KELOMPOK 2 :
DINAH (15.IK.424)
JHONI SETIAWAN (15.IK.427)
M. NOVYAN MADYA (15.IK.435)
M. REZA APRIANDI (15.IK.436)
SRI MARTIWI (15.IK.447)
SRI RUSMILAWATI (15.IK.448)
INDANA FITRIANI RAHMAH (15.IK.453)
NAMA : Dinah
Jhoni Setiawan
Srimartiwi
Sri Rusmilawat
Banjarmasin, .........................2019
Menyetujui
................................... .............................................
NIK. NIK.
LEMBAR PENGESAHAN
NAMA : Dinah
Jhoni Setiawan
Srimartiwi
Sri Rusmilawati
Banjarmasin, .........................2019
Menyetujui
................................... .............................................
NIK. NIK.
LAPORAN PENDAHULUAN PERITONITIS
DI RUANG ICU RS SARI MULIA BANJARMASIN
KELOMPOK 2 :
DINAH (15.IK.424)
JHONI SETIAWAN (15.IK.427)
M. NOVYAN MADYA (15.IK.435)
M. REZA APRIANDI (15.IK.436)
SRI MARTIWI (15.IK.447)
SRI RUSMILAWATI (15.IK.448)
INDANA FITRIANI RAHMAH (15.IK.453)
A. Anatomi Peritoneum
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial.
Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu
coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding
enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm,
dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian
menjadi peritonium.
Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang melapisi
dinding rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ
yang berada dalam rongga abdomen. Ruang yang terdapat diantara dua lapisan
ini disebut ruang peritoneal atau kantong peritoneum. Pada laki-laki berupa
kantong tertutup dan pada perempuan merupakan saluran telur yang terbuka
masuk ke dalam rongga peritoneum, di dalam peritoneum banyak terdapat lipatan
atau kantong. Lipatan besar (omentum mayor) banyak terdapat lemak yang
terdapat disebelah depan lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati,
kurvaturan minor, dan lambung berjalan keatas dinding abdomen dan membentuk
mesenterium usus halus.
D. Patofisiologi
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen
(peningkatan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan fibrin karantina dengan
pembentukan adhesi berikutnya. Produksi eksudat fibrinosa merupakan reaksi
penting pertahanan tubuh, tetapi sejumlah besar bakteri dapat dikarantina dalam
matriks fibrin. Matriks fibrin tersebut memproteksi bakteri dari mekanisme
pembersihan oleh tubuh (van Goor, 2009)
Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh untuk mencegah
penyebaran infeksi, namun proses ini dapat mengakibatkan infeksi persisten dan
sepsis yang mengancam jiwa. Awal pembentukan abses melibatkan pelepasan
bakteri dan agen potensi abses menuju kelingkungan steril. Pertahanan tubuh
tidak dapat mengeliminasi agen infeksi dan mencoba mengontrol penyebaran
melalui sistem kompartemen. Proses ini dibantu oleh kombinasi faktor-faktor yang
memiliki fitur yang umum, yaitu fagositosis. Kontaminasi transien bakteri pada
peritoneal (yang disebabkan oleh penyakit viseral primer) merupakan kondisi
umum. Resultan paparan antigen bakteri telah ditunjukkan untuk mengubah
respon imun ke inokulasi peritoneal berulang. Hal ini dapat mengakibatkan
peningkatan insidensi pembentukan abses, perubahan konten bakteri, dan
meningkatnya angka kematian. Studi terbaru menunjukkan bahwa infeksi
nosokomial di organ lain (misalnya pneumonia, sepsis, infeksi luka) juga
meningkatkan kemungkinan pembentukan abses abdomen berikutnya (Bandy,
2008)
Selanjutnya abses yang terbentuk diantara perlekatan fibrinosa, menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya. Perlekatan biasanya menghilang bila
infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa. Bila bahan
yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum, maka aktivitas
motilitas usus menurun dan meningkatkan risiko ileus paralitik (Price, 2010)
Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan karena
kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi
dengan cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan
berbagai mediator, misalnya interleukin, dapat memulai respons hiperinflamatorius
sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ.
Oleh karena itu tubuh mencoba untuk mengimpensasi dengan cara retensi cairan
dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardia awalnya
meningkatkan curah jantung, tetapi kemudian akan segera terjadi bradikardia
begitu terjadi hipovolemia (Finlay, 2009)
Organ-organ di dalam kavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus, serta edema seluruh organ intraperitoneal dan edema
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hopovolemik.
Hipovolemik bertambahan dengan adanya kenaikan suhu, intake yang tidak ada,
serta muntah. Terjebaknya cairan dirongga peritoneum dan lumen usus, lebih
lanjut meningkatkan tekanan intraabdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadi sulit, dan menimbulkan penurunan perfusi.
Peritonitis tersier mewakili peritonitis yang bersifat persisten atau rekuren.
Pasien dengan peritonitis tersier biasanya hadir dengan abses, atau phlegmon,
dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier berkembang lebih sering pada pasien
dengan kondisi penyakit signifikan yang sudah ada sebelumnya dan pada pasien
dengan penurunan fungsi imun. Meskipun jarang diamati pada peritonitis tanpa
komplikasi, insiden peritonitis tersier pada pasien memerlukan masuk ICU pada
peritonitis yang parah dapat mencapai 50-74% (Sawyer, 2013)
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran dari organ abdomen kedalam rongga
abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau
perforasi tumor. Terjadi proliferasi bakterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam
waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritonial menjadi
keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler, dan
darah. Respons segera dari saluran usus adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus
peralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus. (Brunner dan Suddarth,
2008)
E. Manisfestasi klinis
Gejala tergantung pada lokasi dan luas inflamasi. Manisfestasi klinis awal dari
peritonitis adalah gejala dari gangguan yang menyebabkan kondisi ini.
a. Nyeri menyebar dan sangat terasa. Nyeri cenderung menjadi konstan,
terlokalisasi, lebih terasa di dekat sisi inflamasi dan biasanya diperbesar oleh
gerakan. Area yang sakit dari abdomen menjadi sangat nyeri apabila ditekan,
dan otot menjadi kaku. Nyeri tekan lepas dan ileus peralitik dapat terjadi.
b. Mual dan muntah
c. Penurunan peristaltik.
d. Suhu dan frekuensi nadi meningkat,
e. Terdapat peningkatan jumlah leukosit.
F. Komplikasi
a. Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis.
b. Syok dapat diakibatkan dari septikemia atau hipovolemia.
c. Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang terutama
berhubungan dengan terjadinya perlekatan usus.
Dua komplikasi pascaoperatif paling umum adalah
a. Eviserasi luka
b. Pembentukan abses. Berbagai petunjuk dari pasien tentang area abdomen
yang mengalami nyeri tekan, nyeri, atau “merasa seakan sesuatu terbuka”
harus dilaporkan. Luka yang tiba-tiba mengeluarkan drainase serosanguinosa
menunjukkan adanya dehisens luka.
G. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Leukosit akan meningkat. Hemoglobin dan hematokrit mungkin rendah bila
terjadi kehilangan darah. Elektrolit serum dapat menunjukkan perubahan kadar
kalium, natrium, dan klorida.
b. Sinar-x dada dapat menunjukkan udara dan kadar cairan serta lengkung usus
yang terdistensi.
c. Pemindaian CT abdomen dapat menunjukkan pembentukan abses.
d. Aspirasi peritoneal dan pemeriksaan kultur serta sensitivitas cairan teraspirasi
dapat menunjukkan infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab.
H. Penatalaksanaan
a. Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah fokus utama dari
penatalaksanaan medis. Beberapa liter larutan isotonik diberikan. Hipovolemia
terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus
kedalam rongga peritoneal dan menurunkan cairan dalam ruang vaskuler.
b. Analgestik diberikan untuk mengatasi nyeri.
c. Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah.
d. Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi
abdomen dan dalam meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga
abdomen dapat menyebabkan distres pernapasan.
e. Terapi oksigen dengan kanula rasal atau masker akan meningkatkan
oksigenisasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan
bantuan ventilasi diperlukan.
f. Terapi antibiotik masif biasanya dimulai di awal pengobatan peritonitis. Dosis
besar dari antibiotik spektrum luas diberikan secara intravena sampai
organisme penyebab infeksi diidentifikasi dan terapi antibiotik khusus yang
tepat dapat dimulai.
g. Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki
penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (apendiks), reseksi
dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki (perforasi), dan drainase
(abses). Pada sepsis yang luas, perlu dibuat diversi fekal.
I. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Biodata/ identitas pasien :
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,no medrek,diagnose,
tanggal masuk, dan alamat
2. Riwayat penyakit
a) Keluhan utama
Nyeri abdomen. Keluhan nyeri dapat bersifat akut, awalnya rasa sakit
sering kali membosankan dan kurang terlokalisasi (peritoneum viseral).
Kemudian berkembang menjadi mantap, berat, dan nyeri lebih
terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika tidak terdapat proses infeksi,
rasa sakit menjadi berkurang. Pada beberapa penyakit tertentu
(misalnya: perforasi lambung, pankreatitis akut berat, iskemia usus)
nyeri abdomen dapat digeneralisasi dari awal
b) Riwayat kesehatan sekarang
Didapat keluhan lainnya yang menyertai nyeri, seperti peningkatan
suhu tubuh, mual, dan muntah. Pada kondisi lebih berat akan
didapatkan penurunan kesadaran akibat syok sirkulasi dari septikemia
c) Riwayat kesehatan dahulu
Penting untuk dikaji dalam menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan kondisi peritonitis. Untuk memudahkan anamnesis,
perawat dapat melihat pada tabel. Penyebab dari peritonitis sebagai
bahan untuk mengembangkan pernyataan. Anamnesis penyakit
sistemik, seperti DM, hipertensi dan tuberkulosis dipertimbangkan
sebagai sarana pengkajian preoperatif.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji untuk mengetahui riwayat kesehatan keluarga yang meliputi pola
makan, gaya hidup atau pun penyakit yang sering diderita keluarga
sehingga dapat menyebabkan peritonitis seperti penyakit apendititis,
ulkul peptikum, gastritis, divertikulosis dan lain-lain
3. Pengkajian psikososial
Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana
pembedahan, serta perlunya pemenuhan informasi prabedah
4. Pemeriksaan fisik
Didapatkan sesuai dengan manisfestasi klinis yang muncul.
a) Keadaan umum : pasien terlihat lemah dan kesakitan
b) TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan
hemodinamik.
c) Suhu badan meningkat ≥38,0c dan terjadi takikardia, hipotensi, pasien
tampak legarti serta syok hipovolemia
d) Pemeriksaan fisik yang dilakukan :
1) Inspeksi : pasien terlihat kesakitan dan lemah. Distensi abdomen
didapatkan pada hampir semuja pasien dengan peritonitis dengan
menunjukkan peningkatan kekakuan dinding perut. Pasien dengan
peritonitis berat sering menghindari semua gerakan dan menjaga
pinggul tertekuk untuk mengurangi ketegangan dinding perut. Perut
sering mengembung disertai tidak adanya bising usus. Temuan ini
mencerminkan ileus umum. Terkadang, pemeriksaan perut juga
mengungkapkan peradangan massa
2) Auskultasi : penurunan atau hilangnya bising usus merupakan salah
satu tanda ileus obstruktif
3) Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), peningkatan suhu
tubuh, adanya darah atau cairan dalam rongga peritoneum akan
memberikan tanda-tanda rangsangan peritoneum. Rangsangan
peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular. Pekak
hati dapat menghilang akibat udara bebas dibawah diafragma.
Pemeriksaan rektal dapat memunculkan nyeri abdomen, colok
dubur ke arah kanan mungkin mengindikasikan apendisitis dan
apabila bagian anterior penuh dapat mengindikasikan sebuah
abses.
Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual vagina dilakukan untuk
mendeteksi penyakit radang panggul (misalnya endometritis,
salpingo-ooforitis, abses tuba-ovarium), tetapi temuan sering sulit
diinterprestasikan dalam peritonitis berat
4) Perkusi : nyeri tekuk dan bunyi timpani terjadi adanya flatulen
5. Pengkajian B1 – B6
1. B 1 : Breathing (Pernafasan/Respirasi)
a. Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.
b. Bunyi napas: Bunyi napas normal; Vesikuler, broncho vesikuler.
c. Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan adanya
atelektasis, pnemotorak atau fibrosis pada pleura.
d. Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema) merupakan
bunyi yang dihasilkan oleh aliran udara yang melalui sekresi di dalam
trakeobronkial dan alveoli.
e. Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan diameter saluran napas dan
peningkatan usaha napas)
f. Bentuk dada : Perubahan diameter anterior – posterior (AP)
menunjukan adanya COPD
g. Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan kesimetrisannya.
h. Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada
paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemotoraks, atau
penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.
i. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : Retraksi dari otot-
otot interkostal, substrernal, pernapasan abdomen, dan respirasi
paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat
terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu menggerakan dinding
dada.
j. Sputum.
Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan
konsistensinya. Mukoid sputum biasa terjadi pada bronkitis kronik dan
astma bronkiale; sputum yang purulen (kuning hijau) biasa terjadi
pada pnemonia, brokhiektasis, brokhitis akut; sputum yang
mengandung darah dapat menunjukan adanya edema paru, TBC, dan
kanker paru.
k. Selang oksigen
Endotrakeal tube, Nasopharingeal tube, diperhatikan panjangnya tube
yang berada di luar.
l. Parameter pada ventilator
Volume Tidal
Normal : 10 – 15 cc/kg BB.
m. Perubahan pada uduma fidal menunjukan adanya perubahan status
ventilasi penurunan volume tidal secara mendadak menunjukan
adanya penurunan ventilasi alveolar, yang akan meningkat PCO2.
Sedangkan peningkatan volume tidal secara mendadak menunjukan
adanya peningkatan ventilasi alveolar yang akan menurunkan PCO2.
Kapasitas Vital : Normal 50 – 60 cc / kg BB
Minute Ventilasi
Forced expiratory volume
Peak inspiratory pressure
3. B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
a. Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator
dapat terjadi akibat penurunan PCO2 yang menyebabkan
vasokontriksi cerebral. Akibatnya akan menurunkan sirkulasi cerebral.
Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala
pengkuran yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS
memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon pasien terhadap
lingkungan. Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik buka
mata, respon motorik, dan respon verbal. Nilai kesadaran pasien
adalah jumlah nilai-nilai dari ketiga komponen tersebut.
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon
seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran
dibedakan menjadi :
a) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya..
b) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
c) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
d) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat
pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi,
mampu memberi jawaban verbal.
e) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
f) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
4. B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria)
a. Kateter urin
b. Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis
urine.
c. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi
akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
d. Distesi kandung kemih
b. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d infeksi, inflamasi intestinal, abses abdomen ditandai dengan
nyeri tekan pada abdomen
2. Kerusakan integritas jaringan b.d faktor mekanis (tindakan operasi)
3. Intoleransi aktivitas b.d
c. Intervensi Keperawatan
Diagnose
No Tujuan Intervensi
keperawatan
1 Nyeri b.d agen Tujuan : Setelah 1. Kaji nyeri dengan pendekatan
biologis (infeksi, dilakukan tindakan PQRST
inflamasi) keperawatan 1 x 1 jam 2. Beri oksigen nasal apabila skala
diharapkan nyeri hilang nyeri ≥ 4 (0-5)
Kriteria evaluasi : 3. Istirahatkan pasien pada saat nyeri
1. Secara subjektif muncul
pernyataan nyeri 4. Atur posisi fisiologis
berkurang atau 5. Berikan kompres hangat pada
teradaptasi abdomen
2. Skala nyeri 0-1 (0-4) 6. Kolaborasi dengan dokter dalam
3. TTV dalam batas pemberian obat
normal, wajah
pasien rileks
Nama : An.F
Usia : 10 Th
Alamat :Sebamban
No. Register : 42-xx-x
Kriteria Klien : Parsial
Tanggal MRS :28-01-2019
Tanggal Pengkajian : 18-02-2019
I. PENGKAJIAN
1. Riwayat Penyakit
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu Px. Mengatakan sebelum masuk rumah sakit px memiliki kebiasaan
minum extrajos susu setiap hari , sampai pada suatu ketika px
mengeluh demam turun naik selama 7 hari dan sakit pada area perut,
setelah itu px dibawa ke IGD Umum rs sari mulia , saat dirumah sakit
sari mulia px di periksa oleh dokter jaga dan perawat jaga di IGD ,
setelah diperiksa oleh dokter dan perawat IGD, PX di diagnosa
menderita apendiksitis dan disarankan untuk rawat inap, dan px di
rawat oleh dokter spesialis bedah, dari dokter spesialis bedah px di
diagnosa abses peritoneal ,kemudian px disarankan untuk tindakan
laparotomy , setelah dilakukan operasi px dirawat di ruang ICU, Pada
saat pengkajian di ruang ICU px mengeluh nyeri pada daearh perut
bekas operasi, px Nampak meringis, px Nampak luka pada daerah
abdomen , Nyeri nya :
P :Nyeri Luka Pal Operasi R: Seluruh bagian perut
Q: Nyeri menusuk-nusuk S: 6 (1-10) T: Hilang Timbul
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga Px mengatakan Px tidak pernah menderita penyakit seperti ini
sebelumnya dan Keluarga Px Mengatakan px tidak pernah
dilakukantindakan operasi.
c. Keluarga Riwayat Penyakit Keluarga.
Ibu Px mengatakan di anggota keluarga yang lain tidak memiliki
riwayat penyakit DM, Hipertensi , Dan penyakit seperti yang diderita
oleh pasien sekarang serta tidak ada anggota keluarga yang dilakukan
Operasi.
2. Diagnosa Medis
Abses pertitonium
3. Secondary Survey
a. B1 (Breath)
I : PX Nampak terpasang NGT Padalubang hidung sebelah kiri,
Nampak terpasang 02 nasal canul 3lpm, tidak Nampak tarikan
dinding dada, tidak nampak cuping hidung pada saat bernafas ,
terpasang drain pada NGT , tidak ada purse LIP
P : pada saat dipalpasi perkembangan dada simetris, iktus kordis
teraba.
P : Suara lapang paru sonor pada saat di perkusi
A : Suara nafas vesikuler.
b. B2 (Blood)
Akral px teraba hangat , CRT < 2 Detik irama jantung regular ,SpO2
99%, EKG Sinus Rhyteme, TD 107/77 MmHg, N 82X/Mnt, MAP 87
MmHg suara jantung S1 & S2 Tunggal.
c. B3 (Brain)
Tingkat kesadaran px composmentis , GCS = E4V5M6. Reflek Pupil
saat di berikan rangsangan cahaya mampu membesar dan mengecil.
B4 (Bowel)
Px terpasang NGT pada lubang hidung sebelah kiri dan dari selang
NGT keluar cairan sebanyak 70CC berwarna hijau ,Terpasang drain
pada abdomendi daerah luka operasisebanyakan 150 CC, terdapat
kolostomi di sebelah kiri , pada abdomen terdapat luka operasi kurang
lebih 15CM dan dalamnya 5 cm, jaringan pada luka memerah, luka
berbentuk lingkaran, pada daerah luka terdapat luka nyeri tekan.
d. B5 (Bladder )
Px terpasang kateter ,warna urine kuning jernih, urine tampung
sebanyak 1950 cc , px diberikan cairan infus NS 20 TPM.
e. B6 (Bone)
Pada extremitas atas dan bawah pasien mampu bergerak namun
terbatas karena saat bergerak pasien merasakan nyeri pada daerah
luka abdomen, kekuatan otot 4 ( Di bantu sebagian )
Skala Mose 35 (Resiko Rendah ), px Nampak lemah,
Skala aktifitas 5 (Di bantu penuh )
4. Pemeriksaan Penunjang
NAMA/JENIS PEMERIKSAAN DAN
NO HASIL
TANGGAL PEMERIKSAAN
1. Rontgen (BNO) Udara bebas pada
jaringan lunak
kanan.
2. Rontgen (Thoax ) COR & Pulmo
Normal.
3. USG sebelum operasi USG curiga
retroperitoneal,
abses dengan
ekstensi kanan.
4. Hasil lab:
Na : 142.2
Kalium : 328`
Klorida : 110.8`
Hematologi
Hb : 9.6`
Leukosit : 7500
Trombosit : 102000
Hematokrit : 27.2`
Paal Hemostatis
Pt : 18.4`
ApTT : 41.1`
Kontrol Pt : 13.6`
Kontrol Aptt : 35.2`
Inf : 1.46`
GDS : 72
Ureum : 5.69`
BUN : 2.66`
Creatinin : 0.20
5. Terapi Farmakologi
Hipersensitivitas
4. Rime 2 x 1 Gr Cefdirome Membunuh bakteri
5. Pelastin 3 x 500 Mg Cilastatin Sodium. Perawatan Penghambat Ginjal Alergi Obat berat
Banjarmasin, 2019
Kelompok 2
II. ANALISA DATA (Senin 18 February 2019)
No. Data (Symptom) Penyebab (Etiologi) Masalah (Problem)
Ds Agen cedera fisik Nyeri Akut
- Pasien mengatakan nyeri (abses pentonium)
P: nyeri luka Post OP
Q: nyeri seperti di tusuk-tusuk
R: dada daerah bagian perut
S: skala 6 (1-10)
T: saat bergerak
Do
- Pasien tampak meringis
1
- TTV
TD 107/77 MmHg, N 82X/Mnt T 36,9
C RR 17x/menit
- Terpasang Drain di luka operasi
- Luas luka operasi kurang lebih 15
cm dengan kedalaman 5 Cm.
Ds_
Do
- Pasien tampak terdapat luka pada
area abdomen
2 Luka Post Operasi Laparatomi Kerusakan intergritas jaringan
- Pada daerah luka Nampak jaringan
merah
- Kedalaman luka kurang lebih 5 Cm
- Luas luka kurang lebih 15 cm
- Terpasang Drain pada bagian perut
Ds
- Pasien mengatakan nyeri saat
bergerak
Do
- Pasien tampak lemah
Imobalisasi
3 - Terdapat luka pada bagian abdomen Intoleransi aktivitas
(luka pada abdomen)
- Hb = 9.6
- Skala aktivitas = 5 dibantu perawat
III. PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b/d agen cedera fisik (abses peritonium)
2. Kerusakan intergritas jaringan b/d luka post op laparatomi
3. Intoleransi aktivitas b/d imobilisasi (luka pada abdomen)
IV. RENCANA KEPERAWATAN
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Nyeri akut b/d agen cedra fisik (abses) Dalam waktu 1x60 menit nyeri berkurang Pain management
dengan kreteria hasil 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
1. Melaporan nyeri berkurang menjadi kompeherensip
skala 4 2. Observasi reaksi verbal dan non verbal
2. Mampu mengenali nyeri (skala, 3. Observasi TTV
intersitas, frekuensi) 4. Kurang factor penyebab nyeri
3. Menyatakan rasa nyaman 5. Lakukan relaksasi dan distraksi
Analgesik administration
1. Kaji drajat nyeri
2. Kaji riwayat alergi
3. Berikan analgesik tepat waktu
4. Evaluasi efek analgesik
Kerusakan intergritas jaringan b/d post Dalam waktu 3x24 jam intergritas jaringan Perawatan luka
op membaik 1. Monitor tanda-tanda infeksi
1. Perfusi jaringan membaik 2. Monitor keadaan luka
2. Intergritas kulit membaik 3. Monitor pendarahan / cairan pada daerh luka
2
3. Bekas luka membaik 4. Posisikan pasien dengnan nyaman
5. Kurangi pajangan infeksi secara langsung
6. Lakukan perawatan luka
7. Kalaborasi untuk perawatan luka
3 Intolernsi aktivitas b/d imobilisasi luka Setelah dilakukan tindakan 3x 24 jam Pengaturan posisi
(luka pada bagian abdomen) peningkatan aktivitas fisik 5. Monitor gerakan dan kekuatan otot
1. Gerakan bertujuan pada perintah 6. Monitor tingkat nyeri
2. Nyeri pada luka bekurang 7. Monitor reksi verbal dan non verbal saat
3. Keseimbangan dalam bergerak bergerak
8. Ganti posisi setiap 2 jam sekali
9. Anjurkan pasien melakukan aktivitas sesuia
perintah
10. Latihan ROM
V. IMPLEMENTASI
No Tanggal/Jam Tindakan Keperawatan Paraf
.
1 18 – 2- 2019 1. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
11.00 Wita P = Nyeri luka post operasi
Q = Menusuk-nusuk
R = Luka pada bagian perut
S = SKala 6 (1-10)
T = Saat Bergerak
2. Mengobservasi reaksi verbal dan nonverbal
Px Nampak meringis
3. Mengobservasi TTV
TD = 100/90 mmHg
N = 73x/Mnt
S = 36.9o
P = 17x/Mnt
4. Mengurangi factor penyebab nyeri
Px dibatasi bergerak agar tidak merasakan sakit
5. Memberikan teknik distraksi
-Menonton Youtube dan bermain game
6. Berkolaborasi pemberian analgetik
Inj Antrain 3 x 300 mg (IV)
7. Mengevaluasi efek samping pemberian obat Inj Antrain
Tidak terdapat ruam dan gatal-gatal
VI. EVALUASI
No Diagnosa Keperawatan Tanggal/Jam Evaluasi (SOAP)
.
1 Nyeri akut b\d agen 18-2-2019 S = px mengatakan nyeri
cedra fisik 12.00 wita P = Nyeri pada luka operasi
Q= menusuk-nusuk
R= daerah Adomen
S = 6 (1-10)
T= hilang Timbul
O = Px Nampak meringis
A = masalah belum teratasi
P = intervensi dilanjutkan
2 Kerusakan integritas 18-2-2019 S = px mengatakan nyeri pada daerah luka
jaringan b\d agen 21.10 wita O = Nampak luka pada bagian abdomen luas 15 cm kedalaman 5 cm
farmasentra A = masalah belum teratasi
P = Intervensi dilanjutkan