Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asuhan Keperawatan Akut dan
Kronis
Oleh: Kelompok 4
Muchlisin 22020118410007
Theodora Rosaria G 22020118410011
Nining Puji A 22020118410015
Anton Suhendro 22020118410033
Muh. Firman Y 22020118410044
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
aorta toraks. Kematian dini (dalam 30 menit pertama sampai 3 jam) yang
jalan napas, dan perdarahan yang tidak terkendali. Oleh karena seringnya
dan tidak memerlukan tindakan operasi, sangat penting untuk dokter yang
mengalami cedera pada dinding dada terdiri dari 10% kasus minor, 35%
kasus utama, dan 5% flail chest injury. Cedera dinding dada tidak selalu
menunjukkan tanda klinis yang jelas dan sering dengan mudah saja
dan flail chest 69% (5). Trauma tumpul toraks menyumbang sekitar 75% -
80% dari keseluruhan trauma toraks dan sebagian besar dari pasien ini
2.1.3 Etiologi
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul
65% dan trauma tajam 34.9 % (Ekpe & Eyo, 2014). Penyebab trauma
trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis benturan (impact) yang berbeda,
yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan terguling. Oleh karena itu
setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks
seperti tembakan pistol, dan berenergi tinggi seperti pada tembakan senjata
rongga pleura saluran nafas intratoraks dan parenkim paru. Kerusakan ini
(7).
2.1.4 Patofisiologi
Utuhnya suatu dinding Toraks sangat diperlukan untuk sebuah ventilasi
pernapasan yang normal. Pengembangan dinding toraks ke arah luar oleh
otot - otot pernapasan diikuti dengan turunnya diafragma menghasilkan
tekanan negatif dari intratoraks. Proses ini menyebabkan masuknya udara
pasif ke paru - paru selama inspirasi. Trauma toraks mempengaruhi strukur -
struktur yang berbeda dari dinding toraks dan rongga toraks. Toraks dibagi
kedalam 4 komponen, yaitu dinding dada, rongga pleura, parenkim paru, dan
mediastinum. Dalam dinding dada termasuk tulang - tulang dada dan otot -
otot yang terkait. Rongga pleura berada diantara pleura viseral dan parietal
dan dapat terisi oleh darah ataupun udara yang menyertai suatu trauma
toraks. Parenkim paru termasuk paru - paru dan jalan nafas yang
berhubungan, dan mungkin dapat mengalami kontusio, laserasi, hematoma
dan pneumokel. Mediastinum termasuk jantung, aorta / pembuluh darah
besar dari toraks, cabang trakeobronkial dan esofagus. Secara normal toraks
bertanggungjawab untuk fungsi vital fisiologi kardiopulmoner dalam
menghantarkan oksigenasi darah untuk metabolisme jaringan pada tubuh.
Gangguan pada aliran udara dan darah, salah satunya maupun kombinasi
keduanya dapat timbul akibat dari cedera toraks (8).
Secara klinis penyebab dari trauma toraks bergantung juga pada
beberapa faktor, antara lain mekanisme dari cedera, luas dan lokasi dari
cedera, cedera lain yang terkait, dan penyakit - penyakit komorbid yang
mendasari. Pasien - pasien trauma toraks cenderung akan memburuk sebagai
akibat dari efek pada fungsi
respirasinya dan secara sekunder akan berhubungan dengan disfungsi
mencegah sepsis.
trauma. Kerusakan anatomi yang ringan pada dinding toraks berupa fraktur
kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur
gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi, dan gangguan mekanik alat
2.1.6 Komplikasi
Trauma toraks memiliki beberapa komplikasi seperti pneumonia
berat akan
menjadi ARDS. Walaupun angka kematian ARDS menurun dalam dekade
terakhir, ARDS masih merupakan salah satu komplikasi trauma toraks yang
yang paling sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding
toraks, perdarahan masif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah
maupun tidak langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 35% - 40% pada
trauma toraks. Karakteristik dari trauma kosta tergantung dari jenis benturan
terhadap dinding dada. Gejala yang spesifik pada fraktur kosta adalah nyeri,
yang meningkat pada saat batuk, bernafas dalam atau pada saat bergerak.
pneumonia.
Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta - kosta yang
berdekatan patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah
kostokondral. Angka kejadian dari flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan
lalu lintas menjadi penyebab yang paling sering. Diagnosis flail chest
didapatkan berdasarkan
pemeriksaan fisik, foto Toraks, dan CT scan Toraks (11).
trauma tumpul pada dinding dada secara langsung yang dapat menyebabkan
suara gurgling pada auskultasi), foto toraks, dan CT scan toraks. Kontusio
parietalis dan visceralis. Robekan dari pleura visceralis dan parenkim paru
Pneumotoraks pada trauma tumpul toraks terjadi karena pada saat terjadinya
ruptur dari trakea atau bronkus dapat terjadi. Gejala yang paling umum pada
Hematotoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Darah dapat masuk
bahkan dapat terjadi hingga 58% (Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al.,
mililiter ataupun 100 mililiter per jam lebih daari 4 jam pada kasus akut
2.1.7 Mortalitas
Trauma tumpul toraks meliputi 10% - 15% dari semua cedera trauma
toraks dan sekitar 25% dari seluruh kematian akibat trauma di seluruh
dunia. Etiologi dan pola trauma tumpul toraks bervariasi tergantung pada
70% dari total keseluruhan trauma toraks. Angka mortalitas pada pasien
presentasi klinis dan mortalitas berbasis waktu dari trauma tumpul toraks
kecelakaan lalu lintas adalah laki - laki muda. Pada analisis ini, kontusio
paru merupakan tipe trauma tumpul toraks yang paling umum, diikuti oleh
fraktur tulang rusuk, dimana hal ini konsisten dengan penelitian lainnya.
lesi yang paling sering pada trauma tumpul toraks. Penelitian ini telah
antara pasien trauma tumpul toraks, dimana hal ini dapat meningkatkan
tunggal mortalitas pada pasien trauma tumpul toraks. Cedera pada hepar
pneumonia dan ARDS beberapa tahun terakhir ini, komplikasi ini masih
mortalitas pada pasien trauma tumpul toraks, dimana cedera kepala menjadi
pasien trauma lainnya dan meliputi ABCDE, yaitu A: airway patency with
kesadaran perlu resusitasi golden period 5 menit, tetapi jika tidak terjadi
jam, komplikasi trauma torax dapat terjadi ika tidak ditangani setelah 48
jam (14)(7).
masif, hemotoraks masif, tamponade perikardial, dan flail chest yang besar.
pemeriksaan sekunder dari kepala hingga kaki yang lebih mendetail disertai
secondary chest survey harus dilakukan. Pemeriksaan ini akan fokus untuk
takipnea berat atau ancaman gagal napas. Ventilator juga diindikasikan pada
pasien dengan kontusio paru berat, hemotoraks atau penumotoraks, dan flail
torakostomi tube. Foto toraks harus dihindari pada pasien - pasien ini karena
diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan pemeriksaan x - ray hanya akan
torakotomi, dan intervensi lainnya dilakukan sesuai dengan kondisi pasien (8).
2.2 Status epileptikus
2.2.1 Definisi
Status epileptikus adalah kondisi emergensi pada sistem neurologi yang berkaitan dengan
tingginya angka kematian serta kecacatan dalam jangka panjang. Status epileptikus ini
merupakan kondisi yang sering tidak terdiagnosis, sehingga semakin meningkatkan risiko
mengancam jiwa seseorang (15)
2.2.2. Etiologi
Faktor-faktor penyebab dari statue epileptikus adalah
a. Simotatik
1) Akut: stroke, intoksikasi, malaria, ensefalitis dan infeksi
2) Remote: jika terdapat riwayat kelainan sebelumnya seperti pasca trauma, pasca
ensefalitis dan pasca stroke
3) Kelainan neurologi progresif seperti tumor otak, penyakit neurodegeneratif
b. Idiopatik/kriptogenik
Penyebab yang belum diketahui secara pasti (16)
2.2.3 Patofisiologi
Statue epileptikus disebabkan oleh aktivasi dari neurotransmitter eksitasi yang berlebihan
atau aktivasi neurotransmitter inhibisi yang sangat kurang. Eksitasi berasal dari banyak
sumber, seperti rangkaian epileptogenik dari epilepsi yang sudah ada sebelumnya, eksitasi
di sekitar lesi struktural, dan eksitasi difus dari kondisi toksis atau metabolik. Pemasukan
limbik dan kortikal ini masuk ke dalam jalur perforant sepanjang gyrus parahippocampal
dan ke neuron di gyrus dentatys. Gyrus dentatus yang merupakan rem untuk penghamat
aktivasi dari neurotransmitter eksitasi, namun jika tidak mampu melakukan pengereman,
maka aktivasi eksitasi akan masuk lagi ke hippocampus dan kemudian ke gyrus
parahippocampal, yang akan menciptakan sirkuit yang memperpanjang status epileptikus
(16)
2.2.4 Klasifikasi status epileptikus
a. Convulsive
Pada SE convulsive dapat diklasifikasikan lagi menjadi SE tonik-klonik, SE tonik, SE
klonik dan SE mioklonik.
b. Non convulsive
SE ini mengacu pada aktivitas kelistrikan yang hampir terus menerus dan berlangsung
kurang lebih 30 menit, tetapi tanpa kejang fisik. Nonconvulsive SE
ditandai dengan status mental abnormal, tidak responsif, kelaianan motorik okuler,
kejang elektrografi persisten.
c. Refractory
Refractory SE merupakan klasiikasi SE karena pasien tidak memberikan respon pada
pengobatan standart (17,18).
2.2.5 Penatalaksanaan dan golden hour penanganan Epileptikus
(19)
Golden periode pada penangangan seranag epilepsi adalah maksimal 60 menit dengan
pembagian interval waktu golden peride menjadi 4 fase yaitu fase perbaikan mobilisasi
adekuat dan pemeriksaan ABCDE dalam waktu 0-5 menit, pemberian intervensi tahap
pertama dengan golden periode 5-20 menit, pemberian intervensi tahap ketiga dengan
golden periode 20-40 menit terhitung sejak serangan pertama terjadi, pemberian intervensi
tahap ke 3 dengan golden time 40-60 menit terhitung sejak serangan terjadi. Penanganan
tahap pertama dan kedua adalah bersifat mutlak dilakukan pada pasien dengan ststus
epileptikus. Sedangkan penanganan pada tahap ke tiga dan empat dpat dilakukan jika
penanganan pada tahap sebelumya tidak menunjukkan perbaikan pada kondisi serangan
epileptikus pasien.
2.3.1 Pendahuluan
Ular berbisa dapat dijumpai di seluruh belahan dunia, kecuali pada
beberapa pulau, lingkungan dingin, dan terletak tinggi dari permukaan laut.
Gigitan ular berbisa dan kematian yang diakibatkan merupakan masalah
kesehatan publik yang penting pada daerah pedesaan. Populasi pada daerah ini
memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi karena akses pelayanan kesehatan
yang buruk, yang seringkali suboptimal dan pada beberapa keadaan, kelangkaan
antivenom, yang merupakan satu-satunya pengobatan spesifik. Korban gigitan
yang selamat mengalami sekuele fisik permanen akibat nekrosis jaringan lokal,
dan sekuele psikologis. Karena kebanyakan korban gigitan ular masih muda,
maka pengaruh terhadap ekonomi karena disabilitas mereka perlu
dipertimbangkan. Disamping besarnya efek terhadap populasi, gigitan ular tidak
mendapat perhatian yang cukup dari pelayanan kesehatan nasional dan
internasional, dan dapat dikategorisasi sebagai penyakit tropikal yang terabaikan
(Kasturiratne et al. 2008).
2.3.2 Pembahasan
Diperkirakan setidaknya 421.000 kasus envenomasi (injeksi bisa terhadap korban
melalui sengatan/ gigitan oleh hewan berbisa) dan 20.000 kematian timbul setiap
tahunnya di seluruh dunia akibat gigitan ular. Sebagian besar perkiraan kejadian
gigitan ular dijumpai di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Sub-Sahara Afrika, Amerika
Tengah dan Amerika Selatan. Kasus gigitan ular yang bervariasi secara geografik dan
musiman, terutama pada daerah pedesaan tropikal dimana pelaporan dan pendataan
masih kurang, dan sifat pengobatan yang masih dibagi kepada pengobatan tradisional
yang kadang lebih dipilih dibandingkan pengobatan Barat, berkontribusi terhadap
kesulitan untuk mempelajari epidemiologi gigitan ular (Kasturiratne et al. 2008).
Klasifikasi
Sekitar 15% dari 3.000 spesies ular yang dijumpai di seluruh dunia dipertimbangkan
berbahaya bagi manusia. Ular berbisa yang dapat dijumpai di dunia dapat dilihat ada
tabel 1 (Gold, Dart & Barish 2002).
Tabel 1. Ular berbisa yang biasa dijumpai di dunia (Gold, Dart & Barish 2002
Diagnosis definitif keracunan bisa ular memerlukan identifikasi dari jenis ular dan
manifestasi klinis envenomasi. Pada penilaian laporan gigitan dari ular berbisa, harus
dibedakan gigitan dari ular yang tidak berbisa atau hewan lain. Perbandingan ular
berbisa dan ular tidak berbisa dapat terlihat pada gambar 3 berikut (Gold, Dart &
Barish 2002).
Gambar 3. Perbandingan ular berbisa dan tidak berbisa di Amerika Serikat (Gold, Dart &
Barish 2002).
WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada regional Asia
tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara (Elapidae, Viperidae,
dan Colubridae) (Warrell 2010):
- Elapidae: memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili ini meliputi
kobra, raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular laut. Elapidae secara
relatif merupakan ular yang cukup panjang, kurus, memiliki warna seragam dengan
sisik simetrikal besar halus pada puncak kepala. Beberapa kobra, meninggikan
bagian depan tubuhnya dari tanah dan melebar dan merata dari leher untuk
membentuk kerudung. Beberapa spesies kobra dapat meludahkan bisanya hingga 1
meter atau lebih terhadap mata korbannya. Ular laut berbisa memiliki ekor yang
lebar seperti padel dan skala ventral mengecil atau hilang. ridae: memiliki gigi taring
yang cukup panjang (solenogyph) yang secara normal terlipat rata terhadap rahang
atas, tetapi saat menyerang akan menjadi tegang. Ada dijumpai dua subfamili, viper
tipikal (Viperinae) dan viper pit (Crotalinae). Crotalinae memiliki organ khusus
untuk mendeteksi korban berdarah panas yang terletak diantara hidung dan mata.
Viperidae merupakan ular yang relatif pendek, bertubuh tebal dengan banyak sisik
kasar pada puncak kepala dan pola warna yang khas pada permukaan dorsal tubuh.
- Colubridae: dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional Asia
Tenggara adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan Rhabdophis triginus.
Piton besar (Boidae), merupakan Python reticularis di Indonesia, pernah dilaporkan
menyerang dan menelan manusia, yang biasanya petanivipe
PATOFISIOLOGI & DIAGNOSIS
Komposisi bisa ular 90% terdiri dari protein. Masing-masing bisa memiliki lebih dari
ratusan protein berbeda: enzim (meliputi 80-90% bisa viperidae dan 25-70% bisa
elapidae), toksin polipeptida non-enzimatik, dan protein non-toksik, seperti faktor
pertumbuhan saraf. Enzim pada bisa ular meliputi hidrolase digestif, hialuronidase, dan
aktivator atau inaktivator proses fisiologis, seperti kininogenase. Sebagian besar bisa
mengandung L-asam amino oksidase, fosfomono- dan diesterase, 5`-nukleotidase,
DNAase, NAD-nukleosidase, fosfolipase A2, dan peptidase (Warrell 2010).
Envenomasi gigitan ular pada manusia memiliki banyak efek potensial, namun hanya
beberapa kategori yang memiliki klinis mayor yang signifikan, yaitu: (1) flasid paralisis;
(2) miolisis sistemik; (3) koagulopati dan perdarahan; (4) kerusakan dan gangguan
ginjal; (5) kardiotoksisitas; (6) kerusakan jaringan lokal pada daerah gigitan (White 2005
Gambar 4. Representasi diagramatik mekanisme dasar bisa ular berinteraksi dengan hemostasis
(White 2005).
Tabel 3. Ular dengan komponen bisa yang mempengaruhi platelet (White 2005)
Beberapa korban yang digigit oleh ular (atau dicurigai digigit) dapat mengalami
simptom dan gejala yang khas, bahkan saat tidak ada bisa yang diinjeksi. Hal ini diakibatkan
dari ketakutan yang tidak dipahami dari konsekuensi gigitan ular berbisa. Korban cemas
dapat hiperventilasi sehingga mengalami sensasi kebas dan ditusuk-tusuk pada ekstremitas,
spasme tangan dan kaki, dan pusing. Korban lainnya dapat mengalami syok vasovagal setelah
gigitan, dengan kolaps disertai penurunan denyut jantung yang berat. Tampilan klinis korban
gigitan ular bervariasi sesuai umur dan ukuran tubuh, spesies ular, jumlah dan lokasi gigitan,
dan kuantitas dan toksisitas bisa. Morbiditas dan mortalitas bergantung pada umur dan
ukuran tubuh korban, disertai kondisi komorbiditas (Ahmed et al. 2008).
Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keparahan dan hasil akhir gigitan ular (Ahmed et al.
2008)
Tabel 5. Berbagai gigitan ular, dosis fatal, kuantitas bisa diinjeksi, dan waktu mematikan
(Ahmed et al. 2008).
Tidak ada envenomasi Tanpa reaksi lokal atau sistemik; tanda gigitan (+/-).
Envenomasi ringan Tanda gigitan (+). Nyeri sedang, edema lokal minimal (0-15 cm),
eritema (+), ekimosis (+/-), tidak ada reaksi sistemik.
Tanda gigitan (+), nyeri hebat, edema lokal sedang (15-30 cm),
Envenomasi sedang eritema dan ekimosis (+), kelemahan sistemik, berkeringat, sinkop,
nausea, muntah, anemia, atau trombositopenia.
Tanda gigitan (+), nyeri hebat, edema lokal berat (>30 cm), eritema
Envenomasi berat dan ekimosis (+), hipotensi, parestesia, koma, edema paru, gagal
napas.
Tabel 7. Klasifikasi gigitan ular menurut Schwartz (Djunaedi 2009)
Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila
dijumpai keadaan berikut (Ahmed et al. 2008):
1. Ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa.
1. Ekstensi awal yang cepat dari pembengkakan lokal daerah gigitan.
2. Pembesaran awal kelenjar getah bening lokal, menandakan penyebaran bisa di sistem
limfatik.
2. Simptom sistemik awal.
3. Perdarahan sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi).
4. Adanya urine berwarna coklat-gelap.
Walaupun dijumpai gambaran klinis diakibatkan oleh bisa dari spesies ular berbeda
yang tumpang tindih, suatu “pendekatan sindrom” yang diklasifikasi WHO dapat berguna,
terutama ketika ular tidak dapat diidentifikasi dan hanya tersedia antivenom monospesifik
(Warrell 2010).
Klasifikasi “pendekatan sindrom” gigitan ular oleh WHO (Warrell 2010):
1. mattoux L. Vascular Surgery: Principles and Practice, Fourth Edition - Google Buku.
2015.
2. marc eckstein, sean o henderson. Thoracic Trauma | Clinical Gate. 2016.
3. Jigar V Shah MIS. Analytic Study of Chest Injury. IJSS J Surg. 2015 Feb;01(01).
4. Abedi Khorasgani M, Shahrami A, Shojaee M, Alimohammadi H, Amini A,
Hatamabadi HR. The Accuracy of Plain Radiography in Detection of Traumatic
Intrathoracic Injuries. Emerg (Tehran, Iran). 2016;4(4):184–7.
5. Labora JR, Kristanto EG, Siwu JF. POLA CEDERA TORAKS PADA
KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENYEBABKAN KEMATIAN DI
BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL RSUP PROF. Dr. R.D. KANDOU
PERIODE JANUARI 2013- JANUARI 2014. 2015;42–7.
6. Saeed AY, Hamza AA, Ismail OM. Pattern and Management Outcome of Chest
Injuries in Omdurman Teaching Hospital Sudan. Glob J Med Res. 2015;15(1):1–7.
7. Soesanto H, Tangkilisan A, Lahunduitan I, Ilmu KSM, Divisi B, Toraks B, et al.
Thorax Trauma Severity Score sebagai Prediktor Acute Respiratory Distress Syndrome
pada Trauma Tumpul Toraks Trauma toraks merupakan penyebab signifikan mortalitas
dan morbiditas , penyebab terbanyak trauma tumpul toraks dengan angka persentase
mencapai h. 2017;(November):34–8.
8. Lugo JP, Saiyed ZM, Lane NE. Efficacy and tolerability of an undenatured type II
collagen supplement in modulating knee osteoarthritis symptoms: A multicenter
randomized, double-blind, placebo-controlled study. Nutr J. 2016;15(1).
9. mattoux. Atlas of Trauma | Trauma, 7e | AccessSurgery | McGraw-Hill Medical. 2015.
10. El-Matbouly M, Jabbour G, El-Menyar A, Peralta R, Abdelrahman H, Zarour A, et al.
Blunt splenic trauma: Assessment, management and outcomes. Surgeon.
2016;14(1):52–8.
11. Wanek S, Mayberry JC. Blunt thoracic trauma: Flail chest, pulmonary contusion, and
blast injury. Crit Care Clin. 2004;20(1):71–81.
12. Kazemnezhad-Leili E, Mohtasham-Amiri Z, Davoudi-Kiakalayeh A, Hemmati H,
Darzi AA, Kouchakinejad-Eramsadati L, et al. Evaluation of Chest and Abdominal
Injuries in Trauma Patients Hospitalized in the Surgery Ward of Poursina Teaching
Hospital, Guilan, Iran. Arch Trauma Res. 2013;1(4):161–5.
13. Unsworth A, Curtis K, Asha EE. Treatments for blunt chest trauma and their impact on
patient outcomes and health service delivery. Scand J Trauma Resusc Emerg Med.
2015;23(1).
14. Rogers F, Rittenhouse K. The Golden Hour in Trauma. J Lancaster Gen Hosp. 2014;
15. Pramesti FA, Husna M, Kurniawan SN, Rahayu M, Neurologi L, Kedokteran F, et al.
REVIEW. 2017;30–8.
16. Prasetyo A, Prasetyo BH. Tatalaksana Status Epileptikus di Instalasi Gawat Darurat.
2018;45(11):866–8.
17. Brophy GM, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck TP, Glauser T, et al. Guidelines for
the Evaluation and Management of Status Epilepticus.
18. Cherian A, Thomas S V. Status epilepticus. Ann Indian Acad Neurol. 2009
Jul;12(3):140–53.
19. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Alldredge B, Arya R, Bainbridge J, et al. Evidence-
Based Guideline: Treatment of Convulsive Status Epilepticus in Children and Adults:
Report of the Guideline Committee of the American Epilepsy Society. Epilepsy Curr.
2016 Jan;16(1):48–61.
20. Gutiérrez JM, Solano G, Pla D, Herrera M, Segura Á, Vargas M, et al. Preclinical
Evaluation of the Efficacy of Antivenoms for Snakebite Envenoming: State-of-the-Art
and Challenges Ahead. Toxins (Basel). 2017;9(5).
21. Warrell DA. World Health Organization: Guidelines for the clinical management of
snake bites in the Southeast Asian region. Southeast Asian J Trop Med Public Health.
1999;30 Suppl 1:1–85.
22. Canale E, Isbister GK, Currie BJ. Investigating pressure bandaging for snakebite in a
simulated setting: Bandage type, training and the effect of transport. EMA - Emerg
Med Australas. 2009;21(3):184–90.