Anda di halaman 1dari 12

PERLAKUAN SALAH PADA ANAK (CHILD ABUSE) DALAM

KESEHATAN MENTAL
MAKALAH

Disusun Oleh:

1. Dian Nafiatul Awaliyah (1901016106)

BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kesehatan mental tidak luput dari perkembangan individu baik dari kecil hingga
sekarang, hal ini berkaitan dengan pengasuhan yang dilaluinya. Jika tindakan-tindakan
pengasuhan dilakukan dengan baik tentu akan membuat individu berkembang menjadi
pribadi yang sehat mental. Sebaliknya jika tindakan-tindakan pengasuhan dilakukan
secara salah atau keliru (abuse) sedikit banyak membuat individu dalam
perkembangannya mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan permasalahan yang
dialaminya. Hal ini menyebabkan tingkat kesehatan mental individu menjadi kurang
optimal, bahkan individu mengalami gangguan mental baik secara ringan maupun berat.
Perlakuan salah terhadap anak disebut child abuse, sebenarnya selain child abuse ada
pula adult (orang dewasa) abuse, dan elder (orang tua) abuse. Namun anak-anak sendiri
lebih rentan terhadap child abuse ini. Karena perlakuan salah pada anak akan berdampak
pada perkembangan masa depan anak, mengingat anak-anak memiliki memori yang lebih
kuat dalam mengingat apa yang dilihat, dialami dan juga dilakukan lingkungan
terhadapnya.
Dengan adanya pemahaman menganai tindakan child abuse diharapkan dalam
proses pengasuhan atau parenting yang baik akan membantu menciptakan orangtua
dengan kesiapan psikis dan mental untuk memperoleh tingkatan kesehatan mental.
Sehingga dapat meminimalisir terjadinya child abuse yang dapat mengganggu
perkembangan dan tumbuh kembang anak.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian child abuse?
2. Apa saja yang masuk dalam kategori child abuse?
3. Bagaimana Cara Menanggulangi Terjadinya Child abuse?

C. TUJUAN
1. Mahasiswa dapat memahami pengertian child abuse.
2. Mahasiswa dapat memahami kategori child abuse.
3. Mahasiswa dapat mengetahui cara penanggulangan perilaku child abuse.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Child abuse
(Abdul Qadir Shaleh, 2003) Secara harfiah kekerasan diartikan sebagai sifat atau
suatu hal yang keras, kekuatan, dan paksaan. Sedangkan secara terminologi kekerasan
berarti perbuatan seseorang atau sekelompok orang-orang yang menyebabkan cedera
atau matinya seseorang atau kerusakan fisik maupun barang. Segala macam
perbuatan yang menimbulkan penderitaan baik itu berupa fisik atau menyebabkan
kerusakan bagi orang lain dapat diartikan sebagai kekerasan.
Child abuse dapat pula diartikan sebagai sebuah penganiayaan mental atau fisik,
penganiayaan seksual atau penelantaran terhadap anak serta perampasan hak dalam
mendapatkan dukungan fisik dan moral yang layak untuk perkembangan anak di
bawah usia 18 tahun.
Istilah child abuse dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai perlakuan yang
salah/kejam terhadap anak, yang sering dilakukan oleh orang lain dan pada umumnya
dilakukan oleh orang dewasa. Kata abuse sendiri mempunyai banyak arti, antara lain
penyalahgunaan, salah pakai, perlakuan kejam, siksaan, makian, menyalahgunakan
dan berkhianat.

Adapun Child abuse menurut Para Ahli yaitu:

1. Menurut Suyanto (2010) menjelaskan bahwa secara teoritis child abuse dapat
didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya dilakukan
oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak.
2. Menurut Papalia (2004) menyatakan bahwa child maltreatment atau lebih dikenal dengan
child abuse merupakan tindakan yang disengaja dan membahayakan anak baik dilakukan oleh
orang tua atau orang lain. Abuse sendiri mengarah pada tindakan yang mengakibatkan kerusakan.
3. Reed (1991) menjelaskan bahwa perlakuan yang salah terhadap anak tidak hanya terbatas
luka fisik saja, tetapi meliputi penganiayaan atau pencideraan secara fisik, emosional, seksual
dan penelantaran yang menimpa anak usia dibawah 18 tahun dan dilakukan oleh orang yang
seharusnya bertanggung jawab atas hal tersebut.
4. Irwanto (1996) menjelaskan bahwa perlakuan salah terhadap anak adalah segala bentuk
perlakuan terhadap anak yang dapat mengancam kesejahteraan anak untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik maupun psikologis dan mental spiritual.
5. Patilima (2005) mengungkapkan bahwa segala perlakuan salah pada anak
mengakibatkan terancamnya kesejahteraan dan pertumbuhan anak baik secara fisik, psikologis,
sosial maupun mental
6. Sugiarno (2007) menjelaskan bahwa child abuse adalah perbuatan semena-mena terhadap
orang yang dilakukan oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung bagi anak.
Dari beberapa pendapat ahli diatas bisa disimpulakan bahwa child abuse terhadap anak
merupakan pola asuh (Pengasuhan) yang salah terhadap anak baik dari orang lain ataupun
keluarga itu sendiri, yang mana mengakibatkan terancamnya kesehatan mental terhadap
anak tersebut.

B. Kategori Child abuse


1. Kekerasan secara fisik (Physical abuse)
Kekerasan ini terjadi karena orang tua atau orang yang mengasuh melukai fisik anak
seperti memukul, mencubit, menampar, enendang, dan lain sebagainya. ketika
kekerasan fisik tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama kekerasan
tersebut akan selalu di ingat anak tersebut . (Mutmainnah, 2014)

Dampak penyiksaan fisik yang berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan
menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas baik fisik maupun
psikis, anak menjadi menarik diri, merasa tidak aman, sukar mengembangkan trust
kepada orang lain, perilaku merusak, dll. Bila kejadian ini berulang maka proses
recoverynya membutuhkan waktu yang lebih lama pula.(Tharthit, 2019)

2. Kekerasan emosional (emotional abuse)


Kekerasan ini terjadi ketika orang tua atau yang mengasuh mengabaikan anak ketika
meminta perhatian. Mereka membiarkan anak ke laparan karena orang tersebut terlalu
sibuk atau tidak ingin diganggu waktu nya. Ia juga mengabaikan kebutuhan kasih
sayanga, perlindungan, dan perhatian anak nya. Semua kekerasan emosional tersebut
akan selalu di ingat anak tersebut apabilahal tersebut berlangsung secara berulang-
ulang. Orang tua yang secara emosional berlaku tidak baik pada anaknya akan terus
menerus melakukan hal yang sama (Tharthit, 2019). Kekerasan emosi ini dibagi
beberapa macam:
a. Penolakan
Orang tua mengatakan kepada anak bahwa dia tidak diinginkan, mengusir anak
atau memanggil anak dengan sebutan yang kurang menyenangkan. Kadang anak
menjadi kambing hitam segala problem yang ada dalam keluarga.
b. Tidak diperhatikan
Orang tua yang mempunyai masalah emosional biasanya tidak dapat merespon
kebutuhan anak-anak mereka. Orang tua jenis ini mengalami problem kelekatan
dengan anak. Mereka menunjukkan sikap tidak tertarik pada anak, sukar memberi
kasih sayang, atau bahkan tidak menyadari akan kehadiran anaknya. Banyak
orang tua yang secara fisik selalu ada disamping anak tetapi secara emosi sama
sekali tidak memenuhi kebutuhan emosional anak. (Mutmainnah, 2014)
c. Ancaman
Orang tua mengkritik, menghukum atau bahkan mengancam anak. Dalam jangka
panjang keadaan ini mengakibatkan anak terlambat perkembangannya, atau
bahkan terancam kematian
d. Isolasi
Bentuknya dapat berupa orang tua tidak mengijinkan anak mengikuti kegiatan
bersama teman sebayanya atau bayi dibiarkan dalam kamarnya sehingga kurang
mendapat stimulasi dari lingkungan, anak dikurung atau dilarang makan sesuatu
sampai waktu tertentu.
e. Pembiaran
Membiarkan anak terlibat penyalahgunaan obat dan alkohol, berlaku kejam
terhadap binatang, melihat tayangan porno, atau terlibat dalam tindak kejahatan
seperti mencuri, berjudi, berbohong dan sebagainya. Untuk anak yang lebih kecil,
membiarkannya menonton adegan-adegan kekerasan dan tidak masuk akal di
televisi termasuk juga dalam kategori penyiksaan emosi.

Dampak penyiksaan emosi sulit di identifikasi atau didiagnosa karena tidak


meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Dengan begitu usaha
untuk menghentikannya juga tidak mudah. Jenis penyiksaan ini meninggalkan
bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk seperti
kurang percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak seperti
tiba-tiba membakar barang atau bertindak kejam terhadap binatang, beberapa
melakukan agresi, menarik diri, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun
kecenderungan bunuh diri. (Tharthit, 2019)

3. Kekerasan secara verbal (verbal abuse)


Kekerasan ini biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola
komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku
biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga
mengkambing hitamkan. (Tharthit, 2019)
4. Kekerasan seksual (sexual abuse)
Kekerasan ini meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang
yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak, dan pekerja
rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan
yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.
Kekerasan seksual dibagi dalam beberapa kategori berdasar identitas pelaku:
a. Familial abuse
Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah, menjadi
bagian dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua,
misalnya ayah tiri, atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest. Tharthit
(2019) menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan
kekerasan pada anak. Kategori pertama, sexual molestation (penganiayaan).
Hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism dan
voyeurism, semua hal yang berkaitan dengan menstimulasi pelaku secara
seksual. Kategori kedua, sexual assault (perkosaan), berupa oral atau
hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, fellatio (stimulasi oral pada penis),
dan cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris). Kategori terakhir yang paling
fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa), meliputi kontak seksual
b. Extrafamilial abuse
Extrafamilial abuse, dilakukan oleh orang lain diluar keluarga korban, dan
hanya 40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang
dilakukan oleh orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban
utamanya adalah anak-anak. Pedophilia diartikan “menyukai anak-anak”.
Pedetrasy merupakan hubungan seksual antara pria dewasa dengan anak laki-
laki. Pornografi anak menggunakan anak-anak sebagai sarana untuk
menghasilkan gambar, foto, slide, majalah, dan buku.

Dampak pengaruh buruk yang ditimbulkan dari pelecehan seksual ada banyak
sekali. Pada anak yang masih kecil dan yang biasanya tidak mengompol jadi
mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak
beralasan, atau bahkan symptom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah
kulit, dll. Pada remaja, mungkin secara tidak diduga menyulut api, mencuri,
melarikan diri dari rumah, mandi terus menerus, menarik diri dan menjadi
pasif, menjadi agresif dengan teman kelompoknya, prestasi belajar menurun,
terlibat kejahatan, penyalahgunaan obat dan alkohol, dll. Ada beberapa
bentuk-bentuk kekerasan selain kekerasan fisik, emosional, seksual juga
penelantaran anak/pengabaian. (Tharthit, 2019).

C. Cara Menanggulangi Perilaku Child abuse


1) Penegakan Hukum yang Benar
Berkaitan dengan kekerasan terhadap anak, peraturan perundang-undangan
yang dapat diterapkan di samping KUHP (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana), juga ada UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU
No.22 Tahun 2004 tentang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan terhadap anak adalah
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan
serta bentuk diskriminasi (Kansil dkk, 2009).
2) Peranan Orang Tua
Kedudukan keluarga sangat fundamental dan mempunyai peranan yang vital
dalam mendidik anak. Apabila pendidikan dalam keluarga gagal, maka anak
cenderung melakukan tindakan kekerasan dalam masyarakat dan sering
menjurus ke tindakan kejahatan atau kriminal. Sehingga peran orang tua
sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Agar kekerasan
terhadap anak dapat dikurangi atau dicegah, orang tua wajib menciptakan
komunikasi yang lancar di antara semua anggota keluarga. Misalnya melalui
media meja makan (makan bersama), sholat berjama’ah serta diskusi ataupun
dialog ringan dengan anak (Bambang M, 1984).
3) Peranan Masyarakat
Kekerasan anak disamping merupakan masalah kemanusiaan juga merupakan
masalah sosial, sehingga penanganan kekerasan anak merupakan tanggung
jawab bersama anggota masyarakat. Korban kekerasan anak perlu ditangani
sedemikian rupa dengan memperhatikan masa depannya. Perhatian terhadap
anak dapat dilihat dari berbagai bentuk peraturan perundang-undangan yang
menyangkut perlindungan hak-hak anak, dan penegakan peraturan perundang-
undangan tersebut. Korban kekerasan diberi pelayanan dan asuhan yang
bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa
pertumbuhan dan perkembangannya (Paulus, 1997).
4) Peranan Guru di Sekolah
korban kekerasan sangat membutuhkan figur yang dapat diajak bercerita
tentang yang ia alami. Sehingga dalam hal ini guru-guru sebaiknya
menciptakan sekolah sebagai tempat yang menggembirakan dan menarik
minat. Guru-guru tidak membuat suasana kelas yang menakutkan.
Kepribadian guru yang ramah serta membuka diri untuk berdialog dengan
pelajar, hal itu akan membuka peluang bagi pelajar untuk menyatakan tentang
kesulitan atau masalah yang ia alami di lingkungannya (Sofyan, 2004).
BAB III

PENUTUP

SIMPULAN

Child abuse terhadap anak merupakan perlakuan salah terhadap anak oleh orang lain maupun
keluarga anak itu sendiri (pengasuhan yang salah) yang menyebabkan kemungkinan memicu
terjadinya permasalahan dalam kesehatan mental.

Pada awalnya terminologi tindak kekerasan pada anak atau child abuse berasal dari dunia
kedokteran karena terdapat banyak kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami anak-
anak. Kekerasan ini menjadi perhatian dan minat medis. Hingga child abuse mengalami
perkembangan hingga saat ini. Dalam beberapa kategori dalam child abuse yakni Kekerasan
secara fisik (Physical abuse), Kekerasan emosional (emotional abuse), Kekerasan secara verbal
(verbal abuse) Kekerasan seksual (sexual abuse).

Child abuse yang terjadi pada anak tentunya menjadi pembelajaran untuk memperbaiki pola asuh
kepada anak dari segala aspek. Mulai dari ranah paling dekat dengan mereka, orangtua. Dimana
menurut psikologi perkembangan Hurloc dalam proses pertumbuhannya anak selalu melihat,
meniru dan mendengar apa yang terjadi di depannya, termasuk pada lingkungan masyarakat
maupun sekolahnya. Sehingga untuk dapat meminimalisir perilaku child abuse diperlukan
kerjasanya dari segala pihak yang memiliki kemungkinan berperan dalam proses perkembangan
anak.
DAFTAR PUSTAKA

Soetjiningsih. 2009. Tumbuh Kembang Anak. (Jakarta: Salemba Medika).

Arliman, Laurensius. 2016. Partisipasi Masyarakat didalam Perlindungan Anak yang


Berkelanjutan sebagai Bentuk Kesadaran Hukum. Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3, Nomor 2.

Shaleh, Abdul Qadir. 2003. Agama Kekerasan. (Yogyakarta: Primashopie).

Sofiah, Noly dan Septi Budi Sartika. 2018. Buku Ajar Mata Kuliah Asesmen Pembelajaran.
(Sidoarjo: Umsida press).

Siswanto. 2007. Kesehatan Mental Konsep, Cakupan dan Perkembangan. (Yogyakarta: Andi).

Mutmainnah. 2014. Membekali Anak Dengan Keterampilan Melindungi Diri. Jurnal Anak.
Vol.3. edisi 1

Andini, Thathit Mano. 2019. Identifikasi Kejadian Kekerasan Pada Anak di Kota Malang. Jurnal
Perempuan Dan Anak.Vol.2. No.1.

C.S.T. Kansil. Engelien, dan Altje, Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional (Jakarta:
Jala Permata Aksara, 2009).

Y. Bambang Mulyono, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja dan Penanggulangannya


(Yogyakarta: Kanisius, 1984).

Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency (Pemahaman dan Penanggulangannya), (Bandung:


Citra Aditya Bakti, 1997).

Willis, Sofyan S. Remaja dan Masalahnya. Bandung: Alfabeta, 2014.

Anda mungkin juga menyukai