Anda di halaman 1dari 7

A.

PENGANTAR

Menurut WHO (world Health Organization) kekerasan adalah menggunakan


kekuatan fisik atau kekuasaan, ancaman atau perlakuan kasar dengan mengakibatkan
kematian, trauma, meninggalkan kerusakan, menyebabkan luka, atau pengambilan
hak. Menurut Fakih M (2003), pengertian kekerasan pada anak (child abuse) adalah
semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik atau emosional, penyalahgunaan
seksual, pelalaian, eksploitasi komersial, yang mengakibatkan cedera / kerugian nyata
atau potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak.
Kekerasan pada anak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama dan
terkait dengan jangka panjang negatif effects pada kesehatan dan perilaku fisik dan
emosional Secara umum, diperkirakan 1 miliar anak mengalami kekerasan setiap
tahun tetapi ada keinginan yang semakin besar dalam pengawasan penganiayaan anak
(Liel,2019).
World Health Organization (WHO) mengestimasikan sebanyak 40 juta anak usia
0-14 tahun di dunia telah mengalami child abuse, yang banyak terjadi baik pada anak
laki-laki maupun perempuan (WHO, 2003 dalam Wulandari, 2007).
Di California sendiri tingkat kematian untuk anak-anak yang berusia kurang dari
5 tahun ditetapkan sebesar 8,2 per 100.000 anak. Tingkat kematian ini diberlakukan
sebagai perkiraan semua kematian yang tidak dapat dicegah (Horsnstein. 2012).
Sedangkan di Cina tingkat mengabaikan anak bervariasi diberbagai daerah dari 11,6
%, di Kota Guangzhou anak-anak usia 3-6 tahun menjadi 50,0 %, di Yinchuan Kota
anak-anak usia 6-8 tahun menjadi 15-20%, ini disebabkan karena faktor pendidikan
rendah orang tua, usia muda ibu, dan anak-anak dengan masalah fisik dan kognitif
(Hua,dkk. 2014).

1
B. EPIDEMIOLOGI
1. Child Abuse di Amerika
Child Sexual Abuse (CSA) sudah menjadi hal yang umum di Amerika Serikat
(AS) dengan perkiraan prevalensi antara 2,5% -7,8% pada pria dan 11,4% -13,5%
pada wanita (Finkelhor, Turner, Shattuck, & Hamby, 2013). Sehingga dapat
diindikasikan anak yang mengalami kekerasan pada masa kecilnya akan
berdampak pada gangguan mental dan upaya bunuh diri. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Turner,dkk (2017) laki-laki yang hanya mengalami CSA sebesar
5,3%, sebagian besar mengalami CSA bersamaan dengan jenis-jenis penganiayaan
anak lainnya sebesar 4,0%. Pelecehan emosional, pelecehan fisik, dan kekerasan
pasangan intim (intimate paertner violence/IPV) adalah bentuk paling umum dari
penganiayaan yang terjadi bersamaan dengan CSA. Anak yang hanya mempunyai
riwayat kekerasan seksual dan kekerasan seksual yang terjadi bersamaan dengan
jenis penganiayaan anak lainnya, memberikan peluang lebih tinggi tejadinya
gangguan mental dan upaya bunuh diri dibandingkan dengan riwayat
penganiayaan anak tanpa child sexual abuse (CSA).
2. Chld Abuse di Jerman
Child abuse di negara jerman berada pada kategori yang cukup serius.
Kekerasan pada anak lebih sering dilakukan oleh orangtua laki-laki terhadap
anaknya. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Liel,dkk(2019) membandingkan
resiko potensi pada ayah dan ibu yang melakukan kekerasan pada anak. Penelitian
ini menyatakan bahwa kekerasan pada anak lebih sering dilakukan oleh orangtua
laki-laki (ayah) terkhusus yang juga mengkonsumsi alkohol.
3. Child Abuse di Kamboja
Di Kamboja, lebih dari separuh anak mengalami pelecehan fisik, emosi, atau
seksual. Menurut Survey Kamboja yang dilakukan pada 2013, satu dari dua anak telah
mengalami kekerasan fisik (termasuk hukuman fisik), satu dari empat kekerasan
emosional, dan satu dari dua puluh pelecehan seksual (Kementerian Perempuan
Affmengudara dalam Eisenbruch,2019). Hal ini sejalan dengan penelitian Eisenbruch
(2019) terdapat 110 kasus pelecehan anak, terdiri dari 61 kasus pelecehan seksual (50
perempuan dan 11 laki-laki), 26 kasus pelecehan fisik (13 perempuan dan 13 laki-laki),
dan 23 kasus pelecehan atau pengabaian emosional (13 perempuan dan 10 laki-laki).
Para pelaku termasuk ayah dan kerabat dekat lainnya, dan tetangga.

2
C. SIMTOMS CHILD ABUSE
1. Child Abuse di Amerika
Di Amerika child abuse ditandai dengan Penganiayaan anak termasuk
hukuman fisik yang keras, penganiayaan fisik, penganiayaan seksual,
penganiayaan emosional, pengabaian emosional, pengabaian fisik dan paparan
kekerasan pasangan intim (IPV). (Turner,dkk,2017)
2. Chld Abuse in Jerman
Di Kamboja childe abuse dapat terjadi dikarenakan orangtua yang mengalami
tekanan, stress dan mengkonsumsi alkohol secara terus menerus dalam jumlah
besar. (Liel,dkk,2019)
3. Child Abuse di Kamboja
Child Abuse di Kamboja berasal dari “attracultural budaya,” termasuk
endowmen busuk yang disebabkan oleh perbuatan dalam kehidupan sebelumnya,
karakter buruk yang dimulai di awal kehidupan, kerentanan astrologi terhadap
pelecehan, keterikatan yang telah ditentukan sebelumnya antara anak dan pelaku
(mereka "ditakdirkan" untuk bertemu), keinginan seksual, "memasuki jalan
menuju kehancuran," dan kebutaan moral yang menggambarkan pelaku sebagai
tidak bersalah. (Eisenbruch, 2019)
4. Chil Abuse Menurut DSM V-TR
Ciri-Ciri Simptom
Memukul, Menendang, Mengigit, Physical Child Abuse
Melempar, Menusuk
Membelai alat kelamin anak, penetrasi, Child Sexual Abuse
inses, pemerkosaan, sodomi,
pemaparan tidak senonoh.

Pengabaian anak, kurangnya Neglect


pengawasan yang tepat, kegagalan
untuk memenuhi kebutuhan emosional
atau psikologis yang diperlukan,
kegagalan untuk menyediakan
pendidikan yang diperlukan, medis,
makanan, tempat tinggal, dan / atau
pakaian.
Memaki Anak, Memarahi Anak, Child Psychological Abuse
Mengancam Anak, Mempermalukan
Anak dan Melukai Anak

3
D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMEPENGARUHI CHILD ABUSE
Zigler dan Hall (1989) mengemukakan beberapa perspektif teori yang
menjelaskan penyebab terjadinya fenomena kekerasan yang dilakukan orangtua
terhadap anak.
1. Pendekatan psikiatri
Menurut teori ini, orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak dianggap
menderita gangguan jiwa seperti psikopat atau sosiopat. Konsekuensi dari teori
ini adalah intervensi yang dapat dilakukan bersifat kuratif dengan menggunakan
terapi farmakologi dan psikoterapi. Kelemahan dari pendekatan ini adalah dengan
memberi label bahwa orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak sebagai
penderita gangguan jiwa maka akan membuat pelaku semakin terpisahkan dari
masyarakat. Kondisi ini justru akan semakin memperburuk keadaan. Selain itu,
terapi farmakologi dan psikoterapi akan memakan waktu cukup lama dan
menghabiskan banyak biaya. Hal ini tentu tidak efektif menyelesaikan persoalan
kekerasan terhadap anak.
2. Pendekatan sosial
Dasar pendekatan ini adalah adanya stress social yang berinteraksi dengan
cultural milieu dan dinamika keluarga menghasilkan agresi, kekerasan terhadap
anak. Model ini lebih menekankan akumulasi stres yang dihadapi orangtua
dibandingkan faktor yang sifatnya inheren pada orangtua.
3. Pendekatan perkembangan
Menurut teori ini, orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak berada
pada level yang rendah pada tahapan perkembangan kognitif. Hal ini ditandai
dengan ketika menghadapi stimulus, misalnya stressor, mereka bereaksi secara
impusif dan mengambil tindakan langsung.

4
4. Pendekatan ekologi
Pendekatan ini menggunakan pendekatan ekologi Bronfenbrenner (1979)
dalam studinya mengenai perkembangan anak. Model ini menjelaskan adanya
lapisan-lapisan sistem ekologi yang mempengaruhi perkembangan anak.
a. Lapisan ontogenics
Menjelaskan tentang bagaimana faktor individu berkaitan dengan
kekerasan pada anak. Faktor-faktor tersebut antara lain masa lalu orangtua,
tahap perkembangan orangtua, perasaan terhadap anak, pemahaman terhadap
perkembangan anak, dan kesehatan mental orangtua( Zigler dan Hall, 1989).
b. Lapisan microsystem
Menjelaskan mengenai faktor yang berpengaruh secara langsung
terhadap anak. Contohnya adalah kondisi keluarga, banyaknya anggota
keluarga, hubungan suami-istri, kondisi kesehatan anak( Zigler dan Hall,
1989). Anak-anak dengan karakteristik tertentu seperti lahir dengan kondisi
premature, berpenampilan kurang menarik, atau memiliki kekurangan fisik
atau mental lebih beresiko untuk menjadi korban kekerasan orangtua.
c. Lapisan exosystem
Mengaitkan anak dan keluarga pada sistem yang lebih luas. Faktor-
faktornya antara lain keluarga besar, status social ekonomi, komunitas, dan
sistem pendukung lainnya. Sistem pendukung menjadi sumber stress bagi
orangtua yang dapat mempengaruhi pola asuh orang tua (Zigler dan Hall,
1989). Hubungan dengan tetangga juga dapat mempengaruhi perilaku
kekerasan terhadap anak.
d. Lapisan macrosystem
Lapisan terluar yang terus-menerus saling berinteraksi dengan lapisan
ontogenics, microsystem, dan exosystem. Faktor-faktor yang masuk kategori
ini adalah sikap masyarakat terhadap kekerasan,harapan masyarakat terhadap
pola pendisiplinan di rumah dan sekolah, dan kekerasan yang terjadi di
masyarakat (Zigler dan Hall, 1989).

5
E. TERAPI CHILD ABUSE
1. Terapi Ecobehavior
Metode Ecobehavior dapat diterapkan kedalam arsitektur melalui karakter
ruang, suasana dan bentuk dalam objek rancang fasilitas rehabilitasi anak korban
kekerasan. Melalui pendekatan behavior setting dan architecture for children,
penanganan anak korban kekerasan dengan metode ecobehavior dapat hadir dan
mendukung proses terapi dan penanganan. Dengan menghadirkan alam sebagai
media pendukung suasana dan ruang untuk aktivitas pelaku, kondisi psikologis
dan perilaku pengguna dapat menjadi lebih baik. Sehingga dengan adanya
lingkungan sosial yang mendukung dalam sebuah fasilitas rehabilitasi anak korban
kekerasan, dapat mempersiapkan anak untuk kembali ke lingkungannya seperti
semula. (Liyanto & Nur, 2017)

2. Parent-Child Interaction Therapy (PCIT)


Program Parent-Child Interaction Therapy (PCIT) menggunakan dua fase :
(Chaffin,dkk dalam Kurniawati. 2012)
a. Relationship enhancement
Fase ini menekankan teknik membangun pengasuhan yang aman antara
orangtua dan anak. Sesi ini terstruktur, anak memilih mainan atau kegiatan dan
orang tua memainkan bersama saat dilatih oleh terapis.
b. Discipline and compliance
Tahap ini lebih konsisten dan terstruktur pada disiplin. Fase ini disebut pula
Parent-Directed Interaction (PDI), focus pada orang tua yang diarahkan. Orang
tua diajarkan untuk memberikan secara jelas perintah langsung ke anak dan
memberikan konsekuensi yang konsisten untuk perilaku patuh maupun tidak
patuh.

6
DAFTAR PUSTAKA

APA. (2000). DSM V-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV Text
Revision). Washington, DC: American Psychiantric Association Press.

Eisenbruch,Maurice. 2019. “His body is human, but he has a tiracchāna heart”: An


ethnographic study of the epigenesis of child abuse in Cambodia. Jurnal Child Abuse
& Neglect. 88:129-143.

Fakih M, penyunting. Buku panduan pelatihan deteksi dini dan penatalaksanaan korban child
abuse and neglect. Jakarta : IDI – UNICEF, 2003. H. 1- 77

Finkelhor,D., dkk. 2013. Violence,crime, and abuse exposure in a national sample of children
and youth. JAMA Pediatrics. 167(7): 614.

Hua, jing, dkk. (2014. Child neglect in one – child families and from Suzhou City of Mainland

China. BMC International Health & Human Rights. PubMed.

Kurniawati,Henie. 2012. Intervensi Sexual Abuse Pada Anak Dengan Parent-Child


Interaction Therapy (PCIT). Seminar Nasional : Parenting and Educationa About Sex.

Liel,Christoph;dkk. 2019. Is the Brief Child Abuse Potential Inventory (BCAPI) a valid
measure of child abuse potential among mothers and fathers of young children in
Germany?. Jurnal Child Abuse & Neglect. 88:432-444.

Liyanto,GDA & Nur EN. 2017. Penanganan Anak Korban Kekerasan dengan Menggunakan
Metode Ecobehavior. Jurnal Sains Dan Seni. 6(1):2337-3520.

Turner,Sarah;dkk. 2017. The Relationship Between Childhood Sexual Abuse And Mental
Health Outcomes Among Males: Results From A Nationally Representative United
States Sample. Jurnal Child Abuse & Neglect. 66: 64-72.

Wulandari, Suci. 2007 .Child Abuse, Fenomena Dan Kebijakan Di Indonesia .Surabaya :Pusat
Penelitian Dan Perkembangan Sistem Dan Kebijakan Kesehatan

Zigler, E & Hall, N. W. 1989. Physical child abuse in America: past, present, and future.

Anda mungkin juga menyukai