Anda di halaman 1dari 32

Laporan Diskusi Topik Khusus

KEJAHATAN SEKSUAL

Disusun Oleh:
Rizki Muharani, S.Ked (H1AP14048)
Wahyudi Permana D, S.Ked (H1AP19019)
Mifta Huljannah, S.Ked (H1AP15050)

Pembimbing :
dr. Ike Sulistiyowati, M.Biomed

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2020

1
LEMBAR PERSETUJUAN

Nama Mahasiswa :Rizki Muharani, S.Ked (H1AP14048)


Wahyudi Permana D, S.Ked (H1AP19019)
Mifta Huljannah, S.Ked (H1AP15050)

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan


Judul : Kejahatan Seksual
Bagian : Ilmu Kedokteran Komunitas
Pembimbing : dr. Ike Sulistiyowati, M.Biomed

Telah menyelesaikan tugas Diskusi Topik Khusus dalam rangka kepaniteraan klinik
di Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Bengkulu.

Bengkulu, Desember 2020


Pembimbing,

dr. Ike Sulistiyowati, M.Biomed

ii
DAFTAR ISI

Halaman judul.................................................................................................. i
Lembar Persetujuan.......................................................................................... ii
Daftar Isi........................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................... 4
A. Latar Belakang..................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah................................................................................ 6
C. Tujuan.................................................................................................. 7
D. Manfaat................................................................................................ 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 8
A. Definisi…………………......................................................................8
B. Jenis Kejahatan Seksual..................................................................... 9
C. Faktor Risiko……………………………............................................ 9
D. Dampak.................................................................................................11
E. Pencegahan........................................................................................... 12
BAB III. PEMBAHASAN............................................................................... 15
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................25
Daftar Pustaka.................................................................................................. 26
Lampiran............................................................................................ ..............27

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtP/A) merupakan
masalah global yang terkait hak asasi manusia dan ketimpangan gender. Kasus- kasus
kekerasan terhadap perempuan dan anak yang teridentifikasi di pelayanan kesehatan
dasar dan pelayanan kesehatan rujukan termasuk kepolisian merupakan fenomena
gunung es, karena belum menggambarkan jumlah seluruh kasus yang ada
dimasyarakat. Hanya sebagian kecil kasus kekerasan yang dilaporkan, karena
sebagian besar masyarakat masih mengganggap bahwa kasus Kekerasan terhadap
Perempuan dan Anak (KtP/A) adalah aib dan merupakan masalah “domestik” dalam
keluarga yang tidak pantas diketahui oranglain yang cukup baik di mata masyarakat
(Emilia, 2008).
Kekerasan bukan hanya yang berbentuk fisik, tetapi juga kekerasan psikis,
sosial ekonomi dan seksual yang sering kali luput dari perhatian. Pada tahun 2000,
kematian akibat kekerasan di dunia mencapai 1,6 jiwa dengan angka kematian
mencapai 28,8% per100.000 jiwa. Adapun 49,1% disebabkan karena bunuh diri dan
31,3% akibat pembunuhan. Kematian akibat kekerasan terjadi di negara-negara
berkembang mencapai dua kali lipat dari negara maju. Laporan Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di
Indonesia meningkat pesat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Kejahatan seksual adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain yang menimbulkan kepuasan seksual bagi dirinya dan
mengganggu kehormatan orang lain. Kejahatan seksual adalah sebuah bentuk
pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja menjadi masalah hukum nasional suatu
negara melainkan sudah menjadi masalah hukum semua negara di dunia atau masalah

4
global. Kekerasan seksual telah menjadi isu kesehatan masyarakat karena berbagai
efek kesehatan yang diakibatkannya.
Data WHO bersama dengan London School of Hygiene and Tropical
Medicine and the medical Research of Council mengenai kasus kejahatan seksual
terhadap wanita yang terjadi di 80 negara menyatakan bahwa hampir 30 % dari
semua perempuan pernah mengalami kekerasan baik kekerasan fisik maupun seksual.
Prevalensi terjadinya tindak kekerasan ini menurut WHO sebesar 23,2% pada negara
dengan pendapatan per kapita yang tinggi dan sebanyak 24,2 % terjadi pada negara
pasifik timur dan sebanyak 37,7 % terjadi di Asia Tenggara. Dari 170 kasus
pengaduan kekerasan, kasus kekerasan seksual sebanyak 45,7% (53 kasus), kekerasan
fisik sebanyak 25% (29 kasus), penelantara 20,7% (24 kasus), dan kekerasan psikis
8,6% (10 kasus), sebagian besar dikarnakan pengaruh video porno, serta maraknya
pemberitaan yang tidak baik dimedia masa maupun media elektronik dapat memicu
terjadinya kekerasan seksual.
Kasus kekerasan seksual di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan,
bahkan korbannya bukan hanya orang dewasa saja, remaja, anak-anak bahkan balita
kini menjadi sasaranya. Meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual pada anak
tidak hanya dilihat dari segi kuantitas atau jumlah kasus yang terjadi, bahkan juga
dari segi kualitasnya. Hal yang semakin tragis adalah pelaku dari kekerasan seksual
itu sendiri yang ternyata pelakunya berasal dari lingkungan keluarga atau lingkungan
sekitar anak, seperti didalam rumah, disekolah, lembaga pendidikan hingga
lingkungan social anak (Noviana, 2015). Data dari Komisi Nasional Perlindungan
Anak (Komnas PA) menunjukan bahwa adanya pertambahan jumlah kasus kekerasan
seksual pada anak dari tahun ke tahun. Dari tahun 2010 hingga tahun 2014 tercatat
sebanyak 21.869.797 kasus pelanggaran anak yang tersebar di 34 propinsi dan 179
kabupaten serta kota. 42.58% dari data tersebut merupakan kejahatan seksual
terhadap anak. Kemudian pada tahun 2015, tercatat 2.898 kasus kekerasan terhadap
anak dan meningkat dari tahun lalu yaitu sebesar 59,30 % untuk kasus kekerasan

5
seksual terhadap anak. Sementara pada 2016, KPAI mencatat terdapat 120 kasus
kekerasan seksual terhadap anak-anak. Kemudian di 2017, tercatat sebanyak 116
kasus kekeraasan seksual terhadap anak (Asrorun,2011).
Puskesmas sebagai pelaksana pelayanan kesehatan reproduksi strata pertarna,
diharapkan dapat mengisi kebutuhan remaja untuk memperoleh informasi KRR yang
benar, terutama bagi rernaja yang tempat tinggalnya berdekatan dengan lokasi
prostitusi,dimana remaja-remaja tersebut rawan berperilaku seks yang tidakaman,
rawan tertular HIVIAIDS, rawan PMS maupun kekerasan seksual. Sejak tahun 2002
Kementerian Kesehatan telah mengembangkan Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Terpadu (PKRT) di pelayanan kesehatan dasar. Sampai tahun 2014 berdasarkan
laporan dari Dinas Kesehatan Provinsi telah ada sebanyak 2.133 puskesmas PKRT
dengan cakupan kabupaten/kota yang memiliki minimal 4 puskesmas PKRT sebesar
237 kabupaten/kota (45%) di seluruh Indonesia.
Dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan reproduksi yang terintegrasi
kepada individu sesuai usia, penting diketahui program kerja dan informasi mengenai
kejahatan seksual yang terdapat di Puskemas Sukamerindu Kota Bengkulu.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, didapatkan rumusan masalah pada
diskusi topik khusus ini adalah bagaimana peran puskesmas mengenai kejahatan
seksual melalui program Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu (PKRT) di UPTD
Puskesmas Sukamerindu?

1.3. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1. Tujuan Umum

6
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran puskesmas
mengenai kejahatan seksual melalui program Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Terpadu (PKRT) di UPTD Puskesmas Sukamerindu.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui jenis – jenis kejahatan seksual.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor risiko kejahatan seksual.
3. Untuk mengetahui dampak dari kejahatan seksual.

1.4. Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini antara lain:

1.4.1. Bagi Puskesmas Sukamerindu


Sebagai bahan bagi petugas puskesmas dalam mengelola dan evaluasi
program Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu (PKRT).

1.4.2. Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu


Menambah wawasan dan pengetahuan baru serta menambah referensi di
lingkungan Fakultas Ilmu Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.

1.4.3. Bagi Penulis


Sebuah pengalaman dan menambah wawasan dalam mengaplikasikan
pengetahuan yang telah diperoleh selama proses belajar dalam perkuliahan terutama
tentang kejahatan seksual dan upaya program Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Terpadu (PKRT) di puskesmas.

7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Kejahatan seksual adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain yang menimbulkan kepuasan seksual bagi dirinya dan
mengganggu kehormatan orang lain.Kejahatan seksual adalah sebuah bentuk
pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja menjadi masalah hukum nasional suatu
negara melainkan sudah menjadi masalah hukum semua negara di dunia atau masalah
global. Ada beberapa bentuk dari kejahatan seksual diantaranya adalah kekerasan
seksual.
Kekerasan adalah suatu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh seseorang
kepada orang lain dengan maksud untuk menyengsarakan, melakukan tindakan tidak
manusiawi baik dalam bentuk fisik maupun psikis. Kekerasan terhadap anak tidak
sekedar pelanggaran norma sosial, tetapi juga norma agama dan susila.
Seksual berasal dari kata seks yang artinya perbedaan biologis perempuan dan laki-
laki sering disebut dengan jenis kelamin. Seksualitas diartikan mengandung
pengertian khas, intim dan mesra dalam kaitannya dengan hubungan pria dan wanita.
Seksualitas adalah cara-cara seseorang mendapatkan kepuasan dalam menyalurkan
dorongan seksualnya dengan cara yang normal.
Kekerasan seksual didefenisikan sebagai setiap tindakan seksual, usaha
melakukan tindakan seksual, komentar atau menyarankan untuk berperilaku seksual
yang tidak disengaja ataupun sebaliknya, tindakan pelanggaran untuk melakukan
hubungan seksual dengan paksaan kepada seseorang. (WHO, 2017)
Kekerasan seksual adalah segala kegiatan yang terdiri dari aktivitas seksual
yang dilakukan secara paksa oleh orang dewasa pada anak atau oleh anak kepada
anak lainnya. Kekerasasan seksual meliputi penggunaaan atau pelibatan anak secara
komersial dalam kegiatan seksual, bujukan ajakan atau paksaan terhadap anak untuk

8
terlibat dalam kegiatan seksual, pelibatan anak dalam media audio visual dan
pelacuraran anak (UNICEF, 2014).

2.2. Jenis Kejahatan Seksual


Menurut WHO (2017) kejahatan seksual dapat berupa tindakan :
a. Serangan seksual berupa pemerkosaan (termasuk pemerkosaan oleh
warga negara asing, dan pemerkosaan dalam konflik bersenjata) sodomi,
kopulasi oral paksa, serangan seksual dengan benda, dan sentuhan atau
ciuman paksa.
b. Pelecehan seksual secara mental atau fisik menyebut seseorang dengan
sebutan berkonteks seksual, membuat lelucon dengan konteks seksual.
c. Menyebarkan vidio atau foto yang mengandung konten seksual tanpa
izin, memaksa seseorang terlibat dalam pornografi.
d. Tindakan penuntutan/pemaksaan kegiatan seksual pada seseorang atau
penebusan/persyaratan mendapatkan sesuatu dengan kegiatan seksual.
e. Pernikahan secara paksa.
f. Melarang seseorang untuk menggunakan alat kontrasepsi ataupun alat
untuk mencegah penyakit menular seksual.
g. Aborsi paksa
h. Kekerasan pada organ seksual termasuk pemeriksaan wajib terhadap
keperawanan.
i. Pelacuran dan eksploitasi komersial seksual

2.3. Faktor Risiko Kejahatan Seksual


Kejahatan seksual dapat dipicu dari beberapa faktor yang secara umum
dibedakan menjadi tiga faktor yaitu, faktor yang berasal dari individu, faktor
lingkungan, dan faktor hubungan (Wilkins, 2014).

9
a. Faktor individu : pendidikan rendah, kurangnya pengetahuan dan
keterampilan menghindar dari kejahatan seksual, kontrol perilaku
buruk, pernah mengalami riwayat kekerasan, pernah menyaksikan
kejadian kekerasan seksual, dan penggunaan obat - obatan.
b. Faktor lingkungan sosial komunitas: kebudayaan atau kebiasaan yang
mendukung adanya tidakan kejahatan seksual, kekerasan yang dilihat
melalui media, kelemahan kesehatan, pendidikan, ekonomi dan
hukum, aturan yang tidak sesuai atau berbahaya untuk sifat individu
wanita atau laki - laki.
c. Faktor hubungan: kelemahan hubungan antara anak dan orangtua,
konflik dalam keluarga, berhubungan dengan seorang penjahat atau
pelaku kekerasan, dan tergabung dalam geng atau komplotan.
Menurut WHO (2017) faktor kerentanan terjadinya kejahatan seksual yaitu:
a. Jenis kelamin : perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan
seksual.
b. Usia : semakin muda umur maka semakin rentan untuk menajdi
korban kekerasan seksual, biasanya usia dibawah 15 tahun rentan
menjadi korban kekerasan seksual.
c. Tingkat ekonomi : kekerasan seksual cenderung terjadi pada golongan
ekonomi kurang, akibat rendahnya tingkat pengawasan dari orang tua.
d. Tingkat pendidikan : perempuan dengan pendidikan yang lebih
rendah rentan mengalami kekerasan seksual, sedangakan sebaliknya
perempuan dengan pendidikan yang lebih tinggi biasanya lebih dapat
memberdayakan diri untuk mencegah kekerasan seksual.
e. Kerentanan lingkungan/terpapar pada lingkungan pekerja seks
komersial : berada pada lingkungan pekerjaan seks komersial dapat
meningkatkan kerentanan menjadi korban kekerasan seksual.

10
f. Pengalaman terhadap kekerasan seksual : anak yang pernah
mengalami kekerasan seksual cenderung mengalaminya lagi dan
berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual.
g. Pengaruh obat – obatan atau alkohol : penggunaan alkohol dan obat –
obatan terlarang dapat menurunkan tingkat kesadaran baik pelaku
maupun korban sehingga pelaku dapat melakukan tindak kekerasan
seksual tanpa disadari dan efek bagi korban yaitu menurunkan potensi
perlindungan terhadap dirinya.
h. Memiliki pasangan lebih dari satu

2.4. Dampak Kekerasan Seksual


Dampak kejahatan seksual secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga yaitu
dampak fisik, dampak psikologis, dan dampak sosial. Dampak fisik akibat kejahatan
seksual misalnya adanya memar, luka, bahkan robek pada organ seksual. Pada
perempuan dampak yang paling berat yaitu kehamilan. Dampak tertular penyakit
menular seksual juga dapat terjadi. Dampak psikologi antara lain berupa kecurigaan
dan ketakutan terhadap orang lain, serta ketakutan pada tempat atau suasana tertentu.
Dampak sosial yang dialami korban, terutama akibat stigma atau diskriminasi dari
orang lain mengakibatkan korban ingin mengasingkan diri dari pergaulan. Perasaan
ini timbul akibat adanya harga diri yang rendah karena ia menjadi korban pelecehan
seksual, sehingga merasa tidak berharga, tidak pantas dan juga merasa tidak layak
untuk bergaul bersama teman - temannya (UNESCO, 2012).
Menurut WHO (2017) dampak dari kejahatan seksual yaitu :
a. Dampak fisik
1) Masalah kehamilan dan reproduksi : kekerasan seksual dapat
berdampak pada kehamilan korban yang tidak diinginkan, ini akan
membuat korban terpaksa menerima kehamilannya sehingga dapat
menyebabkan tekanan selama masa kehamilan. Kehamilan yang

11
terjadi pada usia muda dapat menimbulkan beberapa masalah
kehamilan pada korban akibat ketidaksiapan organ reproduksi untuk
menerima kehamilan. Dampak lainya yaitu gangguan pada organ
reproduksi yang biasanya terjadi pada korban perkosaan seperti
perdarahan, infeksi saluran reproduksi, iritasi pada alat kelamin, nyeri
pada saat senggama, dan masalah reproduksi lainnya.
2) Meningkatnya penularan penyakit menular seksual
b. Dampak psikologis
1) Depresi/stress tekanan pasca trauma
2) Kesulitan tidur
3) Penurunan harga diri
4) Munculnya keluhan somatik
5) Penyalahgunaan obat terlarang dan alkohol akibat depresi
c. Dampak sosial
1) Hambatan interaksi sosial : pengucilan, merasa tidak pantas
2) Masalah rumahtangga : pernikahan paksa, perceraian

2.5. Cara mencegah terjadinya kejahatan seksual


Menurut WHO (2017) cara untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual:
a. Melalui pendekatan individu
1) Memeberikan dukungan psikologi pada korban kekerasan seksual.
2) Merancang program bagi pelaku kekerasan seksual dimana pelaku
harus bertanggung jawab terhadap perbuatanya, seperti menetapkan
hukuman yang pantas bagi pelaku kekerasan seksual.
3) Memberikan pendidikan untuk pencegahan kekerasan seksual seperti
pendidkan kesehatan reproduksi, sosialisasi menganai penyakit
menular seksual, dan pendidikan perlindungan diri dari kekerasan
seksual.

12
b. Melalui pendekatan perkembangan
Pendekatan perkembangan yaitu mencegah kekerasan seksual dengan cara
menanamkan pendidikan pada anak - anak sejak usia dini, seperti
pendidikan menganai gender, memperkenalkan pada anak tentang
pelecehan seksual dan risiko dari kekerasan seksual, mengajarkan anak
cara untuk menghindari kekerasan seksual, mengajarkan batasan untuk
bagaian tubuh yang bersifat pribadi pada anak, batasan aktivitas seksual
yang dilakukan pada masa - masa perkembangan anak.
c. Tanggapan perawatan kesehatan
1) Layanan Dokumen Kesehatan : sektor kesehatan mempunyai peran
sebagai penegak bukti medis korban yang mengalami kekerasan
seksual utuk dapat menjadi bukti tuntutan terhadap pelaku kekerasan
seksual.
2) Pelatihan kesehatan mengenai isi kekerasan seksual untuk dapat
melatih tenaga kesehatan dalam mendeteksi kekerasan seksual.
3) Perlindungan dan pencegahan terhadap penyakit HIV.
4) Penyediaan tempat perawatan dan perlindungan terhadap korban
kekerasan seksual.
d. Pencegahan sosial komunitas
1) Mengadakan kampanye anti kekerasan seksual
2) Pendidikan seksual dan pencegahan kekerasan seksual di sekolah
e. Tanggapan hukum dan kebijakan megenai kekerasan seksual
1) Menyediakan tempat pelaporan dan penanganan terhadap tindak
kekerasan seksual.
2) Menyediakan peraturan legal menganai tindak kekerasan seksual dan
hukuman bagi pelaku sebagai perlindungan terhadap korban kekerasan
seksual.

13
3) Mengadakan perjanjian internasional untuk standar hukum terhadap
tindak kekerasan seksual dan kampanye anti kekerasan seksual.

14
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Profil Puskesmas


3.1.1. Situasi Lingkungan Dan Kependudukan
a. Data Geografis dan Demografis
Puskesmas Sukamerindu terletak antara 8° LS dan 110° BT. Luas
wilayah kerja Puskesmas Sukamerindu adalah 17,22 Km² secara administratif
berbatasan dengan :
 Sebelah Utara : Kelurahan Rawa Makmur
 Sebelah Selatan: Kelurahan Belakang Pondok
 Sebelah Barat : Kelurahan Kampung Bali
 Sebelah Timur : Kelurahan Sawah Lebar
Kondisi daerah beriklim tropis dengan suhu udara rata-rata 17° C -
21° C saat musim hujan dan 31°C - 33°C pada musim kemarau. Wilayah kerja
Puskesmas Sukamerindu berada di kecamatan Sungai Serut Kota Bengkulu
dan meliputi 7 (tujuh) Kelurahan, yaitu kelurahan Sukamerindu, kelurahan
Tanjung Agung, kelurahan Tanjung Jaya, kelurahan Semarang, kelurahan
Surabaya, kelurahan Kampung Kelawi, dan kelurahan Pasar Bengkulu.
b. Kependudukan
Jumlah penduduk Kecamatan Sungai Serut pada tahun 2019 adalah
25.195 jiwa yang terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan dengan rincian jumlah
penduduk dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:
Tabel 3. 1.1 Rincian Penduduk Menurut Jenis Kelamin Kecamatan
Sungai Serut Tahun 2019
No Kelurahan Laki-Laki Perempuan Total
1 Sukamerindu 3.213 3.206 6.419
2 Tanjung Agung 520 534 303
3 Pasar Bengkulu 968 963 1.931
15
4 Semarang 1.092 1.095 2.187
5 Surabaya 4.847 4.835 9.682
6 Tanjung Jaya 758 707 1.465
7 Kampung Kelawi 1.247 1.210 3.929
Jumlah 12.645 12.550 25.195

Dilihat dari table di atas penduduk wilayah kerja UPTD Puskesmas


Sukamerindu, lebih banyak penduduk laki-laki dibandingkan dengan
perempuan.

3.1.2 Visi dan Misi


a. Visi
Visi UPTD Puskesmas Sukamerindu adalah Pembangunan dan
Pelayanan Kesehatan yang merata, adil, bermutu, dan terjangkau di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Sukamerindu.
b. Misi
Untuk mewujudkan visi tersebut diatas, Puskesmas memiliki 3 (tiga) Misi
yaitu :
1. Menggerakan pembangunan yang berwawasan kesehatan.
2. Mendorang kemandirian masyarakat dan keluarga untuk hidup sehat.
3. Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu,keluarga, dan
masyarakat beserta lingkungannya.

3.1.3 Program Upaya Kesehatan


Sesuai dengan tuntutan puskesmas era Desentralisasi, puskesmas
Sukamerindu selama tahun 2019 telah melaksanakan Basic Six atau enam
program unggulan, yaitu :

a. Promosi Kesehatan (Promkes)


b. Kesehatan Ibu/ KB
c. Kesehatan Lingkungan (Kesling)
16
d. Upaya Peningkatan Gizi
e. TB DOTS
f. Pengobatan
Selain melaksanakan keenam program unggulan, Puskesmas
Sukamerindu juga melaksanakan program pelaksanaan pengembangan yaitu :
a. Perawatan Kesehatan masyarakat (Perkesmas)
b. Kesehatan Gigi dan mulut
c. Kesehatan Usia lanjut
d. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) dan Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Terpadu (PKRT)
Sebagai program pelengkap puskesmas Sukamerindu dilengkapi
dengan laboratorium sederhana dan sistem pencatatan dan pelaporan terpadu
puskesmas (SP2TP). Sedangkan sembilan program kerja Puskesmas lainnya
tetap dilaksanakan tetapi tidak menjadi prioritas pelaksanaan program kerja
puskesmas Sukamerindu selama tahun 2012.

3.1.4 Sumber Daya Kesehatan


Dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, Puskesmas
Sukamerindu di dukung oleh 50 tenaga yang terdiri 32 orang PNS yang tersebar di
Puskesmas Induk dan 6 (enam) PUSTU, serta 1 (satu) poskesdes dari berbagai
disiplin ilmu.

Tabel 3.1.2 Jenis Ketenagaan Berdasarkan Tingkat Pendidikan UPTD


Puskesmas Sukamerindu tahun 2019.
No. Jenis Tenaga PNS Jumlah
1. Dokter Umum 2 2
17
2. Dokter Gigi 1 1
3. Apoteker 0 0
4. Sarjana Kesehatan Masyarakat 3 3
5. Sarjana Keperawatan 4 4
6. Tenaga kesehatan Bidan 10 10
7. Tenaga kesehatan Perawat 8 8
8. Tenaga Nutrision 1 1
9. Tenaga Laboratorium 1 1
10. Asisten apoteker 2 2

3.1.5 Sarana Pelayanan Kesehatan Masyarakat


Sarana fisik yang terdapat di wilayah kerja UPTD Sukamerindu terdiri atas
sarana kesehatan pemerintah dan sarana kesehatan yang bersumber daya masyarakat.
Uraian sarana tersebut adalah :
 Puskesmas : 1
 Posyandu : 14
 Puskesmas Pembantu : 6
 Poskesdes : 1
 Pusling : 2
 Kendaraan Roda Empat : 2

3.2. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)


dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu (PKRT)
UPTD Puskesmas Sukamerindu mempunyai suatu program dalam
penanganan kejahatan seksual di wilayah Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu.
Beberapa peranan UPTD Puskesmas Sukamerindu ialah melakukan Pelayanan

18
Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu
(PKRT).
Hasil lokakarya nasional kesehatan reproduksi menyepakati bahwa untuk
dapat memenuhi hak reproduksi individu/perorangan, maka pelayanan program
dalam komponen kesehatan reproduksi harus diselenggarakan secara terintegrasi,
holistik dan berkualitas. Dalam mencari bentuk pelayanan integratif kesehatan
reproduksi disepakati untuk lebih berorientasi kepada kebutuhan klien. Adanya
perbedaan sasaran dalam setiap komponen kesehatan reproduksi dan perbedaan
masalah pada setiap klien, menuntut pelayanan yang komprehensif, namun spesifik
dan sesuai kebutuhan. Dengan demikian, pelaksanaan pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu (PKRT) bertumpu pada pelayanan yang dilaksanakan berdasarkan
kepentingan dan kebutuhan klien sesuai dengan siklus hidup yaitu sejak dalam
kandungan, bayi, balita, remaja, dewasa hingga lanjut usia. Oleh karena itu, PKRT
bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baru maupun yang berdiri sendiri, tetapi
merupakan keterpaduan dari berbagai pelayanan pada komponen program kesehatan
reproduksi, agar sasaran memperoleh pelayanan yang holistik, komprehensif dan
berkualitas yang meliputi aspek Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE), preventif,
kuratif dan rehabilitatif didasarkan pada kepentingan sasaran atau klien sesuai dengan
tahap dalam siklus hidup. Pada Lokakarya Nasional Kesehatan Reproduksi 1996
disepakati 2 (dua) paket PKRT yang dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan
dasar, yaitu:

1. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial


Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) merupakan pelayanan
kesehatan reproduksi yang mengintegrasi-kan 4 (empat) komponen program, yaitu
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB), Pencegahan dan

19
Penanganan Infeksi Menular Seksual/Infeksi Saluran Reprosuksi dan HIV-AIDS
serta Kesehatan Reproduksi Remaja.
2. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK) merupakan
pelayanan kesehatan reproduksi yang mengintegrasikan ke 4 (empat) komponen
esensial di atas dengan komponen kesehatan reproduksi lain seperti pada menopause
dan andropause pada lanjut usia, pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap
perempuan, pencegahan dan penanganan kanker serviks dan lain sebagainya. Pada
awalnya, pelayanan kesehatan dasar diharapkan dapat melaksanakan pelayanan
integratif esensial yang terdiri dari 4 komponen: KIA, KB, Kesehatan reproduksi
remaja dan Pencegahan dan penanganan IMS dan HIV/AIDS, yang kemudian
ditingkatkan menjadi pelayanan komprehensif dengan penambahan komponen
pelayanan kesehatan reproduksi pada lanjut usia. Namun pada kenyataannya terdapat
variasi dalam ketersediaan, kesiapan dan perkembangan program dalam lingkup
kesehatan reproduksi yang akan diterpadukan. Untuk itu, pengintegrasian pelayanan
dari program program tersebut secara umum disebut sebagai pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu (PKRT).
Adapun prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kesehatan
reproduksi terpadu adalah:
1. Pelayanan yang holistic
Pelayanan yang diberikan memandang klien sebagai manusia yang utuh,
artinya pelayanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan klien, namun petugas
kesehatan dapat menawarkan dan memberikan pelayanan lain yang dibutuhkan oleh
klien yang diidentifikasi melalui proses anamnesis. Keterpaduan pelayanan harus
dikaji secara menyeluruh pada 4 atau sekurang-kurangnya 3 komponen esensial
kesehatan reproduksi, meskipun dengan gradasi yang berbeda-beda sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan setempat.
2. Keterpaduan dalam pelayanan

20
Pelayanan kesehatan reproduksi diupayakan dapat diberikan secara terpadu,
sehingga klien mendapatkan semua pelayanan yang dibutuhkan dalam ruang lingkup
reproduksi sekaligus dalam satu kali kunjungan/pelayanan. Keterpaduan pelayanan
antar komponen kesehatan reproduksi yang diberikan dapat dilakukan oleh 1 (satu)
orang, tetapi bisa juga dilakukan oleh beberapa orang, namun harus pada 1 (satu)
institusi. Pelayanan dilaksanakan secara terpadu dalam 1 (satu) tempat yang sama dan
dalam 1 (satu) hari, yang dikenal dengan “One Stop Services” (Sekali Datang Semua
Pelayanan Diperoleh). Pelayanan komponen program kesehatan reproduksi yang akan
diterpadukan harus dapat diberikan setiap hari kerja.
3. Fleksibel
Untuk pelayanan yang memerlukan rujukan ke jenjang yang lebih tinggi,
termasuk pelayanan konseling, bisa dilakukan pada waktu atau fasilitas lain dimana
pelayanan yang dibutuhkan tersedia. Rujukan ini harus dipantau untuk memastikan
klienmendapatkan pelayanan yang dibutuhkan. Dengan adanya keterpaduan
pelayanan tersebut, maka pelayanan kesehatan reproduksi menjadi berkualitas, karena
klien yang dilayani mendapatkan seluruh pelayanan secara efektif dan efisien.

3.2.1. Penerapan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu


Beberapa contoh keterpaduan PKRT dimana masing-masing komponen pelayanan
memasukkan unsur pelayanan lainnya sebagai berikut:
a. Pelayanan KIA:
1. Pada pelayanan antenatal terpadu, persalinan dan nifas memasukkan
unsur pelayanan pencegahan dan penanganan IMS serta melakukan
motivasi klien untuk pelayanan KB dan memberikan pelayanan KB pasca
persalinan. Dalam pertolongan persalinan dan penanganan bayi baru lahir
perlu memperhatikan kewaspadaan standar terhadap pencegahan infeksi.

21
2. Asuhan Pasca Keguguran (APK) memasukkan unsur pelayanan
pencegahan dan penanggulangan IMS serta konseling/pelayanan KB
pasca persalinan.
b. Pelayanan KB
1. Pada pelayanan KB memasukan unsur pelayanan pencegahan dan
penanggulangan IMS, HIV dan AIDS.
2. Pelayanan KB difokuskan selain kepada sasaran muda-usia paritas-rendah
(mupar) yang lebih mengarah kepada kepentingan pengendalian populasi
c. Pencegahan dan penanggulangan IMS, termasuk HIV dan AIDS
Pelayanan pencegahan dan penanggulangan IMS, termasuk HIV dan AIDS
dimasukan ke dalam setiap komponen pelayanan. Kesehatan reproduksi seperti pada
pelayanan antenatal terpadu melalui program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Anak (PPIA), pada saat pelayanan KB, serta pada saat pemberian KIE terhadap
perilaku seksual berisiko pada remaja.
1. Pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang bersifat promotif dan preventif
terfokus pada pelayanan KIP/K, yang memasukkan materi-materi Family Life
Education dan Life Skill Education.
2. Pelayanan kesehatan reproduksi remaja memperhatikan aspek fisik, termasuk
kesehatan dan gizi, agar remaja –khususnya remaja putri dapat dipersiapkan
menjadi calon ibu yang sehat.
3. Pelayanan kesehatan reproduksi remaja secara khusus bagi remaja bermasalah
diberikan sesuai dengan kebutuhan dan masalahnya, misalnya kehamilan di
luar nikah, kehamilan remaja, remaja dengan ketergantungan narkotik,
psikotropik dan zat adiktif lainnya (napza), dan lain-lain.

d. Kesehatan reproduksi lanjut usia dan kesehatan reproduksi lainnya

22
1. Pelayanan kesehatan reproduksi lanjut usia lebih ditekankan untuk
meningkatkan kualitas hidup pada usia lanjut. Selain upaya promotif dan
preventif, pengembangan upaya kesehatan reproduksi lanjut usia juga
ditujukan untuk mengatasi masalah yang sering ditemukan pada lanjut usia.
2. Pada pelayanan kesehatan reproduksi lainnya diberikan sesuai dengan
kebutuhan, misalnya pada kasus keguguran diberikan pelayanan asuhan pasca
keguguran untuk mencegah terjadinya perdarahan dan infeksi kemudian
diberikan pelayanan KB pasca keguguran.
Berdasarkan Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
bahwa sasaran pengguna layanan PKPR adalah kelompok remaja usia 10-18 tahun.
Walaupun demikian, mengingat batasan usia remaja menurut WHO adalah 10-19
tahun, maka Kementerian Kesehatan menetapkan sasaran pengguna layanan PKPR
meliputi remaja berusia 10 sampai 19 tahun, tanpa memandang status pernikahan.
Fokus sasaran layanan puskesmas PKPR adalah berbagai kelompok remaja, antara
lain:
1. Remaja di sekolah: sekolah umum, madrasah, pesantren, sekolah luar biasa.
2. Remaja di luar sekolah: karang taruna, saka bakti husada, palang merah
remaja, panti yatim piatu/rehabilitasi, kelompok belajar mengajar, organisasi
remaja, rumah singgah, kelompok keagamaan.
3. Remaja putri sebagai calon ibu dan remaja hamil tanpa mempermasalahkan
status pernikahan.
4. Remaja yang rentan terhadap penularan HIV, remaja yang sudah terinfeksi
HIV, remaja yang terkena dampak HIV dan AIDS, remaja yang menjadi
yatim/piatu karena AIDS
5. Remaja berkebutuhan khusus, yang meliputi kelompok remaja sebagai
berikut:
 Korban kekerasan, korban traficking, korban eksploitasi seksual

23
 Penyandang cacat, di lembaga pemasyarakatan (LAPAS), anak
jalanan, dan remaja pekerja
 Di daerah konflik (pengungsian), dan di daerah terpencil
Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) dan Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Terpadu (PKRT) di UPTD Puskesmas Sukamerindu dalam
penangan kejahatan seksual selalu berjalan setiap tahunnya, program tersebut
dibentuk oleh SDM puskesmas sukamerindu yang terdiri dari bidan, dokter, perawat,
apoteker, tenaga kesehatan lainnya. Program yang sering dijalankan setiap tahunnya
seperti pelayanan di KIA yang terus berjalan yang terdapat di puskesmas, selain itu
kegiatan yang benar-benar berhubungan dengan minimalisasi terjadinya kejahatan
seksual adalah dengan memberikan konseling, penyuluhan kepada setiap kelompok
masyarakat, memberikan edukasi reproduksi dan seksual pada remaja-remaja dan
ibu-ibu di wilayah puskesmas dan membuat grup yang aktif di media social maupun
whatsapp, Dalam melakukan programnya para SDM puskesmas yang aktif dalam
program PKPR dan PKRT membuat grup di whatsapp dimana mereka bisa
menyalurkan informasi-informasi apa saja yang berhubungan dengan kesehatan
reproduksi dan remaja, selanjutnya mereka akan mengatur jadwal dan pertemuan
dalam melakukan penyuluhan dan edukasi mengenai pentingnya pengetahuan tentang
reproduksi dan seksual, mereka juga membagikan vitamin-vitamin, zat besi kepada
target kelompok program ini. Puskesmas Sukamerindu dari tahun-tahun sebelumnya
membuka layanan konseling bagi siapa saja yang membutuhkan, hal inilah yang
dapat menimalisir terjadinya kejahatan seksual. Namun, dalam berjalannya program
ini terdapat permasalahan yang menyebabkan program tersebut tidak dapat berjalan
pada tahun 2020 ini. Sehingga program PKPR dan PKRT tersebut terakhir berjalan
pada tahun 2019 lalu, hal ini dikarenakan adanya pandemic Covid-19 yang terjadi di
provinsi Bengkulu, karena semuanya dihimbau untuk tidak melakukan pertemuan dan
mengumpulkan orang banyak dalam suatu tempat, selain itu juga anak-anak sekolah
diliburkan, hal inilah yang membuat program ini tidak berjalan pada tahun 2020.

24
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. KESIMPULAN
1. Kejahatan seksual adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain yang menimbulkan kepuasan seksual bagi dirinya dan
mengganggu kehormatan orang lain.
2. Kejahatan seksual dapat dipicu dari beberapa faktor yang secara umum
dibedakan menjadi tiga faktor yaitu, faktor yang berasal dari individu, faktor
lingkungan, dan faktor hubungan.
3. Dampak kejahatan seksual secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga yaitu
dampak fisik, dampak psikologis, dan dampak sosial.
4. UPTD Puskesmas Sukamerindu mempunyai suatu program dalam
penanganan kejahatan seksual di wilayah Puskesmas Sukamerindu Kota
Bengkulu. Beberapa peranan UPTD Puskesmas Sukamerindu ialah melakukan
Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) dan Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Terpadu (PKRT).
5. Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) dan Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Terpadu (PKRT) di UPTD Puskesmas Sukamerindu
dalam penangan kejahatan seksual selalu berjalan setiap tahunnya, akan tetapi
pada tahun 2020 program tersebut tidak di jalankan dikarenakan adanya
pandemic covid-19.

4.2. SARAN

1. Kegiatan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) dan Pelayanan

Kesehatan Reproduksi Terpadu (PKRT) diharapkan tetap dapat dijalankan

misalkan dengan melalui online.

25
DAFTAR PUSTAKA

Achie, Sudiarti Luhulima. 2002. Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan


Terhadap Perempuan dan Alternatif Pencegahannya. Jakarta: Pusat Kajian Wanita
dan Gender UI.

Asrorun N’am Sholeh, Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Kompas Tajuk
Rencana (Jakarta, minggu 20 Februari, 2011), hlm. 2.

Buku Pedoman Standar Nasional Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)


Jakarta : Kementerian Kesehatan RI 2013

Depkes RI. Panduan Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan


Terhadap Perempuan (KTP) Dan Kekerasan Terhadap Anak (KTA) Di RS Jakarta.
Jakarta: 2003.

Depkes RI. Informasi Kesehatan Reproduksi, Pedoman Pencegahan dan Penanganan


Kekerasan Terhadap Perempuan di Tingkat Pelayanan Dasar. Jakarta: 2007.

Emilia, O., 2008. Promosi kesehatan dalam lingkup kesehatan reproduksi.


Yogyakarta: Pustaka cendikia press.

Kemenkes RI, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, 2014, Pedoman Pengembangan


Puskesmas Mampu tatalaksana Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak,
Jakarta : Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat

Komisi Perlindungan Anak Indonesia. http//www.kpai.gi. http//www.setneg.go.id.

Maguth Nezu, C., Fiore, A. A. & Nezu, A. M (2006). Problem Solving Treatment for
Intellectually Disabled Sex Offenders.International Journal of Behavioral
Consultation and Therapy, 2, 266-275.

Noviana, I. 2015. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya.


Sosio Informa Vol. 01, No. 1, Januari-April, Tahun 2015

Pedoman Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu di Tingkat Pelayanan Kesehatan


Dasar. 2015. Jakarta : Kementerian Kesehatan

World Health Organization (2017). World. Health Organization.

26
LAMPIRAN

27
28
29
30
31
32

Anda mungkin juga menyukai