Anda di halaman 1dari 16

APLIKASI TEORI KEPERAWATAN DAN

PERKEMBANGANPADA ANAK DENGAN


MASALAH
MANGANCAM KEHIDUPAN

Mata Kuliah Keperawatan Anak dalam Konteks Keluarga

DISUSUN OLEH:
Putri Eka Sudiarti: 1721312080
Septa Nelly : 1721312062

MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kekerasan seksual terhadap anak sudah terjadi bertahun-tahun dan bentuk-bentuk
kekerasan yang dialami anak-anak di Indonesia sangat beragam dan menakutkan. Data yang
dikumpulkan dan dianalisis Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Komnas Anak, terdapat
21.689.797 kasus pelanggaran Hak Anak. Sedangkan di tahun 2014 saja, pelayanan
pengaduan Komnas Anak sudah menerima laporan 679 kasus, dengan jumlah korban 896
orang anak. Sebanyak 52% adalah kejahatan seksual (Laporan KPAI).
Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang yang memiliki
hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman sepermainannya
sendiri (Kliegman, 2011). Namun respon anak terhadap kekerasan seksual ini berhubungan
dengan bagaimana anak beradaptasi terhadap tekanan yang ia alami (Alligood, 2014). Model
adaptasi Roy adalah system model yang esensial dan banyak digunakan sebagai falsafah
dasar dan model konsep dalam pendidikan keperawatan. Dalam memenuhi kebutuhannya,
manusia selalu dihadapkan berbagai persoalan yang kompleks, sehingga dituntut untuk
melakukan adaptasi. Penggunaan koping atau mekanisme pertahanan diri, adalah berespon
melakukan peran dan fungsi secara optimal untuk memelihara integritas diri dari keadaan
rentang sehat sakit dari keadaan lingkungan sekitarnya (Salbiah, 2010).
Mekanisme koping dalam Roy juga berhubungan beberapa teori perkembangan anak
yang di kemukakan oleh Freud, Erikson Dan Piaget. Hal ini menunjukkan bahwa respon
anak yang adaptif tergantung pada respon masing-masing fase anak menhadapi tekananya
(Papalia & Feldman, 2014).

B. Tujuan
1. Menjelaskan konsep kekerasan pada anak
2. Aplikasi Teori Keperawatan Callista Roy dan Teori Perkembangan pada Anak dengan
Kekerasan Seksual.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kekerasan Seksual pada Anak.


1. Pengertian
Kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau
tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian,
kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Kekuatan fisik dan
kekuasaan harus dilihat dari segi pandang yang luas mencakup tindakan atau penyiksaan
secara fisik, psikis/emosi, seksual dan kurang perhatian (neglected). Kekerasan seksual
meliputi suatu prilaku pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah
tangga) atau orang lain (Kliegman, 2011).
2. Penyebab kekerasan pada anak (Kliegman, 2011).
a. Stress berasal dari orang tua
1) Rendah diri
Anak dengan rendah diri akan sering mendapatkan kekerasan, sebab anak
selalu merasa dirinya tidak berguna dan selalu mengecewakan orang lain.
2) Waktu kecilnya mendapatkan perlakuan salah
Orangtua yang mengalami perlakuan salah pada masa kecil akan
melakukan hal yang sama terhadap orang lain atau anaknya sebagai bentuk
pelampiasan atas kejadian yang pernah dialaminya.
3) Depresi
4) Harapan pada anak yg tidak realistic
Harapan yang tidak realistis akan membuat orangtua mengalami stress
berat sehingga ketika tidak mampu memenuhi kebutuhan anak, orangtua
cenderung menjadikan anak sebagai pelampiasan kekesalannya dengan
melakukan tindakan kekerasan.
5) Kelainan karakter atau gangguan jiwa

b. Stress yang berasal dari anak


1) Mental berbeda
Yaitu anak mengalami keterbelakangan mental sehinggga anak mengalami
masalah pada perkembangan dan sulit berinteraksi dengan lingkungan
disekitarnya. Sehingga anak mudah untuk dihakimi.
2) Temperamen berbeda
Anak dengan temperamen yang lemah cenderung mengalami banyak
kekerasan bila dibandingkan dengan anak yang memiliki temperamen keras. Hal
ini disebabkan karena anak yang memiliki temperamen keras cenderung akan
melawan bila dib andingkan dengan anak bertemperamen lemah.
3) Tingkah laku berbeda
Yaitu anak memiliki tingkah laku yang tidak sewajarnya dan berbeda dengan
anak lain. Misalnya anak berperilaku dan bertingkah aneh di dalam keluarga dan
lingkungan sekitarnya.
4) Anak angkat berbeda atau tiri
Anak angkat cenderung mendapatkan perlakuan kasar disebabkan
orangtua menganggap bahwa anak angkat bukanlah buah hati dari hasil
perkawinan sendiri, sehingga secara naluriah tidak ada hubungan emosional yang
kuat antara anak angkat dan orang tua.
c. Stress yang berasal dari keluarga
1) kemiskinan, pengangguran, mobiitas, isolasi, perumahan
2) Hubungan orang tua anak, stress perinatal, anak yg tidak diharapkan, premeturitas
3) Perceraian

3. Dampak kekerasan pada anak (Kliegman, 2011).


a. Fisik
Anak yang mendapat perlakuan kekrasan seksual akan menjadi sangat agresif,
dan setelah dewasa biasanya akan melakukan hal yang sama. Kekerasan seksual yang
berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera
serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan
korban meninggal dunia.
b. Psikologis
Anak yang mengalami kekerasan seksual, apalagi diikuti dengan penyiksaan,
cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti depresi, isolasi,
penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-
obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Kekerasan seksual memberi efek
psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa. Jenis kekerasan ini meninggalkan
bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti
kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak,
menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun
kecenderungan bunuh diri.
c. Seksual
Korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa
rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski mereka sudah dewasa atau
bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-
anak banyak ditenggarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi.
d. Finansial
Adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam
merawat anak dengan baik. Kellaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam
mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya, gagall menyekolahkan
atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus
sekolah.

B. Aplikasi Teori Keperawatan Callista Roy dan Teori Perkembangan pada Anak dengan
Kekerasan Seksual.
Secara filosofi Roy mempercayai kemampuan bawaan, tujuan, dan nilai
kemanusiaan, pengalaman klinisnya telah membantu perkembangan kepercayaannya itu
dalam keselarasan dari tubuh manausia dan spirit. Keyakinan filosofi Roy lebih jelas
dalam kerjanya yang baru pada model adaptasi. Teori Roy dikenal dengan ”Model
Adaptasi Roy”. Menurut Roy, adaptasi merupakan suatu proses dari seseorang dalam
berperilaku sebagai individu atau kelompok guna menciptakan lingkungan yang
terintegrasi Skema diatas menunjukkan manusia sebagai sistem adaptasi selalu
mendapatkan input sebagai stimulus untuk melakukan proses kontrol. Proses kontrol
adalah mekanisme koping yang terdiri dari subsistem regulator dan cognator. Subsistem
regulator melakukan koping yang diperlihatkan dalam mode adaptasi fisiologis.
Penghubung sistem regulator adalah proses koping neural, kimia dan endokrin.
Sedangkan subsistem kognator berhubungan dengan fungsi yang lebih tinggi dari otak
yaitu persepsi atau pengolah informasi yang terdiri dari proses perhatian, dan ingatan.
Mekanisme koping kognator diperlihatkan dalam 3 (tiga) mode adaptif, yaitu konsep diri,
interdependen dan fungsi peran. Dalam mempertahankan integritas manusia, regulator
dan cognator sering dianggap berperan bersama-sama (Alligood, 2014).
1. Tingkatan adaptasi pada manusia dikemukan Roy, diantaranya yaitu (Alligood, 2014):
a. Stimuli fokal
Stimulasi fokal yaitu stimulus yang langsung beradaptasi dengan seseorang
dan akan mempunyai pengaruh kuat terhadap seorang individu. Pada anak dengan
kekerasan seksual, stimulus fokal adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang
terdekat anaka maupun orang yang tidak dekat dengan anak.
b. Stimuli kontekstual
Stimulasi kontekstual yaitu stimulus yang dialami seseorang dan baik
internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi, kemudian dapat dilakukan
observasi, diukur secara subyektif. Stimulus kontekstual pada anak dengan
kekerasan seksual adalah tekanan fisik, psikologis anak dan tekanan psikologis dari
daerah sekitar anak.
c. Stimuli residual
Stimulasi residual yaitu stimulus lain yang merupakan ciri tambahan yang ada
atau sesuai dengan situasi dalam proses penyesuaian dengan lingkungan yang sukar
dilakukan observasi. Stimuli residual anak dengan kekerasan seksual adalah terjadi
dalam bentuk stigma dari masyarakat yang menambah tekanan psikologis pada
anak.
2. Proses adaptasi yang dikemukakan Roy yaitu (Alligood, 2014):
a. Mekanisme koping
Pada sistem ini terdapat dua mekanisme yaitu pertama mekanisme koping bawaan
yang prosesnya secara tidak disadari manusia tersebut, yang ditentukan secara
genetik atau secara umum dipandang sebagai proses yang otomatis pada tubuh.
Kedua yaitu mekanisme koping yang didapat dimana koping tersebut diperoleh
melalui pengembangan atau pengalaman yang dipelajarinya (Alligood, 2014).
Menurut Piaget anak usia sekolah (7-12 tahun) telah berada pada tahap
Operasional Konkret. Anak mulai berfikir secara logika dan anak juga bisa
mengolah sesuatu dalam memorinya. Mekanisme koping yang baik terjadi pada
anak yang memang memiliki fikiran yang positif dan dapat emngolah dengan baik
apa yang ia alami. Anak yang didukung dengan dukungan orang tua dan mendapat
kasih sayang oleh orang tua akan dapat menhadapi tekanan kekerasan seksual yang
dihadapinya dan bisa terjadi sebaliknya (Papalia & Feldman, 2014).
b. Pengaturan subsistem
Merupakan proses koping yang menyertakan subsistem tubuh yaitu saraf, proses
kimiawi dan sistem endokrin. Adanya kemajuan struktur fungsi otak anak
membuat memiliki kemajuan kognitif (Kliegman, 2011). Anak dengan fase
Operasional Konkret dan Operasional menurut Piaget anak telah dapat berfikir
abstrak menghadapi suatu hipetesi dan memikirkan segala kemungkinan yang
terjadi. Perkembangan moral berkaitan dengan kematangan kognitif anakyang
muncul pada tiga tingkat, berubah dari pemikiran yang kaku dan menjadi fleksibel
(Papalia & Feldman, 2014).
c. Cognator subsistem
Proses koping seseorang yang menyertakan empat sistem pengetahuan dan emosi,
pengolahan persepsi dan informasi, pembelajaran, pertimbangan, dan emosi.
Menurut lev Vygotsky teori pengolahan informasi melihat individu sebagai pemikir
aktif mengenai dunianya. Selain itu menurut Erikerikson anak usia pubertas keatas
berada pada tahap Identity and Identity Confution, dimana yang akan menentukan
persaan akan dirinya. Regullasi Emosi mengikutsertakan penuh terhadp usaha
control pada anak korban kekrasan seksual (Papalia & Feldman, 2014).

3. Sistem Adaptasi menurut Callista Roy:


Skema diatas menunjukkan manusia sebagai sistem adaptasi selalu mendapatkan
input sebagai stimulus untuk melakukan proses kontrol. Proses kontrol adalah mekanisme
koping yang terdiri dari subsistem regulator dan cognator. Subsistem regulator
melakukan koping yang diperlihatkan dalam mode adaptasi fisiologis. Penghubung
sistem regulator adalah proses koping neural, kimia dan endokrin. Sedangkan subsistem
kognator berhubungan dengan fungsi yang lebih tinggi dari otak yaitu persepsi atau
pengolah informasi yang terdiri dari proses perhatian, dan ingatan. Mekanisme koping
kognator diperlihatkan dalam 3 (tiga) mode adaptif, yaitu konsep diri, interdependen dan
fungsi peran. Dalam mempertahankan integritas manusia, regulator dan cognator sering
dianggap berperan bersama-sama (Alligood, 2014).
Manifestasi melalui efektor atau modes adaptasi terdiri dari :
a. Adaptasi fisiologis, terdiri dari oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat,
sensori, cairan dan elektrolit, integritas kulit, fungsi saraf, fungsi endokrin dan
reproduksi (Alligood, 2014). Menurut Freud anak pada fase Genital anak adalah
pada masa permunculan kembali impuls seksual dan anak yang menjadi peku
kekrasan seksual adalah anak pada usia tersebut (Papalia & Feldman, 2014).
b. Konsep diri menunjukkan pada keyakinan perasaan akan diri sendiri yang mencakup
persepsi, perilaku dan respon. Konsep diri meliputi integritas psikis, moral / etik /
spiritual diri, konsistensi diri, ideal diri dan harga diri. Menurt Erikson sumber
utama harga diri adalah pandangan anak terhadap produktifitas mereka sendiri, ini
terjadi pada fase Intimacy dan Isolation (masa dewasa muda). Hal ini berkaitan
dengan koran kekerasan seksual jika anak tidak bisa berproduktifitas seperti biasa
maka ia akan menjadi isolasi (Papalia & Feldman, 2014).
c. Fungsi peran menggambarkan hubungan interaksi perorangan dengan orang lain yang
tercermin pada peran pertama, kedua dan seterusnya (Alligood, 2014). Anak korban
kekerasan seksual akan memliki gangguan peran pada teori psikoanalisis
Erikerikson pada fase Identity dan Identity Confution (masa pubertas hingga dewasa
muda) anak akan memiliki kebingungan peran terhadap psikososialnya (Papalia &
Feldman, 2014)
d. Ketergantungan mengidentifikasi nilai manusia, cinta dan keseriusan. Proses ini
terjadi dalam hubungan antar manusia dengan individu dan kelompok (Alligood,
2014). Pada konteks ketergantungan mengidentifikasi nilai, Keberhasilan remaja
dengan kekerasan seksual menghadapi tekanan yang ia miliki ditentukan bagaimana
ia dapat melewati dengan baik fase Erikerikson pada fase Identity dan Identity
Confution (masa pubertas hingga dewasa muda) dan fase intimacy dan isolation
( masa dewasa muda) serta fase Operasional Konkret (7-12) dan Operasional
(12tahun hingga dewasa) menurut Piaget (Papalia & Feldman, 2014).
Output dari mekanisme adaptasi manusia adalah respon adaptif dan respon
maladaptif. Respon adaptif adalah semua yang mengacu pada peningkatan integritas
manusia yaitu semua tingkah laku yang tampak ketika manusia dapat mengerti tentang
tujuan hidup, tumbuh, produksi dan kekuasaan (Alligood, 2014). Menurut Piaget istilah
adaptasi adalah bagaiman anak mengolah informasi baru dan mereka mengaitkan pada
apa yang mereka ketahui. Terdapat proses asimilasi yaitu mengambil informasi baru dan
menggabungkan dengan struktur kognitif yang ada. Selain asimilasi juga terdapat proses
akomodasi yaitu menyesuaikan struktur kognitif yang ada dengan informasi baru yang
diterima (Papalia & Feldman, 2014)
Sedangkan respon mal adaptif adalah respon dapat mengganggu integritas
manusia. Respon adaptif maupun maladaptif keduanya akan menjadi input/masukan
melalui proses umpan balik. Kedunya dapat bertindak sebagai suatu stimulus untuk
terjadinya mekanisme koping (Alligood, 2014).
C. Asuhan Keperawatan Pada Anak Korban Kekerasan Seksual
1. Pengkajian
a. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak dapat tidur atau tidur
berlebihan, mimpi buruk, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan.
b. Integritas ego
1) Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena
tindakannya terhadap orang tua.
2) Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat)
3) Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak
berdaya
4) Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan
yang paling dominan/menonjol)
5) Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap
menunduk, takut (terutama jika ada pelaku)
6) Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan
finansial, pola hidup, perselisihan dalam pernikahan)
7) Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain
c. Eliminasi
1) Enuresisi, enkopresis.
2) Infeksi saluran kemih yang berulang.
3) Perubahan tonus sfingter.
d. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan
berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang sesuai .
e. Higiene
1) Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca (penganiayaan
seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan.
2) Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak
terpelihara.
f.Neurosensori
1) Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau
pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia
2) Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran adanya
pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan
konsentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin sangat waspada,
cemas dan depresi.
3) Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan
yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
4) Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan koping
terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
5) Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah (korban
selamat).
6) Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian ganda
(penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban inses dewasa)
7) Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera eksternal
g. Nyeri atau ketidaknyamanan
1) Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
2) Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastik
kolon, sakit kepala)
h. Keamanan
1) Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas, rokok)
ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar, ruam/gatal di
area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus
sfingter.
2) Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal.
3) Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas dengan
risiko tinggi
4) Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat menghindari
bahaya di dalam rumah
i.Seksualitas
1) Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif,
permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau
melakukan kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks,
secara seksual menganiaya anak lain.
2) Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.
3) Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak).
j.Interaksi sosial
Menarik diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang
responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik, penurunan
penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri. Pencapaian prestasi di sekolah
rendah atau prestasi di sekolah menurun.
2. Diagnosa
a. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan seksual
yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan
persetujuan pribadi seseorang (Heardman & S., 2014).
b. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa takut
terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan antara orang tua dan
anak yang tidak memuaskan (Heardman & S., 2014)
c. Koping tidak efektif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan balik atau
umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan penurunan makna diri
(Heardman & S., 2014)
3. Intervensi
a. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan seksual
yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan
persetujuan pribadi seseorang
Tujuan (Jhonson, Marion, & Maas, 2013) :
1) Daalam waktu 5x24 jam : Luka fisik anak akan sembuh tanpa komplikasi
Intervensi (McCloskey, C, Bullechek, & M, 2013):
1) pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban
perkosaan : saya prihatin hal ini terjadi padamu, anda aman disini, saya senang
anda hidup, anda tidak bersalah. Anda adalah korban. Ini bukan kesalahan anda.
Apapun keputusan yang Anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang
karena anda hidup.
2) Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa
dilakukan. Pastikan bahwa pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara
tidak menghakimi
3) Pastikan bahwa anak memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-
intervensi segera pasca krisis. Cobaan sedikit mungkin orang yang memberikan
4) Diskusikan dengan anak siapa yang dapat dihubung untuk memberikan
dukungan atau bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan
b. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa takut
terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan antara orang tua dan anak yang
tidak memuaskan
Tujuan (Jhonson et al., 2013):
Anak mampu mempertahankan ansietas di bawah tingkat sedang, sebagaimana
yang ditandai oleh tidak adanya perilaku-perilaku yang tidak perilaku yang tidak
mampu dalam memberi respons terhadap stres.
Intervensi (McCloskey et al., 2013):
1) Bentuk hubungan kepercayaan dengan anak. Bersikap jujur, konsisten di dalam
berespons dan bersedia. Tunjukkan rasa hormat yang positif dan tulus
2) Sediakan aktivitas-aktivitas yang diarahkan pada penurunan tegangan dan
pengurangan ansietas (misalnya berjalan atau joging, bola voli, latihan dengan
musik, pekerjaan rumah tangga, permainan-permainan kelompok
3) Anjurkan anak untuk mengidentifikasi perasaan-perasaan yang sebenarnya dan
untuk mengenali sensiri perasaan-perasaan tersebut padanya
4) Perawat harus mempertahankan suasana tentang
5) Tawarkan bantuan pada wajtu-waktu terjadi peningkatan ansietas. Pastikan
kembali akan keselamatan fisik dan fisiologis
6) Penggunaan sentuhan menyenangkan bagi beberaoa anak. Bagaimanapun juga
anak harus berhati-hati terhadap penggunaannya
7) Dengan berkurangnya ansietas, temani anak untuk mengetahui peristiwa –
peristiwa tertentu yang mendahului serangannya. Berhasil pada respons -
respons alternatif pada kejadian selanjutnyta
8) Berikan obat-obatan dengan obat penenang sesuai dengan yang diperintahkan.
Kaji untuk keefektifitasannya, dan beri petunjuk kepada anak mengenai
kemungkinan efek-efek samping yang memberi pengaruh berlawanan
c. Koping individu tidak efektif berhubungan dengankelainan fungsi dari system keluarga
dan perkembangan ego yang terlambat, serta penganiayaan dan pengabaian anak
Tujuan (Jhonson et al., 2013) :
1) Anak mengembangkan dan menggunakan keterampilan koping yang sesuai
dengan umur dan dapat diterima sosial dengan kriteria hasil :
2) Anak mampu menundakan pemuasan terhadap keinginannya, tanpa terpaksa
untuk menipulasi orang lain
3) Anak mampu mengekspresikan kemarahan dengan cara yang dapat diterima
secara sosial
4) Anak mampu mengungkapkan kemampuan-kemampuan koping alternative yang
dapat diterima secara sosial sesuai dengan gaya hidup dari yang ia rencanakan
untuk menggunakannya sebagai respons terhadap rasa frustasi
Intervensi (McCloskey et al., 2013):
1) Pastikan bahwa sasaran-sasarannya adalah realistis
2) Sampaikan perhatian tanpa syarat pada anak
3) Sediakan waktu bersama anak, keduanya pada saty ke satu basis dan pada aktivitas-
aktivitas kelompok
4) Menemani anak dalam mengidentifikasi aspek-aspek positif diri dan dalam
mengembangkan rencana-rencana untuk merubah karakteristik yang dilihatnya
sebagai negatif
5) Bantu anak mengurangi penggunaan penyangkalan sebagai suatu mekanisme sikap
defensif. Memberikan bantuan yang positif bagi identifikasi masalah dan
pengembangan dari perilaku-perilaku koping yang lebih adaptif
6) Memberi dorongan dan dukungan kepada anak dalam menghadapi rasa takut
terhadap kegagalan dengan mengikuti aktivitas-aktivitas terapi dan melaksanakan
tugas-tugas baru. Beri pangakuan tentang kerja keras yang berhasil dan penguatan
positif bagi usaha-usaha yang dilakukan.
BAB III
PENUTUP

A. Penutup
Kekerasan seksual pada anak adalah pemaksaan, ancaman atau keterperdayaan
seorang anak dalam aktivitas seksual. Aktivitas seksual tersebut meliputi melihat,
meraba, penetrasi (tekanan), pencabulan dan pemerkosaan (Kliegman, 2011). Respon
anak menghadapi kekrasan seksual I ini bisa di pengaruhi oleh koping anak untuk
beradaptasi. Sesuai dengan teori Callista Roy (Alligood, 2014).
Menurut Piaget istilah adaptasi adalah bagaiman anak mengolah informasi baru
dan mereka mengaitkan pada apa yang mereka ketahui. Terdapat proses asimilasi yaitu
mengambil informasi baru dan menggabungkan dengan struktur kognitif yang ada. Selain
asimilasi juga terdapat proses akomodasi yaitu menyesuaikan struktur kognitif yang ada
dengan informasi baru yang diterima. Proses koping anak yang mengalami kekerasan
seksual ini terjadi pada fase Erikerikson pada fase Identity dan Identity Confution (masa
pubertas hingga dewasa muda) dan fase intimacy dan isolation ( masa dewasa muda)
serta fase Operasional Konkret (7-12) dan Operasional (12tahun hingga dewasa)
menurut Piaget (Papalia & Feldman, 2014).
B. Saran
1. Diharapkan makalah ini dapat menjadi manfaat bagi orangtua yang memiliki anak
dengan kekerasan seksual.
2. Diharapkan makalah ini dapat menjadi sumber informasi para tega kesahatan dalam
merawat anak dengan kekerasan seksual.
3. Perlunya dikembangkan lebih spesifik suatu pendekatan Model Adaptasi Roy dalam
memberikan Asuhan Keperawatan pada klien dalam meningkatkan respon adaptif
klien dengan kekerasan seksual.
DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M. R. (2014). Pakar Teori Keperawatan. Volume 1. Singapore: Elsevier.


Heardman, H., & S., K. (2014). Nursing Diagnoses Definitions dan Classification 2015-2017.
(W. Blackwell, Ed.) (10th editi). USA.
Jhonson, Marion, & Maas, M. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). (S. L.
Mosby.Elsevier, Ed.) (5th editio).
Kliegman, R. M. (2011). Nelson of Textbook of Pediatric. (Elsevier, Ed.). Philadelphia.
McCloskey, C, J., Bullechek, & M, G. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC). (S. L.
M. Elsevier, Ed.) (6th Editio). USA.
Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2014). Experience Human Development. (S. HUmanika, Ed.)
(12th ed.). Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai