Pedofilia
Oleh:
Mifta Huljannah
H1AP15050
Pembimbing:
dr. Norevia Eurelyn, Sp.KJ
Bengkulu,
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Anak merupakan subjek hukum dan hak-hak anak telah diakui dalam hukum.
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang
merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan
strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan
perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental
dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.
Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti
sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus
pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan
yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali
Indonesia. Upaya-upaya perlindungan anak harus telah dimulai sedini mungkin, agar
kelak dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara.
Saat ini, kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di bawah
umur menempati urutan kedua setelah kekerasan psikologis. Mulyadi menyatakan 1024
kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas Perlindungan Anak sepanjang tahun 2006,
terdiri dari 600 lebih kekerasan seksual, 28% adalah sodomi. Lalu pada Januari sampai
Maret 2007, Komnas Perlindungan Anak sudah menangani 363 kasus kekerasan
terhadap anak, 78 kasus diantaranya adalah sodomi. Dalam realitas, anak sering
dijadikan objek kejahatan. Salah satu bentuk kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-
anak adalah kejahatan pedofilia.
Pedofilia adalah manusia dewasa yang memiliki perilaku seksual menyimpang
dengan anak-anak. Kata itu berasal dari bahasa Yunani, paedo (anak) dan philia (cinta).
Merebaknya kasus pedofilia - mayoritas pelaku adalah turis asing - merupakan sisi kelam
pariwisata di Bali. Bahkan, Bali dikenal sebagai surga para pelaku pedofilia yang
membentuk jaringan internasional di Asia Tenggara. Di tengah pesatnya perkembangan
sektor pariwisata, ancaman kekerasan seksual terhadap anak-anak memang kian nyata.
Anak-anak dengan latar belakang keluarga miskin, terutama anak-anak jalanan, sangat
rentan menjadi mangsa empuk para bule yang mengidap kelainan seksual ini. Dengan
iming-iming uang maupun berbagai pemberian dari sang pelaku banyak anak terkecoh
dan akhirnya jadi korban. Penderita pedofilia atau pedofilis, menjadikan anak-anak
1
sebagai sasaran. Seorang pedofilis, umumnya melakukan tindakannya, hanya karena
dimotifasi keinginannya memuaskan fantasi seksualnya.
Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan, kejahatan
seksual terhadap anak-anak adalah bencana nasional bagi bangsa Indonesia. Saat ini,
kejahatan seksual telah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Kejahatan
seksual akan merusak generasi penerus bangsa karena adanya kecenderungan dari
korban untuk menjadi pelaku saat mereka dewasa. Banyaknya kasus kekerasan
terhadap anak, khususnya kekerasan seksual dikarenakan secara fisik dan psikis,
anak merupakan kaum yang lemah sehingga rentan menjadi korban kekerasan dan
pelecehan seksual. Penelitian yang dilakukan di Universitas Airlangga menyebutkan
bahwa mayoritas kekerasan terjadi karena adanya ancaman dan paksaan (66,3 %),
bujuk rayu (22,5 %), dan dengan menggunakan obat bius (5,1 %). Komisi Nasional
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, bahwa sejak Tahun 2007, jenis kejahatan
anak tertinggi adalah kasus sodomi terhadap anak. Dari 1.992 kasus kejahatan anak yang
masuk ke KPAI Tahun itu, sebanyak 1.160 kasus atau 61,8 persen, adalah kasus sodomi
anak. Bahkan KPAI menerima laporan kasus kekerasan seksual yang selalu meningkat
setiap tahunnya. Sejak Tahun 2011 sampai Tahun 2014, terjadi peningkatan yang
signifikan.
Di masyarakat, kasus-kasus pedofilia banyak terjadi. Namun masih
sedikit terungkap dan diketahui publik, oleh karena perilaku para pedofilis yang
makin canggih dan meninggalkan pendekatan kekerasan. Penderita pedofilia
bahkan banyak dari kalangan menengah ke atas. Ini terbukti kalangan pedofilis
menggunakan berbagai cara dan modus untuk ”menjerat” korbannya.
Meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak menjadi
fenomena tersendiri dan menyedot perhatian banyak kalangan. Kasus kekerasan
seksual pun semakin kompleks mulai dari faktor penyebab dari pelaku hingga
akibat yang ditimbulkan bagi korban. Berdasarkan hal tersebut, penting untuk
mengkaji kekerasan seksual terhadap anak, terutama yang dilakukan oleh orang
dewasa sebagai suatu kelainan seksual atau yang kemudian lebih dikenal dengan
istilah pedofilia. Kajian ini merupakan kajian literatur yang mencoba
menginformasikan mengenai fenomena pedofilia dan kekerasan seksual yang
dapat menjadi ancaman terhadap anak.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pedofilia
2.1.1 Definisi
Penggunaan istilah Pedofilia ditujukan pada perilakunya sementara
Pedofil sebutan bagi pelaku pedofilia. Secara etimologi, istilah
pedofilia berasal dari Bahasa Yunani, yakni paedo (anak) dan philia
(cinta). Sarjana Inggris menulis paedophilia, sedangkan sarjana
Amerika menulis dengan pedophilia dan psikiater Indonesia menulis
dengan pedofilia.
"gangguan kepribadian dewasa dan perilaku" di mana ada pilihan seksual untuk
anak-anak pada usia pubertas atau pada masa prapubertas awal. Istilah ini
adalah parafilia di mana seseorang memiliki hubungan yang kuat dan berulang
terhadap dorongan seksual dan fantasi tentang anak-anak prapuber dan di mana
perasaan mereka memiliki salah satu peran atau yang menyebabkan penderitaan
3
Menurut teori dasar Psikologi Abnormal, Freud (1963) menyatakan
bahwa Pedofilia didefinisikan sebagai daya tarik seksual terhadap
anak-anak pra-pubertas. Kebanyakan pelaku pedofilia ini adalah
seorang pria, mereka memiliki ketertarikan seksual dengan anak yang
usianya di bawah 13 tahun. Pedofilia memiliki ketertarikan seksual
dengan stimulus yang tidak biasa yaitu pada anak-anak1 yang
mengatakan pedofilia adalah penyakit yang termasuk dalam kategori
sadomasokisme, yaitu suatu kecenderungan terhadap aktivitas seksual
yang meliputi pengikatan atau menimbulkan rasa sakit atau
penghinaan.
Pedofilia, sebagai salah satu bentuk deviasi seksual, dimana
seseorang mengalami gangguan arah-tujuan seksual. Pada PPDGJ III
(Depkes RI, 1993) maupun artikel-artikel ilmiah 2,3 mendeskripsikan
pedofilia sebagai sebuah istilah klinis yang digunakan oleh psikiater
dan psikolog untuk menyebut ketertarikan seksual terhadap anak-anak
yang belum mengalami pubertas atau masih berada di awal masa
pubertas.
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi umum untuk kejadian pedofilia sekitar 1%, namun
ketika selidiki lebih lanjut angka prevalensi dapat meningkat menjadi 5%
pada pria. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa antara 3% dan 5% dari
peserta pria dapat didiagnosis sebagai pedofilik berdasarkan reaksi ereksi
terhadap rangsangan anak yang eksplisit secara seksual prevalensi
preferensi seksual pedofilik di Jerman dapat diperkirakan menjadi sekitar
3,8% dalam kasus terburuk, dihitung berdasarkan yang dipilih (373
sampel).
Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat,
bahwa sejak Tahun 2007, jenis kejahatan anak tertinggi adalah kasus
sodomi terhadap anak. Dari 1.992 kasus kejahatan anak yang masuk ke
KPAI Tahun itu, sebanyak 1.160 kasus atau 61,8 persen, adalah kasus
4
sodomi anak. Bahkan KPAI menerima laporan kasus kekerasan seksual
yang selalu meningkat setiap tahunnya. Sejak Tahun 2011 sampai Tahun
2014, terjadi peningkatan yang signifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178 kasus
kekerasan, Tahun 2012 ada 3512 kasus, Tahun 2013 ada 4311 kasus, dan
Tahun 2014 ada 5066 kasus,” Dari laporan kasus tersebut, 1366 kasus
diantaranya adalah pornografi dan 1032 kasus cybercrime. Pada bulan
Januari hingga Mei Tahun 2015 menerima 500 laporan kasus kekerasan
anak.
5
umumnya luapan emosi jiwa sang anak korban kekerasan seksual akan
terekspresi ketika ia tumbuh menjadi individu dewasa. Ekspresi
kemarahan yang tecermin dari perilaku kekerasan serupa kepada anak di
bawah umur merupakan eksternalisasi luapan trauma yang tumbuh sejak
usia kanak-kanak.
6
memicu seseorang mengalami gangguan orientasi seksual.
Ketidakharmonisan hubungan dengan pasangan merupakan salah satu
pemicu untuk mencari upaya alternatif dalam memuaskan kebutuhan
biologis. Namun fatalnya, perilaku seksual mereka dilakukan kepada anak
di bawah umur dengan maksud untuk menekan tingkat perlawanan saat
aksi kekerasan seksual dilakukan.7
Faktor lingkungan ada hubungannya dengan teori kelekatan emosi
(attachment theory) yang mengungkapkan bahwa gangguan yang terjadi di
dalam hubungan individu dengan orang tuanya pada masa kanak-kanak
juga dapat menyebabkan gangguan kejiwaan pada saat individu tersebut
menginjak usia dewasa. Hubungan kelekatan emosi antara orang tua dan
anak yang tidak sehat sejak dini mendorong individu untuk tumbuh dan
berkembang dengan kondisi jiwa yang sakit8 Bowlby menjelaskan bahwa
seorang anak yang berkembang pada kondisi emosi yang tidak aman dan
nyaman dalam hubungan emosionalnya dengan orang tua sejak usia dini
akan tumbuh menjadi individu yang sarat dengan segala permasalahan
yang berkaitan dengan gangguan psikologis.
Faktor sosiokultural lainnya karena menurunnya moralitas yang
menjadikan pelaku menuruti semua keinginan hawa nafsunya tanpa
memikirkan baik-buruk, benar-salah, boleh-tidak akan perilakunya.9
1. Trauma
Pengalaman selama anak-anak sebagai korban kekerasan seksual
sebagai penyebab seseorang menjadi pelaku kekerasan seksual Mereka
belajar dengan mengamati dan berpendapat bahwa kepuasan seksual dapat
pula diperoleh dari anak-anak. Bisa jadi pula mereka rendah diri
menyadari dirinya adalah korban kekerasan seksual. Akibatnya mereka
cenderung menutup diri dan pergaulannya pun terbatas.
2. Kurangnya Kemampuan Sosialisasi
7
Kurangnya keterampilan untuk membina hubungan akrab dengan orang
lain mapun lingkungannya juga menjadi salah satu penyebab pelaku melakukan
kekerasan seksual. Misalnya mereka tidak dapat menjalin hubungan intim dengan
orang dewasa yang sebaya. Dalam kondisi ini, tidak ada yang lebih nyaman
selain berinteraksi dengan anak-anak, yang mudah didekati tanpa melakukan
perlawanan sebagaimana dahulu yang terjadi pada dirinya.
4. Faktor Ekonomi
Dari segi sosial ditemukan pelaku kebanyakan berasal dari
kalangan sosial ekonomi rendah. Sebagian bahkan tidak memiliki
pekerjaan. Ditambah dengan tingkat pendidikan yang umumnya kurang
memadai, mereka sulit menemukan cara penyelesaian masalah yang
efektif. Akibatnya mereka mudah terkena stres dan menggunakan anak
untuk mengatasi rasa tertekan atau ketegangannya akibat stres.
Seorang Pakar Psikologi dan Psikoterapi Jerman, Jorge Ponseti
(2012) menyatakan bahwa Kendati "tidak semua pedofil lantas menjadi
pemerkosa anak-anak," namun Ponseti mengaku kesulitan membuat
perbedaan ilmiah terkait potensi tindak kriminal di antara pedofil. Banyak
yang tidak tahu, dunia kesehatan seksual selama ini menilai pedofilia
sebagai gangguan mental. Tapi hal itu cuma berlaku jika seorang pedofil
menyebabkan kerugian pada orang lain. Ponseti menyebutkan bagwa
“Menurut sistem klasifikasi psikologi Amerika, gangguan pedofilia cuma
8
berlaku jika seseorang memiliki hasrat seksual terhadap anak-anak dan
menjalaninya, tetapi jika sesorang cuma memiliki hasrat belaka tanpa
menjadi pelaku, maka bisa disebut orientasi seksual."
2.1.4 Klasifikasi
Meskipun tidak ada klasifikasi absolut dan konsisten dalam
literatur, pedofilia dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor yang
berbeda seperti posisi keluarga anak yang menjadi korban dan jenis
tindakan seksual. Klasifikasi ini mendukung klarifikasi konsep pedofilia
dalam banyak aspek.
(a) Pedofilia yang fiksasi. Orang dengan pedofilia tipe ini menganggap
dirinya terjebak pada lingkungan anak. Mereka jarang bergaul dengan sesama
usianya dan memiliki hubungan yang lebih baik dengan anak. Mereka
digambarkan sebagai lelaki dewasa yang tertarik pada anak laki-laki dan menjalin
(b) Pedofilia yang sifatnya regresi. Individu dengan pedofilia regresi tidak
tertarik pada anak lelaki, dan biasanya bersifat heteroseks, serta lebih suka pada
adanya kecemasan maupun ketegangan dalam perkawinan mereka, dan hal ini
sebagai pengganti orang dewasa, menjalin hubungan seperti sesama dewasa, dan
(c) Pedofilia seks lawan jenis. Merupakan pedofilia yang melibatkan anak
perempuan dan didiagnosa sebagai pedofilia regresi. Pedofilia lawan jenis ini
9
umumnya menjadi teman anak perempuan tersebut. Kemudian secara bertahap
melibatkan anak tersebut dalam hubungan seksual, dan sifatnya tidak memaksa.
(d) Pedofilia sesama jenis. Orang dengan pedofilia jenis ini lebih suka
berhubungan seks dengan anak laki-laki ataupun anak perempuan dibanding orang
juga pedofilia juga yang dilakukan oleh wanita, dan biasanya melibatkan anak
berumur 12 tahun atau lebih muda. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya
perasaan keibuan pada wanita, dan anak laki- laki tidak menganggap hal ini
sebagai sesuatu yang sifatnya negatif, karena itu insidennya kurang dilaporkan.
beberapa kelompok antara lain: (a) Sexually attracted to male, (b) Sexually
attracted to female, (c) Sexually attracted to both, (d) Limited to incest, (e)
Pedofilia digunakan untuk individu dengan minat seksual utama pada anak-
10
Pedofilia juga dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok:
Pedofilia primer dan pedofilia sekunder. Pedofilia sekunder digambarkan
sebagai komorbiditas kelainan lain seperti skizofrenia atau kelainan
organik yang berarti muncul karena kelainan lain yang ada. Di sisi lain,
pada pedofilia primer, gangguan memiliki fungsi dasar.
Berdasarkan perilaku pedofilia dapat dikatagorikan kedalam :
1. Immature Pedophiles
Pelaku cenderung melakukan pendekatan kepada targetnya yang
masih anak-anak di bawah umur. Misalnya dengan cara mengiming-imingi
korban dengan hal-hal menyenangkan seperti permen, uang jajan atau
permainan.
2. Regressed Pedophiles
Pelaku umumnya memiliki istri sebagai topeng penyimpangan
orientasi seksualnya. Pelaku dalam aksinya memiliki tipe yang bersifat
memaksa korbannya, tanpa ada iming-iming tertentu.
3. Agressive Pedophiles
Pelaku jenis ini lebih agresif dan memiliki perilaku anti-sosial di
lingkungannya. Tipe ini biasanya memiliki keinginan untuk menyerang
korbannya, bahkan tidak jarang berpotensi membunuh korbannya setelah
dinikmati.
2.1.5. Psikodinamik
11
Informasi berikut ini adalah contoh beberapa teori yang telah diusulkan dan
dipelajari :6,7
1. Perbedaan Neuropsikiatri
cortex, dan otak kecil pada seorang pedofil. Temuan ini serupa dengan
dan bilateral lobus frontalis, lobus temporal, dan cerebellar pada seorang
12
pedofil. Schiffer et al menyatakan bahwa perubahan ini mungkin berarti
kepribadian antisosial.
Salah satu contoh yang paling jelas dari factor lingkungan dimana
“abused-abusers phenomena”.
13
seksual tidak menjadi pelaku pelecehan seksual. Terdapat perhatian khusus
Pernyataan ini sering dibuat pada tingkat hukum atau pada suatu kelompok
mereka.
A. Karakter pedofilia
saya lakukan "memiliki nilai pendidikan," bahwa kesenangan anak berasal dari
tindakan atau perhatian, atau bahwa anak itu provokatif dan mendorong tindakan
c. pembenaran (misalnya," Saya suka dengan anak laki, bukan selingkuh "),
14
e. Serangan serangan karakter (pada anak, jaksa, atau polisi, serta potensi fisik
kekerasan).
Pedofil 2,5 kali lebih mungkin untuk terlibat kegiatan dalam kontak fisik
a. Kegiatan ini bervariasi dari mulai mengekspos diri mereka sendiri kepada
anak-anak (eksibisionisme),
15
Memiliki latar belakang pelecehan seksual. Penelitian menunjukkan
Memiliki kontak sosial terbatas pada masa remaja. Pada waktu remaja,
terhadap mereka.
anak.
16
sangat terampil merupakan indikator kuat bahwa pelaku adalah
seorang pedofilia.
dalam berhubungan seksual dengan orang dewasa dan oleh karena itu
Tinggal sendiri atau bersama orang tua. Indikator ini berhubungan erat
golongan remaja.
17
Memiliki hubungan yang terbatas dengan teman sebaya. Seorang
Preferensi umur dan gender. Pedofil menyukai anak pada usia dan
gender tertentu. Ada pedofil yang menyukai anak lelaki berusia 8-10
tahun , ada juga yang menyukai anak lelaki 6-12 tahun. Semakin tua
anak lebih baik daripada orang dewasa lainnya. Mereka juga tahu cara
18
akses ke anak-anak. Pedofil akan berada di tempat anak-anak bermain,
anak.
lain.
hadiah.
mengkoleksi mainan, boneka atau menjadi badut atau ahli sulap untuk
19
4. Fantasi seksual yang difokuskan pada anak-anak
rock, dll.
kejiwaan. Secara medis, seseorang disebut sebagai Pedofilia, jika mereka yang
satu bentuk deviasi seksual. Gangguan kejiwaan sebagai pedofi diagnosis dengan
III :2
20
Preferensi tersebut harus berulang dan menetap.
laki atau perempuan atau keduanya, biasanya usia prapubertas atau awal
pubertas." Berdasarkan kriteria sistem ini, orang yang berusia 16 tahun atau lebih
pradominan untuk anak-anak praremaja setidaknya lima tahun lebih muda dari
mereka.4
21
Baik kriteria diagnostik ICD maupun DSM membutuhkan aktivitas seksual
yang sebenarnya dengan seorang pemuda praremaja. Diagnosis sehingga
dapat dibuat berdasarkan adanya fantasi atau dorongan seksual bahkan jika
mereka tidak pernah ditindaklanjuti. Di sisi lain, seseorang yang bertindak
atas dorongan ini belum ada pengalaman buruk tentang fantasi mereka atau
dorongan dapat juga memenuhi syarat untuk diagnosis. Bertindak
berdasarkan dorongan seksual tidak terbatas pada tindakan seks yang jelas
untuk tujuan diagnosa ini, dan kadang-kadang dapat mencakup paparan
yang tidak senonoh, perilaku voyeuristik atau frotteuristik, atau
bermasturbasi dengan pornografi anak. Seringkali, perilaku ini perlu
dipertimbangkan dalam konteks dengan unsur penilaian klinis sebelum
diagnosis dibuat. Demikian juga, ketika pasien berada dalam masa remaja
akhir, perbedaan usia tidak ditentukan dalam angka yang keras dan
bukannya memerlukan pertimbangan situasi yang cermat.
B. Penatalaksanaan
karena sudah bersifat umum terdapat kesepakatan di antara para ahli bahwa
22
Pendekatan yang paling efektif termasuk pendekatan farmakologi dari
pelanggar seksual didasarkan pada asumsi bahwa perilaku secara seksual dan
fisiologi normal yang terganggu pada seorang pedofilia dan perbuatan seksual
menyimpang lainnya. 7
yang telah digunakan selama ini dalam pengobatan pelaku seksual adalah untuk
mengurangi dorongan seksual mereka dan untuk mencegah residivisme. Studi ini
oleh antiandrogen dan agen hormonal memiliki efek yang sama pada perilaku
seksual.9
perilaku seksual. Ada bukti empiris bahwa BPA dan sertraline memiliki efek
berbeda pada gairah seksual pola pedofil yang menekan gairah pedofilia dan
analog LHRH suatu SSRI semuanya telah dibuktikan sebagai pengobatan yang
23
perilaku perawatan farmakologis dan kognitif harus dilakukan di sebagian kasus.
Baru-baru ini kami telah menggunakan kombinasi anti androgen dan SSRI untuk
pengobatan pedofilia.1
Tidak ada pengobatan yang efektif untuk pedofilia kecuali pedofil sendiri
“castration” atau pengembirian. Pada saat ini pengobatan pedofil lebih terfokus
pada pencegahan pedofil untuk melakukan pelecehan seksual dari pada mengubah
seksual dan masturbasi. Temuan ini menunjukkan bahwa dorongan seksual dapat
24
sering membutuhkan kerjasama antara penegak hukum dan profesional kesehatan.
kambuh" adalah jenis yang paling umum dari pengobatan perilaku kognitif.
Intervensi perilaku
pengujian.2
25
C. Prognosis
Karena tidak adanya informasi yang dapat dipercaya dari berbagai studi
follow-up, maka prognosis tergantung dari riwayat pasien sendiri, lama
penyimpangan seks, adanya gejala penarikan diri secara sosial maupun
seksual dan kekuatan serta kelemahan kepribadian pasien. Tetapi perilaku
ini biasanya tetap dilakukan pasien meskipun sudah diterapi.
26
diperiksa secara eksplisit, hasilnya terbatas dalam generalisasi dan
spesifisitasnya terhadap pedofilia.2
Dalam penelitian lain, pedofil heteroseksual dan homoseksual
diuji, tetapi masing-masing kelompok, ditambah satu kelompok kontrol
memiliki riwayat pelanggaran seksual dan dipenjara pada saat penelitian.
Pedofil heteroseksual yang sepenuhnya mengakui memiliki indeks
diferensiasi gender (atau sensitivitas erotis untuk bentuk tubuh yang
membedakan gender yang membedakan pria dan wanita dewasa secara
fisik), yang lebih besar daripada pedofil heteroseksual yang tidak mengakui,
tetapi tidak ada perbedaan yang ditemukan untuk homoseksual atau
biseksual pedofil. Ini menyoroti bahwa pedofil heteroseksual yang
sepenuhnya mengakui lebih menyukai bentuk tubuh anak perempuan
sedangkan pedofil parsial atau tidak mengakui tampaknya tidak
membedakan antara tipe tubuh korban. Gillespie dan McKenzie (2000)
menyelidiki perbedaan neuropsikologis antara pelaku kejahatan seksual
yang dipenjara dan yang tidak melakukan hubungan seks dan tidak
menemukan perbedaan yang signifikan pada tindakan mereka, termasuk
WAIS, Tugas Pembuatan Jejak, tes Belajar Daftar, uji Asosiasi Kata-Kata
Kunci Terkontrol, dan Nasional. Tugas Membaca Dewasa (NART). Di
antara pelaku gangguan kepribadian, pelaku kekerasan seksual, pelaku
kekerasan non-seks, dan pelaku kekerasan non-kekerasan, tidak ada
perbedaan yang dicatat pada variabel tes neuropsikologis, termasuk WAIS,
Tugas Pembuatan Jejak, Pengenalan Wajah, Skala Memori Wechsler -
Revisi, dan Wechsler Recognition Memory Task. Seperti penelitian
sebelumnya, tidak ada status penahanan atau preferensi seksual yang
dikendalikan, yang membatasi hasil generalisasi untuk pria pedofil.2
Hasil ini menunjukkan bahwa pedofil yang terganggu dan dituntut
memang menunjukkan defisit dalam fungsi eksekutif, yang mungkin lebih
disebabkan oleh gangguan mental dan bukan karena preferensi seksual. Ini
berbeda dengan temuan dari gangguan kepribadian antisosial / literatur
psikopati yang menunjukkan, setidaknya di antara sampel masyarakat
27
diukur untuk sifat-sifat psikopat, bahwa sifat-sifat kepribadian ini terkait
dengan defisit dalam penghambatan respons dan impulsif, khususnya
dengan penyimpangan sosial yang terkait dengan defisit keseluruhan di
fungsi eksekutif dan penghambatan respons, sedangkan sifat berperasaan-
emosional yang diamati dalam psikopati terkait dengan peningkatan
kemampuan fungsi eksekutif. Dalam gangguan kepribadian antisosial
(ASPD), defisit domain fungsi eksekutif yang luas telah dicatat dalam
penghambatan respons, perencanaan, dan akuisisi aturan dan pembelajaran
pembalikan, menunjukkan bahwa penelitian sebelumnya yang memeriksa
pedofilia mungkin telah mengukur ASPD atau hanya efek stres penahanan
dalam sampel yang dipenjara. daripada pedofilia. Ini berbeda dengan
penelitian terbaru yang menemukan penurunan kecepatan pemrosesan pada
pedofil tetapi beberapa defisit lainnya, menunjukkan lebih banyak efek
status pelanggaran daripada efek preferensi seksual.2
Studi di masa depan perlu hati-hati mengontrol komorbiditas psikiatrik,
status penahanan, dan status pelaku, karena tidak ada penelitian sampai saat
ini telah memeriksa defisit neuropsikologis pada pelaku potensial atau
pedofil yang tidak menyinggung. Hanya dengan studi-studi ini akan
diilustrasikan sifat alami dari gangguan neuropsikologis.2
28
fungsional. Berikut ini adalah diskusi tentang temuan yang diklasifikasikan
sebagai neuropsikologis, namun timbulnya perbedaan ini adalah dalam rahim,
masa kanak-kanak, dan remaja, sehingga menunjukkan bahwa temuan ini
sebenarnya merupakan bagian dari perkembangan manusia dan berkontribusi pada
onset preferensi pedofilik daripada bertindak sebagai konsekuensi daripadanya.2
Mempertimbangkan efek dari gangguan perkembangan saraf dan fungsi
eksekutif pada perkembangan pedofilia, tampaknya bermanfaat untuk
mempertimbangkan efek kecerdasan. Hasil penelitian telah bertentangan:
misalnya, kenakalan seksual umum terkait dengan kecerdasan yang lebih rendah,
sedangkan di antara kelompok pelanggar non-seksual, pedofil, dan nonpedofil,
tingkat pendidikan maupun kecerdasan tidak berbeda secara signifikan. Namun
ketika peserta pedofilik dipisahkan oleh penggunaan pornografi anak, mereka
yang tidak memiliki riwayat penggunaan pornografi anak menunjukkan
penurunan IQ dan tingkat pendidikan rata-rata yang lebih rendah dibandingkan
dengan mereka yang melakukannya. Peringatan utama untuk penelitian ini adalah
bahwa pornografi anak dianggap sebagai indikator yang dapat diandalkan dari
minat seksual pedofil, oleh karena itu mengacaukan hasil apa pun yang ditemukan
dengan tingkat pendidikan atau kecerdasan karena para pedofil dengan riwayat
pelanggaran seksual anak juga lebih cenderung menggunakan pornografi anak.
Penelitian saat ini berfokus pada peran intelijen di antara pria pedofil yang hanya
mengkonsumsi pornografi anak dan mereka yang telah melakukan pelanggaran
pelecehan seksual anak, terutama yang membedakan mereka yang telah dipenjara
dari mereka yang tidak. Seperti yang ditunjukkan oleh hasil ini, pedofil
tampaknya berbeda dari kontrol sehat pada langkah-langkah perkembangan saraf.
Namun, hasil ini bervariasi dan sedikit kesimpulan kuat dapat ditarik, termasuk
peningkatan tingkat kidal dan peningkatan tingkat cedera kepala sebelum usia 13
tahun. Bagian selanjutnya akan membahas hubungan neurologis dan 28 perbedaan
neurobiologis dengan perkembangan pedofilia, karena keduanya adalah fokus
penelitian saat ini menentukan korelasi saraf pada orang dengan pedofilia.2
29
Untuk keperluan ulasan ini, kami fokus pada penyediaan tinjauan umum
pekerjaan neuroimaging terbaru dalam penelitian pedofilia mulai tahun 2007,
dengan studi kasus dari tahun 2000 dan 2003. Hal ini dilakukan untuk ruang dan
alasan keterbacaan; sehingga ulasan lain yang baru-baru ini diterbitkan
memberikan diskusi mendalam yang sangat baik tentang neuroimaging pada
pedofilia. Tinjauan itu merangkum keadaan seni neuroimaging pada pedofilia
sebagai bayi, dengan konsensus umum bahwa temuan tersebar dan perlu
direplikasi. Sebagian besar hasil dari studi neuroimaging pada pedofilia telah
menemukan korelasi neurostruktural atau neurofungsional dari pelecehan seksual
anak, bukan pedofilia per se. Amigdala tetap merupakan daerah dengan minat
tinggi, tetapi Mohnke et al. (2014) menyarankan metodologi yang lebih ketat
untuk mereplikasi temuan ini. Diskusi kami sejajar dan berkembang setelah ulasan
tersebut.2
Sebuah studi kasus terkenal yang menyoroti penyakit neurologis yang
menyebabkan perilaku seksual impulsif dan bisa menjadi ekspresi dari orientasi
pedofil yang mendasarinya adalah tumor orbitofrontal yang tepat pada pria
berusia 40 tahun. Sebelum ditemukannya tumornya, pasien secara terang-terangan
menyatakan tidak tertarik pada anak-anak, tetapi setelah tumor berkembang, ia
membuat kemajuan seksual pada anak tiri praremaja dan memulai koleksi
pornografi, termasuk pornografi anak-anak, yang dihasilkan dari kehilangan
kendali impuls yang terkait dengan disfungsi korteks orbitofrontal. Meskipun
perilakunya non-eksklusif dan preferensinya tidak diuji secara eksplisit, fakta
yang paling mengejutkan tentang gejalanya adalah bahwa semua gejala seperti
pedofilia menghilang setelah reseksi tumor. Terlebih lagi, setelah tumor direseksi,
gejala seperti pedofilia muncul kembali dan menghilang lagi setelah reseksi kedua
sehingga menunjukkan hubungan sebab akibat yang jelas antara perilaku dan
fungsi otak. Namun sebagian besar tumor orbitofrontal yang jelas tidak
menghasilkan perilaku pedofilik, artinya studi kasus ini harus ditafsirkan secara
hati-hati.2
Hanya sedikit studi tentang perbedaan struktural berbasis MRI pada
pedofilia yang telah dipublikasikan sejauh ini. Dengan menggunakan morfometri
30
berbasis voxel (VBM), beberapa perubahan materi abu-abu (GM) dan materi
putih (WM) ditemukan. Dalam delapan belas pria pedofil heteroseksual dan
homoseksual eksklusif yang dipenjara dengan sejarah pelanggaran seksual
terhadap anak-anak prapubertas, volume GM yang secara signifikan lebih rendah
di korteks orbitofrontal bilateral, insula bilateral, striatum ventral bilateral
(putamen), precuneus, cingulate posterior kiri, serta superior dan temporal tengah
kanan, gyrus parahippocampal, dan di cingulate dibandingkan dengan 24
teleiophiles ditemukan. Temuan ini dikoreksi untuk beberapa perbandingan
menggunakan tingkat penemuan palsu di seluruh otak. Namun, hanya gyrus
parahippocampal kiri yang akan tetap signifikan jika koreksi Bonferroni untuk 15
analisis ROI tambahan telah diterapkan. Para penulis mengusulkan disfungsi
frontal-eksekutif teoretis dan menyarankan bahwa - mirip dengan gangguan
spektrum obsesif-kompulsif - temuan ini dapat membentuk sirkuit neurofisiologis
yang berkontribusi pada patofisiologi pedofilia.2
Dalam studi lain dengan 15 pasien rawat inap forensik pedofilik
dibandingkan dengan kelompok teleiophile yang sehat, pengurangan GM
ditemukan dalam empat ROI yang telah ditentukan terdiri dari amygdalae kanan,
di daerah septum kanan, nukleus striae terminalis (BNST), hipotalamus, dan
substantia. innominate secara bilateral. Kemudian, pengurangan volume
amygdalar dikonfirmasi oleh analisis volumetrik manual post-hoc, tidak
dipublikasikan sampai sekarang (Schiltz, komunikasi pribadi). Hasil ini dapat
dikaitkan dengan hipoplasia perkembangan dan menggarisbawahi pengaruh
lateralisasi amigdal kanan pada regulasi perilaku seksual, mendukung hipotesis
lobus temporal pedofilia.
31
paraphilias, meskipun sistem sensorik menawarkan potensi rute lain untuk
responsif seksual. Namun, dengan latar belakang bukti terbaru yang menjelaskan
bagaimana otak teleiofilik hetero atau homoseksual memproses informasi seksual
visual dan mengatur komponen psikoseksual dan fisioseksual dari gairah seksual,
merupakan langkah yang masuk akal untuk memahami pedofilia untuk
mempelajari apakah ada perbedaan fungsional dalam jaringan otak yang terkait
dengan gambar visual yang membangkitkan gairah seksual anak-anak.2
Penelitian telah menyoroti perubahan pedofil melalui positron emission
tomography (PET) dan MRI fungsional. Sebagai contoh, dalam sebuah studi PET
tentang pedofilia, penurunan tingkat metabolisme otak regional untuk glukosa
ditemukan pada korteks temporal inferior kanan dan girus frontal superior, tanpa
koreksi Bonferroni. Tingkat ini menurun pada kelompok pedofilik setelah
presentasi isyarat gadis dan wanita, sedangkan itu meningkat pada kelompok
teleiophilic. Para penulis menafsirkan ini sebagai kelainan otak yang konsisten
yang mendasari penurunan metabolisme glukosa dalam korteks temporal dan
frontal yang terlibat dalam regulasi korteks gairah seksual. Ukuran sampel kecil
dari 7 peserta dalam setiap kelompok membatasi generalisasi dan kepercayaan
dengan hasil yang dapat ditafsirkan.2
Ada juga upaya untuk menyelidiki persepsi dan proses emosional
rangsangan seksual visual. Sebagai contoh, amigdala kanan menunjukkan aktivasi
yang lebih besar pada pedofil homoseksual ketika mereka diberikan rangsangan
seksual anak laki-laki dibandingkan dengan teleiofil laki-laki heteroseksual yang
mengamati gambar-gambar seksual wanita dewasa, meskipun para partisipan
tidak cocok untuk orientasi seksual, sehingga berpotensi mengaburkan 'pedofil'
yang sebenarnya. aktivasi. Para penulis menafsirkan peningkatan aktivasi
amigdala ini sebagai rangsangan yang menggambarkan anak-anak yang diamati
dalam pedofil sebagai kemungkinan reaksi emosional yang menakutkan
dikombinasikan dengan gairah seksual, didukung oleh kurangnya aktivasi
amigdala yang sesuai untuk rangsangan wanita dewasa. Poeppl dan rekan
menggunakan desain blok dalam penelitian mereka untuk menyelidiki minat
seksual pada pedofil (9 pedofil dengan riwayat pelanggaran kontak dan 11 kontrol
32
pelaku non-seksual) yang terdiri dari citra skala Tanner pria dan wanita telanjang,
termasuk skala Tanner I, III, dan V, yang sesuai dengan gambar praremaja, puber,
dan dewasa. Hasil analisis seluruh otak menunjukkan aktivasi yang lebih besar
secara signifikan di lobus temporal tengah, hippocampus, korteks cingulate
posterior, thalamus, lobus frontal medial, dan culmen otak kecil pada pedofil pada
kontras netral Tanner I> netral. Ketika dibandingkan dengan mengontrol teleiofil
dalam kontras Tanner V> netral, pedofil menunjukkan deaktivasi yang signifikan
pada insula kanan. Lebih lanjut, di antara kelompok kontras kepentingan (pedofil>
Tanner I, teleiofil> Tanner V), terdapat sinyal aktivasi yang lebih besar secara
signifikan terlihat pada girus postcentral, gyrus temporal tengah kanan, korteks
midcingulate anterior, dan amygdalae secara bilateral. Para penulis menafsirkan
temuan ini sebagai arousability seksual yang lebih mudah pada pedofilik
dibandingkan dengan peserta non-paraphil ketika distimulasi dengan bahan yang
sengaja tidak erotis.2
Dalam penelitian serupa, Habermeyer et al. (2013a) menyelidiki 8 pedofil
(3 dengan riwayat pelanggaran kontak, 5 dengan riwayat konsumsi pornografi
anak) dan 8 kontrol teleiofilik heteroseksual dalam desain yang terkait dengan
acara yang terdiri dari gambar erotis anak laki-laki, perempuan, laki-laki, dan
perempuan. Dalam analisis ROI termasuk girus frontal tengah, hanya peserta
pedofilik yang menunjukkan aktivasi dalam kontras perempuan, sedangkan
kontrol menunjukkan penonaktifan. Temuan lebih lanjut menunjukkan bahwa
selama pemrosesan segera rangsangan erotis, kedua kelompok menunjukkan
aktivasi yang signifikan dalam korteks prefrontal dorsomedial, sebuah temuan
yang dikaitkan dengan peran penting daerah ini dalam evaluasi kritis dan
perhatian terhadap rangsangan seksual.
Metode baru lebih lanjut telah menyelidiki perbedaan yang melampaui
aktivasi regional. Klasifikasi pola adalah metode baru untuk menganalisis pola
aktivasi saraf. Gagasan klasifikasi pola adalah untuk menggunakan pola aktivasi
di berbagai wilayah otak dalam pendekatan multivariat daripada mengandalkan
perbandingan perbandingan antar wilayah. Ini dapat digunakan untuk
mengklasifikasikan grup.
33
Seperti penelitian sebelumnya dalam seksualitas manusia normal telah
menunjukkan, ada perbedaan penting antara pria heteroseksual dan homoseksual
yang sehat. Ini harus diingat untuk investigasi neuroscientific masa depan. Seperti
dibahas sebelumnya, neuroimaging adalah cara yang berguna untuk menyelidiki
korelasi neural dari seksualitas manusia dalam hal mendeteksi pola gairah yang
terkait dengan struktur preferensi seksual. Sebuah kritik terhadap studi
neuroimaging fungsional sebelumnya pada pedofilia berhubungan dengan
pemalsuan. Di bawah asumsi bahwa pemrosesan segera rangsangan seksual
berada di luar kendali kognitif sadar (pengaruh bottom-up), hasilnya ditafsirkan
sehingga (de) - aktivasi adalah benar dan bukan hasil dari pemalsuan. Namun,
studi tentang reliabilitas tes-retest dan pemalsuan dalam penelitian fMRI telah
menunjukkan bahwa pemalsuan dapat dan memang terjadi dan bahwa, temuan
tidak selalu dapat diandalkan di seluruh pusat dan studi. Dengan keterbatasan
tersebut di atas dalam pikiran, program penelitian baru akan membantu untuk
membedakan perbedaan sebenarnya dari artefak metodologis.14
34
Jakarta International School (JIS) adalah kasus yang cukup menyita perhatian di
pertengahan Tahun 2014. Kasus ini merupakan salah satu dari beberapa kasus
kekerasan seksual pada anak yang terjadi di lingkungan sekolah. Kasus baru
lainnya yang terungkap akhir tahun ini, di Bali dengan pelakunya warga negara
Australia, RA (70). Korbannya telah mencapai 35 anak-anak. Kasus pelecehan
seksual di Sulawesi Utara dengan korbannya delapan siswi SD di Kotamobagus,
yang berusia antara usia 7-8 Tahun, pelakunya adalah penjaga sekolah yang sudah
berumur 40 tahun.2,3
Mencuatnya kasus korban pedofil yang dilakukan oleh warga negara asing
di Indonesia membuka sebuah fakta, bahwa Indonesia telah dijadikan tujuan
wisata para pedofil dunia. Bahkan sejak tahun 2014, FBI telah mensinyalir bahwa
Indonesia telah menjadi tempat tujuan wisata kaum pedofil mancanegara.
sejumlah daerah tujuan wisata di Indonesia akan menjadi ancaman bagi anak-anak
Indonesia dari pedofil asing. Bentuk ancaman yang dihadapi adalah (1) kondisi
ekonomi keluarga rentan dengan mudah menjadi korban bujuk rayu, iming-iming
uang dan kemewahan dari para predator. Meski awalnya tidak menyadari bahwa
anak telah menjadi korban, namun anak hanya bisa pasrah karena adanya
ketergantungan yang sengaja diciptakan oleh para pedofil. (2) anak-anak lokal
tidak hanya dimanfaatkan sebagai obyek seks tetapi juga sebagai obyek foto yang
dikemas sebagai asesoris pornografi yang pada akhirnya menjadi komoditas
bisnis. Ternyata salah satu pemasok situs porno itu adalah orang Indonesia.4,5
Sederetan kasus-kasus pedofilia yang terlapor, tercatat dan terungkap,
hanyalah fenomena “gunung es”. Dengan jaringan sindikat semakin rapih,
peredaran dan perkembangan situs porno semakin canggih maka diperkirakan
jumlah anak-anak yang menjadi korban pedofilia masih menjadi dark number.
Semakin banyak kasus-kasus anak korban Pedofil, maka pantas jika pada
akhirnya Indonesia benar-benar disebut sebagai kondisi darurat pedofilia.
35
BAB III
KESIMPULAN
36
3. Setidaknya telah berusia 16 Tahun dan 5 Tahun lebih tua daripada anak atau
anak-anak.
Intervensi bagi pelaku terutama terhadap gangguan kejiwaannya dapat
diobati melalui treatmen medis dan terapi psikologis. Treatmen psikologis seperti
terapi kognitif, conditioning therapy, terapi multisistemik untuk mengatur
penyimpangan perilakunya. Terapi medis untuk mengatur aktivitas otak dan
regulasi hormonal serta menekan perilaku seksual. Pemberian hukuman pidana
atas kejahatan yang dilakukan bertujuan memberi efek jera. Bentuk tindak
hukuman yang diberikan berupa hukuman kimiawi, atau kebiri sebagai
implementasi dari Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2016 Tentang hukuman
tambahan bagi predator. Namun hukuman saja tidak cukup, karena faktor
penyebab mereka berperilaku tidak hanya karena faktor libido bersifat biologis
semata, tetapi juga karena adanya gangguan kejiwaannya. Efek jera dapat tercapai
apabila hukuman biologis disertai dengan penanganan rehabilitasi psikologisnya.
37
DAFTAR PUSTAKA
38
14. Lalor, Kevin., Mc.Elvaney, Rosaleen. (2010). “Child Sexual Abuse, Links
to Later Sexual Exploitation/High-Risk Sexual Behavior, and
Prevention/Treatment Programs”. Cultural Studies Review 14(2), 113–
129.
15. Herek, G. (n.d.). Facts about Homosexuality and Child Molestation.
http://psc.dss. ucdavis.edu/rainbow/HTML/facts_ molestation.html.
Diunduh 8 Maret 2020, dari UC Davis:
39