Anda di halaman 1dari 25

PENANGANAN DINI

PENYAKIT HIRSCHSPRUNG
dr. Poerwadi , SpB, SpBA
Sublab Bedah Anak- Lab/SMF Ilmu Bedah F.K. UNAIR / R.S.U.D.
Dr. Soetomo.

SURABAYA

PENDAHULUAN
Penyakit Hirschsprung ( PH ) atau megacolon congenitum sudah lama dikenal,
Harold Hirschsprung ( 1886 ) pertama kali mengenalinya dan membuat stoma pada kolon
dan akhirnya penderita meninggal setelah stoma tersebut ditutup kembali.
Ehrenpreisn ( 1946 ) menjelaskan bahwa megakolon ( kolon yang melebar )
tersebut adalah akibat dari adanya obstruksi di sebelah distalnya.
Whitehouse dan Kernohan Zuelzer dan Wilson ( 1948 ) menemukan bahwa kolon
distal yang menyempit tersebut tidak mempunyai ganglion myenterikus

Meisner &

Auerbach , sedangkan bagian kolon yang melebar disebelah proksimalnya adalah bagian
kolon yang sudah mengandung ganglion.
Problem utama dari keadaan ini adalah gangguan proses defekasi dengan segala
akibatnya, maka tujuan pokok pengobatan PH adalah pasien bisa defekasi dengan baik.
Untuk mencapai ini banyak upaya dan kendala yang sudah dilalui yang sampai saat ini
masih banyak penelitian yang dikerjakan untuk menyempurnakan upaya- upaya tersebut.
Penelitian- penelitian tersebut berdasar pada patofisiologi dari PH serta
hubungannya dengan fisiologi dari proses defekasi.

Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pengobatan PH hanyalah berupa


tindakan bedah, sedangkan upaya non bedah sebelum dilakukannya tindakan
pembedahan sangat berperan dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas PH.
Tulisan disini akan mengutarakan tindakan konservatif sebelum pembedahan dan
pemilihan tehnik pembedahan dengan morbiditas serta mortalitas yang rendah.
Banyak macam tindakan bedah yang sudah dikerjakan :
Hirschsprung pertama kali melakukan reseksi bagian kolon yang besar, kolostomi
akhirnya penderita meninggal setelah kolostominya di reanstomosis. Hal ini terjadi
karena saat itu belum diketahui penyebab dari PH, dikiranya bagian yang patologis
adalah kolon yang besar tersebut, setelah diketahui bahwa penyebab PH adalah tidak
adanya ganglion myenterikus Meisner & Auerbach maka ada upaya berupa tindakan
melakukan sympatektomy lumbal, tindakan ini dikerjakan oleh Ladd dan dipertahankan
sampai tahun 1949. Sampai akhirnya Swenson & Bill melakukan reseksi seluruh bagian
yang aganglioner tersebut dan melakukan anastomosis dekat dengan sfingter interna,
tetapi juga banyak problem yang masih terjadi yaitu kebocoran, stricture, residif ,
inkontinen.
Rehbein melakukan low anterior resection secara miring sampai ke distal dari dasar
panggul, dikatakan hasilnya cukup baik, tetapi hal yang ditakuti adalah kebocoran
dibagian sudut anastomosis yang runcing tersebut dan relaps. Sampai saat terakhir ini
masih banyak penelitian- penelitian untuk memperbaiki outcome dari tindakan bedah
pada PH.
Makalah ini akan membahas penanganan dini PH berdasarkan pengalaman
penulis dan bahasan menurut literature terbaru.

PROBLEMATIKA :
Problematika PH sangat banyak dan perlu diketahui sebelum kita menentukan
tindakan bedahnya, problematika tersebut meliputi :
1.

Diagnose

2.

Kondisi penderita.

3.

Fasilitas.

4.

Tehnik Pembedahan.

5.

Komplikasi.

6.

Relapse.

1.

DIAGNOSE :

Diagnose PH didasarkan atas gejala klinis dan pemerilsaan penunjang.


Gejala klinis yang utama adalah akibat dari segmen yang agagnglioner tersebut
akan mengakibatkan gangguan aliran isi usus kebagian distal berupa gangguan
defekasi.Gangguan defekasi ini bisa terdeteksi sejak neonatus yaitu mekoneum terlambat
keluar sampai lebih dari 48 jam ( didapatkan pada 85% dari penderita ), berikutnya
adalah muntah ( 88% penderita ) kwalitas muntahnya hijau sampai kuning, kwantitasnya
banyak sedangkan sifatnya terus menerus tidak berhubungan dengan minum.
Kembung ( pada 94% penderita ), hal ini disebabkan karena adanya obstruksi
fungsional dari kolon yang aganglioner sehingga terjadi gangguan aliran isi usus.
Manifestasi pada neonatus ini tergantung dari panjang / pendeknya segment
aganglioner tersebut, makin panjang segmen tersebut akan makin cepat manifestasinya
pada neonatus.
Manifestasi pada usia anak bila segmen aganglionernya tidak begitu panjang atau
terlambat diketahui orang tua. Pada anak manifestasi kliniknya berupa gangguan
defekasi, perut buncit berisi skibala, gangguan pertumbuhan, kurang gizi.
Pemeriksaan fisik pada neonatus didapatkan perut kembung, terlihat gambaran
usus pergerakan usus di dinding perut, bising usus meningkat, colok dubur didapatkan
rectum spastis dan keluar udara menyemprot waktu jari dilepas disusul perut mengempis
sebentar selanjutnya akan kembung ulang, hal ini terjadi bila segmen aganglionernya
tidak lebih panjang dari jari pemeriksa. Bila segmen aganglionernya lebih panjang maka
hal tersebut diatas tak akan terjadi maka untuk dekompresi hendaknya dipasang pipa
rectum, akan keluar udara dan mekonium disusul perut mengempis, pertahankan pipa
rectum tersebut dan dapaat dipasang secara berulang.
Kecurigaan adanya PH dilakukan foto polos perut posisi tegak dan prone lateral
akan terlihat udara tidak mencapai pelvis. Setelah ini dilakukan foto kolon untuk melihat
panjangnya segmen aganglioner serta adanya bagian transisional.

Manometri rectum akan menunjukkan tekanan yang menigkat, diagnose pasti


adalah pemeriksaan Patologi Anatomi dengan tidak didaapaaaatkannya ganglion
Meissner / Auerbach.

2. KONDISI PENDERITA :
Kondisi penderita meliputi :
a. Neonatus, penderita neonatus juga harus dibedakan berat lahirnya, sampai
saat ini PH pada neonatus kita hanya melakukan kolostomi, baru setelah berat
badan lebih 5 Kg barulah kita melakukan operasi definitive. Tetapi sekarang
trend dunia justru melakukan operasi defintif primer tanpa kolostomi pada
saat neonatus bahkan secara minimal invasive, Laparoskopi, dan prosedur pull
through trans anal.
b. Anak , pada usia ini kolon sudah mengalami penebalan dan melebar maka
tindakan kolostomi mutlak harus dikerjakan untuk mengalihkan aliran feses,
setelah kolon involusi barulah dilakukan operasi definitive.
c. Kolitis, colitis merupakan kelainan yang selalu menghantui PH terlebih bila
sudah terjadi saat prabedah maka tindakan spooling dan dekompresi yang
adequat harus dikerjakan dan disusul kolostomi.
d. Gizi, kondisi gizi sangat berpengaruh pada keberhasilan operasi PH, kondisi
ini biasanya akan membaik setelah dilakukaan kolostomi.
e. Kelainan bawaan lain : Kelainan bawaan lain yang seing menyertai PH
adalah Mongolism / Kelainan- kelainan kromosom, kelainan jantung bawaan.

3. FASILITAS :
Fasilitas yang tersedia ditempat tugas sangat mempengaruhi kinerja serta tehnik
apa yang akan kita pilih untuk pembedahan PH, fasititas tersebut meliputi :
a. Fasilitas diagnostik, minimal fasilitas untuk foto kolon dan pemeriksaan
PA harus tersedia.
b. Fasilitas Perawatan, mulai dari NICU, PICU, bangsal bayi dan anak.
c. Fasilitas Kamar operasi .

4. PENANGANAN

Penanganan penderita Hirschsprung sangat tergantung usia penderita,


panjang atau pendeknya segment aganglioner, dokter ahlinya, serta fasilitas yang
tersedia.
Neonatus dengan penyakit Hirschsprung saat ini sudah langsung dilakukan
tindakan definitive baik open atau laparaskopi.
Secara umum bila didapatkan neonatus dengan penyakit Hirshspung
tindakan pertama adalah dekompresi dan evakuasi feses, bila segment
aganglionernya tidak panjang dilakukan pemasangan pipa rectum dan pembilasan
dengan normal salin secara berkala, bila segment aganglionernya panjang maka
dilakukanlah kolostomi proksimal dari daerah trassional.
Penyakit Hirschsprung pada anak yang lebih besar selalu dilakukan
kolostomi dulu, tindakan operasi definitive baru setelah kondisi anak
memungkunkan.
Tindakan definitive pada penyakit Hirschsprung adalah operasi terobos
tarik, banyak tehnik dikenal sampai saat ini dengan segala modifikasinya :

Persiapan operasi :
1. Tanpa kolostomi :
Lakukan lavement PZ hangat 10 15 cc/ kg berat badan bahkan ada yang
sampai 1,5 liter pagi, sore selama 1 2 minggu prabedah, terkhir adalah 12 -24 jam

sebelum jam operasi, perhatian sehabis lavement rectal tube jangan dilepas sampai
perut kempis atau semua PZ keluar.

2. Dengan Kolostomi :
Lakukan colok dubur dan irigasi loop distal dari kolostomi tiap minggu untuk
mencegah atrofi, selanjutnya lavement loop proksimal dan distal 3 5 hari pra
bedah.

3. Diet cair 24 jam pra bedah.


4. Antibiotika prabedah untuk gram positif, gram negative dan anaerob.
5. Inform concern dan lain- lain persyaratan medikolegalnya.

PEMBEDAHAN :
Persiapan :
1. Infus ditangan, cairan hangat.
2. Posisi supine dan lakukan pencegahan hypothermia, blanket pemanas,
bungkus kapas plastic, kerpus kepala.
3. Rectal toilet dan dilatasi, pasang spons aatau kasa pada proksimal rectum
untuk mencegah kontaminasi kedistalnya, buat satu jahitan pertanda pda
jam 6 di linea dentate.
4. Desinfeksi lapangan operasi mulai umbilicus kedistal sampai gluteus ,
distal genu dan anus, pasang plat diatermi di punggung.
5. Tutup dengan duk steril bagian atas , diatas umbilicus, duk bawah
letakkan dibawah bokong, kedua tungkai masing- masing dibungkus duk
kecil dan letakkan bebas diatas duk bawah tersebut, pasang duk samping
kanan dan kiri.
6. Setelah lapangan operasi tertutup duk steril barulah dipasang kateter.

Tehnik Operasi :
Insisi kulit pfanentel lebarkan mengarah kolostomi ( sigmoidostomi ) atau
golf stick incision, bebaskan kolostominya, keproksimal dengan membuka White

line sampai fleksura lienalis, hati- hati waktu meligasi dan memotong vasa kolika
sinistra dan sigmoidalis dan cabang- cabangnya harus proksimal dari arcade
Drumond. Setelah kolon proksimal bebas dan panjangnya cukup dengan
mengukur kolon tersebut bisa melewati pubis sampai anus, baru bebaskanlah loop
distal kolostomi sampai rectum, selanjutnya tergantung tehnik mana yang dipilih.

1.

Prosedur Duhamel ( Retro rectal pull through ) :

Fase Abdominal :
Setelah dilakukan pembebasan kolon seperti tersebut diatas dibuatlah terowongan
retro rekal dengan terlebih dahulu identifikasi uerter kanan, kiri, buat terowongan dengan
membuka lipatan peritoneum ( peritoneal reflection ) antara rectum dan sacrum, dibuka
dengan gunting terus dilebarkan dan perdalam kedistal dengan jari telunjuk, biasanya
sangat mudah . Kedistal sampai batas jahitan pertanda yang kita buat sebelumnya.
Fase anal:
Memposisikan kedua tunkai litotomi anus didesinfeksi ulang, dibuka pakai haak
kanan dan kiri, buatlah irisan ( Smile incision ) - 1 cm proksimal linea dentate selebar
diameter dari kolon yang akan kita teroboskan, buat jahitan pertanda kanan, kiri dan dua
ditengah diantara klem yang akan kita pasang.
Fase Terobos tarik :
Terobos tarik dilakukan dengan menyongsong rektum proksimal untuk
diterobostarikkan keanus, caranya masukkanlah kromeklem panjang dari abdomen
melewati rongga retrorektal yang sudsh dibuat menembus smile insisi sampai keluar di
lubang anus, peganglah ujung kromeklem tersebut dengan krome klem yang sama dan
tariklah dengan cara sepur- sepuran kromeklem distal tersebut samai kerongga abdomen
untuk menjemput segmen proksimal.

Segmen proksimal kolon yang sudah dibebaskan ditutup dengan jahitan silk 3/0
delujur, kemudian diterobos tarikkan dengan disongsong klem dari bawah yang melewati
smile insisi tersebut, hati- hati waktu menarik tidak boleh dipaksa, tidak boleh tegang,
tidak terpuntir, pehatikan tidak ada ikatan pembuluh darah yang lepas dan sisi
antemesenterial menghadap keanterior.Buatlah jahitan untuk fiksasi kolon proksimal dan
anus tersebut .
Sisa segment distal rectum dibebaskan , dipotong dan ditutup di distal dari
peritoneal reflection.
Sampai disini ada modifikasi dari dr. Adang Kosim dengan memprolapskan kolon
tersebut .
Selanjutnya dipasang klem Duhamel atau stepler terserah kemampuan / fasilitas.

Rongga Anorektal

Irisan Anus

Smile Incision

Stapler

2.

Prosedur Soave ( Endorektal Pull trough ) :

Fase Abdominal :
Setelah pembebasan kolon proksimal, dilakukan pembebasab kolon distal sampai
dasar panggul. Lakukan pembersihan rectum dari pebbuluh darah dan lemak. Rektum
dikelupas dengan memisahkan seromuskuler dengan mukosa submukosa, caranya
suntikkan terlebih dahulu PZ adrenalin 1/ 20.000 submuskularis dengan speut 1 cc,
lakukan irisan seromuskuler dengan meregangkan usus tersebut dijari kita, irisan
dilakukan melingkar, kemudian dikelupas seperti kita melepas kantong kernia memakai
depers kecil. Kelupas hati- hati sampai linea dentate ( jahitan pertanda ), perdarahan
dirawat, seromuskuler rectum yang terkelupas dipegang dengan Elis klem anteriorposterior, segment kolon dan mukosa rectum yang tidak berguna ditarik ke distal
melewati anus.
Fase Anal :
Kolon proksimal yang sudah ditutup dengan jahit delujur tersebut dilakukan
terobos tarik melewati cerobong seromuskuler rectum yang sudah dikelupas tersebut,
kemudian dijahit kiksasi antara kolon yang diturunkan dengan anus dan cerobong rectum
tersebut.
Sampai disini ada modifikasi, Soave melakukan terobos tarik tersebut sampai
prolap, tanpa jahitan fiksasi pada anus, setelah 7 hari baru dilakukan pemotongan stomp.
Boley melakukan anastomosis langsung.tanpa diprolapkan, Surabaya melakukan
seperti Boley tetapi dengan memasang pia rectum untuk mencegah kontaminasi.

3.

Prosedur Swenson ( Pull through abdomino anal anstomosis ) :

Fase Abdominal :
Setelah pembebasan segmen proksimal, segmen distal dibebaskan sampai distal
dari peritoneal reflection, hati hati jangan sampai merusak saraf- saraf splanchnicpelvis, dan perhatikan kedua ureter. Setelah bebas segmen distal kita prolapkan melewati
anus.
Fase Anal :
Rektum dan anus yang prola-p tersebut kita potong 2 cm dari linea dentate pada
sisi anterior dan 1cm pada sisi posterior, kemudian segmen proksimal kita teros tarik
selanjutnya dilakukan anastomosis, setelah tersambung kolon kita tarik kembali untuk
reposisi.

4.

Prosedur Rehbein :

Mirip Swenson hanya saja rectum disisakan agak panjang ( 3 5 cm ) dan


dilakukan anastomosis langsung intra abdominal, jadi tidak ada fase anal.

5.

Myectomi :

Tehnik ini hanya diindikasikan untuk penyakit Hirschsprung dengan segman


aganglioner tidak melebihi panjang rectum atau tidak lebih dari 2 cm ( Short / ultra short

), yaitu bebngan melakukan pemotongan/ membuang otot rectum, dapat disertai / tidak
dengan sphincterotomi.
Cara ini dapat ditempuh lewat trans anal atau transakral.
Transanal dengan posisi lithotomi anus dibuka dengan sprider anus sampai
dinding posterior anus dan rectum terlihat datar, masukkan tampon keproksimal rectum,
suntikkan PZ adrenalin 1/100.000 submukosa mulai linea dentate sepanjang rectum,
lakukan iriran pada mukosa rectum selebar 1 2 cm dengan jarak 0,5 cm 1 cm dari
linea dentate keproksimal sepanjang rectum, bebaskan mukosa, submukosa dengan
muskularis sepanjang rectum, lakukan myektomi selebar 1 cm , berikan tanda proksimal
distalnya untuk periksa PA. Hemostasis dan lakukan jahitan pada mukosa tersebut.
Transrektal dengan posisi tengkurap/ nungging, dilakukan irisan mulai koksigeus
sampai 1 cm sebelum anus, otot levator ani dipisahkan dan disingkirkan ke anal,
identifikasi dinding posterior rectum dengan memasukkan telunjuk lewat anus, kemudian
dilakukan myektomi, jangan sampai menembus mukosa.

LAIN- LAIN :
6.

Prosedur Martin :

Prosedur ini merupakan modifikasi dari prosedur Duhamel yang diindikasikan


pada penyakit Hirschsprung yang seluruh kolonnya tidak berganglion ( total colonic
aganglioner ). Dilakukan retrorektal pull through dari ileum dengan menyisakan seluruh
sigmoid bahkan sampai kolon desendens untuk dikakukan anastomosis sampingsamping dengan ileum dengan tujuan fungsi absorpsi airnya tidak terganggu. ( gambar ).

7.

Prosedur Kimura Aganglionic Patch ) :

Prosedur ini juga diindikasikan untuk total aganglionic dari kolon, yaitu dengan
memanfaatkan seluruh kolon, yaitu pertama kali

kita melakukan ileostomi dengan

melakukan ileocaecocolonic patch side to side, setelah patch tersebut hidup/ viable, ganti
kita melakukan ileokolostomi yaitu bagian paling distal dari patch tersebut, setelah
keadaan memungkinkan, barulah dilakukan operasi definitifnya yaitu melakukan pull
through dari ileocolonic patch tersebut, bisa dengan cara Martin atau cara Swenson. (
gambar ).

8.

Laparoskopi :

Prosedur dengan laparoskopi sudah banyak dikerjakan untuk operasi primer


penyakit Hirschsprung saat neonatus tanpa dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Tehnik

ini dapat mengurangi morbiditas, lama rawat inap, mengurangi manipulasi usus,
mempercepat pemulihan fungsi ususdan tidak mengangu kontinensia.
Dengan laparoskopi ini dapat dilakukan prosedur endorektal pullthrough atau
retrorektal pull through, tergantung kebiasaan ahli bedahnya.
9.

Prosedur Trans anal :

Prosedur ini diilhami oleh prosedur Laparoskopi, dikerjakan primer definitive


operation pada neonatus tanpa kolostomi terlebih dahulu. Keuntungannya lebih murah,
perdarahan lebih sedikit dan mengurangi kerusakan isi panggul.
Posisi penderita lithotomic dengan anus ditepi meja operasi, anus dibuka dengan
spreder, suntikkan PZ adrenalin 1/100.000 submukosa 0,5 cm dari linea dentate, insisi
mukosa,submukosa melingkar, pisahkan bengan muskularis, buat jaitan untuk pegangan
pada mukosasubmukosa yang proksimal, lakukan pemisahan mukosasubmukosa dengan
muskularis keprksimal rectum sampai melewati peroneal reflection, muskularis dipotong
maka akan dapat ditarik keluar lewat lubang anus sigmoidnya, dilakukan ligasi pembuluh
darah dan identifikasi daerah transisional kemudian lakukan biopsy proksimal dan
distalnya, selanjutnya dilakukan pullthrough pada daerah yang sudah berganglion.

DISKUSI :
Sesuai judul makalah ini maka akan kita diskusikan tentang segala
problematika yang dihadapi serta tips dan trik yang dialami oleh penulis serta
dibandingkan dengan berbagai litelatur yang ada.
1. Diagnosis :
Diagnosis dari PH dinegara maju tidak lagi merupakan problem, tetapi di tempat
kami sampai saat ini masih merupakan problem, karena kami tidak mempunyai
manometri, juga suction biopsy, pula tehnik pemeriksaan Patologi yang kurang memadai,
maka kami hanya mengandalkan pemeriksaan barium pada kolon, dengan adanya kolon
dilatasi, daerah taransisional dan aganglioner didistalnya. Oleh karena itu tips dan trik
pembuatan fotonya tidak boleh terlalu dipompa. Sedangkan bila ragu kita melakukan
insisional biopsy, dengan kesadaran ini akan mempersulit tehnik pull through nantinya.
Maka bila sudah pernah dilakukan insisional biopsy operasi definitive berikutnya adalah
prosedur Duhamel atau Swenson.

2. Kondisi penderita :
Kondisi penderita meliputi :
Neonatus :
Neonatus dengan berat badan lahir kurang 1500 gram atau premature kita hanya
melakukan kolostomi terlebih dahulu, setelah berat badannya lebih dari 5 kg barulah
dilakukan operasi definitif.
Neonatus I berat badan cukup dan aterm dengan segment aganglioner tidak
terlalu panjang, selama bisa dilakukan dekompresi dan irigasi kolon lewat anus dengan
memasang pipa rectum direkomendasikan untuk opersasi defitif primer dengan syarat
dikerjakan ahli bedah berpengalaman dan fasilitas perawatan pasca bedah ( NCU )
memadai.Dunia sekarang mengarah melakukan operasi definitif
.
Kami di Surabaya telah melakukan lebih dari 20 kasus dilakukan primer
Endorektal Pull through, dengan hasil baik.

Tindakan kolostomi dikerjakan pada kasus PH dengan segmen aganglioner


panjang atau bila keadaan tidak memungkinkan dilakukan primer ( kembung berat,
enterokolitis ).
Kolostomi dilakukan pada kolon proksimal dari daerah transisi, kolostomi bisa
end kolostomi bagi ahli bedah yang berpengalaman , tetapi bagi yang tidak pengalaman
dianjurkan double barrel kolostomi.
Setelah kolostomi dianjurkan kontrol tiaa minggu untuk dilatasi rectum dengan
melakukan colok dubur dan irigasi loop distal dari sigmoid.
PH pada anak mutlak harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu, kolostominya
bisa simple kolostomi, tetapi sering didapatkan kolon sangat dilatasi dengan skibala yang
banyak, untuk ini tidak jarang kita harus melakukan laparotomi, sedangkan evakuasi
feses, kita melakukan reseksi sigmid ysng sangat dilatsi, hypertrofi dan akumulasi feses
didalamya selanjutnya dilakukan end sigmidostomi dapat dengan atau tanpa dilakukan
triming terlebih dahulu, setelah kolon regresi dan diameternya memungkinkan dilakukan
pull through.

3. Fasilitas dan tehnik pembedahan :


Fasilitas minimal yang harus dipunyai untuk melakukan pembedahan penderita
PH adalah adanya pencegahan terhadap hypothermia, fasilitas NICU atau PICU,
pemeriksaan PA khususnya Vries Coup. Sedangkan fasilitas yang ideal adalah adanya
stapler, atau laparoskopi.
Untuk fasilitas minimal, paling mudah dianjurkan tehnik Duhamel dengan trik
pemotongan anus diatas linea dentate harus cukup lebar sesuai diameter kolon yang
akan ditarik, puntung rektm distal dipotong dibawah peritoneal reflection, pemotonngan
septum harus adekuat, kontrol colok dubur baru dikerjakan 7 10 hari pasca bedah dan
harus teratur tiap hari untuk mencegah stenosis.
Ahli bedah akan memilih tehnik yang paling dikuasai dan komplikasi minimal
yang pernah dikerjakannya.
Operasi definitif primer makin menjanjikan khususnya cara laparoskopi, atau
prosedur trans anal secara primer pada neonatus memberikan harapan yang baik dimasa
datang.

Myectomi, dikerjakan pada kasus ragu- ragu sekaligus bertujuan untuk biopsy,
atau PH dengan segmen aganglioner pendek ( sebatas rectum ), oleh karena itu harus
diketahui secara pasti seberapa panjang segmen aganglionernya tersebut. Myectomi dapat
disertai atau tanpa sphincterotomia dengan indikasi adanya spasme dari sphingter atau
pasca pull through didapatkan enterokolitis yang persistent.
Myectomi yang dikerjakan sering kali tidak adekwat, maka tindakan pull through
adalah pilihannya. Tips yang dianjurkan waktu melakukan myektomi trans anal adalah
kolon harus benar bersih, jangan sampai merusak lapisan mukosa yaitu didnding
posterior harus benar- benar datar.

4. Komplikasi :
Komplikasi yang terjadi dapat dibagi :
A. Komplikasi intra operatif :
Selama operasi dapat terjadi hypothermia, maka upaya- upaya pencegahannya
harus benar diperhatikan ( blanket, bungkus badan, cairan infuse, exposure viscera, cairan
pencuci atau kasa basah ) oleh karena itu harus dimonitor core temperaturnya.
Perdarahan hati- hati volume darah bayi/ anak adalah 70 ml perkilo berat badan,
sehingga perdarahan sekecil apapun harus segera dihentikan, perhatian adalah waktu
meligasi pembuluh darah, hati hati jangan mudah lepas, juga waktu reseksi usus, juga
waktu mengelupas seromuskuler dan waktu memotong anus. Waktu meligasi pembuluh
darah mesenterial harus diperhatikan pleksus arcade dari Drummond.
Ureter harus diketahui pasti posisinya sebelum membuka peritoneal reflection dan
waktu trobos tarik dan pemasangan klem Duhamel atau stapler.
Terobos tarik harus jeli jangan sampai terpuntir atau ligasi pembuluh darah yang
lepas.
B. Komplikasi Pasca operatif :
Komplikasi umum yang sering menakutkan adalah : dilatasi lambung, karena
anak menangis terus, oleh karena itu peran analgesic sangat penting disamping pipa
lambung harus selalu terkontrol jangan sampai tercabut. Memberi minum juga jangan
terlalu agresif, sebaiknya setelah produksi cairan lambung minimal dan pasase usus baik
dicoba minum sedikit dengan pipa lambung tetap terbuka.

Sepsis, ini sangat menakutkan terlebih apabila persiapan kolonnya kurang baik,
oleh karena itu pemberian antibiotika 6jam pra bedah dan diulangi selama pembedahan
dan dilanjutkan 3-5 hari pasca bedah sangat membantu.
Inkontinent, urine sangat jarang asal kita hati- hati jangan merusak syaraf
dirongga pelvis, sedangkan incontinent alvi hamper selalu terjadi, tetapi biasanya pulih
dalam 3 6 bulan pasca beda, kecuali kita memotong rektuk terlalu banyak, atau merurak
pleksus sakralis, tindakannya adalah kebersihan anoperineum.
Striktur, terjadi bila kita terlambat melakukan colok dubur pasca bedah atau
penderita tidak pernah control, striktur temporer selalu terjadi tetapi setelah jaringan
matur ( 3 6 bulan ) akan baik, dikatakan permanent bila lebih 6 bulan masih striktur.
Relaps ( kambuh ), kejadian ini terjadi bila masih tersisa segmen aganglioner
yang cukup panjang pada rectum atau segmen yang diterobostarik tersebut masih
aganglioner.
Obstipasi, bisa terjadi pada kasus- kasus dengan adanya spasme yang persistent
dari sphingter, atau pada tehnik Duhamel dengan stomp sisa rektu yang panjang
mengakibatkan tertumpuknya fekelom, atau bawaan serta pola makan.
Enterokolitis, keadaan ini sangat menghantui padapderita PH, oleh karena
selalu menggangu yang sampai saat ini belum ada tidakan yang jitu. Enterokolitis dapat
menimbulkan kelemahan kolon yang sering kali walaupnu secara anatomis kolon baik
tetapi pasien sering kembung hebat dan hilang setelah dipasng pipa rectum, tidak jarang
berakibat fatal.
Kematian , kematian lanjut dapat terjadi pada PH walau sudah operasi definitive,
penyebab tersering adalah karena enterokolitis denga segala dampaknya.

5. Kelainan Bawaan lain :


Kelainan bawaan lain yang sering menyertai PH adalah Mongolism, pada pasien
ini sampai sekarang masih kontroversi apakah perlu dilakukan operasi definitive atau
cukup dengan kolostomi permanent, karena menurt laporan hasil operasi definitifnya
tidak begitu menggembirakan, juga kejadian enterokolitisnya sangat mengganggu bahkan
sering fatal.

RINGKASAN :
PH sampai saat ini masih merupakan tantangan dalam penanganannya, banyak
tehnik pembedahan diperkenalkan, problem enterokolitis belum juga terselesaikan.
Tips dan trik penanganan PH sesuai pengalaman adalah lakukanlah tindakan
dekompresi sedini mungkin, tindakan definitive secepat mungkin, pilihlah tindakan yang
paling anda kuasai dengan penyulit terendah, sebaiknya jangan operasi coba- coba pada
PH karena akan memperberat kecacatan yang ada.

KEPUSTAKAAN :

1. Gross, Robert E :
Congenital Megacolon ; The Surgery of infancy and childhood, WB Saunders Comp,
1953.
2. Nixon H. Homewood :
Hirschsprungs Disease ; Rob and Smith Operative Pediatric Surgery , IVth Ed, 1990.
3. Orvar Swenson & John G Raffersperger :
Hirschsprung Disease ; Swenson Pediatric Surgery, Vth Ed , 1990.
4. Sumate Terrrathul :
Transanal One stap Endorectal pull through for Hirschsprungs Dis in infant and
children ; Journal of Pediatric Surgery, vol 38, No.2-184 187, 2003.
5. Teitelbouw. Daniel H, Mark L Wulkan, Keith E, Georgeson and Jacob.C.Lange :
Hirschsprung Dis : Operative Pediatric Surgery, Vol.I, Mc Graw Hill Comp, 2003.
6. Walton.K.T. Shim :
Hirschsprungs Disease ; Surgical Decision Making, IVth Ed, 2000.

Anda mungkin juga menyukai