Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma dikenal sebagai penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia
selama beberapa dekade terakhir.1 Di Indonesia, trauma menjadi penyebab
kematian utama pada kelompok usia 15-24 tahun dan penyebab kematian nomor
dua terbanyak pada kelompok usia 25-34 tahun.2 Trauma toraks adalah penyebab
ketiga kematian akibat trauma yang paling umum, setelah cedera kepala dan
sumsum tulang belakang dan dilaporkan sebagai 10% dari total kasus trauma
dengan mortalitas bervariasi berkisar 10% hingga 60%.3 Kira-kira 2/3 dari pasien
mengalami trauma toraks dengan tingkat keparahan yang bervariasi dari patah
tulang rusuk sederhana hingga luka tembus jantung atau gangguan trakeobronkial.
Mortalitas tentu akan menurun bila diiringi dengan penegakan diagnosis dan
pengobatan yang tepat.4
Trauma pada toraks bervariasi mulai dari cedera dinding toraks hingga
organ vital di dalam rongga toraks. Cedera toraks dapat bersifat trauma tembus
atau tumpul dengan tipe penatalaksanaan sangat variatif mulai dari konservatif
hingga invasif.5 Beberapa penelitian telah dilakukan dengan tujuan untuk
mengevaluasi faktor-faktor yang memprediksi morbiditas dan mortalitas pada
trauma toraks, namun hanya sedikit yang akhirnya berkembang menjadi sistem
penilaian kondisi tersebut. Sistem penilaian prognostik diharapkan mampu
membuat trauma toraks lebih mudah untuk dikelola dengan pengarahan sumber
daya yang efektif. Peningkatan keluaran dan penurunan lama rawat inap
dilaporkan setelah skor dan intervensi berbasis protokol pada korban trauma.6-7
Kebutuhan akan sistem universal untuk trauma toraks diperlukan untuk
mengidentifikasi faktor kritis, memprediksi keluaran pada pasien, waktu
intervensi, perlunya perawatan intensif, dan untuk berkomunikasi dengan
keluarga.3
Ada beberapa skala trauma yang digunakan secara global, seperti
berdasarkan anatomi yaitu Abbreviated injury scale (AIS), Injury severity score

1
(ISS), New injury severity score (NISS), Organ injury scale (OIS), Anatomic
profile, dan International Classification of Diseases (ICD-9) Injury Severity Score
(ICISS). Berdasarkan fisiologi yaitu Revised trauma score, Glasgow coma score,
dan APACHE scoring (Acute physiology and chronic health evaluation
(APACHE I, II, III). Kombinasi dari kedua skor baik anatomi maupun fisiologis
yaitu Trauma and injury severity scores (TRISS) dan A severity characterization
of trauma (ASCOT).8
Karena sulitnya penerapan beberapa skor, serta penggunaan skor yang
ternyata kurang signifikan membantu untuk memprediksi hasil atau keterbatasan
sumber daya membuat tidak adanya sistem penilaian yang digunakan universal.
Studi yang dilakukan pada sistem penilaian untuk trauma toraks mengenali usia,
patah tulang rusuk, kontusio paru dan cedera bilateral sebagai faktor paling
penting yang mempengaruhi prognosis pasien trauma dada.9,10,11 Faktor-faktor ini
secara individu atau gabungan dapat membantu dalam memprediksi hasil. Chest
Trauma Score (CTS) diturunkan dari sejumlah faktor di atas, yang dibuat oleh
9,11
Pressley et al. dan divalidasi oleh Chen. Chen et al. menemukan bahwa skor
sederhana ini dapat memprediksi kemungkinan hasil yang buruk seperti
komplikasi dan mortalitas pada pasien trauma toraks jika CTS ≥5.6 Harde et al.
dalam penelitiannya pada 30 pasien yangdibagi menjadi dua kelompok yaitu
dengan CTS <5 (15) dan CTS ≥5 (15). CTS ≥5 secara statistik secara signifikan
berhubungan dengan kejadian pneumonia yang tinggi (P = 0,046), peningkatan
kebutuhan ventilasi mekanis (P = 0,025) dan kematian (P = 0,035) pada trauma
toraks dengan sensitivitas 87,5% dan spesifisitas 68%.3 Penelitian oleh Seok et al.
terkait penggunaan beberapa sistem scoring trauma toraks mendapatkan bahwa
Chest Trauma Score tinggi pada pasien dengan komplikasi pernafasan
(p=0.001).12
Pada tahun 2000, Pape et al mengembangkan skor baru berupa thorax
trauma severity score (TTSS), yang menggabungkan parameter terkait pasien
dengan parameter anatomi dan fisiologis. TTSS terdiri dari lima parameter; usia,
PaO2 / FiO2, cedera pleura, konstrusi paru, dan patah tulang rusuk, dan skor
berkisar dari 0 sampai 25 poin. Skor keparahan trauma toraks (TTS) tepat untuk

2
penilaian terkait cedera tulang dan parenkim serta mempertimbangkan parameter
fisiologis. TTS adalah prediktor yang lebih baik dari trauma trauma terkait
komplikasi pada saat masuk dalam keadaan darurat dengan menggunakan
parameter yang sudah tersedia yaitu X-ray toraks dan gas darah
arteri.13,14Penelitian oleh Zahran et al menemukan bahwa outcome pasien trauma
toraks dapat diprediksi berdasarkan skor keparahan trauma toraks. Skor 7 poin
atau lebih dikaitkan dengan peningkatan morbiditas, dan skor 20 poin atau lebih
memprediksi prognosis fatal dan ventilasi mekanis yang berkepanjangan. 15
Penelitian oleh Seok et al, TTSS merupakan sistem scoring yang paling berguna
untuk memprediksi komplikasi pernapasan pada pasien fraktur tulang rusuk
terisolasi dengan kontusio paru.12
Untuk hal ini, sebenarnya diperlukan suatu pedoman yang dapat digunakan
sebagai sistem nasional terutama di negara berkembang sehingga mempermudah
dalam penilaian dan manajemen pasien trauma toraks terkait komplikasi dan
prognosisnya. Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk menganalisis
perbandingan efektivitas penggunaan Chest Trauma Score dan Thorax Trauma
Severity Score sebagai Prediktor Outcome pada Pasien Trauma Toraks di Rumah
Sakit Umum Pusat dr. Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana perbandingan efektivitas Chest Trauma Score dan Thorax
Trauma Severity Score sebagai Prediktor Outcome pada Pasien Trauma
Toraks di RSMH Palembang?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbandingan efektivitas Chest Trauma Score dan Thorax
Trauma Severity Score sebagai Prediktor Outcome pada Pasien Trauma Toraks di
RSMH Palembang

1.3.2 Tujuan Khusus

3
1. Mengidentifikasi faktor yang dinilai dalam skor CTS dan TTSS pada
pasien trauma toraks di RSMH Palembang
2. Mengidentifikasi skor CTS dan TTSS pada pasien trauma toraks di RSMH
Palembang
3. Mengetahui hubungan antara skor CTS dan TTSS dengan mortalitas pada
pasien trauma toraks di RSMH Palembang
4. Mengetahui hubungan antara skor CTS dan TTSS dengan perlunya
tindakan operasi pada pasien trauma toraks di RSMH Palembang
5. Mengetahui hubungan antara skor CTS dan TTSS dengan perlunya
perawatan ICU pada pasien trauma toraks di RSMH Palembang
6. Mengetahui hubungan antara skor CTS dan TTSS dengan lama rawat pada
pasien trauma toraks di RSMH Palembang

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitan ini bertujuan sebagai sumber pustaka terkait penggunaan Chest
Trauma Score dan Thorax Trauma Severity Score sebagai predictor outcome
pasien trauma toraks.

1.4.2 Manfaat Praktis


1. Sebagai data CTS dan TTSS pada pasien trauma toraks di RSMH
Palembang.
2. Sumber informasi sebagai dasar perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pelayanan kesehatan terkait trauma toraks.
3. Sebagai informasi dan data yang berguna bagi penelitian selanjutnya

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Toraks


2.1.1 Struktur Dinding Toraks
Dinding toraks dibentuk oleh 12 tulang rusuk, 12 tulang vertebra toraks,
kartilago, sternum, dan lima otot. Struktur ini berfungsi dalam gerakan,
pernapasan, dan perlindungan rongga dada.17-19 Tujuh tulang rusuk sejati pertama
berartikulasi dengan tulang dada di anterior, tulang rusuk palsu 8 sampai 10
memiliki ekstensi kartilago untuk berkomunikasi dengan tulang dada sementara
tulang rusuk 11 dan 12 mengambang tidak berkomunikasi dengan tulang dada,
membentuk kerangka tulang dinding toraks.19

Gamba
r 1.Struktur Dinding Dada: anterior (kiri) dan posterior (kanan)19

Dari superfisial hingga dalam, otot-otot dinding toraks anterior adalah


muskulus interkostalis eksterna, muskulus interkostalis interna, muskulus
interkostalis intima, muskulus subkostalis, dan muskulus toracis transversa. Untuk
toraks posterior terdiri dari muskulus levator kostarum, muskulus serratus
posterior superior dan inferior. Pada toraks anterior/superfisial terdiri dari
muskulus pektoralis mayor dan minor, sublavius, dan serratus anterior dengan
dasar terdiri atas diafragma. Otot-otot ini berfungsi dalam respirasi dengan

5
menggerakkan tulang rusuk, sehingga mengubah volume rongga toraks.
Khususnya, beberapa otot memiliki keterikatan pada, dan dangkal atau bertindak
sebagai ekstensi toraks. Otot-otot ini berfungsi untuk menggerakkan bahu, tulang
belakang, dada, dan panggul serta membantu pernapasan.20

Gambar 2. Otot Pembentuk Dinding Dada20

Jaringan payudara terdapat di atas dinding toraks anterior yang dangkal dari
otot pektoralis mayor. Jaringan payudara terdiri dari kelenjar susu, jaringan
fibrosa, lemak, kompleks areolar, dan puting susu.21

2.1.2 Suplai Darah Toraks


Dinding Toraks
Dinding toraks memiliki suplai darah kolateral yang melimpah. Bidang
neurovaskular dalam dari dinding toraks berada di antara otot interkostal paling
dalam dan otot interkostal internal. Di sini, arteri interkostal posterior (cabang
subklavia dan aorta) berjalan lebih rendah ke setiap tulang rusuk dan
mengeluarkan cabang interkostal kolateral yang lebih kecil dan berjalan lebih
tinggi dari setiap tulang rusuk. Arteri ini berakhir sebagai komunikans dengan
arteri interkostal anterior. Secara anterior, suplai darah dari dinding toraks
sebagian besar dari arteri mammaria interna yang berjalan jauh ke kartilago kosta
dari arteri subklavia. Saat arteri mammaria interna turun, lalu bercabang
interkostal anterior sebelum berakhir sebagai arteri epigastrik muskulofrenia dan
superior. Suplai darah dinding toraks lateral berasal dari cabang arteri aksila

6
(arteri torakodorsal, toraks lateral, dan torakoakromial). Suplai darah dinding
toraks posterior berasal dari cabang dorsal arteri interkostal posterior dan arteri
skapularis dorsal. Secara inferior, kolateralisasi darah berasal dari arteri epigastrik
inferior superfisial dan dalam.19,22,23
Kavum Toraks
Pembuluh darah besar sebagian besar terletak di mediastinum superior dan
posterior, meskipun mereka berasal/berakhir di jantung (mediastinum). Pembuluh
darah ini meliputi aorta, vena kava superior, arteri pulmonalis, vena pulmonalis,
dan vena kava inferior.24
Aorta muncul dari ventrikel kiri jantung dan melengkung ke arah superior
dan posterior. Dekat asal aorta (di atas katup aorta), aorta memasok jantung
melalui arteri koroner kiri dan kanan. Tiga cabang terpecah di lengkung aorta
yang akhirnya menyuplai kepala, tungkai atas, dan dinding toraks. Arteri ini
adalah batang brakiosefalika, karotis komunis kiri, dan arteri subklavia kiri. Saat
aorta turun ke posterior jantung di parit paravertebralis kiri, arteri interkostal
posterior ke-3 sampai ke-11 terpecah dan memasok darah ke dinding toraks. Aorta
meninggalkan toraks dengan menusuk diafragma setinggi T12.25

Gambar 3. Suplai Darah Toraks19

7
Sistem vena umumnya mengikuti sistem arteri terlepas dari beberapa
perbedaan. Darah kembali ke jantung (atrium kanan) baik melalui vena kava
superior atau vena kava inferior. Vena kava superior mengalirkan darah dari vena
brakiosefalika bilateral dan sistem vena azygos. Vena cava inferior melakukan
perjalanan jarak pendek setelah menembus diafragma pada tingkat T8 untuk
mengalirkan darah dari perut dan tungkai bawah ke lantai atrium kanan.26
Sistem vena azygos terdiri dari hemiazygos, aksesori azygos, dan vena
azygos. Vena hemiazygos dan aksesorius azygos mengalirkan vena interkostal
posterior kiri dan berkomunikasi dengan vena iliaka komunis kiri. Vena azygos
mengalirkan vena interkostal posterior kanan, hemiazygos, dan vena azygos
aksesori ke vena kava superior.26
Sistem limfatik dari seluruh tubuh selain tungkai kanan atas dan sisi kanan
kepala mengalir melalui saluran toraks. Di toraks, duktus toraks menembus
diafragma melalui hiatus aorta, ia naik tepat di anterior ke badan vertebra toraks
dan mengalir ke persimpangan vena subklavia kiri dan vena jugularis interna.
Duktus limfatik kanan menyediakan drainase limfatik ke sisi kanan kepala dan
tungkai kanan atas ke dalam vena brakiosefalika kanan.26,27

2.1.3 Persarafan pada Toraks


Dinding Toraks
T1 sampai T12 saraf tulang belakang toraks keluar melalui foramina
intervertebralis dan bercabang ke cabang ramus anterior dan posterior. Cabang
ramus anterior (nervus interkostal) berjalan dengan pembuluh interkostal posterior
tepat di inferior setiap tulang rusuk di ruang neurovaskular (antara otot interkostal
terdalam dan otot interkostal internal). Selama perjalanannya, cabang kutaneus
kolateral, lateral, dan anterior bercabang. Cabang ramus anterior menginervasi
kulit di atas tulang rusuk dan otot dinding toraks. Cabang ramus posterior terus
menginervasi kulit di atas dinding toraks posterior dan otot-otot tulang
belakang.28,29
Pleksus brakialis berasal dari saraf tulang belakang C5 ke T1 dan terletak di
atas toraks. Saraf lalu bercabang untuk memasok otot superfisial ke dinding

8
toraks; ini termasuk daerah skapula, pektoralis medial dan lateral, dan saraf
torakodorsal.30

Kavum Toraks
Sistem saraf simpatis tubuh dibentuk oleh dua neuron preganglionik dan
satu neuron postganglionik dari T1 ke L2. Neuron bersinaps di sumsum tulang
belakang, ganglion simpatis, dan organ target. Neuron preganglionik dari medulla
spinalis pendek, mengakibatkan ganglion simpatis berada di dekat foramen
intervertebralis, jauh ke dalam rusuk, dan lateral vertebra toraks. Ganglia simpatis
toraks berkomunikasi dengan ganglia simpatis servikal dan lumbal membentuk
rantai simpatis. 31
Nervus vagus bertanggung jawab atas persarafan parasimpatis dari rongga
toraks. Saraf ini akan muncul secara bilateral dan memasuki dada di dalam
selubung karotis dengan arteri karotis komunis dan vena jugularis interna. Saat
turun di kompartemen mediastinal superior dan posterior, saraf vagus
mengirimkan cabang ke pleksus jantung, pleksus paru, dan pleksus esofagus.
Nervus vagus keluar dari rongga toraks melalui hiatus esofagus diafragma.
Kerusakan pada saraf vagus dapat menyebabkan berbagai gejala, termasuk
disfagia, takikardia, hipertensi, perubahan pendengaran, dan perubahan vokal.32
Nervus laringeus rekuren kiri bercabang dari nervusvagus kiri setinggi arkus
aorta. Kelumpuhan nervus laring rekuren mempengaruhi otot laring. 28,33,34 Nervus
frenikus berasal dari saraf tulang belakang C3 ke C5 secara bilateral. Kelumpuhan
saraf frenikus dapat menyebabkan kelumpuhan sebagian atau seluruh diafragma,
yang dapat sangat memengaruhi pernapasan. 28,35

2.2 Trauma Toraks


2.2.1 Epidemiologi
Trauma toraks adalah penyebab ketiga kematian akibat trauma yang paling
umum, setelah cedera kepala dan sumsum tulang belakang dan dilaporkan sebagai
10% dari total kasus trauma dengan mortalitas bervariasi berkisar 10% hingga
60%.3 Kira-kira 2/3 dari pasien mengalami trauma toraks dengan tingkat

9
keparahan yang bervariasi dari patah tulang rusuk sederhana hingga luka tembus
jantung atau gangguan trakeobronkial. Mortalitas tentu akan menurun bila
diiringi dengan penegakan diagnosis dan pengobatan yang tepat.4
Trauma toraks tumpul lebih umum daripada trauma tembus dan secara
langsung mencakup 20% sampai 25% dari kematian akibat trauma. Di antara
pasien yang datang setelah tabrakan kendaraan bermotor, morbiditas dan
mortalitas yang lebih tinggi dikaitkan dengan tabrakan berkecepatan tinggi dan
kurangnya penggunaan sabuk pengaman. Hasil yang lebih buruk juga terlihat
pada pasien dengan usia lanjut dan skor keparahan cedera yang lebih tinggi.
Meskipun insidennya lebih tinggi, kurang dari 10% pasien yang menderita trauma
tumpul pada dada memerlukan intervensi operasi, sedangkan 15% hingga 30%
pasien yang mengalami cedera tembus dada memerlukan intervensi operatif.36

2.2.2 Etiologi
Trauma toraks secara luas dikategorikan berdasarkan mekanisme menjadi
trauma tumpul atau tembus. Penyebab lainnya antara lain jatuh, kendaraan
menabrak pejalan kaki, tindak kekerasan, dan luka ledakan.36 Cedera spesifik
adalah: barotrauma paru, luka bakar pada trakeobronkial akibat aspirasi, blast
lung injury, kerusakan paru parenkim akibat aspirasi, dan cedera iatrogenik.
Fraktur yang berhubungan dengan dinding dada dapat disebabkan oleh kekuatan
langsung, dan jaringan serta organ dada dapat rusak termasuk memar atau
robekan. Selain itu, kekuatan traumatis dapat bertindak secara tidak langsung;
dalam kasus seperti itu, efek kekuatan traumatis terjadi setelah disintegrasi
jaringan (emboli udara akibat masuknya udara ke vena paru setelah laserasi
paru).37
Penyebab paling umum dari trauma tumpul dada adalah tabrakan kendaraan
bermotor yang menyebabkan hingga 80% cedera, dimana pengemudi dan
penumpang kursi depan pada kendaraan bermotor paling berisiko, dan pengemudi
sepeda motor lebih jarang mengalami cedera (10%), tetapi dengan persentase
tertinggi kematian di lokasi kecelakaan (30%). Ada lima jenis cedera yang
berhubungan dengan kendaraan bermotor: tabrakan langsung, tabrakan samping,
tabrakan benturan belakang, benturan rotasi dan terguling, serta cedera akibat

10
perlambatan (cedera perlambatan) dan penghancuran (cedera himpitan). Saat
perlambatan, tubuh yang bergerak cepat berhenti tiba-tiba, dan cedera terjadi pada
saat tubuh terkena benturan tiba-tiba, merusak dinding dada, sedangkan cedera
organ dalam diakibatkan oleh penutupan refleks glotis dan oleh karena itu tekanan
intra-toraks meningkat dengan cepat. Diameter toraks transversal meningkat
dengan cepat, dan ketika gaya traumatis mengatasi batas elastis paru, cedera
pohon trakeobronkial terjadi bersamaan dengan cedera parenkim paru, diafragma,
dan struktur mediastinal. Mekanisme cedera deselerasi identik dengan jatuh.36
Luka tembus dada terjadi sebagai akibat dari lengan samping atau senjata
api dan diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu sleeper wound (tidak ada
luka keluar), luka perforasi (luka masuk dan luka keluar) atau luka di mana
proyektil menembus seluruh rongga intra-toraks dan tetap berada di jaringan
subkutan. Ciri umum dari semua luka tembus adalah komunikasi langsung antara
lingkungan luar dan ruang pleura. Jika luka di dinding dada besar, pneumotoraks
terbuka terjadi. Pada defek kecil, luka menutup secara spontan akibat kontraksi
otot atau pembekuan darah. Namun, harus selalu diingat bahwa membangun
komunikasi antara lingkungan luar dan ruang pleura menyebabkan pengisapan
udara dan jaringan yang rusak di ruang pleura, mendukung perkembangan infeksi
dan semakin memperumit manajemen klinis cedera.37

2.2.3 Patofisiologi
Kekuatan traumatis dengan trauma toraks merusak fungsi paru-paru dengan
menyebabkan gangguan pada mekanisme pernapasan, gangguan hubungan
ventilasi-perfusi, kelainan pertukaran gas pada membran alveolokapiler.37
Gangguan pada Mekanisme Pernafasan
Gangguan pada mekanisme pernafasan dengan trauma thoraks disebabkan
oleh trauma tumpul yang berhubungan dengan patah tulang rusuk dan flail chest
dan disertai dengan hipoventilasi, atelektasis, sulitnya mengeluarkan dahak dari
pohon trakeobronkial, perkembangan komplikasi bronkopneumonik, gagal nafas
akut bahkan kematian, terutama pada pasien lanjut usia dengan luka tembus
dengan komunikasi langsung antara lingkungan luar dan rongga pleura, yang

11
menyebabkan terjadinya pneumotoraks, hemotoraks, ruptur diafragma traumatis,
dan ruptur saluran napas. Adanya udara atau darah di rongga pleura menyebabkan
kolaps paru-paru, perkembangan arteriovenous shunt dan hipoksia. Gangguan
mekanisme pernafasan dapat mengancam nyawa korban luka karena
menyebabkan gangguan pernafasan, hipoksia dan sianosis, seperti pada kasus
tension pneumothorax.37
Gangguan Hubungan Ventilasi-Perfusi
Oksigenasi darah normal dan eliminasi CO2 bergantung pada hubungan
ventilasi-perfusi di paru-paru. Pada trauma toraks, gangguan pada hubungan
ventilasi-perfusi muncul dengan kolaps paru atau obstruksi mekanis jalan napas
besar. Kolaps lobar atau kolaps seluruh paru disertai perfusi melalui kolaps
parenkim, tetapi karena oksigenasi tidak dipertahankan, hal ini menyebabkan
hipoksia sistemik. Perfusi paru yang terganggu dapat muncul setelah trombosis
vaskular pada parenkim paru yang rusak dan / atau mikroemboli lemak masif,
koagulasi intravaskular diseminata (DIC) dan Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS).37
Kelainan Pertukaran Gas pada Membran Alveolokapiler
Membran alveolokapiler tersusun atas lapisan surfaktan, permukaan
makrofag, epitel alveolar, ruang interstisial, dan endotel kapiler. Pada trauma
toraks dapat terjadi kerusakan langsung pada membran alveolokapiler, seperti
dalam kasus kontusio paru, menghirup asap, aspirasi isi lambung, gagal jantung
dan edema interstisial paru akibat penggunaan larutan infus dan transfusi darah
yang berlebihan. Faktor terpenting yang kemudian merusak membran alveolar
adalah: ARDS, perkembangan membran hialin dan edema alveolar, kolaps saluran
napas terminal dan penyumbatan kapiler darah, gangguan asam basa akibat
hipoksemia dan hiperkapnia, hipertensi pulmonal, peningkatan tekanan cairan
interstisial yang meningkatkan resistensi kapiler dan koagulasi intravaskular
diseminata.37

2.2.4 Tatalaksana

12
Penatalaksanaan trauma dada dapat dibagi menjadi tiga tingkat tatalaksana
yang berbeda; pra-rumah sakit, di rumah sakit atau ruang gawat darurat dan
dukungan kehidupan trauma bedah. Pada setiap tingkat manajemen, pengenalan
trauma sangat penting untuk hasil selanjutnya. Resusitasi awal dan manajemen
pasien trauma dada didasarkan pada protokol dari Advanced Trauma Life Support
(ATLS). Setelah survei primer, cedera yang mengancam jiwa segera harus
dikeluarkan atau dirawat seperti obstruksi jalan nafas, tension pneumothorax;
open pneumothorax; hemotoraks masif; flail chest; dan tamponade jantung. Survei
sekunder akan memberikan informasi tentang cedera yang berpotensi mengancam
jiw seperti kontusio paru, kontusio miokard, disrupsi aorta, rupture diafragma
traumatis, disrupsi trakeobronkial dan esofagus.38
Manajemen Pre Rumah Sakit
Penilaian pernapasan dan pemeriksaan klinis toraks (gerakan pernapasan
dan kualitas pernapasan) diperlukan untuk mengenali trauma toraks mayor seperti
tension pneumothorax, open pneumothorax, flail chest, kontusio paru, dan
hemotoraks masif. Inspeksi, palpasi, perkusi, dan terutama auskultasi akan
memberikan informasi apakah ada tension pneumothorax. Diagnosis klinis
pneumotoraks, mungkin memerlukan intervensi segera, dengan needle
decompression awal pada ruang pleura. Jika ini tidak berhasil atau ada bukti
pneumotoraks, drainase dengan chest tube diperlukan. Dengan tidak adanya
hipoventilasi pada auskultasi, atau nyeri dada pada pasien stabil, tesion
pneumothorax dapat disingkirkan. Pemeriksaan berulang adalah wajib untuk
menghindari kelalaian perkembangan pneumotoraks. Karena tension
pneumothorax adalah penyebab kematian yang paling sering reversibel pada
pasien trauma dengan serangan jantung.38

Manajemen di Rumah Sakit


Pengulangan pemeriksaan klinis pada survei primer bersama dengan
informasi anamnesis tentang mekanisme trauma thoraks akan memberikan
informasi tentang potensi keparahan cedera toraks. Ketika tingkat trauma tidak
dapat ditentukan, disarankan untuk melakukan CT scan dengan kontras. Karena

13
sensitivitas rontgen dada di IGD hanya 58,3%. Pemeriksaan USG toraks valid jika
CT scan tidak diperlukan, dibandingkan dengan rontgen dada, pemeriksaan ini
menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang setara untuk diagnosis
pneumotoraks. Ultrasonografi di ruang gawat darurat juga merupakan metode
yang dapat diandalkan untuk menyingkirkan efusi pleura / perikardial.38
Drainase chest tube diperlukan jika pneumotoraks relevan, progresif, atau
saat pasien memiliki ventilasi mekanis. Chest tube berukuran besar dibandingkan
dengan chest tube yang lebih kecil tidak memiliki keuntungan dalam pengobatan
pasien cedera berat.38

Manajemen Bedah
Menurut pedoman ATLS, bedah toraks diperlukan sesuai dengan
rekomendasi sebagai berikut:
1. Kehilangan darah pada dada TD> 1.500 mL pada awalnya atau> 200 mL
/ jam selama 2-4 jam
2. Haemoptisis
3. Emfisema subkutan masif
4. Kebocoran udara penting di atas chest tybe
5. Gambar tidak pasti pada rontgen dada atau CT thorax
6. Trauma menembus dada

Indikasi intervensi bedah toraks segera adalah:


1. Kehilangan darah ≥1.500 mL pada awalnya /> 200 mL / jam selama 2-4
jam; Kehilangan darah endobronkial
2. Kontusio masif dengan gangguan signifikan pada ventilasi mekanis
3. Cedera trakeobronkial (kebocoran udara / hemotoraks)
4. Cedera jantung atau pembuluh besar (kehilangan darah / tamponade
perikardial)

Ketika diperlukan untuk bedah toraks, torakotomi anterolateral di ruang


interkostal 4-6 biasanya direkomendasikan, meskipun pada 20% pasien tidak
cukup untuk memvisualisasikan semua lesi dan oleh karena itu harus

14
dimodifikasi. Clamshell (sternotomi transversal dan torakotomi anterolateral
bilateral) atau hemi-clamshell (sternotomi longitudinal dan torakotomi
anterolateral) akan memungkinkan eksposisi yang lebih baik dari organ toraks.
Torakotomi ruang gawat darurat sangat jarang diperlukan, torakotomi
anterolateral akan memungkinkan tindakan yang berpotensi menyelamatkan
nyawa (penjepitan pembuluh darah besar) dalam situasi ekstrim sebelum
melanjutkan ke ruang operasi.38

Gambar 4 Algoritma Trauma Toraks39

Peran operasi invasif minimal dalam manajemen trauma dada tidak boleh
diremehkan atau berlebihan. Yu et al. mendemonstrasikan pada tahun 2016
sejumlah kecil pasien yang diobati dengan VATS dengan trauma tembus toraks.
Pada semua kasus, pasien stabil secara hemodinamik dan tidak ditemukan
pembuluh darah besar intraperikardial.40 Meskipun cedera paru-paru atau
interkostal mayor didokumentasikan, semua pasien dapat berhasil diobati melalui
teknik bedah invasif minimal. Jin et al. dapat membuktikan keuntungan yang

15
signifikan untuk pasien trauma toraks stabil yang dirawat melalui VATS dalam uji
coba acak dibandingkan dengan torakotomi terbuka.41

2.3 Sistem Scoring Trauma Toraks


2.3.1 Chest Trauma Score (CTS)
Dalam trauma toraks, terutama trauma tumpul, fraktur iga adalah masalah
umum pada trauma tumpul, dengan 10% dari pasien cedera menderita fraktur
iga.42 Literasi lain mengungkapkan bahwa 6% sampai 12% dari pasien trauma
mengeluh fraktur iga. Meskipun patah tulang itu sendiri jarang menjadi cedera
yang mengancam nyawa pada pasien dengan fraktur iga, nyawa pasien terkadang
terancam oleh cedera terkait lainnya. Selain itu tidak banyak penelitian yang
dilakukan pada cedera yang berhubungan dengan fraktur iga, observasi yang
cermat diperlukan karena telah dilaporkan bahwa cedera pembuluh darah besar
umumnya dikaitkan dengan fraktur tulang iga ke-1 dan ke-2 sementara cedera
organ intra-abdominal disertai dengan fraktur iga bawah, seperti faktur iga ke-9
dan ke-10.43
Faktor yang terkait dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas dari
fraktur iga bervariasi dan termasuk usia, jumlah fraktur iga, dan perkembangan
peradangan paru-paru. Kondisi yang sudah ada sebelumnya seperti gagal jantung
kongestif dan disfungsi ginjal dan hati juga telah ditemukan terkait dengan hasil
yang lebih buruk.44,45 Intervensi untuk menerapkan protokol untuk korban trauma
lansia dengan fraktur iga melaporkan hasil yang lebih baik dan penurunan lama
rawat di rumah sakit.46
Selain fraktur iga, kontusio paru juga sering terjadi mengiringi fraktur iga.
Pada kontusio paru terjadi robekan pada alveoli dan kapiler, kebocoran darah dan
cairan interstisial ke alveoli dan jaringan. Hematoma dan edema akan terbentuk
pada area yang terkena. Ventilasi kemudian terganggu karena adanya respons
inflamasi dan protein, penurunan jumlah surfaktan dan alveoli, dapat
menyebabkan kolaps paru. Ventilasi yang terganggu menyebabkan udara yang
teroksigenisasi tidak dapat masuk saat inspirasi, perfusi juga terganggu karena
hipoventilasi pada paru yang terkena. Proses ini akan berlanjut menyebabkan

16
hipoksemia sistemik dan hiperkapnia. Apabila berat, cedera ini dapat
menyebabkan sindrom distres pernapasan akut/ARDS.43
Beberapa sistem penilaian trauma toraks telah diterbitkan untuk
mengidentifikasi pasien berisiko, tetapi sistem ini telah dievaluasi dalam kohort
pasien volume kecil. Sistem penilaian fraktur iga sebelumnya diterbitkan oleh
Pressley et al, dan Chen et al berusaha untuk memvalidasi sistem penilaian
trauma dada dalam kumpulan data yang lebih besar. Chest Trauma Score (CTS)
diturunkan dari sejumlah faktor yang dibuat oleh Pressley et al. dan divalidasi
oleh Chen. 9,11 CTS terdiri dari empat komponen berbeda dengan sistem poin yang
ditetapkan: usia (<45 tahun = 1, 45–65 = 2,> 65 = 3); memar paru (tidak ada = 0,
minor unilateral = 1, minor bilateral = 2, mayor unilateral = 3, mayor bilateral =
4); jumlah patah tulang rusuk (<3 = 1, 3-5 = 2,> 5 = 3); dan adanya patah tulang
rusuk bilateral = 2. Jumlah patah tulang rusuk dan memar paru dicatat dari
rontgen dada dan Computed Tomography (CT). Setiap parameter telah diberi skor
tertentu dan skor akhir dihitung dengan menjumlahkan skor dari setiap parameter.
CTS akhir kemudian dihitung yang berkisar dari 2 hingga 12.3
Chen et al. menemukan bahwa skor sederhana ini dapat memprediksi
kemungkinan hasil yang buruk seperti komplikasi dan mortalitas pada pasien
trauma toraks jika CTS ≥5. Chen et al. juga membandingkan CTS dengan dada
ISS dan AIS dan ditemukan tidak signifikan untuk memprediksi ketiga hasil pada
pasien yang sama. 6
Harde et al. dalam penelitiannya pada 30 pasien yang dibagi menjadi dua
kelompok yaitu dengan CTS <5 (15) dan CTS ≥5 (15). CTS ≥5 secara statistik
secara signifikan berhubungan dengan kejadian pneumonia yang tinggi (P =
0,046), peningkatan kebutuhan ventilasi mekanis (P = 0,025) dan kematian (P =
0,035) pada trauma toraks dengan sensitivitas maksimum 87,5% dan spesifisitas
68%.3 Penelitian oleh Seok et al. terkait penggunaan beberapa sistem scoring
trauma toraks mendapatkan bahwa Chest Trauma Score tinggi pada pasien
dengan komplikasi pernafasan (p=0.001).12

Tabel 2.1 Sistem Chest Trauma Score47


Usia (tahun) Skor

17
 <45 tahun 1 poin
 45-65 tahun 2 poin
 >65 tahun 3 poin
Jumlah Skor :
Jumlah Fraktur Iga
 <3 fraktur iga 1 poin
 3-5 fraktur iga 2 poin
 >5 fraktur iga 3 poin
Jumlah Skor :
Kontusio Paru
 Tidak ada 0 poin
 Minor unilateral 1 poin
 Minor bilateral 2 poin
 Mayor unilateral 3 poin
 Mayor bilateral 4 poin
Jumlah Skor :
Fraktur Iga Bilateral
 Tidak 0 poin
 Ya 2 poin
Jumlah Skor :
TOTAL SKOR :

Sikander et al menentukan skor CTS dari beberapa faktor seperti usia,


fraktur iga dan kontusio paru. Fraktur iga ditemukan pada 72 (90%) pasien.
Tingkat kematian adalah 21,3% (n = 17). Faktor yang berhubungan bermakna
dengan kematian adalah umur ≥ 80 tahun (p = 0,00), tension pneumotoraks (p =
0,036), penyakit kardiopulmonal yang sudah ada sebelumnya (p = 0,032),
kehilangan darah ≥ 500 mL (p = 0,004), flail chest (p = 0,018), dan skor trauma
dada ≥ 5 (p = 0,001). Rata-rata lama tinggal di rumah sakit dalam penelitian
adalah 5,3 ± 3,4 hari. Faktor-faktor yang memperpanjang masa rawat di rumah
sakit lebih dari lima hari termasuk kontusio paru (p = 0,02), fraktur iga lebih dari
dua (p = 0,004), hemopneumotoraks (p = 0,026), pneumonia (p = 0,003), sindrom
gangguan pernapasan akut (p = 0,003), dan flail chest (p = 0,013).48

2.3.2 Thorax Trauma Severity Score (TTSS)

18
Pada tahun 2000, Pape et al mengembangkan skor baru berupa thorax
trauma severity score (TTSS), yang menggabungkan parameter terkait pasien
dengan parameter anatomi dan fisiologis. TTSS terdiri dari lima parameter; usia,
PaO2 / FiO2, cedera pleura, konstrusi paru, dan patah tulang rusuk, dan skor
berkisar dari 0 sampai 25 poin.13,14 Hal ini didasari oleh beberapa poin. pada
bagian pertama dari penelitiannya, Pape telah mencoba untuk fokus pada masalah
ini pada sejumlah besar pasien yang telah diserahkan ke kondisi penyelamatan
yang serupa dan protokol pengobatan yang sebanding. Dalam populasi pasien
politrauma dengan trauma toraks tumpul, Pape menyelidiki pengaruh sifat dan
distribusi cedera toraks (cedera iga dibandingkan dengan parenkim) pada
komplikasi terkait trauma dada. Pape juga menentukan pengaruh usia sehubungan
dengan cedera toraks yang berbeda ini. Dari semua ini, Pape dengan jelas
mendokumentasikan bahwa cedera paru parenkim merupakan parameter yang
lebih penting untuk hasil yang merugikan daripada fraktur. Kombinasi kontusio
paru bilateral dan hemopneumotoraks atau paru terkait laserasi sangat relevan
dalam hal ini. Kedua, keterlibatan bilateral dari cedera dada secara dramatis
meningkatkan angka kematian. Ketiga, kami menemukan bahwa usia yang lebih
tua (70 tahun) dikaitkan dengan peningkatan risiko menderita fraktur iga daripada
kontusio paru.13,14 Fraktur saja tidak dapat memprediksi hasil yang merugikan
selanjutnya. Dalam studi klinis tambahan, fraktur iga tidak dapat dikorelasikan
dengan kontusio paru yang mendasari atau dengan perkembangan lesi ini.13,14
Skor keparahan trauma toraks (TTSS) tepat untuk penilaian terkait cedera
tulang dan parenkim serta mempertimbangkan parameter fisiologis. TTSS adalah
prediktor yang lebih baik dari trauma trauma terkait komplikasi pada saat masuk
dalam keadaan darurat dengan menggunakan parameter yang sudah tersedia yaitu
X-ray toraks dan gas darah arteri.13,14
Aukema et al dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa TTSS secara
statistik signifikan lebih tinggi pada pasien yang meninggal karena komplikasi
terkait toraks dibandingkan pada pasien yang meninggal karena komplikasi yang
tidak berhubungan dengan toraks dan selamat (P <0,001, interval kepercayaan

19
[CI] 95%). Pada pasien yang mengembangkan ARDS, TTSS secara signifikan
lebih tinggi (P = 0,005, CI 95%).49

Tabel 2.2 Thoracic Trauma Severity Score7


Derajat PaO2/FiO2 Fraktur Kontusio Keterlibatan Usia Poin
Iga Pleura
0 >400 0 tidak ada tidak ada <30 0
I 300-400 1-3 1 lobus, Pneumotoraks 30-41 1
bilateral
II 200-300 3-6 1 lobus hemotoraks/ 42-54 2
bilateral hemo
atau 2 pneumotoraks
lobus unilateral
unilateral
III 150-200 >3 <2 lobus hemotoraks/hemo 55-70 3
bilateral bilateral pneumotoraks
bilateral
IV <150 flail ≥2 lobus tension ≥70 5
chest bilateral pneumothorax

Penelitian oleh Zahran et al menemukan bahwa outcome pasien trauma


toraks dapat diprediksi berdasarkan skor keparahan trauma toraks. Skor 7 poin
atau lebih dikaitkan dengan peningkatan morbiditas, dan skor 20 poin atau lebih
memprediksi prognosis fatal dan ventilasi mekanis yang berkepanjangan. 15
Penelitian oleh Seok et al, TTSS merupakan sistem scoring yang paling berguna
untuk memprediksi komplikasi pernapasan pada pasien fraktur tulang rusuk
terisolasi dengan kontusio paru.12
Casas et al dalam penelitiannya justru mendapakan bahwa area di bawah
kurva untuk TTSS signifikan untuk memprediksi komplikasi (0,848) dan nilai
mortalitas (0,856). TTSS dengan nilai cut off 8 poin memiliki sensitivitas 66%
dan spesifisitas 94% untuk memprediksi komplikasi dan sensitivitas 80% dan
spesifisitas 94% untuk memprediksi mortalitas.50
Dalam studi Daurat et al, skor TTSS saat masuk memprediksi rasio PaO2 /
FiO2 terendah yang diamati kemudian selama perawatan di ICU (p <0,001),
setiap poin tambahan untuk skor TTSS saat masuk dikaitkan dengan penurunan

20
PaO2 / terendah yang diharapkan Rasio FiO2 19.2. Variabel TTS skor 13-25
ditemukan secara independen terkait dengan terjadinya ARDS.51
Okabe dkk menyatakan bahwa, pasien lansia dengan trauma dada
dilaporkan memiliki tingkat mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi daripada
pasien yang lebih muda.52 Dalam penelitian Sharma, TTSS yang lebih tinggi
dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, hasil serupa terlihat dalam penelitian
Adel Elbaih dkk menunjukkan TTSS, 33,3% pasien mendapat skor 0-5, 26,6%
mendapat skor 6-10, 20% mendapat skor 11-15, 13,3% pasien mendapat skor 16-
20, dan hanya 6,7% mendapat skor ≥21 dengan angka kematian tertinggi dalam
skor tinggi. skor 0-5, 2 pasien dipulangkan, dan 8 pasien masuk ruang rawat inap.
Dengan skor 6-10, 4 pasien dirawat di ruang rawat inap dan 4 pasien di ICU.
Semua dari mereka yang mendapat skor 11-20 dirawat di ICU, dan skor ≥21-25
nasibnya adalah kematian dini dua pasien, menunjukkan skor yang lebih tinggi
dikaitkan dengan risiko kematian yang tinggi, serupa dengan hasil penelitian
Sharma et al.53,54
Dalam studi Casas et al di mana rata-rata TTSS pasien adalah 4,8 ± 1,9
poin, hanya 8 dari 239 pasien (3,3%) yang membutuhkan ventilasi mekanis dalam
penelitian mereka dan menunjukkan 2,1% kematian pasien dalam penelitian
mereka dengan rata-rata pasien yang dirawat di rumah sakit. adalah 1,5 ± 4,3 hari
(kisaran 0-45 hari).55 Dalam penelitian Sharma et al, kebutuhan ventilasi mekanis
adalah 17,27% dari total pasien, tetapi dengan skor TTS yang lebih tinggi.53

21
2.4 Kerangka Teori
Morbiditas:
 Usia
Pasien dengan trauma toraks  Fraktur iga
(unilateral/bilateral)
 Flail chest
 Pneumotoraks/Hemotoraks
USG eFAST  Flail chest
 Pneumonia/ Kontusio paru

Hemotoraks Pneumotoraks

Tidak Tidak
stabil Tube stabil Pemeriksaan Skoring
Thoracostomy

Stabil Stabil  Chest Trauma Score


Rontgen toraks (CTS)
 Thorax Trauma
Severity Score (TTSS)

Hemotoraks Mediastinum Tidak ada Pneumotoraks


melebar pneumotoraks Mortalitas

Observasi
Tube
CT Scan Thoracostomy
Tube Toraks
Thoracostomy
Trauma
Terapi
Tumpul
Aorta
Observasi

Pneumotoraks
samar Tube
Thoracostomy

22
2.5 Kerangka Konsep

Pasien dengan trauma toraks

Pemeriksaan Chest Pemeriksaan Thorax


Trauma Score (CTS) Trauma Severity Score
(TTSS)

Outcome

Morbiditas Mortalitas

(+) (-)

23
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik
dengan metode cross sectional dan uji diagnostik yang membandingkan 2 sistem
skoring, yaitu CTS dan TTSS untuk memprediksi outcome pada Pasien Trauma
Toraks Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


3.2.1 Waktu
Penelitian dilakukan setelah disetujui oleh komite Etik sampai memenuhi
sampel minimal.

3.2.2 Tempat
Penelitian dilakukan di Instalasi Gawat Darurat dan Bangsal Bedah RSMH
Palembang dan bagian Rekam Medis RSMH.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien trauma yang sudah
pernah dirawat (melalui rekam medis) atau sedang dirawat toraks di Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang .

3.3.2 Sampel
Penelitian ini menggunakan metode consecutive sampling dimana seluruh
anggota populasi yang memenuhi kriteria inklusi diikutkan dalam penelitian ini
sampai memenuhi sampel minimal.

24
Besar sampel penelitian ditentukan dengan rumus perbandingan sebagai

berikut:32

Z α 2 Sen(1−Sen)
n=
d2 P

Keterangan :

N = besar sampel

Zα = 1,96 (derivat baku alfa yang menunjukan konversi dari luas daerah

dibawah kurva normal pada tingkat kepercayaan tertentu terhadap

standar deviasi, nilai Zα yang ditetapkan pada penelitian diagnostik

dengan keluaran sensitifitas ialah sebesar 1,96)

Sen = sensitivitas yang diinginkan dari alat yang diuji nilai diagnostiknya

(90%) [ditetapkan oleh peneliti]

d = ketepatan / presisi penelitian (0,2) [ditetapkan oleh peneliti]

P = proporsi penyakit (prevalensi mortalitas dengan P sebesar 0,1 sesuai

penelitian Zahran)

1,96 2 x 0,9(1−0,9)
n=
0,22 x 0,1

n=44,1 ≈ 45

Dengan memperhatikan drop out 10% maka besar sampel masing-masing

kelompok adalah 45 + 10% = 50 sampel.

3.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah pasien dengan diagnosis trauma
toraks yang masuk ke IGD serta Bangsal Bedah RSMH Palembang. Pasien

25
dengan usia < 18 tahun serta pasien dengan cedera signifikan pada bagian tubuh
lainnya dieksklusi dari penelitian ini.

3.4 Variabel Penelitian


Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah usia, kontusio
paru, jumlah fraktur iga, fraktur iga bilateral, PaO2/FiO2 serta Chest Trauma
Score (CTS) dan Thoracic Trauma Severity Score (TTSS). Semua variabel ini
merupakan komponen penilaian pada CTS dan TTSS.

3.5 Definisi Operasional


3.5.1 Usia
Definisi :Usia pasien sejak dilahirkan sampai terdiagnosis
dengan trauma toraks yang masuk ke IGD dan
bangsal bedah RSMH Palembang periode
penelitian berdasarkan pembagian Chest Trauma
Score (CTS) dan Thoracic Trauma Severity Score
(TTSS).
Hasil Ukur : Dikategorikan atas:
a. < 45 tahun, 45-65 tahun, dan > 65 tahun (skor
CTS)
b. <30 tahun, 30-41 tahun, 42-54 tahun, 55-70
tahun, ≥70 tahun (skor TTSS)

3.5.2 Kontusio Paru


Definisi :Kontusio paru pada pasien trauma toraks dari
pemeriksaan fisik yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologis yang masuk ke IGD dan
bangsal bedah RSMH Palembang periode Januari –
Juni 2020 berdasarkan pembagian Chest Trauma
Score (CTS) dan Thoracic Trauma Severity Score
(TTSS)

26
Hasil Ukur : Dikategorikan atas:
a. Tidak ada, minor unilateral, mayor unilateral,
minor bilateral, dan mayor bilateral (skor
CTS)
b. Tidak ada,1 lobus, bilateral, 1 lobus bilateral
atau 2 lobus unilateral, <2 lobus bilateral, dan
≥2 lobus bilateral (skor TTSS)

3.5.3 Jumlah Fraktur Iga


Definisi :Jumlah iga yang mengalami fraktur pada
pemeriksaan fisik yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologis pada pasien trauma toraks
yang masuk ke IGD dan bangsal bedah RSMH
Palembang periode penelitian berdasarkan
pembagian Chest Trauma Score (CTS) dan
Thoracic Trauma Severity Score (TTSS)
Hasil Ukur : Dikategorikan atas:
a. < 3 fraktur iga, 3-5 fraktur iga, dan > 5 fraktur
iga (skor CTS)
b. 0, 1-3fraktur iga, 3-6 fraktur iga, >3 bilateral,
dan flail chest
3.5.4 Fraktur Iga Bilateral
Definisi : Fraktur iga pada dua sisi toraks pada pasien trauma
toraks yang masuk ke IGD dan bangsal bedah
RSMH Palembang periode Januari – Juni 2020
berdasarkan pembagian Chest Trauma Score (CTS)
dan Thoracic Trauma Severity Score (TTSS)
Hasil Ukur : Dikategorikan atas:
a. Tidak ada
b. Ada

27
3.5.5 Chest Trauma Score (CTS)
Definisi : Skoring trauma toraks yang mencakup 4 parameter
antara lain usia pasien (1-3 poin), kontusio paru (0-
3 poin), jumlah fraktur iga (1-3 poin), dan fraktur
iga bilateral (2 poin). Skor berkisar dari 0 hingga
11.6
Hasil Ukur : Dikategorikan atas:
a. <5
b. ≥5
3.5.6 PaO2/FiO2
Definisi : Rasio tekanan parsial oksigen arteri (PaO2 dalam
mmHg) terhadap oksigen inspirasi fraksional
berdasarkan pembagian skor TTSS
Hasil Ukur : Dikategorikan atas:
a. >400
b. 300-400
c. 200-300
d. 150-200
e. <150

3.5.7 Thoracic Trauma Severity Score (TTSS)


Definisi : Skoring trauma toraks yang mencakup 5 parameter
antara lain usia, PaO2 / FiO2, cedera pleura,
konstrusi paru, dan patah tulang rusuk, dan skor
berkisar dari 0 sampai 25 poin.7,13,14
Hasil Ukur : Dikategorikan atas:
a. <8
b. ≥8
3.5.8 Lama Perawatan
Definisi : rerata waktu yang dibutuhkan dalam tatalaksana
trauma toraks untuk kategori CTS dan TTSS,

28
berkisar 1 hingga ≥ 5 hari55
Hasil Ukur : dalam satuan hari,dikategorikan atas:
a. < 5hari (singkat)
b. ≥ 5 hari (lama)

3.5.9 Mortalitas
Definisi : jumlah kematian akibat trauma toraks untuk
kategori CTS dan TTSS
Hasil Ukur : Dikategorikan atas:
a. meninggal
b. tidak meninggal

3.5.10 Torakotomi
Definisi : tindakan bedah yang membuka rongga toraks
Untuk kategori CTS dan TTSS
Hasil Ukur : Dikategorikan atas:
a. torakotomi
b. tanpa torakotomi

3.5.11 Rawat Intensive Care Unit (ICU)


Definisi : perawatan dengan menginap di rumah sakit
ruangan rawat secara sungguh-sungguh dan
terus menerus untuk mendapatkan hasil optimal
untuk kategori CTS dan TTSS
Hasil Ukur : Dikategorikan atas:
a. Dengan Perawatan ICU
b. Tanpa Perawatan ICU

3.6 Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan merupakan data primer hasil pemeriksaan pasien


di IGD dan bangsal bedah RSMH Palembang serta data sekunder dari hasil
rekam medis pada pasien yang pernah dirawat di RSMH Palembang dengan

29
diagnosa yang sama. Hasil pengumpulan data kemudian dicatat sesuai dengan
variabel yang diteliti, yaitu usia, kontusio paru, jumlah fraktur iga, fraktur iga
bilateral dan PaO2/FiO2. Komponen penilaian ini kemudian dimasukkan ke
dalam Chest Trauma Score (CTS) dan Thoracic Trauma Severity Score (TTS)
sehingga didapatkan nilai CTS untuk selanjutnya dihubungkan dengan data lama
perawatan, jenis tindakan, mortalitas dan kebutuhan ICU.

3.7 Cara Pengolahan dan Analisis Data


Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah secara deskriptif dan
analitik berdasarkan jumlah kasus yang didapatkan sesuai dengan variabel yang
diteliti. Analisis variabel menggunakan analisis bivariat dengan uji chi-square.
Perbandingan hasil pemeriksaan diketahui dengan cara penilaian korelasi, akurasi,
sensitivitas, spesifitas, nilai duga positif, dan nilai duga negatif. menggunakan
komputer statistik SPSS (Statistical Package for Social Scienses) versi 22.
Kemaknaan ditentukan jika p < 0,05. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk
tabel yang selanjutnya dijelaskan dalam bentuk narasi.

3.8 Jadwal Kerja

Tabel 3.1 Jadwal Kerja


KEGIATAN Jan Feb Mar Apr Mei
Merancang UP
Pengajuan UP
Seminar UP
3.9
Perbaikan UP
Pengumpulan data
Analisis data
Penyusunan tesis
Ujian tesis
Anggaran
Perkiraan biaya penelitian yang diperlukan ialah sebagai berikut :
1. Penyusunan dan presentasi proposal penelitian Rp1.000.000,00
2. Biaya UPKK dan UBH Rp1.000.000,00
3. Penyusunan dan presentasi hasil penelitian Rp1.000.000,00+

30
Rp 3.000.000,00

3.9 Alur Penelitian

Pasien dengan trauma toraks


yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi

Consecutive sampling

Penilaian skor CTS dan TTSS

Outcome

Morbiditas Mortalitas

(+) (-)

Analisis Data

LAMPIRAN

31
Tabel 3.1 Variabel Penelitian Usia
Variabel N(%)

Usia sesuai skor CTS


<45 tahun
45-65 tahun
>65 tahun

Usia sesuai skor TTSS


<30 tahun
30-41 tahun
42-54 tahun
55-70 tahun
≥70 tahun

Tabel 3.2 Variabel Penelitian Kontusio Paru


Variabel N(%)

Kontusio Paru (sesuai skor CTS)


Tidak ada
Minor unilateral
Mayor unilateral
Minor bilateral
Mayor bilateral

Kontusio Paru (sesuai skor TTSS)


tidak ada
1 lobus, bilateral
1 lobus bilateral atau 2 lobus unilateral
<2 lobus bilateral
≥2 lobus bilateral

Tabel 3.3 Variabel Penelitian Jumlah Fraktur Iga

32
Variabel N(%)

Jumlah Fraktur Iga (sesuai


skor CTS)
< 3 fraktur iga
3-5 fraktur iga
>5 fraktur iga

Jumlah Fraktur Iga


(sesuai skor TTSS)
0
1-3 fraktur iga
3-6 fraktur iga
>3 bilateral
Flail chest

Tabel 3.4 Variabel Penelitian Fraktur Iga Bilateral


Tidak Ada Ada
Fraktur Iga Bilateral

Tabel 3.5 Variabel Penelitian


Tidak Ada Ada
PaO2/FIO2
>400
300-400
200-300
150-200
<150

Tabel 3.6 Variabel Penelitian Chest Trauma Score


<5 ≥5
Chest Trauma Score

Tabel 3.7 Variabel Penelitian Thoracic Trauma Severity Score


<8 ≥8
Thoracic Trauma
Severity Score

Tabel 3.8 Variabel Penelitian Lama Perawatan


Lama Perawatan (hari)

33
Paling Paling Paling Total
Rerata
Singkat Lama Sering
Chest
Trauma
Score
<5
≥5
Thoracic
Trauma
Severity
Score
<8
≥8

Tabel 3.9 Skor terkait Mortalitas


Variabel Mortalitas P
Meninggal Tidak
Meninggal
Chest Trauma <5
Score ≥5
Thoracic <8
Trauma
≥8
Severity Score

Tabel 3.10 Skor terkait Tindakan Operasi


Tindakan Operasi P
Torakotomi Tanpa
Torakotomi
Chest Trauma <5
Score ≥5
Thoracic <8
Trauma
≥8
Severity Score

Tabel 3.11 Variabel Penelitian Perawatan ICU


Perawatan ICU P

34
ICU Tanpa ICU
Chest Trauma <5
Score ≥5
Thoracic <8
Trauma
≥8
Severity Score

DAFTAR PUSTAKA

1. Mohammad A., Branicki F., Abu-Zidan F.M. Educational and clinical


impact of Advanced Trauma Life Support (ATLS) courses: a systematic
review. World J Surg. 2014;38:322–329.

35
2. Liwe N, Limpeleh H, Monoarfa A. Pola Trauma Tumpul Toraks Di Instalasi
Rawat Darurat Bedah Rsu Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli
2011 – Juni 2012. e-CliniC. 2014;2(2).
3. Harde M, Aditya G, Dave S. Prediction of outcomes in chest trauma patients
using chest trauma scoring system: A prospective observational
study. Indian J Anaesth. 2019;63(3):194-199. doi:10.4103/ija.IJA_750_18
4. Ludwig C, Koryllos A. Management of chest trauma. J Thorac Dis.
2017;9(Suppl 3):S172-S177. doi:10.21037/jtd.2017.03.52
5. Veysi VT, Nikolaou VS, Paliobeis C, Efstathopoulos N, Giannoudis PV.
Prevalence of chest trauma, associated injuries and mortality: A level I
trauma centre experience. IntOrthop. 2009;33:1425–33.
6. Chen J, Jeremitsky E, Philp F, Fry W, Smith RS. A chest trauma scoring
system to predict outcomes. Surgery. 2014;156:988–94.
7. Pape HC, Remmers D, Rice J, Ebisch M, Krettek C, Tscherne H. Appraisal
of early evaluation of blunt chest trauma: Development of a standardized
scoring system for initial clinical decision making. J Trauma. 2000;49:496–
504. 
8. Javali RH, Krishnamoorthy, Patil A, Srinivasarangan M, Suraj, Sriharsha.
Comparison of Injury Severity Score, New Injury Severity Score, Revised
Trauma Score and Trauma and Injury Severity Score for Mortality
Prediction in Elderly Trauma Patients. Indian J Crit Care Med.
2019;23(2):73-77. doi:10.5005/jp-journals-10071-23120
9. Ekpe EE, Eyo C. Determinants of mortality in chest trauma patients. Niger J
Surg. 2014;20:30–4.
10. Perna V, Morera R. Prognostic factors in chest traumas: A prospective study
of 500 patients. Cir Esp. 2010;87:145–70.
11. Pressley CM, Fry WR, Philp AS, Berry SD, Smith RS. Predicting outcome
of patients with chest wall injury. Am J Surg. 2012;204:910–4
12. Seok J, Cho HM, Kim HH, Kim JH, Huh U, Kim HB, Leem JH, Wang IJ.
Chest Trauma Scoring Systems for Predicting Respiratory Complications in
Isolated Rib Fracture. Journal of surgical research. 2019; 244;84-90

36
13. Wang SH, Wei TS, Chen CP. Prognostic analysis of patients with blunt
chest trauma admitted to an intensive care unit. J Formos Med Assoc
2007;106(6):444–51.
14. Meade Barlow, Jose M. Prince. Predicting outcomes in the setting of the
blunt thoracic trauma. J Surg Res.2013;183(1):100–1.
15. Zahran et al. Evaluation of the predictive value of thorax trauma severity
score (TTSS) in thoracic-traumatized patients. The Cardiothoracic Surgeon.
2020; 28:3
16. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 2006. Jakarta:
EGC
17. Hussain A, Burns B.  StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure
Island (FL): Jul 31, 2020. Anatomy, Thorax, Wall
18. Donley ER, Holme MR, Loyd JW.  StatPearls [Internet]. StatPearls
Publishing; Treasure Island (FL): Jul 10, 2020. Anatomy, Thorax, Wall
Movements. 
19. Clemens MW, Evans KK, Mardini S, Arnold PG. Introduction to chest wall
reconstruction: anatomy and physiology of the chest and indications for
chest wall reconstruction. Semin Plast Surg. 2011 Feb;25(1):5-15.
20. Tang A, Bordoni B.  StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure
Island (FL): Jul 27, 2020. Anatomy, Thorax, Muscles.
21. Rivard AB, Galarza-Paez L, Peterson DC.  StatPearls [Internet]. StatPearls
Publishing; Treasure Island (FL): Aug 15, 2020. Anatomy, Thorax, Breast. 
22. Kocbek L, Rakuša M. Common trunk of the posterior intercostal arteries
from the thoracic aorta: anatomical variation, frequency, and importance in
individuals. Surg Radiol Anat. 2018 Apr;40(4):465-470
23. Shahoud JS, Kerndt CC, Burns B.  StatPearls [Internet]. StatPearls
Publishing; Treasure Island (FL): Jul 27, 2020. Anatomy, Thorax, Internal
Mammary (Internal Thoracic) Arteries. 
24. Rizvi S, Wehrle CJ, Law MA.  StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing;
Treasure Island (FL): Jul 31, 2020. Anatomy, Thorax, Mediastinum
Superior and Great Vessels

37
25. Kudzinskas A, Callahan AL. Anatomy, Thorax. [Updated 2020 Jul 31]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557710/
26. White HJ, Soos MP.  StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure
Island (FL): Aug 15, 2020. Anatomy, Thorax, Superior Vena Cava. 
27. Ilahi M, St Lucia K, Ilahi TB.  StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing;
Treasure Island (FL): Jul 31, 2020. Anatomy, Thorax, Thoracic Duct.
28. Wang J, Li J, Liu G, Deslauriers J. Nerves of the mediastinum. Thorac Surg
Clin. 2011 May;21(2):239-49, ix. 
29. Glenesk NL, Rahman S, Lopez PP.  StatPearls [Internet]. StatPearls
Publishing; Treasure Island (FL): Jul 27, 2020. Anatomy, Thorax,
Intercostal Nerves.
30. Polcaro L, Charlick M, Daly DT.  StatPearls [Internet]. StatPearls
Publishing; Treasure Island (FL): Aug 10, 2020. Anatomy, Head and Neck,
Brachial Plexus. 
31. Alshak MN, M Das J.  StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure
Island (FL): Jul 27, 2020. Neuroanatomy, Sympathetic Nervous System
32. Kenny BJ, Bordoni B.  StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure
Island (FL): Jul 31, 2020. Neuroanatomy, Cranial Nerve 10 (Vagus Nerve)
33. Allen E, Minutello K, Murcek BW.  StatPearls [Internet]. StatPearls
Publishing; Treasure Island (FL): Jul 27, 2020. Anatomy, Head and Neck,
Larynx Recurrent Laryngeal Nerve. 
34. Williamson AJ, Shermetaro C.  StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing;
Treasure Island (FL): Aug 11, 2020. Unilateral Vocal Cord Paralysis.
35. Oliver KA, Ashurst JV.  StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing;
Treasure Island (FL): Jul 27, 2020. Anatomy, Thorax, Phrenic Nerves.
36. Edgecombe L, Sigmon DF, Galuska MA, et al. Thoracic Trauma. [Updated
2020 Jun 1]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534843/

38
37. Milisavljević S, Spasić M, Arsenijevic M. Thoracic Trauma. Current
Concepts in general Thoracic Surgery. 2012.
38. Ludwig C, Koryllos A. Management of chest trauma. J Thorac Dis.
2017;9(Suppl 3):S172-S177. doi:10.21037/jtd.2017.03.52
39. Ball CG, Kirkpatrick AW, Feliciano DV (2009) The occult pneumothorax:
what have we learned? Can J Surg 52(5): E173-E179.

40. Yu PS, Chan HH, Lau RW, et al. Penetrating thoracic injury with retained
foreign body: can video-assisted thoracic surgery take up the leading role in
acute management? J Thorac Dis 2016;8:2247-51. 10.21037/jtd.2016.07.05
41. Jin J, Song B, Lei YC, et al. Video-assisted thoracoscopic surgery for
penetrating thoracic trauma. Chin J Traumatol 2015;18:39-40.
10.1016/j.cjtee.2014.07.003 
42. Brown SD, Walters MR. Patients with rib fractures. J Trauma Nurs
2012;19:89-91.
43. Park S. Clinical analysis for the correlation of intra-abdominal organ injury
in the patients with RIB fracture. Korean J Thorac Cardiovasc Surg.
2012;45(4):246–250.
44. Battle CE, Hutchings H, Evans PA. Risk factors that predict mortality in
patients with blunt chest wall trauma: a system- atic review and meta-
analysis. Injury 2012;43:8-17.
45. Brasel KJ, Guse CE, Layde P, et al. Rib fractures: relation- ship with
pneumonia and mortality. Crit Care Med 2006; 34:6.
46. Sahr SH, Webb ML, Hackett Renner C, et al. Implementa- tion of a rib
fracture triage protocol in elderly trauma pa- tients. J Trauma Nurs
2013;20:172-5.
47. Soesanto H, Tangkilisan A, Lahunduitan I. Thorax Trauma Severity Score
sebagai Prediktor Acute Respiratory Distress Syndrome pada Trauma
Tumpul Toraks. J Biomedik. 2018;10(1).

39
48. Sikander N, Ahmad T, Shaikh K A, et al. (August 23, 2020) Analysis of
Injury Patterns and Outcomes of Blunt Thoracic Trauma in Elderly Patients.
Cureus 12(8): e9974. doi:10.7759/cureus.9974
49. Aukema TS, Beenen LF, Hietbrink F, Leenen LP. Validation of the Thorax
Trauma Severity Score for mortality and its value for the development of
acute respiratory distress syndrome. Open Access Emerg Med. 2011;3:49-
53. Published 2011 Aug 23. doi:10.2147/OAEM.S22802
50. Martínez Casas I, Amador Marchante MA, Paduraru M, Fabregues Olea AI,
Nolasco A, Medina JC. Thorax Trauma Severity Score: Is it reliable for
Patient's Evaluation in a Secondary Level Hospital?. Bull Emerg Trauma.
2016;4(3):150-155.
51. Daurat A, Millet I, Roustan JP, Maury C, Taourel P, Jaber S, et al. Thoracic
trauma severity score on admission allows to determine the risk of delayed
ARDS in trauma patients with pulmonary contusion. Injury.
2016;47(1):147-53.
52. Okabe Y. Risk factors for prolonged mechanical ventilation in patients with
severe multiple injuries and blunt chest trauma: a single center retrospective
case–control study. Acu Med Surg. 2018;5:166-72.
53. Sharma AK et al A study to validate thoracic trauma severity score in chest
trauma patients . Int Surg J. 2020 May;7(5):1526-1529
54. Elbaih AH, Elshapowry IM, Kalil NG, El-Aouty H. Evaluation of thoracic
trauma severity score in predicting the outcome of isolated blunt chest
trauma patients. Int J Surg Med. 2016;2(3):100-6.
55. Casas MI, Marchante MA, Paduraru M, Olea AI, Nolasco A, Medina JC.
Thorax trauma severity score: is it reliable for patient's evaluation in a
secondary level hospital? Bull Emerg Trauma. 2016;4(3):150-5.

40

Anda mungkin juga menyukai