Anda di halaman 1dari 19

UAS BAHASA INDONESIA

KARYA ILMIAH
PERAN KELUARGA UNTUK KESEHATAN MENTAL REMAJA

Disusun Oleh :
Tirza Yolanda Hevin
193030503049

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2022
MENULIS KARYA ILMIAH
(PERAN KELUARGA UNTUK KESEHATAN MENTAL REMAJA)
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, atas segala berkat yang telah
diberikan kepada kami sebagai tim penulisan makalah ini, sehingga penulisan makalah yang
berjudul “PERAN KELUARGA UNTUK KESEHATAN MENTAL REMAJA” ini
merupakan bagian dari materi pengkajian fiksi yang dikutip dan dikembangkan kembali
menjadi bahan untuk melengkapi isi makalah ini.

Dalam menyelesaikan makalah ini, banyak pihak yang membantu dalam penulisan
makalah serta bahan salah satu buku Pengkajian Fiksi bimbingan materi-materi yang sangat
diperlukan untuk menyelesaikan makalah ini, maka untuk itu kami mengucapkan terima
kasih kepada Ibu Yulina Mingvianta, S.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Bahasa
Indonesia yang telah memberikan pembahasan dalam materi makalah ini.

Kami sebagai tim penulis makalah berharap, semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat untuk pembaca. Akhir kata tim penulis makalah ini mengucapkan terima kasih atas
saran, masukkan baik dari kelebihan maupun kekurangan untuk membangun makalah ini.

Palangka Raya, 10 Juni 2022

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR …………….……..................................................................... i
DAFTAR ISI …...……................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .…………........................................................................... 1
A. Latar Belakang …………………..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ……………….…............................................................... 3
C. Tujuan ……………………............................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN …….…………..................................................................... 4


A. Pengertian Kesehatan Mental Emosional Remaja ........................................ 4
B. Gejala Kesehatan Mental…....………………………………………………... 5
C. Penyebab Kesehatan Mental ...…..…….…………………………………….6
D. Faktor Resiko Kesehatan Mental..…….………………………………………7
E. Diagnosis Kesehatan Mental .......……………………………………………. 7
F. Pencegahan Kesehatan Mental ..…………………………………………...… 8
G. Macam-Macam Emosi .....…...…...………………………………………...…8
H. Peran Keluarga ................…...…...………………………………………...… 9
BAB III PENUTUP.……………………………........................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….. 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gambaran peran keluarga yang diberikan kepada remaja akan mempengaruhi kesehatan
mental emosional dan kesiapan remaja. Hal ini dikarenakan anggota keluarga merupakan
orang yang paling dekat bagi remaja sehingga komunikasi pada hal hal yang sensitif akan
lebih terbuka. Keluarga berperan aktif dalam mengetahui kondisi remaja, baik fisik maupun
psikologisnya karena keluarga bersifat saling ketergantungan satu anggota keluarga dengan
anggota keluarga lainnya. Prevalensi masalah mental di seluruh dunia mencapai angka 10-
20% dan terjadi pada orang yang berusia muda (Kieling et al, 2011). Masalah mental yang
terjadi pada anak dan remaja secara global mencapai angka 50% dan dimulai sebelum usia <
14 tahun (Charara et al, 2017) Menurut penelitian yang dilakukan oleh Johnson et al. (2018)
dalam jurnal (khalifah nur, sodikin tahun 2020) menyatakan bahwa di Australia prevalensi
gangguan mental yang dialami oleh anak dan remaja mencapai 14%. Prevalensi masalah
kesehatan mental yang dialami anak usia 6-11 tahun di Belanda mencapai angka 16,4%,
Bulgaria 27,9% dan di Turki mencapai angka 24,3% (Mahilde et al, 2018). Sedangkan di
wilayah Asia Tenggara khusnya di negara indonesia masalah emosional dan perilaku yang
dialami anak usia 6-12 tahun mencapai 12,5% (Hoon et al, 2017). Berdasarkan data yang
diperoleh dari World Health Organization (2014) ada sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60
juta orang terkena bipolar, 21 juta orang terkena skizofrenia dan 47,5 juta orang terkena
dimensia. Prevalensi gangguan mental emosional yang dialami anak usia 5-17 tahun
mencapai angka 34,9 % dengan spesifikasi gangguan kecemasan sebesar 3,2% (Erskine et al,
2017). Prevalensi gangguan mental emosional menurut data dari Riskesdas (2018)
menyebutkan bahwa ada sekitar 10% anak yang mengalami gangguan mental emosional.
Dapat disimpulkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional pada anak mengalami
peningkatan sebanyak 4,0% dari tahun 2013-2018. Prevalensi masalah gangguan mental
emosional di Provinsi Jawa Tengah pada anak mencapai angka 5% (Riskesdas, 2018). Masa
remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa. Masa remaja adalah
suatu fase perkembangan yang dinamis dan mengalami perubahan serta persoalan dalam
kehidupan seorang individu. Perubahan tersebut meliputi perubahan fisik, perilaku, kognitif,
biologis, dan emosi. Persoalan pada remaja meliputi persoalan sosial, aspek emosional, aspek
fisik dan keluarga, sekolah, dan kelompok teman sebaya (Stuart, 2013). Tantangan bagi orang
tua dalam mengasuh remaja adalah memberikan dukungan emosional dan batasan yang

1
dibutuhkan bagi perkembangan anak menuju kedewasaan dan kemandirian yang lebih besar
(Brooks, 2008). Hasil penelitian WHO,2010 (dalam Damayanti, 2019) menyatakan bahwa 3
dari 5 anak yang berusia kurang dari 16 tahun mengalami masalah Mental emosional. anak
yang berusia 4-15 tahun yang mengalami masalah perkembangan mental emosional sebanyak
104 dari 1000 anak. Angka kejadian tersebut makin tinggi pada kelompok usia di atas 15
tahun, yaitu 140 dari 1000 anak. Hasil penelitian terkait masalah perkembangan mental
emosional yang dilakukan pada 578 siswa sekolah menengah pertama di kota semarang tahun
2019 didapatkan hasil bahwa prevalensi masalah kesehatan mental emosional sebesar 9,1%.
Penelitian ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh (Koskelainen, Sourander, &
Kaljonen, 2000) pada remaja Finlandia dengan menggunakan instrumen SDQ dilaporkan
bahwa remaja Finlandia berisiko mengalami masalah mental emosional karena hasil studi
menunjukkan remaja Finlandia memiliki masalah emosional dan masalah perilaku tingkat
tinggi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya remaja Finlandia yang mengkonsumsi alkohol.
Data didapatkan 60% remaja laki-laki dan 63% remaja perempuan mabuk karena
menggunakan alkohol. Sebanyak 37% remaja laki-laki dan 17% remaja perempuan memiliki
masalah hiperaktivitas. Masalah perilaku yang ditinjukkan oleh remaja tersebut berupa
berbohong, mencuri, dan berkelahi. Masalah mental emosional yang tidak diselesaikan
dengan baik, maka akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan remaja tersebut
di kemudian hari, terutama terhadap pematangan karakter dan memicu terjadinya gangguan
perkembangan mental emosional. Gangguan perkembangan mental emosional akan
berdampak terhadap meningkatnya masalah perilaku pada saat dewasa kelak. Contohnya
remaja yang merokok berisiko tinggi untuk ketergantungan terhadap nikotin, melakukan
hubungan seksual pada masa remaja dapat meningkatkan risiko terjadinya kehamilan yang
tidak diinginkan dan sexually transmitted disease (Satgas, 2010). Melihat besarnya angka
kejadian Masalah kesehatan mental emosional pada usia produktif terutama pada remaja yang
berstatus mahasiswa/pelajar, jadi peneliti menarik melakukan penelitian gambaran peran
keluarga terhadap masalah kesehatan mental emosional pada remaja.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu permasalahan kesehatan mental emosional pada remaja?
2. Apakah peran keluarga sangat penting bagi kesehatan mental emosional pada remaja?
3. Bagaimanakah menghadapi remaja dengan permasalahan kesehatan mental
emosional?
4. Apa saja gejala yang menunjukkan remaja mengalami permasalahan kesehatan mental
emosional?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan permasalahan kesehatan mental emosional
pada remaja.
2. Untuk mengetahui gambaran peran keluarga terhadap masalah kesehatan mental
emosional pada remaja.
3. Untuk mengetahui cara yang harus ditempuh dalam mengatasi remaja dengan
permasalahan kesehatan mental emosional.
4. Untuk mengetahui perilaku atau gejala dari remaja yang mengalami permasalahan
kesehatan mental.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesehatan Mental Emosional Remaja


Dari segi etimologi, emosi berasal dari akar kata bahasa latin „movere‟ yang berarti
„menggerakkan, bergerak‟. Kemudian ditambah dengan awalan „e-‟ untuk memberi arti
„bergerak menjauh‟. Makna ini mengisyaratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan
hal mutlak dalam emosi. Emosi dijelaskan secara berbeda oleh psikolog yang berbeda, namun
semua sepakat bahwa emosi adalah bentuk yang kompleks dari organisme, yang melibatkan
perubahan fisik dari karakter yang luas- dalam bernafas, denyut nadi, produksi kelenjar, dan
sebagainya. Dan dari sudut mental, adalah suatu keadaan senang atau cemas, yang ditandai
adanya perasaan yang kuat, dan biasanya dorongan menuju bentuk nyata dari suatu tingkah
laku. Jika emosi itu sangat kuat akan terjadi sejumlah gangguan terhadap fungsi intelektual,
tingkat disasosiasi dan kecenderungan terhadap tindakan yang bersifat tidak terpuji. Emosi
biasanya muncul ketika kita mendapatkan perubahan situasi yang drastis atau tiba-tiba, terjadi
pada diri kita atau sekitar kita baik itu positif maupun negatif. Emosi juga dapat muncul
ketika terjadi sebuah perubahan pada setiap peristiwa yang menjadi perhatian diri kita.

Menurut Diananta, 2012. Masalah mental emosional remaja dapat di defenisikan sebagai
sesuatu yang menghambat, merintangi, atau mempersulit remaja dalam usahanya
menyesuaikan diri dengan lingkungan dari pengalaman pengalaman nya. Masalah mental
emosional terdiri dari gejala emosional, masalah perilaku, hiperaktivitas, masalah hubungan
dengan sebaya, dan perilaku prososial. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa remaja
memiliki masalah mental emosional kategori borderline. Ini berarti bahwa remaja tersebut
berisiko mengalami masalah emosional, masalah perilaku, hiperaktivitas, dan masalah
hubungan dengan teman sebaya dan dapat mengalami gangguan mental emosional jika tidak
diatasi dengan baik. Remaja dengan masalah mental emosional kategori borderline
berisikomengalami masalah psikososial yang akan berhujung ke gangguan kesehatan jiwa
jika tidak ditangani sesegera mungkin dengan baik. Hartanto (2011) berpendapat bahwa
masalah mental emosional remaja dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan individual.
Salah satu factor lingkungan yang berperan adalah konflik/masalah keluarga, sosial ekonomi,
jumlah keluarga yang terlalu besar, orang tua kriminal, dan anak yang diasuh ditempat
pendidikan anak.

4
(Koskelainen et al., 2000) berpendapat bahwa masalah mental emosional termasuk
kedalam masalah psikososial, jika tidak ditangani dengan segera akan berdampak kepada
perkembangan psikososial dan gangguan kesehatan jiwa remaja. Keliat (2011) mengatakan
perkembangan psikososial remaja adalah kemampuan remaja untuk mencapai identitas
dirinya. Jika tidak dapat mencapai kemampuan tersebut, remaja akan mengalami
kebingungan peran yang berdampak pada penyimpangan perilaku. Berdasarkan hasil
penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa rata-rata responden berisiko mengalami
masalah mental emosional yang apabila terus berlanjut akan menjadi keadaan patologis dan
akan mengganggu perkembangan remaja dan berdampak kepada kesehatan jiwa pada remaja
tersebut.

Dari pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa, permasalahan kesehatan


mental emosional remaja terjadi pada saat remaja berusaha menemukan jati dirinya,
permasalahan ini memiliki banyak sekali factor penyebab salah satunya dari lingkungan
keluarga. Remaja dengan permasalahan kesehatan mental emosional harus segera ditangani
sebab hal ini dapat menimbulkan penyimpangan perilaku dan dapat berdampak pada
kesehatan jiwa.

B. Gejala Kesehatan Mental

Gangguan mental atau penyakit mental dapat diawali dengan beberapa gejala berikut ini,
antara lain:

 Berteriak atau berkelahi dengan keluarga dan teman-teman.


 Delusi, paranoia, atau halusinasi.
 Kehilangan kemampuan untuk berkonsentrasi.
 Ketakutan, kekhawatiran, atau perasaan bersalah yang selalu menghantui.
 Ketidakmampuan untuk mengatasi stres atau masalah sehari-hari.
 Marah berlebihan dan rentan melakukan kekerasan.
 Memiliki pengalaman dan kenangan buruk yang tidak dapat dilupakan.
 Memiliki pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain.
 Menarik diri dari orang-orang dan kegiatan sehari-hari.
 Mendengar suara atau mempercayai sesuatu yang tidak benar.
 Mengalami nyeri yang tidak dapat dijelaskan.

5
 Mengalami perubahan suasana hati drastis yang menyebabkan masalah dalam
hubungan dengan orang lain.
 Merasa bingung, pelupa, marah, tersinggung, cemas, kesal, khawatir, dan takut yang
tidak biasa.
 Merasa sedih, tidak berarti, tidak berdaya, putus asa, atau tanpa harapan.
 Merokok, minum alkohol lebih dari biasanya, atau bahkan menggunakan narkoba.
 Perubahan drastis dalam kebiasaan makan, seperti makan terlalu banyak atau terlalu
sedikit.
 Perubahan gairah seks.
 Rasa lelah yang signifikan, energi menurun, atau mengalami masalah tidur.
 Tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti merawat anak atau pergi ke
sekolah atau tempat kerja.
 Tidak mampu memahami situasi dan orang-orang.

C. Penyebab Kesehatan Mental

Beberapa penyebab umum dari gangguan mental, antara lain:

 Cedera kepala.
 Faktor genetik atau terdapat riwayat pengidap gangguan mental dalam keluarga.
 Kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan lainnya.
 Kekerasan pada anak atau riwayat kekerasan pada masa kanak-kanak.
 Memiliki kelainan senyawa kimia otak atau gangguan pada otak.
 Mengalami diskriminasi dan stigma.
 Mengalami kehilangan atau kematian seseorang yang sangat dekat.
 Mengalami kerugian sosial, seperti masalah kemiskinan atau utang.
 Merawat anggota keluarga atau teman yang sakit kronis.
 Pengangguran, kehilangan pekerjaan, atau tunawisma.
 Pengaruh zat racun, alkohol, atau obat-obatan yang dapat merusak otak.
 Stres berat yang dialami dalam waktu yang lama.
 Terisolasi secara sosial atau merasa kesepian.
 Tinggal di lingkungan perumahan yang buruk.

6
 Trauma signifikan, seperti pertempuran militer, kecelakaan serius, atau kejahatan
dan yang pernah dialami.

D. Faktor Risiko Kesehatan Mental

Beberapa faktor risiko gangguan mental, antara lain:

 Perempuan memiliki risiko tinggi mengidap depresi dan kecemasan, sedangkan laki-
laki memiliki risiko mengidap ketergantungan zat dan antisosial.
 Perempuan setelah melahirkan.
 Memiliki masalah di masa kanak-kanak atau masalah gaya hidup.
 Memiliki profesi yang memicu stres, seperti dokter dan pengusaha.
 Memiliki riwayat anggota keluarga atau keluarga dengan penyakit mental.
 Memiliki riwayat kelahiran dengan kelainan pada otak.
 Memiliki riwayat penyakit mental sebelumnya.
 Mengalami kegagalan dalam hidup, seperti sekolah atau kehidupan kerja.
 Menyalahgunakan alkohol atau obat-obatan terlarang.

E. Diagnosis Kesehatan Mental

Dokter ahli jiwa atau psikiater akan mendiagnosis suatu gangguan mental dengan
diawali suatu wawancara medis dan wawancara psikiatri lengkap mengenai riwayat
perjalanan gejala pada pengidap serta riwayat penyakit pada keluarga pengidap. Kemudian,
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik yang menyeluruh untuk mengeliminasi kemungkinan
adanya penyakit lain.

Jika diperlukan, dokter akan meminta untuk dilakukan pemeriksaan penunjang, seperti
pemeriksaan fungsi tiroid, skrining alkohol dan obat-obatan, serta CT scan untuk mengetahui
adanya kelainan pada otak pengidap. Jika kemungkinan adanya penyakit lain sudah
dieliminasi, dokter akan memberikan obat dan rencana terapi untuk membantu mengelola
emosi pengidap.

7
F. Pencegahan Kesehatan Mental

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah gangguan mental, yaitu:

• Melakukan aktivitas fisik dan tetap aktif secara fisik.


• Membantu orang lain dengan tulus.
• Memelihara pikiran yang positif.
• Memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah.
• Mencari bantuan profesional jika diperlukan.
• Menjaga hubungan baik dengan orang lain.
• Menjaga kecukupan tidur dan istirahat.

G. Macam-macam Emosi

Ditinjau dari penampakannya (appearance), emosi manusia terbagi dua, yaitu emosi
dasar dan emosi campuran. Dilihat dari sisi rentetan peristiwa dikenal ada emosi mayor dan
emosi minor. Emosi primer terdiri dari enam macam emosi, yaitu kegembiraan
(happiness/joy), ketertarikan (surprise/interest), marah, sedih (sadness/ distress), jijik dan
takut. Adapun emosi sekunder merupakan gabungan dari berbagai bentuk emosi primer dan
dipengaruhi oleh kondisi budaya di mana individu tersebut tinggal, contohnya rasa malu,
bangga, cemas, dan berbagai kondisi emosi lainnya. Sedangkan dari segi efek yang
ditimbulkannya, emosi dibagi kedalam emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif adalah
emosi yang selalu diidamkan oleh semua orang, seperti bahagia, senang, puas dan sejenisnya.
Sebaliknya, emosi negatif adalah emosi yang tidak diharapkan terjadi pada diri seseorang.
Namun, yang terakhir ini ternyata lebih banyak melilit kehidupan manusia, dan kebanyakan
dipicu oleh konflik dan stres. (Riana Masher 2011).

8
H. Peran Keluarga

Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil
dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua
memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk
mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan
bermasyarakat. Sedangkan pengertian orang tua di atas, tidak terlepas dari pengertian
keluarga, karena orang tua merupakan bagian keluarga besar yang sebagian besar telah
tergantikan oleh keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Menurut Arifin
keluarga diartikan sebagai suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang
dihubungkan dengan pertalian darah,perkawinan atau adopsi (hukum) yang memiliki tempat
tinggal bersama.

Dalam Pengasuhan Anak Dalam buku Syamsu Yusuf (2012:37) Keluarga memiliki
peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang
tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama
maupun sosial budaya yang diberikanya merupakan faktor yang kondusif untuk
mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Syamsu Yusuf
(2012:38) Keluarga juga dipandang sebagai institusi (lembaga) yang dapat memenuhi
kebutuhan insan (manusiawi), terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadiannya dan
pengembangan ras manusia. Apabila mengaitkan peranan keluarga dengan upaya memenuhi
kebutuhan individu dari maslow, maka keluarga merupakan lembaga pertama yang dapat
memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui perawatan dan perlakuan yang baik dari orangtua,
anak dapat memenuhi kebutuhan – kebutuhan dasarnya, baik fisik-biologis maupun
sosiopsikologisnya. Apabila anak telah memperoleh rasa aman, penerimaan sosial dan harga
dirinya, maka anak dapat memenuhi kebutuhan tertingginya, yaitu perwujudan diri
(selfsctualization).

Menurut Erick Erickson dalam bukunya Syamsu Yusuf (2012:38) mengajukan delapan
tahap perkembangan psikologis dalam kehidupan seorang individu dan itu semua bergantung
pada pengalaman yang diperolehnya dalam keluarga. Selama tahun pertama, seorang anak
harus mengembangkan suatu kepercayaan dasar (basic trust), tahun kedua dia harus
mengembangkan otonomi-nya, dan pada tahun berikutnya dia harus belajar inisiatif dan
industry yang mengarahkannya ke dalam penemuan identitas dirinya. Iklim keluarga yang

9
sehat atau perhatian orangtua yang penuh kasih sayang merupakan faktor esensial yang
memfasilitasi perkembangan psikologis anak tersebut. Peran keluarga dibagi menjadi 4 yaitu:

a. Peran Keluarga Sebagai Pengambil Keputusan


Proses Pengambilan Keputusan. Anggota keluarga cenderung untuk
menspesialisasi dirinya dimana mereka dianggap ahli. Setiap keluarga biasanya
mempunyai struktur peranan yang berbeda dalam menangani beberapa
pengambilan keputusan. Namun demikian, secara garis besar, Davis dan Rigaux
telah mengidentifikasikan bahwa struktur pengambilan keputusan dalam keluarga
dapat dikelompokkan menjadi empat macam:
1. Wife dominat decision yaitu tipe keputusan yang sebagian besar diwamai
oleh pengaruh pihak istri daripada pengaruh anggota keluaiga lainnya.
2. Husband dominat decision yaitii tipe keputusan yang sebagian besar
diwamai oleh pengaruh pihak suami daripada pengamh anggota keluarga
lainnya.
3. Syncratic decision yaitu tipe keputusan yang merupakan hasil
kesepakatarisuami dan istri. Dalam bentuk keputusan ini pengaruh suami
dan istri adalah seimbang.
4. Autonomic decision. Tipe keputusan ini terjadi jika masing-masing suami
dan istri secara individual bertanggung jawab untuk mengambil keputusan
sesuai dengan nilai tradisionalnya.

b. Sebagai Pendidik
Orang tua masa kini menaruh perhatian yang sangat besar kepada sekolah yag
bagus dan bergengsi untuk membentuk anak-anaknya menjadi anak yang pandai,
cerdas dan berkarakter. Akan tetapi dalam kenyataannya, harapan orang tua masih
jauh dari realisasinya.Karakter kita terdiri dari kebiasaan-kebiasaan kita.
Kebiasaan yang terbentuk semasa kanak-kanak dan remaja kerap bertahan hingga
dewasa. Orang tua dapat mempengaruhi pembentukan kebiasaan anak mereka,
dalam hal yang baik maupun yang buruk. Dalam mensosialisasikan pendidikan
karakter, orang tua mempunyai beberapa kendala, diantaranya :
1. Perubahan zaman dan gaya hidup
2. Pengaruh televisi pada gaya komunikasi anak

10
3. Perbedaan watak dan jenis kelamin anak
4. Perbedaan tipe kecerdasan anak

c. Sebagai Konselor
Orang tua sebagai konselor dalam keluarga diambil dari bagian peran orang
tua sebagai pembimbing dalam keluarga sehingga orang tua bukan hanya
memberikan perlindungan, relasi yang baik, tetapi juga mampu untuk membawa
anak selalu dalam kondisi mampu memutuskan yang terbaik bagi
perkembangannya.
Proses konseling yang berjalan dalam keluarga bertujuan untuk membantu
setiap anggota keluarga untuk menghadapi serta memecahkan setiap persoalan
psikologis masing-masing individu untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan
yang ingin di raih oleh setiap anggota keluarga secara psikologis terbagi atas dua.
Pertama, tercapainya keinginan, cita-cita dan harapan dari setiap anggota keluarga.
Kedua, sesedikit mungkin terjadi konflik dalam pribadi masing-masing maupun
konflik antar pribadi.
Di Indonesia saat ini, kemajuan di segala bidang juga mempengaruhi
kehidupan setiap keluarga. Banyak tuntutan yang perlu untuk dipenuhi agar
kehidupan dalam keluarga dapat terjamin, sehingga orang tua lebih fokus kepada
pemenuhan materi bagi keluarga dan membuat hubungan antar pribadi dalam
keluarga menjadi renggang. Padahal orang tua tidak hanya dituntut untuk
memenuhi kebutuhan keluarga berupa materi untuk memenuhi fungsi fasilitasi,
pendidikan dan menafkahi tetapi juga dapat mengatur kebahagiaan yang ingin
dicapai dengan membuat relasi dan komunikasi melalui bimbingan antar pihak-
pihak dalam keluarga.
Menurut Dr. J. L. Ch. Abineno dalam Soewarno, menjadi konselor bukan
memberikan pelajaran bagaimana yang terbaik, tetapi bersama dengan konseling
melihat persoalan yang dihadapi untuk membantu konseli menemukan jalan keluar
dari persoalan yang dihadapi. Dalam memegang peran sebagai konselor dalam
keluarga, orang tua dituntut untuk dapat membentuk relasi dan komunikasi sebagai
bagian dari cara mencapai kebahagiaan yang sama bagi setiap anggota keluarga.
Dalam proses konseling dimana orang tua sebagai konselor dalam keluarga
memberikan pengaruh besar bagi perkembangan setiap anggota keluarga.

11
d. Sebagai Pemberi Asuhan
Keluarga mampu memberikan jaminan asuhan kepada anak dimana untuk
sema fasilitas kesehatan sudah di persiapkan. Syamsu Yusuf (2012:37) Keluarga
yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi
para anggotanya (terutama anak). Kebahagiaan ini diperoleh apabila keluarga data
memerankan fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa
memiliki, rasa aman, kasih sayang, dan mengembangkan hubungan yang baik
diantara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas
perasaan, akan tetapi juga menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab,
perhatian, pemahaman, respek dan keinginan untuk menumbuh kembangkan anak
yang dicintainya. Keluarga yang hubungan antara anggotanya tidak harmonis,
penuh konflik, atau gap communication dapat mengembangkan masalah-masalah
kesehatan mental (mental illness) bagi anak.
Mengkaji lebih jauh tentang fungsi keluarga menurut Syamsu Yusuf
(2012:38) ini dapat dikemukakan bahwa secara psikologis keluarga berfungsi
sebagai:
1. pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainya,
2. sumber pemenuh kebutuhan, Bik fisik maupun psikis,
3. sumber kasih sayang dan penerimaan,
4. model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota
masyarakat yang baik,
5. pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial
dianggap tepat,
6. pembentuk anak dalam memecahkan sosial masalah yang dihadapinya
dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan,
7. pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan motorik, verbal dan sosial
yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri,
8. stimulator bagi pengembangan keampuan anak untuk mencapai prestasi,
baik di sekolah maupun di masyarakat,
9. pembimbing dalam mengembangkan aspirasi, dan
10. sumber persahabatan/teman bermain bagi anak sampai cukup usia untuk
mendapatkan teman di luar rumah, atau apabila persahabatan di luar rumah
tidak memungkinkan.

12
Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, fungsi keluarga ini dapat
diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi berikut, Syamsu Yusuf (2012:39): Fungsi
Biologis Keluarga dipandang sebagai pranata sosial yang memberikan legalitas
kesempatan dan kemudahan bagi para angotanya untuk memenuhi kebutuhan dasar
biologisnya. Kebutuhan itu meliputi pangan, sandang, dan papan, hubungan
seksual suami istri,dan reproduksi atau pengembangan keturunan (keluarga yang
dibangun melalui pernikahan merupakan tempat “penyemaian” bibit-bibit insane
yang fitrah).

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ada persamaan dan perbedaan yang signifikan antara peran keluarga dengan masalah
kesehatan mental emosional pada remaja. Keluarga berperan aktif dalam mengetahui
kondisi remaja, baik fisik maupun psikologisnya karena keluarga bersifat saling
ketergantungan satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lainnya. Pentingnya
komunikasi pada keluarga terhadap masalah kesehatan mental emosional pada remaja.
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi
anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai
kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikanya merupakan faktor yang
kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.

B. Saran
Tantangan bagi orang tua dalam mengasuh remaja adalah memberikan dukungan
emosional dan batasan yang dibutuhkan bagi perkembangan anak menuju kedewasaan
dan kemandirian yang lebih besar (Brooks, 2008). Karya Ilmiah ini dapat dijadikan
sebagai bahan informasi dan masukan bagi keluarga dalam memberikan peran terhadap
masalah kesehatan mental emosional pada remaja.

14
DAFTAR PUSTAKA

Bayer, J. K. (2011). Risk Factors for Childhood Mental Health Symptoms: National
Longitudinal Study of Australian Children. The American Academy of Pediatrics,
128(4).https://doi.org/:10.1542/peds.2011- 0491

De Vries, A. L. C., Steensma, T. D., Cohen-Kettenis, P., Vanderlaan, D. P., & Zucker, K. J.
(2016). Poor peer relations predict parent- and selfreported behavioral and emotional
problems of adolescents with gender dysphoria: A cross-national, crossclinic
comparative analysis. European Child &Adolescent Psychiatry, 25(6), 579-588.
doi:http://dx.doi.org/10.1007/s00787-015-0764-7.

Repetti, R.L.,Taylor, S.E., & Seeman, T. E. (2002). Risky Families : Family Social
Environments and the Mental and Physical Health of Offspring. Psychological
Bulletin,128(2), 330– 366. https://doi.org/10.1037//0033-2909.128.2.33

Setyowati, Yuli, And Yuli Setyowati. (December 4, 2013). “Pola Komunikasi Keluarga Dan
Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus Penerapan Pola Komunikasi Keluarga Dan
Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Emosi Anak Pada Keluarga Jawa).” Jurnal
Ilmu Komunikasi 2, No.1.

WHO. (2005). Child and adolescent mental health policies and plans. In WHO Library
Cataloguing-in-Publication Data.

15

Anda mungkin juga menyukai