Anda di halaman 1dari 27

KEKERASAN PADA ANAK

CHILD ABUSE

Nama : Rahmi Putri Rangkuti

NIP : 198602032010122003

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2017
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Puji syukur saya kehadirat Allah SWT karena hanya dengan ridho-Nya saya

diberikan kesempatan untuk menyelesaikan artikel ini. Tidak lupa pula salawat

beriring salam kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari

zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang sekarang ini. Tulisan ini

berisi ulasan mengenai maltreatment yang dilakukan pengasuh kepada anak.

Artikel ini secara singkat berisi mengenai definisi kekerasan pada anak (child

abuse), klasifikasi gangguan, faktor-faktor penyebabnya gangguan serta

penanganan yang mungkin dilakukan.

Mungkin dalam penulisan dan penjelasan terdapat beberapa kekurangan,

namun penulis berharap artikel ini dapat memberikan informasi bagi pembaca.

Medan, Agustus 2017

Penulis,

Putri Rangkuti Rangkuti

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI......................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL................................................................................................. iii

Kekerasan pada anak............................................................................................. 1

A. Pendahuluan ..................................................................................................... 1

B. Pengertian Kekerasan pada Anak atau Child abuse ......................................... 2

C. Batasan Usia Korban Child Abuse ................................................................... 3

D. Klasifikasi kekerasan pada anak ...................................................................... 5

E. Pelaku kekerasan pada anak ............................................................................. 8

F. Faktor penyebab Child Abuse ........................................................................... 8

G. Dampak Child Abuse ....................................................................................... 12

H. Contoh Kasus ................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 .................................................................................................................. 2

iii
KEKERASAN PADA ANAK

A. Pendahuluan

Tindakan kekerasan sering kali diterima oleh anak, tanpa sedikitpun anak

dapat memberla diri. Tindakan kekerasan kekerasan pada anak merupakan dasar

yang telah dibangun generasai sebelumnya sebagai warisan, anak-anak yang

menerima kekerasan maka ketika ia menjadi dewasa makan ia juga berpotensi

melakukan kekerasan kepada anaknya. Pelaku kekerasan kepada anak biasanya

adalah keluarga, tetangga dan teman. Banyak sekali pelaku kekerasan pada anak

adalah orang tua, sehingga sering sekalu tidak terjangkau hukum karena orang tu

beranggapan bahwa ia adalah pihak yang paling berhak terhadap anak (Manik,

1999).

Sampai saat ini kasus kekerasan pada anak masih kurang mendapat

perhatian. Hal ini dikarenakan selain data dan laporan tentang kasus ini sedikit, juga

karena kasus ini sering kali sering kali masih terbalut oleh kebiasaan masyarakat

yang meletakkan masalah ini sebagai masalah intern keluarga, dan karena tidak

layak atau tabu untuk diekspos secara terbuka (Suyanto&Hariyadi, 2002).

Harkrisnowo (dalam Suyanto&Hariyadi, 2002) juga menyatakan hal yang sama

bahwa rendahnya kasus kekerasan pada anak yang diketahui publik salah satunya

disebabkan sering terjadinya penyelesaian kasus semacam ini dilakukan secara

kekeluargaan dalam tingkat penyelidikan, sehingga kasus-kasus tindak kekerasan

yang dialami anak-anak tidak direkam oleh aparat sebagai suatu tindakan pidana.

1
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan (Setiawan,

2015), kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahunnya. KPAI mencatat

terjadi pengingakat signifikan antara tahun 2011 sampai 2014. Hasil monitoring

dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa anak-anak

menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di

lingkungan masyarakat. Berikut data kekerasan terhadap anak di Indonesia

pertahun.

Tabel 1. Data kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia

Tahun Jumlah kasus


2011 2178
2012 3512
2013 4311
2014 5066
2015/Juli 6006

(Sumber : Setiawan, 2015; P2TP2A, 2015)

B. Pengertian kekerasan pada anak atau Child Abuse

Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan,

penganiyaan, penyiksaan, atau perlakukan yang salah. Pada kamus berjudul The

Social Work Dictionary, abuse didefinisikan sebagai perilaku tidak layak yang

mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik

yang dialami individu atau kelompok (dalam Huraerah, 2007).

Pada awalnya istilah child abuse dan neglect berasal dan mulai dikenal dari

duani kedokteran. Sekitar tahun 1946, Caffey seorang radiologis melaporkan kasus

cedera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk

2
(multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan subdural tanpa

mengetahui penyebabnya (unrecognized taruma). Kasus yang ditemukan Caffey ini

semakin menarik publik ketika Henry Kempe menulis masalah ini di Journal of the

American Medical Association, dan melaporkan bahwa dari 71 rumah sakit yang ia

teliti ternyata terjadi 302 kasus tindakan kekerasan terhadap anak-anak, dimana 33

anak dilaporkan meninggal akibat penganiyayan yang dialaminya, dan 85 anak

mengalami kerusakan otak permanen (dalam Suyanto&Hariyadi, 2002).

Richard J. Gelles (dalam Huraerah, 2007) mendefinisikan child abuse atau

kekerasan terhdap anak sebagai perbuatan yang disengaja yang menimbulkan

kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah

child abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman

fisik secara langsung oleh orang rua atau orang dewasa lainnya sampai kepada

penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak.

C. Batasan Usia Korban Child Abuse

Batasan usia adalah penting untuk mengetahu atau memastikan bahwa

tindakan kekerasan berobjek pada anak atau tidak. Pada sistem hukum Negara

Indonesia tidak ada keseragaman dalam penentuan batas kedewasaan. Hukum

perdata dan pidana menentukan seseorang yang masih digolongkan anak atau tidak

dengan menggunakan standar umur, sedangkan dalam hukum adapt dan hukum

Islma tidak menggunakan standar hukum melainkan didasarkan kepada keadaan

biologis anak (dalam Manik, 1999).

3
• KUHP Perdata

Seseorang dinyatakan dewasa apabila sudah mencapai umur 21 tahun,

kecuali anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun (dalam Manik, 1999).

• KUHP pidana

Anak adalah mereka ysng belum mencapai usia 16 tahun. UU No.1 tahun

1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa anak yang belum berumur 21 tahun

dan belum pernah kawin berada dibawah kekuasaan orang tua atau walinya.

Selanjutnya pada UU no.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menentukan

kriteria seseorang disebut anak adalah mereka yang belum mencapai usia 21 tahun

dan belum menikah (dalam Manik, 1999).

• Hukum adap dan hukum Islam

Berdasarkan hukum Islam seseorang dikatakan dewasa apabila sudah dapat

melakukan reproduksi atau haid pada anak perempuan dan sudah pernah mimpi

basah pada anak laki-laki. Hukum adat menyatakan bahwa seseorang dikatakan

dewasa apabila dapat bekerja sendiri/mandiri, dapat mengurus harta kekayaannya

sendiri, dan dapat atau cakap untuk melakukan apa yang diisyaratkan dalam hukum

bermasyarakat dan bertanggungjawab (dalam Manik, 1999).

4
D. Klasifikasi Kekerasan Anak

Child abuse menurut Terry E. Lawson seorang psikiater (dalam Manik,

1999) mengatakan bahwa kekerasan pada anak dapat diklasifikasikan dalam 4

macam yaitu:

• Emotional abuse

Emotional abuse dapat terjadi apabila setelah orang tua mengetahui

keinginan anaknya untuk meminta perhatian namun orang tua tidak memberikan

apa yang diinginkan anak tetapi justru mengabaikannya. Anak akan mengingat

semua kekerasan emosinal tersebut jika hal itu terjadi secara konsisten.

• Verbal abuse

Verbal abuse lahir sebagai akibat dari bentakan, makian orang tua terhadap

anak..Ketika anak meminta sesuatu, orang tua tudak memberikan tetapi membentak

anak. Saat anak mengajak orang tua berbicara, orang tua tidak menanggapinya

justru menghardik dengan membentak. Anak akan mengingat kekerasan jenis ini

jika semua kekerasan verbal ini berlaku dalam suatu periode.

• Physical abuse

Physical abuse adalah kekerasan yang terjadi pada saat anak menerima

pukulan dari orang tua. Kekerasan jenis ini akan diingat anak apalagi akibat

kekerasan itu meninggalkan bekas.

• Sexual abuse

Kekerasan seksual adalah ketika anak menerima kekerasn secara seksual

dari orang dewasa.

5
Suharto (dalam Huraerah, 2007) mengelompokkan child abuse dalam 4

kelompok yaitu:

• Kekerasan anak secara fisik

Kekerasan anak secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan

penganiyaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu,

yang meninmbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat

berbentuk lecet atau memar akibat sentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti

bekas gigitan, cubitab, ikat pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar

akibat bensin panas, atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka

biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung

atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik biasanya

dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai oleh orang tuanya, seperti anak

yang nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air, kencing atau muntah

sembarangan, memecahkan barang berharga dan lain-lain.

• Kekerasan anak secara psikis

Kekerasan anak secara psikis meliputi penghardikan, pemyampaian kata-

kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film porno kepada

anak.anak yang mendapatkan kekerasan psikis ini umumnya menunjukkan gejala

6
perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati,

takut keluar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.

• Kekerasan anak secara seksual

Kekerasan seksual pada anak dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual

antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual,

exibitionism), maupun perlakukan kontak seksual secara langsung antara anak

dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

• Kekerasan anak secara sosial

Kekerasan pada anak secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan

eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap adan perlakuan orang tua yang

tidak memberikan perhatian yang layak terhadao proses tumbuh kembang anak.

Misalnya, anak yang dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan

pendidikan dan perawaran kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjukkan

pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang

dilakukan keluarga atau masyarakat. Misalnya, memaksa anak melakukan sesuatu

demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak

untuk mendapat perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status

sosialnya Contohnya anak yang dipaksa kerja di pabrik-pabrik yang

membahayakan dengan upah rendah dan tanpa perlatan pelindung yang memadai,

anak yang dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan rumah

tangga melebihi batas kemampuannya.

7
E. Pelaku Kekerasan pada anak

Menurut KPAI (Setiawan, 2015), pelaku kekerasan pada anak bisa dibagi

menjadi tiga.

• Pertama, orang tua, keluarga, atau orang yang dekat di lingkungan rumah.

• Kedua, tenaga kependidikan yaitu guru dan orang-orang yang ada di

lingkungan sekolah seperti cleaning service, petugas kantin, satpam, sopir

antar jemput yang disediakan sekolah.

• Ketiga, orang yang tidak dikenal.

Berdasarkan data KPAI, anak-anak menjadi korban kekerasan di

lingkungan masyarakat jumlahnya termasuk rendah yaitu 17,9 persen. Hal ini

menunjukkan, anak-anak rentan menjadi korban kekerasan justru di lingkungan

rumah dan sekolah. Artinya pelaku kekerasan pada anak justru lebih banyak berasal

dari kalangan yang dekat dengan anak.

F. Faktor Penyebab Child Abuse

Siti Fatimah seorang pemerhati masalah anak dari Malaysia (dalam

Suyanto&Hariyadi, 2002) mengungkap setidaknya ada 6 kondisi yang menjadi

faktor penyebab terjadinya kekerasan atau pelanggaran dalam keluarga yang

dilakukan terhadap anak-anak.

8
• Faktor ekonomi, kemiskinan yang dihadapi sebuah keluarga seringkali

membawa keluarga tersebut pada situasi kekecewaan yang menimbulkan

kekerasan.

• Masalah keluarga, mengacu pada situasi keluarga khususnya hubungan

dengan orang tua yang kurang harmonis. Seorang ayah akan sanggup

melakukan kekerasan terhadap anak semata-mata sebagai pelampiasan atau

upaya pelepasan rasa jengkel dan marah kepada istri. Sikap orang tua yang

tidak menyukai anak-anak, pemarah dan tidak mampu mengendalikan

emosi juga dapat menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak-anak. Bagi

orang tua yang memiliki anak yang bermasalah seperti cacat fisik atau cacat

mental, seringkali mereka merasa terbebanu atas kehadiran anak-anak

tersebut dan tidak jarang orang tua menjadi kecewa dan merasa frustasi.

• Faktor perceraian, perceraian dapat menimbulkan problematika

kerumahtanggaan seperti persoalan hak pemeliharaan anak, pemberian

kasih sayang, pemberian nafkah dan sebagainya. Akibat perceraian juga

dirasakan anak-anak terutama ketika orang tua menikah lagi dan anak harus

dirawar oleh ibu atau ayah tiri. Dalam banyak kasus tindakan kekerasan

tidak jarang dilakukan oleh ayah atau ibu tiri.

• Kelahiran anak di luar nikah, tidak jarang sebagai akibat adanya

kelahiran anak di luar nikah menimbulkan masalah diantara kedua orang

tua anak. belum lagi jika melibatkan pihak keluarga dari pasangan tersebut.

Akibatnya anak akan banyak menerima perlakukan yang tidak

menguntungkah seperti: anak merasa disingkirkanm harus menerima

9
perlakukan diskriminatif, tersisih atau disisihkan oleh keluarga bahkan

harus menerima perlakuan yang tidak adil dan bentuk kekerasan lainnya.

• Menyangkut permasalahan jiwa atau psikologis, Pada berbagai kajian

psikologis disebut bahwa orang tua yang melakukan kekerasan terhadap

anak-anak adalah mereka yang memiliki masalah psikologis. Mereka

senantiasa berada dalam situasi kecemasan dan tertekan akibat mengalami

depresi atau stres. Secara tipologi ciri-ciri psikologis yang menandai situasi

tersebut antara lain: adanya perasaan rendah diri, harapan terhadap anak

yang tidak realistik, harapan yang bertolak belakang dengan kondisinya

dan kurang pengetahuan tentang bagaimana mengasuh anak.

• Pendidikan dan pengetahuan agama. Faktor terjadinya kekerasan atau

pelanggaran terhadap hak-hak anak adalah tidak memiliki pendidikan atau

pengetahuan religi yang memadai.

Pada sebuah model yang disebut ”The abusive Environment Model”, Ismail

(dalam Suyanto & Hariyadi, 2002) menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya

kekerasan terhadap anak sesungguhnya dapat ditinjau dari 3 aspek yaitu:

• Aspek kondisi anak

Kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak anak dapat terjadi karena

faktor dari anak sendiri, seperti:

o Anak yang mengalami kelahiran premature

o Anak yang mengalami sakit sehingga mendatangkan masalah

o Hubungan yang tidak harmonis sehingga mempengaruhi watak

10
o Adanya proses kehamilan atau kelahiran yang sulit

o Kehadiran anak yang tidak dikehendaki

o Anak yang mengalami cacat mental maupun fisik

o Anak yang sulit diatur, dan

o Anak yang meminta perhatian khsusus.

• Apek orang tua

Kekerasan dan pelanggaran pada anak juga dapat dikarenakan orang tua si

anak, yaitu:

o Pernah-tidaknya orang tua mengalami kekerasan atau penganiyaan

sewaktu kecil

o Menganggur atau karena pendapatan tidak mencukupi

o Pecandu narkotik atau pecandu alkohol

o Pengasingan sosial atau dikucilkan

o Waktu senggang yang terbatas

o Karakter pribadi yang belum matang

o Mengalami gangguan emosi atau kekacauan saraf

o Mengidap penyakit jiwa

o Mengalami gangguan kepribadian

o Berusia terlalu muda sehingga belum matang, kebanyakan orang tua

kelompok ini tidak memahami kebutuhan anak

o Pendidikan yang rendah

11
• Aspek lingkungan sosial

Kondisi-kondisi sosial juga dapat menjadi penyebab kekerasan terhadap

anak, yaitu:

o Kondisi kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai

materialistis

o Kondisi sosial ekonomi yang rendah

o Adanya nilai di dalam masyarakat bahwa anak adalah miliki orang

tuanya

o Status wanita yang rendah

o Sistem keluarga patriakhal

o Nilai masyarakat yang terlalu individualistik

o Dan sebagainya

G. Dampak Child Abuse

Anak-anak yang mengalami kekerasan selain mendapatkan luka atau

memar yang tampak secara fisik juga terlihat menunjukkan dampak pada perilaku

mereka (dalam Suyanto&Hariyadi, 2002). Anak-anak yang mengalami kekerasan

akan menujukkan perilaku sebagai berikut:

• Menarik diri

• Ketakutan

• Menunjukkan perilaku agresif

• Emosi yang labil

12
• Menunjukkan gejala depresi

• Kecemasan

• Adanya gangguan tidur

• Phobia

• Ketika dewasa bisa menjadi pelaku abuse

• Menjadi bersifat keras

• Gangguan trauma

• Dapat terlibat dalam penggunaan zat adiktif

Adapun perilaku lain yang dapat dilihat pada anak-anak korban

penganiyaan atau penyiksaan adalah:

• Menutup-nutupi luka yang mereka derita

• Bungkan dan merahasiakan pelakunya karena ketakutan akan mendapat

balas dendam dari pelakukanya

• Mengalami keterlambatan dalam tahap-tahap perkembangan

• Mengalami kesulitan bergaul dengan teman-teman sebayanyanya

• Mungkin menunjukkan tingkah laku menyakiti diri sendiri atau bahkan

bunuh diri.

13
H. Contoh Kasus

Kasus 1

Ibu Kandung Aniaya Bayi J, Sahabat Bantu Rekam dengan Ponsel

KONTRIBUTOR BALI, ROBINSON GAMAR

Kompas.com - 03/08/2017, 18:12 WIB

DENPASAR, KOMPAS.com - Polisi memeriksa seorang saksi berinisial M,

teman dari MD, tersangka kasus penganiayaan terhadap bayi J (11 bulan), anak

kandungnya sendiri.

Direskrimum Polda Bali Kombespol Sang Made Mahendra Jaya mengatakan, M

sempat muncul dalam video kekerasan yang dilakukan MD itu. Dari hasil

pemeriksaan diketahui, ponsel milik M digunakan MD untuk merekam aksi

tersebut.

"Orang yang ada di video sudah kami periksa, HP-nya digunakan untuk merekam,"

kata Mahendra saat ditemui di Mapolda Bali, Selasa (2/8/2017).

Tidak hanya memberikan ponsel, M juga sempat membantu merekam aksi

kekerasan tersebut.

Proses merekam aksi kekerasan tidak dilakukan sekali dalam sehari, tetapi

dilakukan beberapa kali. Dari hasil pemeriksaan, beberapa video juga telah dihapus

baik oleh MD maupun M.

14
"Tidak terjadi satu kali, tapi beberapa kali. Baru tiga video yang ada tapi beberapa

sudah dihapus," ujar Mahendra.

M dan MD berteman. MD melakukan kekerasan kemudian direkam agar hasilnya

dikirim ke ayah biologis dari J yaitu Otmar Daniel Adelsberger yang berada di

Austria. Polisi sendiri belum menetapkan M sebagai tersangka karena masih

dilakukan pendalaman.

"Untuk M sedang kami dalami, dia sangat kooperatif memberikan keterangan," kata

Mahendra.

MD menjalani pemeriksaan lanjutan di Mapolda Bali didampingi penasehat hukum

Naldi Elvian Saban. MD telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus

penganiayaan terhadap anak kandungnya sendiri, bayi J.

(sumber: Gamar, 2017)

Kasus 2

Berikut merupakan kasus kekerasan pada anak yang cukup menyita perhatian

seluruh masyarakat Indonesia. Seorang anak perempuan dikabarkan menghilang

dari rumah. Berita menghilangnya anak ini sempat viral dibeberapa media sosial

seolah-olah ibunya yang belakangan diketahui merupakan ibu angkat mencari-cari

anak keberadaan anak tersebut. Akhirnya mayat anak tersebut ditemukan terkubur

dibelakang rumah ibu angkatnya dan diketahui anak mengalami kekerasan.

15
Rentetan Kasus Pembunuhan Angeline hingga Vonis Pengadilan

Hasan Kurniawan

Senin, 29 Februari 2016 - 16:19 WIB

JAKARTA - Kasus pembunuhan Engeline Margriet Megawe (Angeline) di Bali

menyita perhatian masyarakat dalam dan luar negeri. Pembunuhan yang

berlangsung sangat sadis ini, akhirnya berakhir di Pengadilan Negeri (PN)

Denpasar.

Semasa Hidup

Angeline merupakan putri dari pasangan Rosidik dan Hamidah. Dia diadopsi oleh

keluarga Margareta sejak bayi. Orangtua Angeline menyerahkan anaknya kepada

Margareta lantaran tidak memiliki uang untuk menebus biaya klinik.

Saat Angeline lahir, penghasilan Rosidik waktu itu hanya Rp30 ribu perhari. Warga

Banyuwangi ini hanya bekerja sebagai kuli. Sementara biaya bersalin Hamidah saat

itu mencapai Rp600 ribu.

Ketika dalam kondisi sulit itulah orangtua Angeline diperkenalkan oleh Margareta

melalui tetangga kosnya. Saat itu, Margareta berjanji akan menjaga, serta merawat

Angeline dengan baik dan mereka percaya.

Setelah dipertemukan dengan Margareta di sebuah klinik di daerah Canggu, Kuta,

Badung, dia mengaku diajak ke notaris membuat perjanjian hitam di atas putih.

Rosidik lalu diberi uang Rp1,8 juta oleh Margareta.

16
Bersama Margareta

Janji Margareta untuk merawat Angeline dengan baik ternyata diingkarinya.

Selama di rumah Margareta, Angeline diperlakukan seperti budak kecil. Dia harus

memberi makan ratusan ayam ternak milik Margareta.

Sebelum selesai memberi makan ayam, Angeline dilarang makan dan berangkat

sekolah. Kegiatan ini dilakukan Angeline setiap hari sebelum berangkat sekolah.

Untuk itu, Angeline harus bangun sejak subuh.

Bahkan, ketika makanan dan minuman ayam kurang Angeline selalu diteriaki dan

dimarahi oleh Margareta. Dengan nada menghina tanpa belas kasihan, Margareta

menyebut Angeline sebagai anak yang tidak tahu diri.

Tidak jarang, Angeline menjadi korban penganiayaan Margareta jika telat memberi

makan ayam. Pernah suatu ketika ada anak ayam Margareta yang hilang satu ekor

dan tidak ketemu.

Kesal anak ayamnya hilang, Margareta lalu memukuli Angeline. Margareta juga

kerap menjambak rambut Angeline yang panjang. Tindakan kasar ini diterima

Angeline hampir setiap hari.

Wali Kelas II SDN 12 Sanur Putu Sri Wijayanti mengatakan, setiap hari Angeline

terlihat kusut, pakaiannya kotor, rambutnya berantakan dan bau kotoran ayam.

Karena itu, sering kali dia yang mengkramasinya.

"Ya, saya pernah cuci rambutnya dia. Waktu itu anaknya kotor banget, mulai dari

rambut, telingga, dan lehernya itu berkerak semuanya," terang Sri, saat ditemui

wartawan.

17
Dia juga mengaku sering melihat luka lebam pada tubuh Angeline. Pernah suatu

hari, Margareta menemuinya dan mengatakan terim kasih telah memberikan

perhatian kepada anaknya. Namun begitu, dia tidak menanyakan sebabnya karena

takut.

Angeline Hilang

Sebelum ditemukan tewas dibunuh ibu angkatnya sendiri, Angeline (8) dikabarkan

menghilang dari rumah, kawasan Denpasar, Bali. Kabar menghilangnya Angeline

mulai diberitakan, pada Sabtu 16 Mei 2015.

Saat menghilang, bocah cilik berparas cantik ini mengenakan daster panjang warna

biru muda, sandal jepit warna kuning, rambut dikuncir dan berbadan kurus.

Angeline terakhir kelihatan saat tengah bermain di halaman depan rumahnya, di

Jalan Sedap Malam. Pihak keluarga Margareta awalnya membangun opini

Angelina hilang dibawa lari orang yang tidak dikenal.

Kabar menghilangnya Angeline juga sempat disebar ke jejaring sosial Facebook.

Namun saat wartawan mengonfirmasi hal ini kepada Kapolsek Denpasar Selatan

Kompol Nanang Prihasmoko, kabar hilangnya Angeline dibantah.

Ditemukan Tewas

Setelah kabar hilangnya Angeline tersebar luas, perhatian masyarakat langsung

tertuju kepada pencarian bocah malang ini. Petugas kepolisian pun didesak untuk

lebih keras mencari keberadaan Angeline.

18
Upaya petugas akhirnya membuahkan hasil. Angeline ditemukan pada Rabu 10

Juni 2015. Saat ditemukan, Angeline sudah tidak bernyawa. Mayatnya ternyata

terkubur bersama boneka berbie di rumah Margareta, Jalan Sedap Malam, Sanur,

Denpasar.

Mayat Angeline ditemukan oleh Tim Gabungan Polda Bali yang terdiri dari Polsek

Denpasar Timur dan Polresta Denpasar di belakang kandang ayam, tepatnya dekat

pohon pisang yang di depannya ada tumpukan sampah.

Sumber : Kurniawan, 2016

19
DAFTAR PUSTAKA

Gamar, R. (2017). Ibu Kandung Aniaya Bayi J, Sahabat Bantu Rekam dengan
Ponsel. Kompas.com. Dikutip dari
http://regional.kompas.com/read/2017/08/03/18125661/ibu-kandung-
aniaya-bayi-j-sahabat-bantu-rekam-dengan-ponsel.

Hurairah, Abu. (2007). Child abuse (kekerasan terhadap anak): edisi revisi.
Bandung: Penerbit Nuansa

Kurniawan, Hasan. (2016). Rentetan Kasus Pembunuhan Angeline hingga Vonis


Pengadilan. Sindonews.com. dikutip dari
https://daerah.sindonews.com/read/1089180/174/rentetan-kasus-
pembunuhan-angeline-hingga-vonis-pengadilan-1456737431/13

Manik, S.Z. (editor). (1999). Kekerasan terhadap anak dalam wacana dan realita.
Medan: Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak.

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak. (2015). Indonesia


Darurat Kekerasan Anak. Dikutip dari
http://p2tp2abukittinggi.blogspot.co.id/2015/08/indonesia-darurat-
kekerasan-anak.html

Setiawan, D. (2015). KPAI: Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Tiap Tahun


Meningkat. Dikutip dari http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-
kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/

Suyanto, Bagong., & Hariyadi, S.S. (2002). Krisis & child abuse: kajian sosiologis
tentang kasus pelanggaran hak anak dan anak-anak yang membutuhkan
perlindungan khsusus (child in need of special protection). Surabaya:
Penerbit Airlangga University Press

20
Pembunuhan Sadis

Penemuan Angeline sempat menggemparkan warga Bali. Bocah yang tadinya

dikabarkan hilang dan diculik, ternyata tewas dihabisi oleh Margareta, ibu

angkatnya sendiri.

Menurut polisi yang mengangkat jenazah Angeline, pada lehernya ditemukan luka

goresan-goresan bekas jeratan. Diduga, Angeline dijerat dengan tali. Polisi juga

menemukan banyak luka memar di tubuh siswi kelas II SDN 12 Sanur itu.

Tidak hanya itu, kepala Angeline juga dibenturkan ke lantai dan tembok. Benturan

keras inilah yang diduga menyebabkan Angeline meninggal dunia. Setelah tewas,

mayat Angeline bahkan dilecehkan.

Pelaku Pembunuhan

Ditemukannya mayat Angeline disusul dengan penetapan tersangka pembunuhan.

Tersangka pertama yang ditetapkan polisi sebagai tersangka adalah pembantu

rumah tangga Margareta, Agus Tae Hamda May.

Saat pembunuhan terjadi, Agus baru satu minggu bekerja dengan Margareta.

Penetapan tersangka ini baru diketahui pada Rabu 10 Juni 2015. Dalam

prarekonstruksi kejadian, terungkap Agus membunuh Angeline.

Agus membunuh Angeline pada adegan ke-7 dengan cara membenturkan kepala

Angeline ke tembok dan lantai berkali-kali. Agus juga mencekik leher Angeline

dengan tangannya hingga tubuh bocah malang itu lemas.

21
Saat Angeline tidak berdaya, Agus sempat diminta untuk memperkosa Angeline.

Namun Agus menolaknya. Setelah Angeline tewas, dia langsung menguburnya

bersama boneka berbie kesayangan Angeline.

Kepada polisi, Agus mengaku melakukan pembunuhan keji itu tidak sendiri. Dia

disuruh majikannya, yakni Margereta. Keterangan Agus dijadikan dasar untuk

menjadikan Margareta sebagai tersangka kedua.

Pada awalnya, Margareta ditetapkan sebagai pelaku penganiayaan Angeline. Baru

kemudian menjadi tersangka pembunuhan Angeline. Dalam sidang, terungkap

bahwa Margareta adalah pelaku utama pembunuhan itu.

Vonis Pengadilan

Sidang kasus pembunuhan Angeline berjalan sangat alot hingga berlangsung empat

bulan. Selain karena adanya dugaan praktik kecurangan pada majelis hakim, juga

adanya permainan di kepolisian.

Sidang yang awalnya dipimpin Hakim Ketua I Gede Ketut Wanugraha, Made

Sukreni, dan Ahmad Paten Silly dipindakan ke Ambon. Penyebabnya karena sidang

berlangsung langsung lambat dan berlarut-larut.

Pada pihak kepolisian, kecugiaan akan adanya permainan terjadi saat video

pemeriksaan Agus berhasil diperoleh Tim Pengacara Margareta. Video itu

merupakan dokumentasi Polri yang sifatnya rahasia.

Setelah melewati proses yang melelahkan, pengadilan akhirnya menjatuhkan vonis

10 tahun penjara terhadap Agus dan penjara seumur hidup terhadap Margareta.

22
23

Anda mungkin juga menyukai