Anda di halaman 1dari 42

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN AKUT DAN KRONIS


“GOLDEN PERIOD”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asuhan Keperawatan Akut dan
Kronis

Dosen: Dr. Untung Sujianto, S.Kp, M.Kes

Oleh: Kelompok 4
Muchlisin 22020118410007
Theodora Rosaria G 22020118410011
Nining Puji A 22020118410015
Anton Suhendro 22020118410033
Muh. Firman Y 22020118410044

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan pertolongan yang dilakukan


kepada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung. Keadaan ini bisa
disebabkan karena korban mengalami serangan jantung (heart attack), tenggelam,
tersengat arus listrik, keracunan, kecelakaan dan lain-lain. Pada kondisi napas dan
denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti,
sehingga dalam waktu singkat organ-organ tubuh terutama organ fital akan
mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami
kerusakan. Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena
otak hanya akan mampu bertahan jika ada asupan gula/glukosa dan oksigen. Jika
dalam waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa
maka otak akan mengalami kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula
kematian si korban. Oleh karena itu GOLDEN PERIOD (waktu emas) pada
korban yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dibawah 10 menit.
Artinya dalam watu kurang dari 10 menit penderita yang mengalami henti napas
dan henti jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka
harapan hidup si korban sangat kecil.
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory
arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest). Resusitasi jantung paru otak dibagi
dalam tiga fase :bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut, bantuan hidup jangka
lama. Namun pada pembahasan kali ini lebih difokuskan pada Bantuan Hidup
Dasar. Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu
tindakan penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan
untuk menghentikan proses yang menuju kematian. Menurut AHA Guidelines
tahun 2005, tindakan BLS ini dapat disingkat dengan teknik ABC yaitu airway
atau membebaskan jalan nafas, breathing atau memberikan nafas buatan, dan
circulation atau pijat jantung pada posisi shock. Namun pada tahun 2010 tindakan
BLS diubah menjadi CAB (circulation, breathing, airway). Tujuan utama dari
BLS adalah untuk melindungi otak dari kerusakan yang irreversibel akibat
hipoksia, karena peredaran darah akan berhenti selama 3-4 menit.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Toraks

2.1.1 Definisi

Secara umum trauma toraks dapat didefinisikan sebagai

suatu trauma yang mengenai dinding toraks yang secara

langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada pada

organ didalamnya, baik sebagai akibat dari suatu trauma

tumpul maupun oleh sebab trauma tajam. Peningkatan dalam

pemahaman mekanisme fisiologis yang terlibat, kemajuan

dalam modalitas imaging yang lebih baru, pendekatan invasif

yang minimal, dan terapi farmakologis memberikan

kontribusi dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas pada

pasien dengan cedera ini (1).

Cedera pada parenkim paru sering terjadi pada pasien yang

mengalami cedera berat meliputi, kontusio, laserasi dan

hematoma pada paru. Hemotoraks dan Pneumotoraks juga

merupakan cedera yang biasa terjadi pada pasien - pasien

trauma toraks. Penatalaksanaan pada cedera ini telah


berkembang selama beberapa dekade terakhir. Hal ini

disebabkan oleh kemajuan dalam teknik imaging diagnostik

dan peningkatan dalam pemahaman patofisologi. Pemahaman

ini akan meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi

awal atas trauma toraks sehingga penanganannya dapat

dilakukan dengan segera (2).


2.1.2 Epidemiologi

Peningkatan pada kasus trauma toraks dari waktu ke waktu tercatat

semakin tinggi. Hal ini banyak disebabkan oleh kemajuan sarana

transportasi diiringi oleh peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Trauma toraks secara langsung menyumbang 20% sampai 25% dari

seluruh kematian akibat trauma, dan menghasilkan lebih dari 16.000

kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat begitu pula pada negara

berkembang. Di Amerika Serikat penyebab paling umum dari cedera yang

menyebabkan kematian pada kecelakaan lalu lintas, dimana kematian

langsung terjadi sering disebabkan oleh pecahnya dinding miokard atau

aorta toraks. Kematian dini (dalam 30 menit pertama sampai 3 jam) yang

diakibatan oleh trauma toraks sering dapat dicegah, seperti misalnya

disebabkan oleh tension Pneumotoraks , tamponade jantung, sumbatan

jalan napas, dan perdarahan yang tidak terkendali. Oleh karena seringnya

kasus trauma toraks reversibel atau sementara tidak mengancam nyawa

dan tidak memerlukan tindakan operasi, sangat penting untuk dokter yang

bertugas di unit gawat darurat mengetahui lebih banyak mengenai

patofisiologi, klinis, diagnosis, serta jenis penanganan lebih lanjut (3).

Di antara pasien yang mengalami trauma toraks, sekitar 50% akan

mengalami cedera pada dinding dada terdiri dari 10% kasus minor, 35%

kasus utama, dan 5% flail chest injury. Cedera dinding dada tidak selalu

menunjukkan tanda klinis yang jelas dan sering dengan mudah saja

diabaikan selama evaluasi awal (4).


Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga toraks.

Dengan adanya trauma pada toraks akan meningkatkan angka mortalitas

pada pasien dengan trauma. Trauma toraks dapat meningkatkan kematian

akibat Pneumotoraks 38%, Hematotoraks 42%, kontusio pulmonum 56%,

dan flail chest 69% (5). Trauma tumpul toraks menyumbang sekitar 75% -

80% dari keseluruhan trauma toraks dan sebagian besar dari pasien ini

juga mengalami cedera ekstratoraks. Trauma tumpul pada toraks yang

menyebabkan cedera biasanya disebabkan oleh salah satu dari tiga

mekanisme, yaitu trauma langsung pada dada, cedera akibat penekanan,

ataupun cedera deselarasi (6).

2.1.3 Etiologi

Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul

65% dan trauma tajam 34.9 % (Ekpe & Eyo, 2014). Penyebab trauma

toraks tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%). Dalam

trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis benturan (impact) yang berbeda,

yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan terguling. Oleh karena itu

harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena

setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks

oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat

energinya, yaitu berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi sedang

seperti tembakan pistol, dan berenergi tinggi seperti pada tembakan senjata

militer. Penyebab trauma toraks yang lain


adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru - paru yang bisa

menyebabkan Pneumotoraks seperti pada aktivitas menyelam (6). Trauma

toraks dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta dan sternum,

rongga pleura saluran nafas intratoraks dan parenkim paru. Kerusakan ini

dapat terjadi tunggal ataupun kombinasi tergantung dari mekanisme cedera

(7).

2.1.4 Patofisiologi
Utuhnya suatu dinding Toraks sangat diperlukan untuk sebuah ventilasi
pernapasan yang normal. Pengembangan dinding toraks ke arah luar oleh
otot - otot pernapasan diikuti dengan turunnya diafragma menghasilkan
tekanan negatif dari intratoraks. Proses ini menyebabkan masuknya udara
pasif ke paru - paru selama inspirasi. Trauma toraks mempengaruhi strukur -
struktur yang berbeda dari dinding toraks dan rongga toraks. Toraks dibagi
kedalam 4 komponen, yaitu dinding dada, rongga pleura, parenkim paru, dan
mediastinum. Dalam dinding dada termasuk tulang - tulang dada dan otot -
otot yang terkait. Rongga pleura berada diantara pleura viseral dan parietal
dan dapat terisi oleh darah ataupun udara yang menyertai suatu trauma
toraks. Parenkim paru termasuk paru - paru dan jalan nafas yang
berhubungan, dan mungkin dapat mengalami kontusio, laserasi, hematoma
dan pneumokel. Mediastinum termasuk jantung, aorta / pembuluh darah
besar dari toraks, cabang trakeobronkial dan esofagus. Secara normal toraks
bertanggungjawab untuk fungsi vital fisiologi kardiopulmoner dalam
menghantarkan oksigenasi darah untuk metabolisme jaringan pada tubuh.
Gangguan pada aliran udara dan darah, salah satunya maupun kombinasi
keduanya dapat timbul akibat dari cedera toraks (8).
Secara klinis penyebab dari trauma toraks bergantung juga pada
beberapa faktor, antara lain mekanisme dari cedera, luas dan lokasi dari
cedera, cedera lain yang terkait, dan penyakit - penyakit komorbid yang
mendasari. Pasien - pasien trauma toraks cenderung akan memburuk sebagai
akibat dari efek pada fungsi
respirasinya dan secara sekunder akan berhubungan dengan disfungsi

jantung. Pengobatan dari trauma Toraks bertujuan untuk mengembalikan

fungsi kardiorespirasi menjadi normal, menghentikan perdarahan dan

mencegah sepsis.

Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma toraks dapat ringan

sampai berat tergantung pada besar kecilnya gaya penyebab terjadinya

trauma. Kerusakan anatomi yang ringan pada dinding toraks berupa fraktur

kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur

kosta multipel dengan komplikasi pneumotoraks, hematotoraks dan

kontusio pulmonum. Trauma yang lebih berat menyebakan robekan

pembuluh darah besar dan trauma langsung pada jantung.

Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat

mengganggu fungsi fisiologis dari sistem respirasi dan kardiovaskuler.

Gangguan sistem respirasi dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat

tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal respirasi dapat berupa

gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi, dan gangguan mekanik alat

pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah

gangguan faal jantung dan pembuluh darah (9).

2.1.6 Komplikasi
Trauma toraks memiliki beberapa komplikasi seperti pneumonia

20%, pneumotoraks 5%, hematotoraks 2%, empyema 2%, dan kontusio

pulmonum 20%. Dimana 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum yang

berat akan
menjadi ARDS. Walaupun angka kematian ARDS menurun dalam dekade

terakhir, ARDS masih merupakan salah satu komplikasi trauma toraks yang

sangat serius dengan angka kematian 20-43% (10).

Kontusio dan hematoma dinding toraks adalah bentuk trauma toraks

yang paling sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding

toraks, perdarahan masif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah

pada kulit, subkutan, otot dan pembuluh darah interkosta. Kebanyakan

hematoma ekstrapleura tidak membutuhkan pembedahan, karena jumlah

darah yang cenderung sedikit.

Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung

maupun tidak langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 35% - 40% pada

trauma toraks. Karakteristik dari trauma kosta tergantung dari jenis benturan

terhadap dinding dada. Gejala yang spesifik pada fraktur kosta adalah nyeri,

yang meningkat pada saat batuk, bernafas dalam atau pada saat bergerak.

Pasien akan berusaha mencegah daerah yang terkena untuk bergerak

sehingga terjadi hipoventilasi. Hal ini meningkatkan risiko atelektasis dan

pneumonia.

Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta - kosta yang

berdekatan patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah

kostokondral. Angka kejadian dari flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan

lalu lintas menjadi penyebab yang paling sering. Diagnosis flail chest

didapatkan berdasarkan
pemeriksaan fisik, foto Toraks, dan CT scan Toraks (11).

Fraktur sternum terjadi karena trauma tumpul yang sangat berat

sering kali disertai dengan fraktur kosta multipel. Gangguan organ

mediastinum harus dicurigai pada pasien fraktur sternum, umumnya adalah

kontusio miokardium (dengan nyeri prekordium dan dispnea). Diagnosis

fraktur sternum didapatkan dari pemeriksaan fisik, adanya edema,

deformitas, dan nyeri lokal..

Kontusio parenkim paru adalah manifestasi trauma tumpul toraks

yang paling umum terjadi. Kontusio pulmonum paling sering disebabkan

trauma tumpul pada dinding dada secara langsung yang dapat menyebabkan

kerusakan parenkim, edema interstitial dan perdarahan yang mengarah ke

hipoventilasi pada sebagian paru. Kontusio juga dapat menyebabkan

hematoma intrapulmoner apabila pembuluh darah besar didalam paru

terluka. Diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik (adanya

suara gurgling pada auskultasi), foto toraks, dan CT scan toraks. Kontusio

lebih dari 30% pada parenkim paru membutuhkan ventilasi mekanik.

Pneumotoraks adalah adanya udara pada rongga pleura.

Pneumotoraks sangat berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura

parietalis dan visceralis. Robekan dari pleura visceralis dan parenkim paru

dapat menyebabkan Pneumotoraks, sedangkan robekan dari pleura

parietalis dapat menyebabkan terbentuknya emfisema subkutis.

Pneumotoraks pada trauma tumpul toraks terjadi karena pada saat terjadinya

kompresi dada tiba - tiba menyebabkan


terjadinya peningkatan tekanan intraalveolar yang dapat menyebabkan

ruptur alveolus. Udara yang keluar ke rongga interstitial ke pleura visceralis

ke mediastinum menyebabkan Pneumotoraks atau emfisema mediastinum.

Selain itu Pneumotoraks juga dapat terjadi ketika adanya peningkatan

tekanan tracheobronchial tree, dimana pada saat glotis tertutup

menyebabkan peningkatan tekanan terutama pada bivurcatio trachea dan

atau bronchial tree tempat dimana bronkus lobaris bercabang, sehingga

ruptur dari trakea atau bronkus dapat terjadi. Gejala yang paling umum pada

Pneumotoraks adalah nyeri yang diikuti oleh dispneu.

Hematotoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Darah dapat masuk

ke rongga pleura setelah trauma dari dinding dada, diafragma, paru-paru,

atau mediastinum. Insiden dari hematotoraks tinggi pada trauma tumpul,

37% kasus berhubungan dengan pneumotoraks (hemopneumotoraks )

bahkan dapat terjadi hingga 58% (Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al.,

2015). Terjadinya hemotoraks yang massive dengan drainage sekitar 1000

mililiter ataupun 100 mililiter per jam lebih daari 4 jam pada kasus akut

mengindikasikan untuk dilakukan thoracotomy emergency karena sangat

beresiko mengancam nyawa bahkan kematian (12).

2.1.7 Mortalitas

Trauma tumpul toraks meliputi 10% - 15% dari semua cedera trauma

toraks dan sekitar 25% dari seluruh kematian akibat trauma di seluruh

dunia. Etiologi dan pola trauma tumpul toraks bervariasi tergantung pada

mekanisme cedera dan


faktor sosio - ekonomi. Kecelakaan kendaraan bermotor meliputi 60% -

70% dari total keseluruhan trauma toraks. Angka mortalitas pada pasien

trauma tumpul toraks tergantung terutama pada keparahan cedera dan

adanya cedera terkait dengan sistem organ lainnya (10).

Pada suatu penelitian di daerah Timur Tengah Arab yang menilai

presentasi klinis dan mortalitas berbasis waktu dari trauma tumpul toraks

berdasarkan mekanisme cedera, didapatkan mayoritas dari korban

kecelakaan lalu lintas adalah laki - laki muda. Pada analisis ini, kontusio

paru merupakan tipe trauma tumpul toraks yang paling umum, diikuti oleh

fraktur tulang rusuk, dimana hal ini konsisten dengan penelitian lainnya.

Penelitian sebelumnya melaporkan hemotoraks dan pneumotoraks sebagai

lesi yang paling sering pada trauma tumpul toraks. Penelitian ini telah

mengobservasi suatu proporsi cedera ekstratoraks yang lebih tinggi di

antara pasien trauma tumpul toraks, dimana hal ini dapat meningkatkan

risiko komplikasi. Adanya trauma kepala dipertimbangkan sebagai prediktor

tunggal mortalitas pada pasien trauma tumpul toraks. Cedera pada hepar

dan lien juga meningkatkan risiko mortalitas tiga kali lipat.

Walaupun terjadi penurunan yang tajam pada angka mortalitas

pneumonia dan ARDS beberapa tahun terakhir ini, komplikasi ini masih

menyumbang angka mortalitas sebesar 20% - 43%. Kontusio pulmonum

merupakan cedera intratoraks tersering yang diasosiasikan dengan

mortalitas pada pasien trauma tumpul toraks, dimana cedera kepala menjadi

cedera ekstratoraks tersering yang dikaitkan dengan mortalitas pada pasien

trauma tumpul toraks.


2.1.8 Tatalaksana

Manajemen awal untuk pasien trauma toraks tidak berbeda dengan

pasien trauma lainnya dan meliputi ABCDE, yaitu A: airway patency with

care of cervical spine, B: Breathing adequacy, C: Circulatory support, D:

Disability assessment, dan E: Exposure without causing hypothermia (13).

Golden period pada trauma thorax adalah jika dengan penurunan

kesadaran perlu resusitasi golden period 5 menit, tetapi jika tidak terjadi

penurunan kesadaran namun perlu perawatan definitive golden periode 1

jam, komplikasi trauma torax dapat terjadi ika tidak ditangani setelah 48

jam (14)(7).

Pemeriksaan primary survey dan pemeriksaan dada secara

keseluruhan harus dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan

menangani kondisi yang mengancam nyawa dengan segera, seperti

obstruksi jalan napas, tension Pneumotoraks , pneuomotoraks terbuka yang

masif, hemotoraks masif, tamponade perikardial, dan flail chest yang besar.

Begitu kondisi - kondisi yang mengancam nyawa sudah ditangani, maka

pemeriksaan sekunder dari kepala hingga kaki yang lebih mendetail disertai

secondary chest survey harus dilakukan. Pemeriksaan ini akan fokus untuk

medeteksi kondisi - kondisi berikut: kontusio pulmonum, kontusi

miokardial, disrupsi aortal, ruptur diafragma traumatik, disrupsi

trakeobronkial, dan disrupsi esofageal.

Apnea, syok berat, dan ventilasi yang inadekuat merupakan indikasi

utama untuk intubasi endotrakeal darurat. Resusitasi cairan intravena

merupakan terapi utama dalam menangani syok hemorhagik. Manajemen

nyeri yang efektif


merupakan salah satu hal yang sangat penting pada pasien trauma toraks.

Ventilator harus digunakan pada pasien dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan

takipnea berat atau ancaman gagal napas. Ventilator juga diindikasikan pada

pasien dengan kontusio paru berat, hemotoraks atau penumotoraks, dan flail

chest yang disertai dengan gangguan hemodinamik.

Pasien dengan tanda klinis tension Pneumotoraks harus

segera menjalani dekompresi dengan torakosentesis jarum dilanjutkan dengan

torakostomi tube. Foto toraks harus dihindari pada pasien - pasien ini karena

diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan pemeriksaan x - ray hanya akan

menunda pelaksanaan tindakan medis yang harus segera dilakukan. Luka

menghisap pada dada harus segera dioklusi untuk mencegah berkembangnya

tension Pneumotoraks terbuka. Tindakan lainnya seperti torakostomi tube,

torakotomi, dan intervensi lainnya dilakukan sesuai dengan kondisi pasien (8).
2.2 Status epileptikus
2.2.1 Definisi
Status epileptikus adalah kondisi emergensi pada sistem neurologi yang berkaitan dengan
tingginya angka kematian serta kecacatan dalam jangka panjang. Status epileptikus ini
merupakan kondisi yang sering tidak terdiagnosis, sehingga semakin meningkatkan risiko
mengancam jiwa seseorang (15)
2.2.2. Etiologi
Faktor-faktor penyebab dari statue epileptikus adalah
a. Simotatik
1) Akut: stroke, intoksikasi, malaria, ensefalitis dan infeksi
2) Remote: jika terdapat riwayat kelainan sebelumnya seperti pasca trauma, pasca
ensefalitis dan pasca stroke
3) Kelainan neurologi progresif seperti tumor otak, penyakit neurodegeneratif
b. Idiopatik/kriptogenik
Penyebab yang belum diketahui secara pasti (16)
2.2.3 Patofisiologi
Statue epileptikus disebabkan oleh aktivasi dari neurotransmitter eksitasi yang berlebihan
atau aktivasi neurotransmitter inhibisi yang sangat kurang. Eksitasi berasal dari banyak
sumber, seperti rangkaian epileptogenik dari epilepsi yang sudah ada sebelumnya, eksitasi
di sekitar lesi struktural, dan eksitasi difus dari kondisi toksis atau metabolik. Pemasukan
limbik dan kortikal ini masuk ke dalam jalur perforant sepanjang gyrus parahippocampal
dan ke neuron di gyrus dentatys. Gyrus dentatus yang merupakan rem untuk penghamat
aktivasi dari neurotransmitter eksitasi, namun jika tidak mampu melakukan pengereman,
maka aktivasi eksitasi akan masuk lagi ke hippocampus dan kemudian ke gyrus
parahippocampal, yang akan menciptakan sirkuit yang memperpanjang status epileptikus
(16)
2.2.4 Klasifikasi status epileptikus
a. Convulsive
Pada SE convulsive dapat diklasifikasikan lagi menjadi SE tonik-klonik, SE tonik, SE
klonik dan SE mioklonik.
b. Non convulsive
SE ini mengacu pada aktivitas kelistrikan yang hampir terus menerus dan berlangsung
kurang lebih 30 menit, tetapi tanpa kejang fisik. Nonconvulsive SE

ditandai dengan status mental abnormal, tidak responsif, kelaianan motorik okuler,
kejang elektrografi persisten.
c. Refractory
Refractory SE merupakan klasiikasi SE karena pasien tidak memberikan respon pada
pengobatan standart (17,18).
2.2.5 Penatalaksanaan dan golden hour penanganan Epileptikus
(19)
Golden periode pada penangangan seranag epilepsi adalah maksimal 60 menit dengan
pembagian interval waktu golden peride menjadi 4 fase yaitu fase perbaikan mobilisasi
adekuat dan pemeriksaan ABCDE dalam waktu 0-5 menit, pemberian intervensi tahap
pertama dengan golden periode 5-20 menit, pemberian intervensi tahap ketiga dengan
golden periode 20-40 menit terhitung sejak serangan pertama terjadi, pemberian intervensi
tahap ke 3 dengan golden time 40-60 menit terhitung sejak serangan terjadi. Penanganan
tahap pertama dan kedua adalah bersifat mutlak dilakukan pada pasien dengan ststus
epileptikus. Sedangkan penanganan pada tahap ke tiga dan empat dpat dilakukan jika
penanganan pada tahap sebelumya tidak menunjukkan perbaikan pada kondisi serangan
epileptikus pasien.

2.3 Gigitan Ular

2.3.1 Pendahuluan
Ular berbisa dapat dijumpai di seluruh belahan dunia, kecuali pada
beberapa pulau, lingkungan dingin, dan terletak tinggi dari permukaan laut.
Gigitan ular berbisa dan kematian yang diakibatkan merupakan masalah
kesehatan publik yang penting pada daerah pedesaan. Populasi pada daerah ini
memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi karena akses pelayanan kesehatan
yang buruk, yang seringkali suboptimal dan pada beberapa keadaan, kelangkaan
antivenom, yang merupakan satu-satunya pengobatan spesifik. Korban gigitan
yang selamat mengalami sekuele fisik permanen akibat nekrosis jaringan lokal,
dan sekuele psikologis. Karena kebanyakan korban gigitan ular masih muda,
maka pengaruh terhadap ekonomi karena disabilitas mereka perlu
dipertimbangkan. Disamping besarnya efek terhadap populasi, gigitan ular tidak
mendapat perhatian yang cukup dari pelayanan kesehatan nasional dan
internasional, dan dapat dikategorisasi sebagai penyakit tropikal yang terabaikan
(Kasturiratne et al. 2008).
2.3.2 Pembahasan
Diperkirakan setidaknya 421.000 kasus envenomasi (injeksi bisa terhadap korban
melalui sengatan/ gigitan oleh hewan berbisa) dan 20.000 kematian timbul setiap
tahunnya di seluruh dunia akibat gigitan ular. Sebagian besar perkiraan kejadian
gigitan ular dijumpai di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Sub-Sahara Afrika, Amerika
Tengah dan Amerika Selatan. Kasus gigitan ular yang bervariasi secara geografik dan
musiman, terutama pada daerah pedesaan tropikal dimana pelaporan dan pendataan
masih kurang, dan sifat pengobatan yang masih dibagi kepada pengobatan tradisional
yang kadang lebih dipilih dibandingkan pengobatan Barat, berkontribusi terhadap
kesulitan untuk mempelajari epidemiologi gigitan ular (Kasturiratne et al. 2008).

Gambar 1. Perkiraan envenomasi gigitan ular pada 2007 berdasarkan regional


(Kasturiratne et al. 2008).
Gambar 2. Perkiraan kematian akibat gigitan ular berdasarkan regional
(Kasturiratne et al. 2008).
Epidemiologi gigitan ular di Asia Tenggara tidak diteliti secara adekuat dan
data yang dipublikasi, kebanyakan secara eksklusif berdasarkan laporan rumah sakit
kepada Kementerian Kesehatan, seringkali kurang dapat dipercaya dan
menyebabkan kesalahan data. Masalah mendasar yang dijumpai pada kebanyakan
regional Asia adalah pengobatan gigitan ular masih menganut paham tradisional dan
herbal, maka sebagian besar korban gigitan ular tidak tercatat pada rumah sakit
(Warrell 2010).
Untuk negara-negara di Asia Tenggara, WHO memberikan perhatian-perhatian
khusus yang didefinisikan sebagai berikut:
- Kategori 1: Kepentingan medis tertinggi: Ular yang sangat berbisa yang sering atau
tersebar luas dan menyebabkan banyak kasus gigitan, menimbulkan tingginya
tingkat morbiditas, disabilitas, dan mortalitas.
- Kategori 2: Kepentingan medis sekunder: Ular yang sangat berbisa yang dapat
menyebabkan morbiditas, disabilitas, atau mortalitas, tetapi (a) kekurangan data
epidemiologis dan klinis yang pasti atau (b) lebih jarang berpengaruh karena sifat
alamiahnya, pilihan habitat atau dijumpai pada area yang jauh dari populasi besar
manusia (Warrell 2010).
Beberapa jenis ular berdasarkan kategori WHO yang dapat dijumpai di Indonesia
(Warrell 2010):
- Daerah Sumatera, Jawa, Borneo, Sulawesi dan sebagian pulau-pulau Sunda tetapi
terletak di barat garis Wallace:
-Elapidae: Bungarus candidus (Sumatera dan Jawa), Naja sputatrix
Kategori 1 (Jawa dan sebagian pulau-pulau Sunda), Naja sumatrana (Sumatera dan
Borneo).
-Viperidae: Calloselasma rhodostoma (Jawa), Cryptelytrops albolabris,
Daboia siamensis.
-Elapidae: Bungarus fasciatus, Bungarus flaviceps (Sumatera dan
Kategori 2 Borneo),
Calliophis bivirgatus, Ophiophagus Hannah (Sumatera, Borneo dan
Jawa).
-Viperidae: Cryptelytrops insularis, Cryptelytrops
purpureomaculatus
(Sumatera).
- Daerah timur garis Wallace seperti Papua Barat dan Maluku:

Kategori 1 -Elapidae: Acanthophis laevis


Kategori 2 -Elapidae: Acanthophis rugosus, Micropechis ikaheka, Oxyuranus
scutellatus, Pseudechis papuanus, Pseudechis rossignolii, Psudonaja
textilis.

Klasifikasi
Sekitar 15% dari 3.000 spesies ular yang dijumpai di seluruh dunia dipertimbangkan
berbahaya bagi manusia. Ular berbisa yang dapat dijumpai di dunia dapat dilihat ada
tabel 1 (Gold, Dart & Barish 2002).
Tabel 1. Ular berbisa yang biasa dijumpai di dunia (Gold, Dart & Barish 2002
Diagnosis definitif keracunan bisa ular memerlukan identifikasi dari jenis ular dan
manifestasi klinis envenomasi. Pada penilaian laporan gigitan dari ular berbisa, harus
dibedakan gigitan dari ular yang tidak berbisa atau hewan lain. Perbandingan ular
berbisa dan ular tidak berbisa dapat terlihat pada gambar 3 berikut (Gold, Dart &
Barish 2002).

Gambar 3. Perbandingan ular berbisa dan tidak berbisa di Amerika Serikat (Gold, Dart &
Barish 2002).
WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada regional Asia
tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara (Elapidae, Viperidae,
dan Colubridae) (Warrell 2010):
- Elapidae: memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili ini meliputi
kobra, raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular laut. Elapidae secara
relatif merupakan ular yang cukup panjang, kurus, memiliki warna seragam dengan
sisik simetrikal besar halus pada puncak kepala. Beberapa kobra, meninggikan
bagian depan tubuhnya dari tanah dan melebar dan merata dari leher untuk
membentuk kerudung. Beberapa spesies kobra dapat meludahkan bisanya hingga 1
meter atau lebih terhadap mata korbannya. Ular laut berbisa memiliki ekor yang
lebar seperti padel dan skala ventral mengecil atau hilang. ridae: memiliki gigi taring
yang cukup panjang (solenogyph) yang secara normal terlipat rata terhadap rahang
atas, tetapi saat menyerang akan menjadi tegang. Ada dijumpai dua subfamili, viper
tipikal (Viperinae) dan viper pit (Crotalinae). Crotalinae memiliki organ khusus
untuk mendeteksi korban berdarah panas yang terletak diantara hidung dan mata.
Viperidae merupakan ular yang relatif pendek, bertubuh tebal dengan banyak sisik
kasar pada puncak kepala dan pola warna yang khas pada permukaan dorsal tubuh.
- Colubridae: dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional Asia
Tenggara adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan Rhabdophis triginus.
Piton besar (Boidae), merupakan Python reticularis di Indonesia, pernah dilaporkan
menyerang dan menelan manusia, yang biasanya petanivipe
PATOFISIOLOGI & DIAGNOSIS
Komposisi bisa ular 90% terdiri dari protein. Masing-masing bisa memiliki lebih dari
ratusan protein berbeda: enzim (meliputi 80-90% bisa viperidae dan 25-70% bisa
elapidae), toksin polipeptida non-enzimatik, dan protein non-toksik, seperti faktor
pertumbuhan saraf. Enzim pada bisa ular meliputi hidrolase digestif, hialuronidase, dan
aktivator atau inaktivator proses fisiologis, seperti kininogenase. Sebagian besar bisa
mengandung L-asam amino oksidase, fosfomono- dan diesterase, 5`-nukleotidase,
DNAase, NAD-nukleosidase, fosfolipase A2, dan peptidase (Warrell 2010).
Envenomasi gigitan ular pada manusia memiliki banyak efek potensial, namun hanya
beberapa kategori yang memiliki klinis mayor yang signifikan, yaitu: (1) flasid paralisis;
(2) miolisis sistemik; (3) koagulopati dan perdarahan; (4) kerusakan dan gangguan
ginjal; (5) kardiotoksisitas; (6) kerusakan jaringan lokal pada daerah gigitan (White 2005
Gambar 4. Representasi diagramatik mekanisme dasar bisa ular berinteraksi dengan hemostasis
(White 2005).
Tabel 3. Ular dengan komponen bisa yang mempengaruhi platelet (White 2005)

Beberapa korban yang digigit oleh ular (atau dicurigai digigit) dapat mengalami
simptom dan gejala yang khas, bahkan saat tidak ada bisa yang diinjeksi. Hal ini diakibatkan
dari ketakutan yang tidak dipahami dari konsekuensi gigitan ular berbisa. Korban cemas
dapat hiperventilasi sehingga mengalami sensasi kebas dan ditusuk-tusuk pada ekstremitas,
spasme tangan dan kaki, dan pusing. Korban lainnya dapat mengalami syok vasovagal setelah
gigitan, dengan kolaps disertai penurunan denyut jantung yang berat. Tampilan klinis korban
gigitan ular bervariasi sesuai umur dan ukuran tubuh, spesies ular, jumlah dan lokasi gigitan,
dan kuantitas dan toksisitas bisa. Morbiditas dan mortalitas bergantung pada umur dan
ukuran tubuh korban, disertai kondisi komorbiditas (Ahmed et al. 2008).
Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keparahan dan hasil akhir gigitan ular (Ahmed et al.
2008)

Faktor Efeknya terhadap hasil akhir


Ukuran tubuh korban Semakin besar ukuran, hasil akhir semakin baik karena jumlah
toksin yang lebih sedikit per kg berat badan.
Komorbiditas Predisposisi terhadap efek membahayakan bisa ular.
Lokasi gigitan Gigitan pada tubuh, wajah, dan secara langsung ke aliran darah
memiliki prognosis buruk.
Latihan fisik Latihan fisik setelah gigitan ular memiliki hasil akhir buruk
karena peningkatan absorpsi sistemik toksin.
Sensitivitas individual Sensitivitas individual terhadap bisa mempengaruhi gambaran
klinis.
Karakteristik gigitan Jumlah; kedalaman; “gigitan kering”; gigitan melalui pakaian,
sepatu, atau perlindungan lain; jumlah bisa yang diinjeksi;
kondisi gigi taring; dan durasi ular melekat pada korban
mempengaruhi hasil akhir.
Spesies ular Spesies yang berbeda memiliki dosis, periode mematikan dan
agresifitas berbeda.
Infeksi sekunder Ada atau tidaknya organisme patogenik pada mulut ular.
Pengobatan Adanya bantuan dasar diberikan dan waktu yang berlalu
sebelum dosis pertama antivenom.

Tabel 5. Berbagai gigitan ular, dosis fatal, kuantitas bisa diinjeksi, dan waktu mematikan
(Ahmed et al. 2008).

Ular LD50 Dosis fatal Dosis rerata Periode rerata


pada manusia per gigitan mematikan
Kobra India (Naja naja) 0,28 mg/kg 12 mg 60 mg 8 jam
Common krait (Bungarus 0,09 mg/kg 6 mg 20 mg 18 jam
caeruleus)
Viper Russell (Daboia 0,1 mg/kg 15 mg 63 mg 3 hari
russelii)
Viper bersisik gergaji 6,65 mg/kg 8 mg 13-40 mg 41 hari
(Echis carinatus)

Tabel 6. Penilaian keparahan envenomasi (Ahmed et al. 2008)


Derajat envenomasi Gejala dan tanda
klinis

Tidak ada envenomasi Tanpa reaksi lokal atau sistemik; tanda gigitan (+/-).

Envenomasi ringan Tanda gigitan (+). Nyeri sedang, edema lokal minimal (0-15 cm),
eritema (+), ekimosis (+/-), tidak ada reaksi sistemik.

Tanda gigitan (+), nyeri hebat, edema lokal sedang (15-30 cm),
Envenomasi sedang eritema dan ekimosis (+), kelemahan sistemik, berkeringat, sinkop,
nausea, muntah, anemia, atau trombositopenia.

Tanda gigitan (+), nyeri hebat, edema lokal berat (>30 cm), eritema
Envenomasi berat dan ekimosis (+), hipotensi, parestesia, koma, edema paru, gagal
napas.
Tabel 7. Klasifikasi gigitan ular menurut Schwartz (Djunaedi 2009)

Derajat Venerasi Luka Nyeri Edema/ Eritema Sistemik

0 0 + +/- <3 cm/ 12 jam 0


I +/- + - 3-12 cm/ 12 jam 0
+
II + + +++ 12-25 cm/ 12 jam Neurotoksik, mual,
pusing, syok
++
III + + +++ >25 cm/ 12 jam Petekhiae, syok,
ekimosis
++
IV +++ + +++ > ekstremitas Gangguan ginjal akut,
koma, perdarahan

Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila
dijumpai keadaan berikut (Ahmed et al. 2008):
1. Ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa.
1. Ekstensi awal yang cepat dari pembengkakan lokal daerah gigitan.
2. Pembesaran awal kelenjar getah bening lokal, menandakan penyebaran bisa di sistem
limfatik.
2. Simptom sistemik awal.
3. Perdarahan sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi).
4. Adanya urine berwarna coklat-gelap.

Walaupun dijumpai gambaran klinis diakibatkan oleh bisa dari spesies ular berbeda
yang tumpang tindih, suatu “pendekatan sindrom” yang diklasifikasi WHO dapat berguna,
terutama ketika ular tidak dapat diidentifikasi dan hanya tersedia antivenom monospesifik
(Warrell 2010).
Klasifikasi “pendekatan sindrom” gigitan ular oleh WHO (Warrell 2010):

Pemeriksaan laboratorium memiliki nilai yang sangat kecil pada diagnosis


envenomasi ular, tetapi sangat berguna dalam menentukan prognostik dan pengambilan
keputusan untuk intervensi spesifik. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan
adalah:
a. Uji 20 menit pembekuan darah lengkap (20 WBCT): 20 WBCT merupakan
pemeriksaan koagulopati sederhana untuk mendiagnosa envenomasi viper dan
menyingkirkan kemungkinan gigitan elapidae. Pemeriksaan ini memerlukan
tabung gelas kering dan bersih serta belum pernah dicuci dengan detergen,
kemudian beberapa milliliter darah segar vena diambil dan diteteskan pada tabung
lalu dibiarkan selama 20 menit; apabila darah tetap cair setelah 20 menit di tabung,
menunjukkan adanya koagulopati dan mengkonfirmasi pasien telah digigit oleh
viper. Kobra atau krait tidak menyebabkan simptom antihemostatik ini. (Ahmed et
al. 2008; Warrell 2010). Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat terhadap manfaat
pemeriksaan ini pada beberapa studi. Pada studi oleh Punguyire et al. tahun 2012
menunjukkan 20 WBCT merupakan metode pemeriksaan
sederhana yang akurat (sensitivitas 83,3% dan spesifitas 90%) untuk membantu memandu
pengobatan setelah envenomasi ular, namun studi oleh Isbister et al. tahun 2013
menunjukkan 20 WBCT memiliki sensitivitas rendah (40%) untuk mendeteksi koagulopati
pada envenomasi ular dan tidak dapat menjadi patokan pemberian antivenom.
b. Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA): Pemeriksaan ELISA dapat mengidentifikasi
spesies ular, berdasarkan antigen venom. Nmaun pemeriksaan ini mahal dan tidak selalu
tersedia, maka memiliki keterbatasan pada diagnostik. Saat ini, ELISA digunakan terutama
pada studi epidemiologi (Ahmed et al. 2008).
c. Konsentrasi hemoglobin/ hematokrit: Peningkatan mengindikasikan hemokonsentrasi
diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler (seperti pada gigitan viper Russell).
Penurunan mengindikasikan kehilangan darah yang diakibatkan hemolisis intravaskular
(Ahmed et al. 2008; Warrell 2010).
d. Hitung leukosit: leukositosis neutrophil merupakan penanda envenomasi sistemik dari
spesies ular (Warrell 2010).
e. Abnormalitas biokimiawi: Aminotransferase dan enzim otot (kreatin kinase, aldolase)
dapat meningkat bila dijumpai kerusakan otot lokal yang berat, atau terutama kerusakan
otot menyeluruh (pada gigitan ular laut, beberapa spesies krait, elapid Australia, viper
Russell Srilanka dan India Selatan). Disfungsi hpear ringan mencerminkan peningkatan
enzim serum lain. Bilirubin meningkat mengikuti ekstravasasi darah masif. Kalium,
kreatinin, urea atau nitrogen urea darah meningkat pada gangguan ginjal akut pada gigitan
viper Russell, hidung punuk Viper, dan ular laut. Hiperkalemia dapat dijumpai pada
rhabdomiolisis ekstensif pada gigitan ular laut. Bikarbonat dapat rendah pada asidosis
metabolik. Hiponatremia pernah dilaporkan pada korban gigitan krait di Vietnam utara
(Bungarus candidus dan B. multicinctus) (Warrell 2010).
f. Sistem koagulasi darah: PT dan APTT dapat memanjang pada gigitan viper. Fibrinogen
rendah dengan peninfkatan FDP (fibrin degradation product) dapat dijumpai pada
gangguan koagulasi akibat venom (Ahmed et al. 2008).
g. Urinalisis: Warna urine (merah jambu, merah, dan coklat gelap) harus diperhatikan, dan
urine diperiksa dengan dipstik untuk darah atau hemoglobin atau mioglobin. Pemeriksaan
mikroskopis dapat mengkonfirmasi adanya eritrosit di urine (Warrell 2010).
PENANGANAN
Permasalahan utama penanganan gigitan ular adalah ketidak-tersediaan antivenom yang
spesifik dan ppendukung lainnya seperti faktor pembekuan dan krioprecipitat. Studi oleh
Fadare & Afolabi tahun 2012 selama 18 bulan menunjukkan penanganan gigitan ular di
Nigeria masih kurang dan memerlukan antivenom yang efektif dan aman yang terjangkau
untuk memperbaiki hasil akhir pasien.
Golden periode untuk penaganan gigita ular adalah 24 jam setelah terkena gigitan,
jika melebihi golden periode tersebut dikhawatirkan akan terjadi komplikasi lebih lanjut yang
membahayakan kondisi kesehtan dan nyawa pasien (20).
Penanganan mandiri keperawatan yang dapat dilakukan adalah dengan pertolongan
sesegera mungkin pada pasien yang terkena gigitan ular. Tanpa memandang jenis gigitan
ular,konsep pertolongan pertama adalah mencegah atau menghambat menyebar luasnya
toksin ke tubuh. Metode dengan pembebatan pada area sekitar luka gigitan adalah bentuk
penanagann mandiri yang dapat dilakukann oleh perawat (21,22)
.
Panduan penanganan gigitan ular di Asia Tenggara oleh WHO adalah sebagai berikut
(Warrell 2010):
 Penanganan bantuan dasar
Bantuan dasar diberikan secepatnya setelah gigitan, sebelum pasien mencapai rumah sakit
atau penyedia kesehatan. Hal ini dapat dilakukan oleh korban gigitan ular sendiri atau
orang lain yang ada dan mampu. Metode bantuan dasar tradisional, popular, yang tersedia
dan terjangkau seringkali tidak bermanfaat atau bahkan membahayakan. Metode-metode
tersebut meliputi: insisi lokal, atau tusukan pada area gigitan, usaha untuk menghisap bisa
dari luka, mengikat erat tourniquet di sekitar gigitan, shock elektrik, penggunaan bahan
kimiawi atau topikal, tanaman atau es batu. Prinsip utama dari bantuan dasar adalah usaha
untuk memperlambat sistemik absorpsi bisa, menyelamatkan hidup dan mencegah
komplikasi sebelum pasien mendapat layanan kesehatan, memantau simptom awal bisa
yang membahayakan, mengatur transportasi pasien ke penyedia kesehatan, dan diatas
semua itu tujuan utama adalah tidak membahayakan/ melukai korban.
Studi oleh Albert set al. tahun 2004 menunjukkan penggunaan pompa untuk ekstraksi
darah dari luka simulasi gigitan ular berhasil membuang cairan darah, tetapi tidak
membuang bisa, yang menandakan ekstraksi/ penghisapan tidak menjadi pengobatan
efektif untuk mengurangi bisa dalam tubuh setelah gigitan ular berbisa.
 Transportasi ke rumah sakit
Korban harus secepatnya ditransfer ke penyedia kesehatan/ rumah sakit, tetapi dengan
sedapat mungkin aman dan nyaman. Pergerakan terutama pada daerah gigitan dikurangi
hingga seminimal mungkin untuk mencegah peningkatan absorpsi sistemik bisa. Kontraksi
otot dapat meningkatkan penyebaran bisa dari daerah gigitan. Bila mungkin, pasien
ditempatkan pada posisi terlentang, kecuali kalau muntah.
 Penilaian klinis dan resusitasi segera
Resusitasi kardiopulmonari dapat dilakukan, termasuk penggunaan oksigen dan
pemasangan akses intravena. Penanganan klinis dan resusitasi segera mengikuti
pendekatan ABCDE: Airway, Breathing, Circulation, Disabilitas sistem saraf, Exposure
dan kontrol lingkungan.
 Penilaian klinis mendetail dan diagnosis spesies
Riwayat gigitan ular dan progresi simptom dan tanda lokal dan sistemik sangat
penting. Petunjuk-petunjuk yang menandakan pasien dengan envenomasi berat,
pemeriksaan fisik di daerah gigitan, dan secara umum, tanda envenomasi neurotoksik
(paralisis bulbar dan pernapasan), rhabdomiolisis menyeluruh harus diperhatikan pada
pasien. Diagnosis terhadap spesies dapat dilakukan apabila ular dibawa untuk
diidentifikasi, misalnya ular yant telah mati; namun pada kondisi tanpa bukti ular,
identifikasi secara tidak langsung dari deskripsi pasien, bentuk luka gigitan, dan sindrom
klinis gejala dan tanda dapat dilakukan.
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan 20 WBCT, dan pemeriksaan lainnya dapat membantu pada kasus gigitan
ular berbisa.
 Pengobatan antivenom
Antivenom merupakan satu-satunya pengobatan antidotum spesifik terhadap bisa ular.
Keputusan paling penting dalam penanganan gigitan ular adalah perlu atau tidaknya
memberikan antivenom. Dalam hal ini, antivenom hanya diberikan pada pasien dengan
mempertimbangkan manfaat melebihi resikonya, karena antivenom cukup mahal dan sulit
diperoleh dan resiko reaksinya harus turut dipertimbangkan.
Indikasi pemberian antivenom adalah apabila pasien dengan dugaan atau terbukti
gigitan ular mengalami satu atau lebih tanda berikut (Warrell 2010):
 Envenomasi sistemik
- Abnormalitas hemostatik: perdarahan sistemik spontaneous (klinis); koagulopati (20
WBCT atau tes lain seperti PT), atau trombositopenia (<100.000) (laboratorium).
- Tanda neurotoksik: ptosis, optalmoplegia eksternal, paralisis (klinis).
- Abnormalitas kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia (klinis); abnormal EKG.
- Gangguan ginjal akut: oliguria/ anuria (klinis); peningkatan kreatinin/ urea darah
(laboratorium).
- Hemoglobin-/ Mioglobin-uria: urine coklat gelap (klinis), dipstick urine, tanda lain
hemolisis intravaskular atau rhabdomiolisis menyeluruh (nyeri otot, hiperkalemia)
(klinis, laboratorium).
- Tanda-tanda pendukung laboratorium adanya envenomasi sistemik.
 Envenomasi lokal
- Pembengkakan lokal meliputi lebih dari setengah tungkai yang tergigit (tanpa
tourniquet) dalam 48 jam pertama. Pembengkakan setelah gigitan pada jari-jari.
- Ekstensi cepat pembengkakan (seperti dibawah pergelangan tangan atau kaki dalam
beberapa jam setelah gigitan pada tangan atau kaki).
- Dijumpai pembesaran kelenjar getah bening yang mendrainase tungkai yang tergigit.

Ada dua metode pemberian antivenom yang direkomendasikan (Warrell 2010):


1. Injeksi “push” intravena: Antivenom diberikan secara injeksi intravena lambat (tidak
lebih dari 2 mL/menit).
2. Infus intravena: Antivenom dilarutkan sekitar 5-10 mL cairan isotonik per kg berat
badan (seperti 250-500 mL saline isotonik atau dekstrosa 5% pada orang dewasa) dan
diinfus dengan kecepatan konstan diatas sekitar 1 jam.
Pasien yang diberikan antivenom harus secara ketat dipantau setidaknya selama 1 jam
setelah dimulai pemberian antivenom intravena, sehingga reaksi anafilaksis antivenom
dapat dideteksi dan diobati segera dengan epinefrin (adrenalin).
Dosis antivenom yang diberikan pada gigitan ular pada dewasa dan anak-anak adalah
sama, karena ular juga menginjeksikan bisa dengan dosis yang sama. Di Indonesia,
antivenom yang tersedia adalah serum antivenom polivalen (Calloselasma rhodostoma,
B fasciatus, N sputatrix) yang diproduksi oleh Bio Farma dengan sediaan ampul 5 mL.
Dosis awal antivenom yang disarankan dapat diberikan berdasarkan spesies ular.
Adapun pedoman lain dari terapi pemberian antivenom dapat mengacu pada Schwartz
dan Way (Djunaedi 2009):
 Derajat 0 dan I: tidak diperlukan antivenom, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, bila
derajat meningkat maka diberikan antivenom.
 Derajat II: 3-4 vial antivenom
 Derajat III: 5-15 vial antivenom
 Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial antiveno
Pada sebagian proporsi pasien, lebih dari 10% mengalami reaksi terhadap pemberian
antivenom yang timbul awal (dalam beberapa jam) atau terlambat (5 hari atau lebih).
Beberapa reaksi terhadap antivenom adalah:
1. Reaksi anafilaksis awal: muncul dalam 10-180 menit setelah pemberian antivenom,
pasien mulai gatal dan urtikaria, batuk kering, demam, nausea, muntah, kolik abdomen,
diare, dan takikardi. Minoritas pasien mengalami anafilaksis berat (hipotensi,
bronkospasme, angioedema).
1. Reaksi pirogenik (endotoksin): muncul dalam 1-2 jam setelah pengobatan, gejala
meliputi kekakuan, demam, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah; reaksi ini
diakibatkan oleh kontaminasi pirogen selama proses produksi antivenom.
2. Reaksi terlambat (tipe serum sickness): muncul dalam 1-12 hari setelah pengobatan,
gejala meliputi demam, nausea, muntah, diare, gatal, urtikaria, atralgia, myalgia,
limfadenopati, pembengkakan periartikular, multipleks mononeuritis, proteinuria
dengan nefritis imun kompleks, dan jarang, ensefalopati. Pasien dengan reaksi awal dan
diobati dengan antihistamin dan kortikosteroid lebih jarang mengalami reaksi terlambat.
Studi oleh Premawardhena tahun 1999 menunjukkan penggunaan 0,25 mL dari
1:1.000 adrenalin yang diberikan secara subkutan segera sebelum pemberian antivenom
terhadap pasien dengan envenomasi setelah gigitan ular mengurangi kejadian reaksi efek
samping akut pada serum. Studi oleh de Silva et al. tahun 2011 menunjukkan pemberian
adrenalin dosis rendah memiliki penurunan resiko reaksi akut berat terhadap antivenom
sedangkan prometazin, dan hidrokortison tidak memberikan efek yang bermakna.
 Pemantauan respons antivenom
Bila dosis antivenom diberikan secara adekuat, maka respons terhadap antivenom
dapat dipantau adalah:
a.Umum: pasien mengalami perbaikan. Nausea, sakit kepala dan nyeri menyeluruh
berkurang secara cepat. Hal ini juga dapat sebagian peran dari efek plasebo.
b. Perdarahan sistemik spontaneous: biasanya berhenti dalam 15-30 menit.
c.Koagulabilitas darah: biasanya kembali normal dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka baru
dan lama biasanya berhenti lebih cepat.
d. Pada pasien syok: tekanan darah meningkat dalam 30-60 menit pertama dan aritmia
mengalami perbaikan.
e.Envenomasi neurotoksik pada tipe post-sinaptik (tipe kobra) dapat dijumpai perbaikan
dalam 30 menit setelah antivenom, tetapi biasanya membutuhkan beberapa jam.
Envenomasi dengan toksin presinaptik (krait dan ular laut) tidak berespons.
f. Hemolisis dan rhabdomiolisis aktif dapat berhenti dalam beberapa jam dan urine kembali
menjadi warna normal.
Apabila darah tetap inkoagulasi (diukur dengan 20 WBCT) 6 jam setelah dosis awal
antivenom, dosis yang sama diulangi. Pasien dengan perdarahan yang berkelanjutan dan
tanda-tanda perburukan neurotoksik dan kardiovaskular dapat diberikan dosis antivenom
ulangan dalam 1-2 jam.
 Penanganan supportif/ tambahan
Antivenom dapat menetralkan bisa yang bersirkulasi bebas, mencegah progresi
envenomasi dan memberikan kesembuhan, Namun, proses ini memerlukan waktu dan
pasien envenomasi berat memerlukan sistem pendukung kehidupan seperti pengobatan
syok, ventilator, dan dialisis ginjal hingga kerusakan berat organ dan jaringan mendapat
waktu untuk penyembuhan.
 Penanganan daerah gigitan
Infeksi bakteri dapat ditangani dengan pemberian antibiotik berupa antibiotik
spektrum luas (amoksisilin atau sefalosporin ditambah dosis tunggal gentamisin ditambah
metronidazol) dan profilaksis tetanus apabila dijumpai bukti adanya infeksi sekunder
bakteri, namun profilaksis antibiotik tidak terbukti bermanfaat.
Daerah gigitan dapat membengkak dan nyeri, dan harus ditempatkan dengan posisi
nyaman, tetapi tidak dalam kondisi elevasi berlebihan karena dapat mengurangi tekanan
perfusi arteri pada daerah bengkak yang tegang dan meningkatkan resiko iskemia
intrakompartemen. Kondisi tungkai yang imobile, membengkak tegang, dingin, dan tanpa
denyut dapat merupakan tanda peningkatan tekanan intrakompartemen yang
mengakibatkan iskemia jaringan, yang memerlukan penanganan fasiotomi yang
diindikasikan apabila:
- Abnormalitas hemostatik telah dikoreksi (antivenom dengan atau tanpa faktor
pembekuan).
- Bukti klinis adanya sindroma intrakompartemen.
- Tekanan intrakompartemen >40 mmHg (pada dewasa).
Studi oleh Hall tahun 2001 terhadap intervensi bedah pada envenomasi Crotaline
merekomendasikan insisi area gigitan sebagai bantuan dasar, eksisi atau debridemen
area gigitan tidak direkomendasikan, fasiotomi hanya dilakukan pada kondisi
sindrom kompartemen terdokumentasi dengan peningkatan tekanan kompartemen
yang gagal respons terhadap pemberian antivenom adekuat sebelumnya, serta
rehabilitasi awal yang agresif dengan pergerakan pasif dan aktif pada gigitan di
tangan dan jari-jari direkomendasikan.
REFERENSI

1. mattoux L. Vascular Surgery: Principles and Practice, Fourth Edition - Google Buku.
2015.
2. marc eckstein, sean o henderson. Thoracic Trauma | Clinical Gate. 2016.
3. Jigar V Shah MIS. Analytic Study of Chest Injury. IJSS J Surg. 2015 Feb;01(01).
4. Abedi Khorasgani M, Shahrami A, Shojaee M, Alimohammadi H, Amini A,
Hatamabadi HR. The Accuracy of Plain Radiography in Detection of Traumatic
Intrathoracic Injuries. Emerg (Tehran, Iran). 2016;4(4):184–7.
5. Labora JR, Kristanto EG, Siwu JF. POLA CEDERA TORAKS PADA
KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENYEBABKAN KEMATIAN DI
BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL RSUP PROF. Dr. R.D. KANDOU
PERIODE JANUARI 2013- JANUARI 2014. 2015;42–7.
6. Saeed AY, Hamza AA, Ismail OM. Pattern and Management Outcome of Chest
Injuries in Omdurman Teaching Hospital Sudan. Glob J Med Res. 2015;15(1):1–7.
7. Soesanto H, Tangkilisan A, Lahunduitan I, Ilmu KSM, Divisi B, Toraks B, et al.
Thorax Trauma Severity Score sebagai Prediktor Acute Respiratory Distress Syndrome
pada Trauma Tumpul Toraks Trauma toraks merupakan penyebab signifikan mortalitas
dan morbiditas , penyebab terbanyak trauma tumpul toraks dengan angka persentase
mencapai h. 2017;(November):34–8.
8. Lugo JP, Saiyed ZM, Lane NE. Efficacy and tolerability of an undenatured type II
collagen supplement in modulating knee osteoarthritis symptoms: A multicenter
randomized, double-blind, placebo-controlled study. Nutr J. 2016;15(1).
9. mattoux. Atlas of Trauma | Trauma, 7e | AccessSurgery | McGraw-Hill Medical. 2015.
10. El-Matbouly M, Jabbour G, El-Menyar A, Peralta R, Abdelrahman H, Zarour A, et al.
Blunt splenic trauma: Assessment, management and outcomes. Surgeon.
2016;14(1):52–8.
11. Wanek S, Mayberry JC. Blunt thoracic trauma: Flail chest, pulmonary contusion, and
blast injury. Crit Care Clin. 2004;20(1):71–81.
12. Kazemnezhad-Leili E, Mohtasham-Amiri Z, Davoudi-Kiakalayeh A, Hemmati H,
Darzi AA, Kouchakinejad-Eramsadati L, et al. Evaluation of Chest and Abdominal
Injuries in Trauma Patients Hospitalized in the Surgery Ward of Poursina Teaching
Hospital, Guilan, Iran. Arch Trauma Res. 2013;1(4):161–5.
13. Unsworth A, Curtis K, Asha EE. Treatments for blunt chest trauma and their impact on
patient outcomes and health service delivery. Scand J Trauma Resusc Emerg Med.
2015;23(1).
14. Rogers F, Rittenhouse K. The Golden Hour in Trauma. J Lancaster Gen Hosp. 2014;
15. Pramesti FA, Husna M, Kurniawan SN, Rahayu M, Neurologi L, Kedokteran F, et al.
REVIEW. 2017;30–8.
16. Prasetyo A, Prasetyo BH. Tatalaksana Status Epileptikus di Instalasi Gawat Darurat.
2018;45(11):866–8.
17. Brophy GM, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck TP, Glauser T, et al. Guidelines for
the Evaluation and Management of Status Epilepticus.
18. Cherian A, Thomas S V. Status epilepticus. Ann Indian Acad Neurol. 2009
Jul;12(3):140–53.
19. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Alldredge B, Arya R, Bainbridge J, et al. Evidence-
Based Guideline: Treatment of Convulsive Status Epilepticus in Children and Adults:
Report of the Guideline Committee of the American Epilepsy Society. Epilepsy Curr.
2016 Jan;16(1):48–61.
20. Gutiérrez JM, Solano G, Pla D, Herrera M, Segura Á, Vargas M, et al. Preclinical
Evaluation of the Efficacy of Antivenoms for Snakebite Envenoming: State-of-the-Art
and Challenges Ahead. Toxins (Basel). 2017;9(5).
21. Warrell DA. World Health Organization: Guidelines for the clinical management of
snake bites in the Southeast Asian region. Southeast Asian J Trop Med Public Health.
1999;30 Suppl 1:1–85.
22. Canale E, Isbister GK, Currie BJ. Investigating pressure bandaging for snakebite in a
simulated setting: Bandage type, training and the effect of transport. EMA - Emerg
Med Australas. 2009;21(3):184–90.

Anda mungkin juga menyukai