Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

TRAUMA DADA

DISUSUN OLEH
SRI KURNIAWATI
090STYJ19

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI NERS JENJANG PROFESI
MATARAM
2020

1
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA DADA

A. Definisi
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis
akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh
benturan pada dinding dada yang mengenai tulang-tulang sangkar
dada, pleura dan paru-paru, diafragma, atau organ-organ dalam mediastinum
baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan gangguan
sistem pernafasan (Suzanne & Smeltzer, 2001).
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thoraks
yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thoraks ataupun isi dari
kavum thoraks yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan
dapat menyebabkan keadaan gawat thoraks akut. Trauma thoraks
diklasifikasikan dengan tumpul dan tembus. Trauma tumpul merupakan luka
atau cedera yang mengenai rongga thoraks yang disebabkan oleh benda
tumpul yang sulit diidentifikasi keluasan kerusakannya karena gejala-gejala
umum dan rancu (Brunner & Suddarth, 2002).
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa
kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor
implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau
tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Dari ketiga pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa trauma
dada/thoraks adalah suatu kondisi dimana terjadinya benturan baik tumpul
maupun tajam pada dada atau dinding thoraks, yang menyebabkan
abnormalitas (bentuk) pada rangka thoraks. Perubahan bentuk pada thoraks
akibat trauma dapat menyebabkan gangguan fungsi atau cedera pada organ
bagian dalam rongga thoraks seperti jantung dan paru-paru, sehingga dapat
terjadi beberapa kondisi  patologis traumatik seperti hematothoraks,
pneumothoraks, tamponade jantung, dan sebagainya.

2
B. Etiologi
Penyebab utama cedera pada dada adalah kecelakaan kendaraan
bermotor, misalnya sepeda motor atau mobil. Pukulan benda-benda tumpul
pada dada, atau akibat terjatuhnya juga dapat menyebabkan cedera dada non-
penetrasi. Luka penetrasi umumnya diakibatkan oleh tusukan senjata tajam
atau luka akibat tembakan.
Trauma dada dapat disebabkan oleh:
1. Tension pneumothoraks, trauma dada pada selang dada, penggunaan terapi
ventilasi mekanik yang berlebihan, penggunaan balutan tekan pada luka
dada tanpa pelonggaran balutan.
2. Pneumothoraks tertutup, tusukan pada paru oleh patahan tulang iga, ruptur
oleh vesikel flaksid yang terjadi sebagai sequele dari PPOM.
3. Tusukan paru dengan prosedur invasif.
4. Kontusio paru-cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau
tertimpa benda berat.
5. Pneumothoraks terbuka akibat kekerasan (tikaman atau luka tembak).
6. Fraktur tulang iga.
7. Tindakan medis (operasi).
8. Pukulan daerah thoraks (Brunner & Suddarth, 2002).

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang sering muncul pada penderita trauma dada:
1. Tamponade Jantung:
a. Trauma tajam di daerah perikardium atau yang diperkirakan menembus
jantung.
b. Gelisah.
c. Pucat, keringat dingin.
d. Peninggian TVJ (tekanan vena jugularis).
e. Pekak jantung melebar.
f. Bunyi jantung melemah.
g. Terdapat tanda-tanda paradoxical pulse pressure.
h. ECG terdapat low voltage seluruh lead.

3
i. Perikardiosentesis keluar darah (FKUI, 1995).
2. Hematothoraks:
a. Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD.
b. Gangguan pernapasan (FKUI, 1995).
3. Pneumothoraks:
a. Nyeri dada mendadak dan sesak napas.
b. Gagal pernapasan dengan sianosis.
c. Kolaps sirkulasi.
d. Dada atau sisi yang terkena lebih resonan pada perkusi dan suara napas
yang terdengar jauh atau tidak terdengar sama sekali.
e. Pada auskultasi terdengar bunyi klik (Ovedoff, 2002).

D. Patofisiologi
Trauma benda tumpul pada bagian dada/thoraks baik dalam bentuk
kompresi maupun ruda paksa (deselerasi/akselerasi), biasanya menyebabkan
memar/jejas trauma pada bagian yang terkena. Jika mengenai sternum,
trauma tumpul dapat menyebabkan kontusio miokard jantung atau
kontusio paru. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perubahan
tamponade spada jantung, atau tampak kesukaran bernapas jika kontusio
terjadi pada paru-paru.
Trauma benda tumpul yang mengenai bagian dada atau dinding
thoraks juga seringkali menyebabkan fraktur baik yang berbentuk tertutup
maupun terbuka. Kondisi fraktur tulang iga juga dapat menyebabkan Flail
Chest, yaitu suatu kondisi dimana segmen dada tidak lagi mempunyai
kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena
fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih 
garis  fraktur.  Adanya semen Fail Chest (segmen mengambang)
menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan
parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang
maka akan menyebabakan hipoksia yang serius. Sedangkan trauma
dada/thoraks dengan benda tajam seringkali berdampak lebih buruk daripada
yang diakibatkan oleh trauma benda tumpul. Benda tajam dapat langsung

4
menusuk dan menembus dinding dada dengan merobek  pembuluh 
darah interkosta, dan menembus organ yang berada pada posisi tusukannya.
Kondisi ini menyebabkan perdaharan pada rongga dada (hemotothoraks), dan
jika berlangsung lama akan menyebabkan peningkatan tekanan di dalam
rongga baik rongga thoraks maupun rongga pleura jika tertembus. Kemudian
dampak negatif akan terus meningkat secara progresif dalam waktu yang
relatif singkat seperti pneumothoraks, penurunan ekspansi paru, gangguan
difusi, kolaps alveoli, hingga gagal nafas dan jantung. Adapun gambaran
proses perjalanan patofisiologi lebih lanjut dapat dilihat pada skema.

5
E. Pathway

6
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesa yang terpenting adalah mengetahui mekanisme dan pola
dari trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kerusakan
dari kendaraan yang ditumpangi, kerusakan stir mobil/air bag dan lain
lain.
2. Radiologi: Foto Thoraks (AP)
Pemeriksaan ini masih tetap mempunyai nilai diagnostik pada pasien
dengan trauma thoraks. Pemeriksaan klinis harus selalu dihubungkan
dengan hasil pemeriksaan foto thoraks. Lebih dari 90% kelainan serius
trauma thoraks dapat terdeteksi hanya dari pemeriksaan foto thoraks.
3. Gas Darah Arteri (GDA) dan pH
Gas darah dan pH digunakan sebagai pegangan dalam penanganan
pasien-pasien penyakit berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas
darah dipakai untuk menilai keseimbangan asam basa dalam tubuh, kadar
oksigen dalam darah, serta kadar karbondioksida dalam darah.
Pemeriksaan analisa gas darah dikenal juga dengan nama  pemeriksaan
ASTRUP, yaitu suatu pemeriksaan gas darah yang dilakukan melalui
darah arteri. Lokasi pengambilan darah yaitu: arteri radialis, arteri
brakhialis, arteri femoralis.
4. CT-Scan
Sangat membantu dalam membuat diagnosa pada trauma tumpul
thoraks, seperti fraktur kosta, sternum dan sterno klavikular dislokasi.
Adanya retro sternal hematoma serta cedera pada vertebra torakalis dapat
diketahui dari pemeriksaan ini. Adanya pelebaran mediastinum pada
pemeriksaan thoraks foto dapat dipertegas dengan pemeriksaan ini
sebelum dilakukan Aortografi.
5. Ekhokardiografi
Transtorasik dan transesofagus sangat membantu dalam menegakkan
diagnosa adanya kelainan pada jantung dan esophagus. Hemoperikardium,
cedera pada esophagus dan aspirasi, adanya cedera  pada dinding jantung
ataupun sekat serta katub jantung dapat diketahui segera. Pemeriksaan ini

|7
bila dilakukan oleh seseorang yang ahli, kepekaannya meliputi 90% dan
spesifitasnya hampir 96%.
6. EKG (Elektrokardiografi)
Sangat membantu dalam menentukan adanya komplikasi yang
terjadi akibat trauma tumpul thoraks, seperti kontusio jantung pada trauma.
Adanya abnormalitas gelombang EKG yang persisten, gangguan konduksi,
takhiaritmia semuanya dapat menunjukkan kemungkinan adanya kontusi
jantung. Hati hati, keadaan tertentu seperti hipoksia, gangguan elektrolit,
hipotensi gangguan EKG menyerupai keadaan seperti kontusi jantung.
7. Angiografi
Gold Standard untuk pemeriksaan aorta torakalis dengan dugaan
adanya cedera aorta pada trauma tumpul thoraks.
8. Hb (Hemoglobin)
Mengukur status dan resiko pemenuhan kebutuhan oksigen jaringan
tubuh.

G. Penatalaksanaan
1. Gawat Darurat/Pertolongan Pertama
Klien yang diberikan pertolongan pertama dilokasi kejadian maupun
di Unit Gawat Darurat (UGD) pelayanan rumah sakit dan sejenisnya harus
mendapatkan tindakan yang tanggap darurat dengan memperhatikan
prinsip kegawatdaruratan.
Penanganan yang diberikan harus sistematis sesuai dengan keadaan
masing-masing klien secara spesifik. Bantuan oksigenisasi penting
dilakukan untuk mempertahankan saturasi oksigen klien. Jika ditemui
dengan kondisi kesadaran yang mengalami penurunan/tidak sadar maka
tindakan tanggap darurat yang dapat dilakukan yaitu dengan
memperhatikan:
a. Pemeriksaan dan Pembebasan Jalan Napas (Air-Way)
Klien dengan trauma dada seringkali mengalami permasalahan
pada jalan napas. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu,
kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk

|8
atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan
sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari
telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross
Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk
Pada mulut korban.
Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing,
biasa pada korban tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka lidah
dan epiglotis akan menutup faring dan laring, inilah salah satu
penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh lidah
dapat dilakukan dengan cara tengadah kepala topang dagu (head tild –
chin lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula (Jaw Thrust Manuver).
b. Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Usaha Napas (Breathing)
Kondisi pernapasan dapat diperiksa dengan melakukan teknik
melihat gerakan dinding dada, mendengar suara napas, dan merasakan
hembusan napas klien (Look, Listen, and Feel), biasanya teknik ini
dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu. Bantuan napas diberikan
sesuai dengan indikasi yang ditemui dari hasil pemeriksaan dan dengan
menggunakan metode serta fasilitas yang sesuai dengan kondisi klien.
c. Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Siskulasi (Circulation)
Pemeriksaan sirkulasi mencakup kondisi denyut nadi, bunyi
jantung, tekanan darah, vaskularisasi perifer, serta kondisi perdarahan.
Klien dengan trauma dada kadang mengalami kondisi perdarahan aktif,
baik yang diakibatkan oleh luka tembus akibat trauma benda tajam
maupun yang diakibatkan oleh kondisi fraktur tulang terbuka dan
tertutup yang mengenai/melukai pembuluh darah atau organ (multiple).
Tindakan menghentikan perdarahan diberikan dengan metode yang
sesuai mulai dari penekanan hingga penjahitan luka, pembuluh darah,
hingga prosedur operatif.
Jika diperlukan pemberian RJP (Resusitasi Jantung Paru) pada
penderita trauma dada, maka tindakan harus diberikan dengan sangat
hati-hati agar tidak menimbulkan atau meminimalisir kompilkasi dari
RJP seperti fraktur tulang kosta dan sebagainya.

|9
d. Tindakan Kolaboratif
Pemberian tindakan kolaboratif biasanya dilakukan dengan jenis
dan waktu yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing klien yang
mengalami trauma dada. Adapun tindakan yang biasa diberikan yaitu:
pemberian terapi obat emergensi, resusitasi cairan dan elektrolit,
pemeriksaan penunjang seperti laboratorium darah vena dan AGD,
hingga tindakan operatif yang bersifat darurat.
2. Konservatif
a. Pemberian Analgetik
Pada tahap ini terapi analgetik yang diberikan merupakan
kelanjutan dari pemberian sebelumnya. Rasa nyeri yang menetap akibat
cedera jaringan paska trauma harus tetap diberikan penanganan
manajemen nyeri dengan tujuan menghindari terjadinya syok seperti
syok kardiogenik yang sangat berbahaya pada penderita dengan trauma
yang mengenai bagian organ jantung.
b. Pemasangan Plak/Plester
Pada kondisi jaringan yang mengalami perlukaan memerlukan
perawatan luka dan tindakan penutupan untuk menghindari masuknya
mikroorganisme patogen.
c. Antibiotika
Antibiotika yang digunakan disesuaikan dengan tes kepekaan dan
kultur. Apabila belum jelas kuman penyebabnya, sedangkan keadaan
penyakit gawat, maka penderita dapat diberi broad spectrum antibiotic,
misalnya Ampisillin dengan dosis 250 mg 4 x sehari.
d. Fisiotherapy
Pemberian fisiotherapy sebaiknya diberikan secara kolaboratif
jika penderita memiliki indikasi akan kebutuhan tindakan fisiotherapy
yang sesuai dengan kebutuhan dan program pengobatan konservatif.
3. Invasif/Operatif
a. WSD (Water Seal Drainage)

| 10
WSD merupakan tindakan invasif yang dilakukan untuk
mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga
thoraks, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.
b. Ventilator
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu
sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan
oksigenasi. Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan negatif
atau positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian
oksigen dalam waktu yang lama (Brunner & Suddarth, 1996).

H. Komplikasi
1. Surgical Emfisema Subcutis
Kerusakan pada paru dan pleura oleh ujung patahan iga yang tajam
memungkinkan keluarnya udara ke dalam cavitas pleura dari jaringan
dinding dada, paru. Tanda-tanda khas: penmbengkakan kaki, krepitasi.
2. Cedera Vaskuler
Di antaranya adalah cedera pada perikardium dapat membuat
kantong tertutup sehingga menyulitkan jantung untuk mengembang dan
menampung darah vena yang kembali. Pembuluh vena leher akan
mengembung dan denyut nadi cepat serta lemah yang akhirnya membawa
kematian akibat penekanan pada jantung.
3. Pneumothoraks
Adanya udara dalam kavum pleura. Begitu udara masuk ke dalam
tapi keluar lagi sehingga volume pneumothoraks meningkat dan
mendorong mediastinum menekan paru sisi lain.
4. Pleura Effusion
Adanya udara, cairan, darah dalam kavum pleura, sama dengan efusi
pleura yaitu sesak nafas pada waktu bergerak atau istirahat tetapi nyeri
dada lebih mencolok. Bila kejadian mendadak maka pasien akan syok.
Akibat adanya cairan udara dan darah yang berlebihan dalam rongga
pleura maka terjadi tanda-tanda:

| 11
a. Dispnea sewaktu bergerak atau jika efusinya luas pada waktu
istirahatpun bisa terjadi dispnea.
b. Sedikit nyeri pada dada ketika bernafas.
c. Gerakan pada sisi yang sakit sedikit berkurang.
d. Dapat terjadi pireksia (peningkatan suhu badan di atas normal).
5. Plail Chest
Pada trauma yang hebat dapat terjadi multiple fraktur iga dan bagian
tersebut. Pada saat inspirasi bagian tersebut masuk sedangkan saat
ekspirasi keluar, ini menunjukan adanya paroxicalmution (gerakan
pernafasan yang berlawanan).
6. Hemopneumothoraks
Hemopneumothoraks yaitu penimbunan udara dan darah pada
kavum pleura.

| 12
BAB 2
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
a. Airway
Trauma laring dapat bersamaan dengan trauma thoraks, walaupun
gejala kinis yang ada kadang tidak jelas, sumbatan airway karena
trauma laring merupakan cidera laring yang mengancam nyawa.
Trauma pada dada bagian atas, dapat menyebabkan dislokasi ke area
posterior atau fraktur dislokasi dari sendi sternoklavikular. Penanganan
trauma ini dapat menyebabkan sumbatan airway atas. Trauma ini
diketahui apabila ada sumbatan napas atas (stridor), adanya tanda
perubahan kualitas suara dan trauma yang luas pada daerah leher akan
menyebabkan terabanya defek pada regio sendi sternoklavikula.
Penanganan trauma ini paling baik dengan reposisi tertutup fraktur dan
jika perlu dengan intubasi endotrakheal.
b. Breathing
Dada dan leher penderita harus terbuka selama dilakukan
penilaian breathing dan vena-vena leher. Pergerakan pernapasan dan
kualitas pernapasan pernapasan dinilai dengan diobservasi, palpasi dan
didengarkan. Gejala yang terpenting dari trauma thoraks adalah
hipoksia termasuk peningkatan frekuensi dan perubahan pada pola
pernapasan, terutama pernapasan yang dengan lambat memburuk.
Sianosis adalah gejala hipoksia yang lanjut pada penderita. Jenis trauma
yang mempengaruhi breathing harus dikenal dan diketahui selama
primary survey.
c. Circulation
Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi dan
keteraturannya. Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan
sirkulasi perifer dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna
dan temperatur. Adanya tanda-tanda syok dapat disebabkan oleh

| 13
hematothoraks masif maupun tension pneumothoraks. Penderita trauma
thoraks di daerah sternum yang menunjukkan adanya disritmia harus
dicurigai adanya trauma miokard.
d. Open Pneumothoraks
Usaha pertama jika open pneumothoraks adalah menutup lubang
pada dinding dada ini sehingga open pneumothoraks menjadi closed
pneumothorax (tertutup). Prinsip penutupan bersih dan harus segera
ditambahkan bahwa apabila selain lubang pada dinding dada, juga ada
lubang pada paru, maka usaha menutup lubang ini secara total
(occlusive dressing) dapat mengkibatkan terjadinya tension
pneumothoraks.
Dengan demikian maka yang harus dilakukan adalah:
1) Menutup dengan kasa 3 sisi. Kasa ditutup dengan plaster pada 3
sisinya, sedangkan pada sisi yang atas dibiarkan terbuka (kasa harus
dilapisi zalf/soffratule pada sisi dalamnya supaya kedap udara).
2) Menutup dengan kasa kedap udara. Apabila dilakukan cara ini maka
harus sering dievaluasi paru. Apabila ternyata timbul pada tension
pneumothoraks maka kasa harus dibuka.
3) Pada luka yang besar dapat dipakai plastik infus yang digunting
sesuai ukuran.
e. Tension Pneumothoraks
Penatalaksanaan tension pneumothoraks adalah dengan
dekompresi “needle thoracosintesis”, yakni menusuk dengan jarum
besar pada ruang interkosta 2 pada garis midklavikularis. Terapi
definitif dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5
diantara garis aksilaris dan maksilaris.
f. Hemathoraks Masif
Jika klien mengalami hematothoraks masif harus segera dibawa
ke rumah sakit untuk dilakukan tindakan operatif. Terapi awal yang
harus dilakukan adalah penggantian volume darah yang dilakukan
bersama dengan dekompresi rongga pleura dan kebutuhan thorakotomi

| 14
diambil bila didapatkan kehilangan darah awal lebih dari 1.500 ml atau
kehilangan darah terus menerus 200 cc/jam dalam waktu 2-4 jam.
g. Flaill Chest
Terapi awal meliputi pemberian oksigen yang adekuat, pemberian
analgesik untuk mengurangi nyeri resusitasi cairan. Sesak nafas berat
akibat kerusakan perenkim paru mungkin harus dilakukan ventilasi
tambahan. Di rumah sakit akan dipasang respirator apabila analisis gas
darah menujukkan pO2 yang rendah atau pCO2 yang tinggi.
h. Tamponade Jantung
Pemasangan CVP dan USG abdomen dapat dilakukan pada
penderita temponade jantung tetapi tidak boleh menghambat untuk
dilakukannya resusitasi. Metode yang cepat untuk menyelamatkan
penderita ini adalah dilakukan perikardiosintesis (penusukan rongga
perikardium) dengan jarum besar untuk mengeluarkan darah tersebut.
Tindakan definitif adalah dilakukan perikardiotomi yang dilakukan oleh
ahli bedah.
2. Pengkajian Sekunder
Pengkajian pasien dengan trauma thoraks (Doenges, 2000) meliputi:
a. Aktivitas Istirahat
Gejala: dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
b. Sirkulasi
Tanda: takikardia, disritmia, irama jantunng gallops, nadi apikal
berpindah, tanda Homman, TD: hipotensi/hipertensi, DVJ.
c. Integritas Ego
Tanda: ketakutan atau gelisah.
d. Makanan dan Cairan
Tanda: adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan.
e. Nyeri/Ketidaknyamanan
Gejala: nyeri uni lateral, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan,
tajam dan nyeri, menusuk-nusuk yang diperberat oleh napas dalam,
kemungkinan menyebar ke leher, bahu dan abdomen.

| 15
Tanda: berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi,
mengkerutkan wajah.
f. Keamanan
Gejala: adanya trauma dada; radiasi/kemoterapi untuk keganasan.
g. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala: riwayat faktor risiko keluarga, TBC, kanker; adanya bedah
intratorakal/biopsi paru.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia, tidak
adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan.
2. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang
tidak maksimal karena trauma, hipoventilasi.
3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
4. Perubahan kenyamanan: nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan
refleks spasme otot sekunder.
5. Resiko terjadinya syok hipovolemia berhubungan dengan perdarahan yang
berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang
bullow drainage.
7. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan
dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.

C. Intervensi
Intervensi 1
Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia, tidak adekuatnya
pengangkutan oksigen ke jaringan.
Tujuan: Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam
diharapkan dapat mempertahankan perfusi jaringan.
Kiteria Hasil:
- Tanda-tanda vital dalam batas normal.
- Kesadaran meningkat.

| 16
- Menunjukkan perfusi adekuat.
Intervensi Rasional
Kaji faktor penyebab dari Deteksi dini untuk memprioritaskan
situasi/keadaan individu/penyebab intervensi, mengkaji status
penurunan perfusi  jaringan. neurologi/tanda-tanda kegagalan
untuk menentukan perawatan
kegawatan atau tindakan
pembedahan.
Monitor GCS dan mencatatnya. Menganalisa tingkat kesadaran.

Monitor keadaan umum pasien. Memberikan informasi tentang


derajat/keadekuatan perfusi jaringan
dan membantu menentukan
kebutuhan intervensi.

Berikan oksigen tambahan sesuai Memaksimalkan transport oksigen ke


indikasi. jaringan.

Kolaborasi pengawasan hasil Mengidentifikasi defisiensi dan


pemeriksaan laboraturium. Berikan kebutuhan pengobatan/respons
sel darah merah lengkap/packed terhadap terapi.
produk darah sesuai indikasi.

Intervensi 2
Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang
tidak maksimal karena trauma, hipoventilasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam dapat
mempertahankan  jalan nafas pasien.
Kriteria hasil:
- Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
- Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif.
- Adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi Rasional
Berikan posisi yang nyaman, Meningkatkan inspirasi maksimal,
biasanya dengan peninggian kepala meningkatkan ekspansi paru dan
tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. ventilasi  pada sisi yang tidak sakit.
Dorong klien untuk duduk sebanyak

| 17
mungkin.

Observasi fungsi pernapasan, catat Distres pernapasan dan perubahan


frekuensi pernapasan, dispnea atau pada tanda vital dapat terjadi sebagai
perubahan tanda-tanda vital. akibat stres fisiologi dan nyeri atau
dapat menunjukkan terjadinya syok
sehubungan dengan hipoksia.

Jelaskan pada klien bahwa tindakan Pengetahuan apa yang diharapkan


tersebut dilakukan untuk menjamin dapat mengurangi ansietas dan
keamanan. mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana terapeutik.

Pertahankan perilaku tenang, bantu Membantu klien mengalami efek


pasien untuk kontrol diri dengan fisiologi hipoksia, yang dapat
menggunakan  pernapasan lebih dimanifestasikan sebagai
lambat dan dalam. ketakutan/ansietas.

Intervensi 3
Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama... x 24 jam
diharapkan jalan nafas  pasien normal.
Kriteria Hasil:
- Menunjukkan batuk yang efektif.
- Tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran pernapasan.
- Klien tampak nyaman.
Intervensi Rasional
Jelaskan klien tentang kegunaan Pengetahuan yang diharapkan akan
batuk yang efektif dan mengapa membantu mengembangkan
terdapat  penumpukan sekret di kepatuhan klien terhadap rencana
saluran pernapasan. terapeutik.

Ajarkan klien tentang metode yang Batuk yang tidak terkontrol adalah
tepat pengontrolan batuk. melelahkan dan tidak efektif,
menyebabkan frustasi.

| 18
Auskultasi paru sebelum dan Pengkajian ini membantu
sesudah klien batuk. mengevaluasi keefektifan upaya batuk
klien.

Dorong atau berikan perawatan Higiene mulut yang baik


mulut yang baik setelah batuk. meningkatkan rasa kesejahteraan dan
mencegah  bau mulut.

Kolaborasi dengan tim kesehatan Expectorant untuk memudahkan


lain dalam pemberian antibiotika mengeluarkan lendir dan
atau expectorant. mengevaluasi perbaikan kondisi klien
atas pengembangan parunya.

Intervensi 4
Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama... x 24 jam
diharapkan nyeri berkurang.
Kiteria Hasil:
- Nyeri berkurang/dapat di atasi.
- Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri.
- Pasien tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan Pendekatan dengan menggunakan
tindakan pereda nyeri nonfarmakologi relaksasi dan nonfarmakologi
dan non invasif. lainnya telah menunjukkan
keefektifan dalam mengurangi
nyeri.

Berikan kesempatan waktu istirahat Istirahat akan merelaksasi semua


bila terasa nyeri dan berikan posisi jaringan sehingga akan
yang nyaman; misal waktu tidur, meningkatkan kenyamanan.
belakangnya dipasang bantal kecil.

Tingkatkan pengetahuan tentang Pengetahuan yang akan dirasakan


sebab-sebab nyeri, dan membantu mengurangi nyerinya,
menghubungkan berapa lama nyeri dan dapat membantu

| 19
akan berlangsung. mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana terapeutik.

Kolaborasi dengan dokter dalam Analgetik memblok lintasan nyeri,


pemberian analgetik. sehingga nyeri akan berkurang.

Observasi tingkat nyeri dan respon Pengkajian yang optimal akan


motorik klien, 30 menit setelah memberikan perawat data yang
pemberian obat analgetik untuk objektif untuk mencegah
mengkaji efektivitasnya, serta setiap 1- kemungkinan komplikasi dan
2 jam setelah tindakan  perawatan melakukan intervensi yang tepat.
selama 1-2 hari.

Intervensi 5
Resiko terjadinya syok hipovolemia berhubungan dengan perdarahan yang
berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam
diharapkan klien tidak mengalami syok hipovolemik.
Kriteria Hasil:
- Tanda-tanda vital dalam batas normal.
(N: 120-60 x/menit, S: 36-3C, RR: 20 x/menit)
Intervensi Rasional
Monitor keadaan umum pasien. Untuk memonitor kondisi pasien
selama perawatan terutama saat terjadi
perdarahan. Perawat segera
mengetahui tanda-tanda pre-
syok/syok.

Observasi vital sign setiap 3 jam Perawat perlu terus mengobservasi


atau lebih. vital sign untuk memastikan tidak
terjadi pre-syok/syok.

Jelaskan pada pasien dan keluarga Dengan melibatkan pasien dan


tanda perdarahan, dan segera keluarga maka tanda-tanda perdarahan
laporkan jika terjadi  perdarahan. dapat segera diketahui dan tindakan

| 20
yang cepat dan tepat dapat segera
diberikan.

Kolaborasi: pemberian cairan Cairan intravena diperlukan untuk


intravena. mengatasi kehilangan cairan tubuh
secara hebat.

Kolaborasi: pemeriksaan HB, PCV, Untuk mengetahui tingkat kebocoran


trombosit. pembuluh darah yang dialami pasien
dan untuk acuan melakukan tindakan
lebih lanjut.

Intervensi 6
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang
bullow drainage.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam
diharapkan dapat mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.

Kriteria Hasil:
- Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi Rasional
Kaji kulit dan identifikasi pada tahap Mengetahui sejauh mana
perkembangan luka. perkembangan luka mempermudah
dalam melakukan tindakan yang
tepat.

Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta Mengidentifikasi tingkat keparahan


jumlah dan tipe cairan luka. luka akan mempermudah intervensi.

Pantau peningkatan suhu tubuh. Suhu tubuh yang meningkat dapat


diidentifikasikan sebagai adanya
proses  peradangan.

Berikan perawatan luka dengan Teknik aseptik membantu


tehnik aseptik. Balut luka dengan mempercepat penyembuhan luka dan
kasa kering dan steril, gunakan mencegah terjadinya infeksi.

| 21
plester kertas.

Kolaborasi tindakan lanjutan seperti Agar benda asing atau jaringan yang
melakukan debridemen. terinfeksi tidak menyebar luas pada
area kulit normal lainnya.

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Setiadi (2012).
Implementasi merupakan tahap proses keperawatan di mana perawat
memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung terhadap
klien untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan
keperawatan. Potter & Perry. (2009).
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan
perawat untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil
meningkatkan kondisi klien. Potter & Perry (2009).
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses kepweawatan dengan
cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan
tercapai atau tidak. Hidayat A & Aziz Alimul (2007).
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencaan tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga,
dan tenaga kesehatan lainnya. Setiadi (2012).
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati
dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Asmadi
(2008), Macam – macam evaluasi
1. Evaluasi formatif
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah
perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai
keefektifan tindakan keperawaatan yang telah dilaksanakan. Perumusan

| 22
evaluasi formatif ini meliputi empat komponen yang dikenal dengan
istilah SOAP, yakni subjektif (data berupa keluhan klien), objektif (data
hasil pemeriksaan), analisis data (perbandingan data denagn teori), dan
perencanaan.
2. Evaluasi sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas
proses kepwrawatan seelsai dilakukan. Evalusi sumatif ini bertujuan
menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan.
Metode yang dapat digunakan pada evaluasi jenis ini adalah melakukan
wawancara pada akhir layanan, menanyakan respon klien dan keluarga
terkait layanan keperawatan, mengadakan pertemuan pada akhir layanan.
Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait dengan pencapaian
tujuan keperawatan.
 Tujuan tercapai jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan
standar yang telah ditentukan.
 Tujuan tercapai sebagian atau klien masih dalam proses pencapaian
tujuan jika klien menunjukkan perubahan pada sebagian kriteria
yang telah ditetapkan.
 Tujuan tidak tercapai jika klien hanya menunjukkan sedikit
perubahan dan tidak ada kemajauan sama sekali serta dapat timbul
masalah baru.

DAFTAR PUSTAKA

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC: Jakarta


Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
Sjamsuhidajat, R. 2004.  Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC

| 23
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Volume 1. EGC: Jakarta
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC

| 24

Anda mungkin juga menyukai