Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Anak merupakan asset bangsa sekaligus amanah yang kelak akan memelihara,
mempertahankan, serta mengembangkan kekayaan dan perjuangan bangsa. Oleh karena itu
anak harus sehat, baik secara jasmani maupun rohani agar terjamin tumbuh kembang
mereka sesuai dengan hak-haknya. Setiap anak pada hakikatnya membutuhkan perawatan,
perlindungan, pengajaran, dan kasih sayang oleh orang-orang dewasa (orang tua terutama),
agar menjamin kebutuhan fisik, mental, sosial dan spiritual mereka. Tidak dapat dipungkiri
bahwa orang tua memperoleh tangung jawab pertama dan utama yang berkewajiban
memenuhi hak dan kebutuhan anak mereka.

Semua anak memiliki hak untuk dilindungi dari kekerasan, eksploitasi dan
pelecehan. Oleh karena itu orang tua dan orang dewasa (termasuk pemerintah) berkewajiban
melindungi mereka. Hal ini sesuai dengan yang tercantum di dalam Undang-Undang
tentang Perlindungan Anak yaitu UU Nomor 23 Tahun 2002 pada Bab III Pasal 13, yang
berbunyi : “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan,
dan penganiayaan.” Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa anak sudah seharusnya
mendapatkan perlindungan dari para pihak yang memberikan pengasuhan. Namun pada
kenyataannya, saat ini orang tua sering melupakan fungsi dan peranan mereka sehingga
seringkali para orang tua tidak menyadari mereka telah melakukan perilaku kekerasan
pada anaknya. Bahkan ada orang tua yang tidak tahu bahwa anaknya sebenarnya sedang
mendapatkan perilaku kekerasan dari pihak luar atau lingkungannya.

Fenomena kekerasan terhadap anak saat ini selalu menjadi topik utama dalam
pemberitaan. Kekerasan terhadap anak menjadi fenomena yang tidak ada habisnya. Seperti
data yang didapatkan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) , sebagai berikut:

1
Tabel 1.1 Data Kasus Kekerasan Terhadap Anak Tahun 2010-2015

Kekerasan Pada Anak


2010 2011 2012 2013 2014 2015
171 2179 3512 4311 5066 6006
Sumber : Laporan Bulanan KPAI Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster
Perlindungan Anak

Tabel 1.2 Data Korban Kekerasan Anak Tahun 2012-2015

Korban Kekerasan Anak


2012 2013 2014 2015
422 750 866 1256
Sumber : Laporan KPAI

Dari data kasus yang di dapatkan dari laporan KPAI, data tersebut menjelaskan bahwa
kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan setiap tahunnya. Begitupun
dengan jumlah korban, dari data kasus anak berhadapan dengan hukum yang menjadi
korban jumlahnya tertera pada tabel di atas yang setiap tahun pun mengalami peningkatan
jumlah korban.

1. 2. Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan kekerasan pada anak?
1.2.2 Bagaimana bentuk-bentuk dan faktor-faktor penyebab kekerasan pada anak?
1.2.3 Apa saja dampak yang disebabkan kekerasan pada anak?
1.2.4 Bagaimana cara penanganan kekerasan pada anak?

1. 3. Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian kekerasan pada anak.
1.3.2 Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk dan faktor-faktor kekerasan pada anak.
1.3.3 Untuk memahami dampak apa saja yang timbul akibat kekerasan pada anak
1.3.4 Untuk memahami solusi apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi kekerasan
pada anak.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kekerasan

Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman
atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang (masyarakat) yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar atau trauma, kematian,
kerugian psikologis, kelainan perkembangan, atau perampasan hak. Kekerasan merupakan
perilaku yang tidak sah atau perlakuan yang salah. Kekerasan dapat diartikan sebagai
perbuatan yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain dan menyebabkan kerusakan
fisik pada orang lain. Kekerasan yang mengakibatkan terjadinya kerusakan adalah kekerasan
yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, kekerasan dapat dikatakan sebuah
kejahatan.

Ada empat sifat kekerasan yang dapat diidentifikasi, yaitu: pertama, kekerasan terbuka
(overt) yaitu kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian. Kedua, kekerasan tertutup
(covert) yaitu kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung seperti perilaku
mengancam. Ketiga, kekerasan agresif yaitu kekerasan yang tidak untuk perlindungan tetapi
untuk mendapatkan sesuatu. Keempat, kekerasan defensif yaitu kekerasan yang dilakukan
sebagai tindakan perlindungan diri.

2.2 Kekerasan Terhadap Anak

Kekerasan umumnya ditujukan kepada kelompok yang dianggap lemah. Anak merupakan
salah satu kelompok yang rentan mendapatkan perilaku kekerasan. Manusia disebut sebagai
anak dengan pengukuran atau batasan usia. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak
No 23 Tahun 2002, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak
yang masih dalam kandungan.

Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk/tindakan perlakuan menyakitkan secara


fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, trafiking, penelantaran, eksploitasi
komersial termasuk eksploitasi seksual komersial anak yang mengakibatkan cidera/kerugian
nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang
anak atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab,

3
kepercayaan atau kekuasaan. Kekerasan terhadap anak termasuk dalam perbuatan disengaja
yang dapat menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak secara fisik maupun emosional.

Menurut Baker, kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang
secara fisik maupun emosi terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat,
hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan
seksual, biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.
Berdasarkan uraian tersebut, kekerasan terhadap anak merupakan perilaku yang dengan
sengaja menyakiti secara fisik dan atau psikis dengan tujuan untuk merusak, melukai, dan
merugikan anak.

2.3 Faktor-Faktor Kekerasan Terhadap Anak

Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1) Faktor Internal
a. Berasal dalam diri anak

Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat disebabkan oleh kondisi dan tingkah laku anak.
Kondisi anak tersebut misalnya : Anak menderita gangguan perkembangan, ketergantungan
anak pada lingkungannya, anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah
laku, anak yang memiliki perilaku menyimpang dan tipe kepribadian dari anak itu sendiri.

b. Keluarga / orang tua

Faktor orang tua atau keluarga memegang peranan penting terhadap terjadinya kekerasan
pada anak. Beberapa contoh seperti orang tua yang memiliki pola asuh membesarkan anaknya
dengan kekerasan atau penganiayaan, keluarga yang sering bertengkar mempunyai tingkat
tindakan kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang tanpa
masalah, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak
karena faktor stres yang dialami orang tua tersebut, orang tua atau keluarga belum memiliki
kematangan psikologis sehingga melakukan kekerasan terhadap anak, riwayat orang tua
dengan kekerasan pada masa kecil juga memungkinkan melakukan kekerasan pada anaknya.

2) Faktor Eksternal
a. Lingkungan luar

4
Kondisi lingkungan juga dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak,
diantaranya seperti kondisi lingkungan yang buruk, terdapat sejarah penelantaran anak, dan
tingkat kriminalitas yang tinggi dalam lingkungannya.

b. Media massa

Media massa merupakan salah satu alat informasi. Media massa telah menjadi bagian dari
kehidupan manusia sehari-hari dan media ini tentu mempengaruhi penerimaan konsep, sikap,
nilai dan pokok moral. Seperti halnya dalam media cetak menyediakan berita-berita tentang
kejahatan, kekerasan, pembunuhan. Kemudian media elektronik seperti radio, televisi, video,
kaset dan film sangat mempengaruhi perkembangan kejahatan yang menampilkan adegan
kekerasan, menayangkan film action dengan perkelahian, acara berita kriminal, penganiayaan,
kekerasan bahkan pembunuhan dalam lingkup keluarga. Pada hakekatnya media massa
memiliki fungsi yang positif, namun kadang dapat menjadi negatif.

c. Budaya

Budaya yang masih menganut praktek-praktek dengan pemikiran bahwa status anak yang
dipandang rendah sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan orangtua maka anak
harus dihukum. Bagi anak laki-laki, adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak laki-laki tidak
boleh cengeng atau anak laki-laki harus tahan uji. Pemahaman itu mempengaruhi dan
membuat orangtua ketika memukul, menendang, atau menindas anak adalah suatu hal yang
wajar untuk menjadikan anak sebagai pribadi yang kuat dan tidak boleh lemah.

2.4 Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak

Suharto mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi 4, meliputi:

1. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah apabila anak-anak disiksa secara fisik dan terdapat cedera yang
terlihat pada badan anak akibat adanya kekerasan itu. Kekerasan ini dilakukan dengan sengaja
terhadap badan anak. Kekerasan anak secara fisik dapat berupa penyiksaan, pemukulan, dan
penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang
menimbulkan luka-luka fisik atau kematian kepada anak. Kekerasan fisik dapat berbentuk
luka, atau dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul,
seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat
bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan
5
pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya
kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak
disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air,
kencing atau muntah disembarang tempat, memecahkan barang berharga.

Macam-macam kekerasan fisik, antara lain: ditampar, ditendang, dianiaya,


dipukul/ditinju, diinjak, dicubit, dijambak, dicekik, didorong, digigit, dibenturkan, dicakar,
dijewer, disetrika, disiram air panas, diancam dengan benda tajam, dan lain-lain. Secara fisik,
akibat kekerasan fisik antara lain: luka memar, berdarah, luka lecet, patah tulang, sayatan-
sayatan, luka bakar, pembengkakan, jaringan-jaringan lunak, pendarahan di bawah
kulit,pingsan, dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat, dan akibat yang paling fatal adalah
kematian.

Beberapa kasus kekerasan yang dialami anak diantaranya dengan dalih mendisiplinkan
anak. Cara yang ditempuh dengan cara melakukan perlakuan kekerasan fisik dan aturan yang
ketat. Oleh sebab itu beberapa kasus pelaku kekerasan fisik adalah orang tua sendiri atau
guru, orang yang seharusnya melindungi, akan tetapi “salah” cara melindunginya. Orang tua
yang melakukan kekerasan pada anaknya agak sulit untuk ditindak. Terdapat dilema saat
orang tua dilaporkan kepada pihak berwajib. Siapa yang akan mencari nafkah apabila nanti
orangtuanya di penjara?”. Pihak orang tua pelaku tindakan kekerasan juga berdalih bahwa ini
merupakan wilayah privasinya, dia berhak mendidik anaknya sesuai dengan pemahaman yang
dianutnya. Tidak sedikit pelaku kekerasan pada anak adalah orang tua yang mempunyai
pemahaman agama yang baik, bahkan menjadi tokoh masyarakat (ustad). Pelaku kekerasan
biasanya masa kecilnya juga mendapatkan perlakuan yang sama. Pengalaman tersebut yang
kemudian diterapkan untuk mendidik anaknya, dengan kekerasan pula.

2. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah situasi perasaan tidak aman dan nyaman yang dialami anak.
Kekerasan psikis dapat berupa menurunkan harga diri serta martabat korban; penggunaan
kata-kata kasar; penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang di depan orang lain
atau di depan umum, melontarkan ancaman dengan kata-kata dan sebagainya. Bentuk
kekerasan psikis, antara lain: dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa melakukan sesuatu yang
tidak dikehendaki, dibentak, dimarahi, dihardik, diancam, dipaksa bekerja menjadi pemulung,

6
dipaksa mengamen, dipaksa menjadi pembantu rumah tangga, dipaksa mengemis, dan lain-
lain.

Anak yang mendapatkan kekerasan psikis umumnya menunjukkan gejala perilaku


maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah dan takut
bertemu orang lain. Dampak kekerasan psikis akan membekas dan mengakibatkan trauma,
sehingga mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Kekerasan emosi adalah sekiranya
terdapat gangguan yang keterlaluan yang terlihat pada fungsi mental atau tingkah laku,
termasuk keresahan, murung, menyendiri, tingkah laku agresif atau mal development.

3. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah apabila anak disiksa/diperlakukan secara seksual dan juga
terlibat atau ambil bagian atau melihat aktivitas yang bersifat seks dengan tujuan pornografi,
gerakan badan, film, atau sesuatu yang bertujuan mengeksploitasi seks dimana seseorang
memuaskan nafsu seksnya kepada orang lain.

Kekerasan seksual adalah perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang
lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak
seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi
seksual). Secara rinci, bentuk-bentuk kekerasan seksual pada anak: diperkosa, disodomi,
diraba-raba alat kelaminnya, diremas-remas payudaranya, dicolek pantatnya, diraba-raba
pahanya, dipaksa melakukan oral sex, pelecehan seksual lainnya, dijual pada mucikari,
dipaksa menjadi pelacur, dipaksa bekerja diwarung remang-remang.

Anak yang mengalami kekerasan seksual akan memberikan dampak psikologis yang
serius, yang akan mengakibatkan trauma, Di antara dampak psikologis kekerasan seksual
pada anak: penarikan diri, ketakutan, agresif, emosi yang labil, depresi, kecemasan, adanya
gangguan tidur, phobia, bersifat keras, gangguan stres pasca trauma, terlibat dalam
penggunaan zat adiktif,merasa rendah diri, minder, merasa tidak berharga, dan lemah dalam
membuat keputusan.

Dengan demikian, anak yang mendapat kekerasan seksual, dampak jangka pendeknya
akan mengalami mimpi-mimpi buruk, ketakutan yang berlebihan pada orang lain, dan
konsentrasi menurun yang akhirnya akan berdampak pada kesehatan. Oleh sebab itu
diperlukan terapi dan pendampingan terhadap anak yang mengalami kekerasan seksual agar

7
jiwanya kembali pulih. Apabila anak mengalami trauma mendalam, dan tidak mampu
dipulihkan, maka perlu diperhatikan dampak psikologis berikutnya, yaitu: anak berupaya
menutupi luka-luka yang dideritanya dan tetap bungkam merahasiakan pelakunya karena
ketakutan akan mendapatkan pembalasan dendam. Kondisi demikian akan mempengaruhi
perkembangan psikologisnya, dan anak akan mengalami kelambatan dalam tahap-tahap
perkembangannya. Dampak lainnya, anak mengalami kesulitan dalam hubungannya dengan
teman sebayanya,. Apabila trauma begitu mendalam, tidak menutup kemungkinan anak akan
menyakiti diri sendiri dan mencoba bunuh diri.

Selain dampak psikologis, kekerasan seksual pada anak juga menyisakan masalah pada
fisik. Diantara dampak fisik/biologis yang dialami anak akibat kekerasan seksual: bisa terjadi
luka memar, rasa sakit, gatal-gatal di daerah kemaluan, pendarahan dari vagina atau
anus,infeksi saluran kencing yang berulang, keluarnya cairan dari vagina. Sering pula didapati
korban menunjukkan gejala sulit untuk berjalan atau duduk, terkena infeksi penyakit kelamin,
kehamilan. Dengan demikian, anak yang mengalami kekerasan seksual, dengan sendirinya dia
mengalami kekerasan fisik sekaligus kekerasan psikis. Perlu edukasi pada masyarakat terkait
dengan maraknya kekerasan seksual pada anak. Orang tua perlu waspada dan memberikan
cukup perhatian terhadap prilaku anaknya. Demikian juga dengan lingkungan sekelilingnya.

4. Kekerasan Sosial

Kekerasan anak secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak.
Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian
terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga,
atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan. Eksploitasi anak menunjuk pada
perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat.
Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial,
atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di
pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa
peralatan yang memadai, atau dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga melebihi batas
kemampuannya.

Bentuk-bentuk kekerasan dapat diterima oleh anak-anak kapan saja dan dimana saja.
Mereka seolah-olah dibayangi atau diikuti oleh tindakan kekerasan atau kejahatan dimanapun
mereka berada baik pada saat di rumah, di tempat bermain bahkan di sekolah. Bentuk-bentuk

8
penelantaran diantaranya kurang memberikan perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan
anak, tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, rasa aman, kesehatan, perlindungan
(rumah) dan pendidikan, mengacuhkan anak, tidak mengajak bicara, dan lain-lain. Dampak
terjadinya pentelantaran akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak, antara lain:
terjadi kegagalan dalam tumbuh kembang, malnutrisi, yang menyebabkan fisiknya kecil,
kelaparan, terjadi infeksi kronis, hygiene kurang, hormon pertumbuhan turun, sehingga dapat
mengakibatkan kerdil.

2.5 Penanganan Kekerasan Pada Anak

Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat pengaduan terkait dengan persoalan anak
sebanyak 3.849 kasus pada tahun 2017, atau mengalami penurunan dari data pada tahun
sebelumnya. Hal ini juga terbantu oleh banyaknya bantuan perlindungan anak dari lembaga
lain. Dari situasi ini dapat dilihat bahwa mulai tumbuhnya lembaga-lembaga layanan
perlindungan anak di daerah.

Anak yang menjadi korban kekerasan sudah seharusnya mendapatkan perlindungan dan
penanganan dari berbagai pihak. Dibutuhkan strategi dalam penanganan kekerasan
terhadap anak. Strategi yang dilakukan harus mampu mencegah dan menangani tindak
kekerasan. Dalam hal ini dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak agar strategi yang
dilakukan berjalan secara holistik dan komprehensif. Seperti yang telah disusun oleh UNICEF
yaitu strategi penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap anak dan perlindungan
anak :

1. Supporting parents, caregivers and families

Pendekatan ini berusaha untuk mencegah kekerasan terjadi, mengurangi faktor-faktor


yang membuat keluarga rentan terhadap perilaku kekerasan dengan memperkuat
keterampilan pengasuhan anak. Menyediakan layanan dukungan lembaga seperti
mempersiapkan penyalur pengasuh anak yang terlatih. Home visit yang dilakukan oleh
pekerja sosial dan ahli lainnya untuk meningkatkan dan memberikan pengetahuan
kepada orang tua dan pengasuh tentang interaksi orang tua dan anak yang positif
termasuk penerapan disiplin anti kekerasan dalam pengasuhan anak. Strategi ini berupaya
penuh dalam mendukung orang tua, pengasuh, dan keluarga dalam penyediaan informasi,
pendidikan dan pengetahuan mengenai “parenting skill”. Dengan tujuan mengurangi atau
dapat mencegah potensi perilaku kekerasan terhadap anak.
9
2. Helping children and adolescents manage risk and challenges

Pendekatan ini memberikan keterampilan terhadap anak-anak dan remaja untuk


mengatasi dan mengelola risiko kekerasan sehingga dapat membantu anak untuk
mengurangi terjadinya kekerasan di sekolah dan masyarakat. Mengajarkan anak berpikir
kritis, bertindak asertif, berani menolak dan mengeluarkan pendapat, memecahkan
masalah secara kooperatif sehingga mereka dapat melindungi dirinya sendiri dari tindak
kekerasan yang terjadi di lingkungannya.

3. Changing attitudes and social norms that encourage violence and discrimination

Pendekatan ini memberikan pengetahuan mengenai cara merespon ketika melihat dan
mengalami tindak kekerasan. Memahami ketika ada perbedaan yang terjadi pada norma dan
nilai yang berlaku di masyarakat sehingga ketika kita melihat ada perilaku salah, itu dapat
dikatakan sebagai tindakan yang wajar atau tidak, dapat di toleransi atau tidak. Mengubah
pola pikir masyarakat yang menganggap kekerasan adalah bentuk dari disiplin sehingga
dapat membedakan antara norma yang sesuai dan norma sosial yang membahayakan bagi
anak. Disini terlihat peran dari masyarakat yang turut menjadi agen perubahan.

4. Promoting and providing support services for children

Pendekatan ini berupaya menyediakan layanan bagi anak, seperti layanan pengaduan
ketika mengalami tindak kekerasan. Memberikan informasi dan bantuan agar anak
mendapatkan pemulihan dan tindakan yang tepat. Pemerintah dan masyarakat harus sadar
akan pentingnya ketersediaan layanan di lingkungan tempat tinggal.

5. Implementing laws and policies that protect children

Pembuat kebijakan memainkan peran penting untuk melindungi anak-anak. Mereka


dapat memastikan bahwa Negara memiliki proses nasional untuk mencegah dan
menanggapi kekerasan terhadap anak. Pemerintah harus membangun kerangka hukum
yang kuat bahwa implementasi dan monitoring perlu dilakukan.

6. Carrying out data collection and research

Peningkatan pengumpulan data nasional dan sistem informasi untuk mengidentifikasi


kelompok rentan. Hal ini dilakukan untuk memantau kekerasan yang terjadi pada anak.
Mengoptimalkan ketersediaan data tentang isu-isu kekerasan anak (Ending Violence

10
Against Children : Six Strategies for Action, UNICEF : 2014). Bagi masyarakat, keluarga,
atau orang tua diperlukan kebijakan, layanan, sumberdaya, dan pelatihan pencegahan
kekerasan pada anak yang konsisten dan terus menerus.

Dalam hal ini strategi pencegahan kekerasan terhadap anak meliputi:

1) Pencegahan primer untuk semua orang tua dalam upaya meningkatkan kemampuan
pengasuhan dan menjaga agar perlakuan salah atau abuse tidak terjadi, meliputi
perawatan anak dan layanan yang memadai, kebijakan tempat bekerja yang
medukung, serta pelatihan life skill bagi anak. Yang dimaksud dengan pelatihan life
skill meliputi penyelesaian konflik tanpa kekerasan, keterampilan menangani stress,
manajemen sumber daya, membuat keputusan efektif, komunikasi interpersonal secara
efektif, tuntunan atau guidance dan perkembangan anak, termasuk penyalahgunaan
narkoba.
2) Pencegahan sekunder ditujukan bagi kelompok masyarakat dengan risiko tinggi
dalam upaya meningkatkan ketrampilan pengasuhan, termasuk pelatihan dan layanan
korban untuk menjaga agar perlakuan salah tidak terjadi pada generasi berikut.
Kegiatan yang dilakukan di sini di antaranya dengan melalukan kunjungan rumah
bagi orang tua yang baru mempunyai anak untuk melakukan self assessment apakah
mereka berisiko melakukan kekerasan pada anak di kemudian hari.
3) Pencegahan tersier dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pengasuhan yang
menjaga agar perlakuan salah tidak terulang lagi, di sini yang dilakukan adalah
layanan terpadu untuk anak yang mengalami korban kekerasan, konseling, pelatihan
tatalaksana stres. Pada saat kasus kekerasan pada anak ditemukan, sebenarnya ada
masalah dalam pengasuhan anak (parenting disorder).
Maka dari itu, strategi pencegahan kekerasan pada anak yang mendasar adalah
dengan memberikan informasi pengasuhan bagi para orang tua khususnya. Di sisi lain,
para orang tua harus diyakinkan bahwa mereka adalah orang yang paling
bertanggung jawab atas semua pemenuhan hak anak. Maka semua usaha yang
dilakukan dalam rangka mengubah perilaku orang tua agar melek informasi
pengasuhan dan hak anak membutuhkan upaya edukasi yang terus menerus. Dengan
demikian, pendidikan pengasuhan bagi orangtua sebagai bagian dari strategi
pencegahan kekerasan pada anak menjadi sangat penting.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kekerasan terhadap anak menjadi fenomena yang tidak habisnya. Masih banyak kasus
kekerasan anak yang masih belum ditangani secara optimal karena masih adanya
keengganan dari pihak keluarga korban untuk melaporkan tindak kekerasan tersebut. Mata
rantai tindak kekerasan terhadap anak perlu diputus mata rantainya karena anak dengan
masa lalu mengalami kekerasan akan ada kencenderungan menimbulkan trauma untuk
melakukan kekerasan pula ketika mereka dewasa nanti. Anak yang menjadi korban
kekerasan perlu ditangani secara khusus karena korban kekerasan akan mengalami trauma
baik fisik maupun mental. Penanganan kekerasan terhadap anak memerlukan kerjasama
dari orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Oleh karena itu upaya penanganan kekerasan anak berbasis masyarakat perlu dilakukan
untuk memutus mata rantai tindak kekerasan. Selain itu upaya pencegahan menjadi bagian
penting dari upaya memutus mata rantai tindak kekerasan tersebut. Upaya tersebut dapat
dilakukan melalui dari lingkungan sosial yang paling awal dan paling dekat yaitu keluarga,
kerabat, dan hingga seterusnya meluas ke masyarakat serta pengendalian media sosial dan
media massa oleh pemerintah. Perlu kesadaran bersama, bahwa tindak kekerasan sudah
merupakan kejahatan yang sangat luar biasa yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak
di masa yang akan datang, serta akan berimbas pada terganggungnya proses pendidikan
dan pengasuhan anak dalam institusi-institusi sosial yang ada.

12
Daftar Pustaka

http://ejournal.iainkendari.ac.id/al-izzah/article/download/871/786. Diunduh pada tanggal 19


Desember 2018, pukul 10.32.

https://fh-warmadewa.ac.id/e-jurnal/index.php/LAW/article/view/107/106. Diunduh pada tanggal


19 Desember 2018, pukul 10.35.

http://eprints.undip.ac.id/46181/3/DEBY_PRISCIKA_PUTRI_22010111110152_LapKTI_BAB2.pdf.
Diunduh pada tanggal 19 Desember 2018, pukul 10.41.

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34575/1/Sururin-FITK. Diunduh pada


tanggal 19 Desember 2018, pukul 11.04.

https://www.researchgate.net/publication/319647056_PENANGANAN_KEKERASAN_ANAK_BERBASIS
_MASYARAKAT.Diunduh pada tanggal 19 Desember 2018, pukul 11.17.

http://www.kpai.go.id/berita/catatan-akhir-tahun-kpai-meneropong-persoalan-anak. Diunduh pada


tanggal 19 Desember 2018, pukul 11.23.

http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Palastren/issue/download/264/26. Diunduh pada tanggal


19 Desember 2018, pukul 11.29.

13

Anda mungkin juga menyukai