DI SUSUN OLEH :
M.Reza Apriandi (15.IK.436)
Banjarmasin, ....................2019
Menyetujui,
...................................... ..........................................
NIK. NIK.
LEMBAR PENGESAHAN
Banjarmasin, ....................2019
Menyetujui,
...................................... ..........................................
NIK. NIK.
LAPORAN PENDAHULUAN
PERITONITIS
A. Anatomi Peritoneum
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial.
Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu
coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding
enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm,
dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut
kemudian menjadi peritonium.
Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang melapisi
dinding rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ
yang berada dalam rongga abdomen. Ruang yang terdapat diantara dua lapisan
ini disebut ruang peritoneal atau kantong peritoneum. Pada laki-laki berupa
kantong tertutup dan pada perempuan merupakan saluran telur yang terbuka
masuk ke dalam rongga peritoneum, di dalam peritoneum banyak terdapat
lipatan atau kantong. Lipatan besar (omentum mayor) banyak terdapat lemak
yang terdapat disebelah depan lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi
hati, kurvaturan minor, dan lambung berjalan keatas dinding abdomen dan
membentuk mesenterium usus halus.
B. Pengertian Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membran serosa
rongga abdomen) lamnya. (Arif Muttaqin, 2011)
Peritonitis adalah inflamasi peritonium-lapisan membran serosa rongga
abdomen dan meliputi visera. (Brunner dan Suddarth, 2008)
C. Etiologi
Penyebab terjadinya peritonitis adalah
Invasi kuman bakteri ke dalam rongga peritoneum,bakteri yang paling sering
menyebabkan infeksi, meliputi
1. Gram negative meliputi Escherichia coli (40%), Klebsiella pneumoniae (7%),
Pseudomonas species, Proteus species, gram negatif lainnya (20%).
2. Gram positif, seperti Streptococcus pneumoniae (15%), Streptococcus
lainnya (15%), dan Staphylococcus (3%). Mikroorganisme anaerob kurang
dari 5%. (Cholongitas, 2009).
Invasi kuman ke lapisan peritoneum dapat disebabkan juga oleh berbagai
kelainan pada gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam
abdomen (Rotstein, 2009) atau perforasi organ pascatrauma abdomen (Ivatury,
2010)
Biasanya, akibat dari infeksi bakteri : organisme berasal dari penyakit
saluran gastrointestinal atau pada wanita dari organ reproduktif internal.
Peritonitis dapat juga akibat dari sumber eksternal seperti cedera atau trauma
(misal : luka tembak atau luka tusuk) atau oleh inflamasi yang luas yang berasal
dari organ diluar area peritonium, seperti ginjal
Inflamasi dan ileus paralitik adalah efek langsung dari infeksi. Penyebab umum
lain dari peritonitis adalah apendisitis, ulkus perforasi, divertikulitis, dan perforasi
usus. Peritonitis juga dapat dihubungkan dengan proses bedah abdominal dan
dialisis peritoneal. (Brunner dan Suddarth, 2008)
D. Patofisiologi
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen
(peningkatan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan fibrin karantina
dengan pembentukan adhesi berikutnya. Produksi eksudat fibrinosa merupakan
reaksi penting pertahanan tubuh, tetapi sejumlah besar bakteri dapat dikarantina
dalam matriks fibrin. Matriks fibrin tersebut memproteksi bakteri dari mekanisme
pembersihan oleh tubuh (van Goor, 2009)
Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh untuk
mencegah penyebaran infeksi, namun proses ini dapat mengakibatkan infeksi
persisten dan sepsis yang mengancam jiwa. Awal pembentukan abses
melibatkan pelepasan bakteri dan agen potensi abses menuju kelingkungan
steril. Pertahanan tubuh tidak dapat mengeliminasi agen infeksi dan mencoba
mengontrol penyebaran melalui sistem kompartemen. Proses ini dibantu oleh
kombinasi faktor-faktor yang memiliki fitur yang umum, yaitu fagositosis.
Kontaminasi transien bakteri pada peritoneal (yang disebabkan oleh penyakit
viseral primer) merupakan kondisi umum. Resultan paparan antigen bakteri telah
ditunjukkan untuk mengubah respon imun ke inokulasi peritoneal berulang. Hal
ini dapat mengakibatkan peningkatan insidensi pembentukan abses, perubahan
konten bakteri, dan meningkatnya angka kematian. Studi terbaru menunjukkan
bahwa infeksi nosokomial di organ lain (misalnya pneumonia, sepsis, infeksi
luka) juga meningkatkan kemungkinan pembentukan abses abdomen berikutnya
(Bandy, 2008)
Selanjutnya abses yang terbentuk diantara perlekatan fibrinosa,
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita
fibrosa. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum,
maka aktivitas motilitas usus menurun dan meningkatkan risiko ileus paralitik
(Price, 2010)
Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan
karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak
dikoreksi dengan cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel.
Pelepasan berbagai mediator, misalnya interleukin, dapat memulai respons
hiperinflamatorius sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Oleh karena itu tubuh mencoba untuk mengimpensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut
menumpuk. Takikardia awalnya meningkatkan curah jantung, tetapi kemudian
akan segera terjadi bradikardia begitu terjadi hipovolemia (Finlay, 2009)
Organ-organ di dalam kavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus, serta edema seluruh organ intraperitoneal
dan edema dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hopovolemik. Hipovolemik bertambahan dengan adanya kenaikan suhu, intake
yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan dirongga peritoneum dan
lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intraabdomen, membuat usaha
pernapasan penuh menjadi sulit, dan menimbulkan penurunan perfusi.
Peritonitis tersier mewakili peritonitis yang bersifat persisten atau rekuren.
Pasien dengan peritonitis tersier biasanya hadir dengan abses, atau phlegmon,
dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier berkembang lebih sering pada
pasien dengan kondisi penyakit signifikan yang sudah ada sebelumnya dan pada
pasien dengan penurunan fungsi imun. Meskipun jarang diamati pada peritonitis
tanpa komplikasi, insiden peritonitis tersier pada pasien memerlukan masuk ICU
pada peritonitis yang parah dapat mencapai 50-74% (Sawyer, 2013)
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran dari organ abdomen kedalam
rongga abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma
atau perforasi tumor. Terjadi proliferasi bakterial. Terjadi edema jaringan, dan
dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritonial
menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris
seluler, dan darah. Respons segera dari saluran usus adalah hipermotilitas,
diikuti oleh ileus peralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus.
(Brunner dan Suddarth, 2008)
E. Manisfestasi klinis
Gejala tergantung pada lokasi dan luas inflamasi. Manisfestasi klinis awal dari
peritonitis adalah gejala dari gangguan yang menyebabkan kondisi ini.
a. Nyeri menyebar dan sangat terasa. Nyeri cenderung menjadi konstan,
terlokalisasi, lebih terasa di dekat sisi inflamasi dan biasanya diperbesar oleh
gerakan. Area yang sakit dari abdomen menjadi sangat nyeri apabila ditekan,
dan otot menjadi kaku. Nyeri tekan lepas dan ileus peralitik dapat terjadi.
b. Mual dan muntah
c. Penurunan peristaltik.
d. Suhu dan frekuensi nadi meningkat,
e. Terdapat peningkatan jumlah leukosit.
F. Komplikasi
a. Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis.
b. Syok dapat diakibatkan dari septikemia atau hipovolemia.
c. Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang terutama
berhubungan dengan terjadinya perlekatan usus.
Dua komplikasi pascaoperatif paling umum adalah
a. Eviserasi luka
b. Pembentukan abses. Berbagai petunjuk dari pasien tentang area abdomen
yang mengalami nyeri tekan, nyeri, atau “merasa seakan sesuatu terbuka”
harus dilaporkan. Luka yang tiba-tiba mengeluarkan drainase
serosanguinosa menunjukkan adanya dehisens luka.
G. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Leukosit akan meningkat. Hemoglobin dan hematokrit mungkin rendah bila
terjadi kehilangan darah. Elektrolit serum dapat menunjukkan perubahan
kadar kalium, natrium, dan klorida.
b. Sinar-x dada dapat menunjukkan udara dan kadar cairan serta lengkung
usus yang terdistensi.
c. Pemindaian CT abdomen dapat menunjukkan pembentukan abses.
d. Aspirasi peritoneal dan pemeriksaan kultur serta sensitivitas cairan
teraspirasi dapat menunjukkan infeksi dan mengidentifikasi organisme
penyebab.
H. Penatalaksanaan
a. Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah fokus utama dari
penatalaksanaan medis. Beberapa liter larutan isotonik diberikan.
Hipovolemia terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari
lumen usus kedalam rongga peritoneal dan menurunkan cairan dalam ruang
vaskuler.
b. Analgestik diberikan untuk mengatasi nyeri.
c. Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah.
d. Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi
abdomen dan dalam meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga
abdomen dapat menyebabkan distres pernapasan.
e. Terapi oksigen dengan kanula rasal atau masker akan meningkatkan
oksigenisasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan
bantuan ventilasi diperlukan.
f. Terapi antibiotik masif biasanya dimulai di awal pengobatan peritonitis. Dosis
besar dari antibiotik spektrum luas diberikan secara intravena sampai
organisme penyebab infeksi diidentifikasi dan terapi antibiotik khusus yang
tepat dapat dimulai.
g. Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki
penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (apendiks), reseksi
dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki (perforasi), dan
drainase (abses). Pada sepsis yang luas, perlu dibuat diversi fekal.
I. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Biodata/ identitas pasien :
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,no medrek,diagnose,
tanggal masuk, dan alamat
2. Riwayat penyakit
a) Keluhan utama
Nyeri abdomen. Keluhan nyeri dapat bersifat akut, awalnya rasa sakit
sering kali membosankan dan kurang terlokalisasi (peritoneum
viseral). Kemudian berkembang menjadi mantap, berat, dan nyeri
lebih terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika tidak terdapat proses
infeksi, rasa sakit menjadi berkurang. Pada beberapa penyakit
tertentu (misalnya: perforasi lambung, pankreatitis akut berat, iskemia
usus) nyeri abdomen dapat digeneralisasi dari awal
b) Riwayat kesehatan sekarang
Didapat keluhan lainnya yang menyertai nyeri, seperti peningkatan
suhu tubuh, mual, dan muntah. Pada kondisi lebih berat akan
didapatkan penurunan kesadaran akibat syok sirkulasi dari
septikemia
c) Riwayat kesehatan dahulu
Penting untuk dikaji dalam menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan kondisi peritonitis. Untuk memudahkan anamnesis,
perawat dapat melihat pada tabel. Penyebab dari peritonitis sebagai
bahan untuk mengembangkan pernyataan. Anamnesis penyakit
sistemik, seperti DM, hipertensi dan tuberkulosis dipertimbangkan
sebagai sarana pengkajian preoperatif.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji untuk mengetahui riwayat kesehatan keluarga yang meliputi
pola makan, gaya hidup atau pun penyakit yang sering diderita
keluarga sehingga dapat menyebabkan peritonitis seperti penyakit
apendititis, ulkul peptikum, gastritis, divertikulosis dan lain-lain
3. Pengkajian psikososial
Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana
pembedahan, serta perlunya pemenuhan informasi prabedah
4. Pemeriksaan fisik
Didapatkan sesuai dengan manisfestasi klinis yang muncul.
a) Keadaan umum : pasien terlihat lemah dan kesakitan
b) TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan
hemodinamik.
c) Suhu badan meningkat ≥38,0c dan terjadi takikardia, hipotensi, pasien
tampak legarti serta syok hipovolemia
d) Pemeriksaan fisik yang dilakukan :
1) Inspeksi : pasien terlihat kesakitan dan lemah. Distensi abdomen
didapatkan pada hampir semuja pasien dengan peritonitis dengan
menunjukkan peningkatan kekakuan dinding perut. Pasien
dengan peritonitis berat sering menghindari semua gerakan dan
menjaga pinggul tertekuk untuk mengurangi ketegangan dinding
perut. Perut sering mengembung disertai tidak adanya bising
usus. Temuan ini mencerminkan ileus umum. Terkadang,
pemeriksaan perut juga mengungkapkan peradangan massa
2) Auskultasi : penurunan atau hilangnya bising usus merupakan
salah satu tanda ileus obstruktif
3) Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), peningkatan suhu
tubuh, adanya darah atau cairan dalam rongga peritoneum akan
memberikan tanda-tanda rangsangan peritoneum. Rangsangan
peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular. Pekak
hati dapat menghilang akibat udara bebas dibawah diafragma.
Pemeriksaan rektal dapat memunculkan nyeri abdomen, colok
dubur ke arah kanan mungkin mengindikasikan apendisitis dan
apabila bagian anterior penuh dapat mengindikasikan sebuah
abses.
Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual vagina dilakukan
untuk mendeteksi penyakit radang panggul (misalnya
endometritis, salpingo-ooforitis, abses tuba-ovarium), tetapi
temuan sering sulit diinterprestasikan dalam peritonitis berat
4) Perkusi : nyeri tekuk dan bunyi timpani terjadi adanya flatulen
5. Pemeriksaan diagnostik
a) Pemeriksaan laboratorium, meliputi (Laroche, 2011) hal-hal berikut :
1) Sebaian besar pasien dengan infeksi intra-abdomen menunjukkan
leukositosis (>11.000 sel/µL)
2) Kimia darah dapat mengungkapkan dehidrasi dan asidosis
3) Pemeriksaan waktu pembekuan dan pendarahan untuk
mendeteksi disfungsi pembengkuan
4) Tes fungsi hati jika diindikasikan secara klinis
5) Urinalisis penting untuk menyingkirkan penyakit saluran kemih,
namun pasien dengan perut bagian bawah dan infeksi panggul
sering menunjukkan sel darah putih dalam air seni dan
mikrohematuria
6) Kultur darah untuk mendeteksi agen infeksi septicemia
7) Cairan peritoneal (yaitu paracentesis, aspirasi cairan perut dan
kultur cairan peritoneal). Pada peritonitis tuberkulosa, cairan
peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml)
dan banyak limfosit; basil tuberkel diindikasi dengan kultur
b) Pemeriksaan radiografik
1) Foto polos abdomen
Walaupun identifikasi sangat terbatas, kondisi ileus mungkin
didapatkan usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas
hadir dalam kebanyakan kasus anterior perforasi lambung dan
duodenum, tetapi jauh lebih jarang dengan perforasi dari usus
kecil dan usus besar, serta tidak biasa dengan appendiks
perforasi. Tegak film berguna untuk mengidentifikasi udara bebas
di bawah diafragma (paling sering disebalah kanan) sebagai
indikasi adanya viskus berlubang
2) Computed tomography scan (CT scan)
CT scan abdomen dan panggul tetap menjadi studi diagnostik
pilihan untuk abses peritoneal. CT scan ditunjukkan dalam semua
kasus dimana diagnosis tidak dapat dibangun atas dasar klinis
dan temuan foto polos abdomen. Abses peritoneal dan cairan lain
dapat diambil untuk diagnostik atau terapi dibawah bimbingan CT
scan
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah suatu modalitas pencitraan muncul untuk diagnostis
dicurigai abses intra-abdomen. Abses abdomen menunjukkan
penurunan itensitas sinyal pada gambar T1-weighted dan
homogen atau peningkatan intensitas sinyal heterogen pada
gambar T2-weighted. Terbatasnya
c) USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi kuadran kanan atas
(misalnya perihepatic abses, kolesistitis, biloma, pankreatitis,
pankreas pseudocyst), kuadran kanan bawah, dan patologi pelvis
(misalnya appendisitis, abses tuba-ovarium, abses Douglas), tetapi
terkadang pemeriksaan menjadi terbatas karena adanya nyeri,
distensi abdomen dan gangguan gas usus. USG dapat mendeteksi
peningkatan jumlah cairan peritoneal (asites), tetapi kemampuannya
untuk mendeteksi jumlah kurang dari 100 ml sangat terbatas
b. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d infeksi, inflamasi intestinal, abses abdomen ditandai dengan
nyeri tekan pada abdomen
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurangnya
asupan makanan yang adekuat ditandai dengan mual, muntah dan
anoreksia
3. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d keluarnya cairan tubuh
ditandai dengan muntah yang berlebihan
4. Kerusakan integritas jaringan b.d faktor mekanis (tindakan operasi)
5. Konstipasi b.d
6. Hipertermia b.d
7. Kekurangan volume cairan b.d
8. Kelebihan volume cairan Intestinal b.d
9. Pola nafas tidak efektif b.d
10. Gangguan perfusi jaringan perifer b.d
c. Intervensi Keperawatan
Diagnose
No Tujuan Intervensi
keperawatan
1 Nyeri b.d infeksi, Tujuan : Setelah 1. Kaji nyeri dengan pendekatan
inflamasi dilakukan tindakan PQRST
intestinal, abses keperawatan 3 x 24 jam 2. Beri oksigen nasal apabila skala
abdomen diharapkan nyeri hilang nyeri ≥ 4 (0-5)
ditandai dengan Kriteria evaluasi : 3. Istirahatkan pasien pada saat nyeri
nyeri tekan pada Secara subjektif muncul
abdomen pernyataan nyeri 4. Atur posisi fisiologis
berkurang atau 5. Berikan kompres hangat pada
teradaptasi abdomen
Skala nyeri 0-1 (0-4) 6. Kolaborasi : Berikan analgesic
TTV dalam batas
normal, wajah
pasien rileks
Berat badan
meningkat
3 Ketidakseimbang Tujuan : setelah 1. Monitoring status cairan (turgor kulit,
an cairan dan dilakukan tindakan membran mukosa, urine output)
elektrolit b.d keperawatan selama 1 x 2. Kaji sumber kehilangan cairan
keluarnya cairan 24 jam tidak terjadi 3. Monitor tanda-tanda vital terutama
tubuh ditandai ketidakseimbangan tekanan darah
dengan muntah cairan dan elektrolit 4. Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi
yang berlebihan Kriteria evaluasi : perifer, dan diaforesis secara teratur
Pasien tidak 5. Kolaborasi
mengeluh pusing, Pertahankan pemberian cairan
membran mukpsa secara intravena
lembap, turgor kulit Evaluasi kadar elektrolit
normal. TTV dalam
batas normal, CRT
>3 detik, urine >600
ml/hari
Laboratorium : nilai
elektrolit normal,
nilai hematokrit dan
protein serum
meningkat,
BUN/Kreatinin
menurun
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume
2. Jakarta:EGC
Carpenito, Lynda Juall. 2008. Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktik Klinik
Edisi 6. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika
kSmeltzer, Suzanne C. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8. Jakarta : EGC