Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

ASKEP PEMERKOSAAN

OLEH :

1.Densy Nome

2.Enjel Banunaek

3.Juwilda Tungga

4.Ronald J Anone

PROGRA STUDI S1KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MARANATHA

KUPANG

2024
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Esa kami panjatkan puji dan syukur atas
hadiratnya, yang telah melimpahkan rahmat sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat menlancarkan pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis dapat menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Ahir kata penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Kupang 28 Januari 2024


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii

LATAR BELAKANG.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang..................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah .........................................................................................2

1.3. Tujuan ..............................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................3

2.1. Definisi..............................................................................................................4

2.2. Etiologi .............................................................................................................5

2.3. Manifestasi........................................................................................................7

2.4 Patofisiologi.......................................................................................................8

2.5. Manifestasi Klinis ............................................................................................9

2.6. Penatalaksanaan................................................................................................10

2.7. Pohon Masalah .................................................................................................11

BAB III...........................................................................................................................12

3.1. Konsep Asuhan keperawatan............................................................................12

BAB IV PENUTUP........................................................................................................13

4.1. Kesimpulan.......................................................................................................13

4.2. Saran.................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................15
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak adalah individu unik, yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa, baik dari segi
fisik, emosi, pola pikir, maupun tingkahlakunya. Oleh karena itu perlakuan terhadap anak
membutuhkan spesialisasi atau perlakuan khusus dan emosi yang stabil. Banyak cara yang
diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anak. Ada yang mengutamakan kasih sayang,
komunikasi yang baik dan pendekatan yang lebih bersifat afektif. Ada pula yang menggunakan
kekerasan sebagai salah satu metode dalam menerapkan kepatuhan dan pendisiplinan anak.
Kekerasan pada anak, baik fisik maupun psikis dipilih sebagai cara untuk mengubah perilaku
anak dan membentuk perilaku yang diharapkan. Lingkungan rumah dan sekolah adalah lahan
subur dan sumber utama terjadinya kekerasan, karena anak lebih banyak berinteraksi dengan
orangtuanya/pengasuh ataupun guru. dan . Semua kasus ini berobjek pada anak yang tentu saja
akan berdampak buruk pada perkembangan dan kepribadian anak, baik fisik, maupun psikis dan
jelas mengorbankan masa depan anak Kekerasan seksual terhadap anak menurut ECPAT (End
Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara
seorang anak dan seorang yang lebih tua atau anak yang lebih banyak nalar atau orang dewasa
seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan
sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan
menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Kegiatan-kegiatan tidak harus
melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan seksual
sendiri bisa berarti melakukan tindak perkosaan ataupun pencabulan. Kekerasan seksual terhadap
anak juga dikenal dengan istilah child sexual abuse.

Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal.Kejahatan ini dapat ditemukan di


seluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak memandang usia maupun jenis kelamin.
Besarnya insiden yang dilaporkan di setiap Negara berbeda-beda. Banyak anak yang mendapat
perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak jarang dijadikan objek kesewenangan.Berdasarkan
catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, ada 481 kasus kekerasan anak (2003).Jumlah ini
menjadi 547 kasus pada tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan fisik, 80 kasus kekerasan
psikis, 106 kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus kekerasan seksual. Gambaran paradoks
tersebut memancing pertanyaan.Mengapa kekerasan seksual sering menimpa diri anak dan siapa
yang paling berpotensi sebagai pelakunya? Di samping dapat menimbulkan dampak yang luar
biasa pada diri si korban, kasus kekerasan seksual juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan
Singarimbun (2004), bahwa modernisasi sering diasosiasikan sebagai keserbabolehan melakukan
hubungan seksual (Suda, 2006). Sebuah penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2006 (National
Violence against Women Survey/NVAWS) melaporkan bahwa 17,6% dari responden wanita dan
3% dari responden pria pernah mengalami kekerasan seksual. Kebanyakan korban kekerasan
seksual pada anak berusia sekitar 5-11 tahun. Bagi pelaku jenis kelamin tidak berpengaruh dalam
melakukan kekerasan seksual yang penting bagi pelaku hasrat seksual mereka dapat tersalurkan.
Modus pelaku dalam mendekati korban sangatlah bervariasi misalnya mendekati korban dan
mengajak ngobrol, membujuk korban, merayu dan memaksa korbanya. Serta modus yang lebih
canggih yakni pelaku menggunakan jejaring social dengan berkenalan dengan korban, mengajak
bertemu dan memperkosa atau melakukan kekerasan seksual. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) tahun 2010-2014 menyebutkan bahwa, sekitar 42%-62% dari seluruh KtA
merupakan kasus kekerasan seksual dan tempat kejadian terbanyak ada dirumah dan sekolah,
sehingga rumah dan sekolah bukan lagi menjadi tempat yang aman bagi anak. Data KPAI, priode
2011-2014 mencatat tahun 2014 diproyeksi terjadi sebanyak 1380 kasus kejahatan seksual,
sedangkan pada tahun 2013 tercatat sebanyak 525 kasus, tahun 2012 sebanyak 746 kasus, dan
tahun 2011 sebanyak 329 kasus kekerasan seksual pada anak.
1.2 Rumusan Masalah

1. Untuk mengetahui tentang definisi dari seksual abuse?

2. Untuk mengetahui tentang etiologi dari seksual abuse?

3. Untuk mengetahui tentang klasifikasi dari seksual abuse?

4. Untuk mengetahui tentang patofisiologi dari seksual abuse?

5. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari seksual abuse?

6. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaa dari seksual abuse?

7. Untuk mengetahui tentang pathway dari seksual abuse?

8. Bagaimana asuhan keperawatan (teoritis) pada seksual abuse?

9. Bagaimana asuhan keperawatan (kasus) pada seksual abuse?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang definisi dari seksual abuse?

2. Untuk mengetahui tentang etiologi dari seksual abuse?

3. Untuk mengetahui tentang klasifikasi dari seksual abuse?

4. Untuk mengetahui tentang patofisiologi dari seksual abuse?

5. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari seksual abuse?

6. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaa dari seksual abuse?

7. Untuk mengetahui tentang pathway dari seksual abuse?

8. Bagaimana asuhan keperawatan (teoritis) pada seksual abuse?

9. Bagaimana asuhan keperawatan (kasus) pada seksual abuse?


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 . Pengertian
Permerkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence), sedangkan
kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional dan hal-hal yang sangat
menakutkan pada korban. Perkosaan adalah suatu penetrasi penembusan penis ke vagina
perempuan yang tidak dikehendaki, tanpa persetujuan dan tindakan itu diikuti dengan pemaksaan
baik fisik maupun mental.
Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP :
1. Seorang laki-laki dengan perempuan bersetubuh, bertentangan dengan kehendaknya, tanpa
persetubuhan atau dengan persetubuhan yang dicapai melalui ancaman atau percaya Ia suaminya
atau wanita dibawah 14 tahun dianggap perkosaan.
2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan,
benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
Permerkosaan adalah tindakan kekerasaan atau kejahatan seksual berupa hubungan seksual
yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dengan kondisi atas kehendak dan
persetujuaan perempuan, dengan persetujuan perempuan namun dibawah ancaman, dengan
persetujuan perempuan namun melalui penipuan. Dalam KUHP pasal 285 disebutkan perkosaan
adalah kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa seseorang perempuan bersetubuh dengan
dia (laki-laki) diluar pernikahan.
Kalimat korban perkosaan menurut arti leksikal dan gramatikal adalah suatu kejadian,
perbuatan jahat, atau akibat suatu kejadian, atau perbuatan jahat. Permerkosaan adalah
Menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi, merogol.
(Mendikbud,2010: 525, 757).
2.2. Etiologi

Faktor-fakor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh
subyek adalah sebagai berikut:

a.Faktor kelalaian orang tua.

Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh kembang dan pergaulan anak yang
membuat subyek menjadi korban kekerasan seksual.

b.Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku.

Moralitas dan mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak
dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.

c.Faktor ekomoni.

Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan rencananya dengan


memberikan imingiming kepada korban yang menjadi target dari pelaku. Dampak kekerasan
seksual terhadap anak diantaranya adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri,
bayangan kejadian dimana anak menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal
yang berhubungan dengan penyalahgunaan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter,
dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri cedera,
bunuh diri, keluhan somatik, depresi (Roosa, Reinholtz., Angelini, 1999). Selain itu muncul
gangguangangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, jiwa penyakit
lain (termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk
reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik kepada anak, (Widom, 1999;
Levitan, Rector, Sheldon, & Goering, 2003; Messman-Moore, Terri Patricia, 2000; Dinwiddie ,
Heath ,Dunne, Bucholz , Madden, Slutske, Bierut, Statham et al, 2000)
Menurut Townsend (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam pola
penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain:

1. Teori biologis

Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbik otak dapat mempengaruhi


perilaku agresif pada beberapa individu

a. Pengaruh biokimia, bermacam-macam neurotransmitter ( misalnya epinefrin, norepinefrin,


dopamine, asetilkolin dan serotonin) dapat memainkan peranan dalam memudahkan dan
menghambat impuls-impuls agresif .

b. Pengaruh genetika.

Beberapa penyelidikan telah melibatkan herediter sebagai komponen pada predisposisi


untuk perilaku agresif seksual, baik ikatan genetik langsung maupun karyotip genetik XYY telah
diteliti sebagai kemungkinan.

c. Kelainan otak.

Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma dan penyakitpenyakit tertentu (misalnya
ensefalitis dan epilepsy), telah dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif.

2. Teori psikologis

a. Teori psikoanalitik.

Berbadai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa bahwa agresi dan kekerasan adalah
ekspresi terbuka dari ketidakperdayaan dan harga diri rendah, yang timbul bila kebutuhan masa
anak terhadap kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi.

b. Teori pembelajaran. Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan

kekerasan dipelajari dari model yang membawa dan berpengaruh.Individuindividu yang


dianiaya seperti anak-anak atau yang orang tuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih
mungkin untuk berperilaku kejam sebagai orang dewasa.

3. Teori sosiokultural (pengaruh sosial)


Pengaruh sosial. Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif terutama merupakan hasil
dari struktur budaya dan social seseorang. Pengaruh social dapat berperan pada kekerasan saat
individu menyadari bahwa kebutuhan dan hasrat mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara
yang lazim dan mereka mengusahakan perilaku-perilaku kejahatan dalam suatu usaha untuk
memperoleh akhir yang diharapkan.
2.3. Manifestasi Klinis

1. Adanya keluhan fisik seperti sakit kepala, nyeri kalau buang air besar atau buang air
kecil. Nyeri, bengkak, pendarahan atau iritasi di daerah mulut, genital, atau dubur yang
sukar dijelaskan kepada orang lain.

2. Emosi anak tiba-tiba berubah. Ada anak setelah mengalami kekerasan seksual menjadi
takut, marah, mengisolasi diri, sedih, merasa bersalah, merasa malu, dan bingung.

3. Ada anak tiba-tiba merasa takut, cemas, gemetar atau tidal menyukai orang atau tempat
tertentu.

4. Ada juga yang mengalami gangguan tidur, mungkin susah tidur, atau bisa tidur tetapi
terbangun-terbangun, atau sering mimpi buruk dan mengerikan, atau sedang tidur sering
mengigau atau menjerit ketakutan.

5. Ada yang mengeluh merasa mual, muntah, atau tidak mau makan. Yang paling
membahayakan kalau ia merasa tidak berharga, merasa bersalah, merasa sedih, putus asa,
dan mencoba bunuh diri.
2.4 Patofisiologi

Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat terjadi satu
kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun. Walaupun berbeda-beda pada
setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui beberapa tahapan
antara lain :

1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa apa yang
dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba menyentuh sisi kbutuhan anak akan
kasih saying dan perhhatian, penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan
permainan dan menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku dapat mengintimidasi
secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar.

2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya berupa
mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa anak untuk melakukan
hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku mengancam korban agar merahasiakan apa
yang terjadi kepada orang lain.

3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan pengalamannya


kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan pengalamannya sampai berusia dewasa,
atau menceritakannya kepada orang yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga
ia merasa aman. Pelaku "mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari :

a. Pelaku membuka pakaiannya sendiri

b. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri

c. pelaku memperlihatkan alat kelaminnya

d. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap

e. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban : payudara, alat kelamin, dan bagian

lainnya.

f. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling
menstimulasi.

g. Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban

h. Sodomi

i. Petting

j. Penetrasi alat kelamin pelaku Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual
biasanya adalah anak-anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan
dari orang yanglebih dewasa, terutama ibu.Tidak hanya kehadiran secara fisik, kedekatan
emosional antara ibu dan anak pun merupakan faktor yang penting (Maria, 2008).

Menurut Maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak adalah sebagai berikut :

1. Stress: akut, traumatic – PTSD (post traumatik stress disorder)

2. Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri

3. Rasa takut, cemas

4. Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya Tidak diragukan lagi bahwa
kekerasan seksual dapat memberikan dampak jangka pendek maupun jangka panjang bagi
korbannya. Pada anak lainnya, ada kemungkinan gangguan tersebut di 'tekan' sehingga
tidak teramati dari luar sampai ada pemicu yang menampilkan gejolak emosi mereka,
misalnya saat anak memasuki usia remaja dan mulai dekat dengan lawan jenis, atau pada
saat mereka akan menikah. selain itu, sangat mungkin anak yang menjadi korban kekerasan
seksual kemudian justru malah menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak lain
(Maria, 2008).

Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria, hendaknya tetap
mempertimbangkan faktor psikologis.Tidak hanya pada posisi anak sebagai korban, yang
tentunya berisiko mengalami stres bahkan trauma, tapi juga perlu penanganan yang baik
pada anak sebagai pelaku kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat
mungkin sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku
lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk
eksploitasimemuaskan ras ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya,
baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang dilihatnya.Dengan adanya azas
praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang mendorong anak
menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008).

Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan di


masyarakat, selalu diwarnai kekerasan fisik atau psikologis.Jika meminjam gagasan
Giddens (2004) tentang kekerasan lakilaki dalam menyalurkan libidonya, tindakan tersebut
berkaitan dengan label yang diberikan masyarakat kepada laki-laki.Laki-laki harus jantan
menangani sektor publik dan urusan seksual. Di sisi lain, meluasnya sistem ekonomi
kapitalisme global mengakibatkan banyak orang termarjinal, bahkan terhimpit, baik secara
ekonomi maupun psikologis. Akibatnya, harga diri mereka dalam keluarga dan masyarakat
mengalami goncangan.Begitu pula hubungan seksual mereka dengan istrinya bisa
terganggu. Kondisi ini bisa diperparah lagi karena usia tua, impotensi, ejakulasi dini,
kekhawatiran ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini menimbulkan rasa tidak aman dan
kekawatiran yang mendalam (Suda, 2006).
2.5. Penatalaksanaan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan, yaitu
dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Terapi
dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih kontroversial. Obat yang
biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta – seperti
propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut biasanya diresepkan sebagai obat yang
sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian,
yaitu benzodiazepin – contoh, estazolam 0,5 – 1 mg per os, Oksanazepam10-30 mg per os,
Diazepam (valium) 5 – 10 mg per os, Klonazepam 0,25 – 0,5 mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg
per os atau IM – juga dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansietas yang
gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut (Kaplan et al,
1997).
2. Psikoterapi
 Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu
mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih baik melalui :
 Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot-otot utama.
 Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari bernafas
dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak
baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
 Positive thinking dan self-talk
Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif
ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor).
 Assertiveness Training
Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain.
 Thought Stopping
Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang
membuat kita stress (Anonim, 2005).
 Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi
dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin
menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi
pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional
untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk
membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005).
 Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek,
memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak
realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat berjalan dengan dua cara :
 Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-
kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
 Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari
karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misalnya : kembali ke rumah setelah terjadi
perampokan di rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita berusaha untuk mengingat
situasi tersebut dibanding berusaha untuk melupakannya. Pengulangan situasi yang disertai
penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang
menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya (Anonim, 2005).
 Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma. Terapis menggunakan
permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat
membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman
traumatiknya (Anonim, 2005).
 Support Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban perkosaan, yang
mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana
dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian
mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
 Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi cerita mengenai
trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita. Dengan berbagi pengalaman, korban
bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendamnya selama ini. Bertukar cerita
dengan sesama penderita membuat mereka merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik
dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang dideritanya dan
melawan kecemasan (Anonim, 2005).
2.6. Pohon Masalah

Effect Bunuh Diri

Care Problem Resiko Bunuh Diri

Isolasi social

Causa Harga Diri Rendah


BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan upaya untuk
pengumpulan data secara lengkap dan sistematis mulai dari pengumpulan data, identitas
danevaluasi status kesehatan klien. Hal-hal yang perlu dikaji antara lain:

a. Identitas klien. Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosis medis.

b. Keluhan utama

c. Riwayat kesehatan klien

1. Riwayat kesehatan sekarang

2. Riwayat kesehatan dahulu

2. Riwayat penyakit keluarga

3. Riwayat psikososial

d. Aktivitas sehari-hari

e. Pola nutrisi dan cairan

f. Pola eliminasi

g. Pola personal hygiene

h. Pola istirahat tidur

i. Pola aktivitas dan latihan


j. Pola seksualitas dan reproduksi

k. Persepsi diri dan konsep diri

l. Sirkulasi

m. Eliminasi

n. Nyeri atau kenyamanan

o. Pemeriksaan Fisik

1) Kepala

2) Mata

3) Hidung

4) Mulut dan faring

5) Leher

6) Dada

7) Abdomen

8) Ekstermitas

9) Pemeriksaan neurologis

2. Diagnosa Keperawatan

a. Resiko bunuh diri


b. Isolasi sosial
c. Harga diri rendah
a. Pengertian masalah keperawatan

Masalah keperawatan atau diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi
respons klien individu, keluarga, dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan
kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

b. Komponen masalah keperawatan

Diagnosis keperawatan memiliki dua komponen utama yaitu masalah (problem) atau label
diagnosis dan indicator diagnosis. Masing-masing komponen diagnosis diuraikan sebagai
berikut:

1) Masalah (problem)

Masalah merupakan label diagnosis keperawatan yang menggambarkan inti dari respons klien
terhadap kondisi kesehatan atau penjelas dan fokus diagnostik.

2) Indikator diagnostik

Indikator diagnostik terdiri atas penyebab, tanda/gejala, dan faktor resiko dengan uraian sebagai
berikut:

a. Penyebab (etiologi) merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status kesehatan.


Etiologi dapat mencakup empat kategori yaitu: - Fisiologis, biologis atau psikologis;

- Efek terapi/tindakan;

- Situasional (lingkungan atau personal),

- Maturasional.

b. Tanda (Sign) dan gejala (symptom). Tanda merupakan data objektif yang diperoleh dari hasil
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan prosedur diagnostik, sedangkan gejala
merupakan data subyektif yang diperoleh dari hasil anamnesis. Tanda/gejala dikelompokkan
menjadi dua kategori yaitu:
- Mayor: Tanda/gejala ditemukan sekitar 80%-100% untuk validasi diagnosis.

- Minor: Tanda/gejala tidak harus ditemukan, namun jika ditemukan dapat mendukung
penegakan diagnosis.

c. Faktor resiko merupakan kondisi atau situasi yang dapat meningkatkan kerentanan klien
mengalami masalah kesehatan.

3) Kriteria Mayor dan Minor

Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) menyatakan kriteria mayor merupakan tanda
atau gejala yang ditemukan 80% 100% pada klien untuk validasi diagnosis. Sedangkan kriteria
minor merupakan tanda atau gejala yang tidak harus ditemukan, namun jika ditemukan dapat
mendukung penegakkan diagnosis.

4) Faktor yang berhubungan

Faktor yang berhubungan atau penyebab pada masalah keperawatan merupakan faktor-
faktor yang mempengaruhi perubahan status kesehatan yang mencakup empat kategori yaitu :
fisiologis, biologis atau psikologis, efek terapi atau tindakan, lingkungan atau personal, dan
kematangan perkembanngan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
3. Itervensi

N Diagnose Kriteria
Tujuan Intervensi
o Keperawatan Evaluasi
1 Resiko bunuh Pasien mampu : Setelah 1 x SP 1
diri - mengidentif pertemuan, - Identifikasi
ikasi pasien mampu : penyebab,
penyebab - Menyebutka tandadan gejala
dan tanda n penyebab, serta akibat dari
perilaku tanda, gejala, perilaku
kekerasan dan akibat kekerasan
- menyebutka perilaku - Latih cara fisik
n jenis kekerasan 1 : tarik nafas
perilaku - Memperagak dalam
kekerasan an cara fisik - Masukkan dalam
yang pernah 1 untuk jadwal harian
dilakukan mengontrol pasien
- menyebutka perilaku
n akibat kekerasan
dari
perilaku
kekerasan
yang
dilakukan
- menyebutka
n cara
mengontrol
perilaku
kekerasan
Setelah 2 x SP 2
pertemuan, - Evaluasi kegiatan
pasien mampu: yang lalu (sp 1)
- Menyebutkan - Latih cara fisik 2:
kegiatan yang pukul kasur atau
sudah bantal
dilakukan - Masukkan dalam
- Memperagak jadwal harian
an cara fisik
untuk
mengontrol pasien
perilaku
kekerasan
Setelah 3 x
pertemuan,
SP 3
pasien mampu :
- Evaluasi kegitan
- Menyebutka
yang lalu (sp 1
n kegiatan
dan 2)
yang sudah
- Latih secara
dilakukan
social/verbal
- Memperagak
- Menolak dengan
an cara
baik
social/ verbal
- Masukkan dalam
untuk
jadwal pasien
mengontrol
perilaku
kekerasan
Setelah 4 x SP 4
pertemuan, - Eveluasi kegiatan
pasien mampu : yang lalu (sp 1,2
- Menyebutka dan 3)
n kegiatan - Latih secara
yang sudah spiritual (bedoa
dilakukan dan sholat)
- Memperagak - Masukkan dalam
an cara jadwal harian
spiritual pasien

Setelah 5 x SP 5
pertemuan, - Evaluasi kegiatan
pasien mampu: yang lalu (sp
- Menyebutka 1,2,3 dan 4)
n kegiatan - Latih patuh obat:
yang sudah (Minum obat
dilakukan secara teratur
- Memperagak dengan 5B dan
an cara patuh susun jadwal
obat. minum obat
secara teratur)
- Masukkan dalam
jadwal harian
pasien

2 Isolasi social Pasien mampu : Setelah SP 1


- Menyadari melakukan 3 kali Identifikasi penyebab
penyebab pertemuan pasien - Siapa yang satu
iolasi social mampu : rumah dengan
- Berinteraksi - membina pasien
dengan hubungan - Siapa yang dekat
orang lain saling dengan pasien
percaya - Siapa yang tidak
- menyadari dekat dengan
penyebab pasien
isolasi social, Tanyakan keuntungan
keuntungan dan kerugian
dan kerugian berinteraksi dengan
berinteraksi orang lain
dengan orang - Tanyakan
lain. pendapat pasien
- Melakukan tentang kebiasaan
interaksi berinteraksi
dengan orang dengan orang lain
lain secara - Tanyakan apa
bertahap. yang
menyebabkan
pasien tidak ingin
berinteraksi
dengan orang lain
- Diskusikan
keuntungan bila
pasien memiliki
banyak teman
dan bergaul akrab
dengan mereka
- Diskusikan
kerugian bila
pasien hanya
mengurung diri
dan tidak bergaul
dengan orang lain
- Jelaskan
pengaruh isolasi
social terhadap
kesehatan fisik
pasien.
Latih berkenalan
- Jelaskan
kepada klien
cara
berinteraksi
dengan orang
lain
- berikan contoh
berinteraksi
dengan orang
lain
- beri
kesampatan
pasien untuk
mempratekkan
interaksi
didepan
perawat
masukkan jadwal
kegiatan pasien.
SP 2
- evaluasi kegiatan
yang lalu (SP 1)
- latih berhubungan
social secara
bertahap
- masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien
SP 3
- evaluasi kegiatan
yang lalu (SP 1
dan 2)
- latih cara
berkenalan denga
2 atau lebih
- masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien
3 Harga diri Pasien mampu : Setelah 3 x SP 1
rendah - Mengidentifi pertemuan, Identifikasi
kasi pasien mampu : kemampuan positif
kemampuan - Mengidentifi yang dimiliki
dan asfek kasi - Diskusikan bahwa
positif yang kemampuan pasien masih
dimiliki aspek positif memiliki
- Menilai yang dimiliki sejumlah
kemampuan - Memiliki kemampuan dan
yang dapat kemampuan asfek positif
digunakan yang dapat - Beri pujian yang
- Menetapkan/ digunakan realistis dan
memilih - Memilih hindari bertemu
kegiatan kegiatan yang dengan penilaian
yang sesuai sesuai negative
dengan kemampuan Nilai kemampuan
kemampuan - Melakukan yang dilakukan
- Melatih kegiatan yang saat ini
kegiatan sudah dipilih - Diskusikan
yang sudah - Merencanaka dengan pasien
dipilih, n kegiatan kemampuan yang
sesuai yang sudah masih digunakan
kemampuan dipilih saat ini
- Merencanak - Bantu pasien
an kegiatan menyebutkannyda
yang sudah n memberikan
dilatihnya penguatan
terhadap
kemampuan yang
masih digunakan
pada saat ini
- Perlihatkan
respon yang
kondusif dan
menjadi
pendengar yang
aktif
Pilih kemampuan
yang akan dilatih
SP 2
- Evaluasi kegiatan
yang lalu (sp 1)
- Pilih kemampuan
kedua yang dapat
dilakukan
- Latih kemampuan
yang dipilih
- Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien
SP 3
- Evaluasi kegiatan
yang lalu (sp 1
dan 2)
- Memilih
kemampuan
ketiga yang dapat
dilakukan
- Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien

4. Implementasi Keperawatan
Menurut (Potter & Perry, 2011) dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan,
implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan. OIeh karena itu, jika intenvensi keperawatan yang telah
dibuat dalam perencanaan dilaksanakan atau diaplikasikan pada pasien, maka tindakan tersebut
disebut implementasi
keperawatanKomponen yang terdapat pada implementasi adalah :
a. Tindakan observasi adalah tindakan yang ditujukan untuk mengumpulkan dan
menganalisis data status kesehatan klien.
b. Tindakan terapeutik
Tindakan terapeutik adalah tindakan yang secara lansung dapat berefek memulihkan
status kesehatan klien atau dapat mencegah perburukan masalah kesehatan klien.
c. Tindakan edukasi
adalah tindakan yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuam pasien merawat dirinya
dengan membantu pasien memperoleh perilaku baru yang dapat mengatasi masalah.

d.Tindakan kolaborasi

adalah tindakan yang membutuhkan kerjasama baik dengan perawat lainnya maupun
dengan profesi kesehatan lainnya.
5. Evaluasi Keperawatan

Menurut (Potter & Perry, 2011). dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan,
tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan
dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya. Komponen catatan
perkembangan, antara lain sebagai berikut :

Kartu SOAP (data subjektif, data objektif, analisis/assessment, dan perencanaan/plan)


dapat dipakai untuk mendokumentasikan evaluasi dan pengkajian ulang.

a. S (Subjektif): data subjektif yang diambil dari keluhan klien, kecuali pada klien yang
afasia.
b. O (Objektif): data objektif yang diperoleh dari hasil observasi perawat, misalnya
tanda-tanda akibat penyimpanan fungsi fisik, tindakan keperawatan, atau akibat
pengobatan.
c. A (Analisis/assessment): berdasarkan data yang terkumpul kemudian dibuat
kesimpulan yang meliputi diagnosis, antisipasi diagnosis atau masalah potensial, dimana
analisis ada 3, yaitu (teratasi, tidak teratasi, dan sebagian teratasi) sehingga perlu tidaknya
dilakukan tindakan segera. Oleh karena itu, sering memerlukan pengkajian ulang untuk
menentukan perubahan diagnosis, rencana, dan tindakan.
d. P (Perencanaan/planning): perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan
keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang (hasil modifikasi rencana
keperawatan) dengan tujuan memperbaiki keadaan kesehatan klien. Proses ini
berdasarkan kriteria tujuan yang spesifik dan periode yang telah ditentukan.
BAB IV
PENUTUP

Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual baik itu secara fisik
maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma yang sangat
mendalam dalam diri seseorang tersebut terutama pada anak-anak dan remaja. Dan kejadian
traumatis tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD). Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-beda bergantung pada
seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari korban.
Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau pelecehan
seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban tidak merasa
tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebelum kejadian trauma. Dan
pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode-metode yang benar sehingga dalam
menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan-tekanan baru yang
diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Halusinasi . Dimuat dalam. http://harnawatiaj.wordpress.com/ [Diakses : 12


Oktober 2019]
Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika
Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .
Keliat Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC
Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat.
Jakarta: Salemba Medika.
Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi (API).
Jakarta : fajar Interpratama.
Yosep , iyus. 2011. Kepera/watan Jiwa. Bandung : PT. Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai