam satu wilayah, ke daerah atau
provinsi lain, atau bahkan ke negara lain. Pelayanan medis spesialistik,
seperti bedah saraf, mungkin tersedia pada rumah sakit di luar area bencana.
Namun, evakuasi medis semacam ini harus dengan hati-hati dikontrol dan
terbatas bagi pasien yang memerlukan penanganan spesialistik yang tidak
tersedia pada area bencana. Kebijakan mengenai evakuasi harus
distandardisasi diantara tenaga kesehatan yang memberikan bantuan
pemulihan di area bencana, dan kepada rumah sakit yang akan menerima
pasien. Rumah sakit darurat yang dilengkapi petugas dan mandiri, dari pihak
pemerintah, militer, palang merah atau pihak swasta didalam negeri atau
dari negara tetangga yang memiliki kultur dan bahasa yang sama, dapat
dipertimbangkan penggunaannya dalam kasus yang ekstrim tetapi lihat
masalah yang potensial. Rumah sakit didaftarkan sesuai dengan lokasi
geografiknya, dimulai dari yang terdekat dengan lokasi bencana.

G. MANAJEMEN BENCANA DI AREA KRITIS


1. Fundamental of disaster Science
Perawat kritis memiliki peranan yang penting dalam perencanaan dan
siklus respon bencana. Peran perawat tersebut tergantung pada lingkungan sekitar
dan ketersediaan tenaga. Salah satu contohnya ketika listrik padam dan generator
tidak menyala maka alat medis penting seperti ventilator mekanik tidak berfungsi.
Setelah krisis, sumber daya terbatas, kemungkinan obat viral tidak tersedia.
Dalam kasus ini perawat harus bekerjasama dengan dokter dan dan farmasis untuk
menentukan metode alternative pengobatan. Pada kondisi tegang perawat dapat
menghadapi pasien dengan berbagai kondisi kedaruratan sehingga harus dapat
menentukan standar perawatan dan bekerjasama dengan tim kesehatan lain untuk
menentukan keputusan. Selama fase recovery perawat kritis merupakan sumber
daya yang penting dalam memimpin dan berpartisipasi dalam perawatan transisi
(Morton dan Fontaine, 2013).
Menurut (Parker, 2006), Perencanaan bencana terutama berfokus pada
responden, triase awal, dan manajemen di departemen darurat Namun, setelah
stabilisasi awal, pasien perlu pindah ke bagian gawat darurat untuk penanganan
lebih lanjut. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen bencana
di critical care.
a. Triase
Triase merupakan suatu sistem pembagian sumber daya dalam
merespon kejadian emergensi medis. Triase yang efektif merupakan satu dari
prosedure pertama yang dilakukan oleh perawat kritis dalam merespon
bencana. Pasien secara cepat dikategorikan dalam kategori minimal, delayed,
immediate dan expectant. Triase di luar fasilitas pelayanan kesehatan, tim
kesehatan harus melakukan triase di dalam fasiltas dan memastikan bahwa
pasien telah dikategorikan sesuai kondisi. Selama triase petugas harus
memindahkan pasien ke daerah yang aman (Morton dan Fontaine, 2013).
Menurut Jones-Mackway, Marsden dan Windle (2006) triase adalah
suatu sistem dalam manajemen petugas dalam resiko klinis di unit emergensi
untuk mengatur alur pasien dengan aman saat tingginya kapasitas kebutuhan
terhadap tindakan medis. Terdapat beberapa perbedaan kategori pasien yang
membutuhkan penanganan emergensi triase selain berdasarkan kategori
kegawatan adalah pasien anak, lansia, pasien dengan gangguan disabilitas,
pasien agresif, dan dibawah kontrol minuman beralkohol. Pasien anak
membutuhkan penangnan berbeda dengan orang dewasa khususnya di unit
emergensi. Pasien biasanya ditemani oleh orang tua, guru, pekerja sosial an
mudah merasa bosan, ketakutan dan kelelahan serta distres dan agitasi akibat
kesulitan pemahanan dan komunikasi yang menimbulkan kesulitan dalam
penanganan. Pada pasien lansia sangat mudah mengalami kerusakan jaringan
dalam ¼ sampai 1 jam pada trolli, gangguan kontinensia dan masalah memori
terkait pemberian informasi yang membuthkan pendamping dari keluarga.
Selain pasien anak dan lansia pasien dengan gangguan disabilitas seperti
dengan kebutuhan khusus, gangguan pendengaran, penglihatan, dll. Pasien
agresif yang menyebabkan kegaduhan di ruang tunggu emergensi yang
membutuhkan perhatian meskipun bukan prioritas penanganan. Yang
terakhir pada pasien dibawah kontrol alkohol sulit untuk dikaji karena
gangguan kesadaran dan persepsi nyeri.

b. Memperluas kapasitas
Jika terjadi bencana, langkah-langkah seperti memindahkan pasien ke lantai
umum dan memanggil semua staf yang tidak bertugas akan diperkirakan
meningkatkan kapasitas tempat tidur yang tersedia sebesar 50%. Rumah sakit
menggandakan atau melipatgandakan kapasitas ICUnya dan melakan transfer
pasien ke rumah sakit lain baik secara local atau regional.
c. Proses standar, respon disesuaikan
Rencana perawatan korban massal pasien kritis tidak akan sama untuk setiap
ICU, setiap rumah sakit, atau setiap komunitas, dalam keadaan seperti itu,
standar perawatan kritis tidak dapat dipertahankan. Seperti Pada Juni 2004,
Kelompok Kerja Perawatan Mass Critical Emergency, yang terdiri dari para
ahli dari berbagai bidang yang melibatkan perawatan kritis atau manajemen
rumah sakit, berkumpul untuk mengembangkan pedoman untuk

meningkatkan kapasitas rumah sakit setelah peristiwa bioteroris. yang harus

diperhatikan berapa banyak pasien dapat dirawat? Bagaimana perawatan


pasien sakit kritis harus disediakan di luar ruang ICU, dan di mana perawatan
yang terbaik disediakan? obat apa dan peralatan akan diperlukan, dan
bagaimana mereka diberikan? tingkat perawatan apa yang dapat diberikan?
Apa prioritas masyarakat dan rumah sakit? Standar perawatan harus diubah
untuk membuat peningkatan yang signifikan dalam kapasitas untuk merawat
pasien yang sakit kritis. Setiap fasilitas perlu menilai kapasitas ICUnya dan
bersiap untuk mengembangkannya dengan cepat. Selain protokol
institusional dan lokal, protokol regional dan nasional perlu dikembangkan
untuk ekspansi cepat perawatan di rumah sakit dan ICU.
d. Peran Pemerintah
Misalnya, pemerintah harus mempertimbangkan kebutuhkan, dan pendanaan
serta pelatihan standar dalam manajemen bencana. Mengembangkan rencana
penanggulangan bencana,
e. Peran Individu
Perawatan kritis memiliki tanggung jawab untuk memberikan masukan
dalam perencanaan bagaimana meningkatkan kapasitas perawatan kritis.
Perencanaan respons institusional dan lokal terhadap peningkatan cepat
dalam permintaan layanan perawatan kritis, melalui komunikasi dengan
rekan kerja, diskusi dengan administrator rumah sakit, dan memiliki
pendidikan yang tepat, serta komunikasi yang efektif. Individu dengan
pengalaman yang terbatas, dapat melakukan prosedur sederhana secara cepat
dan efektif, dalam beberapa keadaan. Teknik yang lebih canggih dan
membutuhkan individu terlatih dan peralatan yang kompleks serta peralatan
yang banyak (seperti perawatan luka bakar yang besar) bukan merupakan
investasi sumber daya yang bijaksana dalam penanganan cedera massal.
f. Peran Perhimpunan Profesional
Himpunan profesional dapat memberikan kepemimpinan dalam memandu
persiapan dan perencanaan penanggulangan bencana
2. Respon terhadap insiden dalam jumlah besar
Insiden jumlah besar (mass casualty incident) merupakan kondisi bencana dimana
sejumlah besar pasien membutuhkan tindakan medis yang melebihi kemampuan
emergensi lokal dan petugas kesehatan. Untuk menjadi bagian dalam penanganan
bencana pada insiden jumlah besar perawat harus memiliki keterampilan dan
pendidikan dasar tentang respon yang tepat dan perlindungan terhadap korban dan
dirinya terutama dalam kejadian bencana kimia, biologis, radiologis, nuklear dan
eksplosive. Dalam kasus seperti ini perawat harus mampu melakkan survey
primer dan sekunder pada korban (Morton dan Fontaine, 2013).
3. Respon terhadap Teroris
Menurut Morton dan Fontaine (2013) terorisme adalah pemberian tekanan atau
kekerasan oleh orang atau sekelompok orang untuk mengintimidasi penduduk
sipil atau pemerintah. Terorisme bertujuan untuk membuat ketakutan. Beberapa
perencanaan tindakan perawat kritis dalam merespon bioterorisme:
a. Serangan bioteroris dapat secara sembunyi dan dapat menyebabkan ratusan
atau lebih korban kritis
b. Perawat kritis memiliki peranan penting dalam menurunkan morbiditas dan
mortalitas setelah serangan terorisme
c. Perawatan kritis dalam jumlah besar tidak dapat dilakukan tanpa rencana
subtansial dan pendekatan baru dalam memberikan perawatan
d. Rumah sakit memiliki keterbatasan kemampuan dalam merujuk pasien ke
rumah sakit lain setelah terorisme
e. Tim medis dari pemerintah memilikit keterbatasan peran dalam
meningkatkan kemampuan rumah sakit untuk menyediakan perawatan kritis
dalam kasus korban jumlah besar saat serangan bioteroris
f. Rumah sakit membutuhkan sumber nonfederal atau ketersediaan obat dan
peralatan yang dibutuhkan dalam perawatan kritis dalam 48 jam saat serangan
bioterorisme.
4. Efek Psikologis Terorisme
Bencana alam maupun non alam merupakan insiden terorisme. Respon
pasien dalam menghadapi bencana adalah sedih, takut dan depresi. Keluhan awal
pada pasien adalah sakit perut, tidak nafsu makan dan pola tidur terganggu.
Beberapa bulan dari kejadian baru akan pulih. Pada beberapa kasus stress
psikologis ini tetap berlangsung lama. Beberapa faktor dapat memepengaruhi
antara lain misalnya persepsi kehilangan. Pasien seperti ini harus diperiksa untuk
penyakit post traumatic disoders (PTSD). PTSD adalah respon emosional
mendalam dan tetap teringat akan kejadian yang sudah berlangsung lama. Pasien
akan mendapatkan mimpi buruk, selalu teringat kejadian bencana dan reaksi
emosional terhadap kejadian. (Morton dan Fontaine, 2013).
5. Peran Hospital Emergency Incident Command System
Respon rumah sakit terhadap korban jumlah besar menggunakan Hospital
Incident Command System (HICS). HICS merupakan sistem manajemen insiden
berdasarkan Incident Command System (ICS) yang membantu rumah sakit dalam
meningkatkan perencanaan manajemen emergensi seperti kemampuan respon dan
recovery terhadap kejadian yang diduga dan tidak terduga (Morton dan Fontaine,
2013).
6. Bencana Buatan
a. Serangan letusan dan ledakan bom
Letusan dan ledakan bom menyebabkan cedera ledakan yang membutuhkan
evaluasi. Meskipun sebagian korban tidak membutuhkan perawatan rumah
sakit tetapi sebagian besar korban butuh perawatan kritis. Cedera dapat terjadi
akibat efek primer, ssekunder dan tersier. Cedera primer disebabkan oleh
perubahan dalam tekanan atmosfer yang disebabkan ledakan seperti cedera
telinga, paru dan gastrointestinal. Cedera sekunder terjadi ketika korban
terkena oleh objek dan debris. Cedera tersier terjadi ketika tubuh terlempar
melalui udara dan menabrak benda lain (Morton dan Fontaine, 2013).
b. Serangan nuklir dan radiologis
Menurut Morton dan Fontaine (2013) konsekuensi medis dari serangan nuklir
atau radiologis tergantung pada penyebab radiasi seperti reaktor nuklir,
sumber industri dan medis. Hal yang paling penting diketahui adalah
bagaimana serangan radiologis bisa terjadi dan bagaimana menangani pasien,
beberapa cara terjadinya serangan nuklir adalah:
1) Simple radiologi device (SRD) yang didesain untuk menyebarkan material
radioaktif tanpa penggunaan eksplosive.
2) Radiological dispersal device (RDD) penyebaran radioaktif
dikombinasikan dengan agen eksplosive.
3) Nuclear reactor sabotage merupakan tipe insiden yang rendah akibat
sophisticated shileding.
4) Improvised nuclear device (IND) merupakan alat yang didesain untuk
menyebabkan nuclear detonation.
5) Nuclear weapon merupakan metode eksposure terjadi jika senjata di curi.
Tindakan yang dilakukan pada serangan nuklir atau radiologis tergantung
pada jenis insiden, pasien yang terkena eksternal radiasi tidak menjadi
radioactive dan tidak menyebabrkan bencana ke orang disekitarnya. Insiden
kontaminasi mebutuhkan pendekatan berbeda dengan radiasi eksternal
dimana perawat harus mencegah penyebaran kontaminasi kepada bagian
tubuh yang tidak terkontaminasi, pada dirinya dan lingkungan. Kontaminasi
internal dapat disebabkan oleh inhalasi, ingesti, absorpsi melalui kulit atau
penetrasi melalui luka terbuka.. Tindakan yang perlu dilakukan yatu
menstabiliasikan daerah cedera, mencegah kontaminasi internal dengan
pemberian potasium iodin dlam 2 jam, kaji kontaminasi internal dan
dekontaminasi.
c. Serangan kimia
Agen kimia dapat menyebabkan iritasi, incapacitate, cedera dan kematian.
Agen kimia berbahaya akibat mudah ditemukan, dipindahkan. Racun kimia
dapat disrap melalui kulit, saluran pernapasan. Tipe agen kimia adalah agen
syaraf seperti tabun, sarin, soman dan VX; vesicant seperti sulfur, mustard dan
lewisite; sianida; intiksikasi paru seperti amonia, klorin, PFIB dan phosgene
dan agen huru hara seperti chloroacetophenon, oleoresin, capsium dan
chlorobensylidenemalononitrile. Tindakan yang dilakukan dalam menangani
pasien dengan dekontaminasi (Morton dan Fontaine, 2013).
d. Serangan biologis
Serangan biologis merupakan bioterorisme dimana pengeluaran
mikroorganisme (virus, bakteri, jamur dan toksin) ke dalam komunitas untuk
menyebabkan kematian, dan keracunan (Morton dan Fontaine, 2013).

7. Bencana Alam
Bencana alam adalah kejadian yang merupakan kombinasi dari kejadian alami
(banjir, gempa, topan, tornado, tanah longsor, gunung meletus, badai) dengan
campur tangan manusia. Persiapan yang kurang dalam menghadapi bencana akan
berdampak buruk pada populasi. RS dan pelayanan kesehatan berperan penting
dalam mitigasi bencana. RS dan personel administrasinya harus siap dan memiliki
perencanaan bila terjadi bencana. (Morton dan Fontaine, 2013).
Pandemi influenza akan menjadi bencana alam yang berkembang di masa
mendatang. Walaupun vaksin dan antivirus telah dikembangkan. Namun RS dan
pelayanan kesehatan terutama perawat harus selalu siap akan terjadinya wabah
yang berkembang. Apalagi perawat yang berperan langsung dalam merawat
pasien. Wabah H1N1 yang berkembang di tahun 2009. Kasus berkembang
terutama pada populasi muda usia 29 tahun. WHO menetapkan sebagai pandemi
sejak 3 bulan H1N1 muncul. (Morton dan Fontaine, 2013).
Pemerintah dan RS bekerja sama membuat rencana penanggulangan bencana.
Gejala H1N1 yang paling umum adalah demam, batuk, tenggorokan nyeri.
Beberapa persen pasien memerlukan perawatan di RS dan berakhir di ICU dan
meninggal. Perawatan yang diperlukan adalah oksigenasi membran
ekstracorporeal (ECMO), operasi bypass paru, ventilator untuk gagal nafas.
Beberapa sumber terkait H1N1 dapat ditemukan di situs CDC dan WHO.
Dokumen pencegahan juga dapat dibaca di The Association of Infection Control
Practicioner (APIC). (Morton dan Fontaine, 2013).

H. Isu Rapid Respon Team dan Manajemen Bencana


RS menghadapi ribuan kematian setiap hari dan karena bervariasinya
kemampuan tim medis dan paramedis berpengaruh pada keselamatan pasien dan
angka kematian pasien. Menurut Institute Healthcare Improvement ada tiga isu
penting terkait angka kematian di RS yaitu kegagalan dalam bencana (termasuk
pengkajian, perawatan dan tujuan), kegagalan komunikasi (pasien ke staf, antara staf
dan staf ke dokter) dan terakhir kegagalan mengenali kondisi pasien yang memburuk.
Maka dengan tantangan ini RS dituntut memiliki tim rapid respon atau tim
penyelamat yang terlatih dan siap 24 jam membantu pasien. (Morton dan Fontaine,
2013).
Bencana merupakan masalah dunia, bencana menyebabkan dampak bagi
kehidupan manusia. Sehingga dibuat kebijakan-kebijakan tentang manajemen
bencana, salah satu contohnya standar manajemen bencana menurut JCAHO yang
dapat dijadikan sebagai pedoman seluruh negara dalam membentuk kebijakan dalam
penanggulangan bencana. Di Indonesia rangkaian bencana semakin kompleks seperti
bom bali, gempa, tanah longsor, gunung merapi dan banjir menempatkan indonesia
sebagai negara yang paling rentang bencana di dunia. Semua kejadian bencana
tersebut menimbulkan krisis kesehatan, antara lain lumpuhnya pelayanan kesehatan,
korban mati, korban luka, pengungsi, masalah gizi, masalah ketersediaan air bersih,
masalah sanitasi lingkungan, penyakit menular, gangguan kejiwaan dan gangguan
pelayanan kesehatan reproduksi. Upaya penanggulangan krisis kesehatan masih
menghadapi berbagai macam kendala di Indonesia antara lain sistem informasi yang
belum berjalan dengan baik, mekanisme koordinasi belum berfungsi dengan baik,
mobilisasi bantuan ke lokasi bencana masih terhambat, dan sistem pembiayaan yang
belum mendukung. Tindakan penanggulangan bencana di rumah sakit diwadahi unit
kesehatan dan keselamatan kerja RS yang mempunyai kebijakan terkait pencegahan
dan pengawasan kecelakaan kerja salah satunya akibat penanganan bencana
(Kemenkes RI, 2011).
Di indonesia penanganan bencana telah memiliki dasar hukum dimana diatur
dalam beberapa peraturan perundangan yaitu UUD Negera RI 1945, UU kesehatan
No. 23 tahun 1992, UU Praktek Kedokteran No. 29 thn 2004 tentang praktek
kedokteran, UU tentang Pemerintah daerah No. 32 tahun 2004, UU RI no 24 thn
2007 tentang penanggulangan bencana Keputusan Menkes RI No. 448/
Menkes/SK/VI/1993 tentang pembentukan timkes penanggulangan korban bencana
setiap rumah sakit, Keputusan Menkes RI No. 28/menkes/ SK/I/1995, No
205/menkes/SK/III/1999, No 876/menkes/SK/XI/2006 masing tentang petunjuk
pelaksanaan umum penanggulangan medik korban dari RS saat bencana, petunjuk
pelaksanaan permintaan dan pengiriman bantuan medik dari rumah sakit saat
bencana dan kebijakan dan strategi Nasional Penanganan krisis dan masalah
kesehatan lain.
Issu managemen bencana berkaitan dengan peran perawat adalah issue etik dalam
managemen bencana dimana perawat merupakan bagian tenaga kesehatan yang
memberikan perawatan dalam segala seting individu, kelompok dan komunitas
berlandaskan pada etik seperti respect for persons, confidentiality, veracity, fairness
and justice yang harus bisa diaplikasikan dalam seluruh kontekx di dunia. Perawat
tidak hanya mampu melakukan praktek etika yang biasa tetapi harus mampu
memodifikasi aplikasi tersebut saat ditemukan hambatan di lingukungan Perawatan
dalam kondisi bencana khususnya di negara lain sering dihadapkan dengan berbagai
kondisi yang berbeda yang sebelumnya tidak pernah dihadapi perawat. Selain
berkaitan dengan etika, hal yang menjadi issu adalah kemampuan dalam kesadaran
dan sensitivitas budaya dimana perawat dituntut mampu menerapkan perawatan pada
setting budaya yang berbeda-beda dalam konteks berbagai dunia (Veenema, 2007).
I. Aplikasi Isu Rapid Respon Team dan Manajemen Bencana
Di Indonesia untuk RS yang sudah terakreditasi JCI dan KARS memiliki tim rapid
respon yang disebut tim code blue. Tim ini terdiri dari dokter anestesi dan perawat
IGD yang memiliki sertifikat ACLS dan BCLS. Tim siap 24 jam ditelpon bila ada
pasien henti jantung atau arrest sesuai dengan protokol rapid respon team. Bila
ditemukan kondisi sesuai kriteria perawat atau staf yang menemukan akan menelpon
satpam dan menyebutkan nama bangsal. Kemudian satpam akan mengumumkan
code blue sebanyak tiga kali baru tim akan datang ke tempat kejadian dan melakukan
resusitasi dan tindakan sesuai protokol rapid respon. (JCI, 2014)
Penanganan bencana bagi RS menurut Wahyuni, Tri (2015) dalam Simposium
Nasional Keperawatan Kritis FKEP UNPAD (2015) ada 2 jenis yaitu internal disaster
(bencana yang terjadi di RS) dan external disaster ( RS harus turut menangani
bencana di luar RS). Bencana yang terjadi di luar RS memilki 2 kemungkinan yaitu
mengirimkan tim penanganganan bencana atau RS harus menerima sejumlah korban
bencana. Korban yang terjadi saat bencana adalah korban masal (jumlah korban akan
melebihi jumlah penderita). Kejadian bencana ini akan menyebabkan 3 jenis korban
yaitu meninggal, cedera dan pengungsi. Pada penangangan korban masal
memerlukan pengorganisasian, penyiapan fasilitas, sistim komunikasi, dokumentasi,
dan tata kerja operasional. Perencanaan yang dibuat RS dan instansi luar RS termasuk
rencana pelatihan petugas dalam menghadapi bencana. RS juga harus menyiapkan
perluasan area kerja, area penampungan dan area dekontaminasi pada bencana
biologis dan kimia.
BAB III
KESIMPULAN

Penyediaan bantuan medis selama keadaan darurat dan prosedur selama bencana
memerlukan unit perawatan medis fungsional meskipun fenomena yang
mengganggu yang dihadapi masyarakat. Konflik terjadi ketika unit medis
memerlukan dukungan dan kebutuhan untuk evakuasi, terutama evakuasi pasien
di unit perawatan kritis. Menurut literature Perencanaan untuk bencana terutama
difokuskan pada triase awal, dan manajemen di departemen darurat. Di ICU, triase
harus mengidentifikasi situasi di mana tingkat yang lebih tinggi dari perawatan
sesuai dengan kompleksitas kondisi rawat Koordinasi tidak hanya harus berada di
antara daerah rumah sakit tetapi juga dengan rumah sakit lain. rencana dukungan
untuk evakuasi dan menerima pasien di unit lain harus distandarisasi sesuai
dengan kebutuhan mentransfer, terutama mentransfer pasien sesuai dengan
tingkat kompleksitas penyakit mereka
DAFTAR PUSTAKA

Alharbi, M. (2015). Competencies, Scope of Practice in Disaster. International


Journal of Science and Research (IJSR), 4(11), 2200–2204FKEP UNPAD.
2015. Prosiding Simposium Nasional Keperawatan Kritis. Bandung: FKEP
UNPAD.

Bellomo, R., Maegele, M., Harris, T., Brattebø, G., Østerås, Ø., & Bellomo, R.
(2018). Pre-ICU Rapid response teams. ICU Management & Practice, 18(2).

DeVita, M., Hilmman, K., & Bellomo, R. (2006). Medical Emergency Teams. USA:
Springer.

Echevarría-Zuno, S., Cruz-Vega, F., Elizondo-Argueta, S., Martínez Valdés, E.,


Franco-Bey, R., & Méndez-Sánchez, L. M. (2013). [Emergency and disaster
response in critical care unit in the Mexican Social Security Institute: triage and
evacuation]. Cirugia Y Cirujanos, 81(3), 246–255. Retrieved from
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=cmedm&AN=23769
257&site=ehost-live

Haryatun, sudaryanto. (2008). Perbedaan Waktu Tanggap Tindakan Keperawatan


Pasien Sedera Kepala Kategori I-V Di Instalasi Gawat Darurat RSUD
Dr.Mowardi Berita Ilmu Keperawatan 1(2):69.74
Heide, E. A. Der, & Scanlon, J. (2007). Emergency Management: Principles and
Practice for Local Goverment. In W. W. Kathleen J. Tierney (Ed.),
Emergency Management: Principles and Practice for Local Goverment
(2nd ed., pp. 183–205). Washington, DC: ICMA Press.
International Council of Nurses. (2017). Disaster Nursing: International
Classification for Nursing Practice (ICNP®) Catalogue (3rd ed.).
Switzerland: International Council of Nurses (ICN).
JCI. 2014. Joint Commission International Acreditation Standard of Hospital 5th
edition. US: Joint Commission Resoursces
Jones-Mackway, Marsden dan Windle. 2006. Emergency Triage; Manchester
triage Grpup 2nd edition. USA: Blackwell Publishing.
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana (Mengacu pada standar Internasional). Kementerian Republik
Indonesia.
Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia.(2009).Standar Instalasi Gawat
Darurat (IGD) Rumah Sakit. Jakarta: Menteri Kesehatan
Machmud, R. (2009). Peran Petugas Kesehatan Dalam Penanggulangan Bencana
Alam. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 3(14), 28–34.
Morton, P.G., dan Fontaine, D.K. 2013. Critical Care Nursing: A Holictc
Approach. Philadelphia: Lippincott williams &Wlikins.
Rhodes, A., Evans, L. E., Alhazzani, W., Levy, M. M., Antonelli, M., Ferrer, R&
Rochwerg, B. (2017). Surviving sepsis campaign: international guidelines
for management of sepsis and septic shock: 2016. Intensive care medicine,
43(3), 304-377.
Shoaf, K. (2014). Organizing the health sector for response to disasters. Ciência &
Saúde Coletiva, 19(9), 3705–3715. https://doi.org/10.1590/1413-
81232014199.03722014
Singer, M., Deutschman, C. S., Seymour, C. W., Shankar-Hari, M., Annane, D.,
Bauer, M & Hotchkiss, R. S. (2016). The third international consensus
definitions for sepsis and septic shock (Sepsis-3). Jama, 315(8), 801-810.
Parker, M. M. (2006). Critical care and disaster management. Critical Care
Medicine, 34(3 SUPPL.), 1–4.
https://doi.org/10.1097/01.CCM.0000199988.96002.CC
Veenema, T.G. 2007. Disaster Nursing and Emergency Preparedness for
Chemical, Biological, and Radiological Terrorism and Other Hazards 2nd
edition. New York: Springer Publishing Company.

Anda mungkin juga menyukai