Definisi
Secara umum trauma toraksdapat didefinisikan sebagai suatutrauma
yang mengenai dinding toraksyang secara langsung maupun tidak langsung
berpengaruh pada padaorgan didalamnya, baik sebagai akibat dari suatu
trauma tumpul maupun oleh sebabtrauma tajam.Peningkatan dalam
pemahaman mekanisme fisiologis yang terlibat, kemajuan dalam modalitas
imagingyang lebih baru, pendekatan invasifyang minimal, dan terapi
farmakologis memberikan kontribusi dalam menurunkan morbiditas dan
mortalitas pada pasiendengan cedera ini(Mattox,et al.,2013; Marc Eckstein,
2014; Lugo,,et al.,2015).
B. Etiologi
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul 65%
dan trauma tajam 34.9 % (Ekpe & Eyo, 2014). Penyebab trauma toraks
tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%) (Saaiq,et
al.,2010). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis benturan (impact)
yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan terguling. Oleh
karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap
karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma
toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat
energinya, yaitu berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi sedang
seperti tembakan pistol,dan berenergi tinggi seperti pada tembakan senjata
militer atau ledakan. Penyebab trauma toraks yang lain adalah adanya
tekanan yang berlebihan pada paru-paru yang bisa menyebabkan
Pneumotoraks seperti pada aktivitas menyelam (Saaiq,et al.,2010).
Trauma toraks dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta dan
sternum, rongga pleura saluran nafas intra toraks dan parenkim paru.
Kerusakan ini dapat terjadi tunggal ataupun kombinasi tergantung dari
mekanisme cedera
C. Patofisiologi
Utuhnya suatu dinding Toraks sangat diperlukan untuk sebuah ventilasi
pernapasan yang normal. Pengembangan dinding toraks ke arah luar oleh
otot-otot pernapasan diikuti dengan turunnya diafragma menghasilkan
tekanan negative dari intra thoraks. Proses ini menyebabkan masuknya udara
pasif ke paru-paru selama inspirasi.Trauma toraks mempengaruhi strukur-
struktur yang berbeda dari dinding toraks dan rongga toraks. Toraks dibagi
kedalam 4 komponen, yaitu dinding dada,rongga pleura, parenkim paru,dan
mediastinum. Dalam dinding dada termasuk tulang-tulang dada dan otot-otot
yang terkait. Rongga pleura berada diantara pleura viseral dan parietal dan
dapat terisi oleh darah ataupun udara yang menyertai suatu trauma toraks.
Parenkim paru termasuk paru-paru dan jalan nafas yang berhubungan, dan
mungkin dapat mengalami kontusio, laserasi, hematoma dan pneumokel.
Mediastinum termasuk jantung, aorta/pembuluh darah besar dari toraks,
cabang trakeobronkial dan esofagus. Secara normal toraks bertanggungjawab
untuk fungsi vital fisiologi kardio pulmoner dalam menghantarkan oksigenasi
darah untuk metabolism jaringan pada tubuh. Gangguan pada aliran udara
dan darah, salah satunya maupun kombinasi keduanya dapat timbul akibat
dari cedera toraks (Eckstein & Handerson, 2014; Lugo,,et al.,2015).
Secara klinis penyebab dari trauma toraks bergantung juga pada
beberapa faktor, antara lain mekanisme dari cedera, luas dan lokasi dari
cedera, cedera lain yang terkait, dan penyakit-penyakit komorbid yang
mendasari. Pasien -pasien trauma toraks cenderung akan memburuk sebagai
akibat dari efek pada fungsi respirasinya dan secara sekunder akan
berhubungan dengan disfungsi jantung. Pengobatan dari trauma Toraks
bertujuan untuk mengembalikan fungsi kardio respirasi menjadi normal,
menghentikan perdarahan dan mencegah sepsis (Saaiq,et al.,2010; Eckstein
& Handerson, 2014; Lugo,,et al.,2015)
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma toraks dapat ringan sampai
berat tergantung pada besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma.
Kerusakan anatomi yang ringan pada dinding toraks berupa fraktur kosta
simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta
multiple dengan komplikasi pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio
pulmonum. Trauma yang lebih berat menyebakan robekan pembuluh darah
besar dan trauma langsung pada jantung (Saaiq et al.,2010; Lugo,et al.,2015).
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ di dalamnya dapat
mengganggu fungsi fisiologis dari sistem respirasi dan kardiovaskuler.
Gangguan sistem respirasidan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat
tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal respirasi dapat berupa
gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi, dan gangguan mekanik alat
pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah
gangguan faal jantung dan pembuluh darah (Saaiq,et al.,2010; Mattox,et
al.,2013; Lugo,,et al.,2015).
D. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala yang sering muncul pada penderita trauma dada;
1. Nyeri pada tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi.
2. Pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi.
3. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek.
4. Dyspnea, takipnea
5. Takikardi
6. Tekanan darah menurun.
7. Gelisah dan agitasi
8. Kemungkinan cyanosis.
9. Batuk mengeluarkan sputum bercak darah.
10. Hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit.
Setiap trauma organ memiliki skor AIS yang dibagi menjadi enam
bagian tubuh yaitu kepala, wajah, dada, abdomen, ekstremitas dan struktur
eksternal. Hanya skor AIS tertinggi yang digunakan pada setiap bagian
tubuh. Skor AIS tiga bagian tubuh yang mengalami trauma terberat di
kuadratkan dan di jumlahkan sehingga menghasilkan ISS seperti table 2.3
(Chawda, et al., 2004).
3. Injury Severity Score (ISS)
Skoring ISS ini digunakan untuk menentukan “trauma mayor”. Koding
cedera traumatik dengan ISS didasarkan pada lokasi anatomis dari enam
zona tubuh. Zona tubuh ini meliputi: 1) kepala atau leher termasuk spina
servikal, 2) wajah termasuk tulang wajah, hidung, mulut, mata, dan telinga,
3) dada, spina torakal, dan diafragma, 4) abdomen atau pelvis, organ
abdominal, dan spina lumbalis, 5) ekstremitas, tulang pelvis, 6) eksternal.
Abbreviated Injury Scale (AIS) didasarkan pada anatomi dari cedera dan
sistem skoring ini mengklasifikasikan tiap cedera pada zona tubuh
berdasarkan keparahan pada suatu skala angka enam. Oleh karena itu,
untuk menghitung ISS, kode AIS tertinggi diambil dari tiga zona tubuh yang
mengalami cedera terparah. Lalu, tiap kode AIS dikuadratkan kemudian
dijumlahkan (ISS=A2+B2+C2, dimana A,B,dan C merupakan skoring AIS
untuk tiga regio tubuh ISS yang mengalami cedera paling parah).Skoring
ISS berkisar antara 1 hingga 75 dan bila salah satu dari tiga skor adalah 6
maka skor secara otomatis dihitung menjadi 75. Skor 6 atau unsurvivable
dapat mengindikasikan penghentian untuk perawatan lebih lanjut. Suatu
trauma mayor ditentukan bila skor ISS lebih dari 15 (Domingues,et
al.,2011; Ehsaei,et al.,2014).
Walaupun ISS telah menjadi indeks terbaik untuk menentukan tingkat
keparahan trauma selama hampir 20 tahun, namun skoring ini hanya
meliputi satu cedera yang paling parah di setiap regio tubuh,
bagaiamanapun, pasien poli trauma dapat memiliki dua cedera terparah
pada satu regio tubuh yang sama. Pada kasus seperti ini, ISS akan meng-
underestimate tingkat keparahan trauma (Domingues,et al.,2011).
F. Penatalaksanaan
Manajemen awal untuk pasien trauma toraks tidak berbeda dengan
pasien trauma lainnya dan meliputi ABCDE, yaitu A: airway patency with care
of cervical spine, B: Breathing adequacy, C: Circulatory support, D: Disability
assessment, dan E: Exposure without causing hypothermia (Saaiq,et al.,2010;
Lugo,et al.,2015; Unsworth,et al.,2015).
Pemeriksaan primary survey dan pemeriksaan dada secara keseluruhan
harus dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan menangani
kondisi yang mengancam nyawa dengan segera, seperti obstruksi jalan
napas, tension Pneumotoraks, pneuomotoraks terbuka yang masif,
hemotoraks masif, tamponade perikardial, dan flail chest yang besar. Begitu
kondisi-kondisi yang mengancam nyawa sudah ditangani, maka pemeriksaan
sekunder dari kepala hingga kaki yang lebih mendetail disertai secondary
chest survey harus dilakukan. Pemeriksaan ini akan fokus untuk medeteksi
kondisi-kondisi berikut: kontusio pulmonum, kontusi miokardial, disrupsi aortal,
ruptur diafragma traumatik, disrupsi trakeobronkial, dan disrupsi esofageal
(Saaiq,et al.,2010; Lugo,et al.,2015).
Apnea, syok berat, dan ventilasi yang inadekuat merupakan indikasi
utama untuk intubasi endotrakeal darurat. Resusitasi cairan intra vena
merupakan terapi utama dalam menangani syok hemorhagik. Manajemen
nyeri yang efektif merupakan salah satu hal yang sangat penting pada pasien
trauma toraks. Ventilator harus digunakan pada pasien dengan hipoksemia,
hiperkarbia, dan takipnea berat atau ancaman gagal napas. Ventilator juga
diindikasikan pada pasien dengan kontusio paru berat, hemotoraks atau
penumotoraks, dan flail chest yang disertai dengan gangguan hemodinamik
(Saaiq,et al.,2010; Lugo,et al., 2015).
Pasien dengan tanda klinis tension Pneumotoraks harus segera menjalani
dekompresi dengan torakosentesis jarum dilanjutkan dengan torakostomi
tube. Foto toraks harus dihindari pada pasien-pasien ini karena diagnosis
dapat ditegakkan secara klinis dan pemeriksaan x-ray hanya akan menunda
pelaksanaan tindakan medis yang harus segera dilakukan. Luka menghisap
pada dada harus segera dioklusi untuk mencegah berkembangnya tension
Pneumotoraks terbuka. Tindakan lainnya seperti torakostomi tube, torakotomi,
dan intervensi lainnya dilakukan sesuai dengan kondisi pasien (Saaiq,et
al.,2010; Lugo,et al., 2015).
G. Pemeriksaan Penunjang
1. X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral).
Pemeriksaan bantuan foto toraks sangat membantu. Bila penderita
memungkinkan untuk foto berdiri dibuat foto PA.
2. Diagnosis fisik :
a. Bila pneumotoraks < 30% atau hematothorax ringan (300cc) terapi
simtomatik, observasi.
b. Bila pneumotoraks > 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase
cavum pleura dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase
dengan continues suction unit.
c. Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus
dipertimbangkan thorakotomi
d. Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain
lebih dari 800 cc segera thorakotomi.
3. Laboratorium (Darah Lengkap)
4. Pemeriksaan Diagnostik :
a. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
b. Pa Co2 kadang-kadang menurun.
c. Pa O2 normal / menurun
d. Saturasi O2 menurun (biasanya).
e. Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
f. Toraksentesis : menyatakan darah/cairan
H. Komplikasi
1. Surgical Emfisema Subcutis
Kerusakan pada paru dan pleura oleh ujung patahan iga yang tajam
memungkinkan keluarnya udara ke dalam cavitas pleura dari jaringan
dinding dada, paru. Tanda-tanda khas: pembengkakan kaki, krepitasi.
2. Cedera Vaskuler
Di antaranya adalah cedera pada perikardium dapat membuat kantong
tertutup sehingga menyulitkan jantung untuk mengembang dan
menampung darah vena yang kembali. Pembulu vena leher akan
mengembung dan denyut nadi cepat serta lemah yang akhirnya membawa
kematian akibat penekanan pada jantung.
3. Pneumothorak
Adanya udara dalam kavum pleura. Begitu udara masuk ke dalam tapi
keluar lagi sehingga volume pneumothorak meningkat dan mendorong
mediastinim menekan paru sisi lain.
4. Pleura Effusion
Adanya udara, cairan, darah dalam kavum pleura, sama dengan efusi
pleura yaitu sesak nafas pada waktu bergerak atau istirahat tetapi nyeri
dada lebih mencolok. Bila kejadian mendadak maka pasien akan syok.
I. Masalah Keperawatan Yang Mungkin Muncul
1. Nyeri Akut
2. Pola Napas Tidak Efektif
3. Resiko Syok Hipovoleimik/Kardiogenik
4. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer
5. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
6. Gangguan Pertukaran Gas
7. Penurunan Curah Jantung
8. Cemas
9. Resiko Infeksi
J. Intervensi Keperawatan
Kelainan suara nafas c. Mampu mengidentifikasikan 15. Jelaskan pada pasien dan
(rales, wheezing) dan mencegah faktor yang keluarga tentang penggunaan