TINJAUAN PUSTAKA
Child abuse atau perlakuan salah terhadap anak adalah kesalahan atau kesemenaan
memperlakukan anak-anak yang seharusnya diposisikan sebagai amanat Tuhan. Amanat
dari-Nya itu seharusnya dijaga, dilindungi, atau diberi pendidikan agar mereka dapat
menjalani masa depan dengan bekal yang cukup. Perlakuan salah terhadap anak (child
abuse) itu dapat berbentuk kekerasan fisik dan psikis berupa perlakuan yang tidak
mencerminkan kasih saying. Child Abuse adalah tindakan yang mempengaruhi
perkembangan anak sehingga tidak optimal lagi. Selain itu Child Abuse dapat diartikan
perlakuan salah terhadap fisik dan emosi anak, menelantarkan pendidikan dan
kesehatannya dan juga penyalahgunaan seksual. Sumber lain mengartikan Child Abuse
adalah penganiayaan, penelantaran dan eksploitasi terhadap anak, dimana ini adalah hasil
dari perilaku manusia yang keliru terhadap anak.
b. Definisi Salah Perlakuan pada Lansia
World Health Organization (WHO) dan Center for interdiscpiplinary Gerontoloy
(CIG)13 mengadopsi definisi dari Action on Elder Abuseyaitu suatu tindakan atau
kurangnya tindakan yang seharusnya, tunggal atau berulang, yang terjadi dalam suatu
hubungan berlandaskan kepercayaan yang menyebabkan bahaya atau kesulitan pada
lansia. Sementara itu, National Research Council mengembangkan definisi tersebut
menjadi tindakan disengaja yang menyebabkan bahaya atau menimbulkan risiko bahaya
yang serius (tanpa menilai apakah bahaya tersebut disengaja ataupun tidak) terhadap
lansia yang rentan oleh pramurawat atau orang lain yang memiliki hubungan
berlandaskan kepercayaan dengan lansia tersebut. Selain itu, National Research Council
juga mendefinisikanya menjadikegagalan seorang pramurawat untuk memenuhi
kebutuhan dasar lansia atau melindunginya dari bahaya.
Menurut yori (2018) Factor yang mempengaruhi salah perlakuan terhadap lansia,antara
lain :
1. Rendahnya Dukungan Sosial Menurut penelitian Wang, Brisbin, Loo dan Starus
(2015) menjelaskan 5777 lansia di Amerika Serikat mengalami salah perlakuan. Salah
satu yang menyebabkan hal tersebut adalah rendahnya dukungan sosial. Sama halnya
dengan hasil survey pada lansia di negara spanyol mengalami salah perlakuan
psikologis dikarenakan kurangnya dukungan sosial seperti dukungan dari tetangga
atau masyarakat sekitar. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian dari Dong (2015),
lansia yang berumur 60 tahun keatas sebanyak 30% beresiko tinggi mengalami salah
perlakuan atau pengabaian yang berupa gejala distres psikologis karena tidak adanya
dukungan sosial.
2. Beban stres dari caregiver Faktor resiko yang mempengaruhi terjadi dalam
meningkatnya tindakan salah perlakuan pada lansia yaitu peranan dari caregiver.
3. Kerusakan kognitif lansia Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mosqueda & Dong
(2011), salah satu faktor yang menyebabkan salah perlakuan pada lansia yaitu
kerusakan kognitif. Terdapat pengaruh yang signifikan antara kerusakan kognitif dan
tindakan salah perlakuan.
4. Tingkat ekonomi yang rendah Ekonomi yang rendah menjadi salah satu faktor resiko
akan terjadinya salah perlakuan pada lansia (Lacher et al, 2016).Neglect dikaitkan
dengan kesehatan yang buruk, perceraian serta ekonomi rendah. Dapat disimpulkan
bahwa faktor ekonomi akan mempengaruhi adanya tindakan salah perlakuan.
5. Ketergantungan fungsi tubuh lansia Penelitian tentang salah perlakuan terhadap lansia
di korea yang dilakukan oleh Oh et al (2006),ditemukan rata-rata lansia mengalami
salah perlakuan emosional yang dilakukan dirumah yakni sebesar 6,3%. Faktor resiko
terjadinya pelecehan tersebut dinilai dari 2 sudut pandang yaitu karakterisitik personal
dan karakteristik keluarga
a) Pada Anak
1. Emotional Abuse; yakni orang tua/dewasa yang acuh terhadap anak. Misalnya anak
sedang menangis dibiarkan. Ataupun anak bertanya sering tidak dijawab.
2. Verbal Abuse; Orang tua memperlakukan anaknya dengan kata-kata kasar atau
memaki-maki. Misalnya ketika kasar tidak dibenarkan mengeluarkan kata-kata
seperti bodoh, tolol, goblok, dan lainnya.
3. Physical Abuse; Orang tua memperlakukan anak dengan kekerasan fisik. Misalnya
memukul, mencubit, dan menghukum anak dengan kekerasan dan lainnya.
4. Sexual Abuse; Orang tua memberikan kekerasan dan pelecehan sexual kepada anak.
b) Pada Lansia
1. Kekerasan fisik: mencakup tindakan kejahatan yang menyebabkan nyeri, trauma,
gangguan fungsi tubuh atau penyakit (memukul,menendang,mendorong).
2. Pengabaian fisik: kegagalan pramurawat untuk menyiapkan fasilitas/pelayanan yang
dibutuhkan lansia untuk dapat berfungsi optimal atau untuk menghindari bahaya.
Elder Abuse
3. Kekerasan psikologis: kekerasan terhadap mental lansia sehingga menimbulkan
kesedihan yang mendalam (ancaman, caci maki, perlakuan seperti terhadap anak-
anak, atau mengisolasi).
4. Pengabaian psikologis: kegagalan untuk menyediakan kebutuhan sosial bagi lansia
yang tidak mandiri.
5. Penganiayaan finansial atau material: salah guna pendapatan/sumber
finansial/penghasilan seseorang oleh orang lain atau perawat.
a. Peran ideal Peran ideal mengacu pada hak dan tanggung jawab terkait peran yang
secara sosial dianjurkan atau disepakati.
b. Peran yang dipersepsikan Peran yang mengacu pada bagaimana penerimaan peran
(orang yang menerima peran) percaya dirinya harus berperilaku dalam peran
tersebut.
c. Peran yang ditampilkan Peran yang mengacu pada apa yang sebenarnya dilakukan
oleh penerima peran.
2) Pengertian perawat
Perawat adalah tenaga profesional yang mempunyai pendidikan dalam sistem
pelayanan kesehatan.Kedudukannya dalam sistem ini adalah anggota tim kesehatan yang
mempunyai wewenang dalam penyelenggaraan pelayanan keperawatan (Kozier, Barbara
1995).
3) Peran Perawat di Rumah sakit
Peran perawat menurut konsorium ilmu kesehatan tahun1989 terdiri dari peran
sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokad pasien, pendidik, koordinator, konsultan,
dan peneliti yang dapat digambarkan sebagai berikut (Hidayat, 2008) terdiri dari :
a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan
Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar
manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan
menggunakan proses keperawatan.
b. Peran sebagai advokat pasien
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu pasien dan keluarganya dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain
khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan
kepada pasien.Juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien
yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang
penyakitnya dan hak atas privasi.
c. Peran edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu pasien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan,gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga
terjadi perubahan perilaku dari pasien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
d. Peran koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi
pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan
dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan pasien.
e. Peran kolaborator
Peran perawat di sini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang
terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lainlain dengan berupaya
mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar
pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.
f. Peran konsultan
Di sini perawat berperan sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan
keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan pasien
terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.
g. Peran pembaharu
Peran ini dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan
yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.
4) Faktor-faktor yang mempengaruhi peran Peran adalah sebagian dari perilaku, menurut
Green Lawrence (1990) dalam (Notoatmojo, 2003) perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor
utama yaitu:
a. Predisposing factors
Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan,
tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial
ekonomi dan 10 sebagainya, faktor-faktor ini terutama yang positif mempermudah
terwujudnya perilaku maka sering disebut faktor pemudah.
b. Enabling factors
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan,bagi masyarakat misalnya air bersih,tempat pembuangan tinja. Ketersedian
makanan yang bergizi dan sebagainya.Temasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan
seperti puskesmas,rumah sakit,poliklinik,posyandu, polindes,pos obat desa,dokter
atau bidan,praktek swasta dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat masyarakat
memerlukan sarana dan prasarana pen-dukung. Fasilitas ini pada hakekatnya
mendukung atau memungkinkan terjadinya perilaku kesehatan maka faktor-faktor ini
disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin.
c. Reinforcing factors
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh
agama,sikap dan perilaku para petugas kesehatan.Untuk berperilaku sehat
masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan
dukungan fasilitaf saja melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh
masyarakat, tokoh agama para petugas, lebih-lebih para petugas kesehatan.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perlakuan salah terhadap orang tua sebagai suatu tindakan atau kelalaian yang
membahayakan atau menimbulkan ancaman bahaya terhadap kesehatan atau kesejahteraan
seorang lansia. Hal tersebut termasuk tindakan yang disengaja untuk menimbulkan cedera
fisik atau mental serta kekerasan seksual. Selain itu, tindakan salah perlakuan lainnya yaitu
tidak memberikan pangan, sandang dan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan fisik dan
mental lansia yang diasuh, dijaga atau dalam tanggungannya.
3.2 Saran
1. Yolanda, Y., & Widianti, E. (2020). Faktor–Faktor yang Mempengaruhi terjadinya Salah
Perlakuan terhadap Lansia. Jurnal Keperawatan Jiwa, 8(1), 103-108.
2. Madina, U. U., & Dwimartutie, N. (2016). Salah Perlakuan terhadap Orang Tua: Faktor
Risiko dan Tatalaksana. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 3(1), 52-58.
3. World Health Organization, US National Institute of Aging. Global Health and Aging.
Geneva: NIH Publication;2011. p.1-32
4. World Health Organization, US National Institute of Aging. Global Health and Aging.
Geneva: NIH Publication;2011. p.1-32
5. P.R. Gharini, Putrika. 2014. Kekerasan Pada Anak: Efek Psikis, Fisik, dan Tinjauan Agama
(Makalah). Jakarta.
6. Organisasi Kesehatan Dunia (2006). "Mencegah penganiayaan anak: panduan untuk
mengambil tindakan dan menghasilkan bukti" Diarsipkan 2012-07-19 di Wayback
Machine Geneva: WHO dan International Society for the Prevention of Child Abuse and
Neglect.
7. Schechter DS, Willheim E (2009). Pengaruh Pengalaman Kekerasan dan Penganiayaan
pada Bayi dan Anak Kecil. Dalam CH Zeanah (Ed.). Buku Pegangan Kesehatan Mental
Bayi — Edisi ke-3. New York: Guilford Press, Inc. hlm. 197-214.
8. Stoltenborgh M .; Van IJzendoorn MH; Euser EM;Bakermans-Kranenburg MJ
(2011). "Perspektif global tentang pelecehan anak: Meta-analisis prevalensi di seluruh
dunia".Penganiayaan Anak . 26 (2): 79–101. CiteSeerX10.1.1.1029.9752 . doi : 10.1177 /
1077559511403920 .PMID 21511741 . S2CID 30813632 .
9. Gilbert R .; Spatz Widom C .; Browne K .; Fergusson D .;Webb E .; Janson J.
(2009). "Beban dan konsekuensi penganiayaan anak di negara berpenghasilan
tinggi". Lancet .373 (9657): 68–81. doi : 10.1016 / s0140-6736 (08) 61706-
7 .PMID 19056114 . S2CID 1464691
10. Prinz; dkk. (2009). "Pencegahan penganiayaan anak berbasis populasi: uji coba populasi
sistem Triple P AS" . Ilmu Pencegahan . 10 (1): 1–12. doi : 10.1007 / s11121-009-0123-
3. PMC 4258219 . PMID 19160053 .
11. Caldera D, dkk. (2007). "Dampak dari program kunjungan rumah di seluruh negara bagian
pada pengasuhan dan kesehatan dan perkembangan anak". Pelecehan dan Penelantaran
Anak . 31 (8): 829–852. doi : 10.1016 / j.chiabu.2007.02.008 . PMID 17822765 .
12. Kaldera; dkk. (1997). "Efek jangka panjang dari kunjungan rumah pada perjalanan hidup
ibu dan pelecehan dan penelantaran anak: 15 tahun tindak lanjut dari percobaan
acak". Jurnal Asosiasi Medis Amerika . 278 (8): 637–643. doi : 10.1001 /
jama.1997.03550080047038 .
13. Pronyk PM, dkk. (2006). "Pengaruh intervensi struktural untuk pencegahan kekerasan
pasangan intim dan HIV di pedesaan Afrika Selatan: uji coba kelompok secara
acak".Lancet . 368 (9551): 1973–83. doi : 10.1016 / s0140-6736 (06) 69744-
4 . PMID 17141704 . S2CID 14146492 .
14. Schechter DS, Willheim E, McCaw J, Turner JB, Myers MM, Zeanah CH
(2011). "Hubungan ayah yang suka kekerasan, ibu yang mengalami stres pasca trauma, dan
anak-anak yang bergejala dalam sampel klinik pediatri dalam kota usia
prasekolah" . Jurnal Kekerasan Interpersonal . 26 (18): 3699–3719. doi : 10.1177 /
0886260511403747 . PMID 22170456 .S2CID 206562093
15. Kim JC, Watts CH, Hargreaves JR, dkk. (2007). "Memahami dampak intervensi berbasis
keuangan mikro pada pemberdayaan perempuan dan pengurangan kekerasan pasangan
intim di Afrika Selatan" . Jurnal Kesehatan Masyarakat Amerika . 97 (10): 1794–
1802. doi : 10.2105 / ajph.2006.095521 . PMC 1994170 . PMID 17761566 .
16. Foshee VA, dkk. (1998). "Evaluasi tanggal aman program pencegahan kekerasan kencan
remaja" . Jurnal Kesehatan Masyarakat Amerika . 1998 (88): 45–50. doi : 10.2105 /
ajph.88.1.45 . PMC 1508378 . PMID 9584032
17. Huraerah, Abu (2007) Kekerasan terhadap Anak (Ed. Revisi). Bandung: Nuansa.
18. Portal Psikologi Indonesia dari Dosen. (tanggal 25 Agustus 2017), 17 dampak Kekeraan
Fisik dan Psikis pada anak..
19. Azevedo & Viviane, (2008). Teori Tipologi Bentuk Kekerasan Psikologis Terhadap Anak
20. Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC.
21. Ali, Z. (2012). Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta: Widya Medika.