Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PELIBATAN ORANG TUA DAN MASYARAKAT


DALAM MASALAH KEKERASAN ANAK USIA DINI

Di susun untuk memenuhi tugas,


Mata kuliah : Pemberdayaan Masyarakat
Dosen Pengampu : Ida Royani, M.Pd.

Di susun oleh :
Kiki Fikriya ( 0142S1D021038 )
Widowati ( 0142S1D021010 )

PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BOGOR RAYA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Alhamdullilah, Puji Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Panyayang. Atas rahmat dan hidayah-NYA,kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul "Pelibatan orang tua dan masyarakat dalam masalah kekerasan AUD)” dengan baik.
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemberdayaan masyarakat.

Dalam penyusunan makalah ini, kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami meminta maaf dan juga
berharap agar pembaca dapat memberikan kritik ataupun saran untuk menjadikan bekal dalam
pembuatan makalah selanjutnya.

Bogor, Desember 2023

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan Makalah

BAB II. PEMBAHASAN


1. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak
2. Faktor- Faktor Yang Mendorong Timbulnya Kekerasan Terhadap Anak
3. Bentuk- Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
4. Perlibatan Orang Tua Dan Masyarakat Dalam Permasalahan Kekerasan Pada
Anak

BAB III. KESIMPULAN


Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia salah satu masalah besar yang marak diperbincangkan adalah tindak kriminal
terhadap anak. Mulai dari kekerasan, pembunuhan, penganiayaan dan bentuk tindakan kriminal
lainnya yang berpengaruh negatif bagi kejiwaan anak. Hal ini terjadi karena banyak orang tua
menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah
bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orang tua adalah orang yang paling
bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan
kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Kekerasan terhadap anak
dapat diartikan sebagai perilaku yang sengaja maupun tidak sengaja yang ditujukan untuk
mencederai atau merusak anak, baik berupa serangan fisik maupun mental.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan gambaran latar belakang diatas, maka rumusan makalah ini adalah:
1. Apa itu kekerasan pada anak ?
2. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dan dampaknya ?
3. Apa dan siapa saja yang terlibat dalam tindak kekerasan ini ?

C. Tujuan Penulisan Makalah

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:


1) Mememnuhi tugas mata kuliyah Pemberdayaan Masyarakat dalam Penyelenggaraan PAUD.
2) Mengetahui bentuk-bentuk kekerasan pada anak.
3) Mengetahu proses terjadinya tindak kekerasan.
4) Mengetahui siapa saja yang terlibat dalam menanggulangi masalah kekerasan pada anak usia
dini.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak usia Dini

Kekerasan terhadap anak adalah segalah tindakan baik yang disengaja maupun tidak
disengaja yang dapat merusak anak baik berupa serangan fisik, mental sosial, ekonomi maupun
seksual yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma
dalam masyarakat.

Pengetian kekerasan menurut beberapa ahli yaitu:


a. Menurut Sutanto, kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua
dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang
seharusnya menjadi tanggung jawab dari orang tua atau pengasuh yang berakibat
penderitaan, kesengsaraan, cacat/kematian.

b. Menurut Patilima, kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari orang tua. Patilima
mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang
akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara
fisik, psikologi sosial maupun mental Kekerasan pada anak dalam arti kekerasan dan
penelantaran adalah ‘Semua bentuk perlakuan menyakitkan baik secara fisik maupun
emosional, pelecehan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial/eksploitasi lain yang
mengakibatkan cedera atau kerugian nyata maupun potensial terhadap kesehatan anak,
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang dilakukan dalam
konteks hubungan tanggung jawab kepercayaan atau kekuasaan.

c. Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau
tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak anak .

2. Faktor- Faktor Yang Mendorong Timbulnya Kekerasan Terhadap Anak Usia Dini

Beberapa faktor pemicu kekerasan terhadap anak menurut Komnas Perlindungan Anak,
pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya:
1) Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (inter generational transmission of violance).
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orang tuanya dan ketika tumbuh menjadi
dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku
kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi.

2) Stres Sosial (social stress)


Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan resiko kekerasan
terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran
(unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions),
ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru
(the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the
death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan
kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakan
kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi
tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.

3) Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah


Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak.

4) Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan
cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua yang bertindak keras ikut serta
dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit
dengan teman atau kerabat. kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orang tua
tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan
dengan orang tua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri
mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal,
pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan
lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan
keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan
tersebut.

3. Bentuk- Bentuk Kekerasan Terhadap Anak Usia Dini

a) Kekerasan Secara Fisik (Physical Abuse)


Kekerasan fisik (Physical abuse) adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap
anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka
fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat
persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau
rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok
atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada,
perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik
umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anak nakal
atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat,
memecahkan barang berharga.

b) Kekerasan Emosional (emotional abuse)


Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui
anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar
karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan
kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan
emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara
emosional berlaku keji pada anaknya akan terus menerus melakukan hal sama sepanjang
kehidupan anak itu.
c) Kekerasan secara Verbal (verbal abuse)
Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi
penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan
mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambinghitamkan.

d) Kekerasan Seksual (sexual abuse)


Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga).
Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau
tujuan tertentu.

e) Kekerasan Anak Secara Sosial


Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak.
Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian
yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan
dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak.
Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang
terhadap kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk
angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas
kemampuannya.

4. Perlibatan Orang Tua Dan MasyaraDalam Permasalahan Kekerasan Pada Anak Usia
Dini

Di samping dari aspek hukum, upaya untuk mereduksi meningkatnya jumlah kekerasan
terhadap anak di Indonesia dapat dilakukan oleh orang tua, guru sebagai pendidik, masyarakat
dan pemerintah, yaitu:
1) Orang Tua
Para orang tua seharusnya lebih memperhatikan kehidupan anaknya. Orang tua dituntut
kecakapannya dalam mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Jangan membiarkan anak hidup
dalam kekangan, mental maupun fisik. Sikap memarahi anak habis-habisan, apalagi tindakan
kekerasan (pemukulan dan penyiksaan fisik) tidaklah arif, karena hal itu hanya akan
menyebabkan anak merasa tidak diperhatikan, tidak disayangi. Akhirnya anak merasa trauma,
bahkan putus asa. Penting disadari orang tua bahwa anak dilahirkan ke dunia ini dilekati dengan
berbagai hak yang layak didapatkannya. Seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan
pengasuhan yang baik, kasih sayang, dan perhatian. Anak pun memiliki hak untuk mendapatkan
pendidikan yang baik di keluarga maupun di sekolah, juga nafkah (berupa pangan, sandang dan
papan). Bagaimanapun keadaannya, tidak wajib seorang anak menafkahi dirinya sendiri,
sehingga ia harus kehilangan banyak hak-haknya sebagai anak karena harus membanting tulang
untuk menghidupi diri (atau bahkan keluarganya).
Dalam kasus child abuse, siklus kekerasan dapat berkembang dalam keluarga. Individu yang
mengalami kekerasan dari orang tuanya dulu, memiliki kecenderungan signifikan untuk
melakukan hal yang sama pada anak mereka nanti. Tingkah laku agresi dipelajari melalui
pengamatan dan imitasi, yang secara perlahan terintegrasi dalam sistem kepribadian orang tua.
Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk menyadari sepenuhnya bahwa perilaku mereka
merupakan model rujukan bagi anak-anaknya, sehingga mereka mampu menghindari perilaku
yang kurang baik.

Peran keluarga terutama orang tua di sini sangatlah penting. Perlindungan dan kasih sayang
seharusnya semakin ditingkatkan. Perekonomian yang sulit jangan menjadikan anak sebagai
bahan eksploitasi untuk mencari uang. Masa anak masih dalam tahap belajar dan bermain serta
mengenal lingkungan. Hal tersebut adalah bekal mereka untuk mengahadapi kehidupan yang
selanjutnya ketika mereka beranjak dewasa kelak. Pendidikan juga sangat wajib bagi anak, anak
adalah tunas bangsa yang harus lebih diperhatikan kembali. Orang tua juga wajib dalam
mengawasi lingkungan anak agar tidak menjadi korban kekerasan orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.

2) Guru
Peran seorang guru dituntut untuk menyadari bahwa pendidikan di negara kita bukan saja
untuk membuat anak pandai dan pintar, tetapi harus juga dapat melatih mental anak didiknya.
Peran guru dalam memahami kondisi siswa sangat diperlukan. Sikap arif, bijaksana, dan
toleransi sangat diperlukan. Idealnya seorang guru mengenal betul pribadi peserta didik,
termasuk status sosial orang tua murid sehingga ia dapat bertindak dan bersikap bijak.

3) Masyarakat
Anak-anak kita ini selain bersentuhan dengan orang tua dan guru, mereka pun tidak bisa
lepas dari berbagai persinggungan dengan lingkungan masyarakat di mana dia berada. Untuk itu
diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai elemen di masyarakat untuk turut memberikan
nuansa pendidikan positif bagi anak-anak. Salah satu elemen tersebut adalah pihak pengelola
stasiun TV. Banyak riset menyimpulkan bahwa pengaruh media (terutama TV) terhadap perilaku
anak (sebagai salah satu penikmat acara TV) cukup besar. Berbagai tayangan kriminal di
berbagai stasiun TV, tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret kekerasan yang tentu
akan berpengaruh pada pembentuk mental dan pribadi anak. Penyelenggara siaran TV
bertanggungjawab untuk mendesain acaranya dengan acara yang banyak mengandung unsur
edukasi yang positif.

4) Pemerintah
Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kemaslahatan rakyatnya,
termasuk dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai generasi
penerus. Pemerintah harus memberikan ketegasan pada masyarakat mengenai Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bila perlu memberikan sosialisasi bahwa
ada Undang-Undang bertujuan dalam perlindungan anak serta dijelaskan juga sanksi terhadap
yang melanggar Undang-Undang tersebut. Pemerintah juga harus memberikan fasilitas pelatihan
dan pembelajaran anak. Maka pemerintah harus siap menampung anak-anak yang terlantar
sesuai dengan bunyi UUD 1945 pasal 34 ayat 1, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh negara”.
Selain itu sangatlah perlu dilakukan peningkatan pemberdayaan badan pemerintah seperti
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI merupakan lembaga independen yang
kedudukannya sejajar dengan komisi negara lainnya. KPAI dibentuk pada 21 Juni 2004 dengan
Keppres No. 95/M Tahun 2004 berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002. Dalam keputusan Presiden tersebut, dinyatakan bahwa KPAI
bertujuan untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. KPAI diharapkan
mampu secara aktif memperjuangkan kepentingan anak. KPAI bertugas melakukan sosialisasi
mengenai seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan
anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan
penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepentingan anak.
Selain itu KPAI juga dituntut untuk memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan
kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

Menurut ketentuan undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak pasal 64
(3) dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 pasal 90 mengatur, anak sebagai korban berhak
mendapatkan rehabilitasi dari lembaga maupun di luar lembaga. Kemudian di atur pula ke dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban bahwa korban
tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum baik medis, rehabilitasi psiko-sosial. Menurut
pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan
bahwa:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang
pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Dalam Undang-undang Nomor
4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada prinsipnya diatur mengenai upaya-upaya untuk
mencapai kesejahteraan anak. Dan, yang terakhir Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, yang pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan terhadap
anak sebagai pelaku tindak pidana dalam konteks peradilan anak.

Implementasi perlindungan hukum bagi anak sebagai korban ternyata belum maksimal
sebagaimana yang diberikan oleh undang-undang. Walaupun belum maksimal, namun ada
beberapa bentuk perlindungan hukum yang sudah diberikan kepada anak sebagai korban sesuai
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 pasal 64 ayat (3), bahwa anak sebagai korban mendapatkan
(a) rehabilitasi baik dalam lembaga maupun luar lembaga, (b) upaya perlindungan dan
pemberitaan identitas melalui media massa untuk menghindari labelisasi, (c) pemberian jaminan
keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli baik fisik, mental, maupun sosial, dan (d)
pemberian aksebilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Selain itu, hak anak sebagai korban yang menderita secara fisik perlu mendapatkan restitusi
maupun kompensasi atas akibat penderitaan yang dialaminya. Sebagaimana terkandung dalam
Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan Bagi Para Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan
Kekuasaan (Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 tertanggal 29 November 1985). Deklarasi
tersebut mengandung ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
 Para korban berhak untuk mendapatkan penggantian segera atas kerugian yang mereka
derita.
 Mereka harus diberitahu tentang hak mereka untuk mendapat ganti rugi.
 Para pelaku atau pihak ketiga harus memberi restitusi yang adil bagi para korban, keluarga,
dan tanggungjawab mereka. Penggantian demikian harus mencakup pengembalian hak milik
atau pembayaran atas derita atau kerugian yang dialami, penggantian atas biaya yang
dikeluarkan sebagai akibat viktimisasi tersebut, dan penyediaan pelayanan serta pemulihan
hak-hak.
 Bilamana kompensasi tidak sepenuhnya didapat dari pelaku atas sumber-sumber lainnya,
negara harus berusaha menyediakan kompensasi keuangan.
 Para korban harus mendapat dukungan dan bantuan material, pengobatan, psikologis dan
sosial yang diperlukan.

Menurut deklarasi tersebut di atas, merupakan bagian dari hak anak sebagai korban yang
harus dipenuhi. Karenanya, dalam perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban
merupakan bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai
bentuk, seperti pemberian restitusi maupun kompensasi, pelayanan medis, bantuan hukum dan
rehabilitasi.

Menurut Gostita upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan langsung dan
tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara
langsung diantaranya meliputi: pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari
sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau
mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar
dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan pendidikan formal dan informal,
pengasuhan (asah, asih, asuh), pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan perundang-
undangan.

Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain melipui: pencegahan orang lain
merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan,
peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan
mengenai pembinaan anak dan keluarga, pengadaan sesuatu yang menguntungkan anak,
pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam
pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.
Kemudian upaya preventif perlu juga dibentuknya lembaga yang berskala nasional untuk
menampung anak yang menjadi korban tindak kekerasan seperti halnya perkosaan atau KDRT.
Lembaga penyantun korban semacam ini sudah sangat mendesak, mengingat viktimisasi yang
terjadi di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini sangat memprihatinkan. Koordinasi dengan
pihak kepolisian harus dilakukan, agar kepolisian segera meminta bantuan lembaga ini ketika
mendapat laporan terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan. Lembaga ini perlu didukung
setidaknya oleh pekerja sosial, psikolog, ahli hukum dan dokter. Dalam kondisi daerah yang
tidak memungkinkan, harus diupayakan untuk menempatkan orang-orang dengan kualifikasi
yang paling mendekati para profesional di atas, dengan maksud agar lembaga ini dapat mencapai
tujuan yang diinginkan dengan baik. Pendanaan untuk lembaga ini harus dimulai dari pemerintah
sendiri, baik pusat maupun daerah, dan tentunya dapat melibatkan masyarakat setempat baik
secara individu maupun kelompok.

Penjelasan-penjelasan solusi di atas diharapkan mampu efektif dalam menangani juga


mengantisipasi terjadinya kekerasan pada anak. Pengembangan potensi anak juga diharapkan
harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik,
mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan
terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki
nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras
menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Saatnya semua lapisan masyarakat peduli
pada anak.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Kekerasan terhadap anak adalah segala tindakan baik yang disengaja maupun tidak disengaja
yang dapat merusak anak baik berupa serangan fisik, mental sosial, ekonomi maupun seksual
yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam
masyarakat. Beberapa faktor memicu kekerasan terhadap anak Menurut Komnas Perlindungan
Anak pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya: struktur keluarga, pewarisan
kekerasan dari generasi ke generasi, stress sosial dan isolasi sosial, serta keterlibatan masyarakat
bawah.

Bentuk- bentuk kekerasan terhadap anak yaitu: kekerasan fisik, kekerasan emosional,
kekerasan verbal, kekerasan seksual, dan kekerasan secara sosial. Adapun cara yang dapat
dilakukan untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak yaitu: pendidikan dan pengetahuan
orang tua yang cukup, keluarga yang hangat dan demokratis, adanya komunikasi yang efektif,
dan mengintegrasikan isu mengenai hak anak kedalam peraturan perundang- undangan.

Peraturan perundang- undangan yang mengatur perlindungan anak yaitu Undang- undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang System Peradilan Pidana Anak, dan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak Dan Pemberdayaan Anak dan Perempuan Dalam Konflik Sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Arief. “Upaya Mengatasi Masalah Perlindungan Terhadap Kekerasan Anak Dalam Tinjauan
HAM”. (On-Line), tersedia di: http://abiavisha.blogspot.co.id/2014/02/upaya-mengatasi-
masalah-perlindungan.html (11 November 2016).

Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo, 1989.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen Sosial RI., 2003, Undang–Undang


Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Cet. I; Jakarta :
UNICEF.

Nanda, 2007, “Komnas Anak Catat 1.124 Kasus Kekerasan Terhadap Anak”, (On-line), tersedia
di: http//www.kapanlagi.com, 2007 (20 Maret 2010 pukul 03.37 pm).

Natalia.“Makalah Kekerasan Terhadap Anak”. (On-line), tersedia di:


http://natalialolopatandean.blogspot.co.id/2015/03/makalah-kekerasan-terhadap-anak.html(11
November 2016).

Tunggal, Hadi Setia. PBB dan Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta: Harvarinda, 2000.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Yulia, Rena. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Bandung: Graha
Ilmu, 2010.

Anda mungkin juga menyukai