Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Salah Perlakuan

a. Definisi Salah Perlakuan pada Anak

Child abuse atau perlakuan salah terhadap anak adalah kesalahan atau kesemenaan
memperlakukan anak-anak yang seharusnya diposisikan sebagai amanat Tuhan. Amanat
dari-Nya itu seharusnya dijaga, dilindungi, atau diberi pendidikan agar mereka dapat
menjalani masa depan dengan bekal yang cukup. Perlakuan salah terhadap anak (child
abuse) itu dapat berbentuk kekerasan fisik dan psikis berupa perlakuan yang tidak
mencerminkan kasih saying. Child Abuse adalah tindakan yang mempengaruhi
perkembangan anak sehingga tidak optimal lagi. Selain itu Child Abuse dapat diartikan
perlakuan salah terhadap fisik dan emosi anak, menelantarkan pendidikan dan
kesehatannya dan juga penyalahgunaan seksual. Sumber lain mengartikan Child Abuse
adalah penganiayaan, penelantaran dan eksploitasi terhadap anak, dimana ini adalah hasil
dari perilaku manusia yang keliru terhadap anak.
b. Definisi Salah Perlakuan pada Lansia
World Health Organization (WHO) dan Center for interdiscpiplinary Gerontoloy
(CIG)13 mengadopsi definisi dari Action on Elder Abuseyaitu suatu tindakan atau
kurangnya tindakan yang seharusnya, tunggal atau berulang, yang terjadi dalam suatu
hubungan berlandaskan kepercayaan yang menyebabkan bahaya atau kesulitan pada
lansia. Sementara itu, National Research Council mengembangkan definisi tersebut
menjadi tindakan disengaja yang menyebabkan bahaya atau menimbulkan risiko bahaya
yang serius (tanpa menilai apakah bahaya tersebut disengaja ataupun tidak) terhadap
lansia yang rentan oleh pramurawat atau orang lain yang memiliki hubungan
berlandaskan kepercayaan dengan lansia tersebut. Selain itu, National Research Council
juga mendefinisikanya menjadikegagalan seorang pramurawat untuk memenuhi
kebutuhan dasar lansia atau melindunginya dari bahaya.

2.2 Faktor resiko/yang mempengaruhi salah perlakuan


a. Faktor resiko/yang mempengaruhi salah perlakuan pada anak
Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami kekerasan. Baik kekerasan fisik
maupun kekerasan psikis, diantaranya adalah:
1. Stress yang berasal dari anak
a) Fisik berbeda, yang dimaksud dengan fisik berbeda adalah kondisi fisik anak
berbeda dengan anak yang lainnya. Contoh yang bisa dilihat adalah
anakmengalami cacat fisik. Anak mempunyai kelainan fisik dan berbeda dengan
anak lain yang mempunyai fisik yang sempurna.
b) Mental berbeda, yaitu anak mengalami keterbelakangan mental sehingga anak
mengalami masalah pada perkembangan dan sulit berinteraksi dengan
lingkungan di sekitarnya
c) Temperamen berbeda, anak dengan temperamen yang lemah cenderung
mengalami banyak kekerasan bila dibandingkan dengan anak yang memiliki
temperamen keras. Hal ini disebabkan karena anak yang memiliki temperamen
keras cenderung akan melawan bila dibandingkan dengan anak bertemperamen
lemah.
d) Tingkah laku berbeda, yaitu anak memiliki tingkah laku yang tidak sewajarnya
dan berbeda dengan anak lain. Misalnya anak berperilaku dan bertingkah aneh di
dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya.
e) Anak angkat, anak angkat cenderung mendapatkan perlakuan kasar disebabkan
orangtua menganggap bahwa anak angkat bukanlah buah hati darihasil
perkawinan sendiri, sehingga secara naluriah tidak ada hubunganemosional yang
kuat antara anak angkat dan orang tua.
2. Stress keluarga
a) Kemiskinan dan pengangguran, kedua faktor ini merupakan faktor terkuatyang
menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak, sebab kedua faktor
iniberhubungan kuat dengan kelangsungan hidup. Sehingga apapun
akandilakukan oleh orangtua terutama demi mencukupi kebutuhan hidupnya
termasuk harus mengorbankan keluarga.
b) Mobilitas, isolasi, dan perumahan tidak memadai, ketiga faktor ini juga
berpengaruh besar terhadap terjadinya kekerasan pada anak, sebab lingkungan
sekitarlah yang menjadi faktor terbesar dalam membentuk kepribadian dan
tingkah laku anak.
c) Perceraian, perceraian mengakibatkan stress pada anak, sebab anak akan
kehilangan kasih sayang dari kedua orangtua.
d) Anak yang tidak diharapkan, hal ini juga akan mengakibatkan munculnya
perilaku kekerasan pada anak, sebab anak tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh orangtua, misalnya kekurangan fisik, lemah mental, dsb
3. Stres berasal dari orang tua
a) Rendah diri, anak dengan rendah diri akan sering mendapatkan kekerasan, sebab
anak selalu merasa dirinya tidak berguna dan selalu mengecewakan orang lain.
b) Waktu kecil mendapat perlakuan salah, orangtua yang mengalami perlakuan
salah pada masa kecil akan melakuakan hal yang sama terhadap orang lain atau
anaknya sebagai bentuk pelampiasan atas kejadian yang pernah dialaminya.
c) Harapan pada anak yang tidak realistis, harapan yang tidak realistis akan
membuat orangtua mengalami stress berat sehingga ketika tidak mampu
memenuhi memenuhi kebutuhan anak, orangtua cenderung menjadikan anak
sebagai pelampiasan kekesalannya dengan melakukan tindakan kekerasan.
b. Faktor resiko/yang mempengaruhi salah perlakuan pada lansia
1. Lansia
Faktor risiko dari lansia itu sendiri yaitu diantaranya gangguan kognitif, gangguan
perilaku, penyakit psikiatrik atau masalah psikologis, keterganntungan fungsional,
kesehatan fisik yang buruk (frailty), pendapatan rendah, trauma atau riwayat
penganiayaan dan suku atau etnis.
2. Pelaku
Faktor risiko salah perlakuan pada lansia yang berasal dari pelaku diantaranya
yaitubeban atau stres pramurawat dan penyakit psikiatrik atau masalah psikologis.
Beban pramurawat dan penyakit psikiatrik sebagai faktor risiko salah perlakuan pada
lansia ditemukan pada studi yang dilakukan pada kelompok lansia yangmembutuhkan
bantuan dari aktivitas sehari-hari dan kelompok lansia dengan demensia.
3. Hubungan
Disharmoni keluarga, hubungan yang buruk atau berkonflik merupakan faktor risiko
tejadinya salah perlakuan pada lansia. Hal tersebut berdasarkan studi pada populasi
umum, pada lansia yang membutuhkan bantuan dari aktivitas sehari-hari dan lansia
dengan demensia. Berdasarkan studi-studi tersebut diketahui bahwa faktorfaktor
hubungan tersebut meningkatkan terjadinya salah perlakuan pada lansia.
4. Lingkungan
Faktor risiko salah perlakuan pada lansia dari lingkungan diantarana yaitu dukungan
sosial yang rendah dan tinggal bersama orang lain. Hal tersebut berdasarkan hasil studi
pada populasi umum dan lansia yang membutuhkan bantuan dari aktivitas sehari-hari.
Namun, faktor tinggalbersama orang lain belum terbukti berhubungan pada spektrum
penganiayaan finansial.
5. Pemeriksaaan fisik
Temuan fisik pada pasien salah perlakuan tidak spesifik sehingga akan lebih sulit
untuk membedakan apakah kondisi tersebut disebabkan oleh kecelakaan yang tidak
disengaja atau bukan.

Menurut yori (2018) Factor yang mempengaruhi salah perlakuan terhadap lansia,antara
lain :
1. Rendahnya Dukungan Sosial Menurut penelitian Wang, Brisbin, Loo dan Starus
(2015) menjelaskan 5777 lansia di Amerika Serikat mengalami salah perlakuan. Salah
satu yang menyebabkan hal tersebut adalah rendahnya dukungan sosial. Sama halnya
dengan hasil survey pada lansia di negara spanyol mengalami salah perlakuan
psikologis dikarenakan kurangnya dukungan sosial seperti dukungan dari tetangga
atau masyarakat sekitar. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian dari Dong (2015),
lansia yang berumur 60 tahun keatas sebanyak 30% beresiko tinggi mengalami salah
perlakuan atau pengabaian yang berupa gejala distres psikologis karena tidak adanya
dukungan sosial.
2. Beban stres dari caregiver Faktor resiko yang mempengaruhi terjadi dalam
meningkatnya tindakan salah perlakuan pada lansia yaitu peranan dari caregiver.
3. Kerusakan kognitif lansia Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mosqueda & Dong
(2011), salah satu faktor yang menyebabkan salah perlakuan pada lansia yaitu
kerusakan kognitif. Terdapat pengaruh yang signifikan antara kerusakan kognitif dan
tindakan salah perlakuan.
4. Tingkat ekonomi yang rendah Ekonomi yang rendah menjadi salah satu faktor resiko
akan terjadinya salah perlakuan pada lansia (Lacher et al, 2016).Neglect dikaitkan
dengan kesehatan yang buruk, perceraian serta ekonomi rendah. Dapat disimpulkan
bahwa faktor ekonomi akan mempengaruhi adanya tindakan salah perlakuan.
5. Ketergantungan fungsi tubuh lansia Penelitian tentang salah perlakuan terhadap lansia
di korea yang dilakukan oleh Oh et al (2006),ditemukan rata-rata lansia mengalami
salah perlakuan emosional yang dilakukan dirumah yakni sebesar 6,3%. Faktor resiko
terjadinya pelecehan tersebut dinilai dari 2 sudut pandang yaitu karakterisitik personal
dan karakteristik keluarga

2.3 Dampak Salah Perlakuan


a. Dampak Salah Perlakuan Pada Child Abuse
Child abuse ini menimbulkan dampak (Moore,2004) diantaranya :
1. Anak kehilangan hak untuk menikmati masa kanak-kanaknya. Anak bisa saja
kehilangan keceriaannya karena kekerasan yang dialaminya hingga malas untuk
bermain.
2. Sering menjadi korban eksploitasi dan penindasan dari orang dewasa. Anak yang
pernah menjadi korban kekerasan lagi dan semakin ditindas orang dewasa bila tidak
mendapatkan penanganan yang tepat.
3. Sering pada saat dewasa membawa dampak psikologis : labilitas emosi, perilaku
agresif, tindak kekerasan, penyalahgunaan NAPZA, perilaku sex bebas, dan perilaku
anti social.
b. Dampak Salah Perlakuan Pada Lansia
Dampak negatif yang muncul dari salah perlakuan pada lansia adalah luka fisik, cemas,
dan pengabaian terhadap diri sendiri (Mosqueda & Dong, 2011). Rovi (2010) juga
menjelaskan salah perlakuan terhadap lansia akan meningkatkan resiko kematian setelah
terjadinya penyakit kronis yang mereka miliki, cidera traumatis serta efek psikologis
seperti depresi dan cemas. Selain itu akan adanya dampak fisik yang muncul seperti luka,
gangguan gastrointestinal, kelelahan, tekanan darah tinggi, masalah jantung dan nyeri
kronis. The Chicago Health Aging Project juga melaporkan tindakan salah perlakuan
akan menyebabkan gangguan mental dan kematian setalah 7 sampai 8 tahun kemudian.
Dampak ini terjadi dikarenakan beberapa tindakan salah perlakuan lansia seperti salah
perlakuan fisik, salah perlakuan finansial, salah perlakuan psikologis, salah perlakuan
seksual, dan pengabaian (Joshi & Flaherty, 2005).

2.4 Pencegahan Salah Perlakuan Pada Anak Dan Lansia


a. Pada anak
Salah perlakuan atau kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh
seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau
sejumlah orang yang berposisi lemah (dipandang lemah/ dilemahkan), yang dengan
sarana kekuatannya, baik secara fisik maupun non-fisik dengan sengaja dilakukan untuk
menimbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan. Yang menyebabkan anak rentan
menjadi korban kekerasan adalah : keluarga yang tidak harmonis, orang tua yang
menyalahgunakan zat adiktif atau menderita gangguan mental, pengabaian atau
penelantaran, perilaku tak pantas atau agresif di kelas, gagal atau kurang bertanggung
jawab pada sekolah, kecakapan sosial yang terbatas dan ikut teman yang menggunakan
alkohol atau narkoba atau ikut serta dalam perilaku yang beresiko lainnya. Tindakan
yang dapat dilakukan diantaranya adalah : tindakan Preventif, tindakan edukatif,
tindakan kuratif dan tindakan rehabilitatif. Dalam permasalahan ini peran orang tua,
masyarakat, dan Pemerintah sangatlah penting untuk menjadikan anak dan remaja sehat
fisik dan mental dan dapat hidup di masyarakat dengan sewajarnya.
Kepedulian dan peran aktif dari seluruh lapisan masyarakat dibutuhkan dalam
melakukan perlindungan terhadap hak-hak anak. Namun untuk dapat berperan aktif
dalam program perlindungan tersebut, maka masyarakat perlu diberi pembinaan dan
wawasan pengetahuan, terutama tentang kebutuhan, pola asuh, lingkungan dan
pemenuhan hak-hak dasar anak. Mengingat anak sebagian besar tumbuh dan
berkembang didalam keluarga dan lingkungan sekitarnya, maka peran para aktivis desa
sangatlah penting, khususnya untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat tentang
kebutuhan dan hak-hak anak yang perludilindungi dari berbagai bentuk kekerasan,
intimi-dasi, eksploitasi dan atau tindak kriminal lainnya
b. Pada Lansia
Salah perlakuan terhadap orang usia lanjut merupakan masalah kesehatan yang
serius dan mampu menurunkan kualitas hidup, namun dapat dicegah. Perlakuan salah
dapat dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja oleh pramurawat maupun pasien
sendiri. Perlakuan salah terhadap orang tua merupakan salah satu bentuk cedera yang
dapat dicegah dan merupakan masalah yang serius.
Pengelolaan pasien salah perlakuan hendaknya menggunakan tim multidisiplin
yang terdiri dari dokter (termasuk psikiatri), perawat, pekerja sosial, perwakilan hukum
dan petugas administrasi. Poin penting dalam penangan salah perlakuan terhadap orang
tua yaitu bukan menghukum pelaku, namun secepatnya menghentikan salah perlakuan
tersebut. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana
salah perlakuan terhadap orang tua.Hal pertama yang perlu diperhatikan yaitu
memastikan keamanan pasien dan menghargai otonomi pasien. Penting untuk
melakukan diskusi bersama dengan pasien mengenai rencana selanjutnya. Jika pasien
menolak intervensi, evaluasi ulang apakah pasien dalam kondisi mampu mengambil
keputusan sendiri.

2.5 Peran Perawat Dalam Salah Perlakuan


Umumnya, pasien dan pramurawat diwawancara terpisah dan pasien diwawancara
terlebih dahulu. Hendaknya wawancara dimulai dengan menanyakan hal-hal umum terlebih
dahulu. Dokter perlu mencoba untuk mengetahui berbagai detil kehidupan pasien sehari-
hari, kondisi ekonomi, hubungannya dengan pramurawat dan mengevaluasi status mental
pasien. Jika terdapat kecurigaan adanya salah perlakuan, maka pramurawat perlu
diwawancara. Hal yang perlu diperhatikan yaitu pentingnya membina hubungan (rapport)
dengan menghindari pertanyaan yang sifatnya menghakimi dan berempati sehingga
pramurawat tidak merasa terancam.Wawancara dapat dilakukan di rumah atau di rumah
sakit, sebab perbedaan lokasi tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam partisipasi dan
prevalensi perlakuan salah.
Perlu diperhatikan pula untuk menghindari ketergesaan penanganan. Jika pasien dinilai
dalam kondisi yang membahayakan dan mampu mengambil keputusan sendiri maka pasien
secepatnya dipersiapkan untuk menjauhkan diri dari pelaku dan diberikan pertolongan medis
sesuai kebutuhannya serta disediakan tempat perlindungan sementara. Idealnya, jika pasien
tinggal di rumah milik sendiri, maka diusahakan pelaku kekerasan dijauhkan dari rumahnya
walaupun seringkali hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Selain itu, hal lain yang perlu
diperhatikan yaitu penghargaan terhadap pramurawat. Pramurawat perlu diberikan bantuan
berupa kesempatan untuk beristirahat berkala, pelatihan, bantuan dari kerabat dan teman,
dilibatkan dalam support group serta menangani kondisi medis spesifik yang dimilikinya.

2.5 Jenis-Jenis Salah Perlakuan

a) Pada Anak

1. Emotional Abuse; yakni orang tua/dewasa yang acuh terhadap anak. Misalnya anak
sedang menangis dibiarkan. Ataupun anak bertanya sering tidak dijawab.

2. Verbal Abuse; Orang tua memperlakukan anaknya dengan kata-kata kasar atau
memaki-maki. Misalnya ketika kasar tidak dibenarkan mengeluarkan kata-kata
seperti bodoh, tolol, goblok, dan lainnya.

3. Physical Abuse; Orang tua memperlakukan anak dengan kekerasan fisik. Misalnya
memukul, mencubit, dan menghukum anak dengan kekerasan dan lainnya.

4. Sexual Abuse; Orang tua memberikan kekerasan dan pelecehan sexual kepada anak.

b) Pada Lansia
1. Kekerasan fisik: mencakup tindakan kejahatan yang menyebabkan nyeri, trauma,
gangguan fungsi tubuh atau penyakit (memukul,menendang,mendorong).
2. Pengabaian fisik: kegagalan pramurawat untuk menyiapkan fasilitas/pelayanan yang
dibutuhkan lansia untuk dapat berfungsi optimal atau untuk menghindari bahaya.
Elder Abuse
3. Kekerasan psikologis: kekerasan terhadap mental lansia sehingga menimbulkan
kesedihan yang mendalam (ancaman, caci maki, perlakuan seperti terhadap anak-
anak, atau mengisolasi).
4. Pengabaian psikologis: kegagalan untuk menyediakan kebutuhan sosial bagi lansia
yang tidak mandiri.
5. Penganiayaan finansial atau material: salah guna pendapatan/sumber
finansial/penghasilan seseorang oleh orang lain atau perawat.

2.7 Definisi Kekerasan Interpersonal


Kekerasan Interpersonal (IPV) adalah penggunaan kekuatan atau kekuatan fisik yang
disengaja, diancam atau sebenarnya, terhadap seseorang atau kelompok yang mengakibatkan
atau kemungkinan besar mengakibatkan cedera, kematian, cedera psikologis, perkembangan
yang salah, atau perampasan. IPV dapat dilakukan oleh seseorang yang sedang atau pernah
menjalin hubungan asmara, pasangan atau pasangan, anggota keluarga, sesama penghuni,
atau anggota rumah tangga termasuk teman sekamar.

2.8 Jenis-Jenis Kekerasan Interpersonal


Kekerasan interpersonal dibagi menjadi dua subkategori: Kekerasan dalam keluarga
dan pasangan intim - yaitu, kekerasan yang sebagian besar terjadi antara anggota keluarga
dan pasangan intim, biasanya, meskipun tidak secara eksklusif, terjadi di rumah. Kekerasan
komunitas - kekerasan antara individu yang tidak terkait, dan yang mungkin atau mungkin
tidak saling mengenal, umumnya terjadi di luar rumah. Kelompok pertama mencakup
bentuk-bentuk kekerasan seperti pelecehan anak, kekerasan pasangan intim, dan pelecehan
lansia . Yang terakhir ini mencakup kekerasan remaja, tindak kekerasan
acak, pemerkosaan atau serangan seksual oleh orang asing, dan kekerasan dalam pengaturan
kelembagaan seperti sekolah, tempat kerja, penjara dan panti jompo. Ketika kekerasan
interpersonal terjadi dalam keluarga, konsekuensi psikologisnya dapat memengaruhi orang
tua, anak, dan hubungan mereka dalam jangka pendek dan panjang.
a. Penganiayaan Anak
Penganiayaan anak adalah penganiayaan dan penelantaran yang terjadi pada anak di
bawah usia 18 tahun. Ini mencakup semua jenis perlakuan buruk fisik dan/atau
emosional, pelecehan seksual , penelantaran , kelalaian dan komersial atau eksploitasi
anak lainnya, yang mengakibatkan bahaya aktual atau potensial terhadap kesehatan,
kelangsungan hidup, perkembangan atau martabat anak dalam konteks suatu hubungan.
tanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan. Eksposur kekerasan pasangan intim juga
kadang-kadang dimasukkan sebagai bentuk penganiayaan anak. Penganiayaan anak
merupakan masalah global dengan konsekuensi serius seumur hidup, yang,
bagaimanapun, rumit dan sulit dipelajari.Tidak ada perkiraan global yang dapat
diandalkan untuk prevalensi penganiayaan anak. Data untuk banyak negara, terutama
negara berpenghasilan rendah dan menengah, masih kurang. Perkiraan saat ini sangat
bervariasi tergantung pada negara dan metode penelitian yang digunakan. Sekitar 20%
wanita dan 5–10% pria melaporkan pelecehan seksual saat masih anak-anak, sementara
25–50% dari semua anak melaporkan pelecehan fisik. 
Konsekuensi dari penganiayaan anak termasuk gangguan kesehatan fisik dan
mental seumur hidup, dan fungsi sosial dan pekerjaan (misalnya kesulitan sekolah,
pekerjaan, dan hubungan). Ini pada akhirnya dapat memperlambat pembangunan
ekonomi dan sosial suatu negara. Mencegah penganiayaan anak sebelum dimulai adalah
mungkin dan membutuhkan pendekatan multisektoral. Program pencegahan yang
efektif mendukung orang tua dan mengajarkan keterampilan pengasuhan yang
positif. Perawatan anak dan keluarga yang berkelanjutan dapat mengurangi risiko
terulangnya penganiayaan dan dapat meminimalkan konsekuensinya.
b. Kekerasan Remaja
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, pemuda didefinisikan sebagai orang yang
berusia antara 10 dan 29 tahun. Kekerasan remaja mengacu pada kekerasan yang terjadi
di antara remaja, dan mencakup tindakan yang berkisar dari intimidasi dan perkelahian
fisik, melalui kekerasan seksual dan fisik yang lebih parah hingga pembunuhan. 
Di seluruh dunia sekitar 250.000 pembunuhan terjadi di antara remaja berusia 10–
29 tahun setiap tahun, yang merupakan 41% dari jumlah total pembunuhan secara
global setiap tahun ("Beban Global Penyakit", Organisasi Kesehatan Dunia,
2008). Untuk setiap anak muda yang terbunuh, 20-40 lebih menderita luka yang
membutuhkan perawatan rumah sakit. Kekerasan remaja memiliki dampak yang serius,
seringkali seumur hidup, pada fungsi psikologis dan sosial seseorang. Kekerasan
pemuda sangat meningkatkan biaya kesehatan, kesejahteraan dan layanan peradilan
pidana; mengurangi produktivitas; menurunkan nilai properti; dan secara umum
merusak tatanan masyarakat. 
Program pencegahan yang terbukti efektif atau menjanjikan dalam mengurangi
kekerasan remaja mencakup program keterampilan hidup dan pengembangan sosial
yang dirancang untuk membantu anak-anak dan remaja mengelola kemarahan,
menyelesaikan konflik, dan mengembangkan keterampilan sosial yang diperlukan untuk
memecahkan masalah; program pencegahan anti-intimidasi berbasis sekolah; dan
program untuk mengurangi akses ke alkohol, obat-obatan terlarang, dan senjata.Juga,
mengingat pengaruh lingkungan yang signifikan pada kekerasan pemuda, intervensi
yang melibatkan relokasi keluarga ke lingkungan yang kurang miskin telah
menunjukkan hasil yang menjanjikan.  Demikian pula, proyek pembaruan perkotaan
seperti distrik peningkatan bisnis telah menunjukkan pengurangan kekerasan pemuda.
Berbagai jenis kekerasan remaja pada remaja termasuk menyaksikan atau terlibat
dalam pelecehan fisik, emosional dan seksual (misalnya serangan fisik, penindasan,
pemerkosaan), dan tindakan kekerasan seperti penembakan dan perampokan
geng. Menurut para peneliti pada tahun 2018, "Lebih dari separuh anak-anak dan remaja
yang tinggal di kota telah mengalami beberapa bentuk kekerasan
komunitas." Kekerasan "juga dapat terjadi di bawah satu atap, atau di komunitas atau
lingkungan tertentu dan dapat terjadi pada saat yang sama atau pada tahap kehidupan
yang berbeda."  Kekerasan remaja memiliki dampak buruk jangka pendek dan jangka
panjang baik individu tersebut adalah penerima kekerasan atau saksi kekerasan tersebut.
Kekerasan remaja berdampak pada individu, keluarga mereka, dan
masyarakat. Korban dapat mengalami cedera seumur hidup yang berarti kunjungan
dokter dan rumah sakit yang sedang berlangsung, yang biayanya dengan cepat
bertambah. Karena korban kekerasan remaja-terhadap-remaja mungkin tidak dapat
bersekolah atau bekerja karena cedera fisik dan / atau mental, seringkali bergantung
pada anggota keluarga mereka untuk merawat mereka, termasuk membayar biaya hidup
sehari-hari dan Tagihan medis. Pengasuh mereka mungkin harus melepaskan pekerjaan
mereka atau mengurangi jam kerja untuk memberikan bantuan kepada korban
kekerasan. Hal ini semakin menambah beban masyarakat karena korban dan bahkan
mungkin pengurusnya harus mendapatkan bantuan pemerintah untuk membantu
membayar tagihannya. Penelitian terbaru menemukan bahwa trauma psikologis selama
masa kanak-kanak dapat mengubah otak anak. "Trauma diketahui secara fisik
mempengaruhi otak dan tubuh yang menyebabkan kecemasan, kemarahan, dan
kemampuan untuk berkonsentrasi. Mereka juga dapat memiliki masalah dalam
mengingat, mempercayai, dan membentuk hubungan." Karena otak sudah terbiasa
dengan kekerasan, otak mungkin terus-menerus berada dalam keadaan waspada (mirip
dengan terjebak dalam mode pertarungan atau lari). "Para peneliti menyatakan bahwa
remaja yang mengalami kekerasan mungkin memiliki masalah emosional, sosial, dan
kognitif. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosi,
memperhatikan di sekolah, menarik diri dari teman, atau menunjukkan tanda-tanda
gangguan stres pasca-trauma". 
Penting bagi remaja yang terkena kekerasan untuk memahami bagaimana tubuh
mereka dapat bereaksi sehingga mereka dapat mengambil langkah positif untuk
melawan kemungkinan efek negatif jangka pendek dan jangka panjang (misalnya,
konsentrasi yang buruk, perasaan depresi, tingkat kecemasan yang meningkat). Dengan
mengambil langkah segera untuk mengurangi efek trauma yang mereka alami, dampak
negatif dapat dikurangi atau dihilangkan. Sebagai langkah awal, para remaja perlu
memahami mengapa mereka mungkin merasakan hal tertentu dan memahami
bagaimana kekerasan yang mereka alami dapat menyebabkan perasaan negatif dan
membuat mereka berperilaku berbeda. Mengejar kesadaran yang lebih besar tentang
perasaan, persepsi, dan emosi negatif mereka adalah langkah pertama yang harus
diambil sebagai bagian dari pemulihan dari trauma yang mereka alami. “Penelitian ilmu
saraf menunjukkan bahwa satu-satunya cara kita dapat mengubah perasaan kita adalah
dengan menyadari pengalaman batin kita dan belajar berteman dengan apa yang terjadi
di dalam diri kita”.
Beberapa cara untuk memerangi efek merugikan dari kekerasan remaja adalah
dengan mencoba berbagai aktivitas kesadaran dan gerakan, latihan pernapasan dalam,
dan tindakan lain yang memungkinkan remaja untuk melepaskan emosi mereka yang
terpendam. Menggunakan teknik ini akan mengajarkan kesadaran tubuh, mengurangi
kecemasan dan kegugupan, serta mengurangi perasaan marah dan jengkel.  Seiring
waktu, jenis kegiatan ini akan membantu para korban kekerasan yang lebih muda untuk
memiliki kendali yang lebih besar atas perasaan dan perilaku mereka dan menghindari
cara-cara yang tidak sehat untuk mengatasi masalah tersebut. Cara lain untuk membantu
korban trauma kekerasan remaja adalah melalui seni. Hal ini dapat dicapai dengan
memberi mereka kesempatan untuk terlibat dalam menggambar, melukis, musik, dan
bernyanyi yang akan memberi mereka jalan keluar untuk mengekspresikan diri dan
emosi mereka dengan cara yang positif.
Remaja yang mengalami kekerasan mendapat manfaat dari memiliki hubungan
dekat dengan satu orang atau lebih. Ini penting karena para korban trauma perlu
memiliki orang-orang yang aman dan dapat dipercaya yang dapat mereka ceritakan dan
bicarakan tentang pengalaman mengerikan mereka. Beberapa remaja tidak memiliki
sosok dewasa di rumah atau seseorang yang dapat mereka andalkan untuk bimbingan
dan penghiburan. Sekolah di lingkungan yang buruk di mana kekerasan remaja sering
terjadi harus menugaskan konselor untuk setiap siswa sehingga mereka menerima
bimbingan secara teratur. Selain sesi dan program konseling/terapi, sekolah
direkomendasikan untuk menawarkan program mentoring di mana siswa dapat
berinteraksi dengan orang dewasa yang dapat memberikan pengaruh positif pada
mereka. Cara lain adalah dengan membuat lebih banyak program lingkungan untuk
memastikan bahwa setiap anak memiliki tempat yang positif dan stabil untuk pergi
ketika sekolah tidak dalam sesi. Banyak anak telah mendapatkan manfaat dari
organisasi formal sekarang yang bertujuan untuk membantu membimbing dan
menyediakan lingkungan yang aman bagi kaum muda terutama mereka yang tinggal di
lingkungan dengan tingkat kekerasan yang lebih tinggi. Ini termasuk organisasi seperti
Becoming a Man, Cease Fire Illinois, Chicago Area Project, Little Black Pearl, dan
Rainbow House ". Program ini dirancang untuk membantu memberikan remaja tempat
yang aman untuk pergi, menghentikan kekerasan terjadi, menawarkan konseling dan
pendampingan untuk membantu menghentikan siklus kekerasan. Jika remaja tidak
memiliki tempat yang aman untuk dikunjungi setelah jam sekolah, mereka
kemungkinan akan mendapat masalah, menerima nilai buruk, putus sekolah dan
menggunakan narkoba dan alkohol. Geng-geng tersebut mencari remaja yang tidak
memiliki pengaruh positif dalam kehidupannya dan membutuhkan perlindungan, oleh
karena itu program-program ini sangat penting bagi remaja untuk memiliki lingkungan
yang aman daripada harus turun ke jalan
c. Kekerasan Pasangan Intim
Kekerasan pasangan intim mengacu pada perilaku dalam hubungan intim yang
menyebabkan kerusakan fisik, seksual atau psikologis, termasuk agresi fisik, pemaksaan
seksual, pelecehan psikologis dan perilaku pengendalian. 
Survei tingkat populasi berdasarkan laporan dari para korban memberikan perkiraan
paling akurat tentang prevalensi kekerasan pasangan intim dan kekerasan seksual di
lingkungan non-konflik. Sebuah studi yang dilakukan oleh WHO di 10 negara
berkembang menemukan bahwa, di antara wanita berusia 15 hingga 49 tahun, antara
15% (Jepang) dan 70% (Ethiopia dan Peru) wanita melaporkan kekerasan fisik dan /
atau seksual oleh seorang intim. pasangan.
Pasangan intim dan kekerasan seksual memiliki masalah kesehatan fisik, mental,
seksual dan reproduksi jangka pendek dan panjang yang serius bagi korban dan anak-
anak mereka, dan mengakibatkan biaya sosial dan ekonomi yang tinggi. Ini termasuk
cedera fatal dan non-fatal, depresi dan gangguan stres pascatrauma, kehamilan yang
tidak diinginkan , infeksi menular seksual, termasuk HIV.
Faktor-faktor yang terkait dengan terjadinya dan mengalami kekerasan pasangan
intim adalah tingkat pendidikan yang rendah, riwayat kekerasan sebagai pelaku, korban
atau saksi kekerasan orang tua, penggunaan alkohol yang berbahaya, sikap yang
menerima kekerasan serta perselisihan perkawinan dan ketidakpuasan. Faktor yang
hanya terkait dengan terjadinya kekerasan pada pasangan intim adalah memiliki banyak
pasangan, dan gangguan kepribadian antisosial.
Sebuah teori baru-baru ini bernama "The Criminal Spin" menunjukkan efek roda
gila timbal balik antara mitra yang dimanifestasikan oleh eskalasi kekerasan. Putaran
kekerasan dapat terjadi dalam bentuk kekerasan lainnya, tetapi dalam kekerasan
pasangan intim nilai tambahnya adalah putaran timbal balik, berdasarkan situasi dan
karakteristik unik dari hubungan intim.
Strategi pencegahan utama dengan bukti terbaik untuk efektivitas kekerasan
pasangan intim adalah program berbasis sekolah untuk remaja untuk mencegah
kekerasan dalam hubungan kencan. Bukti muncul untuk keefektifan beberapa strategi
pencegahan utama lainnya - yang: menggabungkan keuangan mikro dengan pelatihan
kesetaraan gender;mempromosikan keterampilan komunikasi dan hubungan dalam
komunitas; mengurangi akses ke, dan penggunaan alkohol yang berbahaya; dan
mengubah norma gender budaya.
d. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah tindakan seksual apa pun, upaya untuk mendapatkan
tindakan seksual, komentar atau rayuan seksual yang tidak diinginkan, atau tindakan
untuk memperdagangkan, atau dengan cara lain diarahkan terhadap seksualitas
seseorang dengan menggunakan paksaan, oleh siapa pun terlepas dari hubungannya
dengan korban, dalam situasi apa pun. Ini termasuk pemerkosaan, yang didefinisikan
sebagai penetrasi vulva atau anus yang dipaksa atau dipaksa secara fisik dengan penis,
bagian tubuh atau benda lain. 
Survei tingkat populasi berdasarkan laporan korban memperkirakan bahwa antara
0,3–11,5% perempuan melaporkan mengalami kekerasan seksual.  Kekerasan seksual
memiliki konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang yang serius pada kesehatan
fisik, mental, seksual dan reproduksi bagi korban dan anak-anak mereka seperti yang
dijelaskan pada bagian tentang kekerasan pasangan intim. Jika dilakukan selama masa
kanak-kanak, kekerasan seksual dapat menyebabkan peningkatan
merokok, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, dan perilaku seksual berisiko di
kemudian hari. Hal ini juga terkait dengan tindak kekerasan dan menjadi korban
kekerasan.
Banyak faktor risiko kekerasan seksual yang sama dengan kekerasan dalam rumah
tangga . Faktor risiko khusus untuk kekerasan seksual termasuk keyakinan akan
kehormatan keluarga dan kemurnian seksual, ideologi hak seksual laki-laki dan sanksi
hukum yang lemah untuk kekerasan seksual.
Beberapa intervensi untuk mencegah kekerasan seksual terbukti efektif. Program
berbasis sekolah untuk mencegah pelecehan seksual terhadap anak dengan mengajar
anak-anak mengenali dan menghindari situasi yang berpotensi pelecehan seksual
dijalankan di banyak bagian dunia dan tampak menjanjikan, tetapi membutuhkan
penelitian lebih lanjut. Untuk mencapai perubahan yang langgeng, penting untuk
memberlakukan undang-undang dan mengembangkan kebijakan yang melindungi
perempuan; menangani diskriminasi terhadap perempuan dan mempromosikan
kesetaraan gender; dan membantu menjauhkan budaya dari kekerasan.
e. Penganiayaan Lansia
Penganiayaan lansia adalah tindakan tunggal atau berulang, atau kurangnya
tindakan yang sesuai, yang terjadi dalam hubungan apa pun di mana ada harapan
kepercayaan yang menyebabkan kerugian atau tekanan pada orang yang lebih tua. Jenis
kekerasan ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan
meliputi fisik, seksual, psikologis, emosional; penyalahgunaan keuangan dan material;
ditinggalka; mengabaikan; dan kehilangan martabat danrasa hormat yang serius.
Meskipun ada sedikit informasi mengenai tingkat penganiayaan pada populasi
lansia, terutama di negara berkembang, diperkirakan bahwa 4-6% lansia di negara
berpenghasilan tinggi telah mengalami beberapa bentuk penganiayaan di rumah. Namun
demikian , para lansia seringkali takut untuk melaporkan kasus penganiayaan kepada
keluarga, teman, atau pihak berwenang. Data tentang sejauh mana masalah di institusi
seperti rumah sakit, panti jompo dan fasilitas perawatan jangka panjang lainnya
langka. Penganiayaan lansia dapat menyebabkan cedera fisik yang serius dan
konsekuensi psikologis jangka panjang. Penganiayaan lansia diperkirakan akan
meningkat karena banyak negara mengalami populasi yang menua dengan cepat.
Banyak strategi telah diterapkan untuk mencegah penganiayaan lansia dan untuk
mengambil tindakan terhadapnya dan mengurangi konsekuensinya termasuk kampanye
kesadaran publik dan profesional, penyaringan (calon korban dan pelaku), intervensi
dukungan pengasuh (misalnya manajemen stres, perawatan istirahat), layanan
perlindungan orang dewasa dan kelompok swadaya. 

2.9 Faktor Penyebab Kekerasan Interpersonal


Kekerasan tidak dapat dikaitkan dengan satu faktor. Penyebabnya kompleks dan
terjadi pada tingkat yang berbeda. Untuk merepresentasikan kompleksitas ini, model ekologi
atau ekologi sosial sering digunakan. Model ekologi versi empat tingkat berikut ini sering
digunakan dalam studi tentang kekerasan:
Tingkat pertama mengidentifikasi faktor biologis dan pribadi yang mempengaruhi
bagaimana individu berperilaku dan meningkatkan kemungkinan menjadi korban atau
pelaku kekerasan: karakteristik demografis (usia, pendidikan, pendapatan), genetika , lesi
otak , gangguan kepribadian , penyalahgunaan zat , dan riwayat mengalami, menyaksikan,
atau terlibat dalam perilaku kekerasan.
Tingkat kedua berfokus pada hubungan dekat, seperti hubungan dengan keluarga dan
teman. Dalam kekerasan remaja, misalnya, memiliki teman yang terlibat atau mendorong
kekerasan dapat meningkatkan risiko remaja menjadi korban atau pelaku kekerasan. Untuk
kekerasan pasangan intim, penanda yang konsisten pada model level ini adalah konflik atau
perselisihan perkawinan dalam hubungan. Dalam pelecehan lansia , faktor penting adalah
stres karena sifat hubungan masa lalu antara orang yang dianiaya dan pemberi perawatan.
Tingkat ketiga mengeksplorasi konteks komunitas, yaitu sekolah, tempat kerja, dan
lingkungan sekitar. Risiko pada tingkat ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
keberadaan perdagangan narkoba lokal, tidak adanya jaringan sosial, dan kemiskinan yang
terkonsentrasi. Semua faktor ini terbukti penting dalam beberapa jenis kekerasan.
Akhirnya, tingkat keempat melihat pada faktor-faktor sosial yang luas yang membantu
menciptakan iklim di mana kekerasan didorong atau dihambat: responsivitas sistem
peradilan pidana, norma sosial dan budaya mengenai peran gender atau hubungan orang tua-
anak, ketidaksetaraan pendapatan , kekuatan sistem kesejahteraan sosial, akseptabilitas
sosial dari kekerasan, ketersediaan senjata, paparan kekerasan di media massa, dan
ketidakstabilan politik.
a. Mengasuh Anak
Sementara studi yang menunjukkan hubungan antara hukuman fisik pada anak-
anak dan agresi di kemudian hari tidak dapat membuktikan bahwa hukuman fisik
menyebabkan peningkatan agresi, sejumlah studi longitudinal menunjukkan bahwa
pengalaman hukuman fisik memiliki efek kausal langsung pada perilaku agresif di
kemudian hari.  Studi lintas budaya telah menunjukkan bahwa prevalensi hukuman
fisik yang lebih besar pada anak-anak cenderung memprediksi tingkat kekerasan yang
lebih tinggi dalam masyarakat. Misalnya, analisis tahun 2005 terhadap 186 masyarakat
pra-industri menemukan bahwa hukuman fisik lebih lazim di masyarakat yang juga
memiliki tingkat pembunuhan, penyerangan, dan perang yang lebih tinggi.Di Amerika
Serikat, hukuman fisik dalam rumah tangga telah dikaitkan dengan tindakan kekerasan
di kemudian hari terhadap anggota keluarga dan pasangan.Peneliti kekerasan keluarga
Amerika, Murray A. Straus, percaya bahwa pukulan disipliner membentuk "bentuk
kekerasan yang paling umum dan penting dalam keluarga Amerika", yang pengaruhnya
berkontribusi pada beberapa masalah sosial utama, termasuk kekerasan dalam rumah
tangga dan kejahatan di kemudian hari.
b. Psikologi
Penyebab perilaku kekerasan pada masyarakat seringkali menjadi topik penelitian
di bidang psikologi . Ahli saraf Jan Vodka menekankan bahwa, untuk tujuan tersebut,
"perilaku kekerasan didefinisikan sebagai perilaku agresif secara fisik yang terbuka dan
disengaja terhadap orang lain."
Berdasarkan gagasan tentang sifat manusia, para ilmuwan setuju bahwa kekerasan
melekat pada manusia. Di antara manusia prasejarah, ada bukti arkeologis untuk
pertikaian tentang kekerasan dan kedamaian sebagai karakteristik utama. 
Karena kekerasan adalah masalah persepsi dan juga fenomena yang dapat diukur,
psikolog telah menemukan variabilitas dalam hal apakah orang menganggap tindakan
fisik tertentu sebagai "kekerasan". Misalnya, dalam keadaan di mana eksekusi adalah
hukuman yang disahkan, kami biasanya tidak menganggap algojo sebagai "kekerasan",
meskipun kami dapat berbicara, dengan cara yang lebih metaforis, tentang negara yang
bertindak dengan kekerasan. Demikian pula, pemahaman tentang kekerasan terkait
dengan hubungan agresor-korban yang dirasakan: oleh karena itu, psikolog telah
menunjukkan bahwa orang mungkin tidak mengenali penggunaan kekuatan defensif
sebagai kekerasan, bahkan dalam kasus di mana jumlah kekuatan yang digunakan jauh
lebih besar daripada dalam agresi asli. 
Konsep normalisasi kekerasan, dikenal sebagai sanksi sosial atau kekerasan
struktural , dan merupakan topik yang semakin menarik bagi para peneliti yang
mencoba memahami perilaku kekerasan. Ini telah dibahas panjang lebar oleh para
peneliti dalam sosiologi, antropoligi, medis, psikologi, psikiatri, filsafat, dan
bioarkeologi.
Psikologi evolusioner menawarkan beberapa penjelasan untuk kekerasan manusia
dalam berbagai konteks, seperti kecemburuan seksual pada manusia,  pelecehan anak,
dan pembunuhan .Goetz (2010) berpendapat bahwa manusia mirip dengan kebanyakan
spesies mamalia dan menggunakan kekerasan dalam situasi tertentu. Dia menulis bahwa
"Buss dan Shackelford (1997a) mengusulkan tujuh masalah adaptif yang berulang kali
dihadapi nenek moyang kita yang mungkin telah diselesaikan dengan agresi:
mengkooptasi sumber daya orang lain, mempertahankan diri dari serangan,
menimbulkan kerugian pada saingan sesama jenis, menegosiasikan status dan hierarki ,
mencegah saingan dari agresi di masa depan, mencegah pasangan dari perselingkuhan,
dan mengurangi sumber daya yang dihabiskan untuk anak-anak yang secara genetik
tidak terkait. "
Goetz menulis bahwa sebagian besar kasus pembunuhan tampaknya dimulai dari
perselisihan yang relatif sepele antara pria yang tidak terkait yang kemudian meningkat
menjadi kekerasan dan kematian. Ia berpendapat, konflik semacam itu terjadi ketika ada
sengketa status antar laki-laki yang statusnya relatif sama. Jika ada perbedaan status
awal yang besar, maka individu dengan status yang lebih rendah biasanya tidak
menawarkan tantangan dan jika ditantang, individu dengan status yang lebih tinggi
biasanya mengabaikan individu dengan status yang lebih rendah. Pada saat yang sama,
lingkungan yang sangat tidak setara di antara orang-orang dapat menyebabkan mereka
yang berada di bawah menggunakan lebih banyak kekerasan dalam upaya untuk
mendapatkan status.
c. Media
Penelitian media dan kekerasan meneliti apakah ada hubungan antara
mengonsumsi kekerasan media dan perilaku agresif dan kekerasan
selanjutnya. Meskipun beberapa ahli telah mengklaim kekerasan media dapat
meningkatkan agresi,  pandangan ini semakin diragukan baik di komunitas ilmiah  dan
ditolak oleh Mahkamah Agung AS dalam kasus Brown v EMA , serta dalam tinjauan
tentang kekerasan video game oleh Pemerintah Australia (2010) yang menyimpulkan
bukti efek berbahaya tidak meyakinkan dan retorika beberapa sarjana tidak cocok
dengan data yang baik.

2.10 Dampak yang ditimbulkan kekerasan interpersonal pada anak


Anak-anak tumbuh dan berkembang dengan baik bila mereka menerima segala
kebutuhannya dengan optimal. Jika salah satu kebutuhan baik asuh, asih, maupun asah
tidak terpenuhi maka akan terjadi kepincangan dalam tumbuh kembang mereka. Dampak
yang terjadi dapat secara langsung maupun tidak langsung atau dampak jangka pendek dan
dampak jangka panjang. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami child
abuse, pada umumnya lebih lambat dari pada anak yang normal yaitu :
a) Dampak langsung terhadap kejadian child abuse 5% mengalami kematian, 25%
mengalami komplikasi serius seperi patah tulang, luka bakar, cacat menetap.
b) Terjadi kerusakan menetap pada susunan saraf yang dapat mengakibatkan retardasi
mental, masalah belajar/ kesulitan belajar, buta, tuli, masalah dalam perkembangan
motor/ pergerakan kasar dan halus, kejadian kejang, ataksia, ataupun hidrosefalus.
c) Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya, tetapi Oates
dkk pada tahun 1984 mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna dalam
tinggi badan dan berat dengan anak normal.
d) Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan yaitu,
1. Kecerdasan, berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam
perkembangan kognitif, bahasa, membaca, dan motorik. Retardasi mental dapat
diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena malnutrisi. Anak juga
kurang mendapat stimulasi adekuat karena gangguan emosi.
2. Emosi, masalah yang sering dijumpai adalah gangguan emosi, kesulitan
belajar/sekolah, kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan teman, kehilangan
kepercayaan diri, fobia cemas, dan dapat juga terjadi pseudomaturitas emosi.
Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa, atau
menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak suka mengompol, hiperaktif, perilaku
aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, temper tantrum.
3. Konsep diri, anak yang mendapat kejadian child abuse merasa dirinya jelek, tidak
dicintai, tidak dikehendaki, muram dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi
aktifitas dan melakukan percobaan bunuh diri.
4. Agresif, anak yang mendapat kejadian child abuse lebih agresif terhadap teman
sebaya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orang tua mereka atau
mengalihkan perasaan agaresif kepada teman sebayanya sebagai hasil kurangnya
konsep diri. - Hubungan sosial, pada anak-anak tersebut kurang dapat bergaul
dengan teman sebaya atau dengan orang dewasa, misalnya melempari batu,
perbuatan kriminal lainnya.
5. Akibat dari sexual abuse, tanda akibat trauma atau infeksi lokal, seperti nyeri
perineal, sekret vagina, nyeri dan perdarahan anus; Tanda gangguan emosi,
misalnya konsentrasi kurang, enuresis, enkopresis, anoreksia dan perubahan
tingkah laku, kurang percaya diri, sering menyakiti diri sendiri, dan sering
mencoba bunuh diri; Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak
sesuai dengan umurnya.

Tipologi Kekerasan dan Dampaknya.


Berdasarkan pada tipe kekerasan, sebagaimana disebutkan sebelumnya, masingmasing
kekerasan dapat didefinisikan sebagai berikut. Krug et, al (2002); mendefinisikan sebagai
berikut:
1. Kekerasan fisik sebagai tindakan yang menghasilkan kerugian fisik dari interaksi
dengan orang tua atau orang yang bertanggung jawab, dan memiliki kekuasaan.
Bentuknya seperti memukul, mendorong, menjambak, melukai dalam bentuk tindakan
fisik.
2. Kekerasan seksual adalah keterlibatan anak dalam aktivitas hubungan seksual yang
tidak sepenuhnya dipahami anak, tidak disetujui, atau secara perkembangan tidak siap
dan tidak dapat memberikan persetujuan. Bahkan dapat dianggap sebagai tindakan
melanggar hukum atau diangggap tabu oleh masyarakat. Pelecehan seksual terhadap
anak dilakukan antara anak dan orang dewasa atau yang memiliki hubungan tanggung
jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Aktivitas yang dimaksudkan untuk memuaskan
kebutuhan orang lain meliputi memegang, meraba alat vital, mempertontonkan alat
vital, memaksa atau mengancam untuk berbuat asusila, sampai pada pemerkosan.
3. Kekerasan psikologis atau emosional yakni kegagalan memberikan tumbuh kembang
sesuai dengan perkembangan, kurangnya lingkungan yang mendukung dan figur
kelekatan (attachment primer), sehingga kompetensi emosi dan sosial tidak dapat
berkembang stabil sesuai dengan potensi diri dan tuntutan masyarakat di mana anak
tinggal. Tindakan tersebut, sangat besar kemunginannya menyebabkan kondisi
kesehatan atau fisik, perkembangan mental, spiritual, moral atau sosial yang buruk.
Hal tersebut dilakukan oleh orang tua atau orang yang bertanggung jawab dan
memiliki kekuasaan. Bentuk kekerasan emosi bisa berupa non verbal atau atau non-
fisik seperti permusuhan atau penolakan perawatan, merusak terhadap barang atau
hewan peliharaannya, memutus komunikasi, meremehkan, merendahkan,
mengkambing hitamkan, mengancam, menakutinakuti, mendiskri-minasi, perkataan
yang menyudutkan atau menyalahkan anak atasperlakuan anak, mengejek, mengkritik
yang berlebihan, memberi nama (labelling) yang tidak menyenangkan, menghina,
mengancam.
4. Penelantaran (neglect) yaitu kegagalan orang tua atau yang bertanggung jawab untuk
menyediakan kebutuhan terkait perkembangan anak di bidang: kesehatan, pendidikan,
perkembangan emosi, nutrisi, tempat tinggal, dan kondisi kehidupan yang aman, pada konteks
keluarga atau pengasuh. Dampaknya anak akan mengalami gangguan pada kesehatan atau
fisik, pengembangan mental, spiritual, moral atau sosial. Termasuk kegagalan untuk
mengawasi dan melindungi anak-anak dari bahaya.

2.11 Pencegahan Kekerasan Interpersonal


Sebuah tinjauan literatur ilmiah oleh Organisasi Kesehatan Dunia tentang efektivitas
strategi untuk mencegah kekerasan antarpribadi mengidentifikasi tujuh strategi di bawah
ini sebagai didukung oleh bukti yang kuat atau yang muncul untuk efektivitas. Strategi-
strategi ini menargetkan faktor-faktor risiko di keempat tingkat model ekologi.
a. Hubungan Pengasuh Anak
Di antara program yang paling efektif untuk mencegah penganiayaan anak dan
mengurangi agresi masa kanak-kanak adalah program kunjungan rumah Nurse Family
Partnership dan Triple P (Program Parenting) . Ada juga bukti yang muncul bahwa
program-program ini mengurangi hukuman dan tindakan kekerasan pada masa remaja
dan awal masa dewasa, dan mungkin membantu mengurangi kekerasan pasangan
intim dan kekerasan mandiri di kemudian hari. 
b. Keterampilan Hidup Di Masa Muda
Bukti menunjukkan bahwa kecakapan hidup yang diperoleh dalam program
pembangunan sosial dapat mengurangi keterlibatan dalam kekerasan, meningkatkan
keterampilan sosial, meningkatkan prestasi pendidikan, dan meningkatkan prospek
kerja. Kecakapan hidup mengacu pada kompetensi sosial, emosional, dan perilaku
yang membantu anak-anak dan remaja secara efektif menghadapi tantangan kehidupan
sehari-hari.
c. Kesetaraan Gender
Studi evaluasi mulai mendukung intervensi komunitas yang bertujuan untuk
mencegah kekerasan terhadap perempuan dengan mempromosikan kesetaraan
gender. Misalnya, bukti menunjukkan bahwa program yang menggabungkan keuangan
mikro dengan pelatihan kesetaraan gender dapat mengurangi kekerasan pasangan
intim.  Program berbasis sekolah seperti program Safe Dates di Amerika Serikat dan
Youth Relationship Project di Kanada terbukti efektif untuk mengurangi kekerasan
dalam kencan.
d. Norma Budaya
Aturan atau ekspektasi perilaku - norma - dalam budaya atau kelompok sosial
dapat mendorong terjadinya kekerasan. Intervensi yang menantang norma budaya
dan sosial yang mendukung kekerasan dapat mencegah tindak kekerasan dan telah
digunakan secara luas, tetapi basis bukti untuk efektivitasnya saat ini
lemah. Efektivitas intervensi menangani kekerasan dalam pacaran dan pelecehan
seksual di kalangan remaja dan dewasa muda dengan menantang norma sosial dan
budaya yang terkait dengan gender didukung oleh beberapa bukti.
e. Program Pendukung
Intervensi untuk mengidentifikasi korban kekerasan interpersonal dan
memberikan perawatan dan dukungan yang efektif sangat penting untuk melindungi
kesehatan dan memutus siklus kekerasan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Contoh-contoh di mana bukti keefektifan muncul termasuk: alat skrining
untuk mengidentifikasi korban kekerasan pasangan intim dan merujuk mereka ke
layanan yang sesuai:  intervensi psikososial - seperti terapi perilaku kognitif yang
berfokus pada trauma - untuk mengurangi masalah kesehatan mental yang terkait
dengan kekerasan, termasuk gangguan stres pasca-trauma; dan perintah perlindungan,
yang melarang pelaku untuk menghubungi korban,untuk mengurangi pengulangan
viktimisasi di antara korban kekerasan pasangan intim

Strategi Untuk Mencegah Perlakuan Salah Pada Anak :


Maka orang tua atau Pengasuh dapat diberikan:
1. Bimbingan tentang cara-cara pengelolaan stress yang dialami, agar tingkat
parenting stress menurun. Jika perlu diberikan therapy psikologis terhadap stress
yang cukup menghawatirkan. Pengelolaan bagi Parenting stress, menjadi penting
bagi pengasuhan dan penyesuaian dalam keluarga karena memiliki hubungan
signifikan terhadap perilaku kekerasan anak dalam rumah tangga. (Kuntoro,
Kinanti AR. 2016). Hal ini dikuatkan dengan pendapat Berry & Jones (1995)
bahwa orang tua yang mengalami parenting stress akan menunjukkan sikap tidak
memberi dukungan, mudah tersinggung, dan hanya sedikit memberi kasih sayang
kepada anaknya. Selain itu, mereka juga akan menjadi bersikap kasar, kritis,dan
kaku dalam menghadapi anaknya.
2. Pembelajaran tentang cara pemberian dukungan psikologis selama dalam
pengasuhan agar memiliki kemampuan kelekatan yang aman. (secure attachment).
Jika perlu melakukan psikoterapi pada orang tua atau keluarga dengan fokus
untuk meningkatkan kelekatan antara anak dan orang tua.
3. Pembelajaran tentang pengaturan emosi (menajemen emosi) selama proses
pengasuhan agar tingkat hormon stresnya menurun, anak dapat menjadi tenang
saat berperilaku kurang menyenangkan (menangis atau gelisah) bukan kembali
melakukan perlawanan.
4. Pemahaman tentang deteksi dini terhadap anak yang telah mengalami kekerasan
berdasarkan ciri-ciri dari perilaku dan kepribadiannya, sehingga dapat segera
mendapatkan pertolongan dan menghindarkan dampak lanjutan.
5. Pelatihan untuk merubah interpretasi anak atas pengalaman emosional yang
kurang menyenangkan menjadi motivasi yang mendorong anak berperilaku
sebaliknya. Apabila orang tua tidak mampu atau tidak memiliki kemampuan
untuk mengasuh anaknya, maka dapat memperoleh lingkungan pendukung,
sehingga anak tetap terlindungi dan hak-hak anak tetap terpenuhi. Anak tetap
perlu mendapatkan pengasuhan karena anak tanpa pengasuhan memiliki
kecenderungan mengantarkan anak pada kekerasan psikologis. (Unicef, 2007).
Hal tersebut dapat dilakukan dengan mencari alternatif pengasuhan ke kerabat
terdekat atau lembaga layanan. Pengasuh dari kerabat tetap memerlukan
dampingan agar mampu memiliki hubungan harmonis dengan anak. Menekankan
pada Pengasuh atau orang tua pengganti untuk tidak melakukan kekerasan, karena
kekerasan terhadap anak sebagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi anak dan
remaja.

2.12 Peran Perawat


1) Pengertian Peran
Peran pada dasarnya adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang
lain terhadap seseorang,sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh
keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar yang besifat stabil (Kozier dan Barbara,
1995). Peran perawat adalah segenap kewenangan yang dimiliki oleh perawat untuk
menjalankan tugas dan fungsinya sesuai kompetensi yang dimilikinya (Gaffar, 2005).
Menurut (Lokakarya Nasional,1996) Peran perawat adalah sebagai pelaksana
pelayanan keperawatan, pengelola pelayanan keperawatan dan institusi
pendidikan,sebagai pendidik dalam keperawatan, peneliti dan pengembangan
keperawatan. atau peran perawat adalah cara untuk menyatakan aktivitas perawat dalam
praktek,dimana telah menyelesaikan pendidikan formalnya diakui.

Setiap peran memiliki 3 elemen, yaitu (Blais, 2006) :

a. Peran ideal Peran ideal mengacu pada hak dan tanggung jawab terkait peran yang
secara sosial dianjurkan atau disepakati.
b. Peran yang dipersepsikan Peran yang mengacu pada bagaimana penerimaan peran
(orang yang menerima peran) percaya dirinya harus berperilaku dalam peran
tersebut.
c. Peran yang ditampilkan Peran yang mengacu pada apa yang sebenarnya dilakukan
oleh penerima peran.
2) Pengertian perawat
Perawat adalah tenaga profesional yang mempunyai pendidikan dalam sistem
pelayanan kesehatan.Kedudukannya dalam sistem ini adalah anggota tim kesehatan yang
mempunyai wewenang dalam penyelenggaraan pelayanan keperawatan (Kozier, Barbara
1995).
3) Peran Perawat di Rumah sakit
Peran perawat menurut konsorium ilmu kesehatan tahun1989 terdiri dari peran
sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokad pasien, pendidik, koordinator, konsultan,
dan peneliti yang dapat digambarkan sebagai berikut (Hidayat, 2008) terdiri dari :
a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan
Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar
manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan
menggunakan proses keperawatan.
b. Peran sebagai advokat pasien
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu pasien dan keluarganya dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain
khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan
kepada pasien.Juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien
yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang
penyakitnya dan hak atas privasi.
c. Peran edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu pasien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan,gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga
terjadi perubahan perilaku dari pasien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
d. Peran koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi
pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan
dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan pasien.
e. Peran kolaborator
Peran perawat di sini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang
terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lainlain dengan berupaya
mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar
pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.
f. Peran konsultan
Di sini perawat berperan sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan
keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan pasien
terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.
g. Peran pembaharu
Peran ini dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan
yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.
4) Faktor-faktor yang mempengaruhi peran Peran adalah sebagian dari perilaku, menurut
Green Lawrence (1990) dalam (Notoatmojo, 2003) perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor
utama yaitu:
a. Predisposing factors
Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan,
tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial
ekonomi dan 10 sebagainya, faktor-faktor ini terutama yang positif mempermudah
terwujudnya perilaku maka sering disebut faktor pemudah.
b. Enabling factors
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan,bagi masyarakat misalnya air bersih,tempat pembuangan tinja. Ketersedian
makanan yang bergizi dan sebagainya.Temasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan
seperti puskesmas,rumah sakit,poliklinik,posyandu, polindes,pos obat desa,dokter
atau bidan,praktek swasta dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat masyarakat
memerlukan sarana dan prasarana pen-dukung. Fasilitas ini pada hakekatnya
mendukung atau memungkinkan terjadinya perilaku kesehatan maka faktor-faktor ini
disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin.
c. Reinforcing factors
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh
agama,sikap dan perilaku para petugas kesehatan.Untuk berperilaku sehat
masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan
dukungan fasilitaf saja melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh
masyarakat, tokoh agama para petugas, lebih-lebih para petugas kesehatan.

2.13 Fungsi Perawat


Fungsi adalah pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan peranannya. Dalam
menjalankan perannya, perawat akan melaksanakan berbagai fungsi diantaranya :
1. Seven Function of the nurse (Phaneuf 1971)
a. Melaksanakan perintah dokter yang syah dalam rangka penyembuhan penyakit
(fungsi dependent).
b. Observasi gejala dan reaksi penderita berkaitan dengan penyakit dan
penyebabnya.
c. Mengawasi pasien, memformulasikan dan merevisi rencana keperawatan secara
terus menerus tergantung pada kondisi dan kemampuan pasien.
d. Mengawasi segala pihak yang ikut merawat pasien dan mempertimbangkan
kemampuan mereka dalam merawat.
e. Pencatatan dan pelaporan keadaan pasien.
f. Menerapkan dan melaksanakan prosedur dan teknik keperawatan.
g. Pengarahan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan emosional.
2. Fungsi Perawat ( PK ST. Carolus 1983 )
a. Fungsi Pokok
Membantu individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat dalam
melaksanakan kegiatan yang menunjang kesehatan, penyembuhan atau
menghadapi kematian dengan tenang sesuai dengan martabat manusia yang pada
hakekatnya dapat mereka laksanakan tanpa bantuan.
b. Fungsi Tambahan
Membantu individu, keluarga dan masyarakat dalam melaksanakan rencana
pengobatan yang ditentukan oleh dokter.
c. Fungsi Kolaboratif
Sebagai anggota tim kesehatan, bekerja sama saling membantu dalam
merencanakan dan melaksanakan program kesehatan secara keseluruhan yang
meliputi pencegahan penyakit, peningkatkan kesehatan, penyembuhan dan
rehabilitasi.
3. Menurut kozier (1991) mengemukakan fungsi perawat :
a. Fungsi Keperawatan Mandiri (Independen)
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana perawat
dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri
dalam melakukan tindakan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia
seperti pemenuhan kebutuhan fisiologis (pemenuhan kebutuhan oksigenasi,
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit, pemenuhan kebutuhan nutrisi,
pemenuhan kebutuhan aktifitas dan lain-lain), pemenuhan kebutuhan keamanan
dan kenyamanan, pemenuhan cinta mencintai, pemenuhan kebutuhan harga diri
dan aktualisasi diri.
b. Fungsi Keperawatan Ketergantungan (Dependen)
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatan atas pesan atau
instruksidari perawat lain. Sehingga sebagian tindakan pelimpahan tugas yang di
berikan. Hal ini biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum
atau dari perawat primer ke perawat pelaksana.
c. Fungsi Keperawatan Kolaboratif (Interdependen)
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan di
antara tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk
pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam pemberian pelayanan seperti
dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang mempunyapenyakit
kompleks. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga
dari dokter ataupun yang lainnya.
4. Dibawah Ini Fungsi Perawat Secara Umum Yaitu :
a. Mengkaji kebutuhan klien, keluarga, kelompok, masyarakat serta sumber yg
tersedia & potensial untuk memenuhi kebutuhan tsb.
b. Merencanakan tindakan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok,
masyarakat berdasarkan diagnosa keperawatan.
c. Melaksanakan rencana keperawatan
d. Mengevaluasi hasil asuhan keperawatan
e. Mendokumentasikan proses keperawatan
f. Mengidentifikasi hal-hal yg perlu diteliti atau dipelajari serta merencanakan studi
kasus guna meningkatkan penget & pengembangan ketrampilan dlm praktik kep.
g. Berperan serta dlm melaksanakan penyuluhan kesehatan kepada klien, keluarga,
kelompok serta masyarakat.
h. Bekerja sama dengan disiplin ilmu terkait dalam memberikan pel kesehatan
kepada klien, keluarga, kelompok, masyarakat.
i. Mengelola perawatan klien & berperan sebagai ketua tim dlm melaksanakan
kegiatan keperawatan
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Child abuse merupakan kesalahan atau kesemenaan memperlakukan anak-anak yang


seharusnya diposisikan sebagai amanat Tuhan. Child Abuse adalah tindakan yang
mempengaruhi perkembangan anak sehingga tidak optimal lagi. Perlakuan salah terhadap
anak bisa dipicu oleh beberapa tekanan dalam keluarga (family stress), di antaranya berasal
dari anak, orangtua, dan situasi. Bentuk perlakuan salah terhadap anak atau child abuse
antara lain adalah penganiayaan fisik, kelainan, penganiayaan emosional, dan penganiayaan
seksual.

Perlakuan salah terhadap orang tua sebagai suatu tindakan atau kelalaian yang
membahayakan atau menimbulkan ancaman bahaya terhadap kesehatan atau kesejahteraan
seorang lansia. Hal tersebut termasuk tindakan yang disengaja untuk menimbulkan cedera
fisik atau mental serta kekerasan seksual. Selain itu, tindakan salah perlakuan lainnya yaitu
tidak memberikan pangan, sandang dan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan fisik dan
mental lansia yang diasuh, dijaga atau dalam tanggungannya.

Tindakan kekerasan interpersonal adalah sebagai suatu tindakan penggunaan kekuatan


antara individu untuk membunuh, melukai, dan menyiksa.

3.2 Saran

4.2.1 Bagi Penulis


Sebaiknya penulis mampu memahami konsep “Salah perlakuan pada anak & lansia
dan tindakan kekerasan interpersonal”semoga bisa lebih baik lagi dalam pembuatan
makalah selanjutnya.
4.2.2 Bagi Pembaca
Semoga teori makalah “Salah perlakuan pada anak & lansia dan tindakan kekerasan
interpersonal” ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pembaca diharapkan untuk
mengerti dan memahami.
4.2.3 Bagi Institusi Pendidikan
Semoga makalah “Salah perlakuan pada anak & lansia dan tindakan kekerasan
interpersonal” ini dapat menjadi referensi di perpustakaan dan dapat digunakan untuk
pembuatan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Yolanda, Y., & Widianti, E. (2020). Faktor–Faktor yang Mempengaruhi terjadinya Salah
Perlakuan terhadap Lansia. Jurnal Keperawatan Jiwa, 8(1), 103-108.
2. Madina, U. U., & Dwimartutie, N. (2016). Salah Perlakuan terhadap Orang Tua: Faktor
Risiko dan Tatalaksana. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 3(1), 52-58.
3. World Health Organization, US National Institute of Aging. Global Health and Aging.
Geneva: NIH Publication;2011. p.1-32
4. World Health Organization, US National Institute of Aging. Global Health and Aging.
Geneva: NIH Publication;2011. p.1-32
5. P.R. Gharini, Putrika. 2014. Kekerasan Pada Anak: Efek Psikis, Fisik, dan Tinjauan Agama
(Makalah). Jakarta.
6. Organisasi Kesehatan Dunia (2006). "Mencegah penganiayaan anak: panduan untuk
mengambil tindakan dan menghasilkan bukti" Diarsipkan 2012-07-19 di Wayback
Machine Geneva: WHO dan International Society for the Prevention of Child Abuse and
Neglect.
7. Schechter DS, Willheim E (2009). Pengaruh Pengalaman Kekerasan dan Penganiayaan
pada Bayi dan Anak Kecil.  Dalam CH Zeanah (Ed.). Buku Pegangan Kesehatan Mental
Bayi — Edisi ke-3. New York: Guilford Press, Inc. hlm. 197-214.
8. Stoltenborgh M .; Van IJzendoorn MH; Euser EM;Bakermans-Kranenburg MJ
(2011). "Perspektif global tentang pelecehan anak: Meta-analisis prevalensi di seluruh
dunia".Penganiayaan Anak . 26 (2): 79–101. CiteSeerX10.1.1.1029.9752 . doi : 10.1177 /
1077559511403920 .PMID 21511741 . S2CID 30813632 .
9. Gilbert R .; Spatz Widom C .; Browne K .; Fergusson D .;Webb E .; Janson J.
(2009). "Beban dan konsekuensi penganiayaan anak di negara berpenghasilan
tinggi". Lancet  .373 (9657): 68–81. doi : 10.1016 / s0140-6736 (08) 61706-
7 .PMID 19056114  . S2CID 1464691
10.  Prinz; dkk. (2009).  "Pencegahan penganiayaan anak berbasis populasi: uji coba populasi
sistem Triple P AS" .  Ilmu Pencegahan . 10 (1): 1–12. doi : 10.1007 / s11121-009-0123-
3. PMC 4258219 .  PMID 19160053 .
11. Caldera D, dkk. (2007).  "Dampak dari program kunjungan rumah di seluruh negara bagian
pada pengasuhan dan kesehatan dan perkembangan anak". Pelecehan dan Penelantaran
Anak . 31 (8): 829–852.  doi  : 10.1016 / j.chiabu.2007.02.008 . PMID 17822765 .
12. Kaldera; dkk. (1997).  "Efek jangka panjang dari kunjungan rumah pada perjalanan hidup
ibu dan pelecehan dan penelantaran anak: 15 tahun tindak lanjut dari percobaan
acak".  Jurnal Asosiasi Medis Amerika . 278 (8): 637–643. doi : 10.1001 /
jama.1997.03550080047038 .
13. Pronyk PM, dkk. (2006). "Pengaruh intervensi struktural untuk pencegahan kekerasan
pasangan intim dan HIV di pedesaan Afrika Selatan: uji coba kelompok secara
acak".Lancet . 368 (9551): 1973–83. doi : 10.1016 / s0140-6736 (06) 69744-
4 . PMID 17141704 . S2CID 14146492 .
14. Schechter DS, Willheim E, McCaw J, Turner JB, Myers MM, Zeanah CH
(2011). "Hubungan ayah yang suka kekerasan, ibu yang mengalami stres pasca trauma, dan
anak-anak yang bergejala dalam sampel klinik pediatri dalam kota usia
prasekolah" . Jurnal Kekerasan Interpersonal . 26 (18): 3699–3719. doi : 10.1177 /
0886260511403747 . PMID 22170456 .S2CID 206562093 
15. Kim JC, Watts CH, Hargreaves JR, dkk. (2007). "Memahami dampak intervensi berbasis
keuangan mikro pada pemberdayaan perempuan dan pengurangan kekerasan pasangan
intim di Afrika Selatan" . Jurnal Kesehatan Masyarakat Amerika . 97 (10): 1794–
1802. doi : 10.2105 / ajph.2006.095521 . PMC 1994170 . PMID 17761566 .
16. Foshee VA, dkk. (1998). "Evaluasi tanggal aman program pencegahan kekerasan kencan
remaja" .  Jurnal Kesehatan Masyarakat Amerika . 1998 (88): 45–50. doi : 10.2105 /
ajph.88.1.45 . PMC 1508378 . PMID 9584032
17. Huraerah, Abu (2007) Kekerasan terhadap Anak (Ed. Revisi). Bandung: Nuansa.
18. Portal Psikologi Indonesia dari Dosen. (tanggal 25 Agustus 2017), 17 dampak Kekeraan
Fisik dan Psikis pada anak..
19. Azevedo & Viviane, (2008). Teori Tipologi Bentuk Kekerasan Psikologis Terhadap Anak
20. Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC.
21. Ali, Z. (2012). Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta: Widya Medika.

Anda mungkin juga menyukai