Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH MATERNITAS

“Askep Distosia Bahu”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 11

1. Nofita sari
2. Rahmat walupan
3. Yunita herlina

KEMENTRIAN KESEHATAN
POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
TAHUAN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai .

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Makalah ini berjudul “Asuhan keperawatan distosia bahu”. Proses
penyusunan makalah ini dilakukan dengan kesungguhan sesuai dengan kaidah dan
pedoman yang berlaku. Walaupun demikian, kami yakin masih terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan yang tertuang didalamnya.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bengkulu,22 April 2019

Penulis
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
D. Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep anatomi fisiologi
B. Definisi
C. Etiologi
D. Klasifikasi
E. Patofisiologi
F. Manifestasi klinis
G. Komplikasi
H. Pemeriksaan diagnostik
I. Penatalaksanaan
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian keperawatan
B. Diagnosa keperawatan
C. Intervensi keperawatan
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persalinan normal suatu keadaan fisiologis, normal dapat berlangsung sendiri tanpa
intervensi penolong. Kelancaran persalinan tergantung 3 faktor ”P” utama yaitu kekuatan ibu
(Power), keadaan jalan lahir (Passage) dan keadaan janin (Passanger). Faktor lainnya adalah
psikologi ibu (respon ibu), penolong saat bersalin, dan posisi ibu saat persalinan. Dengan
adanya keseimbangan atau kesesuaian antara faktor-faktor “P” tersebut, persalinan normal
diharapkan dapat berlangsung. Bila ada gangguan pada satu atau lebih faktor “P” ini, dapat
terjadi kesulitan atau gangguan pada jalannya persalinan. Kelambatan atau kesulitan
persalinan ini disebut distosia.

Setelah kelahiran kepala, akan terjadi perputaran lagi paksi luar yang menyebabkan
kepala berada pada sumbu normal dengan tulang belakang. Bahu pada umumnya akan berada
pada sumbu miring (oblique) dibawah ramus publis. Dorongan saat ibu mengedan akan
menyebabkan bahu depan (anterior) berada dibawah pubis. Bila bahu gagal untuk
mengadakan putaran menyesuaikan dengan sumbu miring panggul dan tetap berada pada
posisi anterior posterior, pada bayi yang besar akan terjadi benturan bahu depan terhadap
simfisis.

Distosia bahu dapat menjadi salah satu dari keadaan darurat yang paling menakutkan
di kamar bersalin. Walaupun banyak faktor telah dihubungkan dengan distosia bahu,
kebanyakan kasus terjadi dengan tidak ada peringatan.

B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan Konsep anatomi fisiologi dari distosia bahu ?


2. Jelaskan Definisi dari distosia bahu ?
3. Jelaskan Etiologi dari distosia bahu ?
4. Jelaskan Klasifikasi dari distosia bahu ?
5. Jelaskan Patofisiologi dari distosia bahu ?
6. Jelaskan Manifestasi klinis dari distosia bahu ?
7. Jelaskan Komplikasi dari distosia bahu ?
8. Jelaskan Pemeriksaan diagnostik dari distosia bahu ?
9. Jelaskan Penatalaksanaan dari distosia bahu ?
10. Bagaimana Asuhan keperawatan distosia bahu ?

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Agar pembaca dapat mengetahui tentang persalinan yang patologis khususnya
persalinan distosia bahu dan dapat mengetahui cara menangani kasus distosia
bahu
2. Tujuan khusus
Untuk mengetahui :
- Konsep anatomi fisiologi dari distosia bahu
- Definisi dari distosia bahu
- Etiologi dari distosia bahu
- Klasifikasi dari distosia bahu
- Patofisiologi dari distosia bahu
- Manifestasi klinis dari distosia bahu
- Komplikasi dari distosia bahu
- Pemeriksaan diagnostik dari distosia bahu
- Penatalaksanaan dari distosia bahu
- Asuhan keperawatan distosia bahu

D. Manfaat
Bagi mahasiswa/penulis :
Meningkatkan pengetahuan dan teori serta praktek pada asuhan keperawatan dengan
distosia bahu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep anatomi fisiologi struktur interna pada wanita


Struktur interna
Organ reproduksi interna akan di bahas secara berurutan untuk menjelaskan
perjalanan sel telur (ovum). Jaringan penunjang akan dibahas bersama organ reproduksi
interna yang ditopang. Organ interna meliputi ovarium, tuba uterus (fallopii), uterus, dan
vagina. Deskripsi singkat tentang tulang pelvis juga diberikan.
 SERVIKS

Bagian paling bawah uterus adalah serviks atau leher. Tempat perlekatan serviks uteri
dengan vagina membagi serviks menjadi bagian suravagina yang panjang (diatas vagina) dan
bagian vagina yang lebih pendek. Panjang serviks sekitar 2,5-3 cm, 1 cm menonjol ke dalam
vagina pada wanita tidak hamil.
Serviks terutama disusun oleh jaringan ikat fibrosa serta sejumlah kecil serabut otot
dan jaringan elastic. Serviks seorang wanita nulipara mempunyai bentuk seperti kumparan
yang hamper seperti kerucut, bundar dan agak padat. Muara sempit antara kavum uteri dan
kanal endoserviks (kanal didalam serviks yang menghubungkan kavum uteri dan vagina)
disebut ostium interna. Muara sempit antara endoserviks dan vagina disebut ostium eksterna,
suatu muara sirkular pada wanita yang belum pernah melahirkan. Persalinan mengubah
ostium sirkular menjadi muara tranversal kecil yang membagi serviks menjadi bibir anterior
dan bibir posterior.
Saat wanita sedang ovulasi atau hamil, ujung serviks teraba padat, seperti ujung
hidung, dengan lubang kecil ditengah. Lubang ini menandakan tempat ostium eksterna.
Karakteristik serviks yang paling signifikan ialah kemampuannya meregang pada saat
melahirkan anak per vaginam. Beberapa factor yang berperan pada elastisitas serviks ialah
jaringan ikat yang banyak dan kandungan serabut yang elastis, lipatan di dalam lapisan
endoserviks, dan 10 persen kandungan serabut otot.
 KANAL

Dua kavum didalam uterus disebut kanal serviks dan uterus. Kanal uterus pada wanita
tidak hamil ditekan oleh dinding otot yang tebal, sehingga kanal hanya merupakan suatu
ruangan potensial, datar, dan berbentuk segitiga. Fundus membentuk dasar segitiga. Tuba
falopi membentuk dasar segitiga. Puncak segitiga mengarah ke bawah dan membentuk
ostium interna kanal serviks .
Kanal endoserviks, dengan banyak lipatannya, mempunyai lapisan permukaan yang
tersusun atas sel-sel kolumnar tinggi dan menghasilkan musin. Epithelium kolumnar ini
berwarna merah daging, tampak lebih kasar dan lebih dalam daripada epitel luar
membungkus serviks. Setelah menarke, epitel skuamosa membungkus serviks bagian luar
(ektoserviks). Pembungkus eksterna sel-sel pipih ini membuat serviks berwarna merah yang
sangat kebiruan tampak saat wanita mengalami ovulasi atau hamil. Serviks yang kemerahan
(hiperemis) dapat mengindikasikan peradangan.
Kedua jenis epitel bertemu pada sambungan squamokolumnar. Sambungan ini
biasanya terdapat didalam ostium eksterna serviks, tetapi pada beberapa wanita dapat
ditemukan di ektoserviks. Sambungan squamokolumnar merupakan tempat perubahan sel
neoplastik yang paling umum. Oleh karena itu, sel untuk pemeriksaan sitologi dan
papanikolaou (Pap) smear diambil dari sambungan ini.
Sel epitel kolumnar memproduksi lender yang tidak berbau dan tidak mengiritasi
sebagai respons terhadap hormon-hormon endokrin ovarium-estrogen dan progesterone.
 PEMBULUH DARAH

Aorta abdomen bercabang saat mencapai tinggi umbilicus, yakni menjadi dua arteri
iliaka. Setiap arteri iliaka bercabang membentuk dua arteri, yang lebih besar disebut arteri
hipogastrika. Arteri-arteri uterus merupakan cabang dari arteri hipogastrika. Kedekatan letak
uterus dari aorta menjamin kecukupan suplai darah untuk pertumbuhan uterus dan konsepsi.
Selain itu, arteri ovarium, subdivisi langsung aorta, mula-mula memperdarahi
ovarium dan kemudian berlanjut untuk bergabung dengan arteri uterus, sehingga menambah
suplai darah ke uterus.
Pada kondisi tidak hamil, pembuluh darah uterus melingkar dan berkelok-kelok.
Seiring kemajuan kehamilan dan pembesaran uterus, pembuluh darah ini menjadi lurus. Vena
uterus berdampingan dnegan arteri uterus dan mengalirkan darah ke vena iliaka interna.
 VAGINA

Vagina, suatu struktur tubular yang terletak didepan rectum dan dibelakang kandung
kemih dan uretra, memanjang dari intoitus (muara eksterna di vestibulum di antara labia
minora vulva) sampai serviks. Saat wanita berdiri, vagina condong ke arah belakang dan ke
atas. Vagina terutama disokong oleh perlekatannya dengan otot dan fasia pelvis.
Vagina adalah suatu tuba berdinding tipis yang dapat melipat dan mampu meregang
secara luas. Karena tonjolan serviks ke bagian atas vagina, panjang dinding anterior vagina
hanya sekitar 7,5 cm, sedangkan panjang dinding posterior sekitar 9 cm. ceruk yang terbentuk
di sekeliling serviks yang menonjol tersebut disebut forniks: kanan,kiri,anterior dan posterior.
Forniks posterior lebih dalam daripada tiga forniks yang lain.
Membrane mukosa glandular melapisi dinding otot polos. Selama masa reproduksi
mukosa ini tersusun dalam bentuk lipatan-lipatan tranversal yang disebut rugae. Mukosa
vagina berespons dengan cepat terhadap stimulasi estrogen dan progesterone. Sel-sel mukosa
tanggal terutama selama siklus menstruasi dan selama masa hamil. Sel-sel yang diambil dari
mukosa vagina dapat digunakan untuk mengukur kadar hormone seks steroid.
Cairan vagina berasal dari traktus genitalia atas atau bawah. Cairan sdedikit asam.
Interaksi antara laktobasilus vagina dan glikogen mempertahankan keasaman. Apabila pH
naik diatas lima, insiden infeksi vagina meningkat. Cairan yang terus mengalir dari vagina
mempertahankan kebersihan relative vagina. Oleh karena itu, penyemprotan cairan ke vagina
dalam lingkungan normal tidak diperlukan dan tidak dianjurkan.
Pap smear yang diseluruh dunia dipakai untuk mendeteksi kanker melalui
pemeriksaan sel (sitologi) merupakan asupan mukosa vagina dari forniks posterior vagina
dan merupakan kerokan sambungan squamokolumnar serviks yang difiksasi dengan etil eter
dan alcohol dan kemudian diwarnai dengan pewarna trikrom nukleositoplasmik.
Sejumlah besar suplai darah ke vagina berasal dari cabang-cabang desenden arteri
uterus, arteri vaginalis dan arteri pudenda interna. Vagina relative tidak sensitive. Terdapat
persarafan dari saraf-saraf pudenda dan hemoroid sampai sepertiga bagian bawah vagina.
Karena persarafan minimal dan tidak ada ujung saraf khusus, vagina merupakan sumber
sejumlah kecil sensasi ketika individu terangsang secara seksual dan melakukan koitus dan
hanya menimbulkan sedikit nyeri pada tahap kedua persalinan daripada jika suplai ujung
saraf pada jaringan ini cukup.
Daerah G (G-spot) ialah daerah dinding vagina anterior di bawah uretra yang di
definisikan oleh Graefenberg sebagai bagian yang analog dengan kelenjar prostat pria.
Selama bangkitan seksual, daerah G dapat distimulasi sampai timbul orgasme yang disertai
ejakulasi cairan yang sifatnya sama dengan cairan prostat ke dalam uretra. Vagina berfungsi
sebagai organ untuk koitus dan jalan lahir.
 PERINEUM DAN DASAR PELVIS

Diafragma pelvis, diafragma urogenital atau segitiga, dan otot genitalia eksterna serta
anus membentuk dasar pelvis dan perineum. Perineum kadang-kadang didefinisi mencakup
semua otot, fasia, dan ligament diafragma atas (pelvis) serta ligament diafragma bawah
(urogenital). Badan perineum menambah kekuatan struktur-struktur ini.
Diafragma pelvis atas yang tersusun atas otot dan fasia serta ligament otot tersebut
membentang sepanjang bagian bawah kavum pelvis seperti sebuah tempat tidur gantung.
Bagian difragma yang paling besar dan paling signifikan dibentuk oleh otot levator ani yang
tipis dan lebar, yang membentang seperti kain penutup antara spina iskiadika dan koksigis
dan sacrum. Kelompok otot levator ani dibentuk oleh tiga pasang otot : puborektalis,
iliokoksigis dan pubokoksigis. Otot pubokoksigis signifikan karena berperan dalam fungsin
sensori seksual dalam mengontrol kandung kemih, mengontrol relaksasi perineum selama
persalinan, dan ketika ibu melahirkan janin.
Pasangan otot kedua pada diafragma pelvis atas melekat erat pada otot koksigis. Otot-
ototini membentang dari spina iskiadika sampai koksigis dan sacrum bawah. Bagian-bagian
diafragma pelvis menjadi penopang bagi visera pelvis dan abdomen. Kekuatan dan
kekenyalan penopang ini berasal dari jalinan lapisan penopang ini. Lapisan-lapisan tersebut
tidak tetap, tetapi saling bergeser. Susunan yang unik ini memperkuat kapasitas penopang
diafragma pelvis, sehingga memungkinkan dilatasi vagina selama proses kelahiran dan
memungkinkan vagina menutup setelah melahirkan dan membantu konstriksi uretra, vagina
dan saluran anus yang melewati diafragma. Diafragma pelvis dibawah terletak di dalam
ruang arkus pubis dan terdiri dari otot perineum tranversa yang berorigo di tuberositas
iskiadika dan masuk ke dalam badan perineum. Serabut otot yang kuat menopang saluran
anus selama defekasi dan menopang vagina bawah selama proses melahirkan. Otot perineum
transversa profunda bergabung untuk membentuk kelim sentral atau raphe. Beberapa serabut
otot tersebut mengelilingi meatus urinarius dan sfingter vagina. Perineum terletak dibawah
diafragma pelvis atas dan bawah. Otot-otot dan fasianya memperkuat diafragma pelvis serta
membantu muara kandung kemih, vagina, dan anus untuk konstriksi . Serabut otot
bulbokavernosus berasal dari dalam badan perineum dan mengelilingi muara vagina sebagai
serabut otot yang menjorok ke depan memasuki pubis. Otot iskiadika dan menyambung
membentuk sudut masuk ke otot bulbokavernasus. Serabut otot ini berkontraksi sehingga
membuat klitoris ereksi. Serabut otot sfingter anus berasal dari koksigis, berpisah dan
memasuki anus dari kedua sisi, menyatu, kemudian masuk ke dalam otot perineum tranversa.
Serabut otot bulbokavernosus, perineum transversa dan sfingter ani dapat diperkuat dengan
latihan kegel.
Badan perineum, massa berbentuk baji antara muara vagina dan muara anus,
berfungsi sebagai titik berlabuhnya otot, fasia, dan ligament diafragma pelvis atas dan bawah.
Bagian bawah badan yang dibungkus kulit disebut perineum. Badan perineum merupakan
lanjutan septum antara rectum dan vagina. Jaringan ini pipih dan meregang seiring
pergerakan janin melalui jalan lahir.
 TULANG PELVIS

Panggul mempunyai tiga fungsi utama :


1. Rongga tulang pelvis membentuk tempat perlindungan bagi struktur-struktur pelvis
2. Arsitektur pelvis sangat penting untuk menakomodasi janin yang sedang berkembang
selama masa hamil dan selama proses melahirkan.
3. Kekokohannya membuat pelvis menjadi tempat berlabuh yang stabil untuk perlekatan
otot, fasia, dan ligament

Dalam mempelajari tulang-tulang pelvis, struktur dan penanda berikut sangat penting
: Krista iliaka dan spina iliaka anterior, superior, promontorium sacrum, sacrum, koksigis,
simfisis pubis, arkus subpubis, spina iskiadikus dan tuberositas iskiadika.
Pelvis disusun oleh empat tulang :
1. Inominata kanan
2. Inominata kiri, masing-masing terdiri dari tulang pubis kiri dan kanan, ilium dan
iskium, yang berdifusi setelah pubertas
3. Sacrum
4. Koksigis.

Kedua tulang inominata (tulang panggul) membentuk bagian sisi dan depan pasase
tulang, sacrum dan koksigis membentuk bagian belakang.
Dibawah ilium adalah iskium, suatu tulang berat yang berakhir dibagian posterior
pada protuberositas yang dikenal sebagai tuberositas iskiadika. Tuberositas menopang berat
badan saat duduk. Spina iskiadika, proyeksi tajam dari batas posterior iskium ke dalam
rongga pelvis, dapat tumpul atau menonjol.
Pubis, membentuk bagian depan rongga pelvis, terletak dibawah mons. Pada garis
tengah kedua tulang pubis disatukan oleh ligament yang kuat dan kartilago yang tebal untuk
membentuk persendian yang disebut simfisis pubis. Pada wanita sudut yang dibentuk oleh
arkus pubis secara optimal berukuran sedikit lebih besar dari 90 derajat.
Lima tulang vertebra yang berfungsi membentuk sacrum. Bagian anterior atas korpus
vertebra sakralis pertama, promontorium, membentuk margin posterior di pinggir pelvis.
Koksigis (tulang ekor) terdiri dari tiga sampai lima tulang vertebrae yang menyatu,
berartikulasi dengan sacrum. Koksigis condong kea rah bawah dank e arah depan dari batas
bawah sacrum. Pelvis dibagi menjadi dua bagian, rongga atas yang dangkal atau pelvis palsu
(pelvis mayor), dan rongga bawah yang lebih dalam atau pelvis sejati (pelvis minor). Pelvis
mayor terletak diatas linea terminalis (pinggir atau pintu atas) dan ukurannya berbeda-beda
pada setiap wanita. Pelvis minor terdiri dari pinggir, atau pintu atas panggul dan daerah
dibawah linea terminalis.
Plana pelvis meliputi pintu atas, pelvis tengah, dan pintu bawah. Rongga pelvis
tengah (sejati) menyerupai saluran berkelok yang tidak regular dengan permukaan anterior
dan posterior yang tidak sama. Permukaan anterior dibentuk oleh panjang simfisis.
Permukaan posterior dibentuk oleh panjang sacrum.
Usia, jenis kelamin, dan ras menimbulkan berbagai variasi bentuk dan ukuran pelvis.
Terdapat perubahan yang cukup besar pada pelvis selama masa pertumbuhan dan
perkembangan. Osifikasi pelvis lengkap pada usia 20 tahun atau sedikit diatas 20 tahun.
Individu yang lebih kecil mempunyai tulang yang lebih kecil dan lebih ringan daripada
individu yang besar.

B. Definisi
Distosia didefinisikan sebagai persalinan yang panjang, sulit, atau abnormal, yang timbul
akibat berbagai kondisi yang berhubungan dengan lima factor persalinan yaitu persalinan
disfungsional, perubahan struktur pelvis, sebab-sebab pada janin, posisi ibu dan respons
psikologis. Doenges, Marilynn E. 2001.
Distosia bahu merupakan masalah persalinan yang terjadi selama kala kedua pada saat
kepala janin telah lahir, tetapi bagian bahu terlalu lebar untuk masuk dan dilahirkan melalui
rongga pelvic. Hal tersebut dapat membahayakan bagi ibu karena dapat merobek serviks dan
vagina; hal tersebut juga berbahaya bagi janin karena tali pusar tertekan oleh tubuh janin dan
tulang pelvic.
Distosia bahu adalah tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat di lahirkan setelah kepala
janin di lahirkan. Salah satu kriteria diagnosa distosia bahu adalah bila dalam persalinan per
vagina untuk melahirkan bahu harus di lakukan manufer khusus seperti trapsi curam bawah
dan episiotomi.

C. Etiologi
1. Ibu dengan diabetes 7% insiden distosia bahu terjadi pada ibu dengan diabetes
gestasional.
2. Janin besar (makrosomia) distosia bahu lebih sering terjadi pada bayi dengan berat
lahir yang lebih besar, meski demikian hampir separuh dan dari kelahiran distosia
bahu memiliki berat kurang dari 4000 gram
3. Riwayat obstretri atau persalinan dengan bayi besar
4. Ibu dengan obesitas
5. Multiparitas
6. Kehamilan posterm dapat menyebabkan distosia bahu karena janin terus tumbuh
setelah usia 42 minggu
7. Riwayat obstretri dengan persalinan lama/persalinan sulit atau riwayat distosia bahu,
terdapat kasus distosia bahu rekuren pada 5(12%) di antara 42 wanita.

D. Klasifikasi
1. Persalinan Disfungsional ( Distosia karena Kelainan Kekuatan)
Persalinan disfungsional adalah kontraksi uterus abnormal yang menghambat
kemajuan dilatasi serviks normal, kemajuan pendataran/effacement (kekuatan
primer), dan atau kemajuan penurunan (kekuatan sekunder). Gilbert (2007).
2. Distosia karena Kelainan jalan lahir
3. Distosia karena kelainan letak dan bentuk janin
4. Distosia karena respon psikologis
Stress yang diakibatkan oleh hormon dan neurotransmitter (seperti catecholamines)
dapat menyebabkan distosia. Sumber stress pada setiap wanita bervariasi, tetapi nyeri
dan tidak adanya dukungan dari seseorang merupakan faktor penyebab stress.
Cemas yang berlebihan dapat menghambat dilatasi servik secara normal, persalinan
berlangsung lama, dan nyeri meningkat. Cemas juga menyebabkan peningkatan level
strees yang berkaitan dengan hormon (seperti: β endorphin, adrenokortikotropik,
kortisol, dan epinephrine). Hormon ini dapat menyebabkan distosia karena penurunan
kontraksi uterus.
E. Patofisiologi
Pada akhir kehamilan, agar dapat melewati jalan lahir kepala harus dapat mengatasi
tebalnya segmen bawah rahim dan servik yang masih belum mengalami dilatasi.
Perkembangan otot uterus di daerah fundus uteri dan daya dorong terhadap bagian terendah
janin adalah faktor yang mempengaruhi kemajuan persalinan kala 1.
Setelah dilatasi servik lengkap, hubungan mekanis antara ukuran dan posisi kepala janin
serta kapasitas panggul di katakan baik bila sudah terjadi desensus janin. Gangguan fungsi
otot uterus dapat di sebabkan oleh regangan uterus berlebihan dan atau partus macet. Dengan
demikian maka persalinan yang tidak berlangsung secara efektif adalah merupakan tanda
akan adanya fetopelvic disproportion.
Membedakan gangguan persalinan menjadi disfungsi uterus dan fotopelvic disproportion
secara tegas adalah tindakan yang tidak tepat oleh karna kedua hal tersebeut sebenarnya
memiliki hubungan yang erat. Kondisi tulang panggul bukan satu-satunya penentu
keberhasilan berlangsungnya proses persalinan pervaginam. Bila tidak ada data objektif
untuk mendukung adanya disfungsi uterus dan FPD, harus dilakukan TRIAL of LABOR
untuk menentukan apakah persalinan pervaginam dapat berhasil pada sebuah persalinan yang
di perkirakan akan berlangsung tidak efektif. Banyak ahli yang berpendapat bahwa tindakan
TRIAL of LABOR adalah merupakan prioritas utama untuk menurunkan kejadian sectio
caesar.
Setelah kelahiran kepala, akan terjadi putaran paksi luar yang menyebabkan kepala
berada pada sumbu normal dengan tulang belakang bahu pada umumnya akan berada pada
sumbu miring (oblique) di bawah ramus pubis. Dorongan pada saat ibu meneran akan
meyebabkan bahu depan (anterior) berada di bawah pubis, bila bahu gagal untuk mengadakan
putaran menyesuaikan dengan sumbu miring dan tetap berada pada posisi anteroposterior,
pada bayi yang besar akan terjadi benturan bahu depan terhadap simfisis sehingga bahu tidak
bisa lahir mengikuti kepala.
PATHWAY DISTOSIA BAHU
Etiologi (bayi besar, ibu dengan diabetes)

Ketidakseimbangan antara 4-P

Bayi lahir dengan presentasi kepala


KOPING INDIVIDUAL
TIDAK EFEKTIF
Bahu anterior tersangkut di simfisis pubis
sehingga menghambat
KOPING INDIVIDUAL
Tidak TIDAK
adanya EFEKTIF
dukungan dari
pasangan/keluarga
DISTOSIA BAHU

Kontraksi uterus tidak efektif dan Tekanan pada serviks yang kuat dan lama
tekanan kepala janin yang kuat pada
serviks

Resiko terhadap robeknya serviks Tali pusar tertekan oleh tubuh janin

dan vagina pada ibu dan tulang pelvis


Nyeri hebat

RESIKO TINGGI CEDERA RESIKO TINGGI CEDERA


NYERI AKUT MATERNAL PADA IBU TERHADAP JANIN

Diaphoresis hebat

RESIKO KEKURANGAN
VOLUME CAIRAN
F. Manifestasi klinis

1. Kepala janin telah lahir namun masih erat berada di vulva.


2. Kepala bayi tidak melakukan putaran paksi luar.
3. Dagu tertarik dan menekan perineum.
4. Tanda kepala kura-kura yaitu penarikan kembali kepala terhadap perineum sehingga
tampak masuk kembali ke dalam vagina.
5. Penarikan kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang terperangkap di belakang
symphisis.

G. Komplikasi
1. Pada Ibu
 Partus lama yang sering kali disertai pecahnya ketuban pada pembukaan kecil, dapat
menimbulkan dehirasi serta asidosis dan infeksi intrapartum.
 Dengan his yang kuat, sedang janin dalam jalan lahir tertahan, dapat menimbulkan
regangan segmen bawah uterus dan pembentukan lingkaran retraksi patologis (Bandl).
 Dengan persalinan yang tidak maju karena disproporsi sefalopelvik, jalan lahir pada
suatu tempat mengalami tekanan yang lama antara kepala janin dan tulang panggul.
2. Pada Bayi
 Partus lama dapat meningkatkan kematian perinatal apalagi jika ditambah dengan
infeksi intrapartum.
 Propalus funikuli, apabila terjadi mengandung bahaya yang sangat besar bagi janin
dan memerlukan kelahirannya dengan segala cara apabila ia masih hidup.
 Dengan adanya disproporsi sefalopelvik kepala melewati rintangan pada panggul
dengan mengadakan moulge.
 Selanjutnya tekanan oleh promontarium atau kadang-kadang oleh simfisis pada
panggul picak menyebabkan perlukaan pada jaringan diatas tulang kepala janin,
malahan dapat pula menimbulkan fraktur pada os parietalis (Hanifah, 2002).

H. Pemeriksaan diagnostik
1. Palpasi dan Balottmen: Leopold I : teraba kepala (balottmen) di fundus uteri
2. X-ray : Dapat membedakan dengan presentasi kepala dan pemeriksaan ini penting
untuk menentukan jenis presentasi sungsang dan jumlah kehamilan serta adanya
kelainan kongenital lain
3. Tes prenatal : dapat memastikan polihidromnion, janin besar, atau gestasii multiple
4. Tes stress kontraksi/tes nonstres : mengkaji kesejahteraan janin
5. Ultrasound atau pelvimetri sinar x : mengevaluasi arsitek pelvis, presentasi janin,
posisi, dan formasi.
6. Pengambilan sampel kulit kepala janin : mendeteksi atau mengesampingkan asidosis

I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan distosia bahu juga harus memperhatikan kondisi ibu dan janin. Syarat-
syarat agar dapat di lakukan tindakan untuk menangani distosia bahu adalah:
1. Kondisi vital ibu cukup memadai sehingga dapat bekerjasama untuk menyelesaikan
persalinan
2. Masih mampu untuk mengejan
3. Jalan lahir dan pintu bawah panggul memadai untuk akomodasi tubuh bayi
4. Bayi masih hidup atau di harapkan dapat bertahan hidup
5. Bukan monstrum atau kelainan kongenital yang menghalangi keluarnya bayi

Penatalaksanaan umum :

1. Berteriak minta bantuan . Segera mobilisasi semua personel yang tersedia


 Buat episiotomy yang adekuat untuk mengurangi obstruksi jaringan lunak dan
memberikan jarak untuk manipulasi
 Minta ibu untuk merefleksikan kedua pahanya ketika berbaring dengan mengangkat
lututnya setinggi mungkin kearah dada. Minta dua asisten untuk mendorong lutut ibu
yang fleksi ke arah dada dengan kuat.
 Dengan memakai sarung tangan yang steril atau yang didesinfeksi tingkat tinggi
- Lakukan traksi ke bawah yang kuat dan berkelanjutan pada kepala janin untuk
memindahkan bahu anterior ke bawah simfisis pubis
Catatan : hindari traksi yang berlebihan pada kepala janin karena tindakan ini
dapat menyebabkan cedera pleksus brakialis.
- Minta asisten untuk memberikan tekanan suprapubik ke bawah secara bersamaan
untuk membantu pelahiran bahu.
Catatan : jangan memberikan tekanan pada fundus. Tindakan ini berdampak lebih
lanjut pada bahu dan dapat menyebabkan rupture uterus
2. Jika bahu tetap tidak lahir
- Masukkan satu tangan ke dalam vagina disepanjang punggung bayi
- Berikan tekanan pada bahu anterior searah sternum bayi untuk memutar bahu dan
mengurangi diameter bahu
- Jika perlu, berikan tekanan pada bahu posterior searah sternum
3. Jika bahu tetap tidak lahir walaupun tindakan di atas telah dilakukan
- Masukkan satu tangan ke dalam vagina
- Pegang humerus lengan posterior dan dengan mempertahankan fleksi lengan, pada
siku, ayunkan lengan melewati dada. Tindakan ini memberi ruang bagi bahu
anterior untuk pindah ke bawah simfisis pubis.
4. Jika tindakan di atas gagal untuk melahirkan bahu, pilihan tindakan lainnya
meliputi:
- Mematahkan klavikula untuk mengurangi lebar bahu dan membebaskan bahu
anterior
- Melakukan traksi pada aksila dengan menggunakan pengait untuk mengeluarkan
lengan posterior.

Tehnik penanganan distosia bahu :

Prinsip utama dalam penanganan distosia bahu adalah melahirkan bayi sesegera mungkin
dengan beberapa teknik berikut:
a. Episiotomi
Episiotomi di lakukan dengan tujuan memperluas jalan lahir sehingga bahu di
harapkan dapat lahir.
b. Manuver Mc Robert
 Dengan posisi ibu berbaring, minta ibu untuk menarik kedua lututnya sejauh
mungkin ke arah dadanya, minta dua asisten (boleh suami atau anggota
keluarganya)
 Tekan kepala bayi secara mantap dan terus-menerus ke arah bawah (kearah
anus ibu) untuk memggerakkan bahu anterior di bawah symphisis pubis.
Hindari tekanan yang berlebihan pada bagian kepala bayi karena mungkin
akan melukainya.
 Secara bersama minta salah satu asisten untuk memberikan sedikit tekanan
supra pubis ke arah bawah dengan lembut. Jangan lakukan dorongan pada
pubis, karena akan mempengaruhi bahu lebih jauh dan bisa menyebabkan
ruptur uteri
c. Manuver Corkscrew Woods
 Masukkan satu tangan ke dalam vagina dan lakukan penekanan pada bahu
anterior, ke arah sternium bayi, untuk memuar bahu bayi dan megurangi
diameter bahu
 Jika perlu, lakukan penekanan pada bahu posterior ke arah sternum.
d. Teknik Pelahiran Bahu Belakang
 Masukkan satu tangan ke dalam vagina dan pegang tulang lengan atas yang
berada pada posisi posterior
 Fleksikan lengan bayi di bagian siku dan letakkan lengan tersebut melintang di
dada bayi.
e. Manuver Rubin
 Pertama dengan menggoyong-goyang kedua bahu janin dari satu sisi ke sisi
lain dengan memberikan tekanan pada abdomen.
 Bila tidak berhasil, tangan yang yang berada di panggulmeraih bahu yang
paling mudah di akses, kemudian mendorongnya ke permukaan anterior bahu.
Hal ini biasanya akan menyebabkan abdusi kedua bahu kemudian akan
menghasilkan diameter antar bahu dan pergeseran bahu depan dari belakang
simfisis pubis.
f. Manuver Hibbard
 Menekan dagu dan leher janin ke arah rectum ibu dan seorang asisten
menekan kuat fundus saat bahu depan dibebeskan. Penekanan fundus yang
dilakukan pada saat yang salah akan megakibatkan bahu depan semakin
terjepit.
g. Posisi Merangkak
 Minta ibu untuk berganti posisi merangkak
 Coba ganti kelahiran bayi tersebut dalam posisi ini dengan cara melakukan
tarikan perlahan pada bahu anterior ke arah atas dengan hati-hati.
 Segera setelah lahir bahu anterior, lahirkan bahu posterior dengan tarikan
perlahan ke arah bagian bawah dengan hati-hati.
h. Manuver Zavanelli
 Mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior atau posterior bila kepala
janin telah berputar dari posisi tersebut
 Memfleksikan kepala dan secara perlahan mendorongnya masuk kembali ke
vagina yang diikuti dengan pelahiran secara sesar.
 Memberikan terbutaline 250 mg subkutan untuk menghasilkan relaksasi
uterus.
i. Fraktur Klavikula
- Mematahkan klavikula dengan cara menekan klavikula anterior terhadap
ramus pubis dapat dilakukan untuk membebaskan bahu yang terjepit.
j. Kleidotomi
- Kleidotomi yaitu memotong klavikuka dengan gunting atau benda tajam lain,
biasanya dilakukan pada janin mati
k. Simfisotomi
- Simfisotomi yaitu mematahkan simfisotomi pubis untuk memermudah
persalinan juga dapat diterapkan dengan sukses.

Langkah-langkah Penatalaksanaan Distosia Bahu :

a. Persalinan Normal
- Melakukan episiotomy
- Melakukan manuver McRobert dengan tekanan supra pubik. Biasanya dengan
manuver tersebut janin dengan distoia bahu sudah dapat dilahirkan. Namun
jika bahu tidak lahir direkomendasikan manuver corkscrew woods, teknik
pelahiran bahu belakang dan melahirkan dengan posisi merrangkak. Sedang
fraktur klavikula merupakan pilihan terakhir.
b. The American College of Obstetrician.
Merekomendasikan langkah-langkah berikut ini untuk penatalaksanaan
distosia bahu dengan urut-urutan bergantung pada pengalaman dan pilihan
masing-masing operator :
- Panggil bantuan (mobilisasi asisten, anestesiolog dan dokter anak). Pada
saat ini dilakukan upaya untuk melakukan traksi ringan. Kosongkan
kandung kemih bila penuh.
- Lakukan episiotomy luas (mediolateral) untuk memperluas ruangan
posterior
- Penekanan suprapublik dilakukan pada saat awal oleh banyak dokter
karena alasan kemudahannya. Hanya dibutuhkan satu asisten untuk
melakukan penekanan suprapublik sementara traksi ke bawah dilakukan
pada kepala janin.
- Manuver McRobert memerlukan dua asisten, tiap asisten memegangi satu
tungkai dan memfleksikan paha ibu ke arah abdomen. Manuver-manuver
di atas biasanya dapat mengatasi sebagian besar kasus distosia bahu.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian keperawatan
1. Identitas/ demografi klien
2. Riwayat kehamilan harus mencakup gravida atau paragravida, pola dan perawatan
prenatal, rencana terhadap persalinan, tinjauan ulang terhadap kehamilan, kondisi
fisik dan psikologis, kesehatan secara umum.
3. Riwayat kehamilan dahulu
 Catat kehamilan terdahulu (jumlah, tanggal, jenis kelahiran, komplikasi,
dan hasil kehamilan mencakup jenis kelamin dan berat badan)
 Tanyakan pada klien riwayat kesehatan terdahulu dan catat jika klien
pernah menjalani pembedahan, penyakit jantung, diabetes, anemia,
tuberculosis, penyakit ginjal, hipertensi, atau penyakit menular seksual.
4. Riwayat kesehatan keluarga
 Tanyakan pada klien jika ada anggota keluarga yang memiliki penyakit
jantung, diskrasia darah, diabetes, penyakit ginjal, kanker, alergi, kejang,
defek congenital atau retardasi mental
 Mencakup proses persalinan keluarga (mis. Saudara, ibu) dan informasi
mengenai pengobatan dalam keluarga
5. Pemeriksaan Fisik
 Kaji penampilan klien secara keseluruhan dan catat jika terdapat pucat,
kelelahan, sakit atau rasa takut; edema; dehidrasi; atau lesi terbuka
 Kaji turgor kulit untuk menentukan adanya dehidrasi
 Kaji adanya jaringan parut, karena pembedahan abdomen atau pelvic dapat
menyisakan perlekatan
 Kaji presentasi dan posisi janin melalui maneuver Leopold
 Tentukan ukuran janin melalui pengukuran tinggi fundus
 Inspeksi membrane mukosa pada mulut untuk mengetahui adanya lesi
(herpes) dan inspeksi konjungtiva untuk mengetahui warna mata.
 Inspeksi ekstremitas bawah akan adanya edema dan varises
 Lakukan palpasi untuk mengetahui adanya pembesaran nodus limfatikus
untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
 Palpasi payudara klien dan kaji adanya benjolan atau kista serta catat
kemunculannya untuk dievaluasi lebih lanjut (mungkin kelenjar susu yang
membesar)
 Palpasi dan perkusi kandung kemih untuk mendeteksi kepenuhannya
 Auskultasi paru untuk memastikan kejernihan suaranya dan kaji bunyi
jantung.

B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b/d dengan kontraksi uterus tidak efektif, tekanan kepala janin yang kuat
pada serviks
2. Cedera, risiko tinggi b/d maternal ibu. faktor risiko dapat meliputi : perubahan tonus
otot/pola kontraksi, obstruksi mekanis pada penurunan janin, keletihan maternal
3. Cedera, risiko tinggi b/d janin. faktor risiko dapat meliputi : persalinan yang lama,
malpresentasi janin, hipoksia atau asidosis jaringan, abnormalitas pelvis ibu, cpd
4. Kekurangan volume cairan b/d risiko tinggi terhadap faktor risiko dapat meliputi:
status hipermetabolik,muntah,diaforesis hebat,pembatasan masukan oral,diuresis
ringan berkenaan dengan pemberian oksitosin
5. Koping , individual tidak efektif b/d : krisis situasi, kerentahan pribadi, harapan
/persepsi tidak listis, ketidakadekuatan sistem pendukung

C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut b/d kontraksi uterus tidak efektif, tekanan kepala janin yang kuat pada
serviks
Tujuan: Klien dapat mengontrol nyeri
Intervensi :
1) Kaji karakteristik nyeri PQRST khususnya saat his timbul
Rasional : Menentukkan tindakan yang akan dilakukan selanjutnya sesuai dengan
respons pasien terhadap nyeri
2) Hilangkan factor-factor yang menghasilkan ansietas dan anjurkan keberadaan
pasangan pasien.
Rasional : Tingkat toleransi ansietas adalah individual dan dipengaruhi oleh berbagai
factor. Ansietas berlebihan pada respons terhadap situasi darurat dapat meningkatkan
ketidaknyamanan karena rasa takut, tegang, dan nyeri yang saling berhubungan dan
membantu kemampuan klien untuk mengatasi nyeri.
3) Anjurkan teknik relaksasi dan massage pada ibu
Rasional : Dapat membantu dalam reduksi ansietas dan meningkatkan kenyamanan
4) Anjurkan ibu mengantisipasi nyeri dengan napas dalam bila his timbul
Rasional : Dengan napas dalam otot-otot dapat berelaksasi, terjadi vasodilatasi
pembuluh darah, ekspansi paru optimal sehingga kebutuhan O2 pada jaringan
terpenuhi
5) Kolaborasi pemberian analgetik
Rasional : Meningkatkan kenyamanan dengan memblok impuls nyeri. Kerja agen
analgetik

2. Cedera, risiko tinggi b/d maternal ibu. faktor risiko dapat meliputi : perubahan tonus
otot/pola kontraksi, obstruksi mekanis pada penurunan janin, keletihan maternal
Tujuan: mencapai dilatasi serviks sedikitnya 1,2 cm/jam untuk primipada, 1,5 cm/jam
untuk multipara pada fase aktif, dengan penurunan janin sedikitnya 1cm/jam untuk
primipara, 2cm/jam untuk multipara.
Intervensi :
1) Tinjau ulang riwayat persalinan
Rasional : Membantu dalam mengidentifikasi kemungkinan penyebab, kebutuhan
pemeriksaan diagnostik, dan intervensi yang tepat. Disfungsi uterus dapat di sebabkan
oleh keadaan atonik atau hipertonik. Atoni uterus di klasifikasikan primer bila ini
terjadi sebelum awitan persalinan atau sekunder bila ini terjadi setelah persalinan
yang baik.
2) Catat waktu/jenis obat. Hindari pemberian narkotik atau anestetik blok epidural
serviks dilatasi 4cm.
Rasional : Pola kontraksi hipertonik dapat terjadi pada respons terhadap rangsangan
oksitosin sedatif yang di berikan terlalu dini (atau melebihi kebutuhan) dapat
menghambat atau menghentikan persalinan.
3) Evaluasi tingkat keletihan yang menyertai, serta aktivitas dan istirahat, sebelum
awitan persalinan.
Rasional : Kelelahan ibu yang berlebihan menimbulkan disfungsi sekunder, atau
mungkin akibat dari persalinan lama/persalinan palsu.
4) Kaji pola kontraksi uterus secara manual atau secara elektronik .
Rasional : Disfungsi kontraksi memperlama persalinan, meningkatkan risiko
komplikasi maternal/janin. Pola hipotonik di tunjukan dengan kontraksi sering dan
ringan yang terukur kurang dari 30 mmHg. Pola hipertonik di tunjukan dengan
peningkatan frekuensi dan penurunan intensitas kontraksi, pada peningkatan tonus
istirahat lebih besar dari 15 mmHg.
5) Catat kondisi serviks. Pantau tanda amnionitis. Catat peningkatan suhu atau jumlah
sel darah putih; catat bahu dan warna rabas vagina.
Rasional : Serviks kuku atau tidak siap tidak akan dilatasi, menghambat penurunan
janin/kemajuan persalinan. Terjadinya amnionitis secara langsung di hubungkan
dengan lamanya persalinan, sehingga melahirkan harus terjadi dalam 24 jam setelah
pecah ketuban.
6) Catat penonjolan, posisi janin, dan presentasi janin.
Rasional : Indikator persalinan ini dapat mengidentifikasi timbulnya penyebab
persalinan lama. Sebagai contoh, presentasi bokong tidak seefektif lebarnya dilatasi
servik pada presentasi verteks.
7) Palpasi abdomen pada klien kurus terhadap adanya cincin retraksi patologis di antara
segmen uterus. (cincin ini tidak dapat di palpasi melalui vagina, atau melalui abdomen
pada klien gemuk.)
Rasional : Pada persalinan terhambat, depresi cincin patologis dapat terjadi pada
hubungan segmen atas dan bawah, menandakan ancaman ruptur uterus.
8) Tempatkan klien pada posisi recumben lateral dan anjurkan tirah baring atau ambulsi
sesuai toleransi
Rasional : Relaksasi dan peningkatan perfusi uterus dapat memperbaiki pola
hipertonik. Ambulasi dapat membantu kekuatan gravitasi dalam merangsang pola
persalinan normal dan dilatasi serviks.
9) Anjurkan klien berkemih setiap 1-2 jam. Kaji terhadap kepenuhan kandung kemih di
atas simfisis pubis.
Rasional : Kandung kemih penuh dapat menghambat aktivitas uterus dan
mempengaruhi penurunan janin.
10) Kaji derajat hidrasi. Catat jumlah dan jenis masukan.
Rasional : Persalinan yang lama dapat mengakibatkan ketidakseimbangan cairan
elektrolit serta kekurangan cadangan glukosa, mengakibatkan kelelahan dan
persalinan lama dengan peningkatan risiko infeksi uterus, hemoragi pascapartum, atau
pencetus kelahiran pada adanya persalinan hipertonik.
11) Tinjau ulang kebiasaan defekasi dan keteraturan evakuasi.
Rasional : Kepenuhan usus dapat menghambat aktivitas uterus dan mempengaruhi
penurunan janin.
12) Tetap bersama klien; berikan lingkungan yang tenang sesuai indikasi.
Rasional : Reduksi rangsang dari luar mungkin perlu untuk memungkinkan tidur
setelah pemberian obat untuk klien dalam status hipertonik. Juga membantu dalam
menurunkan tingkat ansietas, yang dapat menimbulkan disfungsi uterus baik primer
dan sekunder.
13) Sediakan kotak peralatan kedaruratan
Rasional : Mungkin di perlukan pada kejadian pencetus persalinan dan kelahiran,
yang di hubungkan dengan hipertonisitas uterus.

3. Cedera, risiko tinggi b/d janin. faktor risiko dapat meliputi : persalinan yang lama,
malpresentasi janin, hipoksia atau asidosis jaringan, abnormalitas pelvis ibu, cpd
Tujuan : Janin akan , menunjukan denyut jantung janin dalam batas normal, dengan
variabilitas baik, tidak ada deselerasi lambat.
Klien akan , berpartisipasi dalam intervensi untuk memperbaiki pola persalinan dan
atau menurunkan faktor risiko yang teridentifikasi
Intervensi :
1) Kaji DJJ secara manual atau elektronik. Perhatikan variabilitas, perubahan periodik,
dan frekuensi dasar. Bila pada pusat kelahiran alternatif (PKA), periksa irama jantung
janin di antara kontraksi dengan menggunakan doptone. Jumlahkan selama 10 menit,
istirahatkan selama 5 menit, dan jumlahkan lagi selama 10 menit. Lanjutkan pola ini
selama kontraksi sampai pertengahan di antaranya dan setelah kontraksi.
Rasional : Mendeteksi respon abnormal, seperti variabilitas yang di lebih-lebihkan,
bradikardinya dan takikardia yang memungkinkan di sebabkan oleh stres, hipoksia,
asidosis atau sepsis.
2) Perhatikan tekanan uterus selama istirahat dan selama fase kontrak melalui kateter
tekanan intrauterus bila tersedia.
Rasional : Tekanan istirahat lebih besar dari 30 mmHg atau tekanan kontraksi lebih
dari 50 mmHg menurukan atau mengganggu oksigenasi dalam ruang intravilos.
3) Identifikasi faktor-faktor maternal seperti dehidrasi, asidosis, ansietas, atau sindrom
vena cava.
Rasional : Kadang-kadang, prosedur sederhana (seperti membalikkan klien ke posisi
rekumben lateral ) meningkatkan sirkulasi darah dan oksigen ke uterus dan plasenta
serta dapat mencegah atau memperbaiki hipoksia janin.
4) Observasi terhadap prolabs tali pusar samar atau dapat di lihat bila pecah ketuban.
Dan untuk deselarasi variabel pada strip pemantauan, khususnya bila janin pada
presentasi bokong.
Rasional : Prolaps tali pusar lebih mungkin terjadi pada presentasi bokong, karena
bagian presentasi tidak menonjol kuat, juga tidak secara total memblok tulang, seperti
pada presentasi verteks.
5) Perhatikan bau dan perubahan warna cairan amnion pada pecah ketuban lama.
Dapatkan kultur bila temuan abnormal.
Rasional : Infeksi asenden dan sepsis di sertai dengan takikardia dapat terjadi pada
pecah ketuban lama.

4. Kekurangan volume cairan b/d risiko tinggi terhadap faktor risiko dapat meliputi:
status hipermetabolik,muntah,diaforesis hebat,pembatasan masukan oral,diuresis
ringan berkenaan dengan pemberian oksitosin
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan, dibuktikan dengan membran mukosa
lembab, keluaran urin tepat dan nadi dapat diraba serta bebas dari komplikasi.
Intervensi :
1) Pertahankan masukan/keluaran akurat,tes urin terhadap keton dan kaji pernapasan
Rasional : Penurunan keluaran urin dan peningkatan berat jenis urin menunjukkan
dehidrasi. Ketidakadekuatan masukan glukosa mengakibatkan pemecahan lemak dan
adanya keton.
2) Pantau tanda vital. Catat laporan pusing pada perubahan posisi
Rasional : Peningkatan frekuensi nadi dan suhu dan perubahan tekanan darah
ortostatik dapat menandakan penurunan volume sirkulasi
3) Kaji bibir dan membran mukosa oral dan derajat salivasi
Rasional : Membran mukosa/bibir yang kering dan perubahan salivasi adalah
indikator lanjut dari dehidrasi
4) Perhatikan respons DJJ abnormal
Rasional : Dapat menunjukkan efek dehidrasi meternal dan penurunan perfusi
5. Koping , individual tidak efektif b/d : krisis situasi, kerentahan pribadi, harapan
/persepsi tidak listis, ketidakadekuatan sistem pendukung
Tujuan : Dapat mengungkapkan pemahaman tentang apa yang terjadi dan mampu
mengidentifikasi/ menggunakan teknik koping efektif.
Intervensi :
1) Tentukan kemajuan persalinan. Kaji derajat nyeri dalam hubungannnya dengan
dilatasi/penonjolan.
Rasional : Persalinan yang lama berakibat keletihan dapat menurunkan kemampuan
klien untuk mengatasi /mengatur kontraksi. Peningkatan nyeri bila serviks tidak
dilatasi/membuka dapat menenadakan terjadinya disfungsi. Nyeri hebat dapat
menandakan terjadinya anoksia sel-sel uterus.
2) Kenali realitas keluhan klien akan nyeri ketidaknyamanan
Rasional : Ketidaknyamanan dan nyeri dapat disalahartikan pada kurangnya kemajuan
yang tidak dikenali sebagai masalah disfungsional. Mnedengarkan persaaan dan
mendukung dapat menurunkan ketidaknyamanan dan membantu klien rileks dan
mengatasi situasi .
3) Tentukan tingkat ansietas klien. Perhatikan adanya frustasi
Rasional : Ansietas berlebihan meningkatkan aktivitas adrenal/pelepasan
katekolamin,menyebabkan ketidakseimbangan endrokin. Kelebihan epinefrin
menghambat aktivitas miometrik. Tekanan juga menyebabkan penurunan
penyimpangan glikogen,menurunkan ketersediaan glukosa untuk sintesis adenosin
trifosfat (ATP), yang diperlukan untuk kontraksi uterus.
4) Diskusikan kemungkinan kepulangan klien ke rumah sampai mulainya persalinan
aktif .
Rasional : Klien mungkin mampu rileks lebih baik bila pada lingkungan yang dikenal.
Memberikan kesempatan untuk mengalihkan/memfokuskan kembali perhatian dan
menyelesaikan tugas yang mungkin berpengaruh pada tingkat ansietas/frustasi.
5) Berikan tindakan kenyamanan dan pengubahan posisi klien. Anjurkan penggunaan
teknik relaksasi dan pernapasan yang dipelajari.
Rasional : Menurunkan ansietas,meningkatkan kenyamanan,dan membantu klien
mengatasi situasi secara positif
6) Berikan informasi faktual tentang apa yang terjadi
Rasional : Dapat membantu reduksi ansietas dan meningkatkan koping
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Distosia bahu merupakan masalah persalinan yang terjadi selama kala kedua pada saat
kepala janin telah lahir, tetapi bagian bahu terlalu lebar untuk masuk dan dilahirkan melalui
rongga pelvic. Hal tersebut dapat membahayakan bagi ibu karena dapat merobek serviks dan
vagina; hal tersebut juga berbahaya bagi janin karena tali pusar tertekan oleh tubuh janin dan
tulang pelvic.
Distosia bahu adalah tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat di lahirkan setelah kepala
janin di lahirkan. Salah satu kriteria diagnosa distosia bahu adalah bila dalam persalinan per
vagina untuk melahirkan bahu harus di lakukan manufer khusus seperti trapsi curam bawah
dan episiotomy

B. Saran
Bagi ibu hamil hendaknya memeriksakan kehamilannya secara dini, memeriksakan
kehamilannya minimal 4 kali selama kehamilannya, agar bisa terdeteksi secara dini
komplikasi yang mungkin terjadi pada kehamilannya dan bisa meminimalisir terjadinya
komplikasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Mochlar, Rustam. 1990. Synopsis Obstetric. Jakarta : EGC

FKUI Universitas Padjajaran. 1983. Uji Diri Obstetric dan ginekologi.


Bandung : Eleman

Wiknojosastro, Hanifa. 1992. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawihardjo

Chandranita, ida ayu, dkk. 2009. Buku ajar patologi obstetric untuk mahasiswa
kebidanan. Jakarta:EGC

Farrer, Helen. 2001. Perawatan meternitas edisi II. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai